Anda di halaman 1dari 34

BAB 1

PENDAHULUAN

Dengue hemorrhagic fever (DHF) atau yang disebut demam berdarah dengue (DBD),
sejak ditemukan pertama kali pada tahun 1968 sampai sekarang, penyakit ini sering kali
menjadi penyebab kematian terutama pada anak, remaja dan dewasa. Dengue haemorrhagic
fever (DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi
klinis demam, nyeri otot dan atau nyeri sendi yang disertai dengan leukopenia, ruam,
limfadenopati, trombositopenia dan diatesis hemoragik. Pada DHF terjadi perembesan plasma
yang ditandai oleh adanya hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan
dirongga tubuh (Sudoyono et al., 2009).
Infeksi virus dengue menyebabkan kematian dan kesakitan yang tinggi di seluruh
dunia, pertama kali dilaporkan di Indonesia pada tahun 1968 dengan daerah penyebaran di
Jakarta dan Surabaya. Ketika itu, berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan, tercatat ada
58 kasus DHF dengan 24 kasus di antaranya meninggal dunia. Pada tahun 2014, tercatat ada
907 kasus meninggal akibat DHF dari sekitar 100.347 kasus. Kementerian Kesehatan belum
menyampaikan laporan komprehensif tentang data kasus DHF pada tahun 2016 namun hingga
akhir tahun 2016 tercatat ada 201.885 kasus dengan 1585 kematian (Kementerian Kesehatan
RI 2016). Pada dekade terakhir, prevalensi infeksi dengue global meningkat secara tajam dan
menjadi endemik di lebih dari 100 negara di Afrika, Amerika,bagian Timur Mediterania, Asia
Tenggara, dan bagian Barat Pasifik. Sekitar 2,5 – 3 milyar penduduk dunia, terutama yang
hidup di daerah tropis maupun sub tropis berisiko terinfeksi virus dengue (WHO, 1999). Setiap
tahun, kejadian baru infeksi dengue diperkirakan sekitar 100 juta kasus. Satu setengah juta
kasus diantaranya berupa DHF, dengan angka keparahan penyakit (case fatality rate) 0,5 %-
3,5% di negara-negara Asia, sembilan puluh persen diantaranya terjadi pada anak-anak
dibawah usia 15 tahun (Abhishek et al., 2017).
Perbedaan antara Demam Dengue dan DHF adalahnya adanya kebocoran plasma
(plasma leakage), yang mulai terlihat pada hari sakit ke-3 dan puncaknya terjadi umumnya
pada hari sakit ke 5. Kelengahan dalam memantau ketat pasien pada masa kebocoran ini serta
keterangan orang tua dapat mempengaruhi prognosis pasien. WHO membuat proposal baru
untuk menyempurnakan definisi kasus serta klasifikasi dengue dengan membaginya atas Nnon
severe Dengue without warning signs atau dengue with (mild) warning signs, dengue with

1
warning signs, dan severe dengue. Hal ini disebabkan oleh karena beberapa publikasi
menyampaikan kesulitan untuk mendiagnosis DHF dengan menggunakan kriteria yang lama.
Namun dalam buku petunjuk WHO terakhir, kebijakan pedoman tata laksana dengue
diserahkan kepada negara masing masing sesuai dengan kebijakan kementerian kesehatan
setempat. Untuk itu, Indonesia masih mengacu kepada pedoman WHO tahun 1997.
Meski kasus pertama DBD di Indonesia dicurigai di Surabaya pada tahun 1968,
konfirmasi virologis baru diperoleh pada pada tahun 1970. Saat kejadian luar biasa (KLB)
berlangsung pada tahun 1988, 1039 pasien dirawat di RSCM dengan case-fatality rate (CFR)
mencapai 13%. Pada KLB di tahun 2004, dilaporkan 64.000 kasus terjadi di Indonesia
(Iincidence rate 29,7 per 100.000 penduduk) dengan angka kematian sebanyak 724 orang (case
fatality rate/CFR 1,1%). Data bagian rekam medik RSCM tahun 2006-2011 menunjukkan 1167
kasus dengue, dengan CFR kasus Sindrom Syok Dengue (SSD) sebanyak 3,3%. Melalui upaya
berbagai program, maka Kementerian Kesehatan R.I bersama masyarakat berhasil
menurunkan CFR nasional dari 42,8% pada tahun 1991 menjadi di bawah 2% pada saat ini.
Kriteria diagnosis DBD mulai diperkenalkan pada tahun 19864 dan selanjutnya direvisi pada
tahun 19975 berdasarkan gejala klinis dan laboratorium. Berdasarkan kriteria ini, manifestasi
klinis infeksi dibagi menjadi, yaitu DD dan DBD. Derajat DBD dibagi menjadi empat bagian,
DBD derajat III dan IV dimasukkan kedalam kategori DSS.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Demam dengue adalah demam virus akut yang disertai sakit kepala, nyeri otot, nyeri
sendi, nyeri tulang dan ruam – ruam dan penurunan jumlah sel darah putih, namun mempunyai
risiko perkembangan progresif menjadi DHF atau Dengue syok syndrome (DSS) yang dapat
menyebabkan kematian. Dengue Hemorraghagic Fever adalah demam dengue yang disertai
pembesaran hati dan manifestasi perdarahan. Pada keadaan yang parah bisa terjadi kegagalan
sirkulasi darah dan pasien jatuh dalam syok hipovolemik akibat kebocoran plasma, keadaan ini
disebut DSS (Martina et al., 2009). Mekanisme patogenesis infeksi virus dengue terutama pada
DHF dan DSS, belum diketahui secara jelas. Pemeriksaan untuk menentukan perkembangan
penyakitnya juga belum bisa ditegakkan. Kebanyakan kasus dengue fever (DF) ringan, tetapi
mempunyai risiko perkembangan progresif menjadi DHF atau DSS. Dengue haemorragic fever
ditandai adanya peningkatan permeabilitas (kebocoran plasma), trombositopenia, manifestasi
perdarahan, kelainan hemostasis serta peningkatan permeabilitas vaskuler dan dapat
berkembang menjadi DSS. Jika penanganan yang tepat tidak diberikan dapat menyebabkan
kematian (Patandianan et al., 2013, Livina et al., 2014). Walaupun DF dan DHF disebabkan
oleh virus yang sama, tapi mekanisme patofisiologisnya berbeda dan menyebabkan perbedaan
manifestasi klinis.
DHF sekarang didefinisikan oleh World Health Organization (WHO) dengan 4 kriteria,
yaitu 1. Demam atau history demam selama 2-7 hari. 2. Adanya tanda-tanda pendarahan.
3.Thrombositopenia (platelet count <100.000mm3). 4. Adanya bukti peningkatan permebilitas
kapiler. Tanda-tanda manifestasi pendarahan yang paling sering termasuk test tourniquet
positif, pendarahan kulit (petechiae, hematom), epistaksis , pendarahan gusi, dan mikroskopis
hematuria. Gejala serius pendarahan lainnya seperti pendarahan vagina , hematemesis, melena
dan pendarahan intracranial. Sedangkan tanda tanda plasma leakage karena peningkatan
permeabilitas vascular setidaknya harus ada tanda-tanda satu dari berikut: 1. Peningkatan
hematokrit ≥20% diatas populasi rata-rata hematokrit sesuai umur dan gender. 2. Penurunan
hematokrit setelah dilakukan penggatian cairan ≥20% dari hematokrit awal. 3.Adanya pleural

