Anda di halaman 1dari 25

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA REFERAT

RSJ DR. SOEPARTO HARJOHUSODO OKTOBER 2019


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO

GAMBARAN KECEMASAN MASYARAKAT DI DESA TELAGA BIRU


KECAMATAN SOROPIA SEBELUM PEMBANGUNAN PROYEK JALAN
KENDARI-KONAWE TAHUN 2019

PENYUSUN:

Refi Faradilah, S.Ked


K1A1 13 049

PEMBIMBING:

dr. Junuda RAF, M.Kes, Sp.KJ

RUMAH SAKIT JIWA DR. SOEPARTO HARJOHUSODO

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2019
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesehatan mental atau kesehatan jiwa merupakan aspek penting

dalam mewujudkan kesehatan secara menyeluruh. Kesehatan mental juga

penting diperhatikan selayaknya kesehatan fisik. There is no health

without mental health, sebagaimana definisi sehat yang dikemukakan oleh

World Health Organization (WHO) bahwa “health as a state of complete

physical, mental and social well-being and not merely the absence of

disease or infirmity.” Kesehatan mental merupakan komponen mendasar

dari definisi kesehatan. Kesehatan mental yang baik memungkinkan orang

untuk menyadari potensi mereka, mengatasi tekanan kehidupan yang

normal, bekerja secara produktif, dan berkontribusi pada komunitas

mereka. Oleh karena itu adanya gangguan kesehatan mental tidak bisa kita

remehkan, karena jumlah kasusnya saat ini masih cukup

mengkhawatirkan.1

Gangguan jiwa menurut Depkes RI (2000) adalah suatu perubahan

pada fungsi jiwa yang menyebabkan adanya gangguan pada fungsi jiwa,

yang menimbulkan penderitaan pada individu dan atau hambatan dalam

melaksanakan peran sosial. Terdapat bermacam-macam gangguan jiwa

dengan penderita yang kerap kali dikucilkan, mendapat perlakuan

diskriminasi, di isolasi bahkan hingga di pasung. Padahal perlakuan-

2
perlakuan tersebut tidak akan membantu penderita sama sekali bahkan

dapat menjadi lebih parah. Sedangkan manusia dengan keterbelakangan

mental yang berbeda dengan penyakit mental atau yang sering disebut

dengan gangguan jiwa juga kerap kali mendapatkan perlakuan yang

serupa. Masalah gangguan jiwa yang menyebabkan menurunnya kesehatan

mental ini ternyata terjadi hampir di seluruh negara di dunia. WHO (World

Health Organization) yaitu suatu badan dunia PBB yang menangani

masalah kesehatan dunia, memandang serius masalah kesehatan mental

dengan menjadikan isu global WHO. WHO mengangkat beberapa jenis

gangguan jiwa seperti Schizoprenia, Alzheimer, epilepsi, keterbelakangan

mental dan ketergantungan alkohol sebagai isu yang perlu mendapatkan

perhatian lebih serius lagi. Dari hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesda)

Indonesia 2007 menunjukkan bahwa,2

“Penderita gangguan jiwa berat (psikosis) di Indonesia adalah 0.46

persen atau sejuta orang. Dari total populasi risiko 1.093.150 hanya 3.5%

atau 38.260 yang baru terlayani di rumah sakit jiwa, rumah sakit umum,

atau pusat kesehatan masyarakat dengan fasilitas memadai. Hal ini

menunjukan tidak semua penderita mendapatkan hak-hak mereka sebagai

seorang manusia dan warga negara di Indonesia. Penderita gangguan

kejiwaan atau mental masih dianggap sebagai hal yang memalukan atau

sebuah aib bagi keluarga atau kerabat yang salah satu anggota keluarga

mengalami gangguan kesehatan mental atau kejiwaan. Masyarakat

3
Indonesia beranggapan bahwa gangguan kesehatan mental atau kejiwaan

tidak dapat disembuhkan sehingga bagi penderitanya layak dikucilkan”.2

Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), jumlah penderita gangguan

jiwa di dunia pada 2001 adalah 450 juta jiwa orang menderita gangguan

mental dan perilaku di seluruh dunia. Diperkirakan satu dari empat orang

akan menderita gangguan mental selama masa hidup mereka. Menurut

WHO regional Asia Pasifik (WHO SEARO) jumlah kasus gangguan

depresi terbanyak di India (56.675.969 kasus atau 4,5% dari jumlah

populasi), terendah di Maldives (12.739 kasus atau 3,7% dari populasi).

