Anda di halaman 1dari 75

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gangguan jiwa (Mental Disorder) merupakan salah satu dari empat

masalah kesehatan utama di negara berkembang maupun negara maju, modern

dan industry, Keempat masalah kesehatan utama tersebut adalah penyakit

degenerative, kanker, gangguan jiwa dan kecelakaan. Meskipun gangguan jiwa

tersebut tidak dirasakan sebagai penyakit yang dapat menyebabkan kematian

secara langsung, namun beratnya gangguan tersebut sertaketidakmampuan dan

invaliditas baik secara individu maupun kelompok akan menghambat

pembangunan karena mereka tidak produktif dan tidak efisien (Hawari, 2001).

Gangguan jiwa menyebabkan penderitanya tidak sanggup menilai dengan

baik kenyataan, tidak dapat lagi menguasai dirinya untuk mencegah mengganggu

orang lain atau merusak/menyakiti dirinya sendiri (Baihaqi,dkk, 2005). Gangguan

jiwa sesungguhnya sama dengan gangguan jasmaniah lainnya. Hanya saja

gangguan jiwa bersifat lebih kompleks, mulai dari yang ringan seperti rasa cemas,

takut hingga yang tingkat berat berupa sakit jiwa atau kita kenal sebagai gila.

Salah satu penyakit gangguan jiwa adalah Gangguan jiwa (Hardianto, 2009).

Pasien gangguan jiwa merupakan pasien gangguan jiwa yang

perawatannya dapat melalui rawat inap di rumah sakit jiwa. Hari perawatannya

tergantung dari tipe gangguan jiwa yang diderita oleh pasien. Gejala positif berupa

delusi, halusinasi, kekacauan pikiran, gaduh gelisah dan perilaku aneh atau

1
bermusuhan. Gejala negatif adalah alam perasaan (afek) tumpul atau mendatar,

menarik diri atau isolasi diri dari pergaulan, kurang kontak emosional (pendiam,

sulit diajak bicara), pasif, apatis atau acuh tak acuh, sulit berpikir abstrak dan

kehilangan dorongan kehendak atau inisiatif serta rasa takut dan cemas (Siahaan,

2012).

Rumah sakit sedang mencari cara baru dalam memberikan pelayanan

yang bertujuan untuk mencapai efisiensi dan waktu rawat yang lebih pendek.

Fokus Rumah Sakit adalah untuk memberikan pelayanan perawatan yang

berkualitas tinggi sehingga pasien dapat pulang lebih awal dengan aman

kerumahnya. Oleh karena itu diperlukan tenaga perawat yang profesional dan

harus memiliki pegetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk membina

hubungan yang adekuat dengan pasien dan anggota keluarganya sehingga

mereka mau berpartisipasi secara aktif dalam rencana perawatan (Perry dan

Potter, 2005).

Kecemasan adalah respon emosi tanpa obyek yang spesifik yang secara

subyektif dialami dan dikomunikasikan secara interpersonal. Kecemasan adalah

kebingungan, kekhawatiran pada sesuatu yang akan terjadi dengan penyebab

yang tidak jelas dihubungkan dengan perasaan tidak menentu dan tidak berdaya

(Suliswati, 2005).

Dalam kehidupan manusia tidak seorangpun yang dapat terbebas dari

perasaan cemas. Pada suatu saat perasaan cemas justru dibutuhkan untuk

memacu dan mendorong manusia lebih meningkatkan kualitas hidupnya.

Kecemasan yang demikian umumnya adalah kecemasan dalam batas normal.

2
Bila kecemasan sangat meningkat, maka akan berubah menjadi patologis, seperti

keadaan kecemasan neurosis, histeria, fobia, hipochondria, dan psikosomatis

(Ibrahim, 2006).

Kecemasan selalu melibatkan komponen psikis dan biologis. Komponen

psikis pada kecemasan berbentuk perasaan khawatir, cemas, was-was, gugup,

rasa tidak aman, takut, mudah terkejut, serta ketegangan terus-menerus.

Kadangkala disertai dengan pembicaraan yang cepat atau bahkan terputus-putus.

Gejala biologis antara lain keluhan sesak nafas, dada tertekan, kepala ringan

seperti mengambang, keringat dingin, detak jantung berdebar-debar, nyeri pada

daerah ulu hati serta lekas lelah. Kecemasan dapat dibedakan dengan ketakutan

dalam hal seseorang yang mengalami kecemasan tidak dapat mengidentifikasi

ancaman. Kecemasan dapat terjadi tanpa rasa takut, namun ketakutan biasanya

tidak terjadi tanpa kecemasan (Ibrahim, 2006).

Menurut World Health Organization (WHO) atau Badan Kesehatan Dunia,

jumlah penderita gangguan jiwa gangguan jiwadi dunia pada 2011 adalah 450 juta

jiwa. Dengan mengacu data tersebut, kini jumlah itu diperkirakan sudah

meningkat. WHO memperkirakan, jumlah penderita sakit mental akan terus

meningkat di seluruh dunia pada tahun 2013 (British Broadcasting Corporation

(BBC) Indonesia Edisi 4 Oktober 2011).

Di Indonesia, berdasarkan data Riskesdas 2013 menunjukkan angka rata-

rata gangguan jiwa berat seperti gangguan jiwa sebesar 0,17 persen atau sekitar

400.000 orang. Jumlah tersebut belum termasuk penderita gangguan jiwa ringan

seperti cemas dan depresi yang mencapai 14 juta penduduk. Prevalensi tertinggi

3
terdapat di Provinsi Jogjakarta dan Aceh sedangkan yang terendah di Provinsi

Kalimantan Barat (Liputan 6.com Edisi 9 Oktober 2014).

Di Provinsi Sulawesi Tenggara, jumlah pasien gangguan jiwa yang tercatat

di Rumah Sakit Jiwa pada tahun 2014 sebanyak 1111 orang yang dirawat inap

dan pada tahun 2015 dari bulan Januari hingga April tercatat 761 pasien yang

dirawat inap. Untuk jaminan pelayanan rata-rata pasien menggunakan jaminan

berupa kartu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) namun ada pula

pasien yang tidak menggunakan kartu jaminan dan dikenakan tarif sesuai dengan

ketentuan rumah sakit (Diklat RSJ Prov. Sultra, 2014).

Hari perawatan pada tahun 2014 rata-rata hari perawatan pasien rawat

inap adalah 69 hari. Menurun bila dibandingkan dengan tahun 2013 yang rata-rata

pelayanan hari perawatan mencapai 72 hari. (Diklat RSJ Prov. Sultra, 2014).

Berdasarkan standar dari Rumah Sakit Jiwa Propinsi Sulawesi Tenggara sendiri

untuk hari perawatan sesuai dengan BPJS yaitu 32 hari. Selain itu, hari perawatan

menjadi gambaran tingkat keberhasilan pelayanan semakin singkat waktu

perawatan semakin baik pelayanannya (Diklat RSJ Prov. Sultra 2015).

Hari Perawatan (Inpatient bed day) merujuk pada jumlah pasien yang ada

saat sensus dilakukan ditambah pasien yang masuk dan keluar pada hari yang

sama pada hari sensus diambil, angka ini juga menunjukkan beban kerja unit

perawatan yang bersangkutan, karena dalam satu hari perawatan artinya pasien

menerima satu kali perawatan baik dari perawat maupun dokter (Buku Statistik

Rumah Sakit, 2013).

4
Berdasarkan hasil observasi awal, pasien gangguan jiwa dengan hari

perawatan yang cukup lama sudah menunjukkan sikap yang kooperatif,

komunikasi yang terarah dan emosi yang terkontrol, karena mereka sudah

beradaptasi dengan lingkungan dan situasi sekitarnya di Rumah Sakit Jiwa

Propinsi Sulawesi Tenggara. Untuk pelayanan perawatannya sendiri, pasien yang

sudah menjalani perawatan cukup lama ini sudah dikeluarkan dari ruang isolasi,

dan perawat tinggal mengarahkan, membimbing, dan melatih untuk mencapai

kemandirian pasien. Sedangkan pada pasien gangguan jiwa yang baru masuk,

biasanya pasien akan diisolasi terlebih dahulu sampai pasien kooperatif.

Berdasarkan hasil wawancara dengan 10 orang pasien gangguan jiwa di

ruang Melati dan Delima diketahui bahwa pasien merasa cemas dan rindu dengan

keluarga. Karena selama dirawat inap dan mendapatkan perawatan sangat jarang

keluarga mereka datang menjenguk. Pasien merasa cemas karena pasien

merasa sudah lama dirawat inap di rumah sakit jiwa dan ingin segera pulang ke

rumah. Pasien juga merasa cemas apabila pulang apakah keluarga bisa

menerima dan mendukung pasien untuk sembuh dan tidak kambuh kembali.

Pasien juga mengatakan bahwa pada hari pertama hingga minggu pertama di

rawat inap mereka menjawab tidak merasakan cemas sama sekali. Mereka hanya

merasa banyak gangguan yang mereka alami seperti ingin marah, berteriak,

mendengar suara-suara dan sebagainya. Hanya setelah mereka merasa tenang

dan sadar baru merasakan cemas termasuk keberadaannya di rumah sakit jiwa

dan ingin segera pulang. Adapula pasien begitu masuk ke Rumah Sakit Jiwa

5
untuk menjalani pengobatan sudah mengalami kecemasan. Pasien merupakan

pasien baru yang mengalami gangguan jiwa namun tidak mengalami disorientasi.

Wawancara dengan perawat yang bertugas di ruang rawat inap diketahui

bahwa pasien yang sudah kooperatif dan sudah lama menjalani perawatan di

ruang rawat inap sering merasa cemas, rasa cemas ini ditunjukkan dengan

penyampaian ingin segera pulang, terkadang menangis sendiri, minta tolong

kepada perawat agar segera dihubungi keluarganya dan sebagainya. Mereka juga

mengalami kegelisahan, terbangun pada malam hari, mondar-mandir dalam

ruangan isolasi, tidak bisa berkonsentrasi dan penurunan daya ingat karena

sehubungan dengan lamanya mereka menjalani perawatan. Sementara itu, untuk

pasien yang baru menjalani perawatan, mereka awalnya dimasukkan ke ruang

isolasi. Namun terkadang ada beberapa dari mereka yang juga gelisah dan

meminta kepada perawat untuk mengeluarkan mereka dari ruang isolasi.

Dari hasil studi pendahuluan diatas dapat diketahui bahwa pasien dalam

menjalani perawatan di Rumah Sakit Jiwa mengalami kecemasan melalui gejala-

gejala kecemasan yang ditunjukkannya baik dengan hari perawatan yang baru

beberapa hari maupun sudah lama.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian dengan judul ”Hubungan hari perawatan dengan tingkat kecemasan

pasien gangguan jiwa di Rumah sakit Jiwa Provinsi Sulawesi Tenggara tahun

2015”.

6
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas maka dapat dirumuskan

suatu masalah yaitu sebagai berikut :

1. Bagaimanakah gambaran hari perawatan pasien gangguan jiwa di Rumah

sakit Jiwa Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2015?

2. Bagaimanakah gambaran tingkat kecemasan pada pasien gangguan jiwa di

Rumah sakit Jiwa Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2015?

3. Apakah ada hubungan hari perawatan dengan tingkat kecemasan pada pasien

gangguan jiwa di Rumah sakit Jiwa Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2015?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan hari perawatan dengan tingkat kecemasan

pada pasien gangguan jiwa di Rumah sakit Jiwa Provinsi Sulawesi Tenggara

tahun 2015.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui hari perawatan pasien gangguan jiwa di Rumah sakit Jiwa

Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2015.

b. Mengetahui tingkat kecemasan pada pasien gangguan jiwa di Rumah sakit

Jiwa Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2015.

c. Mengetahui hubungan hari perawatan dengan tingkat kecemasan pada

pasien gangguan jiwa di Rumah sakit Jiwa Provinsi Sulawesi Tenggara

tahun 2015.

7
D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu

pengetahuan di bidang keperawatan tentang hari perawatan dengan

tingkat kecemasan pada pasien gangguan jiwa di Rumah Sakit Jiwa

Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi peneliti

selanjutnya untuk mengembangkan penelitian yang berkaitan.

c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan dalam

perkembangan ilmu keperawatan bagi Institusi Pendidikan STIKES

Mandala Waluya,

2. Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi Rumah Sakit

Jiwa Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara dalam mengambil kebijakan

terkait dengan hasil penelitian yang didapatkan

b. Penelitian ini merupakan pe6ngalaman yang sangat berharga dan dapat

menambah pengetahuan dan wawasan bagi peneliti.

8
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Lokasi Penelitian

1. Pengertian Rumah Sakit

Departemen Kesehatan RI menyatakan bahwa rumah sakit

merupakan pusat pelayanan yang menyelenggarakan pelayanan medik dasar

dan medik spesialistik, pelayanan penunjang medis, pelayanan perawatan,

baik rawat jalan, rawat inap maupun pelayanan instalasi. Rumah sakit sebagai

salah satu sarana kesehatan dapat diselenggarakan oleh pemerintah, dan

atau masyarakat.

