Anda di halaman 1dari 10

Referat Tumbuh Kembang dan Pediatri Sosial

BULLYING PADA ANAK

Oleh:
dr. Melisha L. Gaya

Pembimbing:
DR. dr. Eva Chundrayetti, Sp.A(K)
dr. Asrawati, Sp.A(K), M. Biomed

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS/
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
2019

0
Pendahuluan
Bullying merupakan bentuk penyalahgunaan kekuatan yang disengaja dan
berulang-ulang oleh seorang individu kepada individu yang lain dengan maksud
untuk menyakiti atau menimbulkan perasaan tertekan atau stress. Bullying tidak
hanya mengakibatkan kerugian dan tekanan, tetapi juga mengakibatkan gangguan
emosi dan gangguan perkembangan yang dapat terjadi hingga remaja dan dewasa
pada anak yang menjadi korban. Pelaku bullying juga cenderung menjadi agresif
dan melakukan tindakan kriminal ketika dewasa.1
Bullying, terutama pada anak usia sekolah, merupakan masalah kesehatan
publik yang cukup besar, baik secara domestik maupun internasional. 2 Prevalensi
bullying diperkirakan 8-50% di beberapa negara Asia, Amerika, dan Eropa.
Tindakan bullying menempati peringkat pertama dalam daftar hal-hal yang
menimbulkan ketakutan di sekolah.3 Menurut Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI), dari tahun 2011-2017 terdapat 26 ribu pengaduan terkait
masalah tersebut.4
Bullying memiliki berbagai macam bentuk baik secara fisik maupun non
fisik. Ada 4 tipe bullying yaitu fisik, emosional, verbal, dan cyber bullying.
Keempat tipe bullying ini memiliki dampak yang sama kuatnya yang
mengakibatkan rasa takut, stres, kerugian atau membahayakan bagi korban.5
Dari perspektif hukum, bullying melanggar hukum dan terhadap tindakan
bullying dapat dikenakan sanksi pidana. Pemerintah Indonesia telah menetapkan
sanksi yang dapat dikaitkan dengan pelaku bullying. Sanksi tersebut tercantum
pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana pasal 170, 289, 300, 333, 335, 336,
351, 368 dan 369. Pelaku bullying terhadap anak dapat dipidana berdasarkan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana
yang telah diubah oleh Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.6
Pencegahan tindakan bullying ini memerlukan kerjasama seluruh pihak,
tidak hanya dari peran pemerintah dalam membentuk aturan yang tegas tentang
kasus bullying. Orangtua memiliki peran yang penting dalam membina
komunikasi dengan anak. Selain itu, peran sekolah juga penting karena tindakan
bullying paling banyak terjadi di sekolah. Peran sekolah harus menyediakan

1
teman yang aman dan bebas dari intimidasi sehingga setiap anak dapat tumbuh
dan belajar dengan damai.7

Definisi bullying
Konsep bullying diperkenalkan oleh Olweus pada tahun 1994, yang menyebutkan
bahwa orang yang di-bully adalah orang yang berulang kali mengalami aksi
negatif oleh 1 atau lebih orang lainnya, kecuali kasus dimana 2 anak dengan
kekuatan fisik dan psikologis yang serupa bertengkar. Olweus juga menambahkan
bahwa bullying dapat bersifat langsung (serangan terbuka dalam hal fisik maupun
verbal) maupun tidak langsung (eksklusi).8
Menurut American Psychiatric Association (APA), bullying adalah
perilaku agresif yang dikarakteristikkan dengan 3 kondisi yaitu (a) perilaku
negatif yang bertujuan untuk merusak atau membahayakan (b) perilaku yang
diulang selama jangka waktu tertentu (c) adanya ketidakseimbangan kekuatan
atau kekuasaan dari pihak-pihak yang terlibat.1
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perilaku bullying
adalah suatu perilaku negatif yang dilakukan secara berulang-ulang, dilakukan
dengan sadar dan sengaja yang bertujuan untuk menyakiti orang lain secara fisik
maupun emosional, dilakukan oleh seorang anak atau kelompok anak dan
terdapat ketidakseimbangan kekuatan atau kekuasaan dari pihak-pihak yang
terlibat.
Pihak-pihak yang terlibat dalam perilaku bullying yaitu:
1. Bullies (Pelaku bullying)
Pelaku bullying adalah orang yang melakukan tindakan bullying. Biasanya
pelaku bullying memiliki kekuatan secara fisik dengan penghargaan diri yang
baik dan berkembang. Karakteristik anak atau remaja pelaku bullying adalah
hiperaktif, agresif, destruktif, menikmati dominasi atas anak atau remaja
lainnya, mudah tersinggung, dan memiliki toleransi yang rendah terhadap
frustasi. Mereka juga cenderung sulit memproses informasi sosial, sehingga
sering menginterpretasikan secara keliru perilaku anak atau remaja lain
sebagai perilaku bermusuhan, juga saat sikap permusuhan itu ditujukan pada
anak atau remaja lain.9
2. Victim (Korban bullying)

