Anda di halaman 1dari 18

TUGAS PROPOSAL

Perilaku Bullying Sosial Anak Usia Dini

DOSEN PEMBIMBING :
Sipaliana, M.A

DISUSUN OLEH :
AZIZ RIO KAUSAR ( 1711290002)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BENGKULU


FAKULTAS TARBIYAH DAN TADRIS
PRODI BAHASA INDONESIA
2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Di seluruh dunia, fenomena bullying merupakan suatu hal yang umum di taman
kanak-kanak maupun sekolah dasar sesuai dengan Piagam Hak Asasi Anak-Anak, siswa
memiliki hak untuk merasa aman dan untuk memperoleh pendidikan. Fenomena ini
muncul dalam interaksi sosial di antara teman sebaya. Anak-anak dan remaja
menghabiskan waktu minimal 6 jam sehari di sekolah sehingga interaksi dengan teman
sebaya serta guru menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari mereka.
Anak usia dini adalah investasi masa depan bagi keluarga dan bangsa. Nantinya,
anak usia dini akan menjadi orang-orang yang akan membangun bangsa Indonesia
menjadi bangsa yang maju dan tidak tertinggal dari bangsa-bangsa lain. Dengan kata lain,
masa depan bangsa sangat ditentukan oleh pendidikan yang diberikan kepada anak usia
dini. Di Indonesia, pendidikan yang diperuntukkan untuk anak usia 0 – 6 tahun ini
dikenal sebagai Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Pendidikan anak usia dini menjadi
pendidikan yang penting bagi seseorang anak. Hal ini berkaitan dengan masa
pertumbuhan dan perkembangan otak anak yang sudah mencapai 80% pada usia 6 tahun.
Pada usia tersebut segala sesuatu yang diterima anak akan dapat memberikan bekas yang
kuat dan tahan lama. Kesalahan dalam mendidik anak akan memberikan efek negatif
jangka panjang yang sulit diperbaiki (Slamet Suyanto, 2005:2).
Fakta menunjukkan, bullying terhadap anak yang terjadi di Indonesia bukan
fenomena yang baru di lingkungan sekolah, tempat tinggal dan lingkungan bermain anak.
Menurut Ken Rigby dalam buku Ponny Retno Astuti, bullying merupakan hasrat untuk
menyakiti, yang diaktualisasikan dalam aksi sehingga menyebabkan seorang individu
atau kelompok menderita. Aksi ini dilakukan secara langsung oleh seseorang atapun
kelompok yang lebih kuat, biasanya kejadiannya berulangkali dan pelaku tersebut
melakukan bullying dengan perasaan senang.
Menurut Coloroso (2003) bullying adalah tindakan bermusuhan yang dilakukan
secara sadar dan disengaja yang bertujuan untuk menyakiti, seperti menakuti melalui
ancaman agresi dan menimbulkan teror. Termasuk juga tindakan yang direncakan
maupun yang spontan, bersifat nyata atau hampir tidak kentara, di hadapan seseorang
atau di belakang seseorang, mudah untuk diidentifikasi atau terselubung dibalik
persahabatan, dilakukan oleh seorang anak atau kelompok anak. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa perilaku bullying adalah suatu tindakan negatif berulang yang
dilakukan secara sadar dan disengaja yang bermaksud untuk menyebabkan
ketidaksenangan atau menyakitkan orang lain. Bullying adalah jenis yang paling umum
dari agresi dan korban yang dialami oleh anak-anak usia sekolah (O'Brennan, Bradshaw,
& Sawyer, 2009). Bullying terjadi pada semua tingkat usia, tetapi mulai meningkat pada
akhir sekolah dasar, puncak di sekolah menengah, dan umumnya menurun di sekolah
tinggi. Bullying mempengaruhi baik anak laki-laki dan perempuan. Anak laki-laki lebih
sering terlibat dalam agresi fisik (Liu & Graves, 2011).
Menurut Suharto dalam buku Abu Huraerah, dijelaskan bahwa korban bullying
biasanya memiliki ciri-ciri sebagai berikut: keluarga miskin, memiliki cacat fisik, berasal
dari keluarga yang broken home sehingga hal ini menyebabkan belum matang proses
pemikiran secara psikologis. Perilaku bullying dapat disebabkan oleh berbagai faktor.
