Anda di halaman 1dari 15

KASUS BULLYING PADA SISWI SMK

DI LOMBOK TENGAH

NAMA : SILVI APRILIANA

NIM : A1B02310196

KELAS : 1G MANAJEMEN

PROGRAM STUDI S1 MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS MATARAM
ABSTRAK

Akhir-akhir ini berita kasus bullying di Indonesia kembali muncul ke permukaan.


Seakan rantai yang tak pernah putus, bullying terus mewarnai dunia pendidikan
Indonesia tanpa pengentasan serius. Sebenarnya bullying bukan hanya ada dalam
dunia pendidikan, tetapi juga dalam keluarga, dunia kerja, dan lain-lain. Apalagi di
dunia anak jalanan, betapa anak-anak itu seringkali dibully oleh preman-preman yang
lebih tua dan kekar perawakannya. Ini semua seakan menyadarkan kita betapa
bullying sudah menjadi masalah global yang serius. Tindak pencegahan sejak dini
melalui pendidikan moral, penerapan hidup bersama yang penuh kekeluargaan dan
tanggung jawab, serta penataan hukum menjadi langkah awal efektif untuk
mengurangi tindak bullying di masyarakat. Tindak penyelesaian melalui jalur hukum
tentu langkah terakhir dan dibutuhkan kerjasama serta dilaksanakan secara terus-
menerus oleh semua pihak tanpa terkecuali, mulai dari diri sendiri, keluarga,
masyarakat, dan negara. Kali ini saya akan membahas kasus bulliying yang terjadi di
wilayah Lombok, Nusa tenggara Barat. Penelitian kasus ini bertujuan untuk
menganalisis mengapa bullying siswi SMK di Kecamatan Pujut, Lombok Tengah bisa
terjadi dan kaitannya dengan pendidikan karakter di sekolah maupun di rumah.

Kata Kunci : Bulliying, Pendidikan Karakter, Siswi SMK

PENDAHULUAN
a. Latar Belakang

Perilaku bullying merupakan salah satu bentuk perilaku menyimpang, dalam perilaku
tersebut terdapat unsur mental yang tidak sehat yang ada pada diri pelakunya.
Perilaku ini dapat mengenai semua tahap usia seseorang, tidak terkecuali para remaja
yang berstatus sebagai siswa di sekolah. Bagaikan fenomena gunung es, perilaku
bullying di sekolah pada dasarnya banyak terjadi, namun masih sedikit yang dapat
terdeteksi baik oleh guru maupun orangtua siswa.

Masa remaja merupakan suatu fase perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa
dewasa. Dimana pada masa ini remaja memiliki kematangan emosi, sosial, fisik dan
psikis. Remaja juga merupakan tahapan perkembangan yang harus dilewati dengan
berbagai kesulitan. Dalam tugas perkembangannya, remaja akan melewati beberapa
fase dengan berbagai tingkat kesulitan permasalahannya sehingga dengan mengetahui
tugas-tugas perkembangan remaja dapat mencegah konflik yang ditimbulkan oleh
remaja dalam keseharian yang sangat menyulitkan masyarakat, agar tidak salah
persepsi dalam menangani permasalahan tersebut. Pada masa ini juga kondisi psikis
remaja sangat labil. Karena masa ini merupakan fase pencarian jati diri. Biasanya
mereka selalu ingin tahu dan mencoba sesuatu yang baru dilihat atau diketahuinya
dari lingkungan sekitarnya, mulai lingkungan keluarga, sekolah, teman sepermainan
dan masyarakat. Semua pengetahuan yang baru diketahuinya diterima dan ditanggapi
oleh remaja sesuai dengan kepriadian masing-masing. Disinilah peran lingkungan
sekitar sangat diperlukan untuk membentuk kepribadian seorang remaja

Sekolah merupakan salah satu lembaga pendidikan formal yang mempunyai tanggung
jawab dalam membentuk peserta didik mencapai perkembangan optimal. Sekolah
bertanggung jawab dalam membentuk siswa agar menjadi pribadi yang bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, kreatif, mandiri, dan bertanggung jawab. Hal ini sesuai
dengan tujuan pendidikan nasional, dalam pasal 3 UU Sisdiknas No.20 tahun 2003,
yaitu Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab“ (Nasional, 2002).

Pada kenyataan di sekolah masih banyak siswa yang kurang mencapai perkembangan
yang optimal. Salah satu fenomena yang menyita perhatian di dunia pendidikan
zaman sekarang adalah kekerasan (bullying) di sekolah, baik yang dilakukan oleh
guru terhadap siswa, maupun oleh siswa terhadap siswa lainnya. Maraknya aksi
tawuran dan kekerasan yang dilakukan oleh siswa di sekolah yang semakin banyak
menghiasi deretan berita di halaman media cetak maupun elektronik menjadi bukti
telah tercerabutnya nilai-nilai kemanusiaan. Tentunya kasus-kasus kekerasan tersebut
tidak saja mencoreng citra pendidikan yang selama ini dipercaya oleh banyak
kalangan sebagai sebuah tempat di mana proses humanisasi berlangsung, tetapi juga
menimbulkan sebuah pertanyaan, bahkan gugatan dari berbagai pihak yang semakin
kritis mempertanyakan esensi pendididkan di sekolah dewasa ini.

