MINI PROJECT
Disusun oleh:
dr. Khusnul Khotimah
Pembimbing:
dr. Timbul Pranoto. M.Sc
2023
I. LATAR BELAKANG
A. Pendahuluan
Kesehatan jiwa menurut undang – undang Kesehatan Jiwa Tahun
2014 merupakan suatu kondisi dimana seorang individu dapat berkembang
secara fisik, mental, spiritual dan sosial sehingga individu tersebut menyadari
kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif,
dan mampu memberikaan kontribusi untuk komunitasnya. Menurut Riyadi
dan Purwanto (2013), kesehatan jiwa suatu kondisi perasaan sejahtera secara
subyektif, suatu penilaian diri tentang perasaan mencakup aspek konsep diri,
kebugaran dan kemampuan pengendalian diri.
Data World Health Organization (2016) menunjukkan terdapat sekitar
35 juta orang menderita depresi, 60 juta orang terkena bipolar, 21 juta terkena
skizofrenia, serta 47,5 juta mengalami demensia. Selain itu, menurut WHO
(2017) gangguan yang banyak terjadi juga selain depresi adalah gangguan
cemas. Diperkirakan 4,4% dari populasi global menderita gangguan depresi
dan 3,6% dari gangguan kecemasan. Jumlah penderita depresi meningkat
lebih dari 18% antara tahun 2005 hingga 2015. Depresi menjadi penyebab
terbesar kecacatan. Lebih dari 80% penyakit ini dialami orang-orang yang
tinggal di negara berkembang. Indonesia menunjukkan penambahan jumlah
kasus gangguan jiwa yang dipengaruhi oleh faktor biologis, psikologis, dan
sosial dengan keanekaragaman penduduknya. Hal tersebut dapat berdampak
pada penambahan beban negara dan penurunan produktivitas sumber daya
manusia jangka panjang (WHO, 2016; 2017).
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 yang dilakukan oleh
Kementerian Republik Indonesia menyimpulkan bahwa prevalensi
ganggunan mental emosional seperti depresi dan kecemasan (anxietas) pada
usia ≥ 15 tahun mencapai sekitar 14 juta jiwa atau 6% dari jumlah penduduk
Indonesia. Sedangkan prevalensi gangguan jiwa berat (psikosis), seperti
skizofrenia mencapai sekitar 400.000 jiwa atau sebanyak 1,7 per 1.000
penduduk. Jumlah gangguan jiwa berat tahun 2013 tersebar di berbagai
provinsi dengan jumlah terbanyak di Daerah Istimewa Yogyakarta (0,27%)
dan Aceh ( 0,27%), kemudian Sulawesi Selatan (0,26%), disusul oleh Bali
(0,23%) dan Jawa Tengah (0,23%). Masalah kesehatan jiwa tersebut di atas
jika tidak segera ditangani dapat menurunkan status kesehatan fisik dan
menimbulkan dampak psikososial antara lain tindak kekerasan,
penyalahgunaan napza, pemasungan, maupun tindakan percobaan bunuh diri
(Riset Kesehatan Dasar, 2013).
Estimasi WHO tentang ODGJ yang belum mendapatkan layanan
kesehatan jiwa di negara-negara berkembang seperti Indonesia adalah >85%.
Gangguan jiwa yang tidak tertangani dengan baik dan tidak teratur berobat/
minum obat dapat mengakibatkan gejala semakin sulit untuk diatasi,
menahun, dengan penurunan fungsi perawatan diri dan sosial yang semakin
berat. Pemasungan pada ODGJ merupakan dampak ekstrem dan tidak adanya
akses terhadap layanan kesehatan jiwa. Pemasungan adalah bentuk
pengekangan kebebasan yang dilakukan pada ODGJ di komunitas yang
mengakibatkan perampasan kebebasan untuk mengakses layanan yang dapat
membantu pemulihan fungsi ODGJ tersebut. Berdasarkan Riskesdas (2013),
sebanyak 14,3% dari penduduk yang mengalami gangguan jiwa berat tersebut
mengatakan pernah dipasung Pemasungan ODGJ tidak dibenarkan dan
melanggar hak asasi manusia. Tindak pemasungan sebagian besar dilakukan
oleh keluarga inti sebagai upaya perlindungan akibat perilaku kekerasan yang
berpotensi dilakukan ODGJ akibat gejala yang dialami dan tidak dapat diatasi
akibat kurangnya pengetahuan, kesulitan akses dan keterjangkauan ke
layanan kesehatan jiwa (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2017).
