Anda di halaman 1dari 34

MINI PROJECT

UPAYA PENINGKATAN ANGKA KEPATUHAN BEROBAT PADA


PENDERITA GANGGUAN JIWA BERAT (SKIZOFRENIA) DI
WILAYAH KERJA PUSKESMAS REREBE, KECAMATAN TRIPE JAYA
JUNI - OKTOBER TAHUN 2022

Disusun Oleh:
dr. TM JAMIL

Pendamping:
dr. Syaiful Badri

PUSKESMAS REREBE
PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA (PIDI)
KABUPATEN GAYO LUES, PROVINSI ACEH
2022
1. LEMBAR PENGESAHAN

UPAYA PENINGKATAN ANGKA KEPATUHAN BEROBAT PADA


PENDERITA GANGGUAN JIWA BERAT (SKIZOFRENIA) DI
WILAYAH KERJA PUSKESMAS REREBE, KECAMATAN TRIPE JAYA
JUNI - OKTOBER TAHUN 2022

Nama : dr. T.M Jamil

Kepala Puskesmas Rerebe


Kecamatan Tripe Jaya

dr. Syaiful Badri


NIP.19760729 200412 1 001

KEPALA DINAS KESEHATAN


KABUPATEN GAYO LUES

Riadussalihin, Skm
Pembina TK. 1
NIP. 19750221 199503 1 002

ii
2. KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehinga penulis dapat menyelesaikan mini
project ini, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan Program Dokter
Internship Indonesia.

Mini project ini berjudul UPAYA PENINGKATAN ANGKA


KEPATUHAN BEROBAT PADA PENDERITA GANGGUAN JIWA
BERAT (SKIZOFRENIA) DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS REREBE,
KECAMATAN TRIPE JAYA JUNI - OKTOBER TAHUN 2022. Dalam
penyelesaian penulisan mini project ini, penulis telah banyak menerima bantuan
dari berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin menyampaikan ucapan rasa terima
kasih dan penghargaan setinggi-tinginya kepada:

1. dr. Saiful Badri selaku Kepala Puskesmas Rerebe.


2. dr. Saiful Badri selaku Dokter Pendamping Peserta Program Dokter
Internship Indonesia Puskesmas Rerebe.
3. Seluruh Staff Puskesmas.
4. Teman-teman seperjuangan Program Dokter Internship Indonesia Tahun
2022.
5. Seluruh pihak yang tidak saya sebutkan satu persatu yang telah membantu
hingga selesainya Mini Project ini.
Untuk seluruh bantuan baik moril maupun materil yang diberikan kepada
penulis selama ini, penulis menyampaikan terima kasih dan semoga Tuhan dapat
membalas dengan pahala yang sebesar-besarnya.

iii
Akhir kata, penulis sadar bahwa Mini Project ini masih jauh dari sempurna
disebabkan berbagai keterbatasan yang penulis miliki. Untuk itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk menjadi
perbaikan di masa yang akan datang. Semoga mini project ini dapat berguna bagi
kita semua.

Blangkejeren, 23 Oktober 2022

Penulis

dr. T.M Jamil

iv
3. DAFTAR ISI

I. LATAR BELAKANG
A. Pendahuluan .................................................................................... 3
B. Rumusan Masalah ........................................................................... 8
C. Tujuan Penelitian ............................................................................ 8
D. Manfaat Penelitian .......................................................................... 8
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi ............................................................................................. 10
B. Epidemiologi ................................................................................... 10
C. Etiologi ............................................................................................. 11
D. Gejala Klinis .................................................................................... 12
E. Penegakan Diagnosis ...................................................................... 13
F. Klasifikasi ........................................................................................ 15
G. Penatalaksanaan ............................................................................. 17
H. Prognosis .......................................................................................... 21
III. METODE PENELITIAN
A. Metode ............................................................................................. 23
B. Pengumpulan Data ......................................................................... 25
C. Tata Urutan Kerja .......................................................................... 26
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Profil Puskesmas .............................................................................. 27
B. Hasil dan Pemnbahasan .................................................................. 30
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ....................................................................................... 35
B. Saran ................................................................................................. 35
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 37
LAMPIRAN ................................................................................................... 39

v
4. BAB 1
LATAR BELAKANG
A. Pendahuluan
Kesehatan jiwa adalah kondisi dimana seorang individu dapat berkembang
secara fisik, mental, spiritual, dan sosial, sehingga individu menyadari
kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif,
serta mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya. Orang Dengan
Gangguan Jiwa (ODGJ) adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran,
perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam sekumpulan gejala dan atau
perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan
hambatan dalam menjalankan fungsi luhur sebagai manusia dalam keseharian
(seperti pekerjaan dan sosial). Gangguan jiwa merupakan diagnosis, berbeda
dengan masalah kesehatan jiwa. Pada masalah kesehatan jiwa mungkin saja
terdapat gejala, tetapi bukan kumpulan gejala lengkap, tidak berlangsung lama,
dan belum menimbulkan gangguan fungsi sehari-hari. Sehingga, Orang Dengan
Masalah Kejiwaan (ODMK) merupakan orang yang mempunyai masalah fisik,
mental, sosial, pertumbuhan dan perkembangan, dan/atau kualitas hidup sehingga
memiliki risiko mengalami gangguan jiwa (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2017).
Data World Health Organization (2016) menunjukkan terdapat sekitar 35 juta
orang menderita depresi, 60 juta orang terkena bipolar, 21 juta terkena
skizofrenia, serta 47,5 juta mengalami demensia. Selain itu, menurut WHO (2017)
gangguan yang banyak terjadi juga selain depresi adalah gangguan cemas.
Diperkirakan 4,4% dari populasi global menderita gangguan depresi dan 3,6%
dari gangguan kecemasan. Jumlah penderita depresi meningkat lebih dari 18%
antara tahun 2005 hingga 2015. Depresi menjadi penyebab terbesar kecacatan.
Lebih dari 80% penyakit ini dialami orang-orang yang tinggal di negara
berkembang. Indonesia menunjukkan penambahan jumlah kasus gangguan jiwa
yang dipengaruhi oleh faktor biologis, psikologis, dan sosial dengan
keanekaragaman penduduknya. Hal tersebut dapat berdampak pada penambahan
beban negara dan penurunan produktivitas sumber daya manusia jangka panjang
(WHO, 2016; 2017).