3
effusion atau asites yang dideteksi oleh alat radiography atau alat imaging yang lain. 4. Adanya
hipoproteinemia dan hypoalbuminemia yang dideteksi pada hasil lab.(www.cdc.org)

Perbedaan utama adalah adanya renjatan yang khas pada DHF yang disebabkan
kebocoran plasma yang diduga karena proses immunologi, pada DF hal ini tidak terjadi
(Harikushartono et al., 2010). Perjalanan penyakit infeksi virus dengue sulit diramalkan. Pasien
yang masuk keadaan umumnya baik, dalam waktu singkat dapat memburuk dan tidak tertolong
karena masuk ke stadium DHF/DSS, namun beberapa kasus dijumpai pasien dengan DHF yang
awal sakitnya berat secara klinis dan laboratoris ternyata tidak jatauh pada stadium DSS.
Imunopatogenesis DHF dan DSS masih merupakan masalah yang kontroversial. (Yao-Lei et
al., 2008, Harikushartono et al., 2010). Derajat keparahan infeksi dengue bervariasi tergantung
dari umur individu, serotipe DENV yang menginfeksi, status imun, serta populasi genetik.
Banyaknya sitokin juga dipertimbangkan terlibat pada patogenesis penyakit ini (Priyadarshini
et al., 2010). Sitokin yang disekresi berasal dari respon imun alamiah dan adaptif yang
bertindak sebagai mediator inflamasi yang memacu kerusakan sel endotel. (Romero-Vega et
al., 2014).
Beberapa literatur yang ada, terdapat tiga komponen penting yang menginduksi
kekebalan tubuh yaitu 1) misregulation sel imun, 2)Antibody dependent enhancement (ADE)
yaitu antibodi non neutralizing heterologus yang tidak menetralisasi virus dengue dan
selanjutnya dapat memperparah kebocoran pembuluh darah serta meningkatkan produksi
sitokin, 3) aktivasi komplemen.. Ketiga sistem berinteraksi dan saling memperkuat untuk
menciptakan kondisi klinis yang berpotensi mengancam kehidupan selama infeksi dengue
(Nielsen, 2009). Monosit yang terinfeksi virus dengue akan melepas berbagai mediator seperti
interferon (IFN), interleukin (IL)-1, IL-6, IL-10, IL-12, tumor necrosis factor (TNF) dan
mediator inflamasi lainnya yang diduga berperan dalam berbagai manifestasi infeksi virus
dengue seperti demam, syok dan permeabilitas kapiler yang meningkat. Mediator inflamasi
yang dihasilkan oleh monosit akan menginduksi disfungsi sel endotel vaskular, sehingga terjadi
gangguan keseimbangan hemostasis. Perubahan hemostatik pada penderita DHF meliputi tiga
factor utama, yaitu kelainan vaskular, trombositopenia dan gangguan fungsi trombosit
(Patandianan et al., 2013). Banyaknya sitokin yang dilepaskan (badai sitokin) mencerminkan
perkembangan penyakit DHF/DSS. Kadar sitokin meningkat selama fase akut terutama pada
infeksi yang berat, meskipun dapat ditemukan juga pada pasien dengan manifestasi kilinis
ringan (Hottz et al., 2014). Sel T CD4+, akan berdiferensiasi menjadi T-helper (Th) 1 Th2 dan
T regulator (Treg) berdasarkan kemampuan mereka menghasilkan sitokin tertentu. Sel Th1

4
memproduksi IFNγ, IL-2 dan TNFβ. Sel Th2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6, IL-10 dan IL-13.
Sel Th1 mengarah pada infeksi yang ringan sedangkan sel Th2 mengarah ke beratnya penyakit
dengue (Chaturvedi, 2009). Beberapa tahun terakhir, penelitian menunjukkan kemungkinan
peran kuat IL-10 pada kejadian keparahan DHF, dimana didapatkan korelasi yang positif antara
kadar IL-10 dengan derajat keparahan klinis pada DHF. Penelitian yang dilakukan oleh Hung
et al (2004) menunjukkan kadar IL-10 lebih tinggi pada pasien dengan DHF dibandingkan
dengan DF dan meningkat secara signifikan pada pasien DSS (Hung et al., 2004). Interleukin
10 adalah sitokin yang dihasilkan oleh monosit, sel Th2, dan sel T regulator yang akan
mengaktivasi sel B untuk membentuk antibodi terhadap protein virus. Kompleks antigen
antibodi akan bereaksi silang dengan endotel vaskular sehingga menyebabkan peningkatan
permeabilitas vaskuler. Komplek antigen antibodi yang terbentuk juga mengaktivasi
komplemen untuk melepaskan komplemen C3a, C5a dan mediator lainnya untuk mengaktivasi
faktor koagulasi dan berkontribusi terhadap kerusakan endotel sehingga menyebabkan
peningkatan permeabilitas kapiler. Interleukin-10 juga berhubungan dengan penurunan fungsi
trombosit yang di picu oleh komplek antigen antibodi yang terbentuk sehingga IL-10 dapat
dicurigai sebagai salah satu sitokin yang berperan dalam perburukan klinis infeksi dengue
terjadi (Tauseef et al., 2016). Penurunan jumlah trombosit juga dihubungkan dengan
meningkatnya IL-10 pada fase akut pasien DF. Meningkatnya IL-10 pada fase akut yang
berhubungan dengan beratnya derajat keparahan DHF dapat dijadikan penanda potensial
keparahan untuk infeksi akut dengue (Anderson et al., 1997).
Lama perjalanan penyakit dengue yang klasik umumnya berlangsung selama 7 hari dan
terdiri atas 3 fase, yaitu fase demam yang berlangsung 3 hari (hari sakit ke-1 sampai dengan
hari ke-3), fase kritis, dan fase penyembuhan. Pada fase demam, anak memerlukan minum
yang cukup karena demam tinggi. Anak biasanya tidak mau makan dan minum sehingga dapat
mengalami dehidrasi, terlihat sakit berat, muka dapat terlihat kemerahan (flushing), dan
biasanya tanpa batuk dan pilek. Saat ini nilai hematokrit masih normal dan viremia berakhir
pada fase ini. Fase demam akan diikuti oleh fase kritis yang berlangsung pada hari ke-4 dan
ke-5 (24 - 48 jam), pada saat ini demam turun,sehingga disebut sebagai fase deffervescene.
Fase ini kadang mengecoh karena orangtua menganggap anaknya sembuh oleh karena demam
turun padahal anak memasuki fase berbahayaketikan kebocoran plasma menjadi nyata dan
mencapai puncak pada hari ke-5. Pada fase tersebut akan tampak jumlah trombosit terendah
dan nilai hematokrit tertinggi. Pada fase ini, organ-organ lain mulai terlibat. Meski hanya
berlangsung 24-48 jam, fase ini memerlukan pengamatan klinis dan laboratoris yang ketat.

