Anda di halaman 1dari 36

TUGAS MANAJEMEN PSIKOSOSIALKEPERAWATAN

ASUHAN KEPERAWATAN BULLYING PADA REMAJA

DISUSUN OLEH
KELOMPOK : 1
1. APRILIIA DHEANA P
2. ANJELA NOVEREN
3. CHINTYA DWI R
4. FADILLAH ELHUSNA
5. KING PERSON H
6. RANI PUTRI A
7. TIKA YULASNI

DOSEN PEMBIMBING :
NS.ULFA SURIANI,S.Kep,M.Kep.SP J

PRODI S1 KEPERAWATAN
STIKes MERCUBAKTIJAYA PADANG
2019/2020
BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Bullying dikalangan remaja masih sering kita jumpai. Masyarakat


menganggap hal ini sudah biasa karena masa remaja adalah masa dimana remaja
mencari jati dirinya dan kenakalannya akan hilang sendiri. Apabila
dibiarkan,maka akan timbul masalah karena dampaknya berpengaruh pada
perkembangan jiwa. Pelaku bullying bisa berpotensi menjadi pribadi yang
sewenang-wenang. Jika hal-hal ini terus dibiarkan dalam tatanan kehidupan
mereka maka akan mengakibatkan pelaku tumbuh menjadi pelaku kriminal atau
sosok penguasa yang tak punya empati terhadap orang lain. Pelaku bullying akan
menganggap bahwa cara penyelesaian masalah yang paling baik adalah dengan
cara-cara kekerasan atau pelaku beranggapan dengan mengintimidasi orang lain
maka akan memenuhi keinginannya. Hal ini akan mendorong sifat premanisme
yang akan terbawa hingga dewasa dan mengakibatkan ketidaknyamanan di
masyarakat. Perilaku kasar maupun tindakan bullying dapat terjadi karena tidak
adanya cinta dan kehangatan dalam keluarga.

Akhir-akhir ini kekerasan memang telah menjadi bagian dari kehidupan


remaja. Kekerasan antar sebaya atau bullying merupakan suatu tindak kekerasan
fisik dan psikologis yang dilakukan seseorang atau kelompok. Tindakan tersebut
dimaksudkan untuk melukai, membuat takut atau membuat tertekan seseorang
(anak atau siswa) lain yang dianggap lemah, misalnya secara fisik lebih lemah,
minder dan kurang mempunyai teman, sehingga tidak mampu mempertahankan
diri. Hal ini terjadi karena masih banyak orang tua yang melakukan corporal
punishment dan menganggap wajar hal tersebut dengan alasan untuk
mendisplinkan. Sehingga kurang disadari orang tua yang dilakukan sebenarnya
adalah bentuk lain dari kekerasan. Misalnya ketika anak melakukan kesalahan,
orang tua sering kali membentak anak dan mengatakan kata-kata kasar serta
memukul anak, menerapkan disiplin dan sistem hukuman yang berlebihan, yang
tidak berusaha berkomunikasi, serta secara keterlaluan memarahi anak-anaknya,
sehingga anak menganggap cara tersebut adalah benar sehingga anak
mengaplikasikannya dalam pergaulan. Rahman (2004) menyebutkan bentuk
aktualisasi sumber oleh seseorang terhadap keluarga terwujud dalam bentuk upaya
orang tua mendidik putra-putrinya dengan sebaik-baiknya. Sebagaimana dikutip
anak pembohong umumnya berasal dari keluarga yang sering berbohong. Sebab,
sebagian besar perilaku anak dipengaruhi oleh pengalamannya dirumah. Bila
sebuah keluarga hidup damai dan tenang, maka diluar rumah, seluruh keluarga
tersebut akan terbentuk oleh kebiasaaanya hidup damai dan tenang. Sebaliknya,
keluarga yang broken home dan penuh dengan konflik akan mempengaruhi pola
interaksinya di luar rumah.

Bullying adalah suatu bentuk agresi dimana terdapat kekuatan yang tidak
seimbang antara pelaku dan korban. Pelaku selalu mempunyai kekuatan yang
lebih dari pada korbannya. Bullying dapat berupa tindakan fisik, verbal dan
psikologis. Bullying dapat terjadi secara langsung (tatap muka) atau tidak
langsung (bersembunyi dibalik orang lain). Contoh tindakan bullying secara
langsung adalah memukul dan memaki orang. Sedangkan contoh tindakan
bullying secara tidak langsung adalah pengucilan dan gossip (Papler &
Craig.2000). Jika selama ini kita hanya tahu banyak terjadinya kasus bullying
pada remaja, bukan tidak mungkin semua itu berawal dari masa kanak-kanak.
Salah satu hal yang perlu diteliti lebih lanjut juga adalah latar belakang keluarga.
Penting untuk dilihat dari mana anak-anak tersebut belajar bullying tersebut.
Harus dilihat apakah keluarga mereka harmonis, atau sering bertengkar, kemudian
juga penting untuk dilihat anak tersebut merupakan anak ke berapa dari berapa
bersaudara, bagaimana interaksi anak-anak tersebut dengan kakak atau adiknya
dan sifat anak itu sendiri.

Terjadinya kekerasan antar sebaya semakin menguat mengingat adanya


faktor pubertas dan krisis identitas, yang normal terjadi pada perkembangan
remaja. Dalam rangka mencari identitas dan ingin eksis, biasanya remaja lalu
gemar membentuk geng. Geng remaja sebenarnya sangat normal dan bisa
berdampak positif, namun jika orientasi geng kemudian ’menyimpang’ hal ini
kemudian menimbulkan banyak masalah. Dari relasi antar sebaya juga ditemukan
bahwa beberapa remaja menjadi pelaku bullying karena ’balas dendam’ atas
perlakuan penolakan dan kekerasan yang pernah dialami sebelumnya (misalnya
pada saat masih SD atau anak-anak). Berbicara mengenai kekerasan anak,
ditemukan bahwa anak bisa menjadi subjek/pelaku maupun objek kekerasan.
Anak sebagai pelaku kekerasan/subjek, biasanya disebabkan ia memiliki
pengalaman sebagai objek kekerasan itu sendiri. Anak berperilaku seperti itu
sebagai bagian dari imitasi atupun pengekspresian pengalaman-pengalaman
mereka, entah itu disadari ataupun tidak.

Kekerasan pada anak tergantung pada pola asuh dan pola perlakuan orang
tua terhadap anak. Pola asuh anak juga sangat mempengaruhi kepribadian anak.
Pola asuh ini menentukan bagaimana anak berinteraksi dengan orang tuanya.
Hurlock (2012), membagi pola asuh menjadi tiga: yaitu pola asuh otoriter, pola
asuh demokrasi, dan pola asuh permisif. Perlakuan orang tua ataupun pengasuh
kepada anak sangat mempengaruhi kepribadian anak. Masa kanak-kanak adalah
masa dimana anak menunjukkan ekspresi dan eksistensinya sebagai seorang
manusia yang utuh. Kegagalan dalam masa ini, menurut Freud (Sumadi,2011),
akan terpendam dan menjadi pengalaman bawah sadar anak, yang menjadikan
pengalaman anak sebagai referensi dalam menjalani hidupnya. KPAI mencatat
dalam kurun waktu 9 tahun (2011-2019) ada 37.381 pengaduan kekerasan
terhadap anak. Untuk bullying baik di pendidikan maupun sosial media mencapai
2.473 laporan dan terus meningkat. Data pengaduan anak kepada KPAI bagai
fenomena gunung es, sebagaimana pernyataan Presiden pada ratas (9/1/2020)
melalui data SIMFONI PPA, “Kita setip hari membaca dan melihat berita tentang
kekerasan pada anak, tentunya ini sangat kita sadari dan menjadi keprihatinan
bersama”.

