Anda di halaman 1dari 7

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kesehatan jiwa menurut UU No. 36 tahun 2009 adalah “Kondisi jiwa
seseorang yang terus tumbuh berkembang dan mempertahankan keselarasan,
dalam pengendalian diri serta terbebas dari stress yang serius“. Kesehatan
jiwa menurut WHO adalah ketika seseorang tersebut merasa sehat dan
bahagia, mampu menghadapi tantangan hidup serta dapat menerima orang
lain sebagaimana seharusnya serta mempunyai sikap positif terhadap diri
sendiri dan orang lain. Prevelensi masalah kesehatan jiwa di Indonesia
mencapai 13% dari penyakit secara keseluruhan dan menungkinkan akan
berkembang menjadi 25% di tahun 2030 (WHO,2009).

Kesehatan jiwa pada saat ini semakin menjadi masalah utama, terutama di
negara-negara maju. Walaupun masalah kesehatan jiwa bukan menjadi salah
satu masalah penyebab kematian secara langsung, namun masalah kesehatan
ini dapat menimbulkan ketidak mampuan seseorang untuk berkarya dan tidak
tepat dalam berperilaku sehingga menimbulkan masalah bagi suatu
kelompok, termasuk masyarakat (Irmansyah, 2003)

Who menyebutkan tidak kurang dari 450 juta penderita gangguan jiwa
ditemukan di dunia (Gemari, 2009). Gangguan jiwa penduduk dunia seiring
laju modernisasi semakin meningkat, data dari WHO tahun 2000 memperoleh
angka gangguan jiwa yang semula 12% meningkat menjadi 13%
ditahun2001, WHO bahkan memprediksi angka gangguan jiwa penduduk
dunia akan meningkat hingga 15% pada tahun 2015.

Skizofrenia merupakan gangguan fungsi otak yang timbul akibat


ketidakseimbangan pada dopamine, yaitu salah satu sel kimia dalam otak .

1
2

Skizofrenia adalah gangguan jiwa psikotik paling lazim dengan ciri hilangnya
perasaan efektif etau respons emosional dan menarik diri dari hubungan
antar pribadi normal. Sering kali diikuti dengan delusi dan halusinasi
(Priyanto dalam Puspitasari, 2009).

Penderita skizofrenia yang terlambat berobat akan cenderung “kebal” dengan


obat-obatan dengan dosis yang lebih tinggi serta perawatan di rumah sakit
yang lebih lama. Pada akhirnya akan meningkatkan biaya dan beban keluarga
(Irmansyah, 2008).

Prevelensi penderita skozofrenia di Indonesia adalah 0,3 sampai 1% dan


biasanya timbul pada usia sekitar 18 - 45 tahun, namun ada juga yang berusia
11 - 12 tahun sudah menderita skizofrenia. Apabila penduduk Indonesia
sekitar 200 juta jiwa, maka diperkirakan sekitar 2 juta jiwa menderita
skizofrenia (Arif, 2009). Skizofrenia adalah gangguan mental yang cukup
luas dialami di indonesia, sekitar 90% pasien di RS Jiwa di Indonesia adalah
penderigta skizofrenia.

Prevelensi nasional gangguan mental emosional pada penduduk yang


berumur 15 tahun adalah 6,0%(37,728 orang dari subyek yang dianalisis).
Prevelensi ini bervariasi antar provinsi antara 1,2% sampaidengan
11,6%,prevelensi tertinggi di provinsi Sulawesi Tengah (11,6%) dan yang
terendah terdapat di provinsi Lampung (1,2%), sedangkan di Kalimantan
Selatan (5,1%). (Riskesdas, 2013).

Dari catatan medik Rumah Sakit Jiwa Sambang Lihum Gambut Banjarmasin
didapatkan angka kejadian skizofrenia yang berobat rawat jalan dan rawat
inap dari tahun 2013 rawat inap sebanyak 1.271 kasus sedangkan rawat jalan
sebanyak 7.460 kasus. Pada tahun 2014 rawat inap sebanyak 1.637 kasus
sedangkan rawat jalan sebanyak 8.872 kasus. Pada tahun 2015 rawat inap
sebanyak 1.216 kasus sedangkan rawat jalan sebanyak 9.274 kasus.
3

Sedangkan data terakhir yang didapatkan 115 orang yang menderita


skizofrenia pada bulan Januari 2016.