5
Setelah fase kritis pada DBD, anak memasuki fase penyembuhan, kebocoran pembuluh darah
berhenti seketika, plasma kembali dari ruang interstitial masuk ke dalam pembuluh darah. Pada
fase ini, jumlah trombosit mulai meningkat, hematokrit menurun, dan hitung leukosit juga
mulai meningkat. Fase ini hanya berlangsung 1-2 hari tapi dapat menjadi fase berbahaya
apabila cairan intravena tetap diberikan dalam jumlah berlebih sehingga anak dapat mengalami
kelebihan cairan dan terlihat sesak. Pada hari-hari tersebut demam dapat meningkat kembali
tetapi tidak begitu tinggi sehingga memberikan gambaran kurva suhu seperti pelana kuda.
Seringkali anak diberikan antibitiotik yang tidak diperlukan. Pada fase ini anak terlihat riang,
nafsu makan kembali muncul, serta aktif seperti sebelum sakit. Berbeda dengan DHF, pada
DD, setelah fase demam tidak terjadi fase kritis/kebocoran plasma sehingga tidak tampak
perubahan pada pemeriksaan laboratorium,seperti peningkatan nilai hematokrit. Namun kadar
leukosit dapat menurun dan setelah 24-48 jam, jumlah leukosit dan trombosit akan meningkat
bertahap secara bermakna.
Seperti telah dipahami bahwa tanda dan gejala infeksi dengue tidak khas, sehingga
menyulitkan penegakan diagnosis. Menurut para pakar, “Dengue is one disease entity with
different clinical presentations and often with unpredictable clinical evolution and outcome”.1
Untuk membantu para klinisi, WHO tahun 1997 membuat panduan dalam buku berjudul
“Dengue guidelines for diagnosis, treatment, prevention, and control”. Panduan WHO 1997
merupakan panduan yang komprehensif dan sampai sekarang tetap dipergunakan di semua
negara endemis dengue, termasuk di Indonesia.2,3 Menggunakan panduan WHO 1997
tersebut, negara-negara di kawasan Asia Tenggara telah dapat menurunkan angka kematian
dari 1,18% pada tahun 1985 menjadi 0,79% di tahun 2009.4 Namun karena infeksi dengue
telah menyebar ke berbagai negara, semakin banyak pihak yang melaporkan sulitnya
penggunaan klasifikasi WHO 1997. Beberapa hal yang dipermasalahkan adalah kesulitan
memasukkan klasifikasi dengue berat ke dalam spektrum klinis, kesulitan menentukan derajat
penyakit karena tidak semua kasus disertai perdarahan, dan keinginan untuk menjaringkasus
dengue di saat terjadi kejadian luar biasa (KLB). Untuk itu, WHO WSPRO dan SEARO office
telah membuat klasifikasi dengue WHO 2009.1 Namun beberapa negara di Asia Tenggara
tidak menyetujui klasifikasi WHO 2009 dan membuat revisi klasifikasi WHO 2011.

Klasifikasi diagnosis WHO 1997


Dalam klasifikasi diagnosis WHO 1997, infeksi virus dengue dibagi dalam tiga spektrum klinis
yaitu undifferentiated febrile illness, demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue
(DBD). Dalam perjalanan penyakit infeksi dengue ditegaskan bahwa DBD bukan lanjutan dari

6
DD namun merupakan spectrum klinis yang berbeda. Perbedaan antara DD dan DBD adalah
terjadinya plasma (plasma leakage) pada DBD, sedangkan pada DD tidak . Selanjutnya DBD
diklasifikasikan dalam empat derajat penyakit yaitu derajat I dan II untuk DBD tanpa syok,
dan derajat III dan IV untuk sindrom syok dengue. Pembagian derajat penyakit tersebut
diperlukan sebagai landasan pedoman pengobatan. Namun, di lain pihak sejak beberapa tahun
banyak laporan dari negara-negara di kawasan Asia Tenggara, kepulauan di Pasifik, India, dan
Amerika Latin mengenai kesulitan dalam membuat klasifikasi infeksi dengue. Kesulitan terjadi
saat menentukan klasifikasi dengue berat (severe dengue) karena tidak tercakup di dalam
kriteria diagnosis WHO 1997. Jadi, kriteria WHO yang telah dipergunakan selama tiga puluh
tahun tersebut perlu dinilai kembali. Para pakar mengemukakan beberapa alasan mengapa
klasifikasi WHO 1997 harus direvisi. Pertama, saat ini infeksi telah menyebar ke banyak
negara dan melintasi benua. Apabila awalnya infeksi dengue hanya endemik di negaranegara
di kawasan Asia Tenggara, Asia Selatan, Pasifik, dan Amerika Latin, sekarang telah pula
dilaporkan kasus di kawasan Mediterania dan Afrika. Para klinisi yang menangani kasus
infeksi dengue di negara-negara tersebut mempunyai pengalaman yang berbeda-beda, terutama
dalam mempergunakan klasifikasi WHO 1997. Kedua, infeksi dengue mempunyai spectrum
manifestasi klinis yang luas, kadang kala sulit diramalkan baik secara klinis maupun
prognosisnya. Walaupun sebagian besar kasus infeksi dengue akan sembuh tanpa pengobatan,
adanya perembesan plasma dan perdarahan dapat mengakibatkan infeksi dengue berat dan
berakibat fatal. Para pakar yang berkecimpung dalam managemen dengue di kawasan WSPRO
dan SEARO WHO region menghimpun klinisi yang mengeluh kesulitan dalam membedakan
infeksi dengue ringan dengan infeksi dengue berat. Seperti telah dipahami bahwa tata laksana
dan prognosis dengue ringan dan dengue berat berbeda. Ketiga, peran triase, pengobatan yang
sesuai, dan keputusan pengobatan mempengaruhi pembuatan klasifikasi dengue yang
baru.Klasifikasi baru tersebut juga diharapkan dapat membantu penegakan diagnosis sedini
mungkin dan tata laksana saat terjadi KLB. Untuk menjaring kasus dengue pada saat KLB,
diperlukan klasifikasi yang lebih luas dan longgar. Keempat, ditemukan beberapa laporan akan
kesulitan dalam penggunaan klasifikasi WHO 1997, khususnya pengelompokan ke dalam
derajat I, II, III, dan IV. Selain itu, pengelompokan menjadi sulit apabila dijumpai dengue berat
karena tidak dapat dikelompokkan ke dalam klasifikasi WHO 1997. Untuk memperkuat
dugaan tersebut maka dilakukan studi multisenter di negara-negara endemik dengue.