Fenomena bullying telah lama menjadi bagian dari dinamika sekolah. Umumnya
orang lebih mengenalnya dengan istilah-istilah seperti penggencetan, pemalakan,
pengucilan, intimidasi dan lain-lain. Istilah bullying sendiri memiliki makna lebih luas,
mencakup berbagai bentuk penggunaan kekuasaan atau kekuatan untuk menyakiti
orang lain sehingga korban merasa tertekan, trauma dan tak berdaya. Bullying adalah
tindakan intimidasi yang dilakukan pihak yang lebih kuat terhadap pihak yang lebih
lemah yang dapat ditujukan dalam beragam bentuk. Para ahli menyatakan bahwa
school bullying mungkin merupakan bentuk agresifitas antar siswa yang memiliki
dampak paling negatif bagi korbannya. Hal ini disebabkan adanya ketidak
seimbangan kekuasaan dimana pelaku berasal dari kalangan siswa atau siswi yang
lebih merasa senior melakukan tindakan tertentu kepada korban, yaitu siswa atau
siswi yang lebih junior dan mereka merasa tidak berdaya karena tidak dapat
melakukan perlawanan. Dampak yang dialami oleh korban bullying adalah
mengalami berbagai macam gangguan yang meliputi kesejahteraan psikologis yang
rendah (low psychological well-being) dimana korban akan merasatidak nyaman,
takut, rendah diri, serta tidak berharga, penyesuaian sosial yang buruk dimana korban
merasa takut ke sekolah bahkan tidak mau sekolah, menarik diri dari pergaulan,
prestasi akademik yang menurun karena mengalami kesulitan untuk berkonsentrasi
dalam belajar, bahkan berkeinginan untuk bunuh diri dari pada harus menghadapi
tekanan-tekanan berupa hinaan dan hukuman (Coloroso, 2003).

b. Rumusan Masalah
1) Apa yang dimaksud dengan bullying,
2) Apa jenis – jenis dan faktor perbuatan bullying?,
3) Kronologi pelaku melakukan bullying pada korban
4) Bagaimana upaya pencegahan bullying dengan mengedukasi siswa/i dengan
pendidikan karakter di sekolah.
PEMBAHASAN
Definisi bullying merupakan sebuah kata serapan dari bahasa Inggris. Bullying berasal
dari kata bully yang artinya penggertak, orang yang mengganggu orang yang lemah.
Beberapa istilah dalam bahasa Indonesia yang seringkali dipakai masyarakat untuk
menggambarkan fenomena bullying di antaranya adalah penindasan, penggencetan,
perpeloncoan, pemalakan, pengucilan, atau intimidasi (Susanti, 2006). Barbara
Coloroso (2003:44) : “Bullying adalah tindakan bermusuhan yang dilakukan secara
sadar dan disengaja yang bertujuan untuk menyakiti, seperti menakuti melalui
ancaman agresi dan menimbulkan terror. Termasuk juga tindakan yang direncanakan
maupun yang spontan bersifat nyata atau hampir tidak terlihat, dihadapan seseorang
atau di belakang seseorang, mudah untuk diidentifikasi atau terselubung dibalik
persahabatan, dilakukan oleh seorang anak atau kelompok anak. Banyak para ahli
yang mengemukakan pendapatnya mengenai bullying. Seperti pendapat Olweus
(1993) dalam pikiran rakyat, 5 Juli 2007: “Bullying can consist of any action that is used
to hurt another child repeatedly and without cause”. Bullying merupakan perilaku
yang ditujukan untuk melukai siswa lain secara terus-menerus dan tanpa sebab.
Sedangkan menurut Rigby (2005; dalam Anesty, 2009) merumuskan bahwa “bullying”
merupakan sebuah hasrat untuk menyakiti. Hasrat ini diperlihatkan dalam aksi,
menyebabkan seseorang menderita. Aksi ini dilakukan secara langsung oleh seseorang
atau sekelompok orang yang lebih kuat, tidak bertanggung jawab, biasanya berulang
dan dilakukan dengan perasaan senang (Retno Astuti, 2008: 3).Riauskina, Djuwita, dan
Soesetio (2001) mendefinisikan school bullying sebagai perilaku agresif kekuasaan
terhadap siswa yang dilakukan berulang-ulang oleh seorang/kelompok siswa yang
memiliki kekuasaan, terhadap siswa lain yang lebih lemah dengan tujuan menyakiti
orang tersebut. Beberapa ahli meragukan pengertian-pengertian di atas bahwa
bullying hanya sekedar keinginan untuk menyakiti orang lain, mereka memandang
bahwa “keinginan untuk menyakiti seseorang” dan “benar-benar menyakiti
seseorang” merupakan dua hal yang jelas berbeda. Oleh karena itu beberapa ahli
psikologi menambahkan bahwa bullying merupakan sesuatu yang dilakukan bukan
sekedar dipikirkan oleh pelakunya, keinginan untuk menyakiti orang lain dalam
bullying selalu diikuti oleh tindakan negatif. Dari berbagai definisi di atas dapat
disimpulkan bahwa bullying merupakan serangan berulang secara fisik, psikologis,
sosial, ataupun verbal, yang dilakukan dalam posisi kekuatan yang secara situasional
didefinisikan untuk keuntungan atau kepuasan mereka sendiri. Bullying merupakan
bentuk awal dari perilaku agresif yaitu tingkah laku yang kasar. Bisa secara fisik,
psikis, melalui kata-kata, ataupun kombinasi dari ketiganya. Hal itu bisa dilakukan
oleh kelompok atau individu. Pelaku mengambil keuntungan dari orang lain yang
dilihatnya mudah diserang. Tindakannya bisa dengan mengejek nama, korban
diganggu atau diasingkan dan dapat merugikan korban. Barbara Coloroso (2006:47-50)
membagi jenis-jenis bullying kedalam empat jenis, yaitu sebagai berikut:

1. Bullying secara verbal; perilaku ini dapat berupa julukan nama, celaan, fitnah,
kritikan kejam, penghinaan, pernyataan-pernyataan yang bernuansa ajakan
seksual atau pelecehan seksual, terror, surat-surat yang mengintimidasi,
tuduhan-tuduhan yang tidak benar kasak-kusuk yang keji dan keliru, gosip
dan sebagainya. Dari ketiga jenis bullying, bullying dalam bentuk verbal
adalah salah satu jenis yang paling mudah dilakukan dan bullying bentuk
verbal akan menjadi awal dari perilaku bullying yang lainnya serta dapat
menjadi langkah pertama menuju pada kekerasan yang lebih lanjut.
2. Bullying secara fisik; yang termasuk dalam jenis ini ialah memukuli,
menendang, menampar, mencekik, menggigit, mencakar, meludahi, dan
merusak serta menghancurkan barang-barang milik anak yang tertindas.
Kendati bullying jenis ini adalah yang paling tampak dan mudah untuk
diidentifikasi, namun kejadian bullying secara fisik tidak sebanyak bullying
dalam bentuk lain. Remaja yang secara teratur melakukan bullying dalam
bentuk fisik kerap merupakan remaja yang paling bermasalah dan cenderung
akan beralih pada tindakan-tindakan kriminal yang lebih lanjut.
3. Bullying secara relasional; adalah pelemahan harga diri korban secara
sistematis melalui pengabaian, pengucilan atau penghindaran. Perilaku ini
dapat mencakup sikap-sikap yang tersembunyi seperti pandangan yang
agresif, lirikan mata, helaan nafas, cibiran, tawa mengejek dan bahasa tubuh
yang mengejek. Bullying dalam bentuk ini cenderung perilaku bullying yang
paling sulit dideteksi dari luar. Bullying secara relasional mencapai puncak
kekuatannya diawal masa remaja, karena saat itu tejadi perubahan fisik, mental
emosional dan seksual remaja. Ini adalah saat ketika remaja mencoba untuk
mengetahui diri mereka dan menyesuaikan diri dengan teman sebaya.
4. Bullying elektronik; merupakan bentuk perilaku bullying yang dilakukan
pelakunya melalui sarana elektronik seperti komputer, handphone, internet,
website, chatting room, e-mail, SMS dan sebagainya. Biasanya ditujukan untuk
meneror korban dengan menggunakan tulisan, animasi, gambar dan rekaman
video atau film yang sifatnya mengintimidasi, menyakiti atau menyudutkan.
Bullying jenis ini biasanya dilakukan oleh kelompok remaja yang telah
memiliki pemahaman cukup baik terhadap sarana teknologi informasi dan
media elektronik lainnya.

Pada umumnya, anak laki-laki lebih banyak menggunakan bullying secara fisik dan
anak wanita banyak menggunakan bullying relasional/emosional, namun keduanya
sama-sama menggunakan bullying verbal. Perbedaan ini, lebih berkaitan dengan pola
sosialisasi yang terjadi antara anak laki-laki dan perempuan (Coloroso, 2006:51).

Bullying dapat terjadi dimana saja, di perkotaan, pedesaan, sekolah negeri, sekolah
swasta, di waktu sekolah maupun di luar waktu sekolah. Bullying terjadi karena
interaksi dari berbagai faktor yang dapat berasal dari pelaku, korban, dan lingkungan
dimana bullying tersebut terjadi.