2
Korban bullying adalah seorang yang sering menjadi target dari perilaku
agresif, tindakan yang menyakitkan dan hanya memperlihatkan sedikit
pertahanan melawan penyerangnya.10 Karakteristik korban bullying adalah
mereka yang penampilan perilaku sehari-hari berbeda, ukuran tubuh secara
fisik lebih kecil, lebih tinggi, atau lebih berat badannya dibandingkan
kebanyakan anak atau remaja seusianya, berasal dari latar belakang etnik,
keyakinan atau budaya yang berbeda dari kebanyakan anak atau remaja di
lingkungannya, memiliki kemampuan atau bakat istimewa, keterbatasan
kemampuan tertentu, misalnya attention deficit hyperactivity disorder
(ADHD), gangguan belajar, retardasi mental, dan lainnya. Umumnya anak
atau remaja yang pencemas, mudah gugup, selalu merasa tidak aman, pemalu
pendiam, memiliki cacat fisik atau mental, masalah tingkah laku atau
gangguan perkembangan neurologis.9
3. Bully-victim
Pihak yang terlibat dalam perilaku agresif, tetapi juga menjadi korban
perilaku agresif. Bully-victim menunjukkan level agresivitas verbal dan fisik
yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak lain. Bully victim juga
menunjukkan gejala depresi, merasa sepi, dan cenderung merasa sedih dan
moody daripada murid lain.

Epidemiologi Bullying
Bullying merupakan fenomena yang tersebar di seluruh dunia, tidak hanya di
negara berkembang tetapi juga di negara maju. Menurut The American
Association of School Psychologist terdapat sekitar 160.000 anak menghindari
sekolah akibat takut menjadi korban bullying.11 Penelitian oleh Huneck (2007)
diperkirakan 10-16% pelajar Sekolah Dasar (SD) kelas IV-VI di Indonesia
mengalami bullying sebanyak satu kali per minggu.12 Bullying pada anak paling
sering terjadi di sekolah tetapi belum banyak guru di Indonesia yang menganggap
bullying sebagai masalah serius. Survei di berbagai belahan dunia menyatakan
bahwa bullying paling banyak terjadi pada usia 7 tahun (kelas II SD), dan
selanjutnya menurun hingga usia 15 tahun. Studi lain menyatakan prevalensi
bullying tertinggi pada usia 7 tahun dan 10-12 tahun.

3
Anak laki-laki lebih sering terlibat dalam bullying disbanding anak
perempuan.1 Menurut penelitian yang dilakukan di Iran, dari total jumlah
partisipan 834 siswa kelas 8 dan kelas 9 sekolah menengah pertama, berdasarkan
pola pembullyan, didapatkan hasil 24,7% pembullyan dilakukan secara verbal,
dan 10,3% pembullyan dilakukan secara fisik.13

