Anda di halaman 1dari 10

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Gangguan jiwa (mental disorder) merupakan salah satu dari empat masalah

kesehatan utama di negara-negara maju, modern dan industri. Keempat masalah

kesehatan utama tersebut adalah penyakit degeneratif, kanker, gangguan jiwa dan

kecelakaan. World Health Organization tahun 2001 menyatakan bahwa gangguan

jiwa mencapai 13% dari penyakit di dunia, dibandingkan TBC (7,2%), kanker

(5,8%), jantung (4,4%) maupun malaria (2,6%). Masalah gangguan jiwa dapat terus

meningkat jika tidak dilakukan penanganan (Tobing, 2007). Permasalahan gangguan

jiwa tidak hanya berpengaruh terhadap produktivitas manusia, juga berkaitan dengan

kasus bunuh diri. Berdasarkan WHO, setiap tahun diperkirakan 873.000 orang bunuh

diri. Lebih dari 90% kasus bunuh diri berhubungan dengan gangguan jiwa seperti

Depresi, Schizophrenia dan ketergantungan terhadap alkohol (Hawari, 2009).

Jenis gangguan jiwa yang dapat ditemui di masyarakat, yaitu gangguan jiwa

ringan dan gangguan jiwa berat. Gangguan jiwa ringan contohnya adalah gangguan

mental emosional. Gangguan jiwa berat salah satunya adalah schizophrenia. Sekitar

45% penderita yang masuk rumah sakit jiwa merupakan pasien schizophrenia dan

sebagian besar pasien schizophrenia memerlukan perawatan (rawat inap dan rawat

jalan) yang lama (Maramis, 2008). Gangguan jiwa jenis ini dapat terjadi mulai

sekitar masa remaja dan kebanyakan berjenis kelamin laki-laki dan menjadi sakit

pada usia antara 15-35 tahun, sedangkan pada perempuan kebanyakan penampakan

gejala antara usia 25-35 tahun. Gangguan kejiwaan schizophrenia ini, sering

1
2

menyebabkan kegagalan individu dalam mencapai berbagai keterampilan yang

diperlukan untuk hidup dan menyebabkan pasien menjadi beban keluarga dan

masyarakat (Candra, 2011).

Schizophrenia merupakan suatu deskripsi sindrom dengan variasi penyebab

(banyak belum diketahui) dan perjalanan penyakit yang luas. Pada umumnya

ditandai oleh penyimpangan pikiran dan persepsi (Maslim, 2009). Menurut Kaplan

dan Sadock, (2005), schizophrenia menunjukkan manifestasi gangguan fungsi

berpikir normal. Psikopatologi pada schizophrenia dapat digolongkan ke dalam tiga

dimensi, yaitu gejala positif, gejala negatif, dan disorganisasi. Gejala positif meliputi

halusinasi, waham, gaduh gelisah, dan sikap bermusuhan. Gejala-gejala ini

cenderung menyebabkan perawatan dilakukan di rumah sakit dan mengganggu

kehidupan pasien. Gejala negatif meliputi afek tumpul atau datar, menarik diri,

berkurangnya motivasi, miskin kontak emosional (pendiam dan sulit diajak bicara),

pasif, dan apatis. Gejala disorganisasi meliputi disorganisasi pembicaraan,

disorganisasi perilaku, serta gangguan dalam pemusatan perhatian dan pengolahan

informasi.

Menurut data tahun 2000 World Health Organization (WHO), diseluruh dunia

terdapat 1/1000 orang dengan gangguan jiwa atau satu dari empat orang di dunia

yang mengalami masalah mental. Data American Psychiatric Association (APA)

tahun 2010, satu persen populasi penduduk dunia (rata-rata 0.85%) menderita

schizophrenia (Candra, 2011). Riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2007

menunjukkan bahwa penderita gangguan jiwa berat dengan usia di atas 15 tahun di

Indonesia mencapai 0,46%. Hal ini berarti terdapat lebih dari 1 juta jiwa di Indonesia

yang menderita gangguan jiwa berat. Prevalensi tertinggi di Daerah Khusus Ibukota

Jakarta (2,03%), lalu Nanggroe Aceh Darussalam (1,9%), dan Sumatera Barat
3

(1,6%). Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa 11,6% penduduk Indonesia

mengalami masalah gangguan mental emosional. Di Bali diperkirakan jumlah

penduduk yang mengalami gangguan jiwa sebanyak 3% dari jumlah penduduk atau

sekitar 843.675 orang diantaranya terdapat 7000 orang penduduk mengalami

gangguan jiwa berat terutama halusinasi (Suryani, 2009).

