Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kesehatan menurut Undang-Undang Kesehatan No.36 tahun 2009 adalah

keadaan sehat baik secara fisik, metal, spiritual maupun sosial yang

memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan

ekonomis. Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa sehat itu tidak

hanya sehat jasmani tetapi juga sehat rohani (jiwa). Menurut Keliat tahun

2011, kesehatan jiwa adalah suatu mental sejahtera yang memungkinkan

hidup harmonis dan produktif sebagai bagian yang utuh dari kualitas hidup

sesorang dengan memperhatikan semua segi kehidupan manusia. Sedangkan

gangguan jiwa yaitu suatu perubahan pada fungsi jiwa yang menyebabkan

adanya gangguan pada fungsi jiwa, yang menimbulkan penderitaan pada

individu dan atau hambatan dalam melaksanakan peran social. (Keliat, 2011).
World Health Organization (WHO) (2009) memperkirakan 450 juta

orang diseluruh dunia mengalami gangguan mental, sekitar 10 % orang

dewasa mengalami gangguan jiwa saat ini dan 25 % penduduk diperkirakan

akan mengalami gangguan jiwa pada usia tertentu selama hidupnya.

Gangguan jiwa mencapai 13 % dari penyakit secara keseluruhan dan

kemungkinan akan berkembang menjadi 25% ditahu 2030. National Institute

of Mental Health (NIMH) berdasarkan hasil sensus penduduk Amerika

Serikat tahun 2004, memperkirakan 26,2% penduduk yang berusia 18 tahun

atau lebih mengalami gangguan jiwa (NIMH, 2011). Kondisi ini tidak jauh

berbeda dengan kasus gangguan jiwa di negara-negara berkembang.

1
Indonesia sebagai salah satu negara berkembang yang belakangan ini

sering mengalami bencana alam seperti gempa bumi, banjir, gunung meletus,

tsunami, dan ditambah lagi berbagai konflik terkait agama dan ras, juga

menunjukkan angka gangguan jiwa yang cukup tinggi. Data Riset Kesehatan

Dasar 2013 mencatat Prevalensi gangguan jiwa berat di Indonesia mencapai

1,7 per mil. Artinya, 1-2 orang dari 1.000 penduduk di Indonesia mengalami

gangguan jiwa berat. Data diatas bagi sebagian besar individu mungkin tidak

terlalu menarik perhatian mereka, karena apa sesungguhnya gangguan jiwa

tersebut dan apa dampak yang dapat ditimbulkan bagi mereka belum

dipahami secara jelas.


Gangguan jiwa berat yang dialami oleh individu menyebabkan mereka

menjadi tidak produktif bahkan sangat tergantung kepada orang lain. Mereka

akan mengalami hambatan dalam menjalankan peran sosial dan pekerjan

yang sebelumnya biasa dilakukan. Studi bank dunia tahun 1995 menyatakan

bahwa, hari produktif yang hilang atau Dissability Adjusted Life Years

(DALYs) di beberapa negara menunjukkan 8,1 % dari Global Burden of

Deseace disebabkan oleh masalah kesehatan jiwa. Angka ini lebih tinggi

dibandingkan dampak yang disebabkan oleh penyakit TBC (7,2%), kanker

(5,8%), penyakit jantung (4,4%) maupun malaria (2,6%). Hari produktif yang

hilang akibat gangguan jiwa menjadi 12,3% pada tahun 2000 dan

diprediksikan menjadi 15% pada tahun 2020 (WHO, 2006: Kusumawa,

2010). Gangguan jiwa berat selain berdampak terhadap diri sendiri, keluarga

dan masyarakat sekitar juga membebani negara.

Gangguan jiwa berat perlu menjadi fokus perhatian bersama. Stuart

(2009) mengatakan di Amerika Serikat 1% atau 1 dari 100 orang menderita

2
skizofrenia, atau 2,5 juta orang, dengan tidak mebedakan ras, kelompok etnis,

atau gender, terjadi mulai usia rata-rata17 25 tahun, laki laki rata- rata

mulai usia 15-25 tahun, perempuan rata rata 25-35 tahun.