Klasifikasi Bullying
Terdapat 4 klasifikasi bullying:1
1. Bullying fisik
Bullying yang bersifat fisik dimana terjadi kontak fisik antara pelaku bullying
dengan korban. Jenis ini merupakan bullying yang paling mudah diidentifikasi
karena dapat dilihat oleh mata. Contoh-contoh bullying fisik antara lain
memukul, menarik baju, menjewer, menjambak, menendang, menyenggol
dengan bahu, menghukum dengan membersihkan WC, menampar, menimpuk,
menginjak kaki, menjegal, meludahi, memalak, melempar dengan barang,
menghukum dengan berlari lapangan, menghukum dengan cara push up.
2. Bullying emosional
Jenis bullying yang paling berbahaya karena tidak tertangkap oleh mata atau
telinga kita apabila tidak cukup awas mendeteksinya. Praktik bullying ini
terjadi diam-diam dan diluar jangkauan pemantauan kita. Contohnya antara
lain mencibir, mengucilkan, memandang sinis, memelototi, memandang penuh
ancaman, mempermalukan di depan umum, mendiamkan, meneror lewat
pesan pendek, telepon genggam atau email, memandang yang merendahkan.
3. Bullying verbal
Bullying verbal memiliki kesamaan dengan bullying emosional, dimana akan
menimbulkan gangguan secara emosional terhadap korban. Jenis bullying yang
juga bisa terdeteksi karena bisa terungkap indra pendengaran kita. Contoh
bullying verbal antara lain membentak, meledek, mencela, memaki-maki,
menghina, menjuluki, meneriaki, mempermalukan didepan umum, menyoraki,
menebar gosip, memfitnah.

4. Cyber bullying
Bullying jenis ini merupakan tindakan yang paling banyak terjadi di era

4
modernisasi. Cyber bullying melibatkan internet sebagai media bullying.
Bullying ini dapat melalui pesan singkat via email, website maupun media
sosial.

Dampak Bullying
Terdapat berbagai dampak yang ditimbulkan akibat bullying. Dampak yang
dialami korban bullying tersebut bukan hanya dampak fisik tapi juga dampak
psikis. Bullying tidak hanya berdampak terhadap korban, tapi juga terhadap
pelaku.
- Dampak bagi korban
Pada korban gejala kecemasan dan depresi, gangguan penyesuaian diri,
peningkatan tingkat melukai diri sendiri, bunuh diri dan upaya bunuh diri,
dan gejala psikotik.14 Sebuah penelitian prospektif di Amerika Serikat
terhadap tindakan bullying antara usia 9 dan 16 tahun dengan mengulangi
pengukuran hasil psikiatrik hingga usia 25 tahun mendapatkan bahwa korban
yang juga diintimidasi akan mengalami peningkatan tingkat depresi dan
gangguan kecemasan pada awal masa dewasa, peningkatan risiko untuk
kepribadian antisosial atau gangguan penggunaan narkoba, serta peningkatan
tingkat tekanan psikologis pada usia 23 dan 50 tahun. Para korban bullying
memiliki tingkat depresi, gangguan kecemasan, dan bunuh diri yang lebih
tinggi daripada rekan-rekan mereka yang tidak mendapatkan bullying.15 Hasil
studi yang dilakukan National Youth Violence Prevention Resource Center
Sanders (2009) menunjukkan bahwa bullying dapat membuat remaja merasa
cemas dan ketakutan, mempengaruhi konsentrasi belajar di sekolah dan
menuntun mereka untuk menghindari sekolah. Bila bullying berlanjut dalam
jangka waktu yang lama, dapat mempengaruhi self-esteem siswa,
meningkatkan isolasi sosial, memunculkan perilaku menarik diri, menjadikan
remaja rentan terhadap stress dan depreasi, serta rasa tidak aman. Dalam
kasus yang lebih ekstrim, bullying dapat mengakibatkan remaja berbuat
nekat, bahkan bisa membunuh atau melakukan bunuh diri (commited
suicide).16

5
- Dampak bagi pelaku
Hasil studi yang dilakukan National Youth Violence Prevention Resource
Center Sanders (2009) menunjukan bahwa pada umumnya, para pelaku ini
memiliki rasa percaya diri yang tinggi dengan harga diri yang tinggi pula,
cenderung bersifat agresif dengan perilaku yang pro terhadap kekerasan,
tipikal orang berwatak keras, mudah marah dan impulsif. Para pelaku
bullying ini memiliki kebutuhan kuat untuk mendominasi orang lain dan
kurang berempati terhadap targetnya. Dengan melakukan bullying, pelaku
akan beranggapan bahwa mereka memiliki kekuasaan terhadap keadaan. Jika
dibiarkan terus-menerus tanpa intervensi, perilaku bullying ini dapat
menyebabkan terbentuknya perilaku lain berupa kekerasan terhadap anak dan
perilaku kriminal lainnya.16