Berdasarkan rekam medik RSJ Provinsi Bali tahun 2012, pasien gangguan jiwa

yang dirawat jalan sebanyak 5967 orang, dari jumlah pasien tersebut yang menderita

schizophrenia sebanyak 3876 orang, dan pasien gangguan jiwa yang dirawat inap

sebanyak 5369 orang, yang menderita schizophrenia 4737 orang. Prevalensi

schizophrenia di RSJ Provinsi Bali tiap tahunnya meningkat, dilihat dari data tahun

2010 sekitar 80,7% dari total pasien rawat inap, tahun 2011 sekitar 83,3%, dan tahun

2012 sekitar 88,22%. Data jumlah pasien schizophrenia dalam tiga bulan terakhir

tahun 2013 (Oktober sampai Desember), untuk bulan Oktober diperoleh data bahwa

dari 422 pasien yang masuk dan dirawat inap di RSJ terdapat 408 pasien (96,6%)

yang menderita schizophrenia, bulan November diperoleh data bahwa dari 441

pasien yang masuk dan dirawat inap di RSJ terdapat 425 pasien (96,4%) yang

menderita schizophrenia, bulan Desember diperoleh data bahwa dari 452 pasien

yang masuk dan dirawat inap terdapat 440 pasien (97,3%) yang menderita

schizophrenia.

Kronisitas gangguan schizophrenia merupakan salah satu faktor yang

dipertimbangkan dalam penatalaksanaan, meskipun pengobatan farmakologik

merupakan pilihan utama dalam penatalaksanaan. Hampir semua pasien

schizophrenia kronis mengalami kekambuhan berulang kali sehingga mengakibatkan

defisit ketrampilan personal dan vokasional. Kekambuhan dapat disebabkan oleh

ketidakpatuhan minum obat, gejala yang umum terhadap pengobatan peristiwa


4

kehidupan yang menimbulkan stres, kerentanan individu terhadap stres, ekspresi

emosi keluarga yang tinggi, dan dukungan keluarga (Fleischacker, 2003).

Pasien dengan diagnosis schizophrenia diperkirakan akan kambuh 50% pada

tahun pertama, 70% pada tahun kedua (Sullinger, dalam Keliat, 2007) dan 100%

pada tahun kelima setelah pulang dari rumah sakit jiwa (Carson dan Ross, dalam

Keliat, 2007). Sedangkan menurut Solomon dkk, dalam Akbar (2008), melaporkan

bahwa dalam waktu 6 bulan pasca rawat didapatkan 30%-40% penderita mengalami

kekambuhan, sedangkan setelah 1 tahun pasca rawat inap 40%-50% penderita

mengalami kekambuhan, dan setelah 3-5 tahun pasca rawat didapatkan 65%-75%

penderita mengalami kekambuhan (Porkony dkk, dalam Tobing, 2007). Konsekuensi

dari kekambuhan juga menyengsarakan pasien yaitu sebanyak 50% psikiater

mengatakan pasien mereka bunuh diri sebagai akibat kambuh (Tobing, 2007).

Dengan pengobatan modern, bila pasien datang berobat dalam tahun pertama setelah

serangan pertama, maka kira-kira sepertiga dari mereka akan sembuh sama sekali

(full remission atau recovery). Sepertiga yang lain dapat dikembalikan ke masyarakat

walaupun masih didapati cacat sedikit dan mereka masih harus sering diperiksa dan

diobati selanjutnya (social recovery). Sisanya biasanya mempunyai prognosa yang

jelek, mereka tidak dapat berfungsi di dalam masyarakat dan menuju kemunduran

mental, sehingga mungkin menjadi penghuni tetap di rumah sakit jiwa (Maramis,

2008).

Proses penyembuhan pada pasien schizophrenia harus dilakukan secara

holistik dan melibatkan anggota keluarga. Keluarga sangat penting untuk ikut

berpartisipasi dalam proses penyembuhan karena keluarga merupakan pendukung

utama dalam merawat pasien schizophrenia. Oleh karena itu, fokus penanganan yang

dilakukan bukan hanya memulihkan keadaan pasien tapi bertujuan untuk


5

mengembangkan dan meningkatkan peran keluarga dalam perawatan pasien (Keliat,

2007). Peran keluarga sangat dibutuhkan untuk mendukung kesembuhan pasien

schizophrenia karena keluarga mempengaruhi nilai, kepercayaan, sikap, dan perilaku

pasien. Keluarga mempunyai fungsi dasar seperti memberi kasih sayang, rasa aman

dan rasa dimiliki, Jika keluarga dipandang sebagai suatu sistem, maka gangguan jiwa

pada satu anggota keluarga akan mengganggu semua sistem atau keadaan keluarga.