Pada bulan Februari 2020, Jasra Putra komisioner komisi perlindungan


anak indonesia (KPAI) bidang hak sipil dan partisipasi anak mengatakan kejadian
mengenai siswa yang jarinya harus di amputasi, hingga siswa yang ditendang
sampai meninggal, menjadi gambaran ekstrem dan fatal dari intimidasi bullying
fisik dan psikis yang dilakukan pelajar kepada teman-temannya.Menurut Paul B.
Horton dan Chester L. Hunt (1999), faktor terpenting yang menyebabkan
terjadinya tindakan bullying adalah kurang berperannya fungsi keluarga yaitu
fungsi perlindungan, sosialisasi, dan afeksi. Fungsi perlindungan adalah keluarga
memberikan perlindungan fisik, ekonomis dan psikologis bagi seluruh
anggotanya. Sedangkan fungsi sosialisasi adalah semua masyarakat tergantung
terutama pada keluarga bagi sosialisasi anak-anak ke alam dewasa yang dapat
berfungsi di dalam masyarakat itu. Lain halnya dengan fungsi afeksi yang menjadi
faktor terpenting, fungsi afeksi adalah keluarga mampu memberikan kebutuhan
dasar manusia yaitu kebutuhan akan kasih sayang.

Aksi bullying (melakukan kekerasan baik fisik maupun mental) tidak


hanya terjadi di sekolah. Dalam sebuah keluarga aksi bullying juga kerap di
lakukan anak terhadap saudara-saudaranya. Dr Alexandra Skew peneliti Institute
for Social and Economic Research (ISER) dari University of Essex seperti dilansir
dailymail, Senin (27/6/2011) mengatakan, ada anggapan bahwa anak sulung yang
paling sering melakukan bullying kepada adik-adiknya karena dia paling kuat dan
besar. Tapi kenyataannya anak-anak tengahlah yang paling sering melakukan
kekerasan dan menggertak saudara-saudaranya. Dr Skew mengatakan anak
tengah melakukan bullying karena mereka bersaing untuk mencari perhatian dari
orangtuanya yang cenderung memperhatikan si sulung dan si bungsu. Anak
tengah melakukan bullying dengan menggunakan barang-barang mainan, berlaku
kasar atau menggertak saudara-saudaranya. VOA Islam (2011) menjelaskan
bullying terhadap saudara atau dapat juga disebut sibling bullying, muncul ketika
salah seorang anak mulai menyakiti saudaranya, berperilaku seolah-olah ia bos
yang mengontrol saudaranya sampai ke taraf yang bersifat fisik. Perilaku ini
sekaligus mengindikasikan adanya sikap ragu-ragu dan cara pikir yang salah.
Anak yang menjadi pelaku membenarkan perilaku menyakiti saudaranya hanya
demi membuat dirinya sendiri merasa nyaman atau lebih baik. Hasil penelitian
ISER terhadap 2.146 anak usia 11 sampai 15 tahun menemukan 50 persen anak-
anak mengalami aksi bullying di rumahnya sendiri oleh 5 saudaranya. Bullying
yang dilakukan anak-anak di rumah ini tidak ada kaitannya dengan apakah
keluarga itu miskin atau kaya, berpendidikan baik atau tidak. Lembaga Penelitian
Sosial dan Ekonomi di Unversity of Essex dan University of Warwick telah
melakukan penelitian yang mencakupsekitar 40 ribu rumah tangga di Inggris.Ini
secara tradisional diasumsikan bahwa anak tertua memiliki kemungkinan untuk
mendominasi atau menggunakan kekerasan terhadap anak ke dua atau saudaranya
yang lain. Namun, ternyata Anak ke 2 memiliki kesempatan lebih tinggi terlibat
dalam konflik fisik saat berjuang untuk mendapatkan perhatian orang tua, serta
bersaing untuk kekuasaan diantara saudara kandung. Demikian seperti yang
dilansir Straits Times, Selasa (28/6/2011).Penelitian ini juga menunjukan, bahwa
anak-anak akan menerima hukuman fisik lebih mungkin untuk menggertak
saudara atau teman-teman mereka. Dari sekitar 2.000 anak yang diteliti, sebanyak
42 persen anak yang mengalami hukuman fisik terpaksa bullying atau melakukan
kekerasan. Meski belum ada data yang memuat kasus bullyingdi tiap negara, ada
gambaran dari tulisan Smith, yang dilansir The Scottish Council for Research in
Education (1992) dan oleh Ken Rigby (1988) dapat dilihat sedikit data kasus
bullyingdi sekolah di beberapa negara, yaitu Selandia Baru (15 persen-SMA), di
Inggris (27 persen-SMP dan 10 persen-SMA), Australia (25-30 persen bahkan tiap
hari), dan secara internasional (23persen-SMP dan 10 persen-SMA).Amrullah
(2006) menyebutkan,Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, kasuskekerasan pada
anak mencapai25 juta, dengan berbagai macam bentuk, dari yang ringan sampai
yang berat. Lalu, data BPS tahun 2009 menunjukkan kepolisian mencatat, dari
seluruh laporan kasus kekerasan, 30 persen di antaranya dilakukan oleh anak-
anak, dan dari 30 persen kekerasan yang dilakukan anak-anak, 48 persen terjadi di
lingkungan sekolah dengan motif dan kadar yang bervariasi.Plan Indonesia sendiri
pernah melakukan survei tentang perilaku kekerasan di sekolah. Survei dilakukan
di Jakarta, Yogyakarta, Surabaya,dan Bogor, dengan melibatkan 1.500 siswa
SMA dan 75 guru. Hasilnya, 67,9 persen menganggap terjadi kekerasan di
sekolah, berupa kekerasan verbal, psikologis, dan fisik. Pelaku kekerasan pada
umumnya adalah teman, kakak kelas, adik kelas, guru, kepala sekolah, dan
preman di sekitar sekolah.Sementara itu, 27,9 persen siswa SMA mengaku ikut
melakukan 6 kekerasan, dan 25,4 persen siswa SMA mengambil sikap diam saat
melihat terjadi kekerasan.Data Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia
(KPAI) melalui hotlineservicedan pengaduan ke KPAI memperlihatkan, pada
tahun 2007 dilaporkan 555 kasus kekerasan terhadap anak, 11,8 persennya
dilakukan oleh guru. Pada tahun 2008, dari 86 kasus kekerasan yang dilaporkan,
39persennya dilakukan oleh guru.Pandangan dari Ike Sugianto, psikolog yang
biasa praktik di Medikids Greenville Jakarta.Perilaku kekerasan yang dilakukan
anak, merupakan proses pembelajaran dalam hidup seseorang. pada masa remaja,
faktor utama yang sangat dominan biasanya pengaruh lingkungan. Mereka
mengalami apa yang disebut tahap mencari identitas diri. Biasanya diwujudkan
dengan perilaku berkelompok seperti bergabung dalam sebuah geng.Pemantauan
orang tua atas remaja penting khususnya dalam melihat apakah remaja mulai
menjadi nakal. Dalam suatu penelitian, pemantauan orang tua atas keberadaan
remajanya merupakan faktor keluarga yang paling penting dalam meramalkan
kenakalan (Patterson & Stouthamer-Loeber,1984). Ada masa ketika remaja
menolak kedekatan, keterkaitan, dan attachment dengan orang tua merekauntuk
mengambil keputusan-keputusan dan mengembangkan suatu identitas. Tetapi
untuk sebagian besar, dunia orang tua dan teman-teman sebaya terkoordinasi dan
terkait, bukan tidak terkoordinasi dan tidak terkait(Haynie & McLellan,1992).
Sementara attachment dan keterkaitan dengan orang tua tetap kuat selama masa
remaja, attachment dan keterkaitan itu tidak selalu mulus. Masa awal remaja ialah
suatu periode ketika konflik dengan orang tua meningkat melampaui tingkat masa
anak-anak (Steinberg, 1993). Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik
untuk mengkaji lebih dalam lagi tentang studi kehidupan keluarga pelaku bullying
pada remaja.