Adapun di Indonesia sebanyak 9.162.886 kasus atau 3,7% dari populasi.3

Gangguan jiwa berat dapat menyebabkan turunnya produktivitas

pasien dan akhirnya menimbulkan beban biaya besar yang dapat

membebani keluarga, masyarakat, serta pemerintah. Lebih jauh lagi

gangguan jiwa ini dapat berdampak pada penambahan beban negara dan

penurunan produktivitas manusia untuk jangka panjang. Kondisi

neuropsikiatrik menyumbang 13% dari total Disability Adjusted Life Years

(DALYs) yang hilang karena semua penyakit dan cedera di dunia dan

diperkirakan meningkat hingga 15% pada tahun 2020. Kasus depresi saja

menyumbang 4,3% dari beban penyakit dan merupakan salah satu yang

terbesar penyebab kecacatan di seluruh dunia, khususnya bagi perempuan.3

Kondisi mental yang sehat pada tiap individu tidaklah dapat

disamaratakan. Kondisi inilah yang semakin membuat urgensi pembahasan

kesehatan mental yang mengarah pada bagaimana memberdayakan

4
individu, keluarga, maupun komunitas untuk mampu menemukan,

menjaga, dan mengoptimalkan kondisi sehat mentalnya dalam menghadapi

kehidupan sehari-hari. Tantangan lainnya adalah adanya stigma keliru

tentang gangguan jiwa yang menghambat akses ke pelayanan kesehatan

sehingga mengakibatkan penanganan yang salah. Seperti laporan Human

Rights Watch Indonesia yang menyoroti buruknya penanganan di

Indonesia terhadap warga yang mengalami gangguan kesehatan jiwa.

Diketahui bahwa lebih dari 57.000 orang dengan disabilitas psikososial

(kondisi kesehatan mental), setidaknya sekali dalam hidup mereka pernah

dipasung. Oleh karena itu, tulisan ini bertujuan untuk mengetahui situasi

kesehatan mental pada masyarakat di Indonesia dan strategi untuk

penanggulangannya.3

Gangguan jiwa bisa diderita oleh individu dari berbagai kelompok dan

golongan sosial, ekonomi dan budaya tertentu di dalam masyarakat,

bangsa dan negara. Gangguan jiwa disebabkan oleh kelainan badaniah

pada diri seseorang atau somatogenetik, ketegangan yang terjadi di dalam

keluarga yang mempengaruhi anak dan penerapan pola asuh orang tua

yang otoriter dalam pembentukan karakter anak, yang ketiganya saling

berkaitan satu sama lain. Gangguan jiwa berdampak pada individu,

keluarga dan kehidupan di masyarakat. Dampak yang timbul pada individu

yaitu dijauhi oleh teman-temannya dan kehilangan pekerjaan. Gangguan

jiwa juga berdampak pada keluarga seperti kurang berjalannya peran orang

tua dalam menentukan pola asuh pada anaknya sehingga anak suka

5
berperilaku tidak wajar, anak mulai menarik diri dari aktivitas sosial dalam

kehidupan bermasyarakat, pembicaraaan anak menjadi tidak jelas,

sehingga penderita dan keluarganya sering dikucilkan oleh masyarakat.4

Prevalensi gangguan jiwa berat pada penduduk Indonesia 1,7 per mil.

Gangguan jiwa berat terbanyak di DI Yogyakarta, Aceh, Sulawesi Selatan,

Bali, dan Jawa Tengah. Proporsi RT yang pernah memasung ART

gangguan jiwa berat 14,3 persen dan terbanyak pada penduduk yang

tinggal di perdesaan (18,2%), serta pada kelompok penduduk dengan

kuintil indeks kepemilikan terbawah (19,5%). Prevalensi gangguan mental

emosional pada penduduk Indonesia 6,0 persen. Provinsi dengan

prevalensi ganguan mental emosional tertinggi adalah Sulawesi Tengah,

Sulawesi Selatan, Jawa Barat, DI Yogyakarta, dan Nusa Tenggara Timur.5

Pemahaman kesehatan jiwa sebagaimana tercantum dalam Undang-

Undang No.18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa yaitu kondisi seorang

individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial

sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi

tekanan, dapat bekerja secara produktif dan mampu memberikan

kontribusi dalam komunitasnya . kesehatan jiwa merupakan suatu kondisi

mental yang sejahtera (mental wellbeing) yang memungkinkan hidup

harmonis dan produktif, sebagai bagian yang utuh dan kualitas hidup

seseorang dengan memperhatikan semua segi kehidupan manusia. Jadi,

dengan kata lain, kesehatan jiwa bukan sekedar terbebas dari gangguan

jiwa, tetapi merupakan sesuatu yang dibutuhkan oleh semua orang,

6
mempunyai perasaan sehat dan bahagia serta mampu menghadapi

tantangan hidup, dapat menerima orang lain adanya dan mempunyai sikap

positif terhadap diri sendiri dan orang lain.6

Di Indonesia kondisi kesehatan mental masih dikatakan

memprihatinkan dan menjadi salah satu masalah yang sangat serius.

Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2007

prevelensi gangguan mental emosional di Indonesia pada penduduk yang

berumur 15 tahun ke atas sebesar 11,6 %, dan pada tahun 2013

menunjukkan bahwa secara Nasional terdapat 0,17% (400 ribu jiwa)

penduduk Indonesia yang mengalami gangguan mental berat (Kemenkes

RI, 2016). Secara global, orang yang mengalami gangguan jiwa

sepertiganya tinggal di negara berkembang dan sebanyak 8 dari 10

penderita gangguan mental tidak mendapatkan perawatan (Kemenkes,

2014). Menurut hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) yang

dilakukan Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan

pada tahun 1995 menunjukan bahwa gangguan mental pada remaja dan

dewasa dialami oleht 140 per 1.000 anggota rumah tangga dan gangguan

mental pada anak usia sekolah terdapat 104 per 1000 anggota rumah

tangga.6

Menurut Riskesdas tahun 2013, tujuh besar provinsi di indonesia yang

mengalami gangguan jiwa pertama provinsi Aceh sebesar 6,6 %, sumatera

selatan 4,6 %, sumatera utara 4,5 % , sumatera barat 4,5%, Riau 2,7 %,

Bengkulu 2,2%, Jambi 1,6 % sedangkan untuk Provinsi Jawa Timur

7
meskipun secara nasional tidak termasuk 7 besar provinsi dengan

gangguan jiwa terbanyak, prevalensi gangguan jiwa masih terhitung tinggi.

Ansietas (kecemasan) dan depresi sebesar 12,3%, dan sebesar 0,3%

lainnya masuk kategori gangguan jiwa berat. Dan untuk riskesdas tahun

2018 penderita gangguan jiwa untuk skrizofrenia/psikotik 1,7 %, untuk

depresi 4,8 %.7

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas dapat diambil rumusan masalah

yaitu bagaimanakah gambaran kecemasan masyarakat di Desa Telaga Biru

Kecamatan Soropia sebelum pembangunan proyek Jalan Kendari-

Konawe?

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui gambaran kecemasan masyarakat di Desa


Telaga Biru Kecamatan Soropia sebelum pembangunan proyek Jalan
Kendari-Konawe.

8
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Umum Kepustakaan

1. Kesehatan Jiwa

Menurut Undang-undang No. 3 Tahun 1966 yang dimaksud dengan

"Kesehatan Jiwa" adalah keadaan jiwa yang sehat menurut ilmu kedokteran

sebagai unsur kesehatan, yang dalam penjelasannya disebutkan sebagai

berikut: “Kesehatan Jiwa adalah suatu kondisi yang memungkinkan

perkembangan fisik, intelektual dan emosional yang optimal dari seseorang

dan perkembangan itu berjalan selaras dengan keadaan orang lain". Makna

kesehatan jiwa mempunyai sifat-sifat yang harmonis (serasi) dan

memperhatikan semua segi-segi dalam kehidupan manusia dan dalam

hubungannya dengan manusia lain. Jadi dapat disimpulkan bahwa kesehatan

jiwa adalah bagian integral dari kesehatan dan merupakan kondisi yang

memungkinkan perkembangan fisik, mental dan sosial individu secara

optimal, dan yang selaras dengan perkembangan orang lain. Seseorang yang

“sehat jiwa atau mental” mempunyai ciri-ciri sebagai berikut.8

1) Merasa senang terhadap dirinya serta

a) Mampu menghadapi situasi

b) Mampu mengatasi kekecewaan dalam hidup

c) Puas dengan kehidupannya sehari-hari

d) Mempunyai harga diri yang wajar

9
e) Menilai dirinya secara realistis, tidak berlebihan

2) Merasa nyaman berhubungan dengan orang lain serta

a) Mampu mencintai orang lain

b) Mempunyai hubungan pribadi yang tetap

c) Dapat menghargai pendapat orang lain yang berbeda

d) Merasa bagian dari suatu kelompok

e) Tidak "mengakali" orang lain

3) Mampu memenuhi tuntutan hidup serta

a) Menetapkan tujuan hidup yang realistis

b) Mampu mengambil keputusan

c) Mampu menerima tanggungjawab

d) Mampu merancang masa depan

e) Dapat menerima ide dan pengalaman baru

f) Puas dengan pekerjaannya

Sebagai sebuah negara yang semakin berkembang, Indonesia tidak

hanya mengikuti perkembangan trend yang sifatnya positif namun juga

membawa perkembangan yang sifatnya merugikan seperti gangguan jiwa.