Gangguan jiwa dapat mempengaruhi semua orang : anak, remaja, dewasa,


dan usia lanjut, kaya dan miskin, perkotaan dan pedesaan. Gangguan jiwa
yang banyak di temukan di masyarakat antara lain : skizofrenia, gangguan
bipolar, depresi, gangguan cemas dan panik serta ketergantungan NAPZA
(Depkes, 2008).

Skizofrenia dapat didefinisikan sebagai suatu sindrom gangguan jiwa yang


penderitanya tidak mampu menilai realitas dengan baik dan pemahaman diri
buruk (Hawari, 2008). Skizofrenia adalah suatu gangguan jiwa yang ditandai
dengan penurunan atau ketidakmampuan berkomunikasi, gangguan realita
(halusinasi dan waham), afek yang tidak wajar atau tumpul, gangguan
kognitif (tidak mampu berfikir abstrak) dan mengalami kesukaran aktifitas
sehari-hari (Keliat, 2006). Struat dan Laraia (2005) menerangkan bahwa
skizofrenia merupakan sekelompok reaksi psikotik yang mempengaruhi
berbagai area individu, termasuk fungsi berpikir dan berkomunikasi,
menerima dan menginterprestasikan realitas, merasakan dan menunjukkan
emosi dan berperilaku yang dapat diterima secara rasional. Berdasarkan
definisi skizofrenia adalah terganggunya fungsi kognitif, perasaan dan
perilaku dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam kehidupan bermasyarakat sering kita tahu bahwa seseorang yang


mengalami gangguan jiwa tidak banyak yang mendapat dukungan dari
keluarga. Sebagaian besar masyarakat di Indonesia dengan salah satu anggota
keluarga yang mengalami gangguan jiwa biasanya akan merasa malu dan
memilih untuk menyembunyikan, mengucilkan, bahkan tidak jarang mereka
memperlakukannya dengan hal yang tidak benar.
4

Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala
keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat di
bawah suatu atap dalam keadaan saling membutuhkan satu sama lain
(Depkes, cit Eeffendi, 1998). Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (2000), keluarga adalah sanak keluarga yang bertalian oleh turunan
atau saudara yang bertalian oleh perkawinan, orang seisi rumah, anak, suami,
atau istri.

Terdapatnya stigma yang buruk dari masyarakat terhadap penderita gangguan


jiwa,diantaranya gangguan jiwa merupakan gangguan yang sulit
disembuhkan dan aib bagi keluarganya (Irmansyah, 2003). Hal ini bukan
hanya menimbulkan konsekuensi negatif bagi penderita, tetapi juga dapat
menimbulkan persepsi yang negatif bagi keluarga sehingga muncullah sikap
penolakan, sikap penyangkalan, disishkan maupun diisolasi.Karena memiliki
anggota dengan skizofrenia bukanlah suatu hal yang mudah.
Sedangkan,keluarga merupakan sistem pendukung yang sangat diperlukan
oleh penderita selama masa pengobatan, keluarga dapat membantu mengatasi
hambatan dalam keterampilan atau perilaku yang dimiliki penderita baik
dalam aktivitas sehari-hari maupun hubungan sosial.

Persepsi merupakan proses diterimanya rangsangan melalui pancaindera


sehingga individu mampu mengetahui, mengartikan dan mengahayati tentang
sesuatu yang diamati, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar diri
individu (Pelling,2008 & Sunaryo, 2004). Persepsi keluarga terhadap anggota
keluarga yang mengalami skizofrenia merupakan salah satu faktor dalam
mendukung kesembuhan pasien. Keluarga pasien juga sudah seharusnya
dapat mengurangi persepsi yang negatif dan diskriminasi terhadap penderita
gangguan jiwa dalam keluarga serta dapat memberikan dukungan sosial agar
penderitanya nyaman dengan lingkungannya. Hal tersebut dapat diwujudkan
dengan memberikan dukungan sosial kepadanya, meningkatkan rasa empati,
penerimaan,mendorong untuk memulai berinteraksi sosial, dan dorongan
untuk tidak berputus asa serta terus berusaha.
5

Dari data studi pendahuluan yang dilakukan pada tangal 11 Januari 2016
didapat data dari unit rekam medik di Rumah Sakit Jiwa Sambang Lihum dari
data rawat inap pada tahun 2015 didapatkan skizofrenia tidak terdefesiensi
atau Terince sebanyak 437 kasus, skizofrenia paranoid sebanyak 411 kasus,
skizofrenia hebefrenik sebanyak 163 kasus, skizofrenia residual sebanyak 145
kasus. Dan data rawat jalan pada skizofrenia paranoid sebanyak 54 kasus,
skizofrenia terdefesiensi atau terince sebanyak 40 kasus, skizofrenia residual
sebanyak 10 kasus, skizofrenia hebefrenik sebanyak 17 kasus dan skizofrenia
katatonik sebanyak 8 kasus.

