Anda di halaman 1dari 7

1.

Pengertian Bullying
Perilaku bullying (perundangan) sebagai salah satu bentuk tindakan agresif,
merupakan masalah yang sudah mendunia, sekalipun di Indonesia. Bullying berasal dari
kata Bully, yaitu suatu kata yang mengacu pada pengertian adanya ancaman yang
dilakukan seseorang terhadap orang lain yang menimbulkan gangguan psikis bagi
korbannya berupa stress yang muncul dalam bentuk gangguan fisik atau psikis, atau
keduanya. Menurut Komisi Nasional Perlindungan Anak, bullying didefinisikan sebagai
kekerasan fisik dan psikologis berjangka panjang yang dilakukan seseorang atau kelompok
terhadap seseorang yang tidak mampu mempertahankan diri. Bullying ini terjadi karena
ada kesenjangan power/kekuatan antara pelaku dan korbannya.
Bullying dikategorikan sebagai perilaku antisosial atau misconduct behavior
dengan menyalahgunakan kekuatannya kepada korban yang lemah, secara individu
ataupun kelompok, dan biasanya terjadi berulang kali. Bentuk bullying juga sangat
beragam, mulai dari bentuk fisik seperti pukulan, verbal seperti ejekan, memaki-maki,
maupun psikologis seperti pengabaian atau mengisolasi orang lain. Menurut Yayasan
Sejiwa (seperti dikutip dari Muhammad), bentuk-bentuk bullying dapat dikelompokkan
dalam tiga kategori, yaitu:
a. Bullying fisik, meliputi tindakan: menampar, menimpuk, menginjak kaki,
menjegal, meludahi, memalak, melempar dengan barang, serta menghukum
dengan berlari keliling lapangan atau push up.
b. Bullying verbal, terdeteksi karena tertangkap oleh indera pendengaran, seperti
memaki, menghina, menjuluki, meneriaki, memalukan di depan umum,
menuduh, menyebar gossip dan menyebar fitnah.
c. Bullying mental atau psikologis, merupakan jenis bullying paling berbahaya
karena bullying bentuk ini langsung menyerang mental atau psikologis korban,
tidak tertangkap mata atau pendengaran, seperti memandang sinis, meneror lewat
pesan atau sms, mempermalukan, dan mencibir.
2. Masalah Bullying
Berdasarkan data penelitian dari Hymel (2010) menjelaskan bahwa angka perilaku
bullying bervariasi di berbagai negara, 9-73% pelajar telah melaporkan pernah melakukan
tindakan bullying (sebagai pelaku) dengan menyasar pelajar lain, dan sekitar 2-36 %
lainnya pernah menjadi korban tindakan bullying. Sementara hal yang sama juga
ditemukan di Indonesia, penelitian Yayasan Semai Jiwa Amini (2008) di tiga kota besar
meliputi Yogyakarta, Surabaya, dan Jakarta mencatat perilaku bullying pada 67,9%
siswa/SLTA dan 66,1% SLTP dengan kasus tertinggi pada kekerasan psikologis yaitu
pengucilan, dan peringkat kedua adalah kekerasan verbal (mengejek) dan fisik (memukul).
Di Indonesia, kasus bullying di sekolah sudah merajalela baik di tingkat sekolah
dasar, menengah, hingga perguruan tinggi. Dari tahun 2011 hingga Agustus 2014, KPAI
mencatat 369 pengaduan terkait masalah bullying. Jumlah kasus tersebut sekitar 25% dari
total pengaduan di bidang pendidikan sebanyak 1.480 kasus. Sebuah riset yang dilakukan
oleh LSM Plan International dan International Center for Research on Women (ICRW)
yang dirilis awal bulan Maret 2015 lalu menunjukkan terdapat 84% anak di Indonesia
mengalami kekerasan di sekolah. Angka tersebut lebih tinggi dari tren di kawasan Asia
yakni 70%. Data lain lagi menyebutkan bahwa jumlah anak sebagai pelaku bullying di
sekolah mengalami kenaikan dari 67 kasus pada 2014 njadi 79 kasus di 2015.
3. Penyebab Bullying
Menurut Andrew Mellor, Ratna Djuwita, dan Komarudin Hidayat dalam seminar
Bullying : Masalah Tersembunyi dalam Dunia Pendidikan di Indonesia di Jakarta tahun
2009, mengatakan bullying terjadi akibat faktor lingkungan keluarga, sekolah, media
massa, budaya dan peer group. Bullying juga muncul oleh adanya pengaruh situasi politik
dan ekonomi yang koruptif.
a. Faktor Keluarga
Berdasarkan beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa orang tua yang
memiliki sikap berlebihan dalam melindungi anaknya, membuat mereka rentan
terkena bullying. Pola hidup orang tua yang buruk, seperti terjadinya perceraian
orang tua (broken home), orang tua yang saling mencaci maki, menghina, bertengkar
dihadapan anak-anaknya, orang tua yang tidak stabil perasaan dan pikirannya,
bermusuhan dan tidak pernah akur, memicu terjadinya depresi dan stress bagi anak.