6
7

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 yang dilakukan oleh


Kementerian Republik Indonesia menyimpulkan bahwa prevalensi ganggunan
mental emosional seperti depresi dan kecemasan (anxietas) pada usia ≥ 15 tahun
mencapai sekitar 14 juta jiwa atau 6% dari jumlah penduduk Indonesia.
Sedangkan prevalensi gangguan jiwa berat (psikosis), seperti skizofrenia
mencapai sekitar 400.000 jiwa atau sebanyak 1,7 per 1.000 penduduk. Jumlah
gangguan jiwa berat tahun 2013 tersebar di berbagai provinsi dengan jumlah
terbanyak di Daerah Istimewa Yogyakarta (0,27%) dan Aceh ( 0,27%), kemudian
Sulawesi Selatan (0,26%), disusul oleh Bali (0,23%) dan Jawa Tengah (0,23%).
Masalah kesehatan jiwa tersebut di atas jika tidak segera ditangani dapat
menurunkan status kesehatan fisik dan menimbulkan dampak psikososial antara
lain tindak kekerasan, penyalahgunaan napza, pemasungan, maupun tindakan
percobaan bunuh diri (Riset Kesehatan Dasar, 2013).
Estimasi WHO tentang ODGJ yang belum mendapatkan layanan kesehatan
jiwa di negara-negara berkembang seperti Indonesia adalah >85%. Gangguan jiwa
yang tidak tertangani dengan baik dan tidak teratur berobat/ minum obat dapat
mengakibatkan gejala semakin sulit untuk diatasi, menahun, dengan penurunan
fungsi perawatan diri dan sosial yang semakin berat. Pemasungan pada ODGJ
merupakan dampak ekstrem dan tidak adanya akses terhadap layanan kesehatan
jiwa. Pemasungan adalah bentuk pengekangan kebebasan yang dilakukan pada
ODGJ di komunitas yang mengakibatkan perampasan kebebasan untuk
mengakses layanan yang dapat membantu pemulihan fungsi ODGJ tersebut.
Berdasarkan Riskesdas (2013), sebanyak 14,3% dari penduduk yang mengalami
gangguan jiwa berat tersebut mengatakan pernah dipasung Pemasungan ODGJ
tidak dibenarkan dan melanggar hak asasi manusia. Tindak pemasungan sebagian
besar dilakukan oleh keluarga inti sebagai upaya perlindungan akibat perilaku
kekerasan yang berpotensi dilakukan ODGJ akibat gejala yang dialami dan tidak
dapat diatasi akibat kurangnya pengetahuan, kesulitan akses dan keterjangkauan
ke layanan kesehatan jiwa (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2017).
Gangguan jiwa sangat beragam jenisnya, mulai dari yang ringan hingga berat.
Informasi yang akurat dari pihak keluarga akan sangat membantu para tenaga
pemberi layanan kesehatan jiwa untuk melakukan diagnosa dan menentukan
8

perawatan yang tepat bagi ODGJ. Pada akhirnya, diharapkan ODGJ dapat
berangsur-angsur mengembalikan kualitas hidup mereka dan kembali menjadi
manusia yang produktif dan mandiri.
Skizofrenia menjadi gangguan jiwa paling dominan dibanding gangguan jiwa
lainnya dan termasuk dalam gangguan jiwa berat. Penderita gangguan jiwa
sepertiganya tinggal di negara berkembang, dan 8 dari 10 orang yang menderita
skizofrenia tidak mendapatkan penanganan medis. Gejala skizofrenia muncul
pada usia 15-25 tahun lebih banyak ditemukan pada laki-laki dibandingkan pada
perempuan (Ashturkar& Dixit, 2013).
Skizofrenia adalah salah satu jenis psikotik yang menunjukan gelaja orientasi
yang buruk, halusinasi, waham, serta kehilangan fungsi luhurnya sebagai manusia
seperti merawat diri. Gejala halusinasi dan waham yang terjadi pada pasien
skizofrenia berupa gangguan alam perasaan yang tidak menentu, isi kebesaran
atau kejaran, sering bertengkar atau berdebat, dan perilaku cemas yang tidak
menentu, bahkan kemarahan/ mengamuk. Hal tersebut dapat disebabkan
kegagalan mekanisme coping stress terhadap beban yang dialami atau karena
cemas yang berkepanjangan (Videback, 2008; Townsend, 2011; Hawari, 2014).
Pelayanan gangguan jiwa adalah pelayanan pada pasien yang mengalami
gangguan kejiwaan. Data yang masuk untuk pelayanan kesehatan jiwa di fasilitas
kesehatan tingkat pertama berasal dari Rumah Sakit Jiwa dan Rumah Sakit Umum
yang mempunyai klinik jiwa. Permasalahan yang ada saat ini adalah tidak semua
Rumah Sakit Umum mempunyai pelayanan klinik jiwa karena belum tersedia
tenaga medis jiwa dan tidak banyak kasus jiwa di masyarakat yang berobat di
sarana pelayanan kesehatan. Dari permasalahan tersebut, upaya yang perlu
dilakukan adalah peningkatan pembinaan program kesehatan jiwa di sarana
kesehatan pemerintah dan swasta, pelatihan/ refreshing bagi dokter dan paramedis
puskesmas terutama upaya promotif dan preventif, serta meningkatkan
pelaksanaan sistem monitoring evaluasi pencatatan dan pelaporan program
kesehatan jiwa (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2017).
Tahun 2015 cakupan pelayanan kesehatan jiwa Kabupaten Rerebe di
Puskesmas tercatat 6.293 jiwa (laki-laki 3.559 jiwa dan perempuan 2.734 jiwa)
dari seluruh penduduk tahun 2015 sebanyak 1.188.622 atau 5,3 per 1000
9

penduduk. Kasus jiwa terbanyak di Puskesmas Pejagoan yaitu 1.145 jiwa. Hal
tersebut berkaitan dengan Puskemas Pejagoan sesuai SK Bupati Rerebe No
445/95/KEP/2015 termasuk dalam Puskesmas pelaksana pelayanan rawat inap
dengan unggulan pelayanan kesehatan jiwa di Kabupaten Rerebe. Di Puskesmas
Rerebe I sendiri terdapat sekitar 178 pasien jiwa dari data tahun 2014 sampai
dengan Desember 2020, atau sebanyak 3,8 per 1000 penduduk (dari total
penduduk 46.388). Sebanyak 84 pasien sudah berobat rutin, 8 orang berlum
berobat, dan 86 putus obat. Capaian tersebut belum sesuai target SPM pelayanan
jiwa yaitu 100%. Hal ini menunjukkan perlunya pelayanan kesehatan jiwa yang
lebih komprehensif ke masyarakat di wilayah Puskesmas Rerebe I pada
khususnya untuk mendeteksi pasien dengan gangguan jiwa, memastikan pasien
sudah mendapatkan terapi/ pengobatan secara rutin dan juga pemulihan fungsi
kehidupan sehari-hari.
Jumlah petugas kesehatan jiwa yang terbatas dapat dicari solusinya dengan
salah satu program berupa upaya pemberdayaan keluarga sebagai penyaring awal
gangguan jiwa dan mendukung selama terapi, serta pemulihan pasien. Anggota
keluarga dan masyarakat perlu diberi penjelasan tentang jenis, tanda, dan gejala
gangguan jiwa yang sering terjadi dan apa yang dapat dilakukan oleh keluarga
jika hal ini terjadi. Melalui pemahaman ini, diharapkan masalah kejiwaan dan
gangguan jiwa dapat dicegah dan ditangani secepat dan semestinya. Upaya-upaya
kesehatan jiwa tersebut merupakan amanah dalam Undang-Undang No.18 tahun
2014 tentang Kesehatan Jiwa (Dinas Kesehatan Kabupaten Rerebe, 2015;
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2017). Oleh karena amanat itu, di
Puskesmas Rerebe I sudah ada program Walijemino yaitu anggota keluarga
sebagai pengawas minum obat, serta sedang akan mengembangkan pembinaan
keluarga pasien jiwa melalui program Punggawa yang rencananya akan dirilis
mulai tahun 2019.
Selain itu, pemerintah juga memasukkan kesehatan jiwa ke dalam indikator
keluarga sehat pada Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga (PIS -
PK). Pedoman Penyelenggaraan PIS - PK diatur dalam Permenkes RI No. 39
Tahun 2016. PIS - PK mempunyai tujuan meningkatkan akses keluarga dan
anggotanya terhadap pelayananan kesehatan yang komprehensif (promotif-
10