Faktor-faktor Penyebab Bullying

1. Faktor Keluarga
Perkembangan psikososial anak dipengaruhi oleh faktor interaksi dalam
keluarga. Jika implementasi pola asuh orang tua terhadap anaknya secara benar,
maka ketika anak mencapai usia remaja, anak akan memiliki persepsi sendiri-
sendiri terhadap pola asuh yang diajarkan orang tuanya (Wahyuni, 2011).
Tindakan pola asuh yang diajarkan dan dibimbing orang tua kepada anaknya
memungkinkan anak untuk diterapkan dalam kehidupannya yang sebagian
besar terhadap teman-temannya. Dapat disimpulkan, bahwasannya pola asuh
otoriter memiliki pengaruh yang dominan terhadap perilaku bullying anak
(Rigby, 1994).
2. Karakteristik Internal Individu
Karakter individu terlibat dalam perilaku yang mengintimidasi seperti balas
dendam atau iri sebagai akibat dari pengalaman masa lalu, kemudian ada
semangat ingin mengontrol korban melalui kekuatan fisik, daya tarik seksual,
dan meningkatkan popularitas pelaku di kalangan teman sebayanya (Astuti,
2008).
3. Faktor Sekolah
Kekerasan/bullying dalam pendidikan terjadi akibat pelanggaran yang disertai
dengan hukuman, terutama hukuman badan. Sekolah dengan sistem dan
kebijakan pendidikan yang buruk cenderung melakukan kejahatan yang halus
dan tersembunyi seperti penghinaan dan pengucilan. Astuti (2008)
menambahkan hipotesis tertentu bahwa pelecehan terjadi antara lain karena
faktor berikut:

Dalam makalah ini saya akan membahas sebuah kasus yaitu bullying yang dilakukan
pada siswi SMKN 3 Pujut, Lombok Tengah. Dimana kasus ini mulai viral di media
sosial setelah akun Faceebook @Miya Allitta mengunggah sebuah video bullying.

Kronologinya yaitu dalan video yang beredar, diketahui korban inisial M (16) dan
pelaku inisial R sedang berada di ruang. Sebagian siswi mengenakan seragam
pramuka dan sebagian kepalanya ditoyor-toyor hingga menangis. Tidak terima
anaknya menjadi korban bullying, orang tua korban akhirnya melaporkan kejadian
tersebut ke Polres Lombok Tengah. Ia mengaku tidak terima anaknya menjadi korban
bullying dan menyelesaikan kasus ini secara hukum.

Sumber : Tribun Lombok

Klarifikasi Pihak Sekolah

Sang kepala sekolah Akhirman Bakrie mengungkapkan sebenarnya permasalahan ini


sudah diselesaikan secara adat namun menjadi ramai ketika diunggah di media sosial.
"Langsung wakil kepala sekolah kesiswaan yaitu Pak Ekan Mutraji langsung yang
menyelesaikan. Jadi kami telah bekerja langsung jauh-jauh hari sebelum kasus ini
viral," terang Akhirman kepada TribunLombok.com, Selasa (7/3/2023).

Ia mengatakan, awal mula bullying ini adalah dari grup whatsapp yang dinamakan
"grup ghibah".

Dari grup tersebut terjadi ejek-ejekan sehingga akhirnya pelaku inisial R bersama
teman-temannya melakukan bullying terhadap M.

Menurut Akhirman, pihak sekolah juga berusaha melakukan proses mediasi antara
kedua belah pihak sehingga tidak mengganggu proses belajar siswi-siswi tersebut.

"Saat ini kami sudah melakukan isolasi dan mediasi terhadap anak-anak yang ada di
video dimana kami telah melakukan briefing dan mendampingi mereka supaya
psikologisnya kembali semangat," pungkasnya.

Berbeda keterangan, Kepala Desa Rembitan Lalu Minaksa mengatakan, hal yang
terjadi sebenarnya bukan bullying melainkan simulasi salah satu mata pelajaran.

Menurutnya, ini sebenarnya banyak adegan namun yang diupload adalah adegan
bullying hingga akhirnya viral di media sosial.

"Itu sebenarnya simulasi apa itu bullying. Jadi jangan kita telan mentah-mentah apa
yang terjadi. Kan anak -anak itu pada ketawa," jelasnya singkat.

Lalu ada juga artikel dari Tribun Lombok mengatakan bahwa kasus ini telah mencapai
titik temu dimana korban perundungan telah mencabut laporannya ke Mapolres
Lombok Tengah. Pelaku dan korban telah sepakat untuk berdamai dan kasusnya
diselesaikan melalui restorative justice.

Jadi dari pihak korban dan yang terlapor sudah melakukan perdamaian, di situ dasar
kita melakukan restoratif justice (RJ). Hari ini korban mencabut laporannya," kata
Kasat Reskrim Polres Lombok Tengah Iptu Redho Rizki Pratama saat ditemui di
kantornya, Senin (13/3/2023).

Redho mengatakan, langkah restoratif justice yang diterapkan penyidik atas kasus ini
sangat tepat, mengingat para pelaku masih di bawah umur dan masih mengenyam
pendidikan. Kita tahu korban dan pelaku ini sama-sama merupakan siswa, masa
depan mereka masih panjang. Dan Alhamdulillah mereka sudah saling memaafkan,"
kata Redho. Sementara itu, kepala sekolah SMKN 3 Pujut Akhirman Bakrie
mengatakan, kasus ini sepakat diselesaikan karena alasan kemanusiaan.

Kasus bullying SMKN 3 Pujut berakhir damai dimana kedua belah pihak sepakat
mencabut laporan di Polres Lombok Tengah. Langkah restorative justice yang
diterapkan penyidik atas kasus ini sangat tepat, mengingat para pelaku masih di
bawah umur.