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009

tentang rumah sakit, rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang

menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang

menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.

Rumah sakit merupakan salah satu dari sarana kesehatan yang juga

merupakan tempat menyelenggarakan upaya kesehatan yaitu setiap kegiatan

untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta bertujuan untuk

mewujudkan derajat kesehatapn yang optimal bagi masyarakat. Upaya

kesehatan dilakukan dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan

kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit

(kuratif) dan pemulihan (rehabilitatif) yang dilaksanakan secara serasi dan

terpadu serta berkesinambungan.

9
2. Tugas dan Fungsi Rumah Sakit

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009

tentang rumah sakit, rumah sakit mempunyai tugas memberikan pelayanan

kesehatan perorangan secara paripurna. Pelayanan kesehatan paripurna

adalah pelayanan kesehatan yang meliputi promotif, preventif, kuratif, dan

rehabilitatif. Untuk menjalankan tugas sebagaimana yang dimaksud, rumah

sakit mempunyai fungsi :

a. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai

dengan standar pelayanan rumah sakit.

b. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan

kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan

medis.

c. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam

rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan,

dan

d. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi

bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan

dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.

3. Jenis dan Klasifikasi Rumah Sakit

a. Jenis Rumah Sakit

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009

tentang rumah sakit, rumah sakit dapat dibagi berdasarkan jenis pelayanan

dan pengelolaannya.

10
1) Berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan, rumah sakit dikategorikan

dalam rumah sakit umum dan rumah sakit khusus.Rumah sakit umum,

memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang dan jenis

penyakit.

2) Rumah sakit khusus, memberikan pelayanan utama pada satu bidang

atau satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan

umur, organ, jenis penyakit, atau kekhususan lainnya.

Berdasarkan pengelolaannya rumah sakit dapat dibagi menjadi rumah sakit

publik dan rumah sakit privat.

1) Rumah sakit publik sebagaimana dimaksud dapat dikelola oleh

pemerintah, pemerintah daerah, dan badan hukum yang bersifat

nirlaba. Rumah sakit publik yang dikelola pemerintah dan pemerintah

daerah diselenggarakan berdasarkan pengelolaan Badan Layanan

Umum atau Badan Layanan Umum Daerah sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan. Rumah sakit publik yang dikelola

pemerintah dan pemerintah daerah sebagaimana dimaksud tidak

dapat dialihkan menjadi Rumah Sakit privat.

2) Rumah sakit privat sebagaimana dimaksud dikelola oleh badan hukum

dengan tujuan profit yang berbentuk perseroan terbatas atau persero.

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun

2009 tentang rumah sakit, rumah sakit dapat ditetapkan menjadi rumah

sakit pendidikan setelah memenuhi persyaratan dan standar rumah sakit

pendidikan.

11
b. Klasifikasi Rumah Sakit Di Indonesia

Dalam rangka penyelenggaraan kesehatan secara berjenjang dan

fungsi rujukan, rumah sakit umum dan rumah sakit khusus diklasifikasikan

berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan rumah sakit. Menurut

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang rumah

sakit, rumah sakit umum diklasifikasikan sebagai berikut :

1) Rumah Sakit umum kelas A

Adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan

kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) spesialis dasar, 5

(lima) spesialis penunjang medik, 12 (dua belas) spesialis lain dan 13

(tiga belas) subspesialis.

2) Rumah Sakit umum kelas B

Adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan

kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) spesialis dasar, 4

(empat) spesialis penunjang medik, 8 (delapan) spesialis lain dan 2

(dua) subspesialis dasar.

3) Rumah Sakit umum kelas C

Adalah Rumah Sakit Umum Kelas C adalah rumah sakit umum

yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling

sedikit 4 (empat) spesialis dasar dan 4 (empat) spesialis penunjang

medik.

12
4) Rumah Sakit umum kelas D.

Adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan

kemampuan pelayanan medik paling sedikit 2 (dua) spesialis dasar.

Klasifikasi Rumah Sakit khusus sebagaimana dimaksud terdiri atas:

1) Rumah Sakit khusus kelas A

Adalah rumah sakit khusus yang mempunyai fasilitas dan

kemampuan paling sedikit pelayanan medik spesialis dan pelayanan

medik subspesialis sesuai kekhususan yang lengkap.

2) Rumah Sakit khusus kelas B

Adalah rumah sakit khusus yang mempunyai fasilitas dan

kemampuan paling sedikit pelayanan medik spesialis dan pelayanan

medik subspesialis sesuai kekhususan yang terbatas.

3) Rumah Sakit khusus kelas C.

Adalah rumah sakit khusus yang mempunyai fasilitas dan

kemampuan paling sedikit pelayanan medik spesialis dan pelayanan

medik subspesialis sesuai kekhususan yang minimal.

B. Tinjauan Umum Penyakit Gangguan Jiwa

1. Pengertian Gangguan Jiwa

Gangguan jiwa atau mental illness adalah kesulitan yang harus

dihadapi oleh seseorang karena hubungannya dengan orang lain, kesulitan

karena persepsinya tentang kehidupan dan sikapnya terhadap dirinya sendiri-

sendiri (Djamaludin, 2011). Gangguan jiwa adalah gangguan dalam cara

13
berpikir (cognitive), kemauan (volition), emosi (affective), tindakan

(psychomotor) (Yosep, 2007).

Gangguan jiwa menurut Depkes RI (2005) adalah suatu perubahan

pada fungsi jiwa yang menyebabkan adanya gangguan pada fungsi jiwa, yang

menimbulkan penderitaan pada individu dan atau hambatan dalam

melaksanakan peran social. Mental illness adalah respon maladaptive

terhadap stressor dari lingkungan dalam/luar ditunjukkan dengan pikiran,

perasaan, dan tingkah laku yang tidak sesuai dengan norma lokal dan kultural

dan mengganggu fungsi sosial, kerja, dan fisik individu.

Konsep gangguan jiwa adalah sindrom atau pola perilaku, atau

psikologi seseorang, yang secara klinik cukup bermakna, dan yang secara

khas berkaitan dengan suatu gejala penderitaan (distress) atau hendaya

(impairment/disability) di dalam satu atau lebih fungsi yang penting dari

manusia (Kusumawati, 2010). Gangguan mental adalah gejala atau pola dari

tingkah laku psikologi yang tampak secara klinis yang terjadi pada seseorang

dari berhubungan dengan keadaan distress (gejala yang menyakitkan) atau

ketidakmampuan (gangguan pada satu area atau lebih dari fungsi-fungsi

penting) yang meningkatkan risiko terhadap kematian, nyeri, ketidakmampuan

ataukehilangan kebebasan yang penting dan tidak jarang respon tersebut

dapat diterima pada kondisi tertentu.

2. Penyebab Timbulnya Gangguan Jiwa

Penyebab gangguan jiwa itu bermacam-macam ada yang bersumber

dari berhubungan dengan orang lain yang tidak memuaskan seperti

14
diperlakukan tidak adil, diperlakukan semena-mena, cinta tidak terbatas,

kehilangan seseorang yang dicintai, kehilangan pekerjaan, dan lain-lain. Selain

itu ada juga gangguan jiwa yang disebabkan faktor organik, kelainan saraf dan

gangguan pada otak (Djamaludin, 2011).Para ahli psikologi berbeda pendapat

tentang sebab-sebab terjadinya gangguan jiwa. Menurut pendapat

Kusumawati, (2010), gangguan jiwa terjadi karena tidak dapat dimainkan

tuntutan id (dorongan instinctive yang sifatnya seksual) dengan tuntutan super

ego (tuntutan normal social). Orang ingin berbuat sesuatu yang dapat

memberikan kepuasan diri, tetapi perbuatan tersebut akan mendapat celaan

masyarakat. Konflik yang tidak terselesaikan antara keinginan diri dan tuntutan

masyarakat ini akhirnya akan mengantarkan orang pada gangguan jiwa.

Terjadinya gangguan jiwa dikarenakan orang tidak memuaskan

macam-macam kebutuhan jiwa mereka. Beberapa contoh dari kebutuhan

tersebut diantaranya adalah pertama kebutuhan untuk afiliasi, yaitu kebutuhan

akan kasih sayang dan diterima oleh orang lain dalam kelompok. Kedua,

kebutuhan untuk otonomi, yaitu ingin bebas dari pengaruh orang lain. Ketiga,

kebutuhan untuk berprestasi, yang muncul dalam keinginan untuk sukses

mengerjakan sesuatu dan lain-lain. Ada lagi pendapat Alfred Adler yang

mengungkapkan bahwa terjadinya gangguan jiwa disebabkan oleh tekanan

dari perasaan rendah diri (infioryty complex) yang berlebih-lebihan. Sebab-

sebab timbulnya rendah diri adalah kegagalan di dalam mencapai superioritas

di dalam hidup. Kegagalan yang terus-menerus ini akan menyebabkan

kecemasan dan ketegangan emosi.

15
Kartini Kartono (2008) mengartikan bahwa kebutuhan ialah alat

substansi sekuler. Dorongan hewani atau motif fisiologis dan psikologis yang

harus dipenuhi atau dipuaskan oleh organisme, binatang atau manusia,

supaya mereka bias sehat sejahtera dan mampu melakukan fungsinya.

Dari berbagai pendapat mengenai penyebab terjadinya gangguan jiwa

seperti yang dikemukakan diatas disimpulkan bahwa gangguan jiwa

disebabkan oleh karena ketidak mampuan manusia untuk mengatasi konflik

dalam diri, tidak terpenuhinya kebutuhan hidup, perasaan kurang diperhatikan

(kurang dicintai) dan perasaan rendah diri. Adanya gangguan tugas

perkembangan pada masa anak terutama dalam hal berhubungan dengan

orang lain sering menyebabkan frustasi, konflik, dan perasaan takut, respon

orang tua yang mal adaptif pada anak akan meningkatkan stress, sedangkan

frustasi dan rasa tidak percaya yang berlangsung terusmenerus dapat

menyebabkan regresi dan withdral.Disamping hal tersebut di atas banyak

faktor yang mendukung timbulnya gangguan jiwa yang merupakan perpaduan

dari beberapa aspek yang saling mendukung yang meliputi Biologis,

psikologis, sosial, lingkungan. Tidak seperti pada penyakit jasmaniah, sebab-

sebab gangguan jiwa adalah kompleks. Pada seseorang dapat terjadi

penyebab satu atau beberapa faktor dan biasanya jarang berdiri sendiri.

Mengetahui sebabsebab gangguan jiwa penting untuk mencegah dan

mengobatinya (Djamaludin, 2001).

16
3. Sebab-sebab Gangguan Jiwa

Umumnya sebab-sebab gangguan jiwa dibedakan atas :

a. Sebab-sebab jasmaniah/ biologic

1) Keturunan

Peran yang pasti sebagai penyebab belum jelas, mungkin terbatas

dalam mengakibatkan kepekaan untuk mengalami gangguan jiwa tapi

hal tersebut sangat ditunjang dengan faktor lingkungan kejiwaan yang

tidak sehat

2) Jasmaniah

Beberapa penyelidik berpendapat bentuk tubuh seorang berhubungan

dengan gangguan jiwa tertentu, Misalnya yang bertubuh gemuk /

endoform cenderung menderita psikosa manik depresif, sedang yang

kurus/ ectoform cenderung menjadi skizofrenia.

3) Temperamen

Orang yang terlalu peka/ sensitif biasanya mempunyai masalah

kejiwaan dan ketegangan yang memiliki kecenderungan mengalami

gangguan jiwa.

4) Penyakit dan cedera tubuh

Penyakit-penyakit tertentu misalnya penyakit jantung, kanker dan

sebagainya, mungkin menyebabkan merasa murung dan sedih.

Demikian pula cedera/cacat tubuh tertentu dapat menyebabkan rasa

rendah diri.

17
b. Sebab Psikologik

Bermacam pengalaman frustasi, kegagalan dan keberhasilan yang

dialami akan mewarnai sikap, kebiasaan dan sifatnya dikemudian hari.

Hidup seorang manusia dapat dibagi atas 7 masa dan pada keadaan

tertentu dapat mendukung terjadinya gangguan jiwa :

1) Masa bayi

Yang dimaksud masa bayi adalah menjelang usia 2 – 3 tahun, dasar

perkembangan yang dibentuk pada masa tersebut adalah sosialisasi

dan pada masa ini. Cinta dan kasih sayang ibu akan memberikan rasa

hangat/ aman bagi bayi dan dikemudian hari menyebabkan kepribadian

yang hangat, terbuka dan bersahabat. Sebaliknya, sikap ibu yang dingin

acuh tak acuh bahkan menolak dikemudian hari akan berkembang

kepribadian yang bersifat menolak dan menentang terhadap lingkungan.

Sebaiknya dilakukan dengan tenang, hangat yang akan memberi rasa

aman dan terlindungi, sebaliknya, pemberian yang kaku, keras dan

tergesa-gesa akan menimbulkan rasa cemas dan tekanan.