7
Klasifikasi Diagnosis Dengue WHO 2009
Latar belakang dan rasional pembuatan klasifikasi WHO 2009 telah didukung dengan studi
multisenter dalam Dengue Control study (DENCO study) yang mencakup negara-negara
endemis dengue di Asia Tenggara dan Amerika Latin. Konsensus telah dilaksanakan pada
tangal 29 September sampai 1 Oktober 2008 yang dihadiri oleh 50 pakar dari 25 negara.
Berdasarkan laporan klinis DENCO study yang mempergunakan pemeriksaan klinis dan uji
laboratorium sederhana, klasifikasi infeksi dengue terbagi menjadi dua kelompok menurut
derajat penyakit, yaitu dengue dan severe dengue; dengue dibagi lebih lanjut menjadi dengue
dengan atau tanpa warning signs (dengue ± warning signs). Konsensus para pakar tersebut
telah diuji coba di negara masing-masing dan dipublikasikan dalam jurnal ilmiah.
Dengue without warning signs disebut juga sebagai probable dengue, sesuai dengan
demam dengue dan demam berdarah dengue derajat I dan II pada klasifikasi WHO 1997. Pada
kelompok dengue without warning signs, perlu diketahui apakah pasien tinggal atau baru
kembali dari daerah endemic dengue. Diagnosis tersangka infeksi dengue ditegakkan apabila
terdapat demam ditambah minimal dua gejala berikut: mual disertai muntah ruam (skin rash)
nyeri pada tulang, sendi, atau retro-orbital uji torniket positif, leukopenia, dan gejala lain yang
termasuk dalam warning signs. Pada kelompok dengue without warning signs tersebut perlu
pemantauan yang cermat untuk mendeteksi keadaan kritis.
Dengue with warning signs, secara klinis terdapat gejala nyeri perut, muntah terus-
menerus, perdarahan mukosa, letargi/gelisah, pembesaran hati ≥2cm, disertai kelainan

8
parameter laboratorium, yaitu peningkatan kadar hematokrit yang terjadi bersamaan dengan
penurunan jumlah trombosit dan leukopenia. Apabila dijumpai leukopenia, maka diagnosis
lebih mengarah kepada infeksi dengue. Pasien dengue tanpa warning signs dapat dipantau
harian dalam rawat jalan. Namun apabila warning signs ditemukan maka pemberian cairan
intravena harus dilakukan untuk mencegah terjadi syok hipovolemik. Warning signs berarti
perjalanan penyakit yang sedang berlangsung mendukung ke arah terjadinya penurunan
volume intravaskular. Hal ini menjadi pegangan bagi klinisi di tingkat kesehatan primer untuk
mendeteksi pasien risiko tinggi dan merujuk mereka ke tempat perawatan yang lebih lengkap
fasilitasnya. Pasien dengan warning signs harus diklasifikasi ulang apabila dijumpai salah satu
tanda severe dengue. Di samping warning signs, klinisi harus memperhatikan kondisi klinis
yang menyertai infeksi dengue seperti usia bayi, ibu hamil, hemoglobinopati, diabetes mellitus,
dan penyakit penyerta lain yang dapat menyebabkan gejala klinis dan tata laksana penyakit
menjadi lebih kompleks.

Severe dengue
Infeksi dengue diklasifikasikan sebagai severe dengue apabila terdapat severe plasma leakage
(perembesan plasma hebat), severe bleeding (perdarahan hebat), atau severe organ impairment
(keterlibatan organ yang berat). Severe plasma leakage akan menyebabkan syok hipovolemik
dengan atau tanpa perdarahan (pada klasifikasi WHO 1997 dimasukkan dalam sindrom syok
dengue) dan atau penimbunan cairan disertai distres respirasi. Severe bleeding didefinisikan
bila terjadi perdarahan disertai kondisi hemodinamik yang tidak stabil sehingga memerlukan
pemberian cairan pengganti dan atau transfusi darah. Yang dimaksud dengan perdarahan
adalah semua jenis perdarahan, seperti hematemesis, melena, atau perdarahan lain yang dapat
mengancam kehidupan.

New Dengue Case Classification


Severe organ involvement, termasuk gagal hati, inflamasi otot jantung (miokarditis),
keterlibatan neurologi (ensefalitis), dan lain sebagainya. Pengelompokan severe dengue sangat
diperlukan untuk kepentingan praktis terutama dalam menentukan pasien mana yang
memerlukan pemantauan ketat dan mendapat pengobatan segera. Hal ini diperlukan terutama
dalam KLB (system triase sangat dianjurkan). Hal lain yang sangat penting adalah
mempertahankan sistem surveilans internasional yang konsistenterutama untuk pemantauan
apabila uji klinis vaksin dengue di komunitas telah dilakukan. Kesimpulan pertemuan para

9
pakar di Jenewa adalah disusunnya klasifikasi kasus dengue dan tingkat derajat penyakit
dengan berpedoman terhadap hasil DENCO study.

Klasifikasi Diagnosis Dengue WHO 2011


Setelah klasifikasi diagnosis dengue WHO 2009 disebarluaskan, maka beberapa negara di Asia
Tenggara mengadakan evaluasi kemungkinan penggunaannya. Ternyata klasifikasi WHO
2009 belum dapat diterima seluruhnya untuk menggantikan klasifikasi 1997, terutama untuk
kasus anak. Terdapat perbedaan mendasar pada kedua klasifikasi tersebut, yaitu spektrum
klinis infeksi dengue tidak dibedakan antara kelompok spektrum dengan perembesan plasma
(DBD, DSS) dan tanpa perembesan plasma (DD). Kedua, batasan untuk dengue without
warning signs terlalu luas sehingga akan menyebabkan over-diagnosis. Namun, diakui bahwa
perlu dibuat spektrum klinis terpisah dari DBD, yaitu expanded dengue syndrome yang terdiri
dari isolated organopathy dan unusual manifestations. Berdasarkan hal tersebut, klasifikasi
diagnosis dengue WHO 2011 disusun hampir sama dengan klasifikasi diagnosis WHO 1997,
namun kelompok infeksi dengue simtomatik dibagi menjadi undifferentiated fever, DD, DBD,
dan expanded dengue syndrome terdiri dari isolated organopathy dan unusual manifestation
(Gambar 3). Klasifikasi yang merupakan revisi edisi sebelumnya dimuat dalam buku WHO
“Comprehensive guidelines for prevention and control of dengue and dengue haemorrhagic
fever, revised and expanded edition” tahun 2011.