Sementara itu, kepala sekolah SMKN 3 Pujut Akhirman Bakrie mengatakan, kasus ini
sepakat diselesaikan karena alasan kemanusiaan. Hal ini dilakukan agar proses
pendidikan dari anak tersebut tidak terganggu pendidikan dan masa depannya.
"Anak-anak ini masih panjang masa depannya sehingga kedua belah pihak, masing-
masing kepala Dusun dengan disaksikan ketua komite sekolah sepakat menyelesaikan
kasus ini," imbuhnya kepada TribunLombok.com.

Seluruh pihak juga telah menandatangani surat perdamaian dan surat pernyataan
perdamaian atas dasar kemanusiaan.

Dampak tindakan bullying tidak hanya pada korban, tetapi dampak tersebut juga
bullying. Mereka mengenai pelaku bullying dan korban-pelaku bullying. Penelitian
yang dilakukan oleh Skrzypiec, menghasilkan pemahaman bahwa dampak negatif
bullying dirasakan oleh korban, pelaku, korban-pelaku bullying. Korban, pelaku,
korban-pelaku bullying mengalami gangguan kesehatan mental (Skrzypiec, Slee,
Askell-Williams, & Lawson, 2012). Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa
pelaku bullying mempunyai intensitas empati yang minim dalam fenomena interaksi
sosial. Mereka mengalami permasalahan perilaku abnormal, hiperaktif, dan pro-sosial
ketika terlibat dalam proses interaksi sosial. Baik empati maupun perilaku abnormal,
perilaku hiperaktif, dan pro-sosial sangat berkaitan dengan respon pelaku ketika
dirinya terlibat dengan lingkungan sosial sekitar. Berbeda dengan korban-pelaku,
tingkat gangguan kesehatan mental mereka lebih besar dibandingkan pelaku dan
korban bullying. Mereka adalah individu yang melakukan tindakan bullying, namun
mereka juga menjadi korban mengalami permasalahan pro-sosial, hiperaktif, dan
perilaku Pelaku dan korban-pelaku bullying mempunyai masalah dengan kesehatan
mental, terutama gejala emosional. Hal yang sering ditemukan adalah mereka sering
terisolasi secara sosial, tidak mempunyai teman dekat atau sahabat, dan tidak memiliki
hubungan baik dengan orang tua (Rosen, L. H., DeOrnellas & Scott, 2007). Korban
bullying juga mengalami kekerasan fisik, untuk bullying yang bersifat kekerasan
secara fisik. Tindakan kekerasan secara fisik dan verbal yang mereka terima sering
menjadi faktor trauma untuk jangka pendek dan jangka panjang. Trauma
memengaruhi terhadap penyesuaian diri dengan lingkungan, yaitu dalam hal ini
adalah lingkungan sekolah. Bahkan, bullying merupakan prediktor untuk tingkat
prestasi akademik dan putus sekolah siswa Sekolah Menengah Atas (SMA). Bullying
yang terjadi pada anak-anak mengakibatkan tingginya tingkat depresi, kecemasan,
dan bunuh diri ketika dewasa. Tidak hanya itu, mereka bahkan mengalami
permasalahan dalam hubungan sosial, kondisi ekonomi yang memburuk, dan
rendahnya well-being ketika menginjak usia 50 tahun. Demikian, bullying dapat
berdampak pada rendahnya tingkat hubungan sosial korban, kesehatan mental dan
fisik, dan persoalan ekonomi (Purwaningsih & Mega, 2017). Dampak bullying juga
berdampak pada kapasitas kesehatan, perilaku ilegal, ekonomi, dan hubungan sosial.
Terdapat empat konsep dampak dari bullying, bahwa secara fisik korban bullying
mengalami cedera fisik yang serius dan beberapa penyakit seksual. Dari segi kesehatan
psikis, korban mengalami gangguan kecemasan, gangguan depresi, dan gangguan
kepribadian anti sosial. Perilaku ilegal yang dilakukan oleh pelaku bullying
sebagaimana berbohong terhadap orang lain, sering berkelahi, merampok rumah,
toko, atau hal lain yang berkaitan dengan properti, mabuk, konsumsi narkotika dan
obat-obatan terlarang lainnya, dan aktivitas seksual di luar pernikahan. Korban
mengalami putus sekolah dan tidak melanjutkan sekolah merupakan indikator status
sosial ekonomi. Selain itu, problematika dalam hal pekerjaan dinilai dengan putusnya
hubungan kerja dan keluar dari pekerjaan tanpa adanya kesiapan finansial. Akibatnya,
permasalahan keuangan yang lainnya muncul, seperti tidak bisa menyelesaikan
tagihan hutang dan buruknya pengelolaan keuangan. Sementara untuk hubungan
sosial, tertuju pada perilaku kekerasan dalam hubungan sosial, meliputi: hubungan
romantis, hubungan yang tidak baik terhadap orang tua, teman dan orang
kepercayaan, dan permasalahan dalam pertemanan dan mempertahankan teman
(Wulandari, 2014). Dalam rangka mencegah bullying, banyak pihak telah menjalankan
program dan kampanye anti bullying di sekolah-sekolah, baik dari pihak sekolah
sendiri, maupun organisasi-organisasi lain yang berhubungan dengan anak. Namun,
pada nyatanya, bullying masih kerap terjadi disekolah-sekolah di Indonesia. Pertama.
Membantu anak-anak mengetahui dan memahami bullying. Dengan menambah
pengetahuan anak-anak mengenai bullying, mereka dapat lebih mudah mengenali saat
bullying menimpa mereka atau orang-orang di dekat mereka. Selain itu anak-anak
juga perlu dibekali dengan pengetahuan untuk menghadapi bullying dan bagaimana
mencari pertolongan. Hal-hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pemahaman
anak mengenai bullying, diantaranya: 1) Memberitahu pada anak bahwa bullying
tidak baik dan tidak dapat dibenarkan dengan alasan maupun tujuan apapun. Setiap
orang layak diperlakukan dengan hormat, apapun perbedaan yang mereka miliki. 2)
