Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH SP MENTAL HEALTH NURSING

Pasien Dengan Gangguan Jiwa Yang Di Pasung

Disusun Oleh:

Risdiana Anjiani 125070218113031


Andrik Hermanto 135070207131002
Ely Fitriyatus S 135070200131009
Siska Puji Lestari 135070201111019
Shannastaniar Aisya A 135070207113009

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2016
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Gangguan jiwa masih menjadi masalah serius kesehatan mental di


Indonesia yang perlu mendapat perhatian lebih dari pemangku kebijakan
kesehatan nasional. Meskipun masih belum menjadi program prioritas utama
kebijakan kesehatan nasional, namun dari angka yang didapatkan dari beberapa
riset nasional menunjukkan bahwa penderita gangguan jiwa di Indonesia masih
banyak dan cenderung mengalami peningkatan. Berdasarkan hasil Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 terdapat 0,46 persen dari total populasi
Indonesia atau setara dengan 1. 093. 150 jiwa penduduk Indonesia berisiko tinggi
mengalami skizofrenia (Susanto, 2013).

Hasil Survei Kesehatan Mental Rumah Tangga (SKMRT) tahun 1995


menunjukkan bahwa gejala gangguan kesehatan jiwa pada penduduk rumah
tangga dewasa di Indonesia yaitu 185 kasus per 1. 000 penduduk. Hasil SKMRT
juga menyebutkan, gangguan mental emosional pada usia 15 tahun ke atas
mencapai 140 kasus per 1. 000 penduduk, sementara pada rentang usia 5–14 tahun
ditemukan 104 kasus per 1. 000 penduduk (Antara, 2008).

Berdasarkan Riskesdas tahun 2007 dan 2013 dinyatakan bahwa prevalensi


gangguan jiwa berat di Indonesia masing-masing sebesar 4,6 per mil dan 1,7 per
mil. Pada tahun 2007 Prevalensi tertinggi terdapat di Provinsi DKI Jakarta
(20,3‰) dan terendah terdapat di Provinsi Maluku (0,9‰). Sedangkan pada tahun
2013 prevalensi tertinggi di Provinsi DI Aceh, dan terendah di Provinsi
Kalimantan Barat.

Masih banyak penderita gangguan jiwa berat yang tidak mendapat


penanganan secara medis atau yang drop out dari penanganan medis dikarenakan
oleh faktor-faktor seperti kekurangan biaya, rendahnya pengetahuan keluarga dan
masyarakat sekitar terkait dengan gejala gangguan jiwa, dan sebagainya. Sehingga
masih banyak penderita gangguan jiwa yang dipasung oleh anggota keluarganya,
agar tidak mencederai dirinya dan/atau menyakiti orang lain di sekitarnya.

Pemasungan terhadap penderita gangguan jiwa masih banyak terjadi, di


mana sekitar 20. 000 hingga 30. 000 penderita gangguan jiwa di seluruh Indonesia
mendapat perlakuan tidak manusiawi dengan cara dipasung (Purwoko, 2010).
Pada tahun 2011 Menteri Kesehatan RI sudah mencanangkan program Indonesia
Bebas Pasung pada tahun 2014. Namun sampai dengan sekarang (tahun 2014)
belum terlihat penanganan yang signifikan dan komprehensif dalam penanganan
dini penderita gangguan jiwa. Program Indonesia Bebas Pasung 2014 saat ini
direvisi menjadi Program Indonesia Bebas Pasung 2019, sehingga Indonesia
dalam menentukan ketercapaian target masih ada 5 tahun lagi atau bahkan lebih
cepat karena proses ini masih berlangsung berkesinambungan dengan adanya
komitmen dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi dan
kota/kabupaten (Yud, 2014).

Berdasarkan latar belakang di atas, kelompok kami ingin membahas


mengenai Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yang dipasung.