Hal ini merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya gangguan jiwa pada anggota

keluarga. Dari kedua pernyataan di atas, dapat disimpulkan betapa pentingnya peran

keluarga pada peristiwa terjadinya gangguan jiwa, proses perawatan dan penyesuaian

kembali setelah selesai program perawatan. Oleh karena itu keterlibatan keluarga

dalam perawatan sangat menguntungkan proses pemulihan pasien (Yosep, 2009).

Kemampuan keluarga dalam merawat pasien dengan schizophrenia

dipengaruhi oleh pengetahuan. Kurangnya pengetahuan keluarga tentang

schizophrenia membuat penafsiran dan pemahaman yang salah dalam merawat

pasien. Menurut Keliat (2007) keluarga banyak tidak mengetahui bagaimana cara

menangani perilaku pasien, seperti : menarik diri, tidak aktif, penampilan yang tidak

serasi, dan komunikasi yang terhambat. Keluarga juga tidak mengetahui apa yang

masih dapat diharapkan dari pasien. Masalah yang dihadapi adalah karena sebagian

besar keluarga pasien schizophrenia kurang memahami dan pengetahuan tentang

perawatan pasien schizophrenia masih rendah. Menurut Yosep (2009) secara umum

dapat diketahui bahwa keluarga masih kurang memiliki informasi-informasi yang

adekuat tentang schizophrenia, perjalanan penyakitnya dan bagaimana tatalaksana

untuk mengupayakan rehabilitasi bagi pasien. Sedangkan menurut Nurdiyana, dalam

Wulansih (2008), bahwa kekambuhan tinggi disebabkan oleh kurangnya

pengetahuan keluarga tentang penyakit schizophrenia sehingga peran serta keluarga


6

rendah atau 75,95% (221 orang). Menurut Chandra (2011) pasien schizophrenia

memerlukan empati yang sangat besar dari keluarga dalam bentuk dukungan secara

fisik dan psikis. Namun keluarga perlu menghindari sikap Ekspressed Emotional

(EE) atau reaksi yang berlebihan, seperti terlalu mengkritik, memanjakan dengan

harapan agar pasien tidak marah dan mengamuk jika keinginannya tidak segera

dipenuhi, dan terlalu mengontrol dan membatasi setiap pergerakan dari penderita.

Disini pentingnya pengetahuan dan peran keluarga dalam merawat anggota

keluarganya yang mengalami schizophrenia.

Tantangan terbesar untuk penanganan masalah gangguan jiwa terletak pada

keluarga. Keluarga tidak hanya bertugas membawa anggotanya ke Rumah Sakit

Jiwa, jika ada yang menderita gangguan jiwa, tetapi juga aktif untuk menerima

penderita setelah pulang dari Rumah Sakit Jiwa, melibatkannya dalam kegiatan

masyarakat dan yang paling penting memantau perilaku pasien selama di Rumah

Sakit Jiwa (Moersalin, 2009). Fenomena yang menarik adalah adanya kecenderungan

keluarga/masyarakat untuk menjadikan Rumah Sakit Jiwa sebagai tempat

pembuangan bagi orang dengan gangguan jiwa. Setelah diantar, keluarga tidak

pernah membesuk lagi, pasien dianggap sudah menjadi tanggungjawab petugas

Rumah Sakit Jiwa, sedangkan keluarga tidak mau tahu tentang keadaan pasien

konsekuensinya, sering ditemukan pasien di Rumah Sakit Jiwa yang telah menjadi

warga disana lebih dari sepuluh tahun tanpa pernah diketahui dimana alamat dan

siapa keluarganya (Hawari, 2009).

Fenemona yang peneliti jumpai dirumah Sakit Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali

adalah pasien yang sudah dinyatakan sembuh, namun tidak dijemput oleh

keluarganya bahkan ada yang tidak diterima oleh keluarganya, sehingga untuk

sementara waktu pasien yang telah dinyatakan sembuh ditampung di Rumah Sakit.
7

Sehingga Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali menjalankan program pemulangan pasien

yang diantar oleh pihak Rumah Sakit Jiwa atau droping. Droping pasien dilakukan

karena pasien tersebut tidak diajak pulang oleh keluarganya, yang sebenarnya pasien

sudah bisa diajak pulang dan dilakukan rawat jalan. Dampak dari bila pasien tidak

didroping adalah terjadinya penumpukan jumlah pasien yang dirawat, menambah

besar biaya yang dikeluarkan Rumah Sakit untuk pasien, dan terjadinya kekurangan

tempat tidur untuk pasien yang sedang dirawat sehingga akan berdampak kurang

baik terhadap kualitas keperawatan pada pasien. Jumlah pasien yang didroping

sepanjang tahun 2013 sebanyak 282 orang.