preventif, kuratif dan rehabilitatif), mendukung pencapaian spm di kab/kota


melalui peningkatan akses screening kesehatan, mendukung pelaksanaan JKN,
mendukung tercapainya Program Indonesia Sehat dalam Renstra Kemenkes 2015-
2019.

Gambar 1.1 Indikator Keluarga Sehat PIS - PK


Bertepatan dengan uraian di atas, saat ini Puskesmas Rerebe masih
melaksanakan pendataan Program Indonesia Sehat melalui Pendekatan Keluarga
(PIS - PK). Berdasarkan rekapan data beberapa Desa yang sudah dilakukan
pendataan seperti Rerebe, Buntul Musara dan Telege Jernih menunjukkan hasil
bahwa 3 masalah utama yaitu hipertensi, gangguan jiwa berat (skizofrenia), dan
tuberkulosis paru (TB paru). Oleh karena itu Kami (Dokter Internsip Puskesmas
Rerebe periode Maret 2021 – Mei 2021) tertarik untuk meneliti permasalahan
kesehatan jiwa dengan judul “Angka Kepatuhan Minum Obat pada Penderita
Gangguan Jiwa Berat (Skizofrenia) di Kecamatan Tripe Jaya Wilayah Kerja
Puskesmas Rerebe melalui Pendataan PIS - PK Bulan Februari - Mei Tahun
2020”.

B. Rumusan Masalah
1. Berapa prevalensi ODGJ tahun 2022 berdasarkan hasil PIS - PK dan
Laporan Program Kesehatan Jiwa Puskesmas Rerebe Tahun 2022 di
Kecamatan Tripe Jaya?
2. Berapa angka kepatuhan berobat penderita gangguan jiwa berat
(skizofrenia) di Kecamatan Tripe Jaya?
3. Adakah ODGJ yang dipasung di Kecamatan Tripe Jaya?
11

C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui prevalensi ODGJ tahun 2022 berdasarkan hasil PIS -
PK dan Laporan Program Kesehatan JiwaPuskesmas Rerebe Tahun
2022 di Kecamatan Tripe Jaya.
2. Untuk mengetahui angka kepatuhan berobat penderita gangguan jiwa
berat (skizofrenia) di Kecamatan Tripe Jaya
3. Untuk mengetahui angka ODGJ yang dipasung di Kecamatan Tripe Jaya
4. Untuk menentukan rencana tindak lanjut pada penderita gangguan jiwa
berat (skizofrenia) di Kecamatan Tripe Jaya pada khususnya dan wilayah
kerja Puskesmas Rerebe pada umumnya.

D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Manfaat bagi Penulis
Menambah informasi dan wawasan penulis mengenai prevalensi, angka
pemasungan, serta angka kepatuhan minum obat penderita gangguan jiwa
berat (skizofrenia) di Kecamatan Tripe Jaya wilayah kerja Puskesmas
Rerebe.
2. Manfaat bagi Puskesmas
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan informasi dalam
menyusun kebijakan dan strategi program-program kesehatan terutama
yang berhubungan dengan masalah kesehatan jiwa.
3. Manfaat bagi Ilmu Pengetahuan
Hasil penelitian diharapkan bisa dijadikan data awal untuk penelitian
selanjutnya.
5. BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
American Psychiatric Association (1994) mendefinisikan gangguan jiwa
sebagai suatu sindrom atau pola psikologis atau perilaku yang penting secara
klinis yang terjadi pada seseorang dan dikaitkan dengan adanya distress atau
disabilitas. Psikotik adalah gangguan jiwa yang ditandai dengan ketidakmampuan
individu menilai kenyataan yang terjadi, misalnya terdapat halusinasi, waham atau
perilaku kacau atau aneh. Orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) berat yaitu orang
yang memiliki gengguan jiwa yang dengan ciri psikotik hingga menganggu fungsi
kehidupan, atau dikenal dengan skizofrenia (DMS-IV, 2005).
Skizofrenia adalah sindrom dengan variasi dan perjalanan penyakit yang luas,
ditandai dengan adanya perubahan yang fundamental dan karakteristik persepsi,
pikiran, afek, dan perilaku seseorang. Skizofrenia merupakan gangguan psikotik
yang ditandai dengan berbagai tingkat kepribadian disorganisasi yang mengurangi
kemampuan individu untuk bekerja secara efektif dan untuk berkomunikasi
dengan orang lain. Gejala klinis skizofrenia sering bingung, depresi, menarik diri
atau cemas. Hal ini berdampak pada keinginan dan kemampuan untuk melakukan
tindakan oral hygiene (Maslim, 2003).

B. Epidemiologi
Insidensi skizofrenia di seluruh dunia adalah 3.000 – 10.000 penderita.
Skizofrenia terjadi paling tinggi pada rentang usia 15 - 35 tahun. Prevalensi global
pada usia tersebut adalah 1,1%, sedangkan di Indonesia adalah 0,3% - 1%
(Bhugra, 2005).
Skizofrenia merupakan penyakit mental yang paling menyebabkan suatu
kemunduran. Psikopatologi ini secara tipikal didiagnosis pada usia di antara 20 -
25 tahun, suatu fase kehidupan di mana hampir setiap manusia memperoleh
kebebasan dari orang tua, menjalin suatu hubungan romantis yang intim,
merencanakan pencapaian-pencapaian dalam hal pendidikan, dan dimulainya
kehidupan berkarir pada seseorang. Prevalensi skizofrenia di Amerika Serikat

12
13

dilaporkan bervariasi terentang dari 1 sampai 1,5 persen dengan angka insidensi 1
per 10.000 orang per tahun. Berdasarkan jenis kelamin prevalensi skizofrenia
adalah sama, perbedaannya terlihat dalam onset dan perjalanan penyakit. Untuk
laki laki 15 sampai 25 tahun sedangkan wanita 25 sampai 35 tahun. Di Indonesia
angka penderita skizofrenia 25 tahun yang lalu (PJPT I) diperkirakan 1/1000
penduduk dan proyeksi 25 tahun mendatang mencapai 3/1000 penduduk. Pada
tahun 2013, skizofrenia mencapai sekitar 400.000 jiwa atau sebanyak 1,7 per
1.000 penduduk (Riskesdas, 2013).