Faktor-faktor yang terdiri faktor internal dan faktor eksternal. Faktor eksternal yang dapat
menyebabkan munculnya perilaku bullying pada anak adalah faktor keluarga, lingkungan
dan teman sebaya. Sedangkan, faktor internal meliputi karakteristik kepribadian dan
adanya sifat pengganggu yang dimiliki anak. Sifat pengganggu ini biasanya muncul
karena terjadinya interaksi yang kurang baik antara sesama teman sebaya serta kurangnya
identifikasi kelompok. Seperti diketahui, anak taman kanak-kanak akan mengalami
perkembangan dalam hubungan dengan orang lain dan mulai membentuk sebuah
kelompok yang terdiri dari anak-anak yang memiliki usia serta minat yang sama (Wong,
et.al. 2001/2002).
Dampak lain dari perilaku bullying pada masa kanak-kanak erat kaitannya dengan
perilaku anti-sosial pada masa mendatang setelah anak tumbuh menjadi dewasa (Milson
& Gallo, 2006). Selain itu, menurut hasil penelitian yang dilakukan yayasan SEJIWA
pada tahun 2006 menyebutkan bahwa selama periode tahun 2002-2005 telah terjadi 30
kasus bunuh diri yang menimpa korban bullying pada rentang usia 6 – 15 tahun (Sahnaz,
2011). Peneliti berpendapat bahwa dengan mengetahui angka kejadian bullying di
sekolah dasar maka pemerintah, pihak sekolah, orang tua maupun pihat yang terkait dapat
merancang tindakan pencegahan untuk meminimalisasi dampak yang timbul akibat
bullying. Dampak yang ditimbulkan akibat perilaku bullying ini tidak hanya
mempengaruhi kehidupan pada saat ini, akan tetapi dapat berdampak pada kehidupan
anak setelah anak tumbuh untuk mengetahui (Milsom & Gallo, 2006).
Penelitian Wong (dalam Sintha, 2011), yaitu 38% responden menyatakan bahwa
mereka melakukan bullying karena mereka ingin membalas dendam setelah menjadi
korban bullying. Korban merasa tertindas dan tersakiti oleh orang dewasa atau anak-anak
yang lebih tua, ia melakukan bullying kepada yang lain untuk mendapatkan suatu obat
bagi ketidakberdayaan dan kebencian akan dirinya sendiri. Korban akan membalas
dendam secara keji ke orang-orang yang melukai dirinya.
Penelitian dengan judul “Faktor Dominan yang Mempengaruhi Kemampuan
Berinteraksi Sosial” Program Studi Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini FKIP
Untan oleh Benny Dikta Rianggi Ria. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan
faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan berinteraksi sosial pada anak yang
bermasalah di kelompok usia 5-6 tahun TK Barunawati Pontianak Barat. Sumber data
terdiri dari 4 guru di kelompok anak usia 5-6 tahun, 4 orang tua subyek kasus, dan 4 anak
sebagai subyek kasus. Hasil analisis data menunjukkan bahwa konsep diri anak
merupakan faktor internal yang dominan mempengaruhi kemampuan berinteraksi sosial
anak. Sedangkan dorongan dari guru merupakan faktor eksternal yang dominan
memperngaruhi kemampuan berinteraksi sosial anak. Faktor yang paling dominan
mempengaruhi kemampuan berinteraksi sosial anak adalah dorongan dari guru.
Perkembangan sosial anak sangat tergantung pada individu anak, peran orang tua, dewasa
lingkungan masyarakat dan termasuk Taman Kanak-kanak. Adapun yang dimaksud
dengan perkembangan sosial anak adalah bagaimana anak usia dini berinteraksi dengan
teman sebaya, orang dewasa dan masyarakat luas agar dapat menyesuaikan diri dengan
baik sesuai apa yang diharapkan oleh bangsa dan negara. Ada kaitan erat antara
keterampilan bergaul dengan masa bahagia dimasa kanak-kanak. Kemampuan anak untuk
menyessuaikan diri dengan lingkungan. Penerimaan lingkungan serta pengalaman-
pengalaman positif lain selama melakukan aktivitas sosial merupakan modal dasar yang
sangat penting untuk satu kehidupan sukses dan menyenangkan dimasa yang akan
datang, apa anak dipupuk dimasa kanak-kanak akan mereka petik buahnya dimasa
dewasa kelak. Namun, kita semua tahu keterampilan bergaul harus dipelajari, dan masa
awal kehidupan, anak belajar dari orangorang yang terdekat dengan dalam hal ini, orang
tua. Itu sebabnya, selain membimbing dan mengajarkan anak bagaimana cara bergaul
dengan tepat, orang tua juga dituntut untuk menjadi model yang baik bagi anaknya.