1.2. Tujuan

- Untuk mengidentifikasi pengertian ODGJ

- Untuk mengidentifikasi pengertian pemasungan pada ODGJ

- Untuk mengidentifikasi kasus pasung di Indonesia

- Untuk mengidentifikasi etiologi dan alasan tindakan pemasungan

- Untuk mengidentifikasi dampak tindakan pasung

- Untuk mengidentifikasi pencegahan pasung

- Untuk mengidentifikasi terapi pada pasien yang dipasung


BAB II

ISI

2. Pengertian ODGJ
Gangguan jiwa atau mental illness adalah kesulitan yang harus dihadapi
oleh seseorang karena hubungannya dengan orang lain, kesulitan karena
persepsinya tentang kehidupan dan sikapnya terhadap dirinya sendiri-sendiri
(Djamaludin, 2001). Gangguan jiwa adalah gangguan dalam cara berpikir
(cognitive), kemauan (volition),emosi (affective), tindakan (psychomotor)
(Yosep, 2007).
Gangguan jiwa menurut Depkes RI (2000) adalah suatu perubahan pada
fungsi jiwa yang menyebabkan adanya gangguan pada fungsi jiwa, yang
menimbulkan penderitaan pada individu dan atau hambatan dalam
melaksanakan peran social.
Konsep gangguan jiwa dari PPDGJ II yang merujuk ke DSM-III adalah
sindrom atau pola perilaku, atau psikologi seseorang, yang secara klinik cukup
bermakna, dan yang secara khas berkaitan dengan suatu gejala penderitaan
(distress) atau hendaya (impairment/disability) di dalam satu atau lebih fungsi
yang penting dari manusia (Maslim, 2002).
Gangguan jiwa dapat mengenai setiap orang, tanpa mengenal umur, ras,
agama, maupun status sosial-ekonomi.Gangguan jiwa bukan disebabkan oleh
kelemahan pribadi.Di masyarakat banyak beredar kepercayaan atau mitos
yang salah mengenai gangguan jiwa, ada yang percaya bahwa gangguan
jiwadisebabkan oleh gangguan roh jahat, ada yang menuduh bahwa itu akibat
guna-guna, karena kutukan atau hukuman atas dosanya. Kepercayaan yang
salah ini hanya akan merugikan penderita dan keluarganya karena pengidap
gangguan jiwa tidak mendapat pengobatan secara cepat dan tepat
(Notosoedirjo, 2005).

2.1. Pengertian Pemasungan pada ODGJ


Pemasungan penderita gangguan jiwa adalah tindakan masyarakat
terhadap penderita gangguan jiwa (biasanya yang berat) dengan cara
dikurung, dirantai kakinya dimasukan kedalam balok kayu dan lain-lain
sehingga kebebasannya menjadi hilang. Pasung merupakan salah satu
perlakuan yang merampas kebebasan dan kesempatan mereka untuk
mendapat perawatan yang memadai dan sekaligus juga mengabaikan
martabat mereka sebagai manusia. Di indonesis, kata pasung mengacu
kepada pengekangan fisik atau pengurungan terhadap pelaku kejahatan,
orang-orang dengan gangguan jiwa dan yang melakukan tindak keketasan
yang dianggap berbahaya pengekangan fisik terhadap individu dangan
gangguan jiwa mempunyai riwayat yang panjang dan memiluka (Brocdh,
2001, dalam Minas & Diatri, 2008).