Klien gangguan jiwa sebenarnya masih bisa dilatih untuk hidup

produktif, namun stigma masyarakat membatasi mereka untuk

mengembangkan kemampuannya. Gangguan jiwa selama berpuluh-puluh

tahun dianggap sebagai penyakit yang membahayakan karena tidak mampu

mengendalikan psikologis dan emosi sehingga sering ditunjukkan dengan

respon perilaku yang aneh. Kejadian ini membuat kebanyakan individu

meyakini bahwa mereka perlu diasingkan dan dirawat di rumah sakit

(Videbeck, 2008). Dari pandangan masyarakat yang keliru ini akan

menyebabkan kerugian bagi klien dengan gangguan jiwa. Oleh karena itu

perlu dirubahnya pemahaman masyarakat tentang gangguan jiwa tersebut.

Menurut American Pschyatric Association dalam Townsend (2009)

gangguan jiwa adalah sindroma perilaku yang secara klinik bermakna atau

sindroma psikologis atau pola yang berhubungan dengan kejadian distress

pada seseorang atau ketidakmampuan atau peningkatan secara signifikan

resiko untuk kematian, sakit, ketidakmampuan atau hilang rasa bebas.

Townsend (2009) menyatakan gangguan jiwa merupakan respon maladaptif

terhadap stressor dari dalam dan luar lingkungan yang berhubungan dengan

perasaan dan perilaku yang tidak sejalan dengan budaya/kebiasaan/norma

setempat dan mempengaruhi interaksi sosial individu, kegiatan dan fungsi

tubuh.

3
Gangguan jiwa adalah gangguan dalam cara berfikir (cognitive),

kemauan (volition), emosi (affective), tindakan (psychomotor) (Yosep, 2007).

Seseorang dikatakan terganggu jiwanya apabila ia tidak mampu beradaptasi

terhadap masalah yang sedang dihadapinya yang dapat dilihat dari cara

berfikir, berperilaku dan berkomunikasi dimana perilaku tersebut

menyimpang dari norma-norma dan kebiasaan sehingga tidak dapat

dimengerti atau dipahami oleh orang lain (Keliat, 2003).

Gangguan jiwa merupakan salah satu dari empat masalah kesehatan

utama di negara-negara maju, modern, dan industri. Keempat masalah

kesehatan utama tersebut adalah penyakit degeneratif, kanker, gangguan jiwa,

dan kecelakaan (Mardjono, dalam Hawari, 2007). Bagi negara berkembang

diramalkan pertambahan jumlah penderita yang mengalami gangguan jiwa

semakin meningkat begitu juga di Negara Indonesia. Meskipun gangguan

jiwa tersebut tidak dianggap sebagai gangguan yang menyebabkan kematian

secara langsung, namun beratnya gangguan tersebut dalam arti

ketidakmampuan baik secara individu maupun kelompok akan menghambat

pembangunan karena mereka tidak produktif dan tidak efisien (Setyonegoro,

dalam Hawari, 2007). Menurut Stuart (2009) klien gangguan jiwa berat tidak

dapat bekerja lagi, tidak mampu memberikan kontribusi dalam penghidupan

keluarga bahkan biaya untuk keperluan hidup sehari-hari dan biaya

berobatnya menjadi tanggungan keluarga.

Masalah kesehatan jiwa atau gangguan jiwa juga masih menjadi masalah

kesehatan di Indonesia. Data Kesehatan Indonesia (2008) menunjukkan

bahwa dari 1000 penduduk terdapat 185 penduduk mengalami gangguan

4
jiwa. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Tahun 2007, diketahui

bahwa prevalensi gangguan jiwa per 1000 anggota rumah tangga terdapat

140/1000 penduduk usia 15 tahun ke atas, dan diperkirakan sejak awal tahun

2009 jumlah penduduk yang mengalami gangguan jiwa sebesar 25% dari

populasi penduduk di Indonesia. Secara global angka kekambuhan pada

pasien gangguan jiwa ini mencapai 50% hingga 92% yang disebabkan karena

ketidakpatuhan dalam berobat maupun karena kurangnya dukungan dan

kondisi kehidupan yang rentan dengan meningkatkan stress (Sheewangisaw,

2012).