B.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang terurai di atas, maka


permasalahan yang akan di angkat olehpeneliti, yaitu:

1.Bagaimana kehidupan pelaku bullying?

2.Faktor apa yang memicu perilaku bullying terhadap saudara atau sibling
bullying di rumah?

C.Tujuan

1.Untuk mengetahui bagaimana kehidupan keluarga pelaku bullying, baik


pola asuh maupun interaksi pelaku dengan orang tua atau saudara kandung.

2.Untuk mengetahui faktor-faktor yang memicu munculnya perilaku


bullying terhadap saudara kandung atau sibling bullying di rumah.
BAB II
PENDAHULUAN

1. Defenisi
Bullying adalah perilaku agresif yang dilakukan secara sengaja
terjadi berulang-ulang untuk menyerang seorang target atau korban yang
lemah, mudah dihina dan tidak bisa membela diri sendiri (SEJIWA, 2008).
Bullying juga didefinisikan sebagai kekerasan fisik dan psikologis jangka
panjang yang dilakukan seseorang atau kelompok, terhadap seseorang
yang tidak mampu mempertahankan dirinya dalam situasi di mana ada
hasrat untuk melukai atau menakuti orang itu atau membuat dia tertekan
(Wicaksana, 2008).

Menurut Black dan Jackson (2007, dalam Margaretha 2010) Bullying


merupakan perilaku agresif tipe proaktif yang didalamnya terdapat aspek
kesengajaan untuk mendominasi, menyakiti, atau menyingkirkan, adanya
ketidakseimbangan kekuatan baik secara fisik, usia, kemampuan kognitif,
keterampilan, maupun status sosial, serta dilakukan secara berulang-ulang oleh
satu atau beberapa anak terhadap anak lain.

Sementara itu Elliot (2005) mendefinisikan bullying sebagai


tindakan yang dilakukan seseorang secara sengaja membuat orang lain takut
atau terancam. Bullying menyebabkan korban merasa takut, terancam atau setidak
- tidaknya tidak bahagia.

Olweus mendefenisikan bullying adalah perilaku negatif seseorang atau


lebih kepada korban bullying yang dilakukan secara berulang-ulang dan terjadi
dari waktu ke waktu. Selain itu bullying juga melibatkan kekuatan dan kekuasaan
yang tidak seimbang, sehingga korbannya berada dalam keadaan tidak mampu
mempertahankan diri secara efektif untuk melawan tindakan negatif yang diterima
korban (Krahe, 2005).

Menurut uraian dari berbagai ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa


bullying adalah penggunaan agresi dengan tujuan untuk menyakiti orang lain
baik secara fisik maupun secara mental serta dilakukan secara berulang.
Perilaku bullying dapat berupa tindakan fisik, verbal, serta emosional/psikologis.
Dalam hal ini korban bullying tidak mampu membela atau mempertahankan
dirinya sendiri karena lemah secara fisik atau mental.

2. Penyebab Terjadinya Bullying

Menurut Ariesto (2009, dalam Mudjijanti 2011) dan Kholilah


(2012), penyebab terjadinya bullying antara lain :

a) Keluarga

Pelaku bullying seringkali berasal dari keluarga yang bermasalah


: orang tua yang sering menghukum anaknya secara berlebihan, atau situasi
rumah yang penuh stress, agresi, dan permusuhan. Anak akan mempelajari
perilaku bullying ketika mengamati konflik-konflik yang terjadi pada orang
tua mereka, dan kemudian menirunya terhadap teman-temannya. Jika
tidak ada konsekuensi yang tegas dari lingkungan terhadap perilaku
coba-cobanya itu, ia akan belajar bahwa “mereka yang memiliki kekuatan
diperbolehkan untuk berperilaku agresif, dan perilaku agresif itu dapat
meningkatkan status dan kekuasaan seseorang”. Dari sini anak
mengembangkan perilaku bullying.

b) Sekolah

Karena pihak sekolah sering mengabaikan keberadaan bullying


ini, anak-anak sebagai pelaku bullying akan mendapatkan penguatan
terhadap perilaku mereka untuk melakukan intimidasi terhadap anak lain.
Bullying berkembang dengan pesat dalam lingkungan sekolah sering
memberikan masukan negatif pada siswanya, misalnya berupa hukuman
yang tidak membangun sehingga tidak mengembangkan rasa menghargai
dan menghormati antar sesama anggota sekolah.

c) Faktor Kelompok Sebaya

Anak-anak ketika berinteraksi dalam sekolah dan dengan teman


di sekitar rumah, kadang kala terdorong untuk melakukan bullying.
Beberapa anak melakukan bullying dalam usaha untuk membuktikan bahwa
mereka bisa masuk dalam kelompok tertentu, meskipun mereka sendiri
merasa tidak nyaman dengan perilaku tersebut. Bullying termasuk tindakan
yang disengaja oleh pelaku pada korbannya, yang dimaksudkan untuk
menggangu seorang yang lebih lemah. Faktor individu dimana kurangnya
pengetahuan menjadi salah satu penyebab timbulnya perilaku bullying,
Semakin baik tingkat pengetahuan remaja tentang bullying maka akan dapat
meminimalkan atau menghilangkan perilaku bullying.

3. Karakteristik Bullying

Menurut Ribgy (2002, dalam Astuti 2008) tindakan bullying mempunyai tiga
karakteristik terintegrasi, yaitu:

a. Adanya perilaku agresi yang menyenangkan pelaku untuk


menyakiti korban. Bullying adalah sebuah hasrat untuk menyakiti.
Hasrat ini diperlihatkan kedalam aksi, menyebabkan seseorang
menderita. Aksi ini dilakukan secara langsung oleh seseorang
atau kelompok yang lebih kuat, tidak bertanggung jawab, biasanya
berulang, dan dilakukan dengan perasaan senang (Astuti, 2008).
b. Tindakan dilakukan secara tidak seimbang sehingga korban
merasa tertekan. Bullying juga melibatkan kekuatan dan
kekuasaan yang tidak seimbang, sehingga korbannya berada dalam
keadaan tidak mampu mempertahankan diri secara efektif untuk
melawan tindakan negatif yang diterima korban (Krahe, 2005).
c. Perilaku ini dilakukan secara terus menerus dan juga berulang-ulang
Bullying merupakan perilaku agresif tipe proaktif yang didalamnya
terdapat aspek kesengajaan untuk mendominasi, menyakiti, atau
menyingkirkan, adanya ketidakseimbangan kekuatan baik secara
fisik, usia, kemampuan kognitif, keterampilan, maupun status sosial,
serta dilakukan secara berulang-ulang oleh satu atau beberapa
anak terhadap anak lain (Black dan Jackson 2007, dalam
Margaretha 2010).