Gangguan jiwa sangat beragam jenisnya, mulai dari yang ringan
hingga berat. Informasi yang akurat dari pihak keluarga akan sangat
membantu para tenaga pemberi layanan kesehatan jiwa untuk melakukan
diagnosa dan menentukan perawatan yang tepat bagi ODGJ. Pada akhirnya,
diharapkan ODGJ dapat berangsur-angsur mengembalikan kualitas hidup
mereka dan kembali menjadi manusia yang produktif dan mandiri.
Skizofrenia menjadi gangguan jiwa paling dominan dibanding
gangguan jiwa lainnya dan termasuk dalam gangguan jiwa berat. Penderita
gangguan jiwa sepertiganya tinggal di negara berkembang, dan 8 dari 10
orang yang menderita skizofrenia tidak mendapatkan penanganan medis.
Gejala skizofrenia muncul pada usia 15-25 tahun lebih banyak ditemukan
pada laki-laki dibandingkan pada perempuan (Ashturkar& Dixit, 2013).
Skizofrenia adalah salah satu jenis psikotik yang menunjukan gelaja
orientasi yang buruk, halusinasi, waham, serta kehilangan fungsi luhurnya
sebagai manusia seperti merawat diri. Gejala halusinasi dan waham yang
terjadi pada pasien skizofrenia berupa gangguan alam perasaan yang tidak
menentu, isi kebesaran atau kejaran, sering bertengkar atau berdebat, dan
perilaku cemas yang tidak menentu, bahkan kemarahan/ mengamuk. Hal
tersebut dapat disebabkan kegagalan mekanisme coping stress terhadap beban
yang dialami atau karena cemas yang berkepanjangan (Videback, 2008;
Townsend, 2011; Hawari, 2014).
Pelayanan gangguan jiwa adalah pelayanan pada pasien yang
mengalami gangguan kejiwaan. Data yang masuk untuk pelayanan kesehatan
jiwa di fasilitas kesehatan tingkat pertama berasal dari Rumah Sakit Jiwa dan
Rumah Sakit Umum yang mempunyai klinik jiwa. Permasalahan yang ada
saat ini adalah tidak semua Rumah Sakit Umum mempunyai pelayanan klinik
jiwa karena belum tersedia tenaga medis jiwa dan tidak banyak kasus jiwa di
masyarakat yang berobat di sarana pelayanan kesehatan. Dari permasalahan
tersebut, upaya yang perlu dilakukan adalah peningkatan pembinaan program
kesehatan jiwa di sarana kesehatan pemerintah dan swasta, pelatihan/
refreshing bagi dokter dan paramedis puskesmas terutama upaya promotif
dan preventif, serta meningkatkan pelaksanaan sistem monitoring evaluasi
pencatatan dan pelaporan program kesehatan jiwa (Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, 2017).
Tahun 2015 cakupan pelayanan kesehatan jiwa Kabupaten Kebumen
di Puskesmas tercatat 6.293 jiwa (laki-laki 3.559 jiwa dan perempuan 2.734
jiwa) dari seluruh penduduk tahun 2015 sebanyak 1.188.622 atau 5,3 per
1000 penduduk. Kasus jiwa terbanyak di Puskesmas Pejagoan yaitu 1.145
jiwa. Hal tersebut berkaitan dengan Puskemas Pejagoan sesuai SK Bupati
Kebumen No 445/95/KEP/2015 termasuk dalam Puskesmas pelaksana
pelayanan rawat inap dengan unggulan pelayanan kesehatan jiwa di
Kabupaten Kebumen.
Jumlah petugas kesehatan jiwa yang terbatas dapat dicari solusinya
dengan salah satu program berupa upaya pemberdayaan keluarga sebagai
penyaring awal gangguan jiwa dan mendukung selama terapi, serta
pemulihan pasien. Anggota keluarga dan masyarakat perlu diberi penjelasan
tentang jenis, tanda, dan gejala gangguan jiwa yang sering terjadi dan apa
yang dapat dilakukan oleh keluarga jika hal ini terjadi. Melalui pemahaman
ini, diharapkan masalah kejiwaan dan gangguan jiwa dapat dicegah dan
ditangani secepat dan semestinya. Upaya-upaya kesehatan jiwa tersebut
merupakan amanah dalam Undang-Undang No.18 tahun 2014 tentang
Kesehatan Jiwa (Dinas Kesehatan Kabupaten Kebumen, 2015; Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, 2017).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka didapatkan perumusan masalah
Apakah bentuk kegiatan yang dapat meningkatkan kualitas hidup pasien
dengan gangguan jiwa?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Membentuk suatu kegiatan yang dapat meningkatkan kualitas hidup pasien
dengan gangguan jiwa
2. Tujuan Khusus
Meningkatkan tingkat kepatuhan kontrol, meningkatkan efektivitas terapi,
meningkatkan pengetahuan mengenai gangguan jiwa, meningkatkan
kemampuan interaksi sosial, meningkatkan kemampuan perawatan diri,
dan meningkatkan ketrampilan serta kemandirian pasien dengan gangguan
jiwa
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Manfaat bagi Ilmu Pengetahuan
Menambah wawasan tentang kebutuhan pasien dengan gangguan jiwa
dalam hal terapi holistic.