10
Gambar 2. Dengue case classification and level of severity
Dikutip dari: Dengue Guideline for Diagnosis, Treatment, Prevention, and Control. New
edition, 2009

Expanded Dengue Syndrome

Kasus infeksi dengue dengan unusual manifestation tidak jarang terjadi pada kasus anak.
Unusual manifestation atau manifestasi yang tidak lazim,pada umumnya berhubungan dengan
keterlibatan beberapa organ seperti hati, ginjal, jantung, dan gangguan neurologis pada pasien
infeksi dengue (Tabel 1). Kejadian unusual manifestation infeksi dengue tersebut dapat pula
terjadi pada kasus infeksi dengue tanpa disertai perembesan plasma.

11
.4

12
Pada umumnya unusual manifestation berhubungan dengan ko-infeksi, ko-morbiditas, atau
komplikasi syok yang berkepanjangan (prolonged shock) disertai kegagalan organ (organ failure). Pada
ensefalopati seringkali dijumpai gejala kejang, penurunan kesadaran, dan transient paresis. Ensefalopati
dengue dapat disebabkan oleh perdarahan atau oklusi (sumbatan) pembuluh darah. Sayangnya otopsi
di Indonesia tidak dapat dikerjakan sehingga penyebab yang sebenarnya sulit dibuktikan. Selain itu,
terdapat laporan bahwa virus dengue dapat melewati sawar darah-otak dan menyebabkan ensefalitis.
Infeksi dengue berat dapat disebabkan oleh kondisi ko-morbid pada pasien seperti usia bayi, obesitas,
lansia, ibu hamil,rulkus peptikum, menstruasi, penyakit hemolitik, penyakit jantung bawaan, penyakit
kronis seperti DM, hipertensi, asma, gagal ginjal kronik, sirosis, pengobatan steroid, atau NSAID.

13
TERAPI

Pengobatan kasus dengue menurut klasifikasi diagnosis WHO 2011 tidak jauh berbeda
dengan klasifikasi WHO 1997 yang selama ini dipergunakan di Indonesia. Dalam tata laksana
kasus dengue terdapat dua keadaan klinis yang perlu diperhatikan yaitu
• Sistem triase yang harus disosialisasikan kepada dokter yang bertugas diunit gawat
darurat atau puskesmas. Dalam sistem triase tersebut, dapatdipilah pasien dengue
dengan warning signs dan pasien yang dapat berobat jalan namun memerlukan
observasi lebih lanjut (Gambar 4).
• Tata laksana kasus sindrom syok dengue (DSS) dengan dasar pemberian cairan yang
adekuat dan monitor kadar hematokrit. Apabila syok belum teratasi selama 2 x 30
menit, pastikan apakah telah terjadi perdarahan dan transfusi PRC merupakan pilihan
(Gambar 5).

14
15
Pada tabel dibawah ini tertera beberapa pemeriksaan yang perlu dilakukan apabila kita
menghadapi kasus dengue berat yang tidak tampak membaik walaupun pemeberian cairan telah
adekuat sesuai pedoman. Maka perlu dilakukan pemeriksaan analisis gas darah, evaluasi kadar
hematokrit, kadar elektrolit termasuk kalsium, kadar gula darah dalam serum, dan segera
dikoreksi apabila terdapat kelainan.

Infeksi virus dengue pada manusia tidak selalu mengakibatkan demam berdarah
dengue (DBD), melainkan mempunyai spektrum manifestasi klinis yang luas, mulai dari
asimtomatik, demam dengue (DD), Dengue Hemorrhagic Fever, manifestasi yang tidak lazim
(unusual manifestations) sampai Demam berdarah dengue disertai syok (dengue shock
syndrome atau DSS). Gambaran manifestasi klinis yang bervariasi ini memperlihatkan sebuah
fenomena gunung es dengan kasus DHF dan DSS yang dirawat di rumah sakit sebagai puncak
gunung es yang terlihat di atas permukaan laut, sedangkan kasus demam dengue merupakan
dasarnya.

16
BAB II

LAPORAN KASUS

1. Identitas Pasien
a. Nama : Fajar Firmansyah
b. Usia : 12 tahun
c. Berat Badan : 28 kg
d. Agama : Islam
e. Jenis Kelamin : Laki-laki
f. Alamat : jl. Sindujoyo VII/14 Gresik
g. No RM : 436523
h. Tanggal MRS : 16 Maret 2018

2. Anamnesis
Keluhan utama : Demam
Riwayat Penyakit sekarang :
Pasien datang dengan keluhan demam sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Demam
dirasakan awalnya langsung tinggi mendadak. Demam naik turun, dan menggigil
sepanjang hari. Selain demam pasien juga merasakan pusing dan nyeri perut. Selama
sakit nafsu makan pasien menurun. BAK dan BAB dalam batas normal.
Nyeri pada persendian, gusi berdarah, bab darah, mimisan disangkal.

Riwayat Pengobatan :
Pasien sebelumnya sudah berobat ke klinik (13 Maret 2018) dan mendapatkan obat.
Obat yang didapat yaitu penurun panas, obat pusing dan antibiotic. Pasien tidak ingat
nama obatnya dan keluhan tidak membaik.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Pasien tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya. Riwayat penyakit kronis lainnya
disangkal.

17
Riwayat Keluarga :
Pasien merupakan anak pertama dari dua bersaudara, adik pasien berusia 2 tahun.
Pasien sering bermain sepak bolabersama teman-temannya. Tetangga pasien ada
memiliki keluhan serupa seperti pasien.
Riwayat penyakit tertentu di keluarga disangkal

Riwayat Imunisasi:
Imunisasi dasar lengkap

Riwayat Kehamilan : -

Riwayat Kehamilan dan ANC :


persalinan spontan ditolong dokter, dengan BB 2900 g, tidak didapatkan kuning, biru,
maupun pucat.