Ciri pelaku bullying antara lain (Astuti, 2008) :

a. Hidup berkelompok dan menguasai kehidupan sosial siswa


disekolah
b. Menempatkan diri ditempat tertentu di sekolah / sekitarnya
c. Merupakan tokoh populer di sekolah
d. Gerak - geriknya seringkali dapat ditandai : sering berjalan
didepan, sengaja menabrak, berkata kasar, menyepelekan / melecehkan.
Pelaku bullying dapat diartikan sesuai dengan pengertian bullying yaitu
bahwa pelaku memiliki kekuasaan yang lebih tinggi sehingga pelaku dapat
mengatur orang lain yang dianggap lebih rendah. Korban yang sudah merasa
menjadi bagian dari kelompok dan ketidakseimbangan pengaruh atau kekuatan
lain akan mempengaruhi intensitas perilaku bullying ini. Semakin subjek yang
menjadi korban tidak bisa menghindar atau melawan, semakin sering perilaku
bullying terjadi. Selain itu, perilaku bullying dapat juga dilakukan oleh teman
sekelas baik yang dilakukan perseorangan maupun oleh kelompok (Wiyani,
2012).

Ciri korban bullying antara lain (Susanto, 2010) :

a. Secara akademis, korban terlihat lebih tidak cerdas dari orang yang
tidak menjadi korban atau sebaliknya.
b. Secara sosial, korban terlihat lebih memiliki hubungan yang erat
dengan orang tua mereka
c. Secara mental atau perasaan, korban melihat diri mereka sendiri sebagai
orang yang bodoh dan tidak berharga. Kepercayaan diri mereka rendah,
dan tingkat kecemasan sosial mereka tinggi.
d. Secara fisik, korban adalah orang yang lemah, korban laki-laki lebih
sering mendapat siksaan secara langsung, misalnya bullying fisik.
Dibandingkan korban laki-laki, korban perempuan lebih sering mendapat
siksaan secara tidak langsung misalnya melalui kata-kata atau bullying
verbal.
e. Secara antar perorangan, walaupun korban sangat menginginkan
penerimaan secara sosial, mereka jarang sekali untuk memulai
kegiatan-kegiatan yang menjurus ke arah sosial. Anak korban bullying
kurang diperhatikan oleh pembina, karena korban tidak bersikap aktif
dalam sebuah aktifitas.
1. Jenis – jenis Bullying
Ada beberapa jenis bullying menurut SEJIWA (2008) :
a. Bullying fisik

Jenis bullying yang terlihat oleh mata, siapapun dapat melihatnya


karena terjadi sentuhan fisik antara pelaku bullying dan korbannya. Contoh
- contoh bullying fisik antara lain : memukul, menarik baju, menjewer,
menjambak, menendang, menyenggol dengan bahu, menghukum dengan
membersihkan WC, menampar, menimpuk, menginjak kaki, menjegal,
meludahi, memalak, melempar dengan barang, menghukum dengan berlari
lapangan, menghukum dengan cara push up.

b. Bullying verbal
Jenis bullying yang juga bisa terdeteksi karena bisa terungkap indra
pendengaran kita. Contoh - contoh bullying verbal antara lain :
membentak, meledek, mencela, memaki - maki, menghina, menjuluki,
meneriaki, mempermalukan didepan umum, menyoraki, menebar
gosip, memfitnah.
c. Bullying mental atau psikologis. Jenis bullying yang paling berbahaya
karena tidak tertangkap oleh mata atau telinga kita apabila tidak
cukup awas mendeteksinya. Praktik bullying ini terjadi diam - diam
dan diluar jangkauan pemantauan kita. Contoh - contohnya: mencibir,
mengucilkan, memandang sinis, memelototi, memandang penuh
ancaman, mempermalukan di depan umum, mendiamkan, meneror
lewat pesan pendek, telepon genggem atau email, memandang yang
merendahkan.

Menurut Bauman (2008), tipe-tipe bullying adalah sebagai berikut :

a. Overt bullying, meliputi bullying secara fisik dan secara verbal,


misalnya dengan mendorong hingga jatuh, memukul, mendorong dengan
kasar, memberi julukan nama, mengancam dan mengejek dengan tujuan
untuk menyakiti.

b. Indirect bullying meliputi agresi relasional, dimana bahaya yang


ditimbulkan oleh pelaku bullying dengan cara menghancurkan hubungan
- hubungan yang dimiliki oleh korban, termasuk upaya pengucilan,
menyebarkan gosip, dan meminta pujian atau suatu tindakan tertentu
dari kompensasi persahabatan. Bullying dengan cara tidak langsung
sering dianggap tidak terlalu berbahaya jika dibandingkan dengan
bullying secara fisik, dimaknakan sebagai cara bergurau antar teman
saja. Padahal relational bullying lebih kuat terkait dengan distress
emosional daripada bullying secara fisik. Bullying secara fisik akan
semakin berkurang ketika siswa menjadi lebih dewasa tetapi bullying
yang sifatnya merusak hubungan akan terus terjadi hingga usia dewasa.

c. Cyberbullying, seiring dengan perkembangan di bidang teknologi, siswa


memiliki media baru untuk melakukan bullying, yaitu melalui sms,
telepon maupun internet. Cyberbullying melibatkan penggunaan
teknologi informasi dan komunikasi, seperti e-mail, telepon seluler
dan peger, sms, website pribadi y a n g menghancurkan
reputasi seseorang, survei di website pribadi yang merusak reputasi
orang lain, yang dimaksudkan adalah untuk mendukung perilaku
menyerang seseorang atau sekelompok orang, yang ditujukan untuk
menyakiti orang lain, secara berulang - ulang kali.

5. Dampak Bullying

Suyatno (2003), menjelaskan bahwa terdapat berbagai dampak negatif yang


dialami anak-anak yang menjadi korban bullying yaitu:

a. Dampak Bullying terhadap kehidupan individu

 Kurangnya motivasi atau harga diri,


 Problem kesehatan mental, misalnya; kecemasan berlebihan,
problem dalam hal makan, susah tidur,
 Sakit yang serius dan luka parah sampai cacat permanen:
patah tulang, radang karena infeksi, dan mata lebam, termasuk
juga sakit kepala, perut, otot dan lain-lain yang bertahun-
tahun meski bila ia tak lagi dianiaya.
 Problem-problem kesehatan seksual, misalnya; mengalami
kerusakan organ reproduksinya, kehamilan yang tak
diinginkan, ketularan penyakit menular seksual,
 Mengembangkan perilaku agresif (suka menyerang)
atau jadi pemarah, atau bahkan sebaliknya menjadi pendiam
dan suka menarik diri dari pergaulan,
 Mimpi buruk dan serba ketakutan, selain itu kehilangan nafsu
makan, tumbuh, dan belajar lebih lamban, sakit perut, asma,
dan sakit kepala,
 Kematian.

b. Dampak bullying terhadap kehidupan sosial

Dampak negatif jangka panjang dari bullying pada anak dalam


kehidupan bermasyarakat biasanya sebagai berikut:

 Pewarisan lingkaran kekerasan secara turun-temurun


atau dari generasi ke generasi.
 Tetap bertahan kepercayaan yang keliru bahwa orangtua
mempunyai hak untuk melakukan apa saja terhadap
anaknya, termasuk hak melakukan kekerasan.
 Kualitas hidup semua anggota masyarakat merosot, sebab
anak yang dianiaya tak mengambil peran yang selayaknya
dalam kehidupan kemasyarakatan.

c. Dampak bullying terhadap kehidupan akademik

Bullying ternyata berhubungan dengan meningkatnya tingkat


depresi, agresi, penurunan nilai akademik, dan tindakan bunuh diri.
Bullying juga menurunkan skor tes kecerdasan dan kemampuan analisis
siswa (Cynantia, 2012). Dalam penilitian ini, peneliti mencoba
menelusur dampak dari bullying yang terjadi pada anak SMP, terutama
perihal prestasi belajar maupun hubungan sosial yang dialaminya.
Semisal apakah ia mengalami keterlambatan dalam proses aktualisasi
potensi dirinya di sekolah.