Betapa tidak, anak-anak usia dini yang senang meniru akan meniru apa saja yang
dilakukan orang tuanya, termasuk cara bergaul mereka dengan lingkungan. Peran orang
tua dalam mengembangkan keterampilan bergaul anak memang benar selain memberi
anak kepercayaan dan kesempatan, orang tua juga diharapkan memberi penguatan lewat
pemberian rangsangan ganjaran atau hadiah kalau anak bertingkah laku positif atau
hukuman kalau ia melakukan kesalahan.
BAB II
LANDASAN TEORITAS KERANGKA BEPIKIR

A. mendefinisikan bullying
sebagai penekanan atau penindasan berulang-ulang, secara psikologis atau fisik
terhadap seseorang yang memiliki kekuatan atau kekuasaan yang kurang oleh orang atau
kelompok orang yang lebih kuat. Sementara itu Elliot (2005) mendefinisikan bullying
sebagai tindakan yang dilakukan seseorang secara sengaja membuat orang lain takut atau
terancam. Bullying menyebabkan korban merasa takut, terancam atau setidak-tidaknya
tidak bahagia. Definisi yang diterima secara luas adalah yang dibuat Olweus (2004) yang
menyatakan bahwa siswa yang melakukan bullying adalah ketika siswa secara berulang-
ulang dan setiap saat berperilaku agresif terhadap seorang atau lebih siswa lain. tindakan
negatif disini adalah ketika seseorang secara sengaja melukai atau mencoba melukai, atau
membuat seseorang tidak nyaman. Intinya secara tidak langsung tersirat dalam definisi
perilaku agresif. Murphy (2009) memandang bullying sebagai keinginan untuk menyakiti
dan sebagian besar harus melibatkan ketidakseimbangan kekuatan serta orang atau
kelompok yang menjadi korban adalah yang tidak memiliki kekuatan dan perlakuan ini
terjadi berulang-ulang dan diserang secara tidak adil.
Menurut Veenstra, et.al (2005), perilaku bullying adalah agresi yang berulang-
ulang, yang dilakukan seseorang atau lebih dengan maksud menyakiti atau mengganggu
orang lain secara fisik (memukul, menendang, mendorong, mengambil, atau merebut
sesuatu milik orang lain), secara verbal (mengejek, mengancam) atau secara psikologis
(mengeeluarkan temannya dari kelompok, menceritakan temannya).
Olweus berpendapat tidak ada perbedaan yang signifikan antarabullied dengan
bullying dalam perbedaan kelas sosial (Pereira dkk., 2004). Menurut para siswa di
Amerika perilaku bullying yang dianggaplegal adalah ungkapanungkapan secara verbal
atau yang sering disebutdengan memberikan nama-nama panggilan yang buruk atau yang
baik(Santrock, 2001). Bullying adalah interaksi antara individuyang melakukan bullying
(individu yang dominan) terhadap individuyang kurang memiliki dominan dengan cara
menunjukan perilaku agresif(Craig, Pepler dan Atlas, 2000). Menurut Olweus, bullying
adalah bentuk-bentuk perilaku dimana terjadi pemaksaan atau usaha menyakitisecara
psikologis ataupun fisik terhadap seseorang atau sekelompok orang yang lebih “lemah”,
oleh seseorang atau sekelompok orang yang lebih “kuat” (Djuwita, 2006).
1. Jenis bullying
a. Bullying verbal
Penindasan dalam bentuk verbal adalah penindasan yang paling sering dan
mudah. Bullying biasanya merupakan awal dari perilaku bullying lainnya dan
dapat menjadi langkah pertama menuju kekerasan lebih lanjut. Contoh-contoh
penindasan verbal meliputi: nama panggilan, mencela, memfitnah, kritik kejam,
penghinaan, pernyataan pelecehan seksual, teror, mengintimidasi surat, tuduhan
palsu, tuduhan yang kejam dan salah, gosip, dll.
“Para pelaku bully biasanya melakukan sebuah kekerasan, ancaman hingga
paksaan untuk menyalahgunakan atau mengintimidasi si korban. Bully bisa
bersifat secara emosional, fisik, verbal, dan cyber. Korabn bully biasanya akan
merasa takut, trauma bahkan yang paling fatal meninggal dunia sebagai korban
kekerasan atau bunuh diri”( halaman ini dipetik dari liputan6.com)
b. Bullying fisik
Penindasan paling mudah terlihat dan mudah diidentifikasi, tetapi insiden
bullying secara fisik tidak sebesar penindasan dalam bentuk lain. Remaja yang
secara teratur melakukan bullying dalam bentuk fisik sering menjadi remaja yang
paling bermasalah dan cenderung pindah ke tindakan kriminal lebih lanjut.