Hal yang dapat mempengaruhi kekambuhan penderita gangguan jiwa

dalam Yosep (2006) meliputi klien, dokter, penanggung jawab klien, dan

keluarga. Penderita-penderita yang kambuh biasanya sebelum keluar dari

Rumah sakit mempunyai karakteristik hiperaktif, tidak mau minum obat dan

memiliki sedikit keterampilan sosial (Porkony dkk, dalam Akbar 2008).

Hasil pengobatan suatu penyakit, termasuk pada gangguan jiwa yaitu

pasien akan sembuh, tetap sakit, meninggal dan putus obat. Kesembuhan

pasien dipengaruhi perilaku kepatuhan terhadap program pengobatan. Untuk

itu agar mencegah kekambuhan dibutuhkan kepatuhan dari pasien untuk tetap

menjaga dan mempertahankan kesehatan jiwanya, harus melakukan

kepatuhan kontrol atau rawat jalan dan mengikuti program terapi atau

pengobatan yang diberikan petugas kesehatan. Kepatuhan pasien adalah

sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh

profesional kesehatan (Niven, 2002).

5
Untuk mencegah terjadinya kekambuhan maka pasien gangguan jiwa

harus meningkatkan kepatuhan salah satunya kepatuhan untuk melakukan

kontrol rutin. Kepatuhan adalah suatu perubahan perilaku dari perilaku yang

tidak mentaati peraturan ke perilaku yang mentaati peraturan (Green dalam

Notoatmodjo, 2003). Begitu juga dengan pasien gangguan jiwa dimana

setelah dipulangkan bukan berarti pasien tidak melakukan kontrol rutin.

Pasien harus melanjutkan pengobatan dan melakukan kontrol rutin untuk

memastikan agar tidak terjadi kekambuhan pada pasien gangguan jiwa.

Kontrol rutin/perawatan jalan kesehatan perlu dilakukan perlu dilakukan oleh

pasien agar tidak terjadi putus obat dan para tenaga kesehatan juga dapat

mengetahui perkembangan kesehatan pasien.

Menurut Niven (2002), kepatuhan pasien untuk melakukan kontrol

terhadap kesehatan jiwa dipengaruhi oleh individu atau pasien sendiri,

dukungan dari keluarga, dukungan sosial dan juga dukungan dari petugas

kesehatan. Faktor individu dimana motivasi dan keyakinan individu ingin

tetap mempertahankan kesehatannya. Motivasi mempunyai tiga komponen

utama yaitu kebutuhan, dorongan dan tujuan. Kebutuhan terjadi bila individu

merasa ada ketidakseimbangan antara apa yang mereka miliki dengan apa

yang mereka harapkan. Dorongan merupakan kekuatan mental untuk

melakukan kegiatan dalam rangka memenuhi harapan. Dorongan merupakan

kekuatan mental yang berorientasi pada pemenuhan harapan atau pencapaian

tujuan. Dorongan yang berorientasi pada tujuan tersebut merupakan inti dari

pada motivasi. Keyakinan merupakan dimensi spiritual yang dapat menjalani

kehidupan. Penderita yang berpegang teguh pada keyakinannya akan

6
memiliki jiwa yang tabah dan tidak mudah putus asa serta dapat menerima

keadaannya, demikian juga cara perilaku akan lebih baik.