Dari segi tingkah laku anak-anak yang menjadi korban bullying sering
menujukkan: penarikan diri, ketakutan, atau mungkin juga tingkah laku
agresif, emosi yang labil. Mereka juga sering menunjukan gejala
depresi, jati diri yang rendah, kecemasan, adanya gangguan tidur,
phobia, kelak bisa tumbuh menjadi penganiaya, menjadi bersifat keras,
gangguan stres pascatrauma, dan terlibat dalam penggunaan zat adiktif.
Mereka mungkin juga berupaya menutupi luka yang dideritanya dan
tetap bungkam merahasiakan pelakunya karena ketakutan akan
mendapatkan pembalasan dendam. Mungkin juga akan mengalami
kelambatan dalam tahap perkembangannya, sering mengalami kesulitan
dalam hubungannya dengan teman sebayanya dan menunjukan tingkah
laku menyakiti diri sendiri, dan bahkan perilaku bunuh diri (Suyatno,
2010)

6. Cara Menangani Bullying

Berikut adalah hal-hal yang bisa dilakukan oleh kita sebagai pekerja
sosial dengan remaja yang berperan sebagai konselor bagi remaja pelaku
bullying (Lee, 2010).

 Bicaralah dengan bully dan cobalah cari tahu mengapa


mereka merasa perlu berperilaku seperti itu. Cari tahu apa yang
mengganggu mereka atau apa yang memicu tingkah laku
tersebut
 Pastikan remaja bully mengerti bahwa perilaku merekalah
yang tidak disukai, bukan mereka
 Yakinkan bully bahwa Anda bersedia membantu mereka
dan Anda akan bekerja dengan mereka untuk menemukan cara
untuk mengubah perilaku mereka yang tidak dapat diterima
 Bantu bully untuk menebus kesalahan pada korbannya.
Jelaskan bagaimana cara meminta maaf karena telah membuat
orang lain menderita dan bantu bully untuk menjelaskan alasan
perbuatannya.
 Berikan bully banyak pujian serta dukungan dan
pastikan Anda mengatakan pada bully ketika mereka
berperilaku baik dan berhasil mengatur emosi dan
perasaannya.
BAB III
KONSEP TEORI ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
Menurut Suprajitno (2004), pengkajian keluarga tediri dari sebagai berikut ini:
1. Data Umum
Data ini mencangkup kepala keluarga (KK), alamat dan telepon, pekerjaan
KK, pendidikan KK, dan komposisi keluarga. Selanjutnya komposisi
keluarga dibuat genorgramnya.

Gambar 1. Format Pengumpulan Data Keluarga


a. Tipe keluarga, menjelaskan mengenai jenis/tipe keluarga.
b. Suku bangsa, yang mengkaji tentang asal/suku bangsa keluarga
(pasangan).
c. Agama,
d. Status sosial ekonomi keluarga, status sosial ekonomi keluarga
ditentukan oleh penghasilan seluruh anggota keluarga (orang tua
maupun anak yang sudah bekerja dan membantunya).
e. Aktifitas rekreasi keluarga, yang dimaksud dengan rekreasi keluarga
bukan hanya bepergian ke luar rumahbsecara bersama atu sendiri
menuju tempat rekreasi tetapi kesempatan berkumpul di rumah untuk
menikamati hiburan radio atau televisi bersama juga bercengkraman.
2. Riwayat dan Tahap Perkembangan Keluarga
a. Tahap perkembangan keluarga
Tahap perkembangan keluarga yang dikaji ditentukan oleh usia anak
tertua dari keluarga inti.
b. Tugas perkembangan keluarga yang belum tepenuhi
Mengkaji tentang tugas keluarga yang belum tepenuhi dan kendala yang
dihadapi oleh keluarga. Selain itu juga melakukan pengidentifikasian
mengapa tugas keluarga belum terpenuhi dan upaya yang telah
dilakukan.
c. Riwayat kesehatan keluarga inti
Mengkaji tentang riwayat kesehtan keluarga inti, riwayat kesehtan
masing-masing keluarga, perhatiahan tehadap upaya pencegahan
penyakit, upaya dan pengalaman keluarga terhada pelayanan kesehatan
dalam rangka pemenuhan kebutuhan kesehatan.
d. Riwayat kesehtan keluarga sebelumnya
Mengkaji tentang riwayat kesehtan generasi di atas orang tentang
riwayat penyakit keturunan, upaya generasi tersebut tentang upaya
penanggualangan penyakit, upaya kesehatan yang diertahankan
sampai saat ini.
3. Data Lingkungan
a. Karakteristik rumah
Mengkaji tentang rumah yang dihuni keluarga meliputi, luas, tipe,
jumlah ruangan, pemanfaatan ruangan, jumlah ventilasi, perlrtakan
perabotan rumah tangga, sarana pembuangan air limbah dan kebutuhan
MCK, sarana air bersih dan minuman yang digunakan.
b. Karakteristik tertangga dan komunitasnya
Mengkaji karakteistik dari tetangga dan komunitas setempat meliputi
tempat keluarga betempat tinggal, meliputi kebiasaan.
c. Mobilitas geografis keluarga
Menggambarkan mobilitas keluarga dan anggota keluarga.
d. Perkumpulan keluarga dan interaksi dengan masyarakat
Mengkaji wkatu yang digunakan keluarga untuk berkumpul serta
perkumpulan keluarga yang ada dan interaksi dengan masyarakat
sekitar.
e. Sistem pendukung keluarga
Mengkaji tentang jumlah anggota keluarga yang sehat dan fasilitas
keluarga yang menunjang kesehtan (askes, jamsostek, kartu sehat,
asuransi atau yang lain). Fasilitas fisik yang dimiliki anggota keluarga
dukungan psikologis anggota keluarga atau masyarakat, dan fasilitas
sodial yang disekitar keluarga yang dapat digunakan untukmeringkas
upaya kesehtan.
4. Struktur Keluarga
a. Struktur peran
Mengkaji peran masing-masing anggota keluarga secara formal amupun
informal.
b. Nilai atau norma keluarga
Mengakaji nilai atau norma yang dipelajari atau dianut keluarga
berhubungan dengan kesehtan.
c. Pola komunikasi keluarga
Mengkaji bagaimana cara keluarga berkomunikasi, siapa yang
mengambil keputusan utama, dan bagaimana peran anggota
keluargadalam menciptakan berkomunikasi.
d. Struktur kekuatan keluarga
Mengkaji tentang bagaimana keluarga mempengaruhi dan
mengendalikan anggota keluarga untuk mengubah perilaku yang
berhubungan dengan kesehatan.
5. Fungsi Keluaraga
a. Fungsi ekonomi
Mengkaji tentang bagaimana upaya keluarga dalam pemenuhan
kebutuahan sandnag, pangan dan papan aserta pemnfaatan lingkungan
rumah dan meningkatkan penghasilan keluarga. Selain itu kemampuan
keluarga untuk memanfaatkan sumber daya yang ada dimasyarakat ntuk
meningkatkan status kesehatan
b. Fungsi mendapatkan status sosial
Mengkaji tentang upaya keluarga untuk memperoleh status sosial di
masyarakat temapt tinggal keluarga.
c. Fungsi sosialisais
Mengkaji tentang uapaya yang dilakukan keluarga tentang sejauh mana
keluarga beajar tentang disiplin, nilai, norma, budya, dan perilkau yang
berlaku di keluarga dan masyarakat.
d. Pemenuhan kesehatan
Mengakaji tentang:
a) Kemampuan keluarga untuk menganal masalaha kesehatan
b) Kemampuan keluarga dalam mengambil keputusan mengenai
tindakan kesehtan yang tepat.
c) Kemampuan keluarga merawta anggota keluarga yang sakit.
d) Kemampuan keluarga memelihara/memodifikasi lingkungan
rumah yang sehat.
e) Kemampuan keluarga menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan
di masyarakat.
e. Fungsi religius
Mengkaji tentang kegiatan keagamaan yang dipelajari dan dijalankan
oleh keluarga yang berhubungan dengan kesehatan
f. Fungsi rekreasi
Mengkaji tentang kemampuan dan kegiatan keluarga untuk melakukan
rekreasi secara bersama baik diluar maupun didalam rumah, juga
kuntitas dilakukan.
g. Fugsi reproduksi
Mengkaji tentang bagaiama rencana keluarga memiliki dan upaya
mngendaliakan jumlah anggota keluarga.
h. Fungsi afektif
Mengkaji tentang gambaran diri anggota keluarga, perasaan memiliki
dan dimiliki dalam keluarga, dukungan anggota keluarga, hubungan
psikososial dalam keluarga, dan bagaiman keluarga mengembangkan
sikap saling menghargai.
6. Stres dan Koping Keluarga
a. Stres jangka pendek
Stressor jangka pendek menjelaskan tentang bagaimana keluarga
mempu merespon stressor yang dialami keluarga dan memerlukan
waktu penyelesian kurang dari 6 bulan.
b. Stres jangka panjang
Mengkaji tentang bagaimana keluarage merespon setres yang
memerlukan waktu penyelesian lebih adri 6 bulan.
c. Koping keluarga
Mengkaji tentang strtegi koping terhadap stressor yang ada.
7. Pemerikasaan Fisik
Pemeriksaan kesehatan pada individu anggota keluarga yang dilakukan
tidak bebeda jauh dengan pemeriksaan pada klien di klinik (rumah sakit)
meliputi pengkajian kebutuhan dasar individu, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang yang perlu.
8. Harapan Keluarga
Mengkaji harapan keluarga terhadap perawat dalam menangani
masalah kesehtan yang terjadi.