Tatalaksana bullying
Tatalaksana komprehensif melibatkan multidisiplin, dokter anak, psikiatri anak,
pekerja sosial, guru/sekolah, orang tua, tokoh masyarakat, pemerintah. Lindungi
anak dari bullying dengan beberapa cara berikut:17
1. Bicara pada pelaku bullying; para penindas pada dasarnya pengecut. Mereka
bertindak jahat dan menjatuhkan orang lain untuk menutupi ketidak-amanan
mereka sendiri dan kurangnya rasa percaya diri. Bullying mudah dijinakkan
ketika kekuasaan dan kontrol diambil.
2. Berdiskusi dengan anak untuk mengatasi bullying yang tidak terlalu parah.
Misalnya, abaikan ejekan atau gangguan non fisik, bersahabat dengan semua
orang lain sehingga anak memiliki teman-teman yang membantu atau
membelanya.
3. Bentuk persahabatan di luar sekolah. Upayakan anak-anak terlibat dalam
kegiatan ekstrakurikuler seperti kursus, kegiatan keagamaan, pramuka, dan
lainnya di mana mereka bisa menciptakan kelompok sosial lain dan belajar
keterampilan baru. Ini akan membiasakan anak untuk bersosialisasi dan lebih
dapat menghadapi situasi yang tidak menyenangkan.

6
4. Terus memberi perhatian dan memantau keadaan anak. Jika keadaan tidak
membaik, hubungi pihak berwenang yang relevan dan dapatkan penyelesaian
terhadap masalahnya.

Mencegah bullying
- Peran orangtua
Orangtua diharapkan mampu untuk mengembangkan kecerdasan emosional
anak sejak dini. Ajarkan anak untuk memiliki rasa empati, menghargai
orang lain dan menyadarkan sang anak bahwa dirinya adalah makhluk sosial
yang membutuhkan orang lain dalam kehidupannya. Peran orangtua di
rumah harus mampu menciptakan komunikasi yang baik dengan anak-anak
dan membekali anak dengan pemahaman agama yang cukup. Pemberian
teladan kepada anak akan lebih baik dari memberi nasihat.10
- Peran guru
Bimbingan dan konseling di sekolah diharapkan mampu mengembangkan
keharmonisan di dalam melaksanakan proses belajar mengajar, menciptakan
keselarasan kerjasama dengan para siswa, terutama dengan mereka yang
memiliki masalah pribadi, dan kerjasama yang lebih intensif dengan
orangtua siswa dan masyarakat luas pada umumnya.
- Penyedia layanan kesehatan
Penyedia layanan kesehatan bertanggung jawab dalam melakukan skrining
awal keterlibatan dalam bullying, baik anak sebagai pelaku maupun korban.
Anak-anak dengan kebutuhan medis khusus yang berisiko terlibat dalam
bullying lebih sering menggunakan fasilitas lesehatan dibandingkan anak-
anak tanpa kebutuhan medis khusus, sehingga penyedia layanan kesehatan
memiliki posisi yang unik dalam membawa masalah bullying ke permukaan
agar menjadi perhatian bersama.18
- Putus mata rantai pelaku dan budaya bullying
Biasanya budaya bullying diwariskan dengan sistem kaderisasi yang kuat,
motivasi senioritas adalah faktor yang terkuatnya. Untuk menghindari gejala
tersebut sebaiknya bimbinglah para remaja dengan cara mengadakan
kegiatan bersama antara generasi tersebut maupun alumninya dan buatlah

7
suatu ikatan supaya terbentuk jalinan persaudaraan yang akan melahirkan
kesadaran bahwa senior harus membimbing dan para junior harus
menghormati seniornya.10

