Disusun Oleh:
dr. TM JAMIL
Pendamping:
dr. Syaiful Badri
PUSKESMAS REREBE
PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA (PIDI)
KABUPATEN GAYO LUES, PROVINSI ACEH
2022
1. LEMBAR PENGESAHAN
Riadussalihin, Skm
Pembina TK. 1
NIP. 19750221 199503 1 002
ii
2. KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehinga penulis dapat menyelesaikan mini
project ini, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan Program Dokter
Internship Indonesia.
iii
Akhir kata, penulis sadar bahwa Mini Project ini masih jauh dari sempurna
disebabkan berbagai keterbatasan yang penulis miliki. Untuk itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk menjadi
perbaikan di masa yang akan datang. Semoga mini project ini dapat berguna bagi
kita semua.
Penulis
iv
3. DAFTAR ISI
I. LATAR BELAKANG
A. Pendahuluan .................................................................................... 3
B. Rumusan Masalah ........................................................................... 8
C. Tujuan Penelitian ............................................................................ 8
D. Manfaat Penelitian .......................................................................... 8
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi ............................................................................................. 10
B. Epidemiologi ................................................................................... 10
C. Etiologi ............................................................................................. 11
D. Gejala Klinis .................................................................................... 12
E. Penegakan Diagnosis ...................................................................... 13
F. Klasifikasi ........................................................................................ 15
G. Penatalaksanaan ............................................................................. 17
H. Prognosis .......................................................................................... 21
III. METODE PENELITIAN
A. Metode ............................................................................................. 23
B. Pengumpulan Data ......................................................................... 25
C. Tata Urutan Kerja .......................................................................... 26
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Profil Puskesmas .............................................................................. 27
B. Hasil dan Pemnbahasan .................................................................. 30
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ....................................................................................... 35
B. Saran ................................................................................................. 35
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 37
LAMPIRAN ................................................................................................... 39
v
4. BAB 1
LATAR BELAKANG
A. Pendahuluan
Kesehatan jiwa adalah kondisi dimana seorang individu dapat berkembang
secara fisik, mental, spiritual, dan sosial, sehingga individu menyadari
kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif,
serta mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya. Orang Dengan
Gangguan Jiwa (ODGJ) adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran,
perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam sekumpulan gejala dan atau
perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan
hambatan dalam menjalankan fungsi luhur sebagai manusia dalam keseharian
(seperti pekerjaan dan sosial). Gangguan jiwa merupakan diagnosis, berbeda
dengan masalah kesehatan jiwa. Pada masalah kesehatan jiwa mungkin saja
terdapat gejala, tetapi bukan kumpulan gejala lengkap, tidak berlangsung lama,
dan belum menimbulkan gangguan fungsi sehari-hari. Sehingga, Orang Dengan
Masalah Kejiwaan (ODMK) merupakan orang yang mempunyai masalah fisik,
mental, sosial, pertumbuhan dan perkembangan, dan/atau kualitas hidup sehingga
memiliki risiko mengalami gangguan jiwa (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2017).
Data World Health Organization (2016) menunjukkan terdapat sekitar 35 juta
orang menderita depresi, 60 juta orang terkena bipolar, 21 juta terkena
skizofrenia, serta 47,5 juta mengalami demensia. Selain itu, menurut WHO (2017)
gangguan yang banyak terjadi juga selain depresi adalah gangguan cemas.
Diperkirakan 4,4% dari populasi global menderita gangguan depresi dan 3,6%
dari gangguan kecemasan. Jumlah penderita depresi meningkat lebih dari 18%
antara tahun 2005 hingga 2015. Depresi menjadi penyebab terbesar kecacatan.
Lebih dari 80% penyakit ini dialami orang-orang yang tinggal di negara
berkembang. Indonesia menunjukkan penambahan jumlah kasus gangguan jiwa
yang dipengaruhi oleh faktor biologis, psikologis, dan sosial dengan
keanekaragaman penduduknya. Hal tersebut dapat berdampak pada penambahan
beban negara dan penurunan produktivitas sumber daya manusia jangka panjang
(WHO, 2016; 2017).