C. Etiologi
Terdapat beberapa pendekatan yang dominan dalam menganalisa penyebab
skizofrenia, antara lain:
1. Faktor Genetik
Menurut Baihaqi (2005), faktor keturunan juga menentukan
timbulnya skizofrenia. Hal ini telah dibuktikan dengan penelitian tentang
keluarga-keluarga penderita skizofrenia terutama anak kembar satu telur/
monozigotik. Angka kesakitan bagi saudara tiri ialah 0,9 - 1,8%; bagi
saudara kandung 7 – 15%; bagi anak dengan salah satu orangtua yang
menderita skizofrenia 7 – 16%; bila kedua orangtua menderita
skizofrenia 40 – 68%; bagi kembar dua telur (heterozigot) 2 -15%; bagi
kembar satu telur (monozigot) 61 – 86%. Skizofrenia melibatkan lebih
dari satu gen, sebuah fenomena yang disebut quantitative trait loci.
Skizofrenia yang paling sering kita lihat mungkin disebabkan oleh
beberapa gen yang berlokasi di tempat-tempat yang berbeda di seluruh
kromosom. Ini juga mengklarifikasikan mengapa ada gradasi tingkat
keparahan pada orang-orang yang mengalami gangguan ini (dari ringan
sampai berat) dan mengapa risiko untuk mengalami skizofrenia semakin
tinggi dengan semakin banyaknya jumlah anggota keluarga yang
memiliki penyakit ini.
2. Faktor Biokimia
Skizofrenia mungkin berasal dari ketidakseimbangan kimiawi
otak yang disebut neurotransmitter, yaitu kimiawi otak yang
14

memungkinkan neuron-neuron berkomunikasi satu sama lain. Beberapa


ahli mengatakan bahwa skizofrenia berasal dari aktivitas
neurotransmitter dopamine yang berlebihan di bagian-bagian tertentu
otak atau dikarenakan sensitivitas yang abnormal terhadap dopamine.
Banyak ahli yang berpendapat bahwa aktivitas dopamine yang berlebihan
saja tidak cukup untuk skizofrenia. Beberapa neurotransmitter lain
seperti serotonin dan norepinephrine tampaknya juga memainkan
peranan (Akbar, 2008).
3. Faktor Psikologis dan Sosial
Faktor psikososial meliputi adanya kerawanan herediter yang
semakin lama semakin kuat, adanya trauma yang bersifat kejiwaan,
adanya hubungan orang tua-anak yang patogenik, serta interaksi yang
patogenik dalam keluarga (Wiraminaradja& Sutardjo, 2005). Banyak
penelitian yang mempelajari bagaimana interaksi dalam keluarga
mempengaruhi penderita skizofrenia. Sebagai contoh, istilah
schizophregenic mother kadang-kadang digunakan untuk
mendeskripsikan tentang ibu yang memiliki sifat dingin, dominan, dan
penolak, yang diperkirakan menjadi penyebab skizofrenia pada anak-
anaknya (Akbar, 2008). Menurut Coleman dan Maramis (1994 dalam
Baihaqi et al, 2005), keluarga pada masa kanak-kanak memegang
peranan penting dalam pembentukan kepribadian. Orangtua terkadang
bertindak terlalu banyak untuk anak dan tidak memberi kesempatan anak
untuk berkembang, ada kalanya orangtua bertindak terlalu sedikit dan
tidak merangsang anak, atau tidak memberi bimbingan dan anjuran yang
dibutuhkannya.

D. Gejala Klinis
1. Gangguan positif
a. Delusi/ Waham
Waham merupakan suatu keyakinan terhadap sesuatu yang
dialami pasien yang dihayati dan tidak bisa dirubah. Waham yang
15

muncul pada klinis skizofrenia khas didapatkan waham yang aneh/


tidak logis seperti waham kebesaran.

b. Halusinasi
Suatu persepsi terhadap panca indera tanpa adanya stimulus,
baik itu halusinasi auditorik (paling sering), halusinasi visual, dan
panca indera lainnya, sehingga muncul hal-hal sebagai berikut:
1) Perilaku aneh, tidak terorganisir.
2) Bicara sendiri, tidak teratur.
3) Gaduh dan gelisah.
4) Penuh kecurigaan dan memiliki rasa permusuhan.
2. Gangguan negatif
Gangguan negatif meliputi (Pakpahin, 2012):
1) Alogia (tidak mau bicara)
2) Emosi tumpul
3) Avolition (kehilangan motivasi)
4) Anhedonia (kehilangan minat)
5) Tidak mampu berkonsentrasi
2. Gangguan kognitif
3. Gangguan perhatian
4. Gangguan ingatan

E. Penegakan Diagnosis
Terdapat tanda dan gejala skizofrenia antara lain (PPDGJ III, 1993):
1. Minimal satu gejala berikut yang sangat jelas, atau minimal dua gejala
jika tidak jelas yaitu :
a. Adanya waham bizarre (thought of echo, thought of insertion,
thought of broadcasting).
b. Adanya delusion of influence, delusion of control, delusion of
passivity, delusional perception.
c. Halusinasi auditorik.
16

d. Waham menetap jenis lainnya yang dianggap tidak wajar dan


mustahil terjadi.

2. Atau paling sedikit dua gejala yang harus selalu ada dengan jelas, yaitu:
a. Halusinasi menetap dari indera apapun, disertai waham maupun ide
berlebihan.
b. Adanya arus pikiran yang terputus (break) atau mengalami sisipan
(interpolation).
c. Perilaku katatonik.
d. Gejala-gejala negative.
3. Gejala khas tersebut berlangsung minimal 1 bulan.
4. Terdapat perubahan yang konsisten dan bermakna dalam overall quality
dari beberapa personal behavior.