2. Manfaat bagi Puskesmas
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan informasi dalam
menyusun kebijakan dan strategi program-program kesehatan terutama
yang berhubungan dengan masalah kesehatan jiwa.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
American Psychiatric Association (1994) mendefinisikan gangguan
jiwa sebagai suatu sindrom atau pola psikologis atau perilaku yang penting
secara klinis yang terjadi pada seseorang dan dikaitkan dengan adanya
distress atau disabilitas. Psikotik adalah gangguan jiwa yang ditandai dengan
ketidakmampuan individu menilai kenyataan yang terjadi, misalnya terdapat
halusinasi, waham atau perilaku kacau atau aneh. Orang dengan gangguan
jiwa (ODGJ) berat yaitu orang yang memiliki gengguan jiwa yang dengan ciri
psikotik hingga menganggu fungsi kehidupan, atau dikenal dengan
skizofrenia (DMS-IV, 2005).
Skizofrenia adalah sindrom dengan variasi dan perjalanan penyakit
yang luas, ditandai dengan adanya perubahan yang fundamental dan
karakteristik persepsi, pikiran, afek, dan perilaku seseorang. Skizofrenia
merupakan gangguan psikotik yang ditandai dengan berbagai tingkat
kepribadian disorganisasi yang mengurangi kemampuan individu untuk
bekerja secara efektif dan untuk berkomunikasi dengan orang lain. Gejala
klinis skizofrenia sering bingung, depresi, menarik diri atau cemas. Hal ini
berdampak pada keinginan dan kemampuan untuk melakukan tindakan oral
hygiene (Maslim, 2003).
B. Epidemiologi
Insidensi skizofrenia di seluruh dunia adalah 3.000 – 10.000 penderita.
Skizofrenia terjadi paling tinggi pada rentang usia 15 - 35 tahun. Prevalensi
global pada usia tersebut adalah 1,1%, sedangkan di Indonesia adalah 0,3% -
1% (Bhugra, 2005).
Skizofrenia merupakan penyakit mental yang paling menyebabkan
suatu kemunduran. Psikopatologi ini secara tipikal didiagnosis pada usia di
antara 20 - 25 tahun, suatu fase kehidupan di mana hampir setiap manusia
memperoleh kebebasan dari orang tua, menjalin suatu hubungan romantis
yang intim, merencanakan pencapaian-pencapaian dalam hal pendidikan, dan
dimulainya kehidupan berkarir pada seseorang. Prevalensi skizofrenia di
Amerika Serikat dilaporkan bervariasi terentang dari 1 sampai 1,5 persen
dengan angka insidensi 1 per 10.000 orang per tahun. Berdasarkan jenis
kelamin prevalensi skizofrenia adalah sama, perbedaannya terlihat dalam
onset dan perjalanan penyakit. Untuk laki laki 15 sampai 25 tahun sedangkan
wanita 25 sampai 35 tahun. Di Indonesia angka penderita skizofrenia 25
tahun yang lalu (PJPT I) diperkirakan 1/1000 penduduk dan proyeksi 25
tahun mendatang mencapai 3/1000 penduduk. Pada tahun 2013, skizofrenia
mencapai sekitar 400.000 jiwa atau sebanyak 1,7 per 1.000 penduduk
(Riskesdas, 2013).
C. Etiologi
Terdapat beberapa pendekatan yang dominan dalam menganalisa
penyebab skizofrenia, antara lain:
1. Faktor Genetik
Menurut Baihaqi (2005), faktor keturunan juga menentukan
timbulnya skizofrenia. Hal ini telah dibuktikan dengan penelitian tentang
keluarga-keluarga penderita skizofrenia terutama anak kembar satu telur/
monozigotik. Angka kesakitan bagi saudara tiri ialah 0,9 - 1,8%; bagi
saudara kandung 7 – 15%; bagi anak dengan salah satu orangtua yang
menderita skizofrenia 7 – 16%; bila kedua orangtua menderita
skizofrenia 40 – 68%; bagi kembar dua telur (heterozigot) 2 -15%; bagi
kembar satu telur (monozigot) 61 – 86%. Skizofrenia melibatkan lebih
dari satu gen, sebuah fenomena yang disebut quantitative trait loci.