2.2. Kasus Pasung di Indonesia


Andreas Harsono dari Human Rights Watch mengatakan
pemerintah Indonesia sudah dua kali melakukan gerakan melarang
pemasungan. Pertama pada 1977, lalu yang kedua pada 2014 dengan
meluncurkan gerakan“Indonesia Bebas Pasung”.
Fokus gerakan ini adalah meningkatkan kepedulian tentang
kesehatan jiwa dan praktik pasung, mengintegrasikan kesehatan jiwa ke
dalam layanan kesehatan umum, menyediakan pengobatan kesehatan jiwa
di tingkat Puskesmas, melatih petugas kesehatan untuk mengidentifikasi
dan mendiagnosis kondisi dasar kesehatan jiwa, dan membentuk tim
terpadu bernama Tim Penggerak Kesehatan Jiwa Masyarakat.
Tugas tim tersebut menangani mekanisme koordinasi antara
departemen kesehatan dan departemen lain di tingkat provinsi hingga
kabupaten untuk memantau dan memfasilitasi diakhirinya praktik pasung.
Pada 2014, 1.274 kasus pasung dilaporkan di 21 provinsi dan 93%
dikabarkan telah bebas dari praktik itu. Namun, tak ada data berapa
banyak dari mereka yang berhasil direhabilitasi dan berapa lagi yang
kembali dipasung ketika pulang ke keluarga masing-masing.
“Seharusnya orang yang mengalami schizophrenia atau bipolar
dirawat dengan obat, tergantung dosisnya, sehingga mereka bekerja seperti
biasa. Namun di Indonesia, perawatan ini minim sekali. Dari 34 provinsi
di Indonesia, delapan provinsi tidak punya rumah sakit jiwa. Dan dari
delapan provinsi itu, tiga provinsi tidak punya satu pun psikiater,” kata
Andreas kepada wartawan BBC Indonesia, Jerome Wirawan.
Indonesia memang memiliki 48 rumah sakit jiwa. Namun, lebih
dari separuhnya berlokasi di empat provinsi.
Lalu, hanya 30% dari 9.000 puskemas di seluruh Indonesia yang
memiliki program layanan kesehatan jiwa. Selain itu, hanya ada 249 dari
total 445 rumah sakit umum di Indonesia yang bisa melayani segala
macam perawatan kesehatan jiwa.
Tenaga kesehatan jiwa pun minim. Hanya ada 600 hingga 800
psikiater di seluruh Indonesia. Artinya, seorang psikiater terlatih
menangani 300.000 sampai 400.000 orang. Itu pun sebaran geografisnya
timpang. Sebanyak 70% dari seluruh psikiater berada di Jawa dan 40%
dari jumlah itu bekerja di Jakarta.
“Jadi sebagian besar orang dengan masalah kesehatan jiwa
ditangani keluarga. Pihak keluarga kecapekan sehingga mereka dipasung,
ada yang dirantai, ada yang kakinya ditaruh di balok kayu, ada yang
dikerangkeng baik di rumah maupun di panti-panti rehabilitasi sosial,”
kata Andreas.

2.3. Etiologi dan Alasan Tindakan Pemasungan


1. Ketidaktahuan pihak keluarga, rasa malu pihak keluarga, penyakit yang
tidak kunjung sembuh, tidak adanya biaya pengobatan, dan tindakan
keluaga untuk mengamankan lingkungan merupakan penyebab keluarga
melakukan pemasungan (Depkes, 2005).
2. Perawatan kasus psikiatri dikatakan mahal karena gangguannya
bersifat jangka panjang (Videbeck, 2008). Biaya berobat yang harus
ditanggung pasien tidak hanya meliputi biaya yang langsung berkaitan
dengan pelayanan medik seperti harga obat, jasa konsultasi tetapi juga
biaya spesifik lainnya seperti biaya transportasi ke rumah sakit dan biaya
akomodasi lainnya (Djatmiko, 2007).

Alasan keluarga melakukan pemasungan diantaranya:

1. Mencegah klien melakukan tindak kekerasan yang dianggap


membahayakan terhadap dirinya atau orang lain
2. Mencegah klien meninggalkan rumah dan mengganggu orang lain
3. Mencegah klien menyakiti diri seperti bunuh diri
4. Ketidaktahuan serta ketidakmampuan keluarga menangani klien apabila
sedang kambuh.
5. Faktor kemiskinan dan rendahnya pendidikan keluarga merupakan salah
satu penyebab pasien gangguan jiwa berat hidup terpasung