Memberitahu pada anak mengenai dampak-dampak bullying bagi pihak-pihak yang
terlibat maupun bagi yang menjadi “saksi bisu”. Kedua. Memberi saran mengenai
cara-cara menghadapi bullying. Setelah diberikan pemahaman mengenai bullying,
anak-anak juga perlu dibekali pengetahuan dan keterampilan ketika mereka menjadi
sasaran dari bullying agar dapat menghadapinya dengan aman tanpa menggunakan
cara-cara yang agresif atau kekerasan, yang dapat semakin memperburuk keadaan.
Cara-cara yang dapat digunakan, misalnya dengan mengabaikan pelaku, menjauhi
pelaku, atau menyampaikan keberatan mereka terhadap pelaku dengan terbuka dan
percaya diri. Mereka juga dapat menghindari bullying dengan berada di sekitar orang-
orang dewasa, atau sekelompok anak-anak lain. Apabila anak menjadi korban bullying
dan cara-cara di atas sudah dilakukan namun tidak berhasil, mereka sebaiknya
didorong untuk menyampaikan masalah tersebut kepada orang-orang dewasa yang
mereka percayai, baik itu guru di sekolah maupun orangtua atau anggota keluarga
lainnya di rumah. Ketiga. Membangun hubungan dan komunikasi dua arah dengan
anak. Biasanya pelaku bullying akan mengancam atau mempermalukan korban bila
mereka mengadu kepada orang lain, dan hal inilah yang biasanya membuat seorang
korban bullying tidak mau mengadukan kejadian yang menimpa mereka kepada
orang lain. Oleh karena itu, sangat penting untuk senantiasa membangun hubungan
dan menjalin komunikasi dua arah dengan anak, agar mereka dapat merasa aman
dengan menceritakan masalah yang mereka alami dengan orang-orang terdekat
mereka, dan tidak terpengaruh oleh ancaman-ancaman yang mereka terima dari para
pelaku bullying. Dalam kehidupan masa kini yang serba sibuk dan penuh aktivitas,
semakin sulit bagi para orangtua dan anggota keluarga. Keempat, mendorong mereka
untuk tidak menjadi “saksi bisu” dalam kasus bullying. Berdasarkan sebuah penelitian
yang dilakukan pada anak-anak sekolah dasar di Kanada, sebagian besar kasus
bullying dapat dihentikan dalam 10 detik setelah kejadian tersebut berlangsung berkat
campur tangan saksi–anak anak lain yang hadir saat kejadian tersebut berlangsung
misalnya dengan membela korban bullying melalui kata-kata ataupun secara fisik
(memisahkan korban dengan pelaku). Anak-anak yang menyaksikan kasus bullying
juga dapat membantu dengan cara: 1) Menemani atau menjadi teman bagi korban
bullying, misalnya dengan mengajak bermain atau berkegiatan bersama. 2)
Menjauhkan korban dari situasi-situasi yang memungkinkan ia mengalami bullying. 3)
Mengajak korban bicara mengenai perlakuan yang ia terima, mendengarkan ia
bercerita dan mengungkapkan perasaannya. 4) Apabila dibutuhkan, membantu
korban mengadukan permasalahannya kepada orang dewasa yang dapat dipercaya.
Kelima. Membantu anak menemukan minat dan potensi mereka. Dengan mengetahui
minat dan potensi mereka, anak-anak akan terdorong untuk mengembangkan diri dan
bertemu serta berteman dengan orang-orang yang memiliki minat yang sama. Hal ini
akan meningkatkan rasa percaya diri dan mendukung kehidupan sosial mereka
sehingga membantu melindungi mereka dari bullying. Terhadap anak-anak yang
berisiko terkena bullying atau menjadi korban bullying, lakukan langkah berikut ini :
1) Jangan membawa barang-barang mahal atau uang berlebihan. Merampas, merusak,
atau menyandera barang-barang korban adalah tindakan yang biasanya dilakukan
pelaku bullying. Oleh karena itu, sebisa mungkin jangan beri mereka kesempatan
membawa barang mahal atau uang yang berlebihan ke sekolah. 2) Jangan sendirian.
Pelaku bullying melihat anak yang menyendiri sebagai “mangsa” yang potensial. Oleh
karena itu, jangan sendirian di dalam kelas, di lorong sekolah, atau tempat-tempat sepi
lainnya. Kalau memungkinkan, beradalah di tempat di mana guru atau orang dewasa
lainnya dapat melihat. Akan lebih baik lagi, jika anak tersebut bersama-sama dengan
teman, atau mencoba berteman dengan anak-anak penyendiri lainnya. 3) Jangan cari
gara-gara dengan pelaku bullying. 4) Jika anak tersebut suatu saat terperangkap dalam
situasi bullying, kuncinya adalah tampil percaya diri. 5) Jangan memperlihatkan diri
seperti orang yan lemah atau Peningkatan ketakutan. 6) Harus berani melapor pada
orang tua, guru, atau orang dewasa lainnya yang dipercayainya. Ajaklah anak tersebut
untuk berani bertindak dan mencoba. Keenam. Memberi teladan lewat sikap dan
perilaku. Sebaik dan sebagus apapun slogan, saran serta nasihat yang mereka
dapatkan, anak akan kembali melihat pada lingkungan mereka untuk melihat sikap
dan perilaku seperti apa yang diterima oleh masyarakat. Walaupun tidak terlihat
demikian, anak-anak juga memerhatikan dan merekam bagaimana orang dewasa
mengelola stres dan konflik, serta bagaimana mereka memperlakukan orang-orang
lain di sekitar mereka. Apabila kita ingin ikut serta dalam memerangi bullying, hal
paling sederhana yang dapat kita lakukan adalah dengan tidak melakukan bullying
atau hal-hal lain yang mirip dengan bullying. Disadari maupun tidak, orang dewasa
juga dapat menjadi korban ataupun pelaku bullying, misalnya dengan melakukan
bullying di tempat kerja, ataupun melakukan kekerasan verbal terhadap orang-orang
di sekitar kita.