Riwayat Tumbuh Kembang :


Pertumbuhan dan perkembangan sesuai dengan anak seusianya

3. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Tampak Lemah
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah. : 100/60 mmHg
Nadi : 96 x/min (teratur, kuat angkat)
Frekuensi Nafas : 20x/min (teratur)
Suhu : 37,4 celcius (aksila)

Kepala-leher:
Ubun ubun besar menutup
Anemi (-) ikterus (-) cyanosis (-) dyspnea (-)
Pernapasan cuping hidung (-)
Faring hiperemi (-) T1/T1

18
Thoraks:
Inspeksi
Bentuk dan Gerak : Normochest, Simetris, retraksi (-)
Tipe pernafasan : Thoracal abdominal
Palpasi
- Pergerakan dada simetris
- Nyeri tekan (-/-)
- Suara fremitus taktil kanan = suara fremitus taktil kiri
Perkusi
Sonor (+/+)
Auskultasi
Vesikuler (+/+), rhonki(-/-), wheezing (-/-)

Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis terlihat pada ICS V Linea Axillaris Anterior sinistra
Palpasi : Ictus Cordis teraba di ICS V Linea Axillaris Anterior Sinistra
Perkusi : Batas jantung atas : di ICS III
Batas jantung kanan : di Linea Parasternalis Dekstra
Batas jantung kiri : di ICS V Linea axilaris anterior sinistra
Auskultasi :

Abdomen
Inspeksi :Distensi (-)
Palpasi :Soepel (+), nyeri tekan (-) , undulasi (-), hepar tidak teraba, lien tidak
teraba, ginal tidak teraba.
Perkusi :Timpani (+), shifting dullness (-) undulasi (-)
Auskultasi. :Peristaltik usus kesan normal

Genitalia : Tidak dilakukan pemeriksaan

Ekstremitas
Akral hangat kering pucat, CRT < 2 detik

19
Spine
Tidak ada kelainan

4. Laboratorium dan Usulan Pemeriksaan


Hb: 12,3
Leukosit: 4,25
Trombosit: 124.000
Eritrosit: 4,86
Hematokrit: 38,2

5. Diagnosis Kerja
Dengue Fever day 3

6. Tatalaksana
IVFD RL 1500cc/24jam
Injeksi Santagesik 4x400 mg
Injeksi Ranitidine 2x30 mg
Injeksi Ondansentron 3x3 mg
PO : Psidii syr. 1x cth 1
Planning : DL Serial
Monitoring : Keluhan, TTV, Tanda-tanda pendarahan

Follow Up Harian
Tanggal / Jam Asesmen Pasien Instruksi
17 Maret 2018 S : demam (+) lemas (+) Advis dr. Tri Sp.A
18.00 O : KU cukup, GCS 456 IVFD RL 1500cc/ 24jam
TD 100/60 mmHg Injeksi Santagesik
Nadi 100x/menit, regular 4x400 mg
Laju Napas 20x/menit Injeksi Ranitidine
Suhu 37,8 Celcius 2x30 mg
SpO2 100%

20
Laboratorium Injeksi Ondansentron
Hb 11,8 3x3 mg
Leu 2,10 PO : Psidii syrup 1x1 cth
PLT 84 DL serial
HCT 35,7%
Eri 4,60
Widal
Salmonella Typhi O: 1/80
Salmonella paratyphi BH:
1/80
A: Dengue Fever hari ke 4
17 Maret 2018 S : demam (+) Ekstra infus Sanmol 300mg
20.00 O : KU cukup, GCS 456 Loading RL 500cc/2jam
TD 90/70 mmHg Telp dr. Tri Sp.A
Nadi 109x/menit, regular (tidak terangkat)
Laju Napas 20x/menit
Suhu 39,1 Celcius
SpO2 97%
A: Dengue Fever hari ke 4
18 Maret 2018 S : pusing (+) nyeri perut(+) Advis dr. Tri Sp.A
21.00 O : KU cukup, GCS 456 IVFD RL 750cc/ 24jam
TD 100/60 mmHg Injeksi Santagesik
Nadi 90x/menit, regular 4x400 mg
Laju Napas 20x/menit Injeksi Ranitidine
Suhu 36,1 Celcius 2x30 mg
SpO2 98% Injeksi Ondansentron
Nyeri tekan 3x3 mg
epigastrium (+) PO :
Laboratorium Psidii syrup 1x1 cth
Hb 12 Sucralfat syrup 3 cth 11/2
Leu 1,76 DL serial
PLT 25
HCT 36,9%

21
Eri 4,69

A: Dengue Fever hari ke 5


19 Maret 2018 S : demam (-) nyeri perut Planning:
20.30 (+) Loading RL 500cc/3jam
O : KU cukup, GCS 456 Telp dr. Tri Sp.A
TD 90 palpasi (tidak terangkat)
Nadi 87x/menit,
iregular
Laju Napas 20x/menit
Suhu 36,1 Celcius
SpO2 98% dengan
O2 nasal 2 lpm
Abdomen distended +
BU + meningkat
Nyeri tekan
epigastrium (+) &
hipokondrium kanan
(+)
Laboratorium
Hb 13,8
Leu 3,58
PLT 48
HCT 39,9%
Eri 5,40
GDA 117

A: Dengue Fever hari ke 6


19 Maret 2018 S : demam (-) nyeri perut Planning:
21.45 (+) DL CITO
O : KU cukup, GCS 456 EKG
TD 90 palpasi Inj. Kalmethasone 3x ½ amp
Pindah HCU

22
Nadi 75x/menit, Lain-lain tetap
iregular
Laju Napas 20x/menit
Suhu 36,6 Celcius
SpO2 98% dengan
O2 nasal 2 lpm
Abdomen distended (+)
BU (+) meningkat
Nyeri
tekan epigastrium (+)
dan
hipokondrium kanan
(+)
Laboratorium
Hb 13,8
Leu 3,58
PLT 48
HCT 39,9%
Eri 5,40
GDA 117

A: Dengue Fever hari ke 6

23
Tanggal 19 Maret 2018
Dilakukan pemeriksaan EKG

Tanggal / Jam Asesmen Pasien Instruksi


19 Maret 2018 S : demam (-) nyeri perut Advis dr. Tri, SpA :
22.30 (+) IVFD RL 10 kgBB/jam
O : KU cukup, GCS 456 dilanjutkan
TD 90 palpasi IVFD RL 7 kgBB/jam
Nadi 75x/menit, Dilanjutkan
iregular IVFD RL 5 kgBB/jam
Laju Napas 20x/menit Dilanjutkan
Suhu 36,5 Celcius IVFD RL 3 cc/KgBB/jam

24
SpO2 98% dengan Maintenance RL 3
O2 nasal 2 lpm cc/KgBB/jam dalam 24 jam
Abdomen distended (+)
BU (+) meningkat Injeksi santagesic k/p
Nyeri Injeksi ranitidine 2 x 25 mg
tekan epigastrium (+) Injeksi ondansetron k/p
dan Injeksi kalmethasone 3 x ½
hipokondrium kanan amp
(+) Po : Psidii 1 x cth 1
Laboratorium Sucralfat 3 x cth 1 ½
Hb 13,3 DL serial, thorax
Leu 4,39
PLT 25
HCT 40,3%
Eri 5,03