Dari hasil studi pendahuluan yang dilakukan di unit rawat jalan Rumah Sakit
Jiwa Sambang Lihum pada tanggal 3 februari 2016 dengan wawancara
kepada 10 orang anggota keluarga pasien, didapatkan data bahwa sebagian
besar yang mengalami persepsi negatif adalah 7 orang dan 3 orang anggota
keluarga lainnya memiliki persepsi yang positif. Dari 10 orang anggota
keluarga 7 orang yang mengalami persepsi negatif beban keluarganya adalah
psikologis dan pengetahuan terhadap penyakit yang kurang, dan 3 orang
lainnya mengalami persepsi positif dan beban keluarga berkurang terhadap
psikologis dan pengetahuan keluarga terhadap penyakit yang memadai.

Berdasarkan uraian diatas,peneliti tertarik mengadakan penelitian tentang


Hubungan Persepsi Keluarga Dengan Beban Keluarga yang mengalami
skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Sambang Lihum Banjarmasin.

1.2 Rumusan Masalah


Dari uraian latar belakang masalah dalam penelitian ini didapat rumusan
masalah sebagai berikut adalah untuk belum diketahuinya hubungan persepsi
keluarga dengan beban keluarga yang mengalami Skizofrenia di Rumah Sakit
Jiwa Sambang Lihum Banjarmasin.
6

Berdasarkan gambaran diataas maka timbul keinginan untuk mengangkat


penelitian tentang “hubungan persepsi keluarga dengan beban keluarga yang
mengalami skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Sambang Lihum Banjarmasin”

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui hubungan persepsi keluarga dengan beban keluarga yang
mengalami skizofrnia di Rumah Sakit Jiwa Sambang Lihum Provinsi
Kalimantan Selatan.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Mengidentifikasi gambaran persepsi keluarga pada pasien yang
mengalami skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Sambang Lihum
Provinsi Kalimantan Selatan
1.3.2.2 Mengidentifikasi gambaran beban keluarga pada pasien
skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Sambang Lihum Provinsi
Kalimantan Selatan
1.3.2.3 Menganalisis hubungan persepsi keluarga dengan beban
keluarga pada pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa
Sambang Lihum Provinsi Kalimantan Selatan

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Keluarga
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi orang tua dan keluarga
pasien skizofrenia, dapat menambah pengetahuan keluarga tentang
skizofrenia.
1.4.2 Instansi Pendidikan
Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat dalam perkembangan
keilmuan khususnya keperawatan jiwa yang mempengaruhi persepsi
keluarga tentang skizofrenia
7

1.4.3 Perguruan Tinggi


Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan kepustakaan bagi
seluruh mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah
Banjarmasin
1.4.4 Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data tambahan untuk
peneliti selanjutnya yang terkait dengan hubungan persepsi keluarga
dengan beban keluarga yang mengalami skizofrenia

1.5 Penelitian Terkait


1.5.1 Khairunnisa, 2009 yang berjudul “Hubungan Stigma Masyarakat
tentang Penderita Skizofrenia dengan Tingkat Penerimaan Masyarakat
di Kelurahan Alalak Selatan Kecamatan Banjarmasin Utara”.
Penelitian tersebut adalah riset analitik dengan design cross sectional.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan Stigma
masyarakat di kelurahan alalak selatan kecamatan banjarmasin utara.
1.5.2 Yuwono Adi Iswant, 2010 yang berjudul “Hubungan Tingkat
Pengetahuan Keluarga tentang Skizofrenia dengan Peran Keluarga
Klien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Sambang Lihum”. Hasil
penelitian menunjukkan tingkat pengetahuan keluarga tentang
skizofrenia sebagian besar baik (50%) sedangkan peran keluarga klien
skizofrenia sebagian besar juga baik (50%). Bedasarkan uji Speramen
Rank didapatkan nilai kemaknaan 0,000 < 0,05 yang berarti terdapat
hubungan anatara tingkat pengetahuan keluarga tentang skizofrenia
dengan peran keluarga klien skizofrenia.

Adapun perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya


terletak pada jenis, variabel, dan waktu penelitian. Variabel penelitian
ini terdiri dari variabel skizofrenia dengan persepsi keluarga yang
mengalami skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Sambang Lihum
Kalimantan Selatan tahun 2015.

Anda mungkin juga menyukai