Pengkajian Fokus
Pengkajian data focus keluarga dengan anak usia remaja (Suprajitno, 2004)
meliputi:
a. Bagaimana karakteristik teman di sekolah atau di lingkungan rumah
b. Bagaimana kebiasaan anak menggunakan waktu luang.
c. Bagaimana perilaku anak selama di rumah.
d. Bagaimana hubungan antara anak remaja dengan adiknya, dengan teman
sekolah atau bemain.
e. Siapa saja yang berada dirumah selama anak remaja di rumah.
f. Bagaimana prestasi anak disekolah dan prestasi apa yang pernah diperoleh
anak.
g. Apa kegiatan diluar rumah selain disekolah, berapa kali, berapa lama. Dan
dimana.
h. Apa kebiasaan anak di rumah.
i. Apa fasilitas yang digunakan anak secara bersamaan atau sendiri.
j. Berapalama waktu yang disediakan orang tua untuk anak.
k. Siapa yang menjadi figure untuk anak.
l. Seberapa baik peran figure bagi anak.
m. Bagaimana pelaksanaan tugas dan fungsi keluarga.

B. Analisis Data dan Penentuan Masalah


1. Analisis Data
Data Etiologi Diagnosa
Data Subjektif Penilaian internal Harga diri rendah
Pasien atau keluarga individu maupun
mengungkapkan tentang: penilaian ekstenal yang
a. Hal negative dari diri negative
sendiri atau orang lain
b. Perasaan tidak mampu
c. Padangan hidup yang Mekanisme koping
pesimis maladaptive
d. Penolakan terhadap
kemampuan diri
Data Objektif Harga diri rendah
a. Penurunan produktivitas
b. Tidak berani menatap
lawan bicara Gangguan persepsi
c. Lebih banyak sensori
menundukkan kepala
saat berinteraksi
d. Bicara lambat dengan
nada suara lemas
Data Subjektif Ketidak efektifan koping Isolasi sosial
Pasien atau keluarga individu
mengungkapkan tentang
a. Ingin sendiri
b. Menarik diri Gangguan harga diri:
c. Adanya permusuhan harga diri rendah
d. Merasa tidak aman di
tempat umum
e. Perasaan berbeda dari Isolasi sosial
orang lain
Data Objektif
a. Riwayat ditolak Gangguan persepsi
b. Tidak ada kontak mata sensori
c. Terlihat sedih
Data Subjektif Ketidak efektifan koping Resiko bunuh diri
Pasien atau keluarga individu
mengungkapkan tentang
a. Isolasi sosial Putus asa
b. Kesepian
c. Putus asa Resiko bunuh diri
d. Tidak berdaya
e. Mengatakan keinginan Kematian
untuk mati
Data Objektif
a. Tidak ada kontak mata
b. Adanya riwayat di bully

2. Penentuan Masalah
Penjajakan Tahap 1
Menurut Zaidin (2009), penjajakan tahap 1 terdiri dari sebagai berikut.
1. Ancaman Kesehatan
Ancaman kesehatan adalah keadaan yang dapat menyebabkan
tejadinya penyakit, kecelakaan atau kegagalan dalam pencapaian
potensi kesehatan.
2. Kurang/Tidak Sehat
Kurang/tidak sehata dalah kegagalan dalam memantapkan kesehatan
yang meliputi keadaan sakit apakah telah tediagnosa atau belum dan
kegagalan tumbuh-kembang sesuai dengan kecepatan yang normal.
3. Krisis
Krisis adalah kondisi yang telalu menuntut individu atau keluarga
dalam hal penyusuaian dan sumber daya luar batas kemampuan
mereka. Kondisi krisis antara laian pernikahan, kehamilan, persalinan,
masa nifas, masa menjadi orang tua, penambahan anggota baru seperti
bayi baru lahir dan orang kost, abortus, masa anak masuk sekolah,
masa remaja, kondisi kehilangan pekerjaan kematian anggota keluarga,
pindah rumah, kelahiran diluar pernikahan.