Skizofrenia yang paling sering kita lihat mungkin disebabkan oleh
beberapa gen yang berlokasi di tempat-tempat yang berbeda di seluruh
kromosom. Ini juga mengklarifikasikan mengapa ada gradasi tingkat
keparahan pada orang-orang yang mengalami gangguan ini (dari ringan
sampai berat) dan mengapa risiko untuk mengalami skizofrenia semakin
tinggi dengan semakin banyaknya jumlah anggota keluarga yang
memiliki penyakit ini.
2. Faktor Biokimia
Skizofrenia mungkin berasal dari ketidakseimbangan kimiawi
otak yang disebut neurotransmitter, yaitu kimiawi otak yang
memungkinkan neuron-neuron berkomunikasi satu sama lain. Beberapa
ahli mengatakan bahwa skizofrenia berasal dari aktivitas
neurotransmitter dopamine yang berlebihan di bagian-bagian tertentu
otak atau dikarenakan sensitivitas yang abnormal terhadap dopamine.
Banyak ahli yang berpendapat bahwa aktivitas dopamine yang berlebihan
saja tidak cukup untuk skizofrenia. Beberapa neurotransmitter lain
seperti serotonin dan norepinephrine tampaknya juga memainkan
peranan (Akbar, 2008).
3. Faktor Psikologis dan Sosial
Faktor psikososial meliputi adanya kerawanan herediter yang
semakin lama semakin kuat, adanya trauma yang bersifat kejiwaan,
adanya hubungan orang tua-anak yang patogenik, serta interaksi yang
patogenik dalam keluarga (Wiraminaradja& Sutardjo, 2005). Banyak
penelitian yang mempelajari bagaimana interaksi dalam keluarga
mempengaruhi penderita skizofrenia. Sebagai contoh, istilah
schizophregenic mother kadang-kadang digunakan untuk
mendeskripsikan tentang ibu yang memiliki sifat dingin, dominan, dan
penolak, yang diperkirakan menjadi penyebab skizofrenia pada anak-
anaknya (Akbar, 2008). Menurut Coleman dan Maramis (1994 dalam
Baihaqi et al, 2005), keluarga pada masa kanak-kanak memegang
peranan penting dalam pembentukan kepribadian. Orangtua terkadang
bertindak terlalu banyak untuk anak dan tidak memberi kesempatan anak
untuk berkembang, ada kalanya orangtua bertindak terlalu sedikit dan
tidak merangsang anak, atau tidak memberi bimbingan dan anjuran yang
dibutuhkannya.
D. Gejala Klinis
1. Gangguan positif
a. Delusi/ Waham
Waham merupakan suatu keyakinan terhadap sesuatu yang
dialami pasien yang dihayati dan tidak bisa dirubah. Waham yang
muncul pada klinis skizofrenia khas didapatkan waham yang aneh/
tidak logis seperti waham kebesaran.
b. Halusinasi
Suatu persepsi terhadap panca indera tanpa adanya stimulus,
baik itu halusinasi auditorik (paling sering), halusinasi visual, dan
panca indera lainnya, sehingga muncul hal-hal sebagai berikut:
1) Perilaku aneh, tidak terorganisir.
2) Bicara sendiri, tidak teratur.
3) Gaduh dan gelisah.
4) Penuh kecurigaan dan memiliki rasa permusuhan.
2. Gangguan negatif
Gangguan negatif meliputi (Pakpahin, 2012):
1) Alogia (tidak mau bicara)
2) Emosi tumpul
3) Avolition (kehilangan motivasi)
4) Anhedonia (kehilangan minat)
5) Tidak mampu berkonsentrasi
2. Gangguan kognitif
3. Gangguan perhatian
4. Gangguan ingatan
E. Penegakan Diagnosis
Terdapat tanda dan gejala skizofrenia antara lain (PPDGJ III, 1993):
1. Minimal satu gejala berikut yang sangat jelas, atau minimal dua gejala
jika tidak jelas yaitu :
a. Adanya waham bizarre (thought of echo, thought of insertion,
thought of broadcasting).
b. Adanya delusion of influence, delusion of control, delusion of
passivity, delusional perception.
c. Halusinasi auditorik.
d. Waham menetap jenis lainnya yang dianggap tidak wajar dan
mustahil terjadi.
2. Atau paling sedikit dua gejala yang harus selalu ada dengan jelas, yaitu:
a. Halusinasi menetap dari indera apapun, disertai waham maupun ide
berlebihan.
b. Adanya arus pikiran yang terputus (break) atau mengalami sisipan
(interpolation).
c. Perilaku katatonik.
d. Gejala-gejala negative.