2.4. Dampak Tindakan Pemasungan


Salah satu bentuk pelanggaran hak asasi tersebut adalah masih
adanya praktek pasung yang dilakukan keluarga jika ada salah satu
anggota keluarga yang mengidap gangguan jiwa. Pasung merupakan suatu
tindakan memasang sebuah balok kayu pada tangan atau kaki seseorang,
diikat atau dirantai lalu diasingkan pada suatu tempat tersendiri di dalam
rumah ataupun di hutan.
 Secara tidak sadar keluarga telah memasung fisik dan hak asasi penderita
hingga menambah beban mental dan penderitaannya.
 Tindakan tersebut mengakibatkan orang yang terpasung tidak dapat
menggerakkan anggota badannya dengan bebas sehingga terjadi
atrofi.Tindakan ini sering dilakukan pada seseorang dengan gangguan jiwa
bilaorang tersebut dianggap berbahaya bagi lingkungannya atau dirinya
sendiri (Maramis, 2006).

2.5. Pencegahan Pemasungan


 Komunikasi, Informasi, Edukasi (KIE).
 Kurasi (penyembuhan) dan rehabilitasi yang lebih baik.
 Memanfaatkan sumber dana dari JPS-BK.
 Penciptaan Therpeutic Community (lingkungan yang mendukung
proses penyembuhan).
 Salah satu kasus yang ditemukan melalui pendekatan CMHN
adalah tindakan pemasungan yang masih kerap dilakukan oleh
keluarga klien dengan gangguan jiwa. Untuk memberantas praktek
tersebut, diperlukan peningkatan kesadaran dan pengetahuan dari
keluarga dan masyarakat mengenai gangguan jiwa tentang cara
penanganan yang manusiawi terhadap klien.

2.6. Terapi
1. Dirawat sampai sembuh di Rumah Sakit Jiwa, kemudian dilanjutkan
dengan rawat jalan.
2. Untuk menghilangkan praktek pasung yang masih banyak terjadi
dimasyarakat perlu adanya kesadaran dari keluarga yang dapat
diintervensi dengan melakukan terapi keluarga. Salah satu terapi
keluarga yang dapat dilakukan adalah psikoedukasi keluarga ( Family
psichoeducation Therapy). Terapi keluarga ini dapat memberikan
support kepada anggota keluarga. Keluarga dapat mengekspresikan
beban yang dirasakan seperti masalah keuangan, sosial dan psikologis
dalam memberikan perawatan yang lama untuk anggota keluarganya.

 Family Psychoeducation Terapy


Family Psychoeducation Terapy adalah salah satu bentuk terapi
perawatan kesehatan jiwa keluarga dengan cara pemberian
informasi dan edukasi melalui komunikasi yang terapeutik.
Program psikoedukasi merupakan pendekatan yang bersifat
edukasi dan pragmatis. Psikoedukasi merupakan suatu alatterapi
keluarga yang makin populer sebagai suatu strategi untuk
menurunkan faktor – faktor resiko yang berhubungan dengan
perkembangan gejala – gejala perilaku.
 Tujuan umum dari Family psychoeducation
Menurunkan intensitas emosi dalam keluarga sampai pada
tingkatan yang rendah sehingga dapat meningkatkan pencapaian
pengetahuan keluarga tentang penyakit dan mengajarkan keluarga
tentang upaya membantu mereka melindungi keluarganya dengan
mengetahui gejala-gejala perilaku serta mendukung kekuatan
keluarga.
 Manfaat Family Psychoeducation
Meningkatkan pengetahuan keluarga tentang penyakit,
mengajarkan tehnik yang dapat membantu keluarga untuk
mengetahui gejala – gejala penyimpangan perilaku, serta
peningkatan dukungan bagi anggota keluarga itu sendiri. Indikasi
dari terapi psikoedukasi keluarga adalah anggota keluarga dengan
aspek psikososial dan gangguan jiwa.