Seorang remaja yang tumbuh dalam keluarga yang menerapkan pola komunikasi
negatif seperti sarcasm (sindirian tajam) akan cenderung meniru kebiasaan tersebut
dan atau dijadikan role model dalam kesehariannya.
b. Faktor Sekolah
Pada dasarnya kecenderungan pihak sekolah yang sering mengabaikan
keberadaan bullying menjadikan siswa yang menjadi pelaku bullying semakin
merajalela dan akan melakukan tindakan bullying lebih sering tanpa batas, dengan
kata lain pelaku mendapatkan penguatan terhadap perilaku tersebut. Selain itu,
bullying dapat terjadi di sekolah jika pengawasan dan bimbingan etika dari para guru
terkait kurang optimal, sekolah dengan kedisiplinan yang sangat kaku, bimbingan
yang tidak layak dan peraturan yang tidak konsisten dan yang kurang tegas, sehingga
dengan mudah pelaku bullying melakukan tindakannya dan intensitasnya lebih
sering. Dalam penelitian oleh Adair, 79% kasus bullying di sekolah tidak dilaporkan
ke guru atau orang tua. Siswa cenderung untuk menutup-nutupi hal ini dan
menyelesaikannya dengan teman sebayanya di sekolah untuk mencerminkan
kemandirian.
c. Media Massa
Semakin berkembangnya teknologi membawa masyarakat terkena
dampaknya, disatu sisi media massa sangat bermanfaat, namun disisi lainnya
teknologi malah menjerumuskan penggunanya ke hal negatif bila salah
dimanfaatkan. Saripah mengutip sebuah survey yang dilakukan Kompas yang
memperlihatkan bahwa 56,9% anak meniru adegan-adegan film yang ditontonnya,
umunya 64% mereka meniru gerakannya dan sebanyak 43 % beranggapan kata-
katanya. Hal ini dapat menciptakan perilaku anak yang keras dan kasar dan
mencontohnya sebagai role model disekolahnya, dimana hal ini nantinya akan
memicu terjadi bullying yang dilakukan oleh anak-anak terhadap teman-temannya
di sekolah.
d. Faktor Budaya
Faktor kriminal budaya menjadi salah satu penyebab munculnya perilaku
bullying. Suasana politik yang kacau, perekonomian yang tidak menentu, prasangka
dan diskriminasi, konflik dalam masyarakat, dan ethnosentrime, hal ini dapat
mendorong anak-anak dan remaja menjadi seorang yang depresi, stress, arogan dan
kasar.
e. Faktor Teman Sebaya
Menurut Benites dan Justicia tahun 2006, kelompok teman sebaya (genk)
yang memiliki masalah di sekolah akan memberikan dampak yang buruk bagi
teman-teman lainnya seperti berperilaku dan berkata kasar terhadap guru atau
sesama teman dan mulai ikut-ikutan membolos. Anak-anak ketika berinteraksi
dalam sekolah dan dengan teman di sekitar rumah, kadang kala terdorong untuk
melakukan bullying. Beberapa anak melakukan bullying hanya untuk membuktikan
kepada teman sebayanya agar diterima dalam kelompok tersebut, walaupun
sebenarnya mereka tidak nyaman melakukan hal tersebut.
Tekanan teman sebaya (peer pressure)adalah salah satu penyebab
terjadinya perilaku bullying pada anakanak remaja di sekolah, karena pada masa
remaja, terjadi proses pencarian jati diri dimana remaja banyak melakukan interaksi
dengan lingkungan sosialnya dan sekolah merupakan salah satutempat yang terdekat
dari remaja untuk bersosialisasi sehingga remaja banyakmenghabiskan waktu di
sekolah, mulai dari memahami pelajaran yang diberikanguru sampai memenuhi
kebutuhan bersosialisai dengan teman-teman.
4. Dampak Bullying
Fenomena perilaku bullying ibarat gunung es yang nampaknya kecil di permukaan,
namun menyimpan banyak permasalahan yang sebagian besar tidak mudah diketahui atau
disadari oleh guru maupun orang terdekat anak (orang tua). Masyarakat maupun orang tua
sering terlena dan terkesan perilaku bullying ini remeh, sehingga mengesampingkan
dampak dan bahaya bagi pelaku maupun korban bullying, serta dampak bagi masyarakat
sekitar. Umumnya, dampak yang terjadi akibat perilaku bullying ini adalah anak maupun
remaja merasa kesepian, pencapaian akademik yang buruk, sulit untuk beradaptsi,
meningkatnya risiko penggunaan zat, keterlibatan dalam tindakan kriminal dan kerentanan
gangguan mental emosional seperti cemas, insomnia, penyalahgunaan zat, dan depresi yan
lebih besar dibandingkan dengan anak atau remaja yang tidak terlibat dalam bullying.
Biasanya perilaku bullying pada masa anak-anak akan berlanjut dan menetap hingga
dewasa.