3. Gejala khas tersebut berlangsung minimal 1 bulan.
4. Terdapat perubahan yang konsisten dan bermakna dalam overall quality
dari beberapa personal behavior.
F. Klasifikasi
Skizofrenia dapat dibedakan menjadi beberapa subtipe yaitu sebagai
berikut (PPDGJ III, 1993).
Tabel 2.1 Klasifikasi Skizofrenia
Skizofrenia Paranoid Skizofrenia Hebefrenik Skizofrenia Katatonik
1. Kriteria umum (+) 1. Kriteria umum (+) 1. Kriteria umum (+)
2. Halusinasi dan 2. Diagnosis pertama 2. Minimal satu dari
waham (control, ditegakkan pada usia berikut
influence, 15-25 tahun mendominasi:
passivity, dikejar) 3. Kepribadian stupor, mutisme,
yang amat premorbid: pemalu, gaduh-gelisah,
menonjol. solitary posturing,
4. Selama observasi 2-3 negativism,
3. Gangguan afektif , bulan didapatkan rigiditas,
dorongan perilaku yang tidak fleksibilitas cerea,
kehendak, gejala bertanggungjawab, command
katatonik relatif mannerisme, solitary, automatism
tidak menonjol afek dangkal
inappropriate,
inkoherensi.
5. Gangguan afektif,
dorongan kehendak,
dan gangguan proses
pikir menonjol
Skizofrenia Tak Skizofrenia Residual Skizofrenia Simplek
Terinci
1. Kriteria umum (+) 1. Gejala negatif 1. Gejala negatif yang
2. Tidak memenuhi skizofrenia menonjol khas tanpa
kriteria skizofrenia 2. Riwayat satu episode didahului riwayat
paranoid, psikotik yang jelas di halusinasi, waham,
hebefrenik, atau masa lalu maupun manifestasi
katatonik 3. Melalui 1 tahun lain psikotik.
3. Tidak memenuhi dimana waham dan 2. Disertai perubahan
kriteria skizofrenia halusinasi sangat perilaku pribadi
residual atau berkurang, dan telah yang bermakna,
depresi post- timbul sindrom apatis atau seolah
skizofrenia negative tidak memiliki
4. Tidak ada kepentingan untuk
demensia/gangguan dirinya sendiri.
otak organik lain
G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien skizofrenia dapat berupa terapi biologis
dan terapi psikososial.
1. Terapi Biologis
Pada penatalaksanaan terapi biologis terdapat tiga bagian yaitu
terapi dengan menggunakan obat antipsikosis, terapi elektrokonvulsif,
dan pembedahan bagian otak. Terapi dengan penggunaan obat
antipsikosis dapat meredakan gejala-gejala skizofrenia. Obat yang
digunakan adalah chlorpromazine (thorazine) dan fluphenazine
decanoate (prolixin). Kedua obat tersebut termasuk kelompok obat
phenothiazines, reserpine (serpasil), dan haloperidol (haldol). Obat ini
disebut obat penenang utama. Obat tersebut dapat menimbulkan rasa
kantuk dan kelesuan, tetapi tidak mengakibatkan tidur yang lelap,
sekalipun dalam dosis yang sangat tinggi (orang tersebut dapat dengan
mudah terbangun). Obat ini cukup tepat bagi penderita skizofrenia yang
tampaknya tidak dapat menyaring stimulus yang tidak relevan (Akbar,
2008).
Terapi Elektrokonvulsif juga dikenal sebagai terapi electroshock
pada penatalaksanaan terapi biologis. Pada akhir 1930-an,
electroconvulsive therapy (ECT) diperkenalkan sebagai penanganan
untuk skizofrenia.Tetapi terapi ini telah menjadi pokok perdebatan dan
keprihatinan masyarakat karena beberapa alasan. ECT ini digunakan di
berbagai rumah sakit jiwa pada berbagai gangguan jiwa, termasuk
skizofrenia. Antusiasme awal terhadap ECT semakin memudar karena
metode ini kemudian diketahui tidak menguntungkan bagi sebagian besar
penderita skizofrenia meskipun penggunaan terapi ini masih dilakukan
hingga saat ini. Sebelum prosedur ECT yang lebih manusiawi
dikembangkan, ECT merupakan pengalaman yang sangat menakutkan
pasien. Pasien seringkali tidak bangun lagi setelah aliran listrik dialirkan
ke tubuhnya dan mengakibatkan ketidaksadaran sementara, serta
seringkali menderita kerancuan pikiran dan hilangnya ingatan setelah itu.