Hasil studi pendahuluan yang peneliti lakukan pada bulan Desember 2013, data

kunjungan keluarga dalam tiga bulan terkhir tahun 2013 (Oktober sampai Desember)

untuk bulan Oktober sebanyak 45 orang (11,03%) dari 408 pasien schizophrenia

yang dirawat, bulan November sebanyak 49 orang (11,53%) dari 425 pasien

schizophrenia dirawat dan pada bulan Desember sebanyak 51 orang (11.59%) dari

440 pasien schizophrenia dirawat. Pengetahuan keluarga dalam merawat anggota

keluarganya yang mengalami schizophrenia masih sangatlah kurang hal itu

didapatkan pada saat wawancara pada keluarga, biasanya mereka sangat tertutup dan

enggan untuk diwawancarai, merasa malu untuk menceritakan asal muasal penyakit

schizophrenia yang dialami oleh anggota keluarganya karena mereka beranggap

bahwa menderita schizophrenia adalah aib bagi keluarga. Hal ini tidak hanya terjadi

pada keluarga dengan status ekonomi rendah, pendidikan rendah saja namun dialami

pula dengan oleh keluarga dengan kalangan atas.

Penanganan pasien schizophrenia menimbulkan masalah bagi keluarga, pasien

dan rumah sakit. Bagi keluarga, menambah beban keluarga dalam hal biaya

pengobatan selama di rumah sakit selain itu mungkin beberapa anggota keluarga
8

merasa malu atau ketakutan terhadap perilaku pasien yang aneh atau mengancam.

Disinilah beban emosi keluarga dalam bentuk keletihan secara emosional. bagi

pasien, sulit diterima di dalam lingkungan atau masyarakat sekitar. Bagi rumah sakit,

beban akan bertambah berat dan akan terjadi penumpukan jumlah pasien sehingga

pemberian keperawatan yang dilakukan tim medis di rumah sakit tidak dapat

dilakukan secara optimal karena terbatasannya jumlah tenaga. Maka dari itu pada

saat pasien masuk ke Rumah sakit, selain pasien yang mendapatkan pengobatan,

keluargapun ikut diterapi dengan maksud agar keluarga mengerti mengenai penyakit

yang sedang diderita oleh anggota keluarganya dalam bentuk pendidikan kesehatan

yang diberikan oleh dokter dan perawat. Pemberian informasi yang terkait yang

disampaikan pada keluarga adalah memberikan informasi faktual tentang

schizophrenia, mengidentifikasi tanda-tanda awal relaps dan mengidentifikasi

pemicu gejala atau faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko relaps

menyarankan keluarga agar mengajak pasien kontrol teratur dan minum obat teratur

sesuai dengan dosis terapi obat yang diberikan oleh dokter serta menyarankan

keluarga terlibat dalam perawatan pasien di rumah sakit salah satunya dengan rutin

mengunjungi pasien setiap minggu. Berdasarkan uraian di atas, peneliti ingin

meneliti tentang perilaku keluarga dalam perawatan pasien schizophrenia di Rumah

Sakit Jiwa Provinsi Bali.

1.2 Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas maka dirumuskan pertanyaan

penelitian sebagai berikut : bagaimanakan perilaku keluarga dalam perawatan pasien

schizophrenia di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali?.


9

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui perilaku keluarga dalam perawatan pasien schizophrenia di

Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali.

1.3.2. Tujuan khusus

1.3.2.1 Mengidentifikasi pengetahuan keluarga tentang perawatan pasien

schizophrenia.

1.3.2.2 Mengidentifikasi sikap keluarga tentang perawatan pasien schizophrenia.

1.3.2.3 Mengidentifikasi tindakan keluarga yang dilakukan dalam proses perawatan

pasien schizophrenia.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

1.4.1.1 Penelitian ini bertujuan untuk memperkaya wawasan mahasiswa tentang

perilaku keluarga dalam perawatan pasien schizophrenia

1.4.1.2 Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai data dasar bagi

pengembangan penelitian lanjutan yang berkaitan perilaku keluarga dalam

perawatan pasien schizophrenia.

1.4.2. Manfaat Praktis

1.4.1.1 Manfaat bagi Rumah Sakit Jiwa Propinsi Bali, bermanfaat sebagai bahan

masukan untuk merumuskan kebijakan pencegahan dan penanggulangan

masalah gangguan jiwa, khususnya schizophrenia, serta meningkatkan

kualitas pelayanan dengan memanfaatkan peran serta keluarga pasien dalam

proses perawatan pasien gangguan jiwa, khususnya schizophrenia.


10

1.4.1.2 Bagi keluarga bermanfaat meningkatkan pengetahuan dan sikap untuk

mendukung tindakan yang dilakukan dalam perawatan pasien schizophrenia.

Anda mungkin juga menyukai