A: DHF Grade II - III

25
Tanggal 20 Maret 2018
Dilakukan Foto Thorax

26
Tanggal / Jam Asesmen Pasien Instruksi
20 Maret 2018 S : demam (-) nyeri perut Advis dr. Tri, SpA :
20.00 (+) IVFD RL 1000 cc/24 jam
O : KU cukup, GCS 456 Injeksi santagesic k/p
TD 93/66 Injeksi ranitidine 2 x 25 mg
Nadi 75x/menit, Injeksi ondansetron k/p
iregular Injeksi kalmethasone 3 x ½
Laju Napas 25x/menit amp
Suhu 34,6 Celcius Po : Psidii 1 x cth 1
SpO2 98% dengan Sucralfat 3 x cth 1 ½
O2 nasal 2 lpm DL serial
Abdomen distended (+)
BU (+) meningkat
Nyeri tekan
epigastrium (+) dan
hipokondrium kanan
(+)
Laboratorium
Hb 13,3
Leu 3,76
PLT 22
HCT 40,9%
Eri 5,25

A: DHF Grade II - III


21 Maret 2018 S : demam (-) nyeri perut Advis dr. Tri, SpA :
06.30 (+) IVFD RL 1000 cc/24 jam
O : KU cukup, GCS 456 Injeksi santagesic k/p
TD 93/66 Injeksi ranitidine 2 x 25 mg
Nadi 75x/menit, reguler Injeksi ondansetron k/p
Laju Napas 20x/menit Injeksi kalmethasone 3 x ½
Suhu 36,5 Celcius amp

27
SpO2 98% dengan Po : Psidii 1 x cth 1
O2 nasal 2 lpm Sucralfat 3 x cth 1 ½
Nyeri DL serial
tekan epigastrium (+)
dan
hipokondrium kanan
(+)
Laboratorium
Hb 13,3
Leu 3,76
PLT 22
HCT 40,9%
Eri 5,25

A: DHF Grade II - III

21 Maret 2018 S : demam (-) nyeri perut (-) Advis dr. Tri, SpA :
12.30 O : KU cukup, GCS 456 IVFD RL 500 cc/24 jam
TD 93/64 Lain – lain tetap
Nadi 86x/menit
Laju Napas 25x/menit
Suhu 36 Celcius
SpO2 100% dengan
O2 nasal 2 lpm
Nyeri
tekan (-)
Laboratorium
Hb 13,5
Leu 4,48
PLT 72
HCT 41%
Eri 5,35

28
A: DHF Grade II - III
22 Maret 2018 S : demam (-) nyeri perut (-) Advis dr. Tri, SpA :
20.30 O : KU cukup, GCS 456 IVFD RL 500 cc/24 jam
TD 100/80 Injeksi santagesic k/p
Nadi 86x/menit Injeksi ranitidine 2 x 25 mg
Laju Napas 20x/menit Injeksi ondansetron k/p
Suhu 36 Celcius Injeksi kalmethasone 3 x ½
SpO2 100% amp
Nyeri Po : Psidii 1 x cth 1
tekan (-) Sucralfat 3 x cth 1 ½
Laboratorium
Hb 11,9
Leu 7,27
PLT 117
HCT 36%
Eri 4,64

A: DHF Grade II - III


23 Maret 2018 S : demam (-) nyeri perut (-) ACC KRS
20.00 O : KU cukup, GCS 456
TD 100/80
Nadi 86x/menit
Laju Napas 20x/menit
Suhu 36 Celcius
SpO2 100%
Nyeri
tekan (-)
Laboratorium (22/3/2018)
Hb 11,9
Leu 7,27
PLT 117

29
HCT 36%
Eri 4,64

A: DHF Grade II - III

7. Prognosis
Dubia ad Bonam

8. Edukasi
Prinsip konseling pada demam berdarah dengue adalah memberikan pengertian
kepada pasien dan keluarganya tentang perjalanan penyakit dan tata laksananya,
sehingga pasien dapat mengerti bahwa tidak ada obat/medikamentosa untuk
penanganan DBD, terapi hanya bersifat suportif dan mencegah perburukan penyakit.
Penyakit akan sembuh sesuai dengan perjalanan alamiah penyakit.
Modifikasi gaya hidup seperti melakukan kegiatan 3M menguras, mengubur,
menutup. Meningkatkan daya tahan tubuh dengan mengkonsumsi makanan bergizi
dan melakukan olahraga secara rutin.

30
BAB IV
ANALISA KASUS

Telah dilakukan pemeriksaan pada anak laki-laki usia 12 tahun dengan BB 28 kg di RS


Grha Husada Gresik pada tanggal 16 Maret 2018 dengan keluhan utama demam. Demam
dirasakan sudah 3 hari, demam awalnya langsung tinggi dan naik turun. Keluhan tambahan
berupa nyeri perut dan pusing. Dari pemeriksaan fisik keadaan umum pasien tampak lemah,
TD: 100/60, Nadi 96x / menit regular, RR 20x/menit, suhu 37,4. Kemudian dilakukan
pemeriksaan laboratorium dan didapatkan hasil HB 12,3 Leukosit 4.250 PLT 124 Eritrosit 4,86
dan HCT 38,2 %.
Berdasarkan teori, lama perjalanan penyakit dengue yang klasik umumnya berlangsung
selama 7 hari dan terdiri atas 3 fase, yaitu fase demam yang berlangsung 3 hari (hari sakit ke-
1 sampai dengan hari ke-3), fase kritis, dan fase penyembuhan. Pada fase demam, anak
memerlukan minum yang cukup karena demam tinggi. Anak biasanya tidak mau makan dan
minum sehingga dapat mengalami dehidrasi, terlihat sakit berat, muka dapat terlihat kemerahan
(flushing), dan biasanya tanpa batuk dan pilek. Saat ini nilai hematokrit masih normal dan
viremia berakhir pada fase ini. Fase demam akan diikuti oleh fase kritis yang berlangsung pada
hari ke-4 dan ke-5 (24 - 48 jam), pada saat ini demam turun,sehingga disebut sebagai fase
deffervescene. Fase ini kadang mengecoh karena orangtua menganggap anaknya sembuh oleh
karena demam turun padahal anak memasuki fase berbahaya ketika kebocoran plasma menjadi
nyata dan mencapai puncak pada hari ke-5. Pada fase tersebut akan tampak jumlah trombosit
terendah dan nilai hematokrit tertinggi. Pada fase ini, organ-organ lain mulai terlibat. Meski
hanya berlangsung 24-48 jam, fase ini memerlukan pengamatan klinis dan laboratoris yang
ketat. Setelah fase kritis pada DBD, anak memasuki fase penyembuhan, kebocoran pembuluh
darah berhenti seketika, plasma kembali dari ruang interstitial masuk ke dalam pembuluh
darah. Pada fase ini, jumlah trombosit mulai meningkat, hematokrit menurun, dan hitung
leukosit juga mulai meningkat. Fase ini hanya berlangsung 1-2 hari tapi dapat menjadi fase
berbahaya apabila cairan intravena tetap diberikan dalam jumlah berlebih sehingga anak dapat
mengalami kelebihan cairan dan terlihat sesak. Pada hari-hari tersebut demam dapat meningkat
kembali tetapi tidak begitu tinggi sehingga memberikan gambaran kurva suhu seperti pelana
kuda.
Sesuai dengan keadaan pasien diatas maka terapi yang diberikan adalah terapi cairan
dan terapi simptomatik selama fase penyakit berlangsung. Pada pasien ini saat hari ke lima
demam didapatkan penurunan trombosit sampe dengan 25.000 harusnya angka normal