2) Masa anak pra sekolah (antara 2 sampai 7 tahun)

Pada usia ini sosialisasi mulai dijalankan dan telah tumbuh disiplin dan

otoritas. Penolakan orang tua pada masa ini, yang mendalam atau

ringan, akan menimbulkan rasa tidak aman dan ia akan

mengembangkan cara penyesuaian yang salah, dia mungkin menurut,

menarik diri atau malah menentang dan memberontak. Anak yang tidak

mendapat kasih sayang tidak dapat menghayati disiplin tak ada

18
panutan, pertengkaran dan keributan membingungkan dan

menimbulkan rasa cemas serta rasa tidak aman. hal-hal ini merupakan

dasar yang kuat untuk timbulnya tuntutan tingkah laku dan gangguan

kepribadian pada anak dikemudian hari.

3) Masa Anak sekolah

Masa ini ditandai oleh pertumbuhan jasmaniah dan intelektual yang

pesat. Pada masa ini, anak mulai memperluas lingkungan

pergaulannya. Keluar dari batas-batas keluarga. Kekurangan atau cacat

jasmaniah dapat menimbulkan gangguan penyesuaian diri. Dalam hal

ini sikap lingkungan sangat berpengaruh, anak mungkin menjadi rendah

diri atau sebaliknya melakukan kompensasi yang positif atau

kompensasi negatif. Sekolah adalah tempat yang baik untuk seorang

anak mengembangkan kemampuan bergaul dan memperluas

sosialisasi, menguji kemampuan, dituntut prestasi, mengekang atau

memaksakan kehendaknya meskipun tak disukai oleh si anak.

4) Masa Remaja

Secara jasmaniah, pada masa ini terjadi perubahanperubahan yang

penting yaitu timbulnya tanda-tanda sekunder (ciri-ciri diri kewanitaan

atau kelaki-lakian) Sedang secara kejiwaan, pada masa ini terjadi

pergolakan- pergolakan yang hebat. pada masa ini, seorang remaja

mulai dewasa mencoba kemampuannya, di suatu pihak ia merasa

sudah dewasa ( hak-hak seperti orang dewasa), sedang di lain pihak

belum sanggup dan belum ingin menerima tanggung jawab atas semua

19
perbuatannya. Egosentris bersifat menentang terhadap otoritas, senang

berkelompok, idealis adalah sifat-sifat yang sering terlihat. Suatu

lingkungan yang baik dan penuh pengertian akan sangat membantu

proses kematangan kepribadian di usia remaja.

5) Masa Dewasa muda

Seorang yang melalui masa-masa sebelumnya dengan aman dan

bahagia akan cukup memiliki kesanggupan dan kepercayaan diri dan

umumnya ia akan berhasil mengatasi kesulitan-kesulitan pada masa ini.

Sebaliknya yang mengalami banyak gangguan pada masa sebelumnya,

bila mengalami masalah pada masa ini mungkin akan mengalami

gangguan jiwa.

6) Masa dewasa tua

Sebagai patokan masa ini dicapai kalau status pekerjaan dan sosial

seseorang sudah mantap. Sebagian orang berpendapat perubahan ini

sebagai masalah ringan seperti rendah diri. pesimis. Keluhan psikomatik

sampai berat seperti murung, kesedihan yang mendalam disertai

kegelisahan hebat dan mungkin usaha bunuh diri.

7) Masa Tua

Ada dua hal yang penting yang perlu diperhatikan pada masa ini

Berkurangnya daya tanggap, daya ingat, berkurangnya daya belajar,

kemampuan jasmaniah dan kemampuan sosial ekonomi menimbulkan

rasa cemas dan rasa tidak aman serta sering mengakibatkan kesalah

pahaman orang tua terhadap orang di lingkungannya. Perasaan

20
terasing karena kehilangan teman sebaya keterbatasan gerak dapat

menimbulkan kesulitan emosional yang cukup hebat.

c. Sebab Sosio Kultural

Kebudayaan secara teknis adalah ide atau tingkah laku yang dapat

dilihat maupun yang tidak terlihat. Faktor budaya bukan merupakan

penyebab langsung menimbulkan gangguan jiwa, biasanya terbatas

menentukan “warna” gejala-gejala. Disamping mempengaruhi pertumbuhan

dan perkembangan kepribadian seseorang misalnya melalui aturan-aturan

kebiasaan yang berlaku dalam kebudayaan tersebut.

1) Cara-cara membesarkan anak

Cara-cara membesarkan anak yang kaku dan otoriter , hubungan

orang tua anak menjadi kaku dan tidak hangat. Anakanak setelah

dewasa mungkin bersifat sangat agresif atau pendiam dan tidak suka

bergaul atau justru menjadi penurut yang berlebihan.

2) Sistem Nilai

Perbedaan sistem nilai moral dan etika antara kebudayaan yang satu

dengan yang lain, antara masa lalu dengan sekarang sering

menimbulkan masalah-masalah kejiwaan. Begitu pula perbedaan moral

yang diajarkan di rumah/sekolah dengan yang dipraktekkan di

masyarakat sehari-hari.

21
3) Kepincangan antar keinginan dengan kenyataan yang ada

Iklan-iklan di radio, televisi. Surat kabar, film dan lain-lain menimbulkan

bayangan-bayangan yang menyilaukan tentang kehidupan modern

yang mungkin jauh dari kenyataan hidup seharihari. Akibat rasa kecewa

yang timbul, seseorang mencoba mengatasinya dengan khayalan atau

melakukan sesuatu yang merugikan masyarakat.

4) Ketegangan akibat faktor ekonomi dan kemajuan teknologi

Dalam masyarakat modern kebutuhan dan persaingan makin meningkat

dan makin ketat untuk meningkatkan ekonomi hasil-hasil teknologi

modern. Memacu orang untuk bekerja lebih keras agar dapat

memilikinya. Jumlah orang yang ingin bekerja lebih besar dari

kebutuhan sehingga pengangguran meningkat, demikian pula

urbanisasi meningkat, mengakibatkan upah menjadi rendah. Faktor-

faktor gaji yang rendah, perumahan yang buruk, waktu istirahat dan

berkumpul dengan keluarga sangat terbatas dan sebagainya

merupakan sebagian mengakibatkan perkembangan kepribadian yang

abnormal.

5) Perpindahan kesatuan keluarga

Khusus untuk anak yang sedang berkembang kepribadiannya,

perubahan-perubahan lingkungan (kebudayaan dan pergaulan),

sangat cukup mengganggu.

22
6) Masalah golongan minoritas

Tekanan-tekanan perasaan yang dialami golongan ini dari lingkungan

dapat mengakibatkan rasa pemberontakan yang selanjutnya akan

tampil dalam bentuk sikap acuh atau melakukan tindakan-tindakan yang

merugikan orang banyak.

4. Penggolongan Gangguan Jiwa

Penggolongan gangguan jiwa sangatlah beraneka ragam menurut para

ahli berbeda-beda dalam pengelompokannya, menurut Kusumawati, (2010)

macam-macam gangguan jiwa dibedakan menjadi gangguan mental organik

dan simtomatik, skizofrenia, gangguan skizotipal dan gangguan waham,

gangguan suasana perasaan, gangguan neurotik, gangguan somatoform,

sindrom perilaku yang berhubungan dengan gangguan fisiologis dan faktor

fisik, Gangguan kepribadian dan perilaku masa dewasa, retardasi mental,

gangguan perkembangan psikologis, gangguan perilaku dan emosional

dengan onset masa kanak dan remaja.

a. Skizofrenia

Merupakan bentuk psikosa fungsional paling berat, dan

menimbulkan disorganisasi personalitas yang terbesar. Skizofrenia juga

merupakan suatu bentuk psikosa yang sering dijumpai dimanamana sejak

dahulu kala. Meskipun demikian pengetahuan kita tentang sebab-musabab

dan patogenisanya sangat kurang (Kusumawati, 2010). Dalam kasus berat,

klien tidak mempunyai kontak dengan realitas, sehingga pemikiran dan

23
perilakunya abnormal. Perjalanan penyakit ini secara bertahap akan

menuju kearah kronisitas, tetapi sekali-kali bisa timbul serangan. Jarang

bisa terjadi pemulihan sempurna dengan spontan dan jika tidak diobati

biasanya berakhir dengan personalitas yang rusak “cacat”.

b. Depresi

Merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan

dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk

perubahan pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi,

kelelahan, rasa putus asa dan tak berdaya, serta gagasan bunuh diri.

Depresi juga dapat diartikan sebagai salah satu bentuk gangguan kejiwaan

pada alam perasaan yang ditandai dengan kemurungan, keleluasaan,

ketiadaan gairah hidup, perasaan tidak berguna, putus asa dan lain

sebagainya (Hawari, 2001). Depresi adalah suatu perasaan sedih dan yang

berhubungan dengan penderitaan. Dapat berupa serangan yang ditujukan

pada diri sendiri atau perasaan marah yang mendalam (Nurjannah, 2005).

Depresi adalah gangguan patologis terhadap mood mempunyai

karakteristik berupa bermacam-macam perasaan, sikap dan kepercayaan

bahwa seseorang hidup menyendiri, pesimis, putus asa, ketidakberdayaan,

harga diri rendah, bersalah, harapan yang negatif dan takut pada bahaya

yang akan datang. Depresi menyerupai kesedihan yang merupakan

perasaan normal yang muncul sebagai akibat dari situasi tertentu misalnya

kematian orang yang dicintai.

24
c. Gangguan Kepribadian

Klinik menunjukkan bahwa gejala-gejala gangguan kepribadian (psikopatia)

pdan gejala-gejala neurosa berbentuk hampir sama pada orang-orang

dengan inteligensi tinggi ataupun rendah. Jadi boleh dikatakan bahwa

gangguan kepribadian, neurosa dan gangguan inteligensi sebagian besar

tidak tergantung pada satu dan lain atau tidak berkorelasi. Klasifikasi

gangguan kepribadian: kepribadian paranoid, kepribadian afektif atau

siklotemik, kepribadian skizoid, kepribadian axplosif, kepribadian

anankastik atau obsesif-kompulsif, kepribadian histerik, kepribadian

astenik, kepribadian antisosial, Kepribadian pasif agresif, kepribadian

inadequat.

d. Gangguan Mental Organik

Merupakan gangguan jiwa yang psikotik atau non-psikotik yang disebabkan

oleh gangguan fungsi jaringan otak (Kusumawati, 2010). Gangguan fungsi

jaringan otak ini dapat disebabkan oleh penyakit badaniah yang terutama

mengenai otak atau yang terutama diluar otak. Bila bagian otak yang

terganggu itu luas, maka gangguan dasar mengenai fungsi mental sama

saja, tidak tergantung pada penyakit yang menyebabkannya bila hanya

bagian otak dengan fungsi tertentu saja yang terganggu, maka lokasi inilah

yang menentukan gejala dan sindroma, bukan penyakit yang

menyebabkannya. Pembagian menjadi psikotik dan tidak psikotik lebih

menunjukkan kepada berat gangguan otak pada suatu penyakit tertentu

daripada pembagian akut dan menahun.

25
e. Gangguan Psikosomatik

Merupakan komponen psikologik yang diikuti gangguan fungsi badaniah.

Sering terjadi perkembangan neurotik yang memperlihatkan sebagian

besar atau semata-mata karena gangguan fungsi alat-alat tubuh yang

dikuasai oleh susunan saraf vegetatif. Gangguan psikosomatik dapat

disamakan dengan apa yang dinamakan dahulu neurosa organ. Karena

biasanya hanya fungsi faaliah yang terganggu, maka sering disebut juga

gangguan psikofisiologik (Kusumawati, 2010).

f. Retardasi Mental

Retardasi mental merupakan keadaan perkembangan jiwa yang terhenti

atau tidak lengkap, yang terutama ditandai oleh terjadinya hendaya

keterampilan selama masa perkembangan, sehingga berpengaruh pada

tingkat kecerdasan secara menyeluruh, misalnya kemampuan kognitif,

bahasa, motorik dan social. Tanda dan gejala gangguan jiwa.

5. Tanda dan Gejala Gangguan Jiwa

Tanda dan gejala gangguan jiwa menurut Yosep (2007) adalah sebagai

berikut:

a. Ketegangan (tension), rasa putus asa dan murung, gelisah, cemas,

perbuatan-perbuatan yang terpaksa (convulsive), hysteria, rasa lemah,

tidak mampu mencapai tujuan, takut, pikiran-pikiran buruk.

b. Gangguan kognisi pada persepsi: merasa mendengar (mempersepsikan)

sesuatu bisikan yang menyuruh membunuh, melempar, naik genting,

membakar rumah, padahal orang di sekitarnya tidak mendengarnya dan

26
suara tersebut sebenarnya tidak ada hanya muncul dari dalam diri individu

sebagai bentuk kecemasan yang sangat berat dia rasakan. Hal ini sering

disebut halusinasi, klien bisa mendengar sesuatu, melihat sesuatu atau

merasakan sesuatu yang sebenarnya tidak ada menurut orang lain.

c. Gangguan kemauan: klien memiliki kemauan yang lemah (abulia) susah

membuat keputusan atau memulai tingkah laku, susah sekali bangun pagi,

mandi, merawat diri sendiri sehingga terlihat kotor, bau dan acak-acakan.

d. Gangguan emosi: klien merasa senang, gembira yang berlebihan (Waham

kebesaran). Klien merasa sebagai orang penting, sebagai raja, pengusaha,

orang kaya, titisan Bung karno tetapi di lain waktu ia bisa merasa sangat

sedih, menangis, tak berdaya (depresi) sampai ada ide ingin mengakhiri

hidupnya.

e. Gangguan psikomotor : Hiperaktivitas, klien melakukan pergerakan yang

berlebihan naik ke atas genting berlari, berjalan maju mundur, meloncat-

loncat, melakukan apa-apa yang tidak disuruh atau menentang apa yang

disuruh, diam lama tidak bergerak atau melakukan gerakan aneh. (Yosep,

2007).