Penjajakan Tahap 2
Menurut Zaidin (2009) penjajakan tahap 2 berisi tentang
pertanyaan tentang ketidakmampuan keluarga melaksanakan tugas
keluarga seperti berikut ini.
1. Ketidaksanggupan mengenal masalah disebabkan oleh:
a. Ketidaktahuan tentang fakta
b. Rasa takut tehadap akibat jika masalah diketahui
a) Sosial: dibenci oleh masyarakat, hilangnya penghargaan kawan
dan tetangga.
b) Ekonomi yang kurang: dianggap orang miskin.
c) Fisik/Psikologis: kurang dipercaya bila ada kelemahan
fisik/psikologis
c. Sikap dan falsafah hidup yang betentangan/tidak sesuai.
2. Ketidaksanggupan mengambil keputusan mengenai tindakan kesehatan
yang tepat karena:
a. Tidak mengerti tentang sifat, berat, dan luasnya masalah
b. Masalah tidak begitu menonjol
c. Rasa takut dan menyerahakibat tidak dapat memecahkan masalah
sehingga ditangani sedikit demi sedikit.
d. Kurang pengetahuan mengenai berbagai jalan keluar yang dapat
digunakan.
e. Tidak sanggup memilih tindakan di antara beberapa pilihan.
f. Pertentangan pendapat antar anggota keluarga tentang pemilihan,
masalah dan tindakan.
g. Tidka tahu tentang fasilitas kesehtan yang tesedia.
h. Rasa takut akibat tindakan yang bekaitan dengan sosial, ekonomi,
fisik, dan psikologis.
i. Sikap negative terhadap masalah kesehatan sehingga tidak sanggu
menggunakan akal untuk mengambil keputusan.
j. Fasilitas kesehatan tidak tejangkau dalam hal fisik (lokasi) dan
biaya.
k. Kurang kepercayaan/keyakinan tehadap tenaga/institusi kesehatan.
l. Kesalahan persepsi akibat pemberian informasi yang salah.
3. Ketidakmampuan merawat/menolong anggota keluarga karena :
a. Tidak mengetahui keadaan penyakit (sifat, penyebaran, komplikasi,
prognosis, dan perawatan), pertumbuhan dan perkembangan anak.
b. Tidak mengetahui tentang sifat dan perkembangan perawatan yang
dibutuhkan.
c. Tidak ada fasilitas yang diperlukan untuk perawatan.
d. Kurang pengetahuan dan keteampilan dalam melakukan prosedur
perawatan/pengobatan.
e. Ketidakseimbangan sumber-sumber yang ada pada keluarga untuk
perawatan dalam hal:
a) Anggota keluarga yang bertanggung jawab
b) Sumbe keuangan/finansial
c) Fasilitas fisik (ruang untuk orang sakit)
f. Sikap negatif kepada yanag sakit
g. Adanya konflik individu
h. Sikap/pandangan hidup.
i. Peilaku mementingkan diri sendiri
4. Ketidakmampuan memelihara lingkungan rumah bisa mempengaruhi
kesehatan dan pengembangan pribadi anggota keluarga karena:
a. Sumbe-sumber keluarga tidak seimbang/tidak cukup.
a) Keuangan
b) Tanggungjawab/wewenag anggota keluarga
c) Fisik (isi rumah yang tidak teatur)-sempit
b. Kurang dapat memelihara keuntungan/manfaat memelihara
lingkungan di masa yang akan datang.
c. Ketidaktahuan tentang pentingnya higine sanitasi
d. Adanya konflik personal/psikologis
a) Krisis identitas, ketidaktepatan eran
b) Rasa iri
c) Rasa bersalah/tersiksa
e. Ketidak tahuan tentang usaha pengcegahan penyakit
f. Pandangan hidup
g. Ketidak kompakan keluarga
a) Sifat mementingkan diri sendiri
b) Tidak ada kesepakatan
c) Acuh terhadap anggota keluarga yang mengalami krisis
5. Ketidakmampuan menggunakan sumber di masyarakat untuk
memelihara kesehatan, karena:
a. Tidak tahu atau tidak sadar bahwa fasilitas kesehtan tesedia
b. Tidak memahami keuntungan yang dapat dipeoleh dari fasilitas
kesehatan
c. Kurang percaya terhadap petugas kesehatan dan fasilitas kesehtan
d. Pengalaman yang kurang baik tentang petugas kesehatan.
e. Rasa takut tehadap akibat tindakan (tindkan pencegahan,
diagnostik, pengobatan, rehabilitasi)
a) Fisik/psikologis
b) Keuangan
c) Sosial, seperti hilangnya penghargaan dari kawan dan orang
lain.
f. Fasilitas yang diperlukan tidak tejangkau dalam hal ongkos dan
lokasi.
g. Tidak ada fasilitas yang diperlukan
h. Tidak ada atau kurangnya sumber daya keluarga
a) Tenaga seperti penjaga anak
b) Uang untuk ongkos obat
i. Rasa asing atau adanya sokongan dari tipologi masalah
keperawatan.
j. Sikap/falsafah hidup.
Cara Memprioritaskan Masalah
Menurut Zaidin (2009), perioritas masalah dapat di susun dengan
cara menggunakan kriteria-kriteria penyusunan skala prioritas sebagai
berikut.
1. Sifat masalah
Skala yang digunakan adalah ancaman kesehatan, ketidak/kuran sehat,
dan krisis yang dapt diketahui. Faktor yang mempengaruhi adalah
faktor kebudayaan.
2. Kemungkinan masalah tersebut dapat diubah/tidak
Bila masalah ini dapat diatasai dengan sumber daya yang ada (tenaga,
dana, dll), masalah akan berkurang atau mencegah lebih meluas. Skala
yang digunakan adalah mudah, hanya sebagian dan tidak dapat.
Dipengaruhi oleh:
a. Pengetahuan yang ada, teknologi, dan tindakan untuk mengatasi
masalah.
b. Sumberdaya keluarga dalam hal fisik, keuangan, tenaga dan waktu.
c. Sumber daya perawatan dalam bentuk fasilitas organisasi dalam
masyarakat dan dukungan masyarakat.
3. Potensi masalah untuk dicegah
Sifat dan beratnya masalah akan timbul dapat dikurangi atau dicegah.
Skala yang digunakan adalah tinggi, cukup, dan rendah. Dipengaruhi
oleh faktor:
a. Lamanya masalah (semakin lama, masalah semakin kompleks).
b. Kerumitan masalah. Hal ini berhubungan dengan beratnya penyakit
atau masalah. Pad umumnya, semakin berat masalah, semakin
sedikit kemungkinan dabat diubah/dicegah.
c. Tidakan yang sedang dijalankan adalh tindakan yang tepat dalam
memperbaiki masalah. Tindakan yang tepat akan meningkatkan
kemungkinan untuk mevegah masalah.
d. Adanya kelompok “resiko tinggi” atau kelompok yang sangat peka
meningkatkan potensi untuk mencegah masalah.
4. Menonjolnya masalah
Cara keluarga melihat dan menilai masalah dalam hal beratnya dan
mendesaknya masalah. Skala yang digunakan adalah masalah berat
harus ditangani, masalah tidak perlu ditangani, masalah tidak
dirasakan.

Pengukuran Bobot Masalah


Menurut Zaidin (2009), skoring dapat dilakukan dengan cara
sebagai berikut.
Tabel Skala penyusunan Masalah Kesehatan Keluarga Sesuai Prioritas
Kriteria Bobot
1. Sifat masalah 1
Skala: Ancaman kesehatan 2
Tidak/kurang sehat 3
Krisis 1
2. Kemungkinan masalah dapat diubah 2
Skala : Dengan mudah 2
Hanya sebagian 1
Tidak dapat 0
3. Potensi masalah untuk dicegah 1
Skala: Tinggi 3
Cukup 2
Rendah 1
4. Menonjolnya masalah 1
Skala: Maslah berat harus ditangani 2
Maslah tidak perlu segera ditangani 1
Masalah tidak dirasakan 0

1. Tentuakan skor setiap kriteria


2. Skor dibagi dengan angka tetinggi dan dikalikan bobot
Skor x Bobot
Angka Tetinggi
3. Jumlah skor untuk semua kriteria, dengan skor tetinggi adalah 5,
sama dengan seluruh bobot.
C. Diagnosa Keperawatan
1. Harga diri rendah berhubungan dengan riwayat penolakan
2. Isolasi sosial berhubungan dengan perubahan status mental
3. Resiko bunuh diri berhubungan dengan kekerasan psikis

Prioritas masalah
1. Harga diri rendah
Sifat masalah :
a. Kemungkinan masalah dapat diubah : sebagian
b. Potensial masalah dapat di cegah : sebegaian
c. Menonjolnya masalah : masalah harus segera ditangani karena akan
berdapak buruk pada mental dan psikis anak yang berujung pada
keputusasaan yang berisiko melukai atau resiko bunuh diri
Ancaman kesehatan
a. Merupakan ancaman karena bila hal tersebut dibiarkan terus dapat
mengancam kesehatan mental dan psikisnya.
b. Dengan diberikan pengarahan pada salah satu anggota keluarga, masalah
dapat diubah tetapi memerlukan proses.
c. Dengan memperhatikan pengarahan,potensial masalah akan sulit dicegah
karena butuh proses yang cukup lama untuk membangun percaya
diriterhadap anak.
d. Keluarga yang dengan anak bullying perlu didampingi guna menggali hal
yang menyebabkan,penghambat serta menanganan yang cocok untuk
diberikan
Diagnosa prioritas