F. Klasifikasi
Skizofrenia dapat dibedakan menjadi beberapa subtipe yaitu sebagai berikut
(PPDGJ III, 1993).
Tabel 2.1 Klasifikasi Skizofrenia
Skizofrenia Paranoid Skizofrenia Hebefrenik Skizofrenia Katatonik
1. Kriteria umum (+) 1. Kriteria umum (+) 1. Kriteria umum (+)
2. Halusinasi dan 2. Diagnosis pertama 2. Minimal satu dari
waham (control, ditegakkan pada usia berikut
influence, 15-25 tahun mendominasi:
passivity, dikejar) 3. Kepribadian stupor, mutisme,
yang amat premorbid: pemalu, gaduh-gelisah,
menonjol. solitary posturing,
4. Selama observasi 2-3 negativism,
3. Gangguan afektif , bulan didapatkan rigiditas,
dorongan perilaku yang tidak fleksibilitas cerea,
kehendak, gejala bertanggungjawab, command
katatonik relatif mannerisme, solitary, automatism
tidak menonjol afek dangkal
inappropriate,
inkoherensi.
5. Gangguan afektif,
dorongan kehendak,
dan gangguan proses
pikir menonjol
17

Skizofrenia Tak Skizofrenia Residual Skizofrenia Simplek


Terinci
1. Kriteria umum (+) 1. Gejala negatif 1. Gejala negatif yang
2. Tidak memenuhi skizofrenia menonjol khas tanpa
kriteria skizofrenia 2. Riwayat satu episode didahului riwayat
paranoid, psikotik yang jelas di halusinasi, waham,
hebefrenik, atau masa lalu maupun manifestasi
katatonik 3. Melalui 1 tahun lain psikotik.
3. Tidak memenuhi dimana waham dan 2. Disertai perubahan
kriteria skizofrenia halusinasi sangat perilaku pribadi
residual atau berkurang, dan telah yang bermakna,
depresi post- timbul sindrom apatis atau seolah
skizofrenia negative tidak memiliki
4. Tidak ada kepentingan untuk
demensia/gangguan dirinya sendiri.
otak organik lain

Berikut ini adalah tipe skizofrenia dari DSM-IV-TR (2000). Diagnosis


ditegakkan berdasarkan gejala yang dominan yaitu (Elain, 2010):
1. Tipe Paranoid
Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah waham yang mencolok atau
halusinasi auditorik dalam konteks terdapatnya fungsi kognitif dan
afektif yang relatif masih terjaga. Waham biasanya adalah waham kejar
atau waham kebesaran, atau keduanya, tetapi waham dengan tema lain
(misalnya waham kecemburuan, keagamaan, atau somalisas) mungkin
juga muncul. Ciri-ciri lainnya meliputi ansietas, kemarahan, menjaga
jarak dan suka berargumentasi, dan agresif.
2. Tipe Disorganized (tidak terorganisasi)
Ciri utama skizofrenia tipe disorganized adalah pembicaraan
kacau, tingkah laku kacau dan afek yang datar atau inappropriate.
Pembicaraan yang kacau dapat disertai kekonyolan dan tertawa yang
tidak erat kaitannya dengan isi pembicaraan. Disorganisasi tingkah laku
dapat membawa pada gangguan yang serius pada berbagai aktivitas
hidup sehari-hari.
3. Tipe Katatonik
18

Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah gangguan pada psikomotor


yang dapat meliputi ketidakbergerakan motorik (waxy flexibility).
Aktivitas motor yang berlebihan, negativism yang ekstrim, sama sekali
tidak mau bicara dan berkomunikasi (mutism), gerakan-gerakan yang
tidak terkendali, mengulang ucapan orang lain (echolalia) atau mengikuti
tingkah laku orang lain (echopraxia).
4. Tipe Undifferentiated
Tipe Undifferentiated merupakan tipe skizofrenia yang
menampilkan perubahan pola simptom-simptom yang cepat menyangkut
semua indikator skizofrenia. Misalnya, indikasi yang sangat ruwet,
kebingungan (confusion), emosi yang tidak dapat dipegang karena
berubah-ubah, adanya delusi, referensi yang berubah-ubah atau salah,
adanya ketergugahan yang sangat besar, autisme seperti mimpi, depresi,
dan sewaktu-waktu juga ada fase yang menunjukkan ketakutan.
5. Tipe Residual
Tipe ini merupakan kategori yang dianggap telah terlepas dari
skizofrenia tetapi masih memperlihatkan gejala-gejala residual atau sisa,
seperti keyakinan-keyakinan negatif, atau mungkin masih memiliki ide-
ide tidak wajar yang tidak sepenuhnya delusional. Gejala-gejala residual
itu dapat meliputi menarik diri secara sosial, pikiran-pikiran ganjil,
inaktivitas, dan afek datar.

G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien skizofrenia dapat berupa terapi biologis dan
terapi psikososial.
1. Terapi Biologis
Pada penatalaksanaan terapi biologis terdapat tiga bagian yaitu
terapi dengan menggunakan obat antipsikosis, terapi elektrokonvulsif,
dan pembedahan bagian otak. Terapi dengan penggunaan obat
antipsikosis dapat meredakan gejala-gejala skizofrenia. Obat yang
digunakan adalah chlorpromazine (thorazine) dan fluphenazine
decanoate (prolixin). Kedua obat tersebut termasuk kelompok obat
19

phenothiazines, reserpine (serpasil), dan haloperidol (haldol). Obat ini


disebut obat penenang utama. Obat tersebut dapat menimbulkan rasa
kantuk dan kelesuan, tetapi tidak mengakibatkan tidur yang lelap,
sekalipun dalam dosis yang sangat tinggi (orang tersebut dapat dengan
mudah terbangun). Obat ini cukup tepat bagi penderita skizofrenia yang
tampaknya tidak dapat menyaring stimulus yang tidak relevan (Akbar,
2008).
Terapi Elektrokonvulsif juga dikenal sebagai terapi electroshock
pada penatalaksanaan terapi biologis. Pada akhir 1930-an,
electroconvulsive therapy (ECT) diperkenalkan sebagai penanganan
untuk skizofrenia. Tetapi terapi ini telah menjadi pokok perdebatan dan
keprihatinan masyarakat karena beberapa alasan. ECT ini digunakan di
berbagai rumah sakit jiwa pada berbagai gangguan jiwa, termasuk
skizofrenia. Antusiasme awal terhadap ECT semakin memudar karena
metode ini kemudian diketahui tidak menguntungkan bagi sebagian besar
penderita skizofrenia meskipun penggunaan terapi ini masih dilakukan
hingga saat ini. Sebelum prosedur ECT yang lebih manusiawi
dikembangkan, ECT merupakan pengalaman yang sangat menakutkan
pasien. Pasien seringkali tidak bangun lagi setelah aliran listrik dialirkan
ke tubuhnya dan mengakibatkan ketidaksadaran sementara, serta
seringkali menderita kerancuan pikiran dan hilangnya ingatan setelah itu.
Adakalanya, intensitas kekejangan otot yang menyertai serangan otak
mengakibatkan berbagai cacat fisik (Akbar, 2008).
Pada terapi biologis lainnya seperti pembedahan bagian otak
memperkenalkan prefrontal lobotomy, yaitu proses operasi primitif
dengan cara membuang “stone of madness” atau disebut dengan batu
gila yang dianggap menjadi penyebab perilaku yang terganggu. Menurut
Moniz, cara ini cukup berhasil dalam proses penyembuhan yang
dilakukannya, khususnya pada penderita yang berperilaku kasar. Akan
tetapi, pada tahun 1950an cara ini ditinggalkan karena menyebabkan
penderita kehilangan kemampuan kognitifnya, otak tumpul, tidak
bergairah, bahkan meninggal.
20

2. Terapi Psikososial
Gejala-gejala gangguan skizofrenia yang kronik mengakibatkan
situasi pengobatan di dalam maupun di luar Rumah Sakit Jiwa (RSJ)
menjadi monoton dan menjemukan. Secara historis, sejumlah
penanganan psikososial telah diberikan pada pasien skizofrenia, yang
mencerminkan adanya keyakinan bahwa gangguan ini merupakan akibat
masalah adaptasi terhadap dunia karena berbagai pengalaman yang
dialami di usia dini. Pada terapi psikosial terdapat dua bagian yaitu terapi
kelompok dan terapi keluarga (Akbar, 2008).
Terapi kelompok merupakan salah satu jenis terapi humanistik.
Pada terapi ini, beberapa klien berkumpul dan saling berkomunikasi dan
terapist berperan sebagai fasilitator dan sebagai pemberi arah di
dalamnya. Para peserta terapi saling memberikan feedback tentang
pikiran dan perasaan yang dialami. Peserta diposisikan pada situasi sosial
yang mendorong peserta untuk berkomunikasi, sehingga dapat
memperkaya pengalaman peserta dalam kemampuan berkomunikasi.
Pada terapi keluarga merupakan suatu bentuk khusus dari terapi
kelompok. Terapi ini digunakan untuk penderita yang telah keluar dari
rumah sakit jiwa dan tinggal bersama keluarganya. Keluarga berusaha
untuk menghindari ungkapan-ungkapan emosi yang bisa mengakibatkan
penyakit penderita kambuh kembali. Dalam hal ini, keluarga diberi
informasi tentang cara-cara untuk mengekspresikan perasaan-perasaan,
baik yang positif maupun yang negatif secara konstruktif dan jelas, dan
untuk memecahkan setiap persoalan secara bersama-sama. Keluarga
diberi pengetahuan tentang keadaan penderita dan cara-cara untuk
menghadapinya. Dari beberapa penelitian, seperti yang dilakukan
ternyata campur tangan keluarga sangat membantu dalam proses
penyembuhan, atau sekurang-kurangnya mencegah kambuhnya penyakit
penderita, dibandingkan dengan terapi-terapi secara individual.

Pada pasien dengan serangan akut, langkah yang harus dilakukan


adalah sebagai berikut (Kaplan dan Sadock, 2010):
21

1. Langkah Pertama
Dokter dapat melakukan diskusi dan menenangkan pasien
2. Langkah Kedua
a. Terapi medikamentosa
Apabila pasien membahayakan dirinya atau orang lain dapat
dilakukan isolasi terlebih dahulu selama 2-4 jam. Pemberian obat
dapat dilakukan secara peroral maupun injeksi.
1) Obat injeksi digunakan untuk mendapat efek lebih cepat,
misalnya haloperidol, dosis 5 mg setiap injeksi intramuscular
dan dapat diulang setiap setengah jam (dosis maksimum
20mg/hari)
2) Obat antipsikotika oral misalnya klorpromazin dengan dosis
300-1000 mg/hari atau trihexipenidil 2 mg sebanyak 3 kali
sehari
b. Psikoterapi, dilakukan untuk mengurangi stimulus dan stressor yang
berlebihan sekaligus memberikan ketenangan kepada pasien.
c. Terapi kejang listrik (electro compulsive therapy) bagi skizofrenia
katatonik dan skizofrenia refrakter
d. Edukasi pada keluarga dan pasien mengenai gangguan yang terjadi
pada pasien, fungsi terapi, peran keluarga, gejala, penyebab, dan cara
mengatasinya.
Pada fase stabilisasi, pasien dapat diberikan terapi sebagai berikut
(Kaplan dan Sadock, 2010):
1. Farmakoterapi dengan dosis optimal selama 8-10 minggu untuk
meminimalisasi konsekuensi kekambuhan, serta optimalisasi fungsi dan
recovery.
2. Psikoedukasi untuk meningkatkan keterampilan pasien dan keluarga,
serta melatih pasien dalam menghadapi gejala.
Pada fase rumatan, pasien dapat diberikan terapi antara lain sebagai
berikut (Kaplan dan Sadock, 2010):
22

1. Farmakoterapi dengan dosis tapering-off hingga didapatkan dosis


minimal yang mampu mencegah kekambuhan. Farmakoterapi dilakukan
sampai dua tahun.
2. Psikoedukasi yang dilakukan untuk mempersiapkan pasien kembali pada
kehidupan masyarakat. Terapi ini dilakukan dengan cara modalitas
rehabilitasi spesifik dan pengenalan gejala prodromal kepada pasien dan
keluarga
3. Terapi psikososial yang mencakup terapi perilaku, terapi keluarga, dan
terapi kelompok.
4. Psikoterapi individual untuk meningkatkan hubungan terapeutik dan rasa
aman pasien.
5. Perawatan di rumah sakit dengan indikasi:
a. Tujuan diagnostik
b. Menstabilkan medikasi
c. Keamanan pasien (jika ada gagasan bunuh diri atau membunuh)
d. Perilaku yang sangat kacau
e. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar

H. Prognosis
Beberapa faktor penentu prognosis yang dapat dilihat antara lain kepribadian
pramorbid, gejala klinik, jenis kelamin, usia serangan, frekuensi serangan, jenis
serangan, dan faktor konstitusi fisik (Syamsir, 2006). Sekitar 10-20% pasien
skizofrenia menunjukkan hasil baik, 50% menunjukkan hasil buruk (berupa rawat
inap berulang, gangguan mood, dan usaha bunuh diri) (Kaplan dan Sadock, 2010).
Beberapa peneletian mengemukakan bahwa pasien skizofrenia yang
dirawayat pada masa periode 5 hingga 10 tahun hanya memiliki hasil kekembuhan
10 – 20 % dari selururh pasien yang mengalami perawatan. 20 – 30 % pasien
mengalami penyembuhan namun tidak sempurna dan 40m- 60 % pasien masih
tetap dalam keadaan semula. Prognosis pasien dengan skizofrenia dapat di bagi
atas 2 keompok besar yaitu kelompok dengan prognosis baik dan prognosis buruk.
Hal hal yang menentukan suatu prognosis baik atau buruk yaitu (Kaplan, Sadock,
& Grebb, 2010):
23

1. Prognosis baik
a. Onset lambat/ pada usia tua
b. Faktor pencetus jelas
c. Durasi dari awitan bersifat akut
d. Riwayat seksual, sosial dan pekerjaan premorbid baik
e. Adanya gangguan mood
f. Menikah
g. Riwayat keluarga gangguan mood
h. Sistem pendukung yang baik
i. Gejala positif
2. Prognosis buruk
a. Onset muda/ pada usia muda
b. Faktor pencetus tidak jelas
c. Durasi dari awitan bersifat kronis
d. Riwayat seksual, sosial dan pekerjaan premodrbid jelek
e. Tidak menikah, bercerai, atau janda/duda
f. Sistem pendukung yang buruk
g. Riwayat keluarga skizofrenia
h. Gejala negative
i. Tanda dan gejala neurologis
j. Riwayat trauma perinatal
k. Tidak ada remisi dalam 3 tahun
l. Banyak relaps
m. Riwayat penyerangan
6. BAB III
METODE PENELITIAN

A. Metode
1. Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif
dengan menggunakan pendekatan kuantitatif yaitu suatu metode yang
digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu. Teknik
pengambilan sampel biasanya dilakukan dengan perhitungan teknik
sampel tertentu yang sesuai (Sugiyono, 2011). Rancangan penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui gambaran data demografi keluarga dengan
anggota keluarga yang pernah menderita gangguan jiwa berat
(skizofrenia) pada wilayah kerja UPT Puskesmas Rerebe.
2. Waktu dan Tempat Penelitian
Tempat : Kecamatan Tripe Jaya Wilayah kerja UPT Puskesmas
Rerebe
Waktu : Juni – Oktober 2022
3. Teknik Pengumpulan Data
a. Instrumen Penelitiana
Penelitian ini mengambil data yang diperoleh dari kuesioner
Program Keluarga Sehat dengan Pendekatan Keluarga (PIS - PK)
pada setiap Kepala Keluarga (KK) di Kecamatan Tripe Jaya wilayah
kerja UPT Puskesmas Rerebe.
b. Populasi
1) Kriteria Inklusi :
a) Anggota keluarga yang bertempat tinggal di Kecamatan
Tripe Jaya wilayah kerja Puskesmas Rerebe.
b) Anggota keluarga yang baru dan/ atau pernah didiagnosis
gangguan jiwa berat (skizofrenia).
c) Anggota keluarga yang sedang dan/ atau pernah dipasung.

24
25

c. Teknik Pengambilan Sampel


Teknik sampling yang digunakan adalah consecutive
sampling yaitu teknik pengambilan sampel dimana setiap subjek
yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dipilih sampai ukuran
sampel yang dibutuhkan tercapai.
Sampel pada penelitian ini adalah anggota keluarga yang
bertempat tinggal di Kecamatan Tripe Jaya wilayah kerja Puskesmas
Rerebe yang menderita gangguan jiwa berat (skizofrenia).
4. Variabel Penelitian
a. Variabel bebas : Anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa
berat (skizofrenia)
b. Variabel terikat : Angka kepatuhan berobat
5. Definisi Operasional Variabel
a. Usia
Definisi operasional : Usia sejak lahir hingga ulang tahun terakhir
Cara ukur : Ditanyakan dengan menggunakan
kuesioner
Standar : Dinyatakan dalam kelompok usia
1) Balita (0-5 tahun)
2) Anak (6-11 tahun)
3) Remaja awal (12-16 tahun)
4) Remaja akhir (17-25 tahun)
5) Dewasa awal (26-35 tahun)
6) Dewasa akhir (36-45 tahun)
7) Lansia awal (46-55 tahun)
8) Lansia akhir (56-65 tahun)
9) Manula (> 65 tahun)
Skala ukur : Ordinal
b. Jenis kelamin
Definisi operasional :Atribut fisiologis dan anatomis yang
membedakan antara laki-laki dan perempuan saat dilahirkan
26

Cara ukur : Ditanyakan dengan menggunakan


kuesioner
Standar :Dibedakan menjadi laki-laki (L) dan
perempuan (P)
Skala ukur : Nominal
c. Gangguan Jiwa Berat (Skizofrenia)
Definisi operasional : Orang yang mengalami gangguan dalam
pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam
sekumpulan gejala dan atau perubahan perilaku yang bermakna,
serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam
menjalankan fungsi luhur sebagai manusia dalam keseharian (seperti
pekerjaan dan sosial) dengan onset lebih dari 1 bulan.
Cara ukur :Ditanyakan dengan menggunakan
kuesioner, anamnesis, dan pemeriksaan fisik
Standar : Dibedakan menjadi YA atau TIDAK
Skala ukur : Nominal
d. Angka kepatuhan berobat/ minum obat jiwa
Definisi operasional : Penderita gangguan jiwa berat (skizofrenia)
yang berobat dan meminum obat rutin sesuai anjuran dokter
Cara ukur : Ditanyakan dengan menggunakan
kuesioner
Standar : Dibedakan menjadi YA atau TIDAK
Skala ukur : Nominal

B. Pengumpulan Data
1. Jenis Data
Penelitian ini menggunakan data primer yaitu berupa data hasil
wawancara menggunakan kuesioner PIS - PK dan data sekunder
Laporan Program Kesehatan Jiwa Puskesmas Rerebe.
2. Alat pengumpulan data
Alat yang digunakan adalah kuesioner PIS - PK, alat tulis untuk
mencatat data, dan komputer untuk mengolah dan memproses data.
27

3. Cara pengumpulan data


Peneliti mengumpulkan data primer dan sekunder yang didapat
dari PIS - PK Kecamatan Tripe Jaya di wilayah Puskesmas Rerebe.

C. Tata Urutan Kerja


1. Tahap persiapan meliputi konsultasi dengan pembimbing, studi pustaka,
merancang metodologi penelitian, serta perizinan penggunaan data PIS -
PK dan Laporan Program Kesehatan Jiwa Puskesmas Rerebe Tahun
2022.
2. Merekap data ODGJ dari hasil PIS - PK Kecamatan Tripe Jaya sesuai
kriteria inklusi.
3. Mendapatkan data Laporan Program Kesehatan Jiwa Puskesmas Rerebe
Tahun 2022.
4. Mengolah data
5. Menganalisis data.
6. Pembuatan laporan penelitian.
7. Presentasi hasil penelitian.
7. BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil dan Pembahasan


Hasil PIS - PK bulan Juni - Oktober 2022 terkait indikator kesehatan
jiwa yaitu ODGJ di Kecamatan Tripe Jaya didapatkan hasil sebagai berikut:
Tabel 4.1 Prevalensi ODGJ dan Angka Kepatuhan Berobat di Kecamatan
Tripe Jaya berdasarkan Laporan Program Kesehatan Jiwa Puskesmas Rerebe
Juni - Oktober2022

No. Desa/ ODGJ Tidak Total Persentase


Kelurahan Teratur Teratur ODGJ Kepatuhan
Berobat dan Berobat Dikunjung Berobat
Tidak i
Ditelantarkan
1. Perlak 3 0 3 12.5 %
2. Pasir 3 3 6 12.5 %
3. Paya 3 2 5 12.5 %
Kumer
4. Rerebe 2 1 3 8.3%
5. Buntul 1 1 2 4.2%
Musara
6. Setul 2 0 2 8.3
7. Pulo Glime 1 0 1 4.2
8. Kuala 1 1 2 4.2%
Jernih
Total 16 8 27 66.7 %

Tabel 4.1 menunjukkan bahwa selama kunjungan PIS - PK


ditemukan pasien ODGJ baru ataupun sekaligus verifikasi pasien lama yang
sudah terdata di Puskesmas Rerebe. Dari 8 Desa yang sudah dilaksanakan PIS
- PK, didapatkan 27 ODGJ yang dikunjungi, 16 diantaranya sudah rutin
berobat dan tidak ditelantarkan/ tidak dipasung, sedangkan sisanya 8 ODGJ

28
29

masih belum teratur berobat. Sehingga diperoleh angka prosentase kepatuhan


berobat/ minum obat pada ODGJ sebesar 66.7 %.
30

Tabel 4.2 Data Pemasungan ODGJ Berdasarkan PIS - PK dan Laporan


Program Kesehatan Jiwa 2022 di Kecamatan Rerebe.
ODGJ Jumlah
Dipasung 0
Tidak dipasung 24

Di 8 Desa yang sudah dilakukan PIS - PK tidak ditemukan adanya


pemasungan ODGJ (tabel 4.2). Pemasungan diakibatkan pemahaman
keluarga yang rendah akan ODGJ, persepsi yang keliru seperti takut pasien
menyerang/ mengganggu keluarga dan masyarakat sekitar, serta keluarga
pasien masih belum rutin membawa pasien kontrol berobat ataupun
mengambilkan obat untuk pasien. Pemasungan akan mengacaukan hasil
pengobatan dan prognosis. Indonesia sendiri masih menggalakkan Gerakan
Bebas Pasung karena ODGJ berhak untuk mendapatkan perlakuan serta
layanan kesehatan yang manusiawi, hal ini diatur dalam Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia No. 54 Tahun 2017 tentang Penanggulangan
Pemasungan pada Orang dengan Gangguan Jiwa.
8. BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1. Angka prevalensi ODGJ berdasarkan data hasil PIS – PK dan Laporan
Program Kesehatan Jiwa Puskesmas Rerebe pada 8 Desa yaitu 24 ODGJ
dengan rincian Desa Perlak 3, Rerebe 3, Pasir 6, Paya Kumer 5, Buntul
Musara 2, Setul 2, Pulo Glime 1 dan Kuala Jernih 2.
2. Angka kepatuhan berobat ODGJ dari data PIS – PK Laporan Program
Kesehatan Jiwa Puskesmas Rerebe pada 8 Desa yaitu 66.7%..
3. Angka pemasungan di 8 Desa baik dari hasil PIS - PK maupun Laporan
Program Kesehatan Jiwa Puskesmas Rerebe Tahun 2022 yaitu tidak
ditemukan pemasungan ODGJ.

B. Saran
1. Perlu adanya penyuluhan/ pemberian informasi oleh tenaga kesehatan
kepada masyarakat tentang gejala dan tanda, faktor risiko, terapi, serta
dukungan terhadap ODGJ.
2. Perlu juga penyuluhan tentang kepatuhan berobat pasien ODGJ kepada
keluarga pasien untuk meningkatkan keberhasilan terapi, seperti melalui
program Pendekatan Keluarga yang sudah ada di Puskesmas Rerebe,
tinggal ditingkatkan lagi monitoring dan evaluasinya.
3. Perlu adanya dukungan keluarga yang sangat berpengaruh terhadap
kepatuhan terapi pada pasien ODGJ, seperti inovasi program Punggawa
yang akan dilaksanakan di Puskesmas Rerebe I mulai tahun 2019 melalui
perkumpulan rutin keluarga ODGJ.
4. Optimalisasi lagi Pengendalian Terpadu (Pandu PTM) yang ada di
Puskesmas Rerebe.
5. Perlu adanya peningkatan sinkronisasi pelaporan dan pencatatan data
lengkap ODGJ yang ditemukan/ dikunjungi saat PIS – PK dengan data
Laporan Program Kesehatan Jiwa Puskesmas Rerebe.

31
32

6. Harapan akan dilakukannya penelitian lebih lanjut mengenai faktor-


faktor lain yang mempengaruhi kepatuhan berobat pasien ODGJ di
wilayah Puskesmas Rerebe dengan memprioritaskan identifikasi
masalah.
9. DAFTAR PUSTAKA

Akbar, M. 2008. Hubungan Dukungan Sosial Keluarga terhadap Tingkat


Kekambuhan Penderita Skizofrenia di RS Grhasia Yogyakarta.
Yogyakarta: Penerbit Universitas Islam Indonesia.

Ashturkar, M.D., and Dixit, J.V. 2013. Selected Epidemiological Aspect of


Schizophrenia: A Cross Section Study at Terytyari Care Hospital in
Maharashtra. National Journal of Community Medicine. 4 (1): 65-69.

Baihaqi, Sunardi, Riksma, dan Euis. 2005. Pskiatri. Bandung: Refika Aditama.

Bhugra, D. 2005. The global prevalence of schizophrenia. PLoS Med. 2 (5): 151.

Budiarto, Eko. 2004. Metodologi Penelitian Kedokteran. Jakarta: EGC.

Elain, M. E. 2010. Patient’s Perception of Family Involvement and Its


Relationship to Medication Adherence for Persons with schizophrenia
and Schizoaffective Disorders. Journal Social Science. New Jersey: The
State University of New Jersey.

Hawari. 2014. Skizofrenia Pendekatan Holistik (Bio-Psiko-Sosial). Jakarta:


Penerbit FK UI.

Kaplan, H.I., Sadock B.J., and Grebb J.A. 2010. Sinopsis Psikiatri (Alih bahasa:
Widjaja Kusuma). Jakarta: Binarupa Aksara.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013.


Jakarta: Kementerin Kesehatan Republik Indonesia.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2016.Pedoman Umum Program


Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga. Jakarta: Kesehatan
Kementerin Kesehatan Republik Indonesia.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2017. Modul Pelatihan Keluarga


Sehat: Pokok Bahasan 2 Kesehatan Jiwa. Jakarta: Badan Pusat Pelatihan
SDM Kesehatan Kementerin Kesehatan Republik Indonesia.

Maslim, R. 2003. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa: Rujukan Ringkas dari
PPDGJ III. Jakarta: FK Unika Atmajaya.

Pakpahan, dan Sri Hertika. 2012. Karakteristik Penderita Skizofrenia Rawat Inap
di Rumah Sakit Jiwa Medan Tahun 2001. Sumatera Utara: FK USU.

Towsend, M.C. 2011. Psychiatric Mental Health Nursing: Concepts of Care In


Evidence-Based Practice. Philadelphia: F.A. Davis Company.

33
34

Videbeck, S.L. 2008. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.

World Health Organization. 2016. Mental Health. Geneva: World Health


Organization.

World Health Organization. 2017. Mental Health Atlas. Geneva: World Health
Organization.

Anda mungkin juga menyukai