Adakalanya, intensitas kekejangan otot yang menyertai serangan otak
mengakibatkan berbagai cacat fisik (Akbar, 2008).
Pada terapi biologis lainnya seperti pembedahan bagian otak
memperkenalkan prefrontal lobotomy, yaitu proses operasi primitif
dengan cara membuang “stone of madness” atau disebut dengan batu
gila yang dianggap menjadi penyebab perilaku yang terganggu. Menurut
Moniz, cara ini cukup berhasil dalam proses penyembuhan yang
dilakukannya, khususnya pada penderita yang berperilaku kasar. Akan
tetapi, pada tahun 1950an cara ini ditinggalkan karena menyebabkan
penderita kehilangan kemampuan kognitifnya, otak tumpul, tidak
bergairah, bahkan meninggal.
2. Terapi Psikososial
Gejala-gejala gangguan skizofrenia yang kronik mengakibatkan
situasi pengobatan di dalam maupun di luar Rumah Sakit Jiwa (RSJ)
menjadi monoton dan menjemukan. Secara historis, sejumlah
penanganan psikososial telah diberikan pada pasien skizofrenia, yang
mencerminkan adanya keyakinan bahwa gangguan ini merupakan akibat
masalah adaptasi terhadap dunia karena berbagai pengalaman yang
dialami di usia dini. Pada terapi psikosial terdapat dua bagian yaitu terapi
kelompok dan terapi keluarga (Akbar, 2008).
Terapi kelompok merupakan salah satu jenis terapi humanistik.
Pada terapi ini, beberapa klien berkumpul dan saling berkomunikasi dan
terapist berperan sebagai fasilitator dan sebagai pemberi arah di
dalamnya. Para peserta terapi saling memberikan feedback tentang
pikiran dan perasaan yang dialami. Peserta diposisikan pada situasi sosial
yang mendorong peserta untuk berkomunikasi, sehingga dapat
memperkaya pengalaman peserta dalam kemampuan berkomunikasi.
Pada terapi keluarga merupakan suatu bentuk khusus dari terapi
kelompok. Terapi ini digunakan untuk penderita yang telah keluar dari
rumah sakit jiwa dan tinggal bersama keluarganya. Keluarga berusaha
untuk menghindari ungkapan-ungkapan emosi yang bisa mengakibatkan
penyakit penderita kambuh kembali. Dalam hal ini, keluarga diberi
informasi tentang cara-cara untuk mengekspresikan perasaan-perasaan,
baik yang positif maupun yang negatif secara konstruktif dan jelas, dan
untuk memecahkan setiap persoalan secara bersama-sama. Keluarga
diberi pengetahuan tentang keadaan penderita dan cara-cara untuk
menghadapinya. Dari beberapa penelitian, seperti yang dilakukan
ternyata campur tangan keluarga sangat membantu dalam proses
penyembuhan, atau sekurang-kurangnya mencegah kambuhnya penyakit
penderita, dibandingkan dengan terapi-terapi secara individual.
H. Prognosis
Beberapa faktor penentu prognosis yang dapat dilihat antara lain
kepribadian pramorbid, gejala klinik, jenis kelamin, usia serangan, frekuensi
serangan, jenis serangan, dan faktor konstitusi fisik (Syamsir, 2006). Sekitar
10-20% pasien skizofrenia menunjukkan hasil baik, 50% menunjukkan hasil
buruk (berupa rawat inap berulang, gangguan mood, dan usaha bunuh diri)
(Kaplan dan Sadock, 2010).
Beberapa peneletian mengemukakan bahwa pasien skizofrenia yang
dirawayat pada masa periode 5 hingga 10 tahun hanya memiliki hasil
kekembuhan 10 – 20 % dari selururh pasien yang mengalami perawatan. 20 –
30 % pasien mengalami penyembuhan namun tidak sempurna dan 40m- 60 %
pasien masih tetap dalam keadaan semula. Prognosis pasien dengan
skizofrenia dapat di bagi atas 2 keompok besar yaitu kelompok dengan
prognosis baik dan prognosis buruk. Hal hal yang menentukan suatu
prognosis baik atau buruk yaitu (Kaplan, Sadock, & Grebb, 2010):
1. Prognosis baik
a. Onset lambat/ pada usia tua
b. Faktor pencetus jelas
c. Durasi dari awitan bersifat akut
d. Riwayat seksual, sosial dan pekerjaan premorbid baik
e. Adanya gangguan mood
f. Menikah
g. Riwayat keluarga gangguan mood
h. Sistem pendukung yang baik
i. Gejala positif
2. Prognosis buruk
a. Onset muda/ pada usia muda
b. Faktor pencetus tidak jelas
c. Durasi dari awitan bersifat kronis
d. Riwayat seksual, sosial dan pekerjaan premodrbid jelek
e. Tidak menikah, bercerai, atau janda/duda
f. Sistem pendukung yang buruk
g. Riwayat keluarga skizofrenia
h. Gejala negative
i. Tanda dan gejala neurologis
j. Riwayat trauma perinatal
k. Tidak ada remisi dalam 3 tahun
l. Banyak relaps
m. Riwayat penyerangan
III. METODE PENELITIAN
A. Metode
1. Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif
dengan menggunakan pendekatan kuantitatif yaitu suatu metode yang
digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu. Teknik
pengambilan sampel biasanya dilakukan dengan perhitungan teknik
sampel tertentu yang sesuai (Sugiyono, 2011). Rancangan penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui gambaran data demografi keluarga dengan
anggota keluarga yang pernah menderita gangguan jiwa berat
(skizofrenia) pada wilayah kerja UPT Puskesmas Pejagoan.