Menurut Caplan (1976, dalam Friedman, 2010) faktor dukungan

keluarga dengan adanya peranan dan dukungan keluarga dalam proses

perawatan klien meliputi empat aspek. pertama dukungan pengharapan

meliputi pertolongan pada individu untuk memahami kejadian gangguan

jiwa dengan baik, sumber gangguan jiwa dan strategi koping yang dapat

digunakan dalam menghadapi stressor. Kedua dukungan nyata meliputi

penyediaan dukungan jasmaniah seperti pelayanan, bantuan financial,

material berupa bantuan nyata, dimana benda atau jasa yang diberikan akan

membantu memecahkan masalah. Ketiga dukungan informasi meliputi

pemberian solusi dari masalah, pemberian nasehat, pengarahan, saran, ide-

ide, dan umpan balik tentang apa yang dilakukan oleh pasien gangguan jiwa.

Keempat dukungan emosional dapat berupa dukungan simpati, empati, cinta,

kepercayaan, dan penghargaan. Faktor dukungan profesional kesehatan

melalui hubungan terapetik yang dibangun tenaga kesehatan dengan pasien

merupakan suatu landasan atau dasar dari kepatuhan terhadap pengobatan.

Pasien dan keluarga diberi informasi tentang penyakitnya dan rencana

pengobatan yang dilakukan. Tenaga kesehatan dapat melakukan perubahan

dalam berkomunikasi dengan pasien baik itu dengan gaya atau bahasa yang

dapat dimengerti pasien sehingga dapat meningkatkan kepatuhan (Loebis,

2007).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kristin Elen di RSJD Amino

Gondohutomo Semarang tahun 2012 dari empat orang responden yang diteliti

semuanya melakukan kontrol rutin di poliklinik RSJD Amino Gondohutomo

7
Semarang. Menurut Sisky (2010) di RSJ Prof HB Saanin Padang tentang

motivasi keluarga untuk memberikan dukungan terhadap klien gangguan

jiwa, hasil penelitian didapatkan 51,3% responden memiliki motivasi masih

rendah, 58,8% berpengetahuan rendah, 65,0% memiliki nilai/keyakinan yang

rendah, 61,3% memiliki emosi yang tidak slabil, 57,5% memiliki persepsi

yang negatif.

Puskesmas Piladang merupakan salah satu dari dua puskesmas yang di

Kecamatan Akabiluru Kabupaten Lima Puluh Kota. Puskesmas Piladang

terdiri dari dua nagari kelurahan dengan jumlah penduduk sebanyak 10.398

jiwa. Berdasarkan survey awal yang dilakukan di Poliklinik Umum Puskesmas

Piladang pada bulan Oktober tahun 2016, terdapat 202 kunjungan pasien rawat

jalan dengan gangguan jiwa selama tahun 2015, dimana terdapat 5 kunjungan

baru dan 197 kunjungan lama. Berdasarkan wawancara yang dilakukan

kepada 10 orang pasien yang didamping keluarga, 4 orang pasien melakukan

kontrol rutin dengan beberapa alasan diantaranya pasien ingin segera sembuh

dari penyakitnya, keluarga menganjurkan pasien untuk kontrol rutin, dan

adanya dorongan dari petugas kesehatan agar pasien kontrol rutin sementara 6

orang lainnya tidak melakukan kontrol rutin dengan alasan kadang-kadang

tidak ada keluarga yang menemani, dan merasa bosan dengan pengobatan

yang lama. Setiap melakukan kontrol ke puskemas pasien dilakukan

pemeriksaan kesehatan jiwa oleh dokter serta perawat untuk mengetahui

perkembangan kesehatan pasien, memberikan resep obat, dan pasien juga

mendapatkan penyuluhan dari perawat mengenai gejala penyakit pasien yang

harus diwaspadai.

8
Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan berobat pasien gangguan

jiwa di Poliklinik Umum Puskesmas Piladang Kabupaten Lima Puluh Kota

Tahun 2016.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan

penelitian dalam bentuk pertanyaan: faktor-faktor apakah yang berhubungan

dengan kepatuhan berobat pasien gangguan jiwa di Poliklinik Umum

Puskesmas Piladang Kabupaten Lima Puluh Kota tahun 2016?.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum

Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan

berobat pasien gangguan jiwa di Poliklinik Umum Puskesmas Piladang

Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2016.

