PENDAHULUAN
Gangguan jiwa (mental disorder) merupakan salah satu dari empat masalah
kesehatan utama tersebut adalah penyakit degeneratif, kanker, gangguan jiwa dan
jiwa mencapai 13% dari penyakit di dunia, dibandingkan TBC (7,2%), kanker
(5,8%), jantung (4,4%) maupun malaria (2,6%). Masalah gangguan jiwa dapat terus
jiwa tidak hanya berpengaruh terhadap produktivitas manusia, juga berkaitan dengan
kasus bunuh diri. Berdasarkan WHO, setiap tahun diperkirakan 873.000 orang bunuh
diri. Lebih dari 90% kasus bunuh diri berhubungan dengan gangguan jiwa seperti
Jenis gangguan jiwa yang dapat ditemui di masyarakat, yaitu gangguan jiwa
ringan dan gangguan jiwa berat. Gangguan jiwa ringan contohnya adalah gangguan
mental emosional. Gangguan jiwa berat salah satunya adalah schizophrenia. Sekitar
45% penderita yang masuk rumah sakit jiwa merupakan pasien schizophrenia dan
sebagian besar pasien schizophrenia memerlukan perawatan (rawat inap dan rawat
jalan) yang lama (Maramis, 2008). Gangguan jiwa jenis ini dapat terjadi mulai
sekitar masa remaja dan kebanyakan berjenis kelamin laki-laki dan menjadi sakit
pada usia antara 15-35 tahun, sedangkan pada perempuan kebanyakan penampakan
gejala antara usia 25-35 tahun. Gangguan kejiwaan schizophrenia ini, sering
1
2
diperlukan untuk hidup dan menyebabkan pasien menjadi beban keluarga dan
(banyak belum diketahui) dan perjalanan penyakit yang luas. Pada umumnya
ditandai oleh penyimpangan pikiran dan persepsi (Maslim, 2009). Menurut Kaplan
dimensi, yaitu gejala positif, gejala negatif, dan disorganisasi. Gejala positif meliputi
kehidupan pasien. Gejala negatif meliputi afek tumpul atau datar, menarik diri,
berkurangnya motivasi, miskin kontak emosional (pendiam dan sulit diajak bicara),
informasi.
Menurut data tahun 2000 World Health Organization (WHO), diseluruh dunia
terdapat 1/1000 orang dengan gangguan jiwa atau satu dari empat orang di dunia
tahun 2010, satu persen populasi penduduk dunia (rata-rata 0.85%) menderita
menunjukkan bahwa penderita gangguan jiwa berat dengan usia di atas 15 tahun di
Indonesia mencapai 0,46%. Hal ini berarti terdapat lebih dari 1 juta jiwa di Indonesia
yang menderita gangguan jiwa berat. Prevalensi tertinggi di Daerah Khusus Ibukota
Jakarta (2,03%), lalu Nanggroe Aceh Darussalam (1,9%), dan Sumatera Barat
3
penduduk yang mengalami gangguan jiwa sebanyak 3% dari jumlah penduduk atau
Berdasarkan rekam medik RSJ Provinsi Bali tahun 2012, pasien gangguan jiwa
yang dirawat jalan sebanyak 5967 orang, dari jumlah pasien tersebut yang menderita
schizophrenia sebanyak 3876 orang, dan pasien gangguan jiwa yang dirawat inap
schizophrenia di RSJ Provinsi Bali tiap tahunnya meningkat, dilihat dari data tahun
2010 sekitar 80,7% dari total pasien rawat inap, tahun 2011 sekitar 83,3%, dan tahun
2012 sekitar 88,22%. Data jumlah pasien schizophrenia dalam tiga bulan terakhir
tahun 2013 (Oktober sampai Desember), untuk bulan Oktober diperoleh data bahwa
dari 422 pasien yang masuk dan dirawat inap di RSJ terdapat 408 pasien (96,6%)
yang menderita schizophrenia, bulan November diperoleh data bahwa dari 441
pasien yang masuk dan dirawat inap di RSJ terdapat 425 pasien (96,4%) yang
menderita schizophrenia, bulan Desember diperoleh data bahwa dari 452 pasien
yang masuk dan dirawat inap terdapat 440 pasien (97,3%) yang menderita
schizophrenia.
tahun pertama, 70% pada tahun kedua (Sullinger, dalam Keliat, 2007) dan 100%
pada tahun kelima setelah pulang dari rumah sakit jiwa (Carson dan Ross, dalam
Keliat, 2007). Sedangkan menurut Solomon dkk, dalam Akbar (2008), melaporkan
bahwa dalam waktu 6 bulan pasca rawat didapatkan 30%-40% penderita mengalami
mengalami kekambuhan, dan setelah 3-5 tahun pasca rawat didapatkan 65%-75%
mengatakan pasien mereka bunuh diri sebagai akibat kambuh (Tobing, 2007).
Dengan pengobatan modern, bila pasien datang berobat dalam tahun pertama setelah
serangan pertama, maka kira-kira sepertiga dari mereka akan sembuh sama sekali
(full remission atau recovery). Sepertiga yang lain dapat dikembalikan ke masyarakat
walaupun masih didapati cacat sedikit dan mereka masih harus sering diperiksa dan
jelek, mereka tidak dapat berfungsi di dalam masyarakat dan menuju kemunduran
mental, sehingga mungkin menjadi penghuni tetap di rumah sakit jiwa (Maramis,
2008).
holistik dan melibatkan anggota keluarga. Keluarga sangat penting untuk ikut
utama dalam merawat pasien schizophrenia. Oleh karena itu, fokus penanganan yang
pasien. Keluarga mempunyai fungsi dasar seperti memberi kasih sayang, rasa aman
dan rasa dimiliki, Jika keluarga dipandang sebagai suatu sistem, maka gangguan jiwa
pada satu anggota keluarga akan mengganggu semua sistem atau keadaan keluarga.