31
trombosit diatas 100.000. Keesokan harinya didapatkan beberapa ketidak stabilan kondisi
pasien seperti penurunan TD menjadi 90 per palpasi dan nadi 75x per menit irreguler. Dengan
pemeriksaan lab Hb 13,8 Leu 3,58 PLT 48.000 HCT 39,9% Eri 5,40 yang menunjukkan adanya
penurunan leukosit dan trombosit serta peningkatan hematokrit yang mengarah ke
hemokonsentrasi.
Penurunan tekanan darah merupakan manifestasi lambat dari sindrom syok dengue,
yang berarti system homeostasis terganggu, kelainan hemodinamik berat, dan telah terjadi
dekompesasi. Sindrom syok dengue berlanjut dengan kegagalan mekanisme homeostasis.
Efektivitas dan integritas sistem kardiovaskular rusak, perfusi miokard dan curah jantung
menurun, sirkulasi makro dan mikro terganggu, terjadi iskemia jaringan, kerusakan fungsi sel
secara progresif dan ireversibel, sehingga nantinya dapat terjadi kerusakan sel dan organ yang
dapat menyebabkan kematian. Penurunan tekanan darah dan nadi ini biasanya merupakan
tanda-tanda terakhir pada pasien shock. Kita juga harus mencari apakah ada tanda-tanda
pendarahan yang muncul pada kulit atau tempat lainnya. Selain itu kita juga harus mencari
bukti meningkatnya permeabilitas kapiler yang biasanya menyebabkan efusi pleura, asites atau
hemokonsentrasi. Pada pemeriksaan fisik pasien ini tidak didapatkan adanya asites namun
memang didapatkan adanya distended abdomen dan meningkatnya bising usus. Pada pasien ini
juga dilakukan foto thorax namun tidak didapatkan hasil efusi pleura. Untuk hemokonsentrasi
pada pasien ini di dapatkan HCT sebesar 40,9% dimana akan dinyatakan hemokonsentrasi bila
ada kenaikan hematokrit >20% dari hematokrit yang seharusnya. Pada saat ini didapatkan
tanda-tanda ketidak stabilan tanda vital dan tanda-tanda syok (dhf grade III) kemudian
dilakukan terapi pemberian nasal O2 dengan 2 lpm dan pemberian cairan yang secara berturut
turut mulai dari 10ml/kgBB/jam kemudian 7ml/kgBB/jam kemudian 5ml/kgBB/jam kemudian
3ml/kgBB/jam sebelum akhirnya jumlah ini dikurangi untuk menjaga agar akses vena tetap
terbuka. Pada pasien ini juga dilakukan pemeriksaan EKG dan didapatkan kesan ada
pemanjangan PR interval pada lead II yang menunjukkan AV Block hal tersebut kemungkinan
dapat terjadi karena peningkatan permebialitas kapiler yang kemudian menjadi plasma leakage,
hemokonsentrasi, hypovolemia kemudian membuat berkurangnya venous return, preload
miokard, volume sekuncup dan curah jantung sehingga terjadi disfungsi sirkulasi dan
penurunan perfusi organ dan iskemia jaringan.

32
DAFTAR PUSTAKA

World Health Organization. Dengue, guidelines for diagnosis, treatment, prevention,


and control. New edition, 2009. World Health Organization (WHO) and Special Program for
Research and Training in Tropical Diseases (TDR). France: WHO; 2009.

Hadinegoro SR. Tata laksana demam dengue/demam berdarah dengue. Dalam:


Hadinegoro SR. Satari HI, penyunting. Demam berdarah dengue. Naskah lengkap pelatihan
bagi pelatih dokter spesialis anak & spesialis penyakit dalam, dalam tata laksana kasus DBD.
Ed ke-1. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1998. h. 82-137.

UKK Infeksi dan Pediatri Tropis IDAI. Infeksi virus dengue. Dalam: Sudarmo SPS,
Garna H, Hadinegoro SR, Satari HI, penyunting. Buku ajar infeksi & pediatri tropis. Ed ke-2.
Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2008. h. 155-81.

World Health Organization. Comprehensive guidelines for prevention and control of


dengue and dengue haemorrhagic fever. Revised and expanded edition. New Delhi: Regional
office for South-East Asia; 2011.

World Health Organization. Dengue, guidelines for diagnosis, treatment, prevention,


and control. Geneva: World Health Organization; 1997.

Hadinegoro SR. The revised WHO dengue case classification: does the system need
to be modified? Paediatr and Inter Child Health. 2012;32:32-7.

Citraresmi E, Hadinegoro SR, Akib AAP. Diagnosis dan tata laksana demam
berdarah dengue pada kejadian luar biasa tahun 2004 di enam rumah sakit di Jakarta. Sari
Pediatri. 2007;8:8–14.

Bandyopadhyay S, Lum LC, Kroeger A. Classifying dengue: a review of the


difficulties in using the WHO case classification for dengue haemorrhagic fever. Trop Med
Int Health. 2006;11:1238–55.

Balmaseda A, Hammond SN, Perez MA, Cuadra R, Solano S, Rocha J, dkk. Short
report: assessment of the world health organization scheme for classification of dengue
severity in Nicaragua. Am J Trop Med Hyg. 2006;76 :1059-62.

Deen JL, Haris E, Wills B, Balmaseda A, Hammond SN, Rocha C, dkk. The WHO
dengue classification and case definition: time for a reassessment. Lancet. 2006;368:170-3.

Barniol J, Gaczkowski R, Barbato EV, da Cunha RV, Laksono IS, Lum CS, dkk.
Usefulness and applicability of the revised dengue case classification by disease: multi-centre
study in 18 countries. BMC Infect Dis. 2011;11:106-11.

World Health Organization. Severe dengue [diakses tanggal 27 Mei 2012].


Diunduh dari http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs117/en/ .

33
Gulati S, Maheswari A. Atypical manifestations of dengue. Trop Med Int Health.
2007;12:1087-95.

https://www.cdc.gov/dengue/resources/denguedhf-information-for-health-care-
practitioners_2009.pdf

34

Anda mungkin juga menyukai