2. Waktu dan Tempat Penelitian
Tempat : UPT Puskesmas Pejagoan
Waktu : Februari-juli 2023
3. Teknik Pengumpulan Data
a. Instrumen Penelitiana
Penelitian ini mengambil data yang diperoleh dari kuesioner
Program Keluarga Sehat dengan Pendekatan Keluarga (PIS - PK)
pada setiap Kepala Keluarga (KK) di wilayah kerja UPT Puskesmas
Pejagoan.
b. Populasi
1) Kriteria Inklusi :
a) Anggota keluarga yang bertempat tinggal di wilayah kerja
Puskesmas Pejagoan.
b) Anggota keluarga yang baru dan/ atau pernah didiagnosis
gangguan jiwa berat (skizofrenia).
c) Anggota keluarga yang sedang dan/ atau pernah dipasung.
B. Pengumpulan Data
1. Jenis Data
Penelitian ini menggunakan data primer yaitu berupa data hasil
wawancara menggunakan kuesioner PIS - PK dan data sekunder
Laporan Program Kesehatan JiwaPuskesmas Pejagoan.
2. Alat pengumpulan data
Alat yang digunakan adalah kuesioner PIS - PK, alat tulis untuk
mencatat data, dan komputer untuk mengolah dan memproses data.
BAB IV
HASIL PENGUMPULAN DATA DAN ANALISIS MASALAH
Skizofrenia
DESA
Jan Feb Mar Apr Mei Jun
Logede 10 5 6 6 8 5
Kuwayuhan 5 2 14 12 16 18
Kedawung 11 14 12 14 11 13
Pejagoan 7 9 17 9 10 10
Kebulusan 3 6 10 6 8 6
Aditirto 0 1 2 2 3 2
Karangpoh 4 2 7 4 6 4
Jemur 5 4 6 6 5 6
Kebagoran 1 3 8 6 7 4
Prigi 1 2 1 0 2 3
Pengaringan 1 0 1 0 1 0
Watulawang 1 1 2 0 2 2
Peniron 10 5 16 7 13 13
Jumlah 59 54 102 72 92 86
Tabel 4.1 menunjukkan bahwa dari data yang didapatkapn pada poli
jiwa puskesmas pejagoan ditemukan pasien tertinggi di Desa Kedawung dengan
total pasien keseluruhan 75 orang kemudian diikuti desa kuwayuhan dan peniron.
Desa dengan pasien skizofrenia rendah pada daerah pengaringan.