Contoh-contoh intimidasi fisik adalah: memukul, menendang, menampar,
mencekik, menggigit, menggaruk, meludah, merusak dan menghancurkan barang-
barang milik anak yang tertindas.
“begitupun dengan bocah laki-laki ini, ia dipaksa oleh temanya hingga menerima
tusukan yang berasal dari pensil di dadanya”(halaman dipetik dari
liputan6.com)
c. Bullying relasional
Bullying relasional dilakukan dengan memutuskan hubungan sosial seseorang
dengan tujuan melemahkan harga diri korban secara sistematis melalui
pengabaian, pengucilan, atau penghindaran. Penindasan dalam bentuk ini paling
sulit dideteksi dari luar. Contoh-contoh bullying relasional adalah perilaku atau
sikap tersembunyi seperti pandangan agresif, pandangan mata, mendesah,
mencemooh, mencemooh tawa dan mengejek bahasa tubuh.
“dia menghasut teman lainya supaya tidak lagi berteman dengan teman yang
dia tidak sukai. Setelah kami cek, orang tuanya ternyata mendidiknya penuh
dengan kekerasan seperti mebentak, memukul dan sekikara itu anaknya jadi
kebiasaan anak yang dilakukan disekolah”( halaman ini dipetik dari
liputan6.com)
d. Bullying elektronik
Bullying elektronik adalah bentuk perilaku bullying oleh pelaku melalui
sarana elektronik seperti komputer, telepon seluler, internet, situs web, ruang
obrolan, email, SMS, dan sebagainya. Biasanya dimaksudkan untuk meneror
korban menggunakan tulisan, animasi, gambar dan rekaman video atau film yang
mengintimidasi, melukai atau menikung.
“banyak kasus awal kenakalan anak karnah menonton telvisi. Seharusnya porsi
seperti kekerasan,cerita anak yang melawan orang tuanya itu harus dikurangi.
Sehingga kenakalan anak itu bisa dihindari sedini mungkin”( halaman ini dipetik
dari GOODHOUSEKEEPING.COM )
- Alasan mengapa bullying terjadi:
 pembully ingin dianggap dan dikenal berkuasa, karena mereka sebenarnya
orang yang lemah.
 pembully biasanya tidak memiliki perhatian orang-orang di sekitarnya dan
akhirnya mencari pehatian dengan menghina orang lain, dll.
 Para pembuly biasanya sudah pernah dibully dan mungkin menjadi korban
kekerasan, baik di sekolah maupun di luar sekolah.
 Para pembuly biasanya berkelahi.
 Para pembuly biasanya ingin terlihat kuat dan keren sebagai hasilnya, sering
meniru tindakan kekerasan (film atau game).
o Dampak bullying bagi korban:
 Sulit makan atau malas makan, karena takut dan gelisah
 Rasa sakit fisik jika Anda menggunakan kekerasan
 Kesal dan marah karena Anda tidak dapat membalas
 Malu dan kecewa pada diri sendiri karena Anda hanya bisa membiarkannya
 Rendah kepercayaan diri / rendah diri
 Pemalu dan kesepian
 Menurunnya prestasi akademik
 Merasa terisolasi dalam asosiasi
 Depresi yang menyebabkan berpikir atau bahkan mencoba bunuh diri
e. Penyebab bullying dalam remaja
a. Kurang perhatian
Rendahnya keterlibatan serta perhatian orang tua kepada anak membuat
anak jadi suka mencari perhatian di lingkungan sekitarnya. Ada yang memilih
untuk berprestasi dan menunjukan kemampuannya demi mendapatkan perhatian.
Namun, sayangnya, ada juga yang memilih untuk melakukan bullying dan
membuat onar bahkan keributan demi mendapatkan perhatian orang tuanya. Hal
ini sangat penting diperhatikan bagi kamu yang akan menjadi orang tua agar
selalu menjaga kadar perhatian kepada sang buah hati dengan memberikan
perhatian yang cukup.