Dijelaskan sebelumnya bahwa gangguan mental atau jiwa dapat disebabkan

oleh aspek dari luar individu, seperti halnya kehidupan dalam

bermasyarakat. Ketika seseorang dituntut untuk memenuhi atau melakukan

hal-hal di luar kapasitasnya maka akan menimbulkan stres yang berlebihan,

dan jika tidak ditangani dengan tepat maka kondisinya akan menjadi lebih

buruk dan berakhir pada gangguan kejiwaan.8

10
Diketahui dari Guru Besar ilmu Kesehatan Masyarakat

Universitas Indonesia, Ascobat Gani kerugian ekonomi minimal akibat

masalah kesehatan mental berdasarkan Riskesdas 2007 adalah sebesar Rp

20 triliun. Jumlah pasien Jamkesmas rawat inap terbanyak di rumah sakit

(RS) Kelas A pada 2010 lalu adalah Hebephrenic Schizophrenia (1.924

orang), Paranoid Schizophrenia (1.612 orang), Undifferentiated

Schizophrenia (443 orang), Schizophrenia Unspecified (400 orang) dan

Other Schizophrenia (399 orang). Jumlah itu belum termasuk pasien

rawat jalan. Dari total populasi risiko 1,093,150 hanya 3.5 persen atau

38,260 yang baru terlayani di rumah sakit jiwa, rumah sakit umum, atau

pusat kesehatan masyarakat dengan fasilitas memadai. Gangguan jiwa

sampai saat ini masih menjadi permasalahan yang serius di dunia. WHO

(World Health Organization) (2013) menegaskan jumlah klien gangguan

jiwa di dunia mencapai 450 juta orang dan paling tidak ada 1 dari 4 orang

di dunia mengalami masalah gangguan jiwa.8,9

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) (Balai Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan, 2013) menunjukkan angka prevalensi

gangguan jiwa berat di Indonesia 1.7 permil, artinya ada sekitar 1.7 kasus

gangguan jiwa berat di antara 1000 orang penduduk Indonesia.

Gangguan jiwa berat adalah gangguan jiwa yang ditandai dengan

terganggunya kemampuan menilai realitas dan tilikan diri (insight) yang

buruk. Gejala yang menyertai gangguan ini antara lain berupa halusinasi,

wahan, gangguan proses pikir dan kemampuan berpikir, dan tingkah laku

11
aneh seperti katatonik. Skizofrenia dan gangguan psikotik adalah contoh

dari gangguan jiwa berat yang lazim terjadi di masyarakat. Orang yang

mengalami gejala psikotik disebut dengan Orang Dengan Gangguan Jiwa

(ODGJ). Gangguan jiwa berat ini merupakan bentuk gangguan dalam

fungsi alam pikiran berupa disorganisasi (kekacauan) dalam isi pikiran

yang ditandai antara lain oleh gejala gangguan pemahaman (delusi,

waham), gangguan persepsi, serta dijumpai daya realitas yang terganggu

yang ditandai dengan perilaku aneh.10,11

Prevalensi psikosis tertinggi ternyata di Provinsi Aceh dan DI

Yogyakarta (masing-masing 2,7 permil), Data Dinas Kesehatan

kabupaten Aceh Besar pada tahun 2015 tercatat sebanyak 1.345 penderita

gangguan jiwa dan di kecamatan Blang Bintang akhir Mei 2016 terdapat

72 kasus yang memiliki permasalahan komplek diantaranya masih sangat

kurang partisipasi dan dukungan keluarga. Prevalensi gangguan jiwa

berat tertinggi terdapat di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Aceh,

dengan angka 2.7 kasus per 1000 penduduk. Angka ini bahkan lebih

tinggi 1 permil daripada prevalensi kasus gangguan jiwa berat nasional.

Ada banyak faktor yang menyebabkan tingginya kasus gangguan jiwa

berat di kedua provinsi tersebut. Untuk Aceh, kasus gangguan jiwa

mayoritas disebabkan oleh trauma pasca bencana dan trauma pasca

konflik bersenjata. Sementara untuk DIY mayoritas gangguan jiwa berat

disebabkan oleh faktor kesulitan ekonomi (Balai Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan, 2013).10,12

12
Pada kategori gangguan mental emosional penduduk berusia di atas

15 tahun, DIY berada pada peringkat ketiga setelah Sulawesi Tengah

(11.6%) dan Sulawesi Selatan serta Jawa Barat (9.3%), dengan prevalensi

kasus 8.1%. Gangguan mental emosional adalah kondisi yang

mengindikasikan perubahan psikologis pada seseorang. Gangguan mental

emosional dapat dialami oleh semua orang pada kondisi distres psikologis,

namun tetap dapat pulih seperti semula. Individu yang mengalami masalah

mental emosional disebut Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK).