6
7
perawatan yang tepat bagi ODGJ. Pada akhirnya, diharapkan ODGJ dapat
berangsur-angsur mengembalikan kualitas hidup mereka dan kembali menjadi
manusia yang produktif dan mandiri.
Skizofrenia menjadi gangguan jiwa paling dominan dibanding gangguan jiwa
lainnya dan termasuk dalam gangguan jiwa berat. Penderita gangguan jiwa
sepertiganya tinggal di negara berkembang, dan 8 dari 10 orang yang menderita
skizofrenia tidak mendapatkan penanganan medis. Gejala skizofrenia muncul
pada usia 15-25 tahun lebih banyak ditemukan pada laki-laki dibandingkan pada
perempuan (Ashturkar& Dixit, 2013).
Skizofrenia adalah salah satu jenis psikotik yang menunjukan gelaja orientasi
yang buruk, halusinasi, waham, serta kehilangan fungsi luhurnya sebagai manusia
seperti merawat diri. Gejala halusinasi dan waham yang terjadi pada pasien
skizofrenia berupa gangguan alam perasaan yang tidak menentu, isi kebesaran
atau kejaran, sering bertengkar atau berdebat, dan perilaku cemas yang tidak
menentu, bahkan kemarahan/ mengamuk. Hal tersebut dapat disebabkan
kegagalan mekanisme coping stress terhadap beban yang dialami atau karena
cemas yang berkepanjangan (Videback, 2008; Townsend, 2011; Hawari, 2014).
Pelayanan gangguan jiwa adalah pelayanan pada pasien yang mengalami
gangguan kejiwaan. Data yang masuk untuk pelayanan kesehatan jiwa di fasilitas
kesehatan tingkat pertama berasal dari Rumah Sakit Jiwa dan Rumah Sakit Umum
yang mempunyai klinik jiwa. Permasalahan yang ada saat ini adalah tidak semua
Rumah Sakit Umum mempunyai pelayanan klinik jiwa karena belum tersedia
tenaga medis jiwa dan tidak banyak kasus jiwa di masyarakat yang berobat di
sarana pelayanan kesehatan. Dari permasalahan tersebut, upaya yang perlu
dilakukan adalah peningkatan pembinaan program kesehatan jiwa di sarana
kesehatan pemerintah dan swasta, pelatihan/ refreshing bagi dokter dan paramedis
puskesmas terutama upaya promotif dan preventif, serta meningkatkan
pelaksanaan sistem monitoring evaluasi pencatatan dan pelaporan program
kesehatan jiwa (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2017).
Tahun 2015 cakupan pelayanan kesehatan jiwa Kabupaten Rerebe di
Puskesmas tercatat 6.293 jiwa (laki-laki 3.559 jiwa dan perempuan 2.734 jiwa)
dari seluruh penduduk tahun 2015 sebanyak 1.188.622 atau 5,3 per 1000
9
penduduk. Kasus jiwa terbanyak di Puskesmas Pejagoan yaitu 1.145 jiwa. Hal
tersebut berkaitan dengan Puskemas Pejagoan sesuai SK Bupati Rerebe No
445/95/KEP/2015 termasuk dalam Puskesmas pelaksana pelayanan rawat inap
dengan unggulan pelayanan kesehatan jiwa di Kabupaten Rerebe. Di Puskesmas
Rerebe I sendiri terdapat sekitar 178 pasien jiwa dari data tahun 2014 sampai
dengan Desember 2020, atau sebanyak 3,8 per 1000 penduduk (dari total
penduduk 46.388). Sebanyak 84 pasien sudah berobat rutin, 8 orang berlum
berobat, dan 86 putus obat. Capaian tersebut belum sesuai target SPM pelayanan
jiwa yaitu 100%. Hal ini menunjukkan perlunya pelayanan kesehatan jiwa yang
lebih komprehensif ke masyarakat di wilayah Puskesmas Rerebe I pada
khususnya untuk mendeteksi pasien dengan gangguan jiwa, memastikan pasien
sudah mendapatkan terapi/ pengobatan secara rutin dan juga pemulihan fungsi
kehidupan sehari-hari.