“bocah malang itu ingin mengumpulkan tugasnya sebelum gurunya marah,
namun hal itu dihalangi oleh salah satu temanya , sipelaku bullying mengatakan
kepada bocah malang itu untuk tidak mengumpulkannya. Namun ia tetap
menyerahkan perkerjannya yang menyebabakan sih penggangu marah dan
menusuknya dengan pensil tumpul”( halaman ini dipetik liputan6.com)
b. Ingin berkuasa
Anak yang suka melakukan tindakan bullying biasanya sedang menunjukan
kekuasaan dan kekuatannya demi mendapatkan pengakuan dari sekitar dengan
menindas yang lemah dan menginginkan anak lain untuk mengikutinya di bawah
tekanan rasa takut. Kalau kamu melihat orang yang arogan, bersikap bossy, bisa
jadi dia suka menindas orang lemak dan anak yang tidak mau menurut
dengannya.
“si murid laki-laki yang sama mengambil uang saku anaknya. Pernah juga,kata
dia tanpa sebab apapun anaknya didorong sampai jatu. Selain itu,bekal anaknya
juga pernah diambil paksa lalu ditumpahkan ketanah setelah itu diinjak-injak.”
( hamlan ini dipetik dari GOOHOSEKEEPING.COM )
c. Pola asuh dalam keluarga
Tak salah jika banyak yang mengatakan bahwa keluarga adalah faktor utama
permasalahan yang terjadi pada anak karena keluarga merupakan pendidik
pertama dan utama. Sikap bullying merupakan pengembangan dari sikap anak
yang agresif. Mereka yang mengembangkan perilaku agresif tumbuh dalam
pengasuhan yang tidak kondusif, mulai dari kedekatan yang tidak aman dengan
pengasuhnya, tuntutan disiplin yang terlalu tinggi dari orang tuanya dan bahkan
masalah hubungan kedua orang tuanya: konflik suami-istri, depresi, antisosial dan
bahkan melakukan tindakan kekerasan di rumah.
“Anak hanya bisa imitasi sehingga ketika perilaku salah yang dicontohkan kdua
orangtuanya dibawa ke sekolah, secara lingkungan mereka belum bisa
mengimitasi lebih luas sehingga dampaknya, Ia akan bersikap buruk dengan
membawa masalahnya ke lingkungan sekolah” ( halaman ini dipetik dari
liputan6.com )
d. Ekspos kekerasan dari media
Tak dapat dipungkiri bahwa media memiliki peran yang sangat penting dalam
kehidupan manusia. Bahkan, media juga menjadi kebutuhan pokok yang harus
dipenuhi. Mulai dari televisi, surat kabar dan bahkan media online mengandung
topik yang berkembang begitu pesat. Tak heran, tindak kekerasan juga banyak
ditemukan di media, seperti adegan dalam sinetron atau reality show yang
menunjukan adegan kekerasan, bullying, game atau melalui sosial media. Pada
dasarnya, anak-anak yang masih dalam tahap belajar dan memiliki rasa penasaran
tinggi akan menirukan hal-hal yang mereka lihat tersebut tanpa menyaringnya.
“Banyak kasus awal kenakalan anak karena menonton (mencontoh apa yang dilihat)
televisi. Seharusnya porsi seperti kekerasan, cerita anak yang melawan orangtuanya itu
harus dikurangi. Sehingga kenakalan anak itu bisa dihindari sedini mungkin” ( halaman
ini dipetik dari GOODHOUSEKEEPING.COM )
B. Faktor penyebab terjadinya bullying
Akhir-akhir ini di media sedang ramai kasus bullying. Hal ini seakan menjadi momok bagi
masyarakat khususnya anak-anak dan remaja. Kalian pasti penasaran tentang bullying, jadi aku
akan bahas. Bullying berasal dari bahasa inggris yang artinya menggertak. Secara terminologi,
bullying adalah perilaku menyimpang yang dilakukan oleh seseorang yang memiliki perilaku
dominan lebih kuat kepada seseorang yang lebih lemah dengan cara menggertak, atau
menciptakan suasana tidak nyaman bagi korban secara terus menerus sehingga korban merasa
paranoid terhadap seseorang yang menggertaknya.
1. Faktor Lingkungan
Tak bisa dipungkiri, lingkungan merupakan faktor terbesar dalam
terbentuknya suatu sikap. Memang benar kata pepatah bahwa kalau kita bergaul
dengan tukang parfum, maka kita akan ketularan wanginya. Seorang yang bergaul
di dalam lingkungan yang buruk tanpa self defence yang kuat, maka dia lebih
besar peluangnya terpengaruh sesuatu yang buruk. Sebaliknya seseorang yang
bergaul dalam lingkungan yang baik, maka lebih besar peluangnya terpengaruh
sesuatu yang baik. Maka tak heran lingkungan menjadi salah satu agent of
change.