Apabila tidak mendapatkan intervensi dari profesional kesehatan mental,

orang dengan gangguan mental emosional dapat mengalami gangguan yang

lebih serius.10

Menurut World Health Organization (2017) pada umumnya

gangguan mental yang terjadi adalah gangguan kecemasan dan gangguan

depresi. Diperkirakan 4,4% dari populasi global menderita gangguan

depresi, dan 3,6% dari gangguan kecemasan. Jumlah penderita depresi

meningkat lebih dari 18% antara tahun 2005 dan 2015. Depresi merupakan

penyebab terbesar kecacatan di seluruh dunia. Lebih dari 80% penyakit ini

dialami orang-orang yang tinggal di negara yang berpenghasilan rendah dan

menengah. Gangguan jiwa dapat terjadi pada siapa saja dan kapan saja.

Hasil analisis dari WHO sekitar 450 juta orang menderita gangguan jiwa

termasuk skizofrenia. Skizofrenia menjadi gangguan jiwa paling dominan

dibanding gangguan jiwa lainnya. Penderita gangguan jiwa sepertiga tinggal

di negara berkembang, 8 dari 10 orang yang menderita skizofrenia tidak

13
mendapatkan penanganan medis. Gejala skizofrenia muncul pada usia 15-25

tahun lebih banyak ditemukan pada laki-laki dibandingkan pada perempuan.

Skizofrenia adalah salah satu jenis psikotik yang menunjukan gelaja

halusinasi dan waham. Pasien dengan skizofrenia mempunyai gejala salah

satunya adalah halusinasi akibat cemas berkepanjangan yang tidak mampu

dihadapi pasien menggunakan mekanisme koping dalam diri pasien.

Pendapat lain menyebutkan bahwa halusinasi yang terjadi pada pasien

skizofrenia halusinasi gangguan alam perasaan yang tidak menentu, isi

kebesaran atau kejaran, sering bertengkar atau berdebat, dan perilaku cemas

yang tidak menentu dan kemarahan. Penyebab gangguan jiwa salah satunya

adalah adanya tekanan yang berat dalam peristiwa hidup. Stres berasal dari

lingkungan atau biologi ataupun bisa keduanya.13

14
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode dan Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian dengan menggunakan metode

deskriptif analitik yang berfungsi untuk mendeskripsikan data atau sampel

yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa melakukan analisis dan

membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum.

B. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2019 di Kecamatan

Soropia, Kabupaten Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara.

C. Prosedur Pengumpulan Data

Sumber data yang dipakai dalam penelitian ini adalah data primer.

Data primer diperoleh dari pengisian kuesioner yang menggunakan Hamilton

Rating Scale For Anxiety (HARS) untuk menilai kecemasan masyarakat di

Desa Telaga Biru Kecamatan Soropia. Sampel penelitian berjumlah 50 orang

yang terdiri dari 25 orang laki-laki dan 25 orang perempuan.

15
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kondisi Geografis dan Demografi

1) Kecamatan Soropia14

Secara astronomis, Kecamatan Soropia terletak di 3o54’577” Lintang

Selatan, serta 122o39’608” Bujur Timur. Berdasarkan posisi geografisnya,

Kecamatan Soropia memiliki batas-batas yaitu: di sebelah Utara berbatasan

dengan Laut Banda, sebelah Selatan berbatasan dengan Kota Kendari,

sebelah Timur berbatasan dengan Konawe Kepulauan, serta di sebelah Barat

berbatasan dengan Kecamatan Lalonggasumeeto.

Gambar 1. Peta Administrasi Kecamatan Soropia

Luas wilayah Kecamatan Soropia 62,73 Km2 atau 0,92 persen dari

luas daratan Kabupaten Konawe. Desa dengan wilayah terluas adalah Desa

16
Atowatu dengan luas 16 Km2 atau 26% dari luas Kecamatan Soropia.

Sedangkan desa dengan luas wilayah terkecil adalah Desa Leppe dengan

luas 0,51 km2.

Tabel 1. Luas Daerah dan Pembagian Daerah Administrasi Menurut


Desa/Kelurahan Tahun 2017
Jumlah
Desa/Kelurahan Luas Total
Dusun Lingkungan
(km2)
1 Waworaha 2,74 3 - 3
2 Soropia 5,49 3 - 3
3 Sawapudo 2,74 3 - 3
4 Atowatu 16,00 3 - 3
5 Toronipa 10,00 - 4 4
6 Bokori 4,11 3 - 3
7 Mekar 2,61 3 - 3
8 Bajo Indah 0,86 3 - 3
9 Tapulaga 5,49 3 - 3
10 Sorue Jaya 2,74 3 - 3
11 Saponda 4,00 3 - 3
12 Telaga Biru 1,44 3 - 3
13 Bajoe 1,50 3 - 3
14 Leppe 0,51 3 - 3
15 Saponda Laut 2,5 3 - -
Jumlah 62.73 42 4 43
Sumber: Kantor Kecamatan Soropia