Skrining adanya bullying dilakukan terutama pada anak korban kekerasan,


di keluarga, adanya perilaku agresif, berkebutuhan khusus, penderita kodisi
kronis, gangguan mental, obesitas, prestasi rendah disekolah, dan penyimpangan
seksual. Instrumen assessment untuk bullying antara lain:
- Bagi pelaku: Agression Scale, Bullying-Behavior Scale, Children’s Social
Behavior Scale-Self Report, Modified Agression Scale.
- Bagi korban: Gatehouse Bullying Scale, Multidimensional Peer-Victimization
Scale, “My Life in School” Checklist, Perception of teasing Scale (POTS),
Peer Vivtimization Scale, Retrospective Bullying Questionnaire,
Victimization Scale, Weight-Based Teasing Scale.
- Bagi pelaku dan korban: AAUW Sexual Harassment Survey, Adolescent Peer
Realtion Instrument, Child Social Behavior Questionnaire, Homophbic
Content Agent Target Scale, Illinois Bully Scale, Modified Peer Nomination
Inventory, Olweus Bullying Questionnaire, Peer Interactions in Primary
Schhol Questionnaire, Reduced Agression/Victimization Scale, School Life
Survey, School Relationship Questionnaire.

8
DAFTAR PUSTAKA

1. Yusuf S, Nurihsan J. Teori Kepribadian. Bandung: PT. Remaja


Rosdakarya, 2008.
2. Nansel TR, Craig W, Overpeck MD, Saluja G, Ruan WJ. Cross-national
consistency in the relationship between bullying behaviors and
psychosocial adjustment. Arch Pediatr Adolesc Med. 2004; 158: 730–6.
3. Widayanti CGS. Fenomena bullying di sekolah negeri Semarang: sebuah
study kualitatif. J Psikol Undip. 2009; 5: 1–6.
4. KPAI terima aduan 26 ribu kasus bully selama 2011-2017. Komisi
Perlindungan Anak Indonesia, http://www.kpai.go.id/berita/kpai-terima-
aduan-26-ribu-kasus-bully-selama-2011-2017/ (2017, accessed 8 October
2019).
5. Sejiwa. Bullying: mengatasi kekerasan di sekolah dan lingkungan sekitar
anak. Jakarta: Grasindo, 2008.
6. Undang-undang No. 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak. Jakarta:
Lembaran Negara RI Tahun 1992, No. 115, 1992.
7. Gorea RK. Bullying in schools: epidemiology and prevention. Int J Eth
Trauma Vict. 2016; 2: 6–9.
8. Olweus D. Annotation: bullying at school: basic facts and effects of a
school based intervention program. J Child Psychol Psychiat. 1994; 35:
1171–90.
9. Surilena. Perilaku bullying (perundungan) pada anak dan remaja. Cermin
Dunia Kedokt. 2016; 43: 35–8.
10. Astuti PR. Meredam bullying: 3 cara efektif mengatasi kekerasan pada
anak. Jakarta: Grasindo, 2008.
11. Coloroso B. Stop bullying. Jakarta: Penerbit Serambi Ilmu Semesta, 2007.
12. Huneck A. Bullying: a cross-sectional comparison of one American and
one Indonesian elementary school. Cincinnati: Union Institute &
University, 2007.
13. Soori H, Rezapour M, Khodakarim S. Epidemiological pattern of bullying
among school children in Mazandaran province Iran. J Child Adolesc
Behav. 2014; 2: 1–5.
14. Lee J, Korczak D. Emergency physician referrals to the pediatric crisis
clinic: reasons for referral, diagnosis and disposition. J Can Acad Adolesc
Psychiatry. 2010; 19: 297–302.
15. Arseneault L. Annual research review: the persistent and pervasive impact
of being bullied in childhood and adolescence: implications for policy and
practice. J Child Psychol Psychiatry. 2018; 4: 405–21.
16. Preventing bullying in schools and the community. National Center for
Mental Health Promotion and Youth Violence Prevention, 2009.
17. Bonell C, Allen E, Warren E, Mcgowan J, Bevilacqua L, Jamal F, et al.
Effects of the learning together intervention on bullying and aggression in
English secondary schools (INCLUSIVE): a cluster randomised controlled
trial. Lancet. 2018; 6736: 1–13.
18. Cleave J Van, Davis MM. Bullying and peer victimization among children
with special health care needs. Pediatrics. 2006; 118: 1212–9.

Anda mungkin juga menyukai