Hal ini merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya gangguan jiwa pada anggota
keluarga. Dari kedua pernyataan di atas, dapat disimpulkan betapa pentingnya peran
keluarga pada peristiwa terjadinya gangguan jiwa, proses perawatan dan penyesuaian
kembali setelah selesai program perawatan. Oleh karena itu keterlibatan keluarga
pasien. Menurut Keliat (2007) keluarga banyak tidak mengetahui bagaimana cara
menangani perilaku pasien, seperti : menarik diri, tidak aktif, penampilan yang tidak
serasi, dan komunikasi yang terhambat. Keluarga juga tidak mengetahui apa yang
masih dapat diharapkan dari pasien. Masalah yang dihadapi adalah karena sebagian
perawatan pasien schizophrenia masih rendah. Menurut Yosep (2009) secara umum
rendah atau 75,95% (221 orang). Menurut Chandra (2011) pasien schizophrenia
memerlukan empati yang sangat besar dari keluarga dalam bentuk dukungan secara
fisik dan psikis. Namun keluarga perlu menghindari sikap Ekspressed Emotional
(EE) atau reaksi yang berlebihan, seperti terlalu mengkritik, memanjakan dengan
harapan agar pasien tidak marah dan mengamuk jika keinginannya tidak segera
dipenuhi, dan terlalu mengontrol dan membatasi setiap pergerakan dari penderita.
Jiwa, jika ada yang menderita gangguan jiwa, tetapi juga aktif untuk menerima
penderita setelah pulang dari Rumah Sakit Jiwa, melibatkannya dalam kegiatan
masyarakat dan yang paling penting memantau perilaku pasien selama di Rumah
Sakit Jiwa (Moersalin, 2009). Fenomena yang menarik adalah adanya kecenderungan
pembuangan bagi orang dengan gangguan jiwa. Setelah diantar, keluarga tidak
Rumah Sakit Jiwa, sedangkan keluarga tidak mau tahu tentang keadaan pasien
konsekuensinya, sering ditemukan pasien di Rumah Sakit Jiwa yang telah menjadi
warga disana lebih dari sepuluh tahun tanpa pernah diketahui dimana alamat dan
Fenemona yang peneliti jumpai dirumah Sakit Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali
adalah pasien yang sudah dinyatakan sembuh, namun tidak dijemput oleh
keluarganya bahkan ada yang tidak diterima oleh keluarganya, sehingga untuk
sementara waktu pasien yang telah dinyatakan sembuh ditampung di Rumah Sakit.
7
Sehingga Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali menjalankan program pemulangan pasien
yang diantar oleh pihak Rumah Sakit Jiwa atau droping. Droping pasien dilakukan
karena pasien tersebut tidak diajak pulang oleh keluarganya, yang sebenarnya pasien
sudah bisa diajak pulang dan dilakukan rawat jalan. Dampak dari bila pasien tidak
besar biaya yang dikeluarkan Rumah Sakit untuk pasien, dan terjadinya kekurangan
tempat tidur untuk pasien yang sedang dirawat sehingga akan berdampak kurang
baik terhadap kualitas keperawatan pada pasien. Jumlah pasien yang didroping
Hasil studi pendahuluan yang peneliti lakukan pada bulan Desember 2013, data
kunjungan keluarga dalam tiga bulan terkhir tahun 2013 (Oktober sampai Desember)
untuk bulan Oktober sebanyak 45 orang (11,03%) dari 408 pasien schizophrenia
yang dirawat, bulan November sebanyak 49 orang (11,53%) dari 425 pasien
schizophrenia dirawat dan pada bulan Desember sebanyak 51 orang (11.59%) dari
didapatkan pada saat wawancara pada keluarga, biasanya mereka sangat tertutup dan
enggan untuk diwawancarai, merasa malu untuk menceritakan asal muasal penyakit
bahwa menderita schizophrenia adalah aib bagi keluarga. Hal ini tidak hanya terjadi
pada keluarga dengan status ekonomi rendah, pendidikan rendah saja namun dialami
dan rumah sakit. Bagi keluarga, menambah beban keluarga dalam hal biaya
pengobatan selama di rumah sakit selain itu mungkin beberapa anggota keluarga
8
merasa malu atau ketakutan terhadap perilaku pasien yang aneh atau mengancam.
Disinilah beban emosi keluarga dalam bentuk keletihan secara emosional. bagi
pasien, sulit diterima di dalam lingkungan atau masyarakat sekitar. Bagi rumah sakit,
beban akan bertambah berat dan akan terjadi penumpukan jumlah pasien sehingga
pemberian keperawatan yang dilakukan tim medis di rumah sakit tidak dapat
dilakukan secara optimal karena terbatasannya jumlah tenaga. Maka dari itu pada
saat pasien masuk ke Rumah sakit, selain pasien yang mendapatkan pengobatan,
keluargapun ikut diterapi dengan maksud agar keluarga mengerti mengenai penyakit
yang sedang diderita oleh anggota keluarganya dalam bentuk pendidikan kesehatan
yang diberikan oleh dokter dan perawat. Pemberian informasi yang terkait yang
menyarankan keluarga agar mengajak pasien kontrol teratur dan minum obat teratur
sesuai dengan dosis terapi obat yang diberikan oleh dokter serta menyarankan
keluarga terlibat dalam perawatan pasien di rumah sakit salah satunya dengan rutin
schizophrenia.
pasien schizophrenia.
1.4.1.2 Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai data dasar bagi
1.4.1.1 Manfaat bagi Rumah Sakit Jiwa Propinsi Bali, bermanfaat sebagai bahan