2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui distribusi frekuensi motivasi dan keyakinan pasien

gangguan jiwa yang berobat di Poli Umum Puskesmas Piladang

Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2016,


b. Mengetahui distribusi frekuensi dukungan keluarga pasien gangguan

jiwa yang berobat di Poli Umum Puskesmas Piladang Kabupaten

Lima Puluh Kota Tahun 2016,


c. Mengetahui distribusi frekuensi dukungan petugas kesehatan

terhadap pasien gangguan jiwa yang berobat di Poli Umum

Puskesmas Piladang Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2016,

9
d. Mengetahui distribusi frekuensi kepatuhan berobat pasiengangguan

jiwa di Poli Umum Puskesmas Piladang Kabupaten Lima Puluh Kota

Tahun 2016,
e. Mengetahui hubungan motivasi dan keyakinan dengan kepatuhan

berobat pada pasien gangguan jiwa di Poli Umum Puskesmas

Piladang Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2016,


f. Mengetahui hubungan dukungan keluarga dengan kepatuhan berobat

pada pasien gangguan jiwa di Poli Umum Puskesmas Piladang

Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2016,


g. Mengetahui hubungan dukungan petugas kesehatan dengan

kepatuhan berobat pada pasien gangguan jiwa di Poli Umum

Puskesmas Piladang Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2016.

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi pasien dan keluarga
Dengan adanya penelitian ini diharapkan, keluarga dan pasien

gangguan jiwa mengetahui dan memahami faktor-faktor apa saja yang

berhubungan dengan kepatuhan berobat pasien gangguan jiwa. Dengan

mengetahui faktor-faktor tersebut diharapkan pasien dalm menjalani

pengobatannya sehingga resiko pasien untuk relaps atau kambuh akan

berkurang.
2. Bagi Pendidikan Keperawatan
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi

institusi pendidikan keperawatan untuk menghasilkan lulusan yang

kompeten dalam memberikan asuhan keperawatan jiwa terutama dalam

meningkatkan keinginan pasien gangguan jiwa untuk patuh berobat.

Penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai bahan pengembangan

intervensi yang efektif bagi pasien, keluarga, masyarakat, dan petugas

10
kesehatan untuk meningkatkan kepatuhan berobat pada pasien gangguan

jiwa.
3. Bagi Institusi Pelayanan Kesehatan dan Perawat Kesehatan Jiwa

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan untuk

meningkatkan kepatuhan berobat pasien gangguan jiwa agar tidak terjadi

kekambuhan. Bagi perawat kesehatan jiwa, penelitian ini diharapkan bisa

digunakan sebagai acuan dalam memberikan terapi dan penyuluhan

sehingga meningkatkan kepatuhan berobat pasien gangguan jiwa.

4. Bagi Peneliti Selanjutnya


Semoga penelitian ini bisa dijadikan bahan acuan untuk melakukan

penelitian lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan

kepatuhan berobat pasien gangguan jiwa.

Bagan Kerangka Teori

Pendidikan
Akomodasi
Modikasi lingkungan dan
sosial
Perubahan model terapi
faktorpredisposisi

kepercayaan

geografi

individu Kepatuhan berobat


pasien gangguan jiwa
faktorreinforcing

dukunganpetugas
kesehatan
Motivasi dan keyakinan
individu
dukungankeluarga

Dukungan keluarga
faktor enabling

Dukungan petugas
ketersediaan kesehatan
fasilitas
kesehatan
Dukungan sosial
11
Kerangka teori faktor faktor yang berhubungan dengan kepatuhan pasien

gangguan jiwa menurut Feuer Stein (dalam Faktul, 2009), Notoatmodjo

(2007) , Neil Niven (2002).

Bagan Kerangka Konsep

Variabel independen Variabel Dependen

Motivasi dan keyakinan


individu

Dukungan keluarga
Kepatuhan berobat
Dukungan profesional pasien gangguan
\ jiwa
kesehatan

Dukungan sosial

Keterangan Bagan :

= variabel yang diteliti

= variabel yang tidak diteliti

12
13

Anda mungkin juga menyukai