Upaya Mengatasi Tindak Kekerasan (Bullying) Melalui Pendidikan Karakter

Berikut upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi dan menanggulangi tindak
kekerasan melalui pendidikan karakter: (1) memperkuat pengendalian sosial, hal ini
dapat dimaknai sebagai berbagai cara yang digunakan pendidik untuk menertibkan
peserta didik yang melakukan penyimpnagan, termasuk tindak kekerasan dengan
melakukan pengawasan dan penindakan; (2) mengembangkan budaya meminta dan
memberi maaf; (3) menerapkan prinsip-prinsip anti kekerasan; (4) memberikan
pendidikan perdamaian kepada generasi muda; (5) meningkatkan dialog dan
komunikasi intensif anatar siswa dalam sekolah (6) meneydiakan katarsis; (7)
melakukan usaha pencegahan tindak kekerasan (bullying) di sekolah.

Pendidikan karakter merupakan suatu karakteristik individu atau kelompok yang


memiliki nilai, keterampilan, kapasitas moral, dan teguh serta konsisten dalam
menghadapi masalah (Alkrienciechie, 2013:42). Dengan kata lain, setiap individu atau
kelompok dapat mempertanggungjawabkan dari keputusan yang telah diperbuatnya.
Dalam pasal 1 undang-undang menjelaskan bahwa tujuan dari Sistem Pendidikan
Nasional (Sisdiknas) yaitu menghasilkan mengembangkan potensi serta menghasilkan
generasi yang cerdas, pintar, berkepribadian, serta berakhlak mulia. Menurut Ratna
Megawangi (2003) terdapat 9 pilar dalam indikator pendidikan karakter, yaitu:

1. Cinta terhadap Tuhan dan segala bentuk serta jenis ciptannya.


2. Memiliki kerpibadian yang disiplin, tanggung jawab, dan mandiri.
3. Tulus dan berpendidikan.
4. Sopan dan santun.
5. Saling membantu dan dermawan.
6. Kreatif, percaya diri, dan kerja keras.
7. Adil dan kepemimpinan.
8. Rendah hati dan baik
9. Cinta terhadap perdamaian, toleran, dan menjaga persatuan.

Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi dan mengatasi tindak kekerasan
melalui pendidikan karakter sebagai berikut:

1. Memperkuat kontrol sosial, hal ini dapat diartikan sebagai berbagai cara yang
digunakan pendidik untuk mendisiplinkan peserta didik yang melakukan
pelanggaran, termasuk tindakan kekerasan dengan memantau dan menindak.
2. Mengembangkan budaya meminta dan mengampuni.
3. Menerapkan prinsip-prinsip non-kekerasan.
4. Memberikan pendidikan perdamaian terhadap sesama bagi generasi muda.
5. Peningkatan dialog dan komunikasi intensif antar siswa di sekolah.
6. Melakukan katarsis.
7. Melakukan upaya-upaya pencegahan tindakan kekerasan (pelecehan)
disekolah.