Wilayah administrasi Kecamatan Soropia tahun 2017 terdiri atas 14

desa defenitif dan 1 Kelurahan, dengan ibu kotanya adalah Kelurahan

Toronipa. Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kecamatan Soropia sebanyak 21

orang terdiri dari 17 orang laki-laki dan 4 orang perempuan. Di Kecamatan

Soropia terdapat 21 orang PNS, jika dilihat berdasarkan golongan

kepangkatan terdapat 12 orang PNS yang bergolongan II, 8 orang PNS yang

bergolongan III , dan 1 orang bergolongan IV. Sedangkan berdasarkan

17
tingkat pendidikan, terdapat 13 orang PNS yang lulusan SMTA, 7 orang

PNS lulusan S1/D4, dan 1 PNS yang lulusan S2/S3.

Sumber utama data kependudukan adalah Sensus Penduduk yang

dilaksanakan setiap sepuluh tahun sekali. Sensus Penduduk telah

dilaksanakan sebanyak enam kali sejak Indonesia merdeka yaitu tahun

1961, 1971, 1980, 1990, 2000 dan 2010. Selain Sensus Penduduk, untuk

menjembatani ketersediaan data kependudukan diantara dua periode sensus,

BPS melakukan Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS). SUPAS telah

dilakukan sebanyak empat kali, tahun 1976, 1985, 1995 dan terakhir 2005.

Data kependudukan selain Sensus dan SUPAS adalah proyeksi penduduk.

Di dalam sensus penduduk, pencacahan dilakukan terhadap seluruh

penduduk yang berdomisili di wilayah teritorial Republik Indonesia (RI)

termasuk Warga Negara Asing kecuali anggota Korps Diplomatik beserta

keluarganya. Berbeda dengan pelaksanaan sensus penduduk sebelumnya,

Sensus Penduduk 2010 melaksanakan metode pencacahan lengkap termasuk

pula anggota rumah tangga Korp Diplomatik RI yang tinggal di luar negeri.

Sensus Penduduk 2010 dilakukan serentak di seluruh tanah air mulai

tanggal 1-31 Mei 2010. Metode pengumpulan data dilakukan dengan

wawancara antara petugas sensus dengan responden. Cara pencacahan yang

dipakai dalam sensus penduduk adalah kombinasi antara de jure dan de

facto. Bagi penduduk yang bertempat tinggal tetap dipakai cara de jure,

dicacah di mana mereka biasa tinggal, sedangkan untuk penduduk yang

tidak bertempat tinggal tetap dicacah dengan cara de facto, yaitu dicacah di

18
tempat di mana mereka ditemukan petugas sensus biasanya pada malam

‘Hari Sensus’. Termasuk penduduk yang tidak bertempat tinggal tetap

adalah tuna wisma, awak kapal berbendera Indonesia, penghuni

perahu/rumah apung, masyarakat terpencil/ terasing dan pengungsi. Bagi

mereka yang mempunyai tempat tinggal tetap, tetapi sedang bertugas ke luar

wilayah lebih dari enam bulan, tidak dicacah di tempat tinggalnya.

Sebaliknya, seseorang atau keluarga menempati suatu bangunan belum

mencapai enam bulan tetapi bermaksud menetap di sana dicacah di tempat

tersebut.

Tabel 2. Banyaknya Penduduk Kecamatan Soropia Menurut


Desa/Kelurahan Tahun 2017
Desa/Kelurahan Luas Wilayah (km2) Jumlah Penduduk
1 Waworaha 2,74 461
2 Soropia 5,49 530
3 Sawapudo 2,74 606
4 Atowatu 16,00 497
5 Toronipa 10,00 781
6 Bokori 4,11 616
7 Mekar 2,61 827
8 Bajo Indah 0,86 680
9 Tapulaga 5,49 348
10 Sorue Jaya 2,74 767
11 Saponda 4,00 742
12 Telaga Biru 1,44 331
13 Bajoe 1,50 457
14 Leppe 0,51 437
15 Saponda Laut 2,5 812
Jumlah 62.73 8.892
Sumber : Hasil Proyeksi Sensus Penduduk 2010