6. Penanganan Gangguan Jiwa

a. Terapi psikofarmaka

Psikofarmaka atau obat psikotropik adalah obat yang bekerja secara

selektif pada Sistem Saraf Pusat (SSP) dan mempunyai efek utama

terhadap aktivitas mental dan perilaku, digunakan untuk terapi gangguan

psikiatrik yang berpengaruh terhadap taraf kualitas hidup klien (Hawari,

27
2001).Obat psikotropik dibagi menjadi beberapa golongan, diantaranya:

antipsikosis, anti-depresi, anti-mania, anti-ansietas, antiinsomnia, anti-

panik, dan anti obsesif-kompulsif,. Pembagian lainnya dari obat psikotropik

antara lain: transquilizer, neuroleptic, antidepressants dan psikomimetika

(Hawari, 2001).

b. Terapi somatic

Terapi ini hanya dilakukan pada gejala yang ditimbulkan akibat gangguan

jiwa sehingga diharapkan tidak dapat mengganggu sistem tubuh lain. Salah

satu bentuk terapi ini adalah Electro Convulsive Therapy.Terapi

elektrokonvulsif (ECT) merupakan suatu jenis pengobatan somatik dimana

arus listrik digunakan pada otak melalui elektroda yang ditempatkan pada

pelipis. Arus tersebut cukup menimbulkan kejang grand mal, yang darinya

diharapkan efek yang terapeutik tercapai. Mekanisme kerja ECT

sebenarnya tidak diketahui, tetapi diperkirakan bahwa ECT menghasilkan

perubahan-perubahan biokimia di dalam otak (Peningkatan

kadarnorepinefrin dan serotinin) mirip dengan obat anti depresan.

(Kusumawati, 2010).

c. Terapi Modalitas

Terapi modalitas adalah suatu pendekatan penanganan klien gangguan

yang bervariasi yang bertujuan mengubah perilaku klien gangguan jiwa

dengan perilaku maladaptifnya menjadi perilaku yang adaptif.Ada beberapa

jenis terapi modalitas, antara lain:

28
1) Terapi Individual

Terapi individual adalah penanganan klien gangguan jiwa dengan

pendekatan hubungan individual antara seorang terapis dengan

seorang klien. Suatu hubungan yang terstruktur yang terjalin antara

perawat dan klien untuk mengubah perilaku klien. Hubungan yang

dijalin adalah hubungan yang disengaja dengan tujuan terapi, dilakukan

dengan tahapan sistematis (terstruktur) sehingga melalui hubungan ini

terjadi perubahan tingkah laku klien sesuai dengan tujuan yang

ditetapkan di awal hubungan.Hubungan terstruktur dalam terapi

individual bertujuan agar klien mampu menyelesaikan konflik yang

dialaminya. Selain itu klien juga diharapkan mampu meredakan

penderitaan ( distress ) emosional, serta mengembangkan cara yang

sesuai dalam memenuhi kebutuhan dasarnya.

2) Terapi Lingkungan

Terapi lingkungan adalah bentuk terapi yaitu menata lingkungan agar

terjadi perubahan perilaku pada klien dari perilaku maladaptive menjadi

perilaku adaptif. Perawat menggunakan semua lingkungan rumah sakit

dalam arti terapeutik. Bentuknya adalah memberi kesempatan klien

untuk tumbuh dan berubah perilaku dengan memfokuskan pada nilai

terapeutik dalam aktivitas dan interaksi.

3) Terapi Kognitif

Terapi kognitif adalah strategi memodifikasi keyakinan dan sikap yang

mempengaruhi perasaan dan perilaku klien. Proses yang diterapkan

29
adalah membantu mempertimbangkan stressor dan kemudian

dilanjutkan dengan mengidentifikasi pola berfikir dan keyakinan yang

tidak akurat tentang stressor tersebut. Gangguan perilaku terjadi akibat

klien mengalami pola keyakinan dan berfikir yang tidak akurat. Untuk itu

salah satu memodifikasi perilaku adalah dengan mengubah pola berfikir

dan keyakinan tersebut. Fokus asuhan adalah membantu klien untuk

reevaluasi ide, nilai yang diyakini, harapan-harapan, dan kemudian

dilanjutkan dengan menyusun perubahan kognitif.

4) Terapi Keluarga

Terapi keluarga adalah terapi yang diberikan kepada seluruh anggota

keluarga sebagai unit penanganan (treatment unit). Tujuan terapi

keluarga adalah agar keluarga mampu melaksanakan fungsinya. Untuk

itu sasaran utama terapi jenis ini adalah keluarga yang mengalami

disfungsi; tidak bisa melaksanakan fungsi-fungsi yang dituntut oleh

anggotanya.Dalam terapi keluarga semua masalah keluarga yang

dirasakan diidentifikasi dan kontribusi dari masing-masing anggota

keluarga terhadap munculnya masalah tersebut digali. Dengan

demikian terlebih dahulu masing-masing anggota keluarga mawas diri;

apa masalah yang terjadi di keluarga, apa kontribusi masingmasing

terhadap timbulnya masalah, untuk kemudian mencari solusi untuk

mempertahankan keutuhan keluarga dan meningkatkan atau

mengembalikan fungsi keluarga seperti yang seharusnya.

30
5) Terapi Kelompok

Terapi kelompok adalah bentuk terapi kepada klien yang dibentuk

dalam kelompok, suatu pendekatan perubahan perilaku melalui media

kelompok. Dalam terapi kelompok perawat berinteraksi dengan

sekelompok klien secara teratur. Tujuannya adalah meningkatkan

kesadaran diri klien, meningkatkan hubungan interpersonal, dan

mengubah perilaku maladaptive.Terapi Perilaku Anggapan dasar dari

terapi perilaku adalah kenyataan bahwa perilaku timbul akibat proses

pembelajaran. Perilaku sehat oleh karenanya dapat dipelajari dan

disubstitusi dari perilaku yang tidak sehat. Teknik dasar yang digunakan

dalam terapi jenis ini adalah: Role model, Kondisioning operan,

Desensitisasi sistematis, Pengendalian diri dan Terapi aversi atau rileks

kondisi.

d. Terapi Bermain

Terapi bermain diterapkan karena ada anggapan dasar bahwa anak-anak

akan dapat berkomunikasi dengan baik melalui permainan dari pada

dengan ekspresi verbal. Dengan bermain perawat dapat mengkaji tingkat

perkembangan, status emosional anak, hipotesa diagnostiknya, serta

melakukan intervensi untuk mengatasi masalah anak tersebut.

7. Rehabilitasi Gangguan Jiwa

a. Pengertian Rehabilitasi

Rehabilitasi adalah segala tindakan fisik, penyesuaian psikososial dan

latihan vokasional sebagai usaha untuk memperoleh fungsi dan

31
penyesuaian diri yang optimal serta mempersiapkan klien secara fisik,

mental, sosial dan vokasional untuk suatu kehidupan penuh sesuai dengan

kemampuannya (Riyadi, S, 2009).

b. Tujuan Rehabilitasi

Maksud dan tujuan rehabilitasi klien mental dalam psikiatri yaitu mencapai

perbaikan fisik dan mental sebesar-besarnya, penyaluran dalam pekerjaan

dengan kapasitas maksimal dan penyesuaian diri dalam hubungan

perseorangan dan sosial sehingga bisa berfungsi sebagai anggota

masyarakat yang mandiri dan berguna .

c. Tahapan Rehabilitasi

Upaya Rehabilitasi menurut Riyadi S (2009) terdiri dari 3 tahap yaitu ;

1) Tahap persiapan

a) Orientasi

Selama fase orientasi klien akan memerlukan dan mencari

bimbingan seorang yang professional. Perawat menolong klien

untuk mengenali dan memahami masalahnya dan menentukan apa

yang diperlukannya.

b) Identifikasi

Perawat mengidentifikasi dan mengkaji perasaan klien serta

membantu klien seiring penyakit yang ia rasakan sebagai sebuah

pengalaman dan memberi orientasi positif akan perasaan dan

kepribadiannya serta memberi kebutuhan yang diperlukan.

32
2) Tahap pelaksanaan

Perawat melakukan eksploitasi dimana selama fase ini klien menerima

secara penuh nilai-nilai yang ditawarkan kepadanya melalui sebuah

hubungan (Relationship). Tujuan baru yang akan dicapai melalui usaha

personal dapat diproyeksikan, dipindah dari perawat ke klien ketika klien

menunda rasa puasnya untuk mencapai bentuk baru dari apa yang

dirumuskan.

3) Tahap pengawasan

Tahap pengawasan perawat melakukan resolusi. Tujuan baru

dimunculkan dan secara bertahap tujuan lama dihilangkan. Ini adalah

proses dimana klien membebaskan dirinya dari ketergantungan

terhadap orang lain.

d. Jenis Kegiatan Rehabilitasi

Stuart (2006) menekankan 4 keterampilan penting psikososial pada klien

gangguan jiwa yaitu:

1) Orientation

Orientaton adalah pencapaian tingkat orientasi dan kesadaran terhadap

realita yang lebih baik. Orientasi berhubungan dengan pengetahuan dan

pemahaman klien terhadap waktu, tempat atau maksud/ tujuan,

sedangkan kesadaran dapat dikuatkan melalui interaksi dan aktifitas

pada semua klien.

33
2) Assertion

Assertion yaitu kemampuan mengekspresikan perasaan sendiri dengan

tepat. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mendorong klien dalam

mengekspresikan diri secara efektif dengan tingkah laku yang dapat

diterima masyarakat melalui kelompok pelatihan asertif, kelompok klien

dengan kemampuan fungsional yang rendah atau kelompok interaksi

klien.

3) Accuption

Accuption adalah kemampuan klien untuk dapat percaya diri dan

berprestasi melalui keterampilan membuat kerajinan tangan. Hal ini

dapat dilakukan dengan cara memberikan aktifitas klien dalam bentuk

kegiatan sederhana seperti teka- teki ( sebagai aktivitas yang bertujuan)

mengembangkan keterampilan fisik seperti menyulam. Membuat bunga,

melukis dan meningkatkan manfaat interaksi sosial.

4) Recreation

Recreation adalah kemampuan menggunakan dan membuat aktifitas

yang menyenangkan dan relaksasi. Hal ini memberi kesempatan pada

klien untuk mengikuti bermacam reaksi dan membantu klien

menerapkan keterampilan yang telah ia pelajari seperti: orientasi asertif,

interaksi sosial, ketangkasan fisik. Contoh aktifitas relaksasi seperti

permainan kartu, menebak kata dan jalanjalan, memelihara binatang,

memelihara tanaman, sosio- drama, bermain musik dan lain-lain.

34
C. Tinjauan Umum Kecemasan

1. Pengertian

Kecemasan adalah respon emosi tanpa obyek yang spesifik yang

secara subyektif dialami dan dikomunikasikan secara interpersonal.

Kecemasan adalah kebigungan, kekhawatiran pada sesuatu yang akan terjadi

dengan penyebab yang tidak jelas dihubungkan dengan perasaan tidak

menentu dan tidak berdaya (Suliswati, 2005).

Kecemasan merupakan respon individu terhadap suatu keadaan yang

tidak menyenangkan dan dialami oleh semua makhluk hidup dan kehidupan

sehari-hari. Kecemasan merupakan pengalaman subyektif dari individu dan

tidak dapat diobservasi secara langsung serta merupakan suatu keadaan

emosi tanpa obyek yang spesifik. Kecemasan pada individu dapat memberikan

motivasi untuk mencapai sesuatu dan merupakan sumber penting dalam

usaha memelihara keseimbangan hidup. Kecemasan berbeda dengan rasa

takut, karakteristik rasa takut adalah obyek atau sumber yang spesifik dan

dapat diidentifikasi serta dapat dijelaskan oleh individu. Rasa takut terbentuk

dari proses kognitif yang melibatkan penilaian intelektual terhadap stimulus

yang mengancam. Ketakutan disebabkan oleh hal yang bersifat fisik dan

psikologis.