Adapun yang dapat bertanggung jawab atas penerapan pendidikan karakter adalah
orang tua, sebab pola didik memberikan efek yang besar dan memegang peranan
penting dalam perkembangan anak. Maka dari itulah pola didik orang tua harus
diterapkan dengan benar dan membimbing anak untuk selalu mengimplementasikan
pendidikan karakter sejak dini. Bukan hanya orang tua saja, gurupun TK/PAUD juga
memegang peranan penting dalam mendidikan siswa untuk menerapkan pendidikan
karakter. Dalam waktu inilah guru dapat menjadi role mode yang di mana harus
berinteraksi aktif terhadap siswanya, serta menerapkan metode pembelajaran sambil
bermain dalam pengembangan emosional siswanya. Dalam fase inilah, sebagai guru
harus dapat membangun kecerdasan emosional siswanya secara benar dan intens.
Sebab menurut penelitian Daniel Goleman kecerdasan anak didominasi oleh
kecerdasan emosional (EQ) sebanyak 80% sedangkan kecerdasan otak (IQ) hanya 20%.
Selain peranan dari orang tua dan institusi pendidikan, pemerintah juga harus
memegang peranan dalam membangun pendidikan karakter melalui kebijakan,
regulasi, dan anggarannya. Sebab karena pendidikan karakter inilah akan
menumbuhkan kepribadian nasionalsime, semangat, saling menghormati, saling
menjaga, saling membantu, dan sebagainya. Negara yang maju bukan bertumpu pada
kekayaan sumber daya alamnya (SDA) melainkan terhadap implementasi pendidikan
karakter pada warganya (SDM) secara sistematis. Sudah banyak negara yang
menerapkan pendidikan karakter secara sistematis, seperti negara : Jepang, Britania
Raya, dan China.
KESIMPULAN
Bullying merupakan suatu bentuk kekerasan anak yang dilakukan teman sebaya
kepada seseorang anak yang lebih rendah atau lebih lemah untuk mendapatkan
keuntungan atau kepuasan tertentu. Uapya tindak kekerasan dapat dilakukan melalui
pendidikan karakter. Keberhasilan remaja dalam proses pembentukan kepribadian
yang wajar dan pembentukan kematangan diri membuat mereka mampu menghadapi
berbagai tantangan dan dalam kehidupannya yang akan dating. Bangsa Indonesia
telah berusaha untuk meningkatkan kesesuaian dan mutu pendidikan karakter melalui
sekolah- sekolah. Guru adalah orang tua para siswa. Pendidikan karakter bertujuan
untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang
mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik
secara utuh, terpadu dan seimbang. Sekolah berperilaku proaktif dengan membuat
program pengajaran keterampilan social, problem-solving, manajemen konflik, dan
pendidkan karakter. Guru memantau perubahan sikap dan tingkah laku siswa di
dalam maupun di luar kelas shingga perlu adanya kerjasama yang harmonis antara
guru BK, guru mata pelajaran serta karyawan sekolah. Sebaiknya orang tua menjalin
kerjasama dengan pihak sekolah untuk tercapainya tujuan pendidikan secara
maksimal tanpa adanya tindakan bullying antar pelajar di sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Nunuk Sulisrudatin, SH, SIP, MSI. KASUS BULLYING DALAM KALANGAN
PELAJAR (SUATU TINJAUAN KRIMINOLOGI). Jurnal Ilmiah Hukum
Dirgantara – Fakultas Hukum Universitas Suryadarma | Volume 5 No.2,
Maret 2015
Putri, Elsya Derma. (2022). Kasus Bullying di Lingkungan Sekolah : Dampak
Serta Penanganannya. Keguruan : Jurnal Penelitian, Pemikiran dan
Pengabdian. 10(2).
Yuyarti. Mengatasi Bullying Melalui Pendidikan Karakter. Jurnal Kreatif 9 (1)
2018.
Kompas. https://amp.kompas.com/regional/read/2023/03/13/170024778/
kasus-bullying-siswi-di-lombok-tengah-berakhir-damai-korban-cabut-
laporan. ( Maret 2023 ).
Muhammad Rizky Octavianto. BULLYING BEHAVIOR AT HIGH SCHOOL IN
YOGYAKARTA CITY. Jurnal Riset Mahasiswa Bimbingan dan
Konseling, Volume 3, Nomor 8, Agustus 2017.
Tribun Lombok. Maret 2023
https://lombok.tribunnews.com/amp/2023/03/13/kasus-bullying-
siswi-smk-di-pujut-lombok-tengah-berakhir-damai-kepsek-sebut-alasan-
kemanusiaan
Kompasiana.
https://www.kompasiana.com/ilhamalivian5897/6211a1c0bb4486765d2
da0d4/upaya-penanganan-bullying-melalui-pendidikan-karakter
Ilham Alivian, Afifah Aleyda Zahra, Chairunnisa Fitri Prasetya, Dwi Rizki
Nurrahman. UPAYA PENANGANAN BULLYING MELALUI
PENDIDIKAN KARAKTER.

Anda mungkin juga menyukai