Jumlah petugas kesehatan jiwa yang terbatas dapat dicari solusinya dengan
salah satu program berupa upaya pemberdayaan keluarga sebagai penyaring awal
gangguan jiwa dan mendukung selama terapi, serta pemulihan pasien. Anggota
keluarga dan masyarakat perlu diberi penjelasan tentang jenis, tanda, dan gejala
gangguan jiwa yang sering terjadi dan apa yang dapat dilakukan oleh keluarga
jika hal ini terjadi. Melalui pemahaman ini, diharapkan masalah kejiwaan dan
gangguan jiwa dapat dicegah dan ditangani secepat dan semestinya. Upaya-upaya
kesehatan jiwa tersebut merupakan amanah dalam Undang-Undang No.18 tahun
2014 tentang Kesehatan Jiwa (Dinas Kesehatan Kabupaten Rerebe, 2015;
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2017). Oleh karena amanat itu, di
Puskesmas Rerebe I sudah ada program Walijemino yaitu anggota keluarga
sebagai pengawas minum obat, serta sedang akan mengembangkan pembinaan
keluarga pasien jiwa melalui program Punggawa yang rencananya akan dirilis
mulai tahun 2019.
Selain itu, pemerintah juga memasukkan kesehatan jiwa ke dalam indikator
keluarga sehat pada Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga (PIS -
PK). Pedoman Penyelenggaraan PIS - PK diatur dalam Permenkes RI No. 39
Tahun 2016. PIS - PK mempunyai tujuan meningkatkan akses keluarga dan
anggotanya terhadap pelayananan kesehatan yang komprehensif (promotif-
10
B. Rumusan Masalah
1. Berapa prevalensi ODGJ tahun 2022 berdasarkan hasil PIS - PK dan
Laporan Program Kesehatan Jiwa Puskesmas Rerebe Tahun 2022 di
Kecamatan Tripe Jaya?
2. Berapa angka kepatuhan berobat penderita gangguan jiwa berat
(skizofrenia) di Kecamatan Tripe Jaya?
3. Adakah ODGJ yang dipasung di Kecamatan Tripe Jaya?
11
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui prevalensi ODGJ tahun 2022 berdasarkan hasil PIS -
PK dan Laporan Program Kesehatan JiwaPuskesmas Rerebe Tahun
2022 di Kecamatan Tripe Jaya.
2. Untuk mengetahui angka kepatuhan berobat penderita gangguan jiwa
berat (skizofrenia) di Kecamatan Tripe Jaya
3. Untuk mengetahui angka ODGJ yang dipasung di Kecamatan Tripe Jaya
4. Untuk menentukan rencana tindak lanjut pada penderita gangguan jiwa
berat (skizofrenia) di Kecamatan Tripe Jaya pada khususnya dan wilayah
kerja Puskesmas Rerebe pada umumnya.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Manfaat bagi Penulis
Menambah informasi dan wawasan penulis mengenai prevalensi, angka
pemasungan, serta angka kepatuhan minum obat penderita gangguan jiwa
berat (skizofrenia) di Kecamatan Tripe Jaya wilayah kerja Puskesmas
Rerebe.
2. Manfaat bagi Puskesmas
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan informasi dalam
menyusun kebijakan dan strategi program-program kesehatan terutama
yang berhubungan dengan masalah kesehatan jiwa.
3. Manfaat bagi Ilmu Pengetahuan
Hasil penelitian diharapkan bisa dijadikan data awal untuk penelitian
selanjutnya.
5. BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
American Psychiatric Association (1994) mendefinisikan gangguan jiwa
sebagai suatu sindrom atau pola psikologis atau perilaku yang penting secara
klinis yang terjadi pada seseorang dan dikaitkan dengan adanya distress atau
disabilitas. Psikotik adalah gangguan jiwa yang ditandai dengan ketidakmampuan
individu menilai kenyataan yang terjadi, misalnya terdapat halusinasi, waham atau
perilaku kacau atau aneh. Orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) berat yaitu orang
yang memiliki gengguan jiwa yang dengan ciri psikotik hingga menganggu fungsi
kehidupan, atau dikenal dengan skizofrenia (DMS-IV, 2005).
Skizofrenia adalah sindrom dengan variasi dan perjalanan penyakit yang luas,
ditandai dengan adanya perubahan yang fundamental dan karakteristik persepsi,
pikiran, afek, dan perilaku seseorang. Skizofrenia merupakan gangguan psikotik
yang ditandai dengan berbagai tingkat kepribadian disorganisasi yang mengurangi
kemampuan individu untuk bekerja secara efektif dan untuk berkomunikasi
dengan orang lain. Gejala klinis skizofrenia sering bingung, depresi, menarik diri
atau cemas. Hal ini berdampak pada keinginan dan kemampuan untuk melakukan
tindakan oral hygiene (Maslim, 2003).
B. Epidemiologi
Insidensi skizofrenia di seluruh dunia adalah 3.000 – 10.000 penderita.
Skizofrenia terjadi paling tinggi pada rentang usia 15 - 35 tahun. Prevalensi global
pada usia tersebut adalah 1,1%, sedangkan di Indonesia adalah 0,3% - 1%
(Bhugra, 2005).
Skizofrenia merupakan penyakit mental yang paling menyebabkan suatu
kemunduran. Psikopatologi ini secara tipikal didiagnosis pada usia di antara 20 -
25 tahun, suatu fase kehidupan di mana hampir setiap manusia memperoleh
kebebasan dari orang tua, menjalin suatu hubungan romantis yang intim,
merencanakan pencapaian-pencapaian dalam hal pendidikan, dan dimulainya
kehidupan berkarir pada seseorang. Prevalensi skizofrenia di Amerika Serikat
12
13
dilaporkan bervariasi terentang dari 1 sampai 1,5 persen dengan angka insidensi 1
per 10.000 orang per tahun. Berdasarkan jenis kelamin prevalensi skizofrenia
adalah sama, perbedaannya terlihat dalam onset dan perjalanan penyakit. Untuk
laki laki 15 sampai 25 tahun sedangkan wanita 25 sampai 35 tahun. Di Indonesia
angka penderita skizofrenia 25 tahun yang lalu (PJPT I) diperkirakan 1/1000
penduduk dan proyeksi 25 tahun mendatang mencapai 3/1000 penduduk. Pada
tahun 2013, skizofrenia mencapai sekitar 400.000 jiwa atau sebanyak 1,7 per
1.000 penduduk (Riskesdas, 2013).
C. Etiologi
Terdapat beberapa pendekatan yang dominan dalam menganalisa penyebab
skizofrenia, antara lain:
1. Faktor Genetik
Menurut Baihaqi (2005), faktor keturunan juga menentukan
timbulnya skizofrenia. Hal ini telah dibuktikan dengan penelitian tentang
keluarga-keluarga penderita skizofrenia terutama anak kembar satu telur/
monozigotik. Angka kesakitan bagi saudara tiri ialah 0,9 - 1,8%; bagi
saudara kandung 7 – 15%; bagi anak dengan salah satu orangtua yang
menderita skizofrenia 7 – 16%; bila kedua orangtua menderita
skizofrenia 40 – 68%; bagi kembar dua telur (heterozigot) 2 -15%; bagi
kembar satu telur (monozigot) 61 – 86%. Skizofrenia melibatkan lebih
dari satu gen, sebuah fenomena yang disebut quantitative trait loci.
Skizofrenia yang paling sering kita lihat mungkin disebabkan oleh
beberapa gen yang berlokasi di tempat-tempat yang berbeda di seluruh
kromosom. Ini juga mengklarifikasikan mengapa ada gradasi tingkat
keparahan pada orang-orang yang mengalami gangguan ini (dari ringan
sampai berat) dan mengapa risiko untuk mengalami skizofrenia semakin
tinggi dengan semakin banyaknya jumlah anggota keluarga yang
memiliki penyakit ini.
2. Faktor Biokimia
Skizofrenia mungkin berasal dari ketidakseimbangan kimiawi
otak yang disebut neurotransmitter, yaitu kimiawi otak yang
14
D. Gejala Klinis
1. Gangguan positif
a. Delusi/ Waham
Waham merupakan suatu keyakinan terhadap sesuatu yang
dialami pasien yang dihayati dan tidak bisa dirubah. Waham yang
15
b. Halusinasi
Suatu persepsi terhadap panca indera tanpa adanya stimulus,
baik itu halusinasi auditorik (paling sering), halusinasi visual, dan
panca indera lainnya, sehingga muncul hal-hal sebagai berikut:
1) Perilaku aneh, tidak terorganisir.
2) Bicara sendiri, tidak teratur.
3) Gaduh dan gelisah.
4) Penuh kecurigaan dan memiliki rasa permusuhan.
2. Gangguan negatif
Gangguan negatif meliputi (Pakpahin, 2012):
1) Alogia (tidak mau bicara)
2) Emosi tumpul
3) Avolition (kehilangan motivasi)
4) Anhedonia (kehilangan minat)
5) Tidak mampu berkonsentrasi
2. Gangguan kognitif
3. Gangguan perhatian
4. Gangguan ingatan
E. Penegakan Diagnosis
Terdapat tanda dan gejala skizofrenia antara lain (PPDGJ III, 1993):
1. Minimal satu gejala berikut yang sangat jelas, atau minimal dua gejala
jika tidak jelas yaitu :
a. Adanya waham bizarre (thought of echo, thought of insertion,
thought of broadcasting).
b. Adanya delusion of influence, delusion of control, delusion of
passivity, delusional perception.
c. Halusinasi auditorik.
16
2. Atau paling sedikit dua gejala yang harus selalu ada dengan jelas, yaitu:
a. Halusinasi menetap dari indera apapun, disertai waham maupun ide
berlebihan.
b. Adanya arus pikiran yang terputus (break) atau mengalami sisipan
(interpolation).
c. Perilaku katatonik.
d. Gejala-gejala negative.
3. Gejala khas tersebut berlangsung minimal 1 bulan.
4. Terdapat perubahan yang konsisten dan bermakna dalam overall quality
dari beberapa personal behavior.
F. Klasifikasi
Skizofrenia dapat dibedakan menjadi beberapa subtipe yaitu sebagai berikut
(PPDGJ III, 1993).
Tabel 2.1 Klasifikasi Skizofrenia
Skizofrenia Paranoid Skizofrenia Hebefrenik Skizofrenia Katatonik
1. Kriteria umum (+) 1. Kriteria umum (+) 1. Kriteria umum (+)
2. Halusinasi dan 2. Diagnosis pertama 2. Minimal satu dari
waham (control, ditegakkan pada usia berikut
influence, 15-25 tahun mendominasi:
passivity, dikejar) 3. Kepribadian stupor, mutisme,
yang amat premorbid: pemalu, gaduh-gelisah,
menonjol. solitary posturing,
4. Selama observasi 2-3 negativism,
3. Gangguan afektif , bulan didapatkan rigiditas,
dorongan perilaku yang tidak fleksibilitas cerea,
kehendak, gejala bertanggungjawab, command
katatonik relatif mannerisme, solitary, automatism
tidak menonjol afek dangkal
inappropriate,
inkoherensi.
5. Gangguan afektif,
dorongan kehendak,
dan gangguan proses
pikir menonjol
17
G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien skizofrenia dapat berupa terapi biologis dan
terapi psikososial.
1. Terapi Biologis
Pada penatalaksanaan terapi biologis terdapat tiga bagian yaitu
terapi dengan menggunakan obat antipsikosis, terapi elektrokonvulsif,
dan pembedahan bagian otak. Terapi dengan penggunaan obat
antipsikosis dapat meredakan gejala-gejala skizofrenia. Obat yang
digunakan adalah chlorpromazine (thorazine) dan fluphenazine
decanoate (prolixin). Kedua obat tersebut termasuk kelompok obat
19
2. Terapi Psikososial
Gejala-gejala gangguan skizofrenia yang kronik mengakibatkan
situasi pengobatan di dalam maupun di luar Rumah Sakit Jiwa (RSJ)
menjadi monoton dan menjemukan. Secara historis, sejumlah
penanganan psikososial telah diberikan pada pasien skizofrenia, yang
mencerminkan adanya keyakinan bahwa gangguan ini merupakan akibat
masalah adaptasi terhadap dunia karena berbagai pengalaman yang
dialami di usia dini. Pada terapi psikosial terdapat dua bagian yaitu terapi
kelompok dan terapi keluarga (Akbar, 2008).
Terapi kelompok merupakan salah satu jenis terapi humanistik.
Pada terapi ini, beberapa klien berkumpul dan saling berkomunikasi dan
terapist berperan sebagai fasilitator dan sebagai pemberi arah di
dalamnya. Para peserta terapi saling memberikan feedback tentang
pikiran dan perasaan yang dialami. Peserta diposisikan pada situasi sosial
yang mendorong peserta untuk berkomunikasi, sehingga dapat
memperkaya pengalaman peserta dalam kemampuan berkomunikasi.
Pada terapi keluarga merupakan suatu bentuk khusus dari terapi
kelompok. Terapi ini digunakan untuk penderita yang telah keluar dari
rumah sakit jiwa dan tinggal bersama keluarganya. Keluarga berusaha
untuk menghindari ungkapan-ungkapan emosi yang bisa mengakibatkan
penyakit penderita kambuh kembali. Dalam hal ini, keluarga diberi
informasi tentang cara-cara untuk mengekspresikan perasaan-perasaan,
baik yang positif maupun yang negatif secara konstruktif dan jelas, dan
untuk memecahkan setiap persoalan secara bersama-sama. Keluarga
diberi pengetahuan tentang keadaan penderita dan cara-cara untuk
menghadapinya. Dari beberapa penelitian, seperti yang dilakukan
ternyata campur tangan keluarga sangat membantu dalam proses
penyembuhan, atau sekurang-kurangnya mencegah kambuhnya penyakit
penderita, dibandingkan dengan terapi-terapi secara individual.
1. Langkah Pertama
Dokter dapat melakukan diskusi dan menenangkan pasien
2. Langkah Kedua
a. Terapi medikamentosa
Apabila pasien membahayakan dirinya atau orang lain dapat
dilakukan isolasi terlebih dahulu selama 2-4 jam. Pemberian obat
dapat dilakukan secara peroral maupun injeksi.
1) Obat injeksi digunakan untuk mendapat efek lebih cepat,
misalnya haloperidol, dosis 5 mg setiap injeksi intramuscular
dan dapat diulang setiap setengah jam (dosis maksimum
20mg/hari)
2) Obat antipsikotika oral misalnya klorpromazin dengan dosis
300-1000 mg/hari atau trihexipenidil 2 mg sebanyak 3 kali
sehari
b. Psikoterapi, dilakukan untuk mengurangi stimulus dan stressor yang
berlebihan sekaligus memberikan ketenangan kepada pasien.
c. Terapi kejang listrik (electro compulsive therapy) bagi skizofrenia
katatonik dan skizofrenia refrakter
d. Edukasi pada keluarga dan pasien mengenai gangguan yang terjadi
pada pasien, fungsi terapi, peran keluarga, gejala, penyebab, dan cara
mengatasinya.
Pada fase stabilisasi, pasien dapat diberikan terapi sebagai berikut
(Kaplan dan Sadock, 2010):
1. Farmakoterapi dengan dosis optimal selama 8-10 minggu untuk
meminimalisasi konsekuensi kekambuhan, serta optimalisasi fungsi dan
recovery.
2. Psikoedukasi untuk meningkatkan keterampilan pasien dan keluarga,
serta melatih pasien dalam menghadapi gejala.
Pada fase rumatan, pasien dapat diberikan terapi antara lain sebagai
berikut (Kaplan dan Sadock, 2010):
22
H. Prognosis
Beberapa faktor penentu prognosis yang dapat dilihat antara lain kepribadian
pramorbid, gejala klinik, jenis kelamin, usia serangan, frekuensi serangan, jenis
serangan, dan faktor konstitusi fisik (Syamsir, 2006). Sekitar 10-20% pasien
skizofrenia menunjukkan hasil baik, 50% menunjukkan hasil buruk (berupa rawat
inap berulang, gangguan mood, dan usaha bunuh diri) (Kaplan dan Sadock, 2010).
Beberapa peneletian mengemukakan bahwa pasien skizofrenia yang
dirawayat pada masa periode 5 hingga 10 tahun hanya memiliki hasil kekembuhan
10 – 20 % dari selururh pasien yang mengalami perawatan. 20 – 30 % pasien
mengalami penyembuhan namun tidak sempurna dan 40m- 60 % pasien masih
tetap dalam keadaan semula. Prognosis pasien dengan skizofrenia dapat di bagi
atas 2 keompok besar yaitu kelompok dengan prognosis baik dan prognosis buruk.
Hal hal yang menentukan suatu prognosis baik atau buruk yaitu (Kaplan, Sadock,
& Grebb, 2010):
23
1. Prognosis baik
a. Onset lambat/ pada usia tua
b. Faktor pencetus jelas
c. Durasi dari awitan bersifat akut
d. Riwayat seksual, sosial dan pekerjaan premorbid baik
e. Adanya gangguan mood
f. Menikah
g. Riwayat keluarga gangguan mood
h. Sistem pendukung yang baik
i. Gejala positif
2. Prognosis buruk
a. Onset muda/ pada usia muda
b. Faktor pencetus tidak jelas
c. Durasi dari awitan bersifat kronis
d. Riwayat seksual, sosial dan pekerjaan premodrbid jelek
e. Tidak menikah, bercerai, atau janda/duda
f. Sistem pendukung yang buruk
g. Riwayat keluarga skizofrenia
h. Gejala negative
i. Tanda dan gejala neurologis
j. Riwayat trauma perinatal
k. Tidak ada remisi dalam 3 tahun
l. Banyak relaps
m. Riwayat penyerangan
6. BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode
1. Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif
dengan menggunakan pendekatan kuantitatif yaitu suatu metode yang
digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu. Teknik
pengambilan sampel biasanya dilakukan dengan perhitungan teknik
sampel tertentu yang sesuai (Sugiyono, 2011). Rancangan penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui gambaran data demografi keluarga dengan
anggota keluarga yang pernah menderita gangguan jiwa berat
(skizofrenia) pada wilayah kerja UPT Puskesmas Rerebe.
2. Waktu dan Tempat Penelitian
Tempat : Kecamatan Tripe Jaya Wilayah kerja UPT Puskesmas
Rerebe
Waktu : Juni – Oktober 2022
3. Teknik Pengumpulan Data
a. Instrumen Penelitiana
Penelitian ini mengambil data yang diperoleh dari kuesioner
Program Keluarga Sehat dengan Pendekatan Keluarga (PIS - PK)
pada setiap Kepala Keluarga (KK) di Kecamatan Tripe Jaya wilayah
kerja UPT Puskesmas Rerebe.
b. Populasi
1) Kriteria Inklusi :
a) Anggota keluarga yang bertempat tinggal di Kecamatan
Tripe Jaya wilayah kerja Puskesmas Rerebe.
b) Anggota keluarga yang baru dan/ atau pernah didiagnosis
gangguan jiwa berat (skizofrenia).
c) Anggota keluarga yang sedang dan/ atau pernah dipasung.
24
25
B. Pengumpulan Data
1. Jenis Data
Penelitian ini menggunakan data primer yaitu berupa data hasil
wawancara menggunakan kuesioner PIS - PK dan data sekunder
Laporan Program Kesehatan Jiwa Puskesmas Rerebe.
2. Alat pengumpulan data
Alat yang digunakan adalah kuesioner PIS - PK, alat tulis untuk
mencatat data, dan komputer untuk mengolah dan memproses data.
27
28
29
A. Kesimpulan
1. Angka prevalensi ODGJ berdasarkan data hasil PIS – PK dan Laporan
Program Kesehatan Jiwa Puskesmas Rerebe pada 8 Desa yaitu 24 ODGJ
dengan rincian Desa Perlak 3, Rerebe 3, Pasir 6, Paya Kumer 5, Buntul
Musara 2, Setul 2, Pulo Glime 1 dan Kuala Jernih 2.
2. Angka kepatuhan berobat ODGJ dari data PIS – PK Laporan Program
Kesehatan Jiwa Puskesmas Rerebe pada 8 Desa yaitu 66.7%..
3. Angka pemasungan di 8 Desa baik dari hasil PIS - PK maupun Laporan
Program Kesehatan Jiwa Puskesmas Rerebe Tahun 2022 yaitu tidak
ditemukan pemasungan ODGJ.
B. Saran
1. Perlu adanya penyuluhan/ pemberian informasi oleh tenaga kesehatan
kepada masyarakat tentang gejala dan tanda, faktor risiko, terapi, serta
dukungan terhadap ODGJ.
2. Perlu juga penyuluhan tentang kepatuhan berobat pasien ODGJ kepada
keluarga pasien untuk meningkatkan keberhasilan terapi, seperti melalui
program Pendekatan Keluarga yang sudah ada di Puskesmas Rerebe,
tinggal ditingkatkan lagi monitoring dan evaluasinya.
3. Perlu adanya dukungan keluarga yang sangat berpengaruh terhadap
kepatuhan terapi pada pasien ODGJ, seperti inovasi program Punggawa
yang akan dilaksanakan di Puskesmas Rerebe I mulai tahun 2019 melalui
perkumpulan rutin keluarga ODGJ.
4. Optimalisasi lagi Pengendalian Terpadu (Pandu PTM) yang ada di
Puskesmas Rerebe.
5. Perlu adanya peningkatan sinkronisasi pelaporan dan pencatatan data
lengkap ODGJ yang ditemukan/ dikunjungi saat PIS – PK dengan data
Laporan Program Kesehatan Jiwa Puskesmas Rerebe.
31
32
Baihaqi, Sunardi, Riksma, dan Euis. 2005. Pskiatri. Bandung: Refika Aditama.
Kaplan, H.I., Sadock B.J., and Grebb J.A. 2010. Sinopsis Psikiatri (Alih bahasa:
Widjaja Kusuma). Jakarta: Binarupa Aksara.
Maslim, R. 2003. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa: Rujukan Ringkas dari
PPDGJ III. Jakarta: FK Unika Atmajaya.
Pakpahan, dan Sri Hertika. 2012. Karakteristik Penderita Skizofrenia Rawat Inap
di Rumah Sakit Jiwa Medan Tahun 2001. Sumatera Utara: FK USU.
33
34
World Health Organization. 2017. Mental Health Atlas. Geneva: World Health
Organization.