2. Gejala Klinis Kecemasan

Keluhan-keluhan yang sering dikemukakan oleh orang yang mengalami

gangguan kecemasan menurut Hawari (2002), antara lain :

35
a. Cemas, khawatir, firasat buruk, takut akan pikirannya sendiri, mudah

tersinggung.

b. Merasa tegang, tidak tenang, gelisah, mudah terkejut.

c. Takut sendirian, takut pada keramaian dan banyak orang

d. Gangguan pola tidur, mimpi yang menegangkan.

e. Gangguan konsentrasi dan daya ingat.

f. Keluhan-keluhan somatik, misalnya rasa sakit pada otot dan tulang,

pendengaran berdenging (tinitus), berdebar-debar, sesak nafas, gangguan

pencernaan, gangguan perkemihan, sakit kepala dan lain sebagainya.

3. Tingkat Kecemasan

Menurut Stuart dan Sundden (2002), ada empat tingkat kecemasan

yang dialami oleh individu, yaitu :

a. Kecemasan ringan, berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan

sehari-hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada dan

meningkatkan lahan persepsinya. Kecemasan dapat memotivasi belajar

dan menghasilkan pertumbuhan dan kreativitas.

b. Kecemasan sedang, memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada

hal yang penting dan mengesampingkan yang lain. Sehingga seseorang

mengalami perhatian yang selektif namun dapat melakukan sesuatu yang

lebih terarah.

c. Kecemasan berat, sangat mengurangi lahan persepsi seseorang.

Seseorang cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang terinci dan

spesifik dan tidak dapat berpikir tentang hal lain. Semua perilaku ditujukan

36
untuk mengurangi ketegangan. Orang tersebut memerlukan banyak

pengarahan untuk dapat memusatkan pada suatu area lain.

d. Tingkat panik dari kecemasan, berhubungan dengan terperangah,

ketakutan dan teror. Rincian terpecah dari proporsinya. Karena mengalami

kehilangan kendali, orang yang mengalmi panik tidak mampu melakukan

sesuatu walaupun dengan pengarahan. Terjadi peningkatan aktivitas

motorik, menurunnya kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain,

persepsi yang menyimpang, dan kehilangan pemikiran yang rasional.

4. Rentang Respon Kecemasan

Rentang respon kecemasan terdiri dari respon adaptif dan maladaptif.

Respon adaptif seseorang menggunakan koping yang bersifat membangun

(konstruktif) dalam mengatasi kecemasan berupa antisipasi. Respon

maladaptif erupakan koping yang bersifat merusak (destruktif) dan disfungional

seperti individu menghindari kontak dengan orang lain atau mengurung diri,

tidak mau mengurus diri (Suliswati, 2005).

5. Teori Kecemasan

Ada beberapa teori kecemasan, yaitu :

a. Teori Psikoanalitik

Menurut Freud (dalam Suliswati, 2005), kecemasan timbul akibat

reaksi psikologis individu terhadap ketidakmampuan mencapai orgasme

dalam hubungan seksual. Energi seksual yang tidak terekspresikan akan

mengakibatkan rasa cemas. Kecemasan dapat timbul secara otomatis

akibat dari stimulus internal dan eksternal yang berlebihan. Akibat stimulus

37
(internal dan eksternal) yang berlebihan sehingga melampaui kemampuan

individu untuk menanganinya.

b. Teori interpersonal

Sullivan (dalam Suliswati, 2005) mengemukankan bahawa

kecemasan timbul akibat ketidakmampuan untuk berhubungan

interpersonal dan sebagai akibat penolakan. Kecemasan bisa dirasakan

bila individu mempunyai kepekaan terhadap lingkungan. Kecemasan

pertama kali ditentukan oleh hubungan ibu dan anak pada awal kehidupan,

bayi berespon seolah-olah ia dan ibunya adalah satu unit. Adanya trauma

seperti perpisahan dengan orang berarti atau kehilangan dapat

menyebabkan kecemasan pada individu.

c. Teori prilaku

Teori prilaku menyatakan bahwa kecemasan merupakan hasil

frustasi akibat berbagai hal yang mempengaruhi individu dalam mencapai

tujuan yang diinginkan. Prilaku merupakan hasil belajar dari pengalaman

yang pernah dialami. Kecemasan antara dua pilihan yang saling

berlawanan dan individu harus memilih salah satunya. Konflik menimbulkan

kecemasan dan kecemasan akan meningkatkan persepsi terhadap klonflik

dengan timbulnya perasaan ketidakberdayaan.

d. Teori Keluarga

Studi pada keluarga dan epidemiologi memperhatikan bahwa

kecemasan selalu ada pada tiap-tiap keluarga dalam berbagai bentuk dan

sifatnya heterogen.

38
e. Teori biologik

Otak memiliki reseptor khusus terhadap benzodiazepin, reseptor

tersebut berfungsi membantu regulasi kecemasan. Regulasi tersebut

berhubungan dengan aktivitas neurotransmiter gamma amino butyric acid

(GABA) yang mengontrol aktivitas neuron dibagian otak yang bertanggung

jawab menghasilkan kecemasan.

6. Reaksi Kecemasan

Kecemasan dapat menimbulkan reaksi konstruktif maupun destruktif bagi

individu.

a. Kontruktif

Individu termotivasi untuk belajar mengadakan perubahan terutama

perubahan terhadap perasaan tidak nyaman dan berfokus pada

kelangsungan hidup.

b. Destruktif

Individu bertingkah laku maladaftif dan disfungsional.

7. Penilaian terhadap Kecemasan

Parameter penilaian tingkat kecemasan menggunakan Hamilton

Anxiety Rating Scale (HARS). Hamilton Anxiety Rating Scale mempunyai lima

parameter penilaian tingkat kecemasan, adapun parameter tersebut yaitu tidak

cemas, cemas ringan, cemas sedang, cemas berat dan cemas sangat berat

atau panik. Adapun penilaian tingkat kecemasannya adalah: tidak ada

kecemasan skor kurang dari 14, kecemasan ringan skor antara 14-20,

39
kecemasan sedang skor antara 21-27, kecemasan berat skor 28-41 dan

kecemasan berat sekali skore 42-56 (Hidayat, 2003)

Skala HARS (Hamilton Anxiety Rating Scale) yang dikutip Nursalam

(2003) penilaian kecemasan terdiri dan 14 item, meliputi:

a. Perasaan Cemas firasat buruk, takut akan pikiran sendiri, mudah

tersinggung.

b. Ketegangan merasa tegang, gelisah, gemetar, mudah terganggu dan lesu.

c. Ketakutan: takut terhadap gelap, terhadap orang asing, bila tinggal sendiri

dan takut pada binatang besar.

d. Gangguan tidur: sukar memulai tidur, terbangun pada malam hari, tidur

tidak pulas dan mimpi buruk.

e. Gangguan kecerdasan: penurunan daya ingat, mudah lupa dan sulit

konsentrasi.

f. Perasaan depresi: hilangnya minat, berkurangnya kesenangan pada hobi,

sedih, perasaan tidak menyenangkan sepanjang hari.

g. Gejala somatik: nyeri pada otot-otot dan kaku, gertakan gigi, suara tidak

stabil dan kedutan otot.

h. Gejala sensorik: perasaan ditusuk-tusuk, penglihatan kabur, muka merah

dan pucat serta merasa lemah.

i. Gejala kardiovaskuler: takikardi, nyeri di dada, denyut nadi mengeras dan

detak jantung hilang sekejap.

j. Gejala pernapasan: rasa tertekan di dada, perasaan tercekik, sering

menarik napas panjang dan merasa napas pendek.

40
k. Gejala gastrointestinal: sulit menelan, obstipasi, berat badan menurun,

mual dan muntah, nyeri lambung sebelum dan sesudah makan, perasaan

panas di perut.

l. Gejala urogenital: sering kencing, tidak dapat menahan kencing, aminorea,

ereksi lemah atau impotensi.

m. Gejala vegetatif: mulut kering, mudah berkeringat, muka merah, bulu roma

berdiri, pusing atau sakit kepala.

n. Perilaku sewaktu wawancara: gelisah, jari-jari gemetar, mengkerutkan dahi

atau kening, muka tegang, tonus otot meningkat dan napas pendek dan

cepat.

Cara penilaian kecemasan adalah dengan memberikan nilai dengan kategori:

0 = tidak ada gejala sama sekali

1 = satu dari gejala yang ada

2 = separuh dari gejala yang ada

3 = lebih dari separuh gejala yang ada

4 = semua gejala ada

Penentuan derajat kecemasan dengan cara menjumlah nilai skor dan

item 1-14 dengan hasil:

a. Skor kurang dari 6 = tidak ada kecemasan.

b. Skor 7 - 14 = kecemasan ringan.

c. Skor 15 - 27 = kecemasan sedang.

d. Skor 28 - 41 = kecemasan berat.

e. Skor 42 – 56 = panik.

41
8. Penatalaksanaan Kecemasan

Menurut Hawari (2008) penatalaksanaan ansietas pada tahap

pencegahaan dan terapi memerlukan suatu metode pendekatan yang bersifat

holistik, yaitu mencangkup fisik (somatik), psikologik atau psikiatrik, psikososial

dan psikoreligius. Selengkpanya seperti pada uraian berikut:

a. Upaya meningkatkan kekebalan terhadap stress, dengan cara :

1) Makan makan yang bergizi dan seimbang.

2) Tidur yang cukup.

3) Cukup olahraga.

4) Tidak merokok

5) Tidak meminum minuman keras

b. Terapi psikofarmaka

Terapi psikofarmaka merupakan pengobatan untuk cemas dengam

memakai obat-obatan yang berkhasiat memulihkan fungsi gangguan

neuro-transmitter (sinyal penghantar saraf) di susunan saraf pusat otak

(limbic system). Terapi psikofarmaka yang sering dipakai adalah obat anti

cemas (anxiolytic), yaitu seperti diazepam, clobazam, bromazepam,

lorazepam, buspirone HCl, meprobamate dan alprazolam.

c. Terapi Somatik

Gejala atau keluhan fisik (somatik) sering dijumpai sebagai gejala

ikutan atau akibat dari kecemasan yang bekerpanjangan. Untuk

menghilangkan keluhan-keluhan somatik (fisik) itu dapat diberikan obat-

obatan yang ditujukan pada organ tubuh yang bersangkutan.

42
d. Psikoterapi

Psikoterapi diberikan tergantung dari kebutuhan individu, antara lain :

1) Psikoterapi suportif, untuk memberikan motivasi, semangat dan

dorongan agar pasien yang bersangkutan tidak merasa putus asa dan

diberi keyakinan serta percaya diri.

2) Psikoterapi re-edukatif, memberikan pendidikan ulang dan koreksi bila

dinilai bahwa ketidakmampuan mengatsi kecemasan.

3) Psikoterapi re-konstruktif, untuk dimaksudkan memperbaiki kembali

(re-konstruksi) kepribadian yang telah mengalami goncangan akibat

stressor.

4) Psikoterapi kognitif, untuk memulihkan fungsi kognitif pasien, yaitu

kemampuan untuk berpikir secara rasional, konsentrasi dan daya

ingat.

5) Psikoterapi psiko-dinamik, untuk menganalisa dan menguraikan

proses dinamika kejiwaan yang dapat menjelaskan mengapa

seseorang tidak mampu menghadapi stressor psikososial sehingga

mengalami kecemasan.

6) Psikoterapi keluarga, untuk memperbaiki hubungan kekeluargaan,

agar faktor keluarga tidak lagi menjadi faktor penyebab dan faktor

keluarga dapat dijadikan sebagai faktor pendukung.

e. Terapi psikoreligius

43
Untuk meningkatkan keimanan seseorang yang erat hubungannya

dengan kekebalan dan daya tahan dalam menghadapi berbagai

problem kehidupan yang merupakan stressor psikososial.

D. Tinjauan Hari Perawatan

1. Pengertian

Lama hari perawatan merupakan salah satu unsur atau aspek asuhan

dan pelayanan di rumah sakit yang dapat dinilai atau diukur. Bila seseorang

dirawat di rumah sakit, maka yang diharapkan tentunya ada perubahan

akanderajat kesehatannya. Bila yang diharapkan baik oleh tenaga medis

maupun oleh penderita itu sudah tercapai maka tentunya tidak ada seorang

pun yang ingin berlama-lama di rumah sakit.

Lama hari perawatan secara signifikan berkurang sejak adanya

pengetahuan tentang hal-hal yang berkaitan dengan diagnosa yang tepat.

Untuk menentukan apakah penurunan lama hari rawat itu meningkatkan

efisiensi atau perawatan yang tidak tepat, dibutuhkan pemeriksaan lebih lanjut

berhubungan dengan keparahan atas penyakit dan hasil dari perawatan.

Peraturan untuk menghitung hari pasien, kontrak pulang dan (normal)

hari keluar dan menentukan lama rawat. Ada dua metode logis untuk

menghitung lama hari rawat :

a. Retrospektif : Tanggal keluaran dikurang tanggal masuk dikurang total

(normal) hari keluar.

b. Progessif : Jumlah hari pasien (termasuk kontrak hari keluar) dijumlahkan

ke tanggal.