Elsenberg, et al, (2009) menjelaskan bahwa 57% orang yang pernah mengalami
bullying di usia anak-anak, saat mereka dewasa akan mengalami depresi, mempunyai sel-
esteem yang rendah, dan kesulitan interpersonal. Penjelasan ini didukung dari penelitian
lainnya yaitu menurut Lund, et al (2010) menyatakan bahwa individu yang menjadi pelaku
bullying saat berusia 8 tahun memiliki risiko 3 kali lebih besar mengalami depresi saat
berusia 18 tahun dibandingkan dengan yang tidak terlibat. Lain halnya penelitian yang
dilakukan Rievers, et al (2010) yang menyatakan bahwa korban bullying rentan memiliki
ide atau percobaan bunuh diri serta melakukan pembalasan.
5. Pencegahan dan Penanganan Bullying
Meminimalisasi dampak yang akan terjadipada perilaku bullying yaitu dilakukan
dengan memaksimalkan peran orang tua dan guru di sekolah untuk bertanggung jawab
secara bersama melalui pendekatan formal disekolah dan informal di rumah yang
dilakukan secara berkesinambungan dalam mengontrol perilaku-perilaku siswa sekolah
yang mengarah pada perilaku bullying. Tindakan untuk meminimalisasi perilaku bullying
yang dilakukan oleh para remaja di sekolah adalah dengan cara mengajarkan tentang
pendidikan karakter yang baik, atau pendidikan budi pekerti yang sesuai dengan ajaran
agama masing-masing. Cara yang tepat dimulai dari lingkungan keluarga, jika peran orang
tua dalam mengajarkan pendidikan budi pekerti yang sesuai dengan perintah ajaran agama
maka anak-anak remaja memiliki pendirian yang kuat untuk menhindari perilaku-perilaku
bullying di sekolah, bahkan mereka akan menjadi contoh bagi teman-teman sebayanya di
sekolah.
Bullying telah menjadi bagian dari masyarakat dan tidak mudah hilang. Namun
dengan upaya bersama dari pihak sekolah, orang tua dan anak-anak untuk mencegah
perilaku bullying akan membuat anak-anak lebih nyaman di sekolah. Upaya yang
dilakukan harus dikontrol secara bersama dan berlangsung terus-menerus. Apabila orang
tua maupun guru mengetahui anaknya menjadi pelaku atau menjadi korban bullying, maka
sebaiknya guru dan orang tua bersikap tenang, jangan bereaksi berlebihan, dan
menunjukkan sikap unconditional love & acceptance yaitu :
Membantu anak atau remaja untuk menumbuhkan self-esteem yang baik, dimana
dengan self-esteem yang baik akan bersikap dan berpikir positif, menghargai diri
sendiri, menghargai orang lain, percaya diri, optimis, dan berani mengatakan
haknya.
Membina hubungan dan komunikasi yang baik antara orang tua dan anak,
mendiskusikan dengan anak tentang pemahaman perilaku bullying dan dampaknya.
Menjadi role model bagi anak, bagaimana selayaknya memperlakukan orang lain
dengan hormat dan setara, menghargai keberagaman dan keunikan dari orang lain.
Membantu anak dan remaja untuk berinteraksi dan bergabung dengan kelompok-
kelompok tertentu dengan kegiatan yang positif.
Menghentikan dan mendampingi anak dan remaja dalam menonton acara TV,
membaca atau menyaksikan berita yang menayangkan kekerasan.
Perilaku bullying sebagai sebuah bentuk perilaku yang menyimpang dan berbahaya,
sehingga penanganan perilaku ini harus dilakukan secara komprehensif dan intensif. Orang
tua sebagai orang terdekat dari anak maupun remaja agar mengajak anaknya untuk periksa
dan konsultasi ke dokter bila terdapat dampak fisik akibat dari perilaku bullying seperi
luka-luka di tubuh, lebam, dan lainnya. Anak yang diajak untuk konsultasi ke psikolog atau
psikiater bila dijumpai dampak mental seperti sering mogok sekolah, sulit tidur, sulit
konsentrasi, prestasi sekolah menurun, sering mengalami mimpi buruk, menjadi cengeng
atau pemarah, depresi, cemas, dan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

Fataruba, Rina 2016. Peran Tekanan Teman Sebaya terhadap Perilaku Bullying Pada
Remaja di Sekolah. Universitas Muhammadyah Malang.
http://mpsi.umm.ac.id/files/file/355-359%20Rina%20Fataruba.pdf. Diakses pada
23 September 2017.
Lestari, W. S. (2016). Analisis Faktor-faktor Penyebab Bullying di Kalangan Peserta
Didik. SOSIO DIDAKTIKA: Social Science Education Journal, 3(2), 2016, 147-
157.http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/SOSIO-FITK/article/.../4385/pdf. Diakses
pada 22 September 2017
Surilena, 2016. Perilaku Bullying (Perundungan) pada Anak dan Remaja. Departemen
Psikiatri, Fakultas Kedokteran Universitas Katolik Atma Jaya : Jakarta.
http://www.cdkjournal.com/index.php/CDK/article/download/9/7. Diakses pada
22 September 2017

Anda mungkin juga menyukai