19
Tabel 3. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Rasio Jenis Kelamin
Tiap Desa/Kelurahan Tahun 2017
Jumlah Penduduk
Rasio
Desa/Kelurahan
Laki-laki Perempuan Total (%)
1 Waworaha 221 240 461 92,08
2 Soropia 284 246 530 115,45
3 Sawapudo 305 301 606 101,33
4 Atowatu 246 251 497 98,01
5 Toronipa 389 392 781 99,23
6 Bokori 293 323 616 90,71
7 Mekar 414 413 827 100,24
8 Bajo Indah 349 331 680 105,44
9 Tapulaga 175 173 348 101,16
10 Sorue Jaya 390 377 767 103,45
11 Saponda 383 359 742 106,69
12 Telaga Biru 175 156 331 112,18
13 Bajoe 235 222 457 105,86
14 Leppe 220 217 437 101,38
15 Saponda Laut 413 399 812 103,51
Jumlah 4.492 4.400 8.892 102,09
Sumber : Hasil Proyeksi Sensus Penduduk 2010
Tabel 4. Penduduk Kecamatan Soropia Menurut Kelompok Umur dan Jenis
Kelamin Tahun 2017
Golongan Umur Laki-laki Perempuan Total
0–4 518 505 1 023
5–9 507 493 1 000
10 – 14 455 449 904
15 – 19 416 393 809
20 – 24 373 353 726
25 – 29 367 357 724
30 – 34 353 357 710
35 – 39 306 313 619
40 – 44 284 290 574
45 – 49 257 250 507
50 – 54 209 203 412
55 – 59 165 155 320
60 – 64 113 107 220
65– 69 76 73 149
70 – 74 48 51 99
75+ 45 51 96
Jumlah 4.492 4.400 8.892
Sumber : Hasil Proyeksi Sensus Penduduk 2010

20
B. Pembahasan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kecemasan

masyarakat di Desa Telaga Biru Kecamatan Soropia sebelum pembangunan

proyek Jalan Kendari-Konawe. Desa Telaga Biru memiliki total penduduk

331 jiwa, yaitu laki-laki sebanyak 175 orang dan perempuan 156 orang.

Sampel penelitian ini diambil sebanyak 50 orang, yaitu 25 orang perempuan

dan 25 orang laki-laki.

Kecemasan
Karakteristik Tidak Cemas Cemas Cemas Cemas berat Total
Responden cemas ringan sedang berat sekali
n (%) n (%) n (%) n (%) n (%) n (%)
Umur (tahun)
20-30 0 1(2) 1(2) 0 8(16) 10(20)
31-40 4(8) 3(6) 4(8) 2(4) 4(8) 17(34)
41-50 5(10) 3(6) 5(10) 3(6) 3(6) 19(38)
51-60 0 1(2) 1(2) 2(4) 0 4(8)
Jenis Kelamin
Laki-laki 6(12) 3(6) 7(14) 4(8) 5(10) 25(50)
Perempuan 3(6) 5(10) 4(8) 3(6) 10(20) 25(50)
Pekerjaan
Nelayan 5(10) 2(4) 5(10) 2(4) 7(14) 21(42)
Pedagang 4(8) 5(10) 3(6) 2(4) 4(8) 18(16)
Petani 0 1(2) 3(6) 3(6) 4(8) 11(22)
Status pernikahan
Belum 0 0 2(4) 0 4(8) 6(12)
menikah
Sudah 9(18) 8(16) 9(18) 7(14) 11(22) 44(88)
menikah

Pada penelitian ini dari segi usia untuk kategori 20-30 tahun ada 10

responden (20%), 31-40 tahun ada 17 responden (34%), 41-50 tahun ada 19

responden (38%), dan 51-60 tahun ada 4 responden (8%). Untuk kategori

jenis kelamin laki-laki ada 25 responden (50%) dan perempuan ada 25

21
responden (50%). Untuk kategori pekerjaan nelayan ada 21 responden

(42%), pedagang ada 18 responden (36%), dan petani ada 11 responden

(22%). Untuk kategori status pernikahan yang belum menikah 6 responden

(12%), dan sudah menikah ada 44 responden (88%).

Berdasarkan hasil wawancara menggunakan Hamilton Rating Scale

For Anxiety (HARS), penduduk Desa Telaga Biru yang tidak mengalami

kecemasan 9 orang (18%), kecemasan ringan 8 orang (30%), kecemasan

sedang 11 orang (22%), kecemasan berat 7 orang (14%) dan kecemasan

berat sekali 15 orang (30%). Kecemasan yang dialami disebabkan oleh

lahan tambak ikan penduduk akan tertimbun oleh perluasan jalan Kendari-

Konawe. Ganti rugi lahan yang dijanjikan pemerintah belum terrealisasi.

Sebagian besar penduduk akan mengalami penggusuran rumah, lahan

pertanian, dan usaha dagang. Penduduk tersebut kuatir tentang nasib yang

akan mereka alami jika rumah digusur sebab mereka tidak memiliki lahan

cadangan untuk mendirikan rumah lagi. Sebagian besar penduduk Desa

Telaga Biru bekerja sebagai nelayan, pedagang dan petani. Penduduk yang

tidak cemas merupakan penduduk yang memiliki hunian cukup jauh dari

proyek perluasan jalan. Sehubungan dengan kesehatan jiwa di Kecamatan

Soropia, belum ada program esensial tentang kesehatan jiwa di puskesmas

soropia. Sementara, kesehatan jiwa masuk di pencegahan pemberantasan

penyakit yaitu untuk penyakit tidak menular.