44
Dalam penghitungan statistik pelayanan rawat inap di rumah sakit

dikenal istilah yang lama dirawat (LD) yang memiliki karakteristik cara

pencatatan, penghitungan, dan penggunaan yang berbeda. LD menunjukkan

berapa hari lamanya seorang pasien dirawat pada satu episode perawatan.

Satuan untuk LD adalah hari. Cara menghitung LD yaitu dengan menghitung

selisih antara tanggal pulang (keluar dari rumah sakit, hidup maupun mati)

dengan tanggal masuk rumah sakit. Dalam hal ini, untuk pasien yang masuk

dan keluar pada hari yang sama – lama dirawatnya dihitung sebagai 1 hari dan

Pasien yang belum pulang atau keluar belum bisa dihitung lama dirawatnya

(Indradi, 2007).

Hari perawatan adalah waktu yang dibutuhkan pasien untuk menjalani

perawatan di Rumah Sakit yang dihitung sejak masuk Rumah Sakit hingga

pulang dari Rumah Sakit, baik sembuh maupun meninggal dengan rata-rata

hari perawatan 54 hari (Keliat dkk, 2009). Hari Perawatan (Inpatient bed day)

merujuk pada jumlah pasien yang ada saat sensus dilakukan ditambah pasien

yang masuk dan keluar pada hari yang sama pada hari sensus diambil, angka

ini juga menunjukkan beban kerja unit perawatan yang bersangkutan (Buku

Statistik Rumah Sakit, 2013). Menurut DEPKES RI dalam pedoman standar

pelayanan minimal Rumah Sakit bahwa standar hari rawat bagi penderita

gangguan jiwa adalah 6 minggu atau 42 hari.

Berdasarkan standar dari Rumah Sakit Jiwa Propinsi Sulawesi

Tenggara sendiri untuk hari perawatan sesuai dengan BPJS yaitu 32 hari

(Diklat RSJ Prov. Sultra, 2015).

45
Menurut Barber Johnson hari perawatan adalah rerata lama hari

dirawatnya seorang pasien. Indikator ini memberikan gambaran tingkat

efisiensi dan mutu pelayanan, apabila diterapkan pada diagnosa tertentu untuk

perawatan lebih lanjut.

2. Cara menentukan hari perawatan

Menurut Depkes, 2009 : Jumlah hari perawatan pasien keluar

Rumus : Jumlah pasien keluar (hidup + mati) :

a. ALOS

ALOS = O x (t/D)

O = rerata tempat tidur terisi = HP/t

T = jumlah hari perhitungan

HP (Hari Perawatan ) =Jumlah pasien sisa +Jumlah pasien masuk + jumlah

pasien masuk dan keluar pada hari yang sama- jumlah pasien keluar hidup

+ mati.

D = Jumlah pasien keluar (hidup + mati)

Manfaat perlunya pengukuran ALOS yaitu untuk mengetahui jumlah

hari perhitungan, kapasitas tempat tidur terpakai, jumlah pasien keluar

(hidup + mati), jumlah hari perawatan efisiensi rumah sakit dilihat dari output

(Depkes, 2009).

b. BOR (Bed Occupancy Ratio = Angka penggunaan tempat tidur)

BOR menurut Huffman (1994) adalah “the ratio of patient service days to

inpatient bed count days in a period under consideration”. Sedangkan

menurut Depkes RI (2005), BOR adalah prosentase pemakaian tempat tidur

46
pada satuan waktu tertentu. Indikator ini memberikan gambaran tinggi

rendahnya tingkat pemanfaatan tempat tidur rumah sakit. Nilai parameter

BOR yang ideal adalah antara 60-85% (Depkes RI, 2009).

c. TOI (Turn Over Interval = Tenggang perputaran)

TOI menurut Depkes RI (2009) adalah rata-rata hari dimana tempat tidur

tidak ditempati dari telah diisi ke saat terisi berikutnya. Indikator ini

memberikan gambaran tingkat efisiensi penggunaan tempat tidur. Idealnya

tempat tidur kosong tidak terisi pada kisaran 1-3 hari.

d. BTO (Bed Turn Over = Angka perputaran tempat tidur)

BTO menurut Huffman (1994) adalah “…the net effect of changed in

occupancy rate and length of stay”. BTO menurut Depkes RI (2009) adalah

frekuensi pemakaian tempat tidur pada satu periode, berapa kali tempat

tidur dipakai dalam satu satuan waktu tertentu. Idealnya dalam satu tahun,

satu tempat tidur rata-rata dipakai 40-50 kali.

3. Seting Unit Perawatan Jiwa

Penerapan asuhan perawatan jiwa di rumah sakit jiwa sedikit berbeda

dengan Rumah Sakit Umum (RSU). Perbedaan tersebut disebabkan oleh

adanya perbedaan karakteristik penderita yang di layaninya, yaitu pada

penderita yang dirawat di RSJ merupakan orang-orang yang sedang

mengalami gangguan jiwa. Proses pengobatan pada penderita gangguan jiwa

sebagaian besar memerlukan waktu yang lama, disamping itu asuhan

keperawatan yang dilakukan sanggat menentukan keberhasilan pengobatan.

Pasien gangguan jiwa yang mendapat pengobatan dan perawatan di unit

47
rawat inap dapat dilakukan atas permintaan isteri atau suami atau wali anggota

keluarga penderita atau prakarsa pejabat yang bertanggungjawab atas

keamanan, ketertiban diwilayah setempat atau hakim pengadilan bilamana

dalam suatu perkara timbul persangkaan bahwa yang bersangkutan adalah

penderita gangguan jiwa (Depkes RI, 2002).

Karakteristik Unit Rawat Inap Pasien dengan Gangguan Jiwa

ada empat katagori fungsi unit rawat inap pasien dengan gangguan jiwa :

a. Pengelolaan lingkungan terapeutik.

b. Pelaksanaan kegiatan-kegiatan perawatan.

c. Penyatuan dan pengkoordinasian perawatan.

d. Pengevaluasian hasil.

48
BAB III

KERANGKA KONSEP

A. Dasar Pemikiran

Masalah psikologis adalah masalah psikis atau kejiwaan yang timbul

sebagai akibat perubahan sosial, sedangkan gangguan jiwa adalah perubahan

fungsi jiwa yang menyebabkan penderitaan pada individu (distress). Berbagai

bentuk gangguan jiwa dapat terjadi mulai dari yang ringan sampai yang berat.

Skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang terberat. Gejala Skizofrenia antara

lain delusi, halusinasi, dan perilaku negatif seperti kekerasan.

Gejala gangguan jiwa tersebut perlu ditangani dengan perawatan intensif

di Rumah Sakit Jiwa dengan rawat inap. Pasien gangguan jiwa dengan hari rawat

yang cukup lama sudah menunjukkan sikap yang kooperatif, komunikasi yang

terarah dan emosi yang terkontrol. Pasien merasa cemas karena pasien merasa

sudah lama dirawat inap di rumah sakit jiwa dan ingin segera pulang ke rumah.

Pasien juga mengalami gelisah dan sulit tidur. Pasien yang baru menjalani

perawatan juga mengalai kegelisahan dan meminta untuk dikeluarkan dari ruang

isolasi. Saat diwawancarai tentang kecemasan saat hari pertama hingga minggu

pertama dirawat inap mereka menjawab tidak merasakan cemas sama sekali.

49
B. Kerangka Konsep

Hari Perawatan Tingkat Kecemasan

a. Gangguan Fisiologis
b. Gangguan Psikologis
c. Gangguan Perilaku

Keterangan :

: Variabel Independen

: Variabel Dependen

: Variabel yang tidak diteliti

Gambar 1 : Kerangka Konsep Penelitian

C. Variabel Penelitian

1. Variabel independent dalam penelitian ini adalah Hari Perawatan di Rumah

Sakit Jiwa Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2015.

2. Variabel dependent dalam penelitian ini adalah Tingkat Kecemasan pada

Pasien di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2015.

D. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif

1. Hari Perawatan

Hari Perawatan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah lamanya hari

perawatan pasien selama menjalani perawatan di Rumah Sakit yang dihitung

sejak masuk ke Rumah Sakit dari hari pertama masuk hingga Penelitian ini

50
berlangsung. Berdasarkan standar dari Rumah Sakit Jiwa Propinsi Sulawesi

Tenggara sendiri untuk hari perawatan sesuai dengan BPJS yaitu 32 hari.

(Diklat RSJ Prov. Sultra, 2015).

Kriteria Objektif :

Cepat : Apabila lama perawatan tidak melebihi rata-rata lama perawatan yang

ada di Rumah Sakit Jiwa yaitu < 16 hari

Lama : Apabila lama perawatan melebihi rata-rata lama perawatan yang ada

di Rumah Sakit Jiwa yaitu > 16 hari

2. Kecemasan

Kecemasan yang dimkasud dalam penelitian ini adalah respon yang dialami

pasien akibat dari penyakit yang di deritanya yang diukur dengan tingkat

kecemasan menurut Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS) sebagai berikut :

Tidak Cemas = Score 0 - 13

Kecemasan Ringan = Score 14 - 20

Kecemasan Sedang = Score 21 - 27

Kecemasan berat = Score 28 - 41

Panik = Score 42 - 56

Kriteria Objektif :

Cemas : Bila responden mengalami kecemasan baik pada tingkat

kecemasan ringan, kecemasan sedang, kecemasan

berat dan panik sesuai dengan jawaban pada

wawancara dengan responden

51
Tidak cemas : Bila responden tidak mengalami kecemasan sama

sekali sesuai dengan jawaban pada wawancara

dengan responden

E. Hipotesis Penelitian

Hipotesis merupakan kesimpulan sementara preposisi alternative tentang

hubungan antara dua perubah atau lebih. Hipotesis diartikan pula sebagai suatu

preposisi yang dinyatakan dalam bentuk yang dapat diuji dan meramalkan suatu

hubungan tertentu antara dua perubah.

1. Hipotesis nol (Ho)

Tidak ada hubungan Hari Perawatan dengan Tingkat Kecemasan

pada Pasien Gangguan Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sulawesi

Tenggara tahun 2015.

2. Hipotesis alternative (Ha)

Ada hubungan Hari Perawatan dengan Tingkat Kecemasan pada

Pasien Gangguan Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sulawesi Tenggara

tahun 2015.

52
BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah survei analitik dengan rancangan cross

sectional. Yaitu rancangan penelitian untuk mengetahui hubungan hari perawatan

dengan tingkat kecemasan pada pasien gangguan jiwa di Rumah Sakit Jiwa

Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2015.

Populasi ( Sampel )

FR ( + ) FR ( – )

Efek ( + ) Efek (– ) Efek ( + ) Efek (– )

Gambar 2 : Bagan Desain Penelitian Cross Sectional (Notoadmojo, 2012)

B. Waktu dan Tempat Penelitian

1. Waktu Penelitian

Penelitian ini telah dilaksanakan selama 27 hari yang mulai tanggal 29

Juni sampai dengan 23 Juli 2015.

53
2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini telah dilaksanakan di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sulawesi

Tenggara.

C. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti

(Notoatmodjo, 2005). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita

gangguan jiwa yang dirawat inap di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sulawesi

Tenggara pada bulan April 2015 sebanyak 245 orang.

2. Sampel

Menurut Arikunto (2006:134) bahwa jika subjeknya lebih dari 100

maka dapat diambil antara 10-15% atau lebih.

Sampel dalam penelitian diambil 15% dari jumlah populasi yang ada

yaitu 245 x 15% = 36,75 ≈ 37 responden.

3. Teknik Pengambilan Sampel

Cara pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan

purposive sample yakni pengambilan sampel dilakukan dengan cara

mengambil subjek bukan didasarkan atas strata, random atau daerah tetapi

didasarkan atas adanya tujuan tertentu (Arikunto, 2013), dengan kriteria

sebagai berikut :

Kriteria inklusi :

a. Pasien yang tenang, kooperatif dan dapat diajak berkomunikasi

b. Pasien yang sedang menjalani perawatan di Rumah Sakit Jiwa

54
c. Pasien yang bersedia menjadi responden

Kriteria eksklusi :

a. Paien yang keadaan gaduh, gelisah sehingga tidak dapat diajak

berkomunikasi

b. Pasien yang telah dinyatakan sembuh

c. Pasien yang tidak bersedia menjadi responden

D. Pengumpulan Data

1. Instrumen

Instrumen pengumpulan data ini dilakukan dengan menggunakan

lembar wawancara.

2. Data primer

Data yang diperoleh langsung dari responden dengan menggunakan

lembar wawancara.

3. Data sekunder

Data yang diperoleh lansung dari Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sulawesi

Tenggara yang meliputi data jumlah penderita dan hari perawatan.

E. Pengolahan dan Analisa Data

a. Pengolahan Data

Data yang telah dikumpulkan selanjutnya akan diolah dengan langkah-

langkah sebagai berikut :

a. Editing yaitu penyuntingan data dilakukan pada saat peneliti

yaknimemeriksa semua lembaran observasi yang telah diisi yaitu

kelengkapan data, dan memeriksa keseragaman data.