Menurut Carson (2000), situasi yang tepat dari penerapan psikoedukasi


keluarga adalah:

1. Informasi dan latihan tentang area khusus kehidupan keluarga, seperti


latihan keterampilan komunikasi atau latihan menjadi orang tua yang
efektif.
2. Informasi dan dukungan terhadap kelompok keluarga khusus stress dan
krisis, seperti pada kelompok pendukung keluarga dengan penyakit
Alzheimer.
3. Pencegahan dan peningkatan seperti konseling pranikah untuk keluarga
sebelum terjadinya krisis
Terapi ini juga dapat diberikan kepada keluarga yang membutuhkan
pembelajaran tentang mental, keluarga yang mempunyai anggota yang
sakit mental/ mengalami masalah kesehatan dan keluarga yang ingin
mempertahankan kesehatan mentalnya dengan training/ latihan
ketrampilan.
 Family psychoeduction
Dapat dilakukan di rumah sakit baik rumah sakit umum maupun
rumah sakit jiwa dengan syarat ruangan harus kondusif. Dapat juga
dilakukan di rumah keluarga sendiri. Rumah dapat memberikan
informasi kepada tenaga kesehatan tentang bagaimana gaya
interaksi yang terjadi dalam keluarga, nilai – nilai yang dianut
dalam keluarga dan bagaimanan pemahaman keluarga tentang
kesehatan.
Selain terapi keluarga, terdapat beberapa jenis terapi lain yang dapat
digunakan untuk meningkatkan kemampuan keluarga dan klien
dimasyarakat yaitu dengan terapi individu, terapi kelompok dan terapi
komunitas. Intervensi tersebut diupayakan melalui penerapan program
kesehatan jiwa komunitas/masyarakat yang efektif yang dalam hal ini
dilakukan melalui penerapan Community Mental Health Nursing
(CMHN). Pelayanan CMHN tersebut diwujudkan melalui beberapa
kegiatan,diantaranya kunjungan rumah oleh perawat CMHN dan Kader
Kesehatan Jiwa (KKJ), pendidikan kesehatan, pelayanan dari Puskesmas
(termasuk pemberian psikofarmaka), Terapi Aktivitas Kelompok (TAK)
dan Terapi Rehabilitasi.
Adapun intervensi yang dapat diberikan untuk keluarga dengan
gangguan jiwa adalah sebagai berikut :
1. Diskusikan masalah yang dihadapi keluarga dalam merawat klien.
2. Berikan penjelasan pada keluarga tentang pengertian, etiologi, tanda
dan gejala, dan cara merawat klien dengan diagnosa keperawatan
tertentu (misalnya halusinasi, perilaku kekerasan).
3. Demonstrasikan cara merawat klien sesuai jenis gangguan yang
dialami.
4. Berikan kesempatan pada keluarga untuk memperagakan cara merawat
klien yang telah diajarkan.
5. Bantu keluarga untuk menyusun rencana kegiatan di rumah.
Secara umum, program komprehensif dalam bekerjasama dengan
keluarga terdiri dari beberapa komponen berikut ini :
1. Didactic component, memberikan informasi tentang gangguan jiwa
dan sistem kesehatan jiwa. Pada komponen ini, difokuskan pada
peningkatan pengetahuan bagi anggota keluarga melalui metode
pengajaran psikoedukasi.
2. Skill component, menawarkan pelatihan cara komunikasi, resolusi
konflik, pemecahan masalah, bertindak asertif, manajemen
perilaku, dan manajemen stres. Pada komponen ini, difokuskan
pada penguasaan dan peningkatan keterampilan keluarga dalam
merawat keluarga dengan gangguan jiwa termasuk ketrampilan
mengekspresikan perasaan anggota keluarga sehingga diharapkan
dapat mengurangi beban yang dirasakan keluarga.
3. Emotional component, memberi kesempatan keluarga untuk
ventilasi, bertukar pendapat, dan mengerahkan sumber daya yang
dimiliki. Pada komponen ini, difokuskan pada penguatan
emosional anggota keluarga untuk mengurangi stress merawat
anggota keluarga dengan gangguan jiwa. Keluarga dapat saling
menceritakan pengalaman dan perasaannya serta bertukar
informasi dengan anggota kelompok yang lain tentang pengalaman
merawat anggota keluarga dengan gangguan jiwa.
4. Family process component, berfokus pada koping keluarga dengan
gangguan jiwa dan gejala sisa yang mungkin muncul. Pada
komponen ini, difokuskan pada penguatan koping anggota
keluarga dalam menghadapi kemungkinan kekambuhan klien di
masa depan.
5. Social component, meningkatkan penggunaan jaringan dukungan
formal dan informal. Pada komponen ini, difokuskan pada
pemberdayaan keluarga dan komunitas untuk meningkatkan
kerjasama yang berkesinambungan dan terus menerus.
Kelima komponen di atas sangat tepat diterapkan sebagai prinsip
dasar dalam menjalin kerjasama dengan keluarga dengan gangguan
jiwa karena telah mencakup semua hal yang diperlukan untuk sebuah
kolaborasi antara keluarga klien dengan tenaga kesehatan.