“Anak hanya bisa imitasi sehingga ketika perilaku salah yang dicontohkan kdua
orangtuanya dibawa ke sekolah, secara lingkungan mereka belum bisa
mengimitasi lebih luas sehingga dampaknya, Ia akan bersikap buruk dengan
membawa masalahnya ke lingkungan sekolah”(halaman ini dipetik dari
liputan6.com)
2. Media
Media menjadi salah satu penyumbang besar dalam terbentuknya suatu
sikap. Di Indonesia sendiri, masih banyak tontonan yang tidak mengajarkan
perilaku yang baik atau dampak yang baik bagi viewersnya, lebih-lebih tayangan
tersebut ditayangkan pada prime time. Perlu dilakukan moratorium terhadap
tayangan di Indonesia. Bukan hanya tv, internet menjadi ladang subur penyebaran
sikap buruk. Internet yang kita gunakan selama ini belum sepenuhnya safety,
masih banyak konten yang perlu diteliti lebih lanjut agar tidak berdampak buruk
pada masyarakat.
“ mungkin kasus bullying di Indonesia tidak sekstrem di luar negeri karena
budaya yang kuat. Tapi tetap saja, memberikan pemahaman ke anak tentang
tindak kekerasan perlu disikapi. Caranya, misalnya dengan mengawasi anak saat
menonton televisi atau berkomunikasi dengan guru di sekolah” ( halaman ini
dipetik liputan6.com )

3. Hubungan Keluarga
Keharmonisan keluarga juga berpengaruh pada terbentuknya sikap
seseorang. Jika kondisi keharmonisan suatu keluarga sedang buruk, maka anggota
keluarga yang lain berpotensi mencari pelampiasan, salah satunya dengan
melakukan bullying.
“Anak hanya bisa imitasi sehingga ketika perilaku salah yang dicontohkan kdua
orangtuanya dibawa ke sekolah, secara lingkungan mereka belum bisa
mengimitasi lebih luas sehingga dampaknya, Ia akan bersikap buruk dengan
membawa masalahnya ke lingkungan sekolah,”( halaman ini dipetik dari
liputan6.com)
BAB III
METODE PENELITIAN

Menurut Olweus (Craig, Pepler dan Atlas, 2000) karekteristikdari para korban bullying
(victims) adalah korban merupakan individu yang pasif, cemas, lemah, kurang percaya diri,
kurang popular danmemiliki harga diri yang rendah. Korban tipikal bullying juga bisanyaadalah
anak-anak atau remaja yang pencemas, yang secara sosial menarikdiri, terkucil dari kelompok
sebayanya dansecara fisik lebih lemahdibandingkan kebanyakan teman sebayanya (Krahe,
2005). Sedangkanpelaku bullying biasanya kuat, dominan dan asertif dan biasanya pelakujuga
memperlihatkan perilaku agresif terhadap orang tua, guru, danorang-orang dewasa lainnya
(Krahe, 2005). Sedangkan menurut Olweuspelaku bullying biasanya kuat, agresif, impulsive,
menunjukan kebutuhanatau keinginan untuk mendominasi dan memperlihatkan kekerasan
(Berthold dan Hoover, 2000).
Menurut Hurlock dalam Susanto (2011:131) bahwa masa periode perkembangan anak di
bagi menjadi dua, yaitu masa awal dan akhir anak. Periode awal anak berlangsung dari usia dua
tahun sampai dengan enam tahun maka disebutlah anak usia dini, adapun masa anak akhir yaitu
dari usia enam tahun sampai si anak matang. Banyak sebutan untuk menyebut anak usia dini saat
berkembang, ada yang menyebut masa sulit, masa tumbuh kembang, dan masa pencarian jati
diri.
Menurut Berk, (dalam Sujiono, 2013:6) menjelaskan bahwa Anak usia dini adalah sosok
individu yang sedang menjalani suatu proses perkembangan dengan pesat bagi kehidupan
selanjutnya. Anak usia dini berada pada rentang usia 0-8 tahun pada masa ini proses
pertumbuhan dan perkembangan dalam berbagai aspek sedang mengalami masa yang cepat
dalam rentang perkembangan hidup manusia. Proses pembelajaran sebagai bentuk perlakuan
yang diberikan pada anak harus memperhatikan karakteristik yang dimiliki setiap tahapan
perkembangan anak.