22
BAB IV

SIMPULAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil hasil wawancara menggunakan Hamilton Rating

Scale For Anxiety (HARS), penduduk Desa Telaga Biru yang tidak

mengalami kecemasan 9 orang (18%), kecemasan ringan 8 orang (30%),

kecemasan sedang 11 orang (22%), kecemasan berat 7 orang (14%) dan

kecemasan berat sekali 15 orang (30%). Kecemasan yang dialami

disebabkan oleh lahan tambak ikan penduduk akan tertimbun oleh

perluasan jalan Kendari-Konawe. Ganti rugi lahan yang dijanjikan

pemerintah belum terrealisasi. Sebagian besar penduduk akan mengalami

penggusuran rumah, lahan pertanian, dan usaha dagang.

B. Saran

Perlu dilakukan evaluasi data kesehatan jiwa pada penduduk Desa

Telaga Biru mengingat pentingnya upaya Kesehatan Jiwa dalam

mewujudkan derajat kesehatan jiwa yang optimal bagi setiap individu,

keluarga dan masyarakat dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif,

dan rehabilitatif yang diselenggarakan secara menyeluruh, terpadu dan

berkesinambungan oleh Pemerintah Desa, Pemerintah Daerah, dan/atau

masyarakat.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2014 Tentang

Kesehatan Jiwa. Lembaran Negara Republik Indonesia No 185. Jakarta.

2. Lubis, N., Krisnani, H., Fedryansyah, M. 2014. Pemahaman Masyarakat

Mengenai Gangguan Jiwa Dan Keterbelakangan Mental. Jurnal.unpad.ac.id.

3. Ayuningtyas, D., dkk. 2018. Analisis Situasi Kesehatan Mental Pada

Masyarakat di Indonesia dan strategi penanggulangannya. Fakultas Kesehatan

Msyarakat Universitas Indonesia.

4. Profil Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2017. 2018. Dinas

Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara. Kendari.

5. Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.

2013. Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013. Jakarta.

6. Saputra, A.F. 2018. Kesehatan Mental dan Koping Strategi di Kudangan,

Kecamatan Delang, Kabupaten Lamandau Kalimantan Tengah: Suatu Studi

Sosiodemografi. Fakultas Kedokteran dan ilmu kesehatan : Universitas

Kristen Satya Wacana.

7. Rio, Y. 2018. Analisis faktor yang berhubungan dengan kejadian gangguan

jiwa di desa paringan kecamatan jenangan kabupaten ponorogo. Fakultas

keperawatan : Universitas Airlangga.

8. Putri, A.W., Wibhawa, B., Gutama, A.S. 2015. Kesehatan Mental

Masyarakat Indonesia (Pengetahuan, dan Keterbukaan Masyarakat Terhadap

Gangguan Kesehatan Mental). Prosiding Ks: Riset & PKM. 2(2):147-300.

24
9. Purnama, G., Yani, D.I., Sutini, T. 2016. Gambaran Stigma Masyarakat

Terhadap Klien Gangguan Jiwa Di RW 09 Desa Cileles Sumedang. Jurnal

Pendidikan Keperawatan Indonesia 2(1): 29-37.

10. Kurniawan, Y., Sulistyarini, I. 2016. Komunitas SEHATI (Sehat Jiwa dan

Hati) Sebagai Intervensi Kesehatan Mental Berbasis Masyarakat. INSAN

Jurnal Psikologi dan Kesehatan Mental, Vol. 1(2), 112-124.

11. Nihayanti, H.E., Mukhalladah, D.A, Krisnana, I. 2016. Pengalaman Keluarga

Merawat Klien Gangguan Jiwa Pasca Pasung. Jurnal Ners 11(2): 283-287.

12. Nirwan, Tahlil, T., Usman, S. 2016. Dukungan Keluarga Dalam Perawatan

Pasien Gangguan Jiwa Dengan Pendekatan Health Promotion Model. Jurnal

Ilmu Keperawatan 4(2): 64-74.

13. Hartanti, F.P. 2018. Stresor Predisposisi Yang Mendukung Terjadinya

Gangguan Jiwa Pada Pasien Skizofrenia Di Rumah Sakit Jiwa Daerah

Surakarta. Program Studi S1 Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan

Universitas Muhammadiyah Surakarta

14. Badan Pusat Statistik Kabupaten Konawe. 2018. Kecamatan Soropian dalam

Angka 2018. UD Syahid. Kendari.

25

Anda mungkin juga menyukai