1. Harga diri rendah berhubungan dengan riwayat penolakan


D. Intervensi Keperawatan
Rencana Keperawatan
Diagnosa
Tujuan dan Kriteria Hasil
keperawatan Intervensi (NIC)
(NOC)
Harga diri NOC 1. Self-Esteem Enhancement
rendah  Self – Esteem a. Bantu pasien untuk menemukan
berhubungan  Self – Esteem: Chronic Low penerimaan diri
dengan riwayat Setelah dilakukan tindakan b. Dukung (melakukan) kontak mata
penolakan keperawatan selama ….x24 jam saat berkomunikasi dengan orang
harga diri pasien meningkat, lain
dengan kriteria hasil: c. Dukung pasien untuk terlibat
1. verbalisasi penerimaan diri dalam memberikan afirmasi
2. penerimaan keterbatasan positif melalui pembicaraan pada
diri diri sendiri dan secara verbal
3. tingkat percaya diri naik terhadap diri setiap hari
d. Berikan pengalaman yang akan
meningkatkan otonomi pasien
dengan tepat
e. Sampaikan/ungkapkan
kepercayaan diri pasien dalam
mengatasi situasi
f. Bantu untuk mengatur tujuan
yang realistik dalam rangka
mencapai harga diri yang lebih
tinggi
g. Berikan hadiah atau pujian terkait
dengan kemajuan pasien dalam
mencapai tujuan
h. Fasilitasi lingkungan dan
aktivitas-aktivitas yang akan
meningkatkan harga diri
i. Monitor tingkat harga diri dari
waktu ke waktu dengan tepat

E. Implementasi Keperawatan
No Diagnosa Hari/Tgl Implementasi TTD
1 Harga diri Senin, 6 Nov 1. Meningkatan harga diri
rendah 2017 pukul
08.00

A. Evaluasi

No Diagnosa Evaluasi

1 Harga Diri Rendah S : Klien  Mengatakan tidak percaya diri dengan


hasil karyanya

O : tidak dapat mau memberikan tauakan hasil


karya nya kepada orang lain (anggota
keluarganya)

A : masalah belum teratasi

P : intervensi dilanjutkan
BAB IV
PENUTUP

A.Kesimpulan
Perilaku bullying ialah penyalahgunaan kuasa yang dilakukan individu
baik dalam konteks psikologis maupun fisik yang terjadi berulang-ulang terhadap
individu yang memiliki daya tahan atau proses adaptasi yang lemah terhadap suatu
kelompok (Yusuf & Fahrudin, 2012).
Perilaku atau perbuatan bullying yang terjadi di kalangan remaja memiliki
bentuk yang beragam antara lain bullying fisik, bullying verbal, bullying relasional
dan bullying elektronik. Bullying fisik adalah perilaku yang dengan sengaja
menyakiti atau melukai fisik orang lain, bullying verbal adalah perilaku yang
dilakukan dengan mengucapkan perkataan yang menyakiti atau menghina orang
lain, bullying relasional adalah perilaku yang mengucilkan atau mengintimidasi
orang lain dalam pergaulan, sedangkan bullying elektronik adalah perilaku yang
menyakiti orang lain dengan menggunakan jejaring sosial (Budiarti, 2013).
Berdasarkan analisis asuhan keperawan dapat didiagnosa beberapa alasan
seseorang terkena bullying antara lain :
1) Harga diri rendah berhubungan dengan riwayat penolakan
2) Isolasi sosial berhubungan dengan perubahan status mental
3) Resiko bunuh diri berhubungan dengan kekerasan psikis
Berdasarkan hal tersebut maka hal-hal yang harus dilakukan antara lain :
1) Bantu pasien untuk menemukan penerimaan diri
2) Dukung (melakukan) kontak mata saat berkomunikasi dengan orang lain
3) Dukung pasien untuk terlibat dalam memberikan afirmasi positif melalui
pembicaraan pada diri sendiri dan secara verbal terhadap diri setiap hari
4) Berikan pengalaman yang akan meningkatkan otonomi pasien dengan tepat
5) Sampaikan/ungkapkan kepercayaan diri pasien dalam mengatasi situasi
6) Bantu untuk mengatur tujuan yang realistik dalam rangka mencapai harga diri
yang lebih tinggi
7) Berikan hadiah atau pujian terkait dengan kemajuan pasien dalam mencapai
tujuan
8) Fasilitasi lingkungan dan aktivitas-aktivitas yang akan meningkatkan harga diri
9) Monitor tingkat harga diri dari waktu ke waktu dengan tepat
B. Saran
Dari berbagai kasus yang terjadi maka, diperlukan penanggulangan
maupun pencegahan agar anak tidak menjadi pelaku bullying dengan menghimbau
para orang tua atau wali dari anak untuk mengembangkan kecerdasaan emosional
anak sejak kecil. Pendidikan untuk memiliki rasa empati, menghargai orang lain
dan memberikan penyadaran pada anak tentang peran dirinya sebagai mahluk
sosial yang memerlukan orang lain dalam kehidupannya.
Dalam mengatasi dan mencegah bullying diperlukan aturan yang bersifat
menyeluruh yang mengikat antara guru dan muridnya, dari kepala sekolah hingga
wali murid/orang tua, kerjasama antara guru, orang tua dan masyarakat atau pihak
yang berwenang seperti polisi, apparat hukum dan sebagainya sangan dibutuhkan
untuk mengatasi persoalan bullying di sekolah.
DAFTAR PUSTAKA

Ariesto, A. (2009). Pelaksanaan Program Antibullying Teacher Empowermen

Bulechek Gloria M, H, J, C. (2014). Nursing Interventions Classification (NIC)


Sixth Edition.Unitedstated of America. ELSEVIER

Carroll, A., Houghton, S., Durkin, K., & Hattie, J. A. (2009). Adolescent Reputations
and Risk. New York: Springer.

Coloroso, B. (2007). The Bully, The Bullied, and The Bystander. New York:
HarperCollins.

Depresi Gara-gara Dibully, Remaja Ini Pilih Bunuh Diri. (2016, Desember 4). Retrieved
Juni 12, 2017, from Tribun Jogja: http://jogja.tribunnews.com/2016/12/04
/depresi-gara-gara-dibully-remaja-ini- pilih-bunuh-diri

Herman, T. Heather. 2015. Diagnosa Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi


2015-2017. Ed. 10. Jakarta: EGC.

Lee, A. (2010). How to Grow Great Kids. Oxford: HowTo Content.

Moorheaad S, M, M, E. (2014). Nursing Outcomes Classification (NOC) Fifth


Edition. United Stated of America. ELSEVIER

Nurhalimah. 2015. Modul Keperawatan Jiwa I: Asuhan Keperawatan pada Klien


dengan Gangguan Jiwa (Harga Diri Rendah dan Isolasi Sosial). Jakarta:
AIPHSS.

Raharjo, ST. 2015. Assessment untuk Praktik Pekerjaan Sosial dan Kesejahteraan Sosial.
Bandung: Unpad Press , 2015. Dasar Pengetahuan Pekerjaan Sosial.
Bandung: Unpad Press. , 2015. Keterampilan Pekerjaan Sosial:
Dasar-dasar. Bandung, Unpad Press.

Sukiswanti, P. (2015, November 2). Remaja di Bali Nekat Bunuh Temannya karena Sering
Dibully. Retrieved Juni 12, 2017, from sindonews.com:
https://daerah.sindonews.com/read/105 8287/174/remaja-di-bali-nekat-bunuh-
temannya-karena-sering-dibully-
Suprajitno. 2004. Asuhan Keperawatan Keluarga: Aplikasi dalam Praktik.
Jakarta: EGC.

Zaidin, Ali. 2009. Pengantar Keperawatan keluarga. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai