Anda di halaman 1dari 45

Case Report Session (CRS)

*Program Studi Profesi Dokter /G1A221068/Juni 2022


**Pembimbing : dr. Rhonaz Putra Agung, Sp.BS

TUMOR INTRAKRANIAL

Khairi Wilda Prihati *

dr. Rhonaz Putra Agung, Sp.BS **

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN ILMU BEDAH


RSUD RADEN MATTAHER PROVINSI JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2022
LEMBAR PENGESAHAN

CASE REPORT SESSION (CRS)

TUMOR INTRAKRANIAL

Disusun Oleh:

Khairi Wilda Prihati


G1A221068

Kepaniteraan Klinik Senior

Bagian Ilmu Bedah RSUD Raden Mattaher Provinsi Jambi

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Jambi

Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan


Pada Juni 2022

Pembimbing

dr. Rhonaz Putra Agung, Sp.BS


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan kasus yang berjudul “Tumor Intrakranial”.

Dalam kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih kepada dr.


Rhonaz Putra Agung, Sp.BS selaku dosen pembimbing yang memberikan
banyak ilmu selama di Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Bedah.

Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini jauh dari sempurna, penulis
juga dalam tahap pembelajaran, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan
saran agar lebih baik kedepannya.

Akhir kata, penulis berharap semoga laporan Case Report Session


(CRS) ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan dapat menambah informasi
dan pengetahuan kita.

Jambi, Juni 2022

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

Tumor otak dalam pengertian umum berarti benjolan, dalam istilah


radiologisnya disebut lesi desak ruang Space Occupying Lesion (SOL). Neoplasma
sistem saraf pusat umumnya menyebabkan suatu evaluasi progresif disfungsi
neurologis. Gejala yang disebabkan tumor yang pertumbuhannya lambat akan
memberikan gejala yang perlahan munculnya, sedangkan tumor yang terletak pada
posisi yang vital akan memberikan gejala yang muncul dengan cepat.

Tumor atau neoplasma susunan saraf pusat dibedakan menjadi tumor primer
dan tumor sekunder atau metastatik. Tumor primer bisa timbul dari jaringan otak,
meningen, hipofisis dan selaput myelin. Tumor sekunder adalah suatu metastasis
yang tumor primernya berada di luar susunan saraf pusat, bisa berasal dari paru-
paru, mammae, prostat, ginjal, tiroid atau digestives. Tumor primer dijumpai 10%
dari seluruh penyakit neurologi yang ditemukan. Selain itu, didapati (80%) tumor
otak terletak pada intracranial dan (20%) di dalam kanalis spinalis. Lokasi tumor
terbanyak berada di lobus parietalis (18,25%), sedangkan tumor-tumor lainnya
tersebar di beberapa lobus otak, suprasellar, medulla spinalis, cerebellum,
brainsteam, cerebellopontineangle dan multiple.

Penderita tumor otak lebih banyak pada laki-laki dibanding dengan


perempuan. Tumor otak merupakan penyebab kematian kedua pada kasus kanker
yang terjadi pada anak-anak yang berusia dibawah 20 tahun dan juga pada pria
berusia 20-39 tahun. Selain itu tumor otak merupakan penyebab kematian nomor
lima dari seluruh pasien kanker pada wanita yang berusia 20-39 tahun.

Tumor otak terjadi karena adanya proliferasi atau pertumbuhan sel


abnormal secara sangat cepat pada daerah central nervous system (CNS). Sel ini
akan terus berkembang mendesak jaringan otak yang sehat di sekitarnya,
mengakibatkan terjadi gangguan neurologis (gangguan fokal akibat tumor dan
peningkatan tekanan intrakranial).
Menurut National Brain Tumor Society, penatalaksanaan standar untuk
tumor otak adalah operasi, terapi radiasi dan kemoterapi. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan
radiologi dan patologi anatomi. Dengan pemeriksaan radiologi dan patologi
anatomi dapat dibedakan tumor benigna dan maligna. Pembedahan dilakukan untuk
mengeluarkan tumor otak bila mungkin. Radiasi dan kemoterapi biasanya
digunakan sebagai perawatan sekunder atau adjuvant dan dapat digunakan tanpa
operasi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Tumor Otak

Tumor otak adalah terdapatnya lesi yang ditimbulkan karena ada desakan
ruang baik jinak maupun ganas yang tumbuh di otak, meningen, dan tengkorak.1
Tumor otak adalah suatu lesi ekspansif yang bersifat jinak (benigna) ataupun ganas
(maligna) membentuk massa dalam ruang tengkorak kepala (intra cranial) atau di
sumsum tulang belakang (medulla spinalis). Neoplasma pada jaringan otak dan
selaputnya dapat berupa tumor primer maupun metastase. Apabila sel-sel tumor
berasal dari jaringan otak itu sendiri disebut tumor otak primer dan bila berasal dari
organ-organ lain (metastase) seperti kanker paru, payudara, prostate, ginjal, dan
lain-lain disebut tumor otak sekunder.1

Gambar 1. Tumor Otak

Central Brain Tumor Registry for the United States (CBTRUS)


memperkirakan bahwa akan terdapat 190.600 tumor otak yang akan terdiagnosis
pada 2005. Dari jumlah tersebut 43.800 diperkirakan adalah tumor otak primer dan
sisanya adalah sekunder atau metastasis. Insiden umum untuk tumor otak primer
dan Central Nervous System (CNS) adalah 14 kasus per 100.000 orang/tahun.
Insiden tumor otak tampaknya makin