Berdasarkan UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional berkaitan
dengan pendidikan anak usia dini tertulis pada pasal 28 ayat 1 yang berbunyi “pendidikan anak
usia dini diselengarakan bagi anak sejak lahir sampai dengan 6 tahun dan bukan merupakan
persyaratan untuk mengikuti pendidikan dasar”. Selanjutnya pada bab 1 pasal 1 ayat 1 ditegaskan
bahwa pendidikan anak usia dini adalah suatu upya pembinaan yang ditujukan pada anak sejak
lahir sampai usia 6 tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk
membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan
dalam memasuki pendidikan yang lebih lanjut (Depdiknas, USPN,2004:4).
Perkembangan perilaku sosial ana ditandai dengan adanya minat terhadap aktivitas
teman-teman dan meningkatkan keinginan yang kuat untuk diterima sebagai anggota suatu
kelompok, dan tidak puas bila tidak bersama teman-temannya. Anak tidak lagi puas bermain
sendiri di rumah atau dengan saudara-saudara kandung atau melakukan kegiatan dengan
anggota-anggota keluarga anak ingin bersamaan teman-temannya dan akan merasa kesepian
serta tidak puas bila tidak bersama teman-temannya. Dua atau tiga teman tidaklah cukup
baginya. Anak ingin bersama dengan kelompoknya, karena hanya dengan demikian terdapat
cukup teman untuk bermain dan berolah raga, dan dapat memberikan kegembiraan. Sejak anak
masuk sekolah sampai masa puber, keinginan untuk bersama dan untuk diterima kelompok
menjadi semakinkuat. Hal ini, berlaku baik untuk anak laki-laki maupun anak perempuan.
Lingkungan sosial adalah interaksi antara masyarakat dengan lingkungannya.
Lingkungan sosial yang membentuk sistem pergaulan anak yang besar perannya untuk
membentuk kepribadian dan terjadilah interaksi antara orang atau masyarakat di lingkungannya.
Pertama, lingkungan sosial primer adalah lingkungan sosial yang dimana terdapat hubungan
yang erat antara anggota satu dengan anggota yang lainnya. Kedua, lingkungan sosial sekunder
adalah lingkungan sosial yang hubungan antara anggota satu dengan anggota yang lain.
Sosial adalah upaya pengenalan atau sosialisasi seseorang terhadap orang lain yang
berada di luar dirinya atau lingkunganya, serta timbal balik dari segi-segi kehidupan bersama
yang mengadakan hubungan satu dengan lainya, baik dalam segi perorangan atau kelompok.
Proses sosial yang dimaksud berbagai segi kehidupan bersama, misalnya mempengaruhi antara
sosial dan politik, politik dan ekonomi, ekonomi dan hukum. Tetapi proses sosial yang
dimaksudkan ialah termasuk hubungan sosial anak dengan sesamanya, baik teman sebaya atau
orang dewasa bagai mana cara anak bersosialisasi dengan orang lain, seperti dengan lingkungan
rumah, sekolah anggota keluarga, guru, teman sebaya, ataupun masyarakat lingkungan
rumahnya.
Sosial anak usia dini dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu keluarga, masyarakat dan
sekolah. Sosial anak ditandai dengan meluasnya lingkungan pergaulan. Meluasnya lingkungan
sosial menyebabkan anak mendapat pengaruh dari lingkungan orang tua, khususnya dengan
teman sebaya, baik di sekolah maupun di tempat lain. Sosial berlangsung pada masa kanak-
kanak awal (0-3 tahun) subjektif, masa krisis (3-4 tahun) yang disebut tort alter, masa kanak-
kanak akhir (4-6 tahun) disebut subjektif menuju objektif, masa anak sekolah (6-12 tahun)
objektif dan masa krisis (12-13 tahun) atau dengan nama lain yaitu anak tanggung. Untuk
mencapai tujuan sosial anak harus membuat penyesuaian baru dengan meningkatkan pengaruh
kelompok teman sebaya, perubahan dalam perilaku sosial, dan pengelompokan sosial.