55
b. Coding yaitu pengkodean pada lembaran observasi, pada tahap ini

kegiatan yang dilakukan ialah mengisi daftar kode yang disediakan pada

lembaran observasi, sesuai dengan hasil pengamatan yang dilakukan.

c. Skoring yaitu setelah melakukan pengkodean maka dilanjtkan dengan

tahap pemberian skor pada lembar observasi dalam bentuk angka-angka

yakni dengan menggunakan kalkulator untuk mengetahui persentase

variabel yang diteliti.

d. Tabulating yaitu setelah pembuatan kode, selanjutnya dilakukan

pengolahan data kedalam satu tabel menurut sifat-sifat yang dimiliki yang

mana sesuai dengan tujuan penelitian ini. Tabel yang digunakan yaitu

berupa tabel sederhana atau tabel silang.

b. Analisa Data

a. Analisa Univariat

Dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil penelitian. Analisa ini

menghasilkan distribusi dan persentase dari tiap variabel yang diteliti.

Dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

p = x 100 %

Keterangan :

P : Persentase

f : Data yang ada

n : Total sampel (Hidayat, A. Aziz Alimul 2007)

56
b. Analisa Bivariat

Dalam penelitian ini di gunakan untuk mengetahui faktor yang

berhubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat dengan

mengugunakan rumus chis square berdasarkan tabel kontingensi. Untuk

menguji faktor yang berhubungan di lanjutkan dengan menghitung Chi

square. Adapun rumus Chi square adalah sebagai berikut :

X2 =

Dimana : X2 = Tes Chi Square

Fo = frekuensi observasi

Fh = frekuensi harapan

∑ = Jumlah kategori

Fh = (Arikunto, 2006)

Kemudian nilai X2 hitung di bandingkan dengan X 2 tabel pada taraf

signifikan 95% ( α = 0,05). Pengambilan keputusan di lakukan sebagai

berikut :

a. Jika X2 hitung > X2 tabel,maka Ho di tolak dan Ha di terima

b. Jika X2 hitung < X2 tabel maka Ho di terima dan Ha di tolak

57
Untuk lebih jelas, dapat diuraikan tabel kontingensi 2x2 di bawah ini :

Tabel 1

Tabel Kontingensi 2 x 2

Varibel Dependen
Varibel Independen Jumlah Jika
Taraf 1
Taraf 2 Ha Di
Kriteria Objektif 1 a b a+b
terima
Kriteria Objektif 2 c d c+d

Jumlah a+c c+d a+b+c+d

kemudian di lanjutkan uji keeratan hubungan di lakukan dengan

kontingensi phi :

φ=

Syarat penggunaan uji hubungan jika Ha di terima :

0,801 - 1,000 = hubungan sangat kuat

0,601 - 0,800 = hubungan kuat

0,401 - 0,600 = hubungan cukup kuat

0,201 - 0,400 = hubungan lemah

0,001 - 0,200 = hubungan sangat lemah ( Sugiyono, 2006 )

F. Penyajian Data

58
Penyajian data di lakukan, setelah data di olah dan di sajikan dalam bentuk

tabel distribusi serta tabel analisis pengaruh antara variabel, yang di sertai dengan

narasi.

G. Etika Penelitian

Sebelum melakukan penelitian, peneliti mengajukan permohonan izin

kepada Kepala Puskesmas Latambaga dengan memperhatikan masalah etika

sebagai berikut:

1. Lembar Persetujuan menjadi responden (Informed consent)

Lembar persetujuan diberikan kepada responden yang akan diteliti, agar

responden memahami maksud dan tujuan penelitian. Apabila responden

penelitian setuju maka harus menandatangani lembar persetujuan sebagai

responden penelitian.

2. Tanpa Nama (Anonimity)

Untuk menjaga kerahasiaan identitas responden, maka peneliti tidak

mencantumkan nama pada lembar pengumpulan data (kuesioner) yang di isi

oleh responden tersebut hanya diberi nomor kode tertentu.

3. Kerahasiaan (Confidientialy)

Kerahasiaan informasi yang diberikan, dijamin oleh peneliti, hanya kelompok

data tertentu saja yang disajikan atau dilaporkan sebagai hasil riset.

59
BAB V

HASIL DAN PEMABAHSAN

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

1. Letak Geografis

Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sulawesi Tenggara adalah Rumah Sakit

Khusus Jiwa Tipe B milik Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara, berdiri

secara resmi pada tahun 1986. Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sulawesi Tenggara

berdiri diatas tanah seluas 140.000 2 dengan luas bangunan 5.992 m 2, dengan

status kepemilikan Pemerintah Daerah.

Lokasi Rumah Sakit Jiwa terletak di Jln. Dr. Soetomo No. 29 Kelurahan

Tobuuha, Kecamatan Puuwatu Kota Kendari, dengan batas wilayah sebagai

berikut:

a. Batas Utara : Kecamatan Mandonga

b. Batas Barat : Kecamatan Labibia

c. Batas Timur : Kecamatan Kendari Barat

d. Batas Selatan : Kecamatan Abeli

Wilayah kerja Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sulawesi Tenggara meliputi

seluruh daerah Kabupaten/Kota se-Provinsi Sulawesi Tenggara dengan

jumlah penduduk 2.074. 974 jiwa (BPS Tahun 2008).

2. Visi

60
Visi Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sulawesi Tenggara ditetapkan dengan

memperhatikan Visi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah terpilih yang

ditetapkan sebagai Visi Pembangunan Pembangunan Provinsi Sulawesi

Tenggara sebagaimana terdapat dalam Rancana Pembangunan Jangka

Menengah Daerah (RPJMD) Tahun 2014-2018, yaitu : “Menjadi Rumah Sakit

Jiwa Rujukan dan Pendidikan Dengan Pelayanan Paripurna Tahun 2018”.

3. Misi

Misi Rumah Sakit Jiwa lima tahun kedepan adalah :

a. Meningkatkan sumberdaya rumah sakit yang mendukung upaya

peningkatan kualitas pendidikan dan pelayanan kesehatan paripurna

kepada masyarakat.

b. Meningkatkan mutu pelayana kesehatan kepada semua lapisan

masyarakat secara cepat, tepat, nyaman dan terjangkau dengan dilandasi

etika profesi.

c. Mewujudkan pelayanan yang pro aktif dan perluasan jangkauan pelayanan

kepada masyarakat.

4. Sasaran

Berkembangnya pelayanan kesehatan di Rumah Sakit Jiwa Provinsi

Sulawesi Tenggara, sebagai RS Pendidikan yang berkualitas dengan

pelayanan paripurna.

Berdasarkan makna penetapan sasaran tersebut, maka sampai akhir

tahun 2018, Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sulawesi Tenggara menetapkan

sasaran sebagai berikut :

61
a. Terselenggaranya kerjasama degan instansi Pendidikan Kedokteran dan

Kesehatan lainnya.

b. Meningkatnya kualitas dan kuantitas SDM (sesuai dengan standar RS

kelas B Pendidikan).

c. Meningkatnya pemanfaatan RS oleh masyarakat potensial :

1) Pelayanan kesehatan kolaborasi, psikiatri, psikolog dan nutrisionis

2) Terlaksananya penanganan pasien rawat jalan oleh dokter spesialis

lainnya

d. Meningkatnya jumlah kunjungan pengguna jasa rumah sakit

e. Bertambahnya jenis layanan

f. Meningkatnya rasio efektifitas pendapatan

g. Terwujudnya efesiensi belanja

h. Tercapainya standard pelayanan minimal (SPM) Rumah Sakit.

5. Ketenagaan

Jumlah tenaga medis dan non medis di Rumah Sakit Jiwa diuraikan

pada table berikut.

Tabel 2. Daftar Tenaga Medis dan Non Medis di Rumah Sakit Jiwa
Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2014

No Jenis Tenaga Jumlah


1 Tenaga Medis
a. Dokter Spesialis Jiwa 2
b. Dokter Umum 4
c. Dokter Gigi 8

2 Tenaga Keperawatan
a. Perawat 66
b. Bidan 5

62
3 Tenaga Kefarmasian
a. Apoteker 3
b. Asisten Apoteker 7

4 Tenaga Kesehatan Masyarakat


a. Epidemiologi Kesehatan 1
b. Penyuluh Kesehatan 1
c. Administrasi Kesehatan 9
d. Sanitarian 9

5 Tenaga Gizi
a. Nutrisionis 15

6 Tenaga Keterapian Fisik


a. Fisioterapis 4

7 Tenaga Ketekhnikan Medis


a. Perawat Gigi 2
b. Pekarya 2
c. Psikolog 7

8 Non Profesi 70
Sumber : Profil Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sulawesi Tenggara 2014

B. Hasil Penelitian dan Pembahasan

1. Hasil Penelitian

a. Karakteristik Penelitian

1) Umur Responden

Umur responden menunjukkan lamanya seseorang hidup dari

sejak lahir hingga saat penelitian berlangsung. Umur responden di

Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sulawesi Tenggara dapat dililhat pada tabel

berikut.

Tabel 3. Distribusi Karakterisitik Responden Berdasarkan Umur


di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun
2015

No Kelompok Umur (Thn) Jumlah (n) Persentase (%)

63
1 18 - 27 9 24.3
2 28 - 37 8 21.7
3 38 - 47 14 37.8
4 48 - 57 4 10.8
5 58 - 67 1 2.7
6 68 - 77 1 2.7
Total 37 100
Sumber : Data Primer Diolah Agustus 2015

Tabel di atas menunjukkan bahwa dari 37 responden frekuensi

tertinggi adalah kelompok umur 38 – 47 tahun sebanyak 14 responden

(37.8%) dan frekuensi terendah adalah kelompok umur 58 – 67 tahun

dan 68 – 77 tahun yaitu masing-masing sebanyak 1 responden (2.7%).

2) Jenis Kelamin Responden

Jenis kelamin responden saat penelitian ini berlangsung di

Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sulawesi Tenggara dapat dililhat pada tabel

berikut.

Tabel 4. Distribusi Karakterisitik Responden Berdasarkan Jenis


Kelamin di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sulawesi
Tenggara Tahun 2015

No Jenis Kelamin Jumlah (n) Persentase (%)


1 Laki-Laki 28 75.7
2 Perempuan 9 24.3
Total 37 100
Sumber : Data Primer Diolah Agustus 2015

Tabel di atas menunjukkan bahwa dari 37 responden

frekuensi tertinggi adalah laki-laki sebanyak 28 orang (75.7%) dan

terendah adalah perempuan sebanyak 9 orang (24.3%).


64
b. Analisis Univariat

1) Hari Perawatan

Hari perawatan responden saat penelitian ini berlangsung di

Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sulawesi Tenggara dapat dililhat pada tabel

berikut.

Tabel 5. Distribusi Responden Berdasarkan Hari Perawatan di


Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun
2015

No Hari Perawatan Jumlah (n) Persentase (%)


1 Cepat 18 48.6
2 Lama 19 51.4
Total 37 100
Sumber : Data Primer Diolah Agustus 2015

Tabel di atas menunjukkan bahwa dari 37 responden

frekuensi tertinggi adalah responden dengan hari perawatan yang

lama sebanyak 19 orang (51.4%) dan terendah adalah responden

dengan hari perawatan yang cepat sebanyak 18 orang (48.6%).

2) Kecemasan

Kecemasan responden saat penelitian ini berlangsung di

Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sulawesi Tenggara dapat dililhat pada tabel

berikut.

Tabel 6. Distribusi Responden Berdasarkan Kecemasan di


Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun
2015

No Kecemasan Jumlah (n) Persentase (%)


1 Cemas 26 70.3

65
2 Tidak Cemas 11 29.7
Total 37 100
Sumber : Data Primer Diolah Agustus 2015

Tabel di atas menunjukkan bahwa dari 37 responden

frekuensi tertinggi adalah responden yang merasa cemas sebanyak

26 orang (70.3%) dan terendah adalah responden yang merasa

tidak cemas sebanyak 11 orang (29.7%).

c. Analisis Bivariat

1. Hubungan Hari Perawatan Dengan Tingkat Kecemasan Pasien


Gangguan Jiwa
Distribusi hubungan hari perawatan dengan tingkat

kecemasan pasien gangguan jiwa di Rumah Sakit Jiwa Provinsi

Sulawesi Tenggara dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 7. Distribusi Responden Berdasarkan Hubungan Hari


Perawatan Dengan Tingkat Kecemasan Pasien
Gangguan Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Provinsi
Sulawesi Tenggara Tahun 2015

Kecemasan
Hari Tidak Total
Cemas Uji Statistik
Perawatan Cemas
n % n % n %

48.6 X tab = 3.841


2
Cepat 9 24.3 9 24.3 18
X2hit = 6.894
Lama 17 45.9 2 5.4 19 41.4 phi = 0.432

Total 26 70.3 11 29.7 37 100 p Value = 0.023

Sumber : Data Primer Diolah Agustus 2015

66
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa dari 37

responden, terdapat 9 responden (24.3%) dengan lama hari

rawatnya kategori cepat dan merasa cemas, sebanyak 9 responden

(24.3%) dengan lama hari rawatnya kategori cepat dan merasa

tidak cemas, sebanyak 17 responden (45.9%) dengan lama hari

rawatnya kategori lama dan merasa cemas dan sebanyak 2

responden (5.4%) dengan lama hari rawatnya kategori lama dan

merasa tidak cemas.

Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai X 2hit = 6.894 >

X2tab = 3.841 dan nilai p Value = 0.023 < α = 0.05, dengan demikian

Ha diterima dan Ho ditolak, dan nilai koefisien φ (Phi) = 0.432 yang

berarti ada hubungan cukup kuat antara hubungan hari perawatan

dengan tingkat kecemasan pasien gangguan jiwa di Rumah Sakit

Jiwa Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2015.

2. Pembahasan

a. Hubungan Lama Rawat Inap Dengan Tingkat Kecemasan Pasien


Gangguan Jiwa

Dalam penelitian, peneliti mengoperasionalkan kecemasan menjadi

dua kriteria obyektif yaitu cemas dan tidak cemas, seperti yang telah

diuraikan pada definisi operasinal. Dimana kriteria obyektif cemas sudah

mewakili tingkat-tingkat kecemasan responden. Namun dalam

perhitungannya tetap menggunakan skala HARS untuk mengklasifikasikan

responden masuk pada kategori cemas atau tidak cemas.

67
Hasil penelitian menunjukkan terdapat 9 responden (24.3%)

dengan lama hari rawatnya kategori cepat dan merasa cemas, sebanyak 9

responden (24.3%) dengan lama hari rawatnya kategori cepat dan

merasa tidak cemas, sebanyak 17 responden (45.9%) dengan lama hari

rawatnya kategori lama dan merasa cemas dan sebanyak 2 responden

(5.4%) dengan lama hari rawatnya kategori lama dan merasa tidak cemas.

Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai X 2hit = 6.894 > X2tab =

3.841 dan nilai p Value = 0.023 < α = 0.05, dengan demikian Ha diterima

dan Ho ditolak, dan nilai koefisien φ (Phi) = 0.432 yang berarti ada

hubungan cukup kuat antara hari perawatan dengan tingkat kecemasan

pasien gangguan jiwa di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sulawesi Tenggara

Tahun 2015.

Hasil penelitian ini menunjukkan hasil yang sama dengan penelitian

yang dilakukan oleh Murtaza dkk (2013) di RSUD Dr. Zainoel Abidin

Banda Aceh bahwa terdapat hubungan signifikan antara lama rawat inap

dengan tingkat kecemasan anak (p = 0.007).

Hari perawatan adalah waktu yang dibutuhkan pasien untuk

menjalani perawatan di Rumah Sakit yang dihitung sejak masuk Rumah

Sakit hingga pulang dari Rumah Sakit, baik sembuh maupun meninggal

dengan rata-rata hari perawatan 54 hari (Keliat dkk, 2009). Berdasarkan

standar dari Rumah Sakit Jiwa Propinsi Sulawesi Tenggara sendiri untuk

hari perawatan sesuai dengan BPJS yaitu 32 hari (Diklat RSJ Prov. Sultra,

2015). Sementara Kecemasan adalah respon emosi tanpa obyek yang

68
spesifik yang secara subyektif dialami dan dikomunikasikan secara

interpersonal. Kecemasan adalah kebigungan, kekhawatiran pada sesuatu

yang akan terjadi dengan penyebab yang tidak jelas dihubungkan dengan

perasaan tidak menentu dan tidak berdaya (Suliswati, 2005).

Adanya hubungan cukup kuat antara lama rawat inap dengan

tingkat kecemasan pasien skizofrenia dapat disebabkan karena

banyaknya pasien yang merasa cemas dengan tingkat - tingkat tertentu

baik pada pasien yang lama hari rawatnya masuk pada kategori cepat

mapun lama. Dari hasil penelitian, diketahui bahwa responden merasa

cemas karena ingin segera pulang ke rumah. Terlebih lagi bila keluarga

responden jarang datang menjenguknya ke Rumah Sakit Jiwa.

Responden merasa rindu kepada keluarga, seperti anak dan istri serta

orang tua. Paling tidak responden berharap keluarga sering datang

menjenguknya di rumah sakit. Hal ini yang membuat responden kadang

duduk menyendiri dan memikirkan hal tersebut. Hal ini sesuai dengan

yang dikemukakan oleh Sullivan dalam Suliswati (2005) bahwa

kecemasan timbul akibat ketidakmampuan untuk berhubungan

interpersonal dan sebagai akibat penolakan. Kecemasan bisa dirasakan

bila individu mempunyai kepekaan terhadap lingkungan. Kecemasan

pertama kali ditentukan oleh hubungan ibu dan anak pada awal

kehidupan, bayi berespon seolah-olah ia dan ibunya adalah satu unit.

Adanya trauma seperti perpisahan dengan orang berarti atau kehilangan

dapat menyebabkan kecemasan pada individu.

69
Dari hasil penelitian diketahui bahwa terdapat 9 responden (24.3%)

dengan lama hari rawatnya kategori cepat dan merasa cemas. Dari hasil

penelitian, hal ini disebabkan karena responden merasa cemas dengan

keadaaan keluarganya, dimana responden merupakan kepala keluarga

dan selama responden menjalani perawatan di Rumah Sakit Jiwa tidak

ada yang menafkahi keluarganya. Selain itu, perasaan rindu responden

kepada keluarganya juga membuat responden merasa cemas dan gelisah

dan ingin segera pulang. Bahkan tak jarang responden mengeluh kepada

perawat agar bisa segera pulang. Hal ini sesuai dengan yang

dikemukakan oleh Sullivan dalam Suliswati (2005) yang sudah dijelaskan

diatas bahwa kecemasan timbul akibat ketidakmampuan untuk

berhubungan interpersonal dan sebagai akibat penolakan. Adanya trauma

seperti perpisahan dengan orang berarti atau kehilangan dapat

menyebabkan kecemasan pada individu.

Sebanyak 9 responden (24.3%) dengan lama hari rawatnya

kategori cepat dan merasa tidak cemas. Hal ini disebabkan karena

responden merupakan pasien berulang. Responden merupakan pasien

yang pernah dirawat di Rumah Sakit Jiwa dan pulang dengan sembuh

namun kembali ke lagi dirawat di Rumah Sakit Jiwa karena mengalami

kekambuhan. Responden sudah paham tentang perawatan yang

dijalaninya, sehingga tidak merasa cemas lagi. Responden sudah lebih

gampang diarahkan dan bahkan kooperatif dalam menerima pelayanan

keperawatan. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh

70
Freud dalam Suliswati (2005) bahwa kecemasan merupakan hasil frustasi

akibat berbagai hal yang mempengaruhi individu dalam mencapai tujuan

yang diinginkan. Perilaku merupakan hasil belajar dari pengalaman yang

pernah dialami. Perilaku yang ditunjukkan saat ini merupakan pemahaman

dari pengalaman yang telah dilalui. Individu termotivasi untuk belajar

mengadakan perubahan terutama perubahan terhadap perasaan tidak

nyaman dan berfokus pada kelangsungan hidup.

Terdapat pula 17 responden (45.9%) dengan lama hari rawatnya

kategori lama dan merasa cemas. Hal ini disebabkan karena responden

sudah cukup lama dalam menjalani perawatan di Rumah Sakit Jiwa. Dari

hasil penelitian diketahui bahwa responden merasa jenuh dengan aktifitas

di Rumah Sakit Jiwa. Responden mengatakan dirinya sudah sembuh,

tidak lagi terdapat gejala-gejala gangguan jiwa seperti Halusinasi

pendengaran yang dideritanya sebelumnya tapi belum diperbolehkan

pulang. Hal ini memicu responden menjadi cemas, terlebih lagi keluarga

responden juga jarang menjenguk namun dimaklumi oleh responden

karena jaraknya cukup jauh antara rumah responden dengan Rumah Sakit

Jiwa. Sehingga hal ini membuat responden cemas dan gelisah ingin

segera pulang. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh

Stuart (2007) bahwa kecemasan timbul dari perasan takut terhadap tidak

adanya penerimaan dan penolakan interpersonal. Kecemasan Juga

berhubungan dengan perpisahan dan kehilangan yang menimbulkan

kelemahan spesifik.

71
Sebanyak 2 responden (5.4%) dengan lama hari rawatnya kategori

lama dan merasa tidak cemas. Dari hasil penelitian, hal ini dapat

disebabkan karena sebelumnya responden pernah dirawat di Rumah Sakit

Jiwa dengan gangguan yang sama dan dalam waktu yang cukup lama.

Selain itu, responden mengaku senang berada di Rumah Sakit Jiwa

karena baik petugas kesehatan maupun pasien sangat terbuka dengan

responden. Bila dibandingkan dengan di lingkungan rumah tempat

responden tinggal, responden merasa dijauhi dan dikucilkan oleh

pergaulannya bahkan keluarganya. Menurut responden, ia dianggap

orang gila oleh masyarakat dan keluarganya namun bagi responden, ia

merasa dirinya tidak gila seperti yang disebutkan. Bagaimanapun

masyarakat masih memiliki pandangan negative terhadap orang yang

memiliki gangguan jiwa. Mereka lebih menyebutnya sebagai orang gila

dari orang dengan gangguan jiwa. Namun diakui responden memiliki

masalah mengenai suara-suara aneh (Halusinasi Pendengaran) yang

terdengar ditelinganya yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan

jahat. Namun dilawan dengan keras oleh responden. Dan saat ini

responden ingin fokus berobat dulu untuk menghilangkan suara-suara

tersebut sampai hilang sama sekali. Menurut Stuart (2007) kecemasan

dapat timbul karena pola interaksi yang tidak adaptif dalam keluarga.

Seseorang menjadi terkucilkan dari keluarga yang memicu adanya rasa

ketakutan akan sesuatu hal, merasa takut kehilangan. Kecemasan juga

72
dapat membuat individu menarik diri dan menurunkan keterlibatan dengan

orang lain.

Gangguan jiwa merupakan penyakit yang sangat berbeda dengan

penyakit pada umumnya. Gangguan jiwa menurut Depkes RI (2005)

adalah suatu perubahan pada fungsi jiwa yang menyebabkan adanya

gangguan pada fungsi jiwa, yang menimbulkan penderitaan pada individu

dan atau hambatan dalam melaksanakan peran sosial.

Dukungan keluarga sangat penting untuk diberikan kepada pasien

gangguan jiwa. Keluarga memberikan dukungan kepada pasien untuk

lebih terbuka dalam menyampaikan masalah yang sedang dipendamnya.

Keluarga dan petugas kesehatan terutama perawat harus bekerja sama

dalam meningkatkan kepercayaan dan harga diri pasien. Rumah sakit

jiwa, perawatan dan pengobatan merupakan fasilitas dalam menunjang

kesembuhan pasien. Sedangkan hal yang terpenting dalam membantu

pemulihan pasien adalah keluarga.

73
BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diajukan pada

penelitian ini, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Dari 37 responden, sebanyak 19 orang (51.4%) dengan hari perawatan

yang lama dan sebanyak 18 orang (48.6%) hari perawatan yang cepat.

2. Dari 37 responden, sebanyak 26 orang (70.3%) responden yang merasa

cemas dan sebanyak 11 orang (29.7%) responden yang merasa tidak cemas.

3. Ada hubungan lemah antara hubungan hari perawatan dengan tingkat

kecemasan pasien gangguan jiwa di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sulawesi

Tenggara Tahun 2015 dengan nilai X2hit = 6.894 > X2tab = 3.841, nilai p Value

= 0.023 < α = 0.05 dan nilai koefisien φ (Phi) = 0.432.

B. Saran

Adapun saran yang dapat disampaikan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut.

74
1. Bagi pihak Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sulawesi Tenggara diharapkan dapat

membuat sebuah kebijakan terkait dengan penurunan angka kecemasan

pasien rawat inap Rumah Sakit Jiwa dengan bekerja sama dengan keluarga

pasien untuk meningkatkan kesembuhan pasien. Keluarga pasien diharapkan

dapat bekerja sama dengan datang sekali dalam rentang waktu tertentu untuk

memberikan dukungan kepada pasien sehingga dapat menurunkan

kecemasan pasien dan pasien bisa fokus pada perawatan dan pengobatannya.

2. Bagi Institusi Pendidikan STIKES Mandala Waluya, diharapkan hasil penelitian

ini dapat menjadi sumbangan dalam perkembangan ilmu keperawatan

3. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan dapat manambah khasanah

ilmu kesehatan jiwa khususnya.

4. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan tulisan ini dapat menjadi bahan sebagai

referensi dan agar lebih mengembangkan variabel dan desain penelitian

sehingga penelitian ini menjadi lebih variatif dan informatif.

5. Bagi peneliti, untuk lebih meningkatkan ilmu pengetahuan dan keterampilan

sehingga bila terjun di masyarakat dan memberikan pelayanan keperawatan

kepada masyarakat, masyarakat akan merasa puas terhadap pelayanan

keperawatan yang diberikan.

75

Anda mungkin juga menyukai