Skizofrenia
DESA
Jan Feb Mar Apr Mei Jun
Logede 10 5 6 6 8 5
Kuwayuhan 5 2 14 12 16 18
Kedawung 11 14 12 14 11 13
Pejagoan 7 9 17 9 10 10
Kebulusan 3 6 10 6 8 6
Aditirto 0 1 2 2 3 2
Karangpoh 4 2 7 4 6 4
Jemur 5 4 6 6 5 6
Kebagoran 1 3 8 6 7 4
Prigi 1 2 1 0 2 3
Pengaringan 1 0 1 0 1 0
Watulawang 1 1 2 0 2 2
Peniron 10 5 16 7 13 13
Jumlah 59 54 102 72 92 86
Keterangan :
U : Urgency (kemendesakan isu)
S : Seriousness (kegawatan isu)
G : Growth (berkembangnya isu)
Permasalahan Kurangnya pengetahuan dan peran kader tentang upaya promotif dan
preventif pengendalian Skizofrenia
Solusi Meningkatkan pengetahuan kader mengenai upaya promotif dan preventif
pengendalian Skizofrenia berupa media edukasi yang mudah untuk di
jangkau dan di mengerti setiap kader desa seperti pembuatan buku pedoman
kader
Pelaksana Dokter internsip Puskesmas Pejagoan
Waktu Bulan Juli 2023
Tempat Puskesmas Pejagoan
Materi Edukasi mengenai penyakit tidak menular
Sasaran Kader Desa diwilayah kerja Puskesmas Pejagoan
Tujuan Meningkatkan pengetahuan dan peran kader dalam upaya promotif dan
preventif pengendalian Skizofrenia di masyarakat
Cara Melakukan pemaparan materi di buku pedoman kader pada perwakilan
kader tiap desa
Membagikan buku panduan kader agar dapat menjadi pedoman kader
dalam edukasi mengenai Skizofrenia
Permasalahan Kurangnya keterampilan dan pengetahuan kader dalam assesment deteksi
dini dan factor risiko Skizofrenia pada masyarakat
Solusi Meningkatkan keterampilan kader dalam assesment deteksi dini dan factor
risiko Skizofrenia pada masyarakat dengan mengadakan pelatihan secara
rutin untuk kader mengenai assesment deteksi dini dan factor risiko
Skizofrenia
Pelaksana Tenaga kesehatan Puskesmas Pejagoan
Waktu Bulan Juli 2023
Tempat Puskesmas Pejagoan
Materi Edukasi mengenai assesment deteksi dini dan factor risiko Skizofrenia
Sasaran Kader Desa diwilayah kerja Puskesmas Pejagoan
Tujuan Meningkatkan keterampilan kader dalam assesment deteksi dini dan factor
risiko Skizofrenia pada masyarakat
Cara Mengagendakan pertemuan kader secara rutin (missal 1 bulan sekali)
untuk mengevaluasi keterampilan kader dalam assesment deteksi dini
dan factor risiko Skizofrenia pada masyarakat
Permasalahan Belum adanya metode penyuluhan yang lebih menarik dan efektif
mengenai Skizofrenia
Solusi Meningkatkan variasi metode penyuluhan berupa media promosi dengan
membuat leaflet, Powerpoint dan buku panduan mengenai Skizofrenia
Pelaksana Dokter internsip Puskesmas Pejagoan
Waktu Bulan Juli 2023
Tempat Puskesmas Pejagoan
Materi Edukasi mengenai Skizofrenia
Sasaran Kader Desa diwilayah kerja Puskesmas Pejagoan dan masyarakat
Tujuan Meningkatkan variasi metode penyuluhan berupa media promosi mengenai
Skizofrenia
Cara Membuat media promosi yang menarik untuk dibaca dan memberikan
informasi yang sinkat, jelas dan mudah dimengeri dalam bentuk leaflet,
PPT dan buku panduan untuk kader
B. Saran
1. Perlu adanya penyuluhan/ pemberian informasi oleh tenaga kesehatan
kepada masyarakat tentang gejala dan tanda, faktor risiko, terapi, serta
dukungan terhadap pasien dengan skizofrenia.
2. Perlu juga penyuluhan tentang kepatuhan berobat pasien dengan
skizofreania kepada keluarga pasien untuk meningkatkan keberhasilan
terapi, seperti melalui program Posyandu yang sudah ada di Puskesmas
Pejagoan, tinggal ditingkatkan lagi monitoring dan evaluasinya.
3. Perlu adanya dukungan keluarga yang sangat berpengaruh terhadap
kepatuhan terapi pada pasien Skizofrenia
4. Optimalisasi lagi Pandu PTM yang ada di Puskesmas Pejagoan.
5. Harapan akan dilakukannya penelitian lebih lanjut mengenai faktor-
faktor lain yang mempengaruhi kepatuhan berobat pasien Skizofrenia di
wilayah Puskesmas Pejagoan dengan memprioritaskan identifikasi
masalah.
DAFTAR PUSTAKA
Baihaqi, Sunardi, Riksma, dan Euis. 2005. Pskiatri. Bandung: Refika Aditama.
Bhugra, D. 2005. The global prevalence of schizophrenia. PLoS Med. 2 (5): 151.
Kaplan, H.I., Sadock B.J., and Grebb J.A. 2010. Sinopsis Psikiatri (Alih bahasa:
Widjaja Kusuma). Jakarta: Binarupa Aksara.
Maslim, R. 2003. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa: Rujukan Ringkas dari
PPDGJ III. Jakarta: FK Unika Atmajaya.
Pakpahan, dan Sri Hertika. 2012. Karakteristik Penderita Skizofrenia Rawat Inap
di Rumah Sakit Jiwa Medan Tahun 2001. Sumatera Utara: FK USU.
World Health Organization. 2017. Mental Health Atlas. Geneva: World Health
Organization.