Untuk itu terdapat beberapa alasan, mengapa anak harus mempelajari prilaku sosial,
setidaknya ada empat alasan bagaimana yang dikemukakan oleh Sujiono dalam (Susanto
2011:140) sebagai berikut:
a. Agar anak dapat bertingkah laku yang diterima lingkunganya
b. Agar anak dapat memainkan peranan sosial yang bisa diterima kelompoknya, misalnya
berperan sebagi laki-laki dan perempuan.
c. Agar anak dapat mengembangkan sikap sosial yang sehat terhadap lingkunganya yang
merupakan modal penting untuk sukses dalam kehidupan sosialnya kelak.
d. Agar anak mampu menyesuaikan diri dengan baik, dan akibatnya lingkunganya pun dapat
menerimanya dengan senang hati.
BAB IV
KESIMPULAN

Perkembangan sosial merupakan pencapaian kematangan dalam hubungan sosial. Dapat


juga diartikan sebagai proses belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma-nrma kelompok,
moral, dan tradisi; meleburkn diri menjadi suatu kesatuan yang saling berkmunikasi dan
berkerja sama dengan orang banyak. Sehingga anak menjadi anak ekstropet anak yang ramah
dalam bersosialisasi dimana anak untuk mengambi keputusan atas kebersamaan kesepakatan
bersama inilah yang diharapkan oleh bangsa dan Negara. Disisi lain anak intropet artinya anak
tidak mau bersoaialisasi dan mengambil keputusan atas dirinya tanpa memperhatian teman yang
lain. Oleh karena itu, kita sebagai pendidik anak usia dini seyogianya membimbing, membina
dan melatih anak bersosialisasi untuk menjadi orang yang matang bersosial kelak dewasa
menjadi keadilan sosial di masyarakat sesuai dengan sila kelima dari Pancasila.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan sosial AUD: faktor ling-kungan
keluarga: status di keluarga, keutuhan keluarga, sikap dan kebiasaan orangtua; faktor dari luar
rumah; faktor pengaruh pengalaman sosial anak. Usaha guru untuk mengembangkan sosial
AUD: menyediakan sudut berhias; bagi anak-anak yang berusia 3 tahun, alat-alat permainan
yang baik harus mencukupi menggunakan boneka untuk model teknik yang sesuai dalam
memasuki suatu kelompok bermain; mendorong anak-anak untuk membuat keputusan sebanyak
mungkin; model empati dan mempedulikan perilaku serta mendorong anak-anak untuk
melakukan perilaku ini; bermain peran merupakan solusi untuk memecahkan masalah dalam
interaksi sosial.
\

DAFTAR PUSTAKA

Berthold, K. A. and Hoover, J. H., Correlates of Bullying and Victimization among Intermediate
Students in the Midwestern, USA Sage Publication Vol. 21, No.1, 2000.
Coloroso, Stop Bullying (Memutus Rantai Kekerasan Anak dari Prasekolah Hingga SMU),
Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2003.
Craig, W. M., Pepler, D., & Atlas, R., Observational of Bullying in the Playground and in the
Classroom, School Psychology International. 21, 1, 22-36, 2000
Depdiknas, Kerangka Dasar Kurikulum 2004, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2004.
Djuwita, R., Kekerasan Tersembunyi di Sekolah: Aspek-aspek Psikososial dari Bullying. Jakarta:
Tidak diterbitkan, 2006
Elliot, M., Wise Guides Bullying, New York: Hodder Children’s Books, 2005.
https://hot.liputan6.com/read/4021715/bocah-ini-jadi-korban-bully-sampai-ditusuk-dengan-
pensil-kisahnya-viral/diakses/tgl26/10:00
https://lampung.tribunnews.com/2016/01/24/kasus-bullying-di-lampung-anak-tk-rebut-bekal-
temannya-lalu-diinjak-injak/diakses/tgl26/9:00
https://www.liputan6.com/health/read/2027629/rupanya-kasus-bully-sudah-ada-sejak-di-
pendidikan-usia-dini /diakses.tgl26/.8:30.
Huraerah, Abu, Kekerasan Terhadap Anak, Bandung: Nuansa Cendekia, 2012.
Hurlock E. B., Perkembangan Anak Jilid I (Med Meitasari Tjandrasa. Terjemahan), Yogyakarta:
Erlangga, 1978.
Krahe, B., Perilaku Agresif: Buku Panduan Psikologi Sosial. Terjemahan: Drs. Helly Prajitno
Soetjipto, MA & Dra. Sri Mulyantini Soetjipto, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Ria, Benny Dikta Rianggi, dkk., Faktor Dominan yang Mempengaruhi Kemampuan Berinteraksi
Sosial, Pontianak: Universitas Tanjungpura, 2013.

Anda mungkin juga menyukai