BAB III

KESIMPULAN

3. Kesimpulan
Gangguan jiwa bukan penyakit fisik yang menimbulkan dampak kematian,
namun deteksi gejala dini tentang gangguan jiwa sangat perlu disosialisasikan
kepada masyarakat luas agar tidak terjadi keterlambatan penanganan pada fase
awal yang bisa disembuhkan.
Perlu adanya pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan pengetahuan
mengenai apa dan bagaimana tentang gangguan jiwa dan gangguan emosional
pada level-level tertentu agar tidak menimbulkan stigma terhadap penderita
gangguan jiwa yang bisa disembuhkan.
Penderita gangguan jiwa di masyarakat kurang didiagnosis dan diobati
dengan tepat. Karena secara fisik penderita gangguan jiwa adalah normal,
namun psikisnya yang butuh pertolongan medis. Pelayanan kesehatan
pemerintah dan pembuat kebijakan berkontribusi terhadap stigma secara
sistematik, perhatian yang minim karena bukan program prioritas membuat
pelayanan kesehatan jiwa pada masyarakat juga mendapat anggaran yang
minim pula.
DAFTAR PUSTAKA

Pemberdayaan Klien dan Keluarga dalam Perawatan Klien Skizofrenia dengan


Perilaku Kekerasan di RSJP Bogor. Disertasi. Jakarta. FKMUI.

CMHN.(2005). Modul Basic Course Community Mental Health Nursing- Jakarta


WHO. FIK UI.

http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/03/160320_indonesia_hrw_
pasung. Diakses pada tanggal 3 Agustus 2016

Chien, W.T. & Wong, K.F. (2007). A Family Psychoeducation Group Program for
Chinese People With Schizophrenia in Hong Kong. Arlington.

www.proquest.com.pqdauto. Diakses pada 4 Agustus 2016.

Mediakom Kementrian Kesehatan RI. Bakti Husada. Mediakom.sehatnegriku.com


diakses pada 4 Agustus 2016

Carson, V.B. (2000).Mental Health Nursing: The nurse-patient journey.(2 th


ed.).Philadelphia: W.B. Sauders Company.

CMHN.(2005). Modul Basic Course Community Mental Health Nursing- Jakarta


WHO.FIK UI.

Doeselaar, M. Et al. (2008). Professionals’ Attitudes Toward Reducing Restraint:


The Case of Seclusion in The Netherlands. www.proquest.com. pqdauto.
Diperoleh tanggal 29 Juni 2009.
Susanto, Gabriel Abdi. 2013. 1 Juta Lebih Penduduk Indonesia Berisiko Alami
Gangguan Jiwa. Tersedia pada: http://health.liputan6.com/read/678786/1-
jutalebih-penduduk-indonesia-berisiko-alami-gangguanjiwa. Diakses 4 agustus
2016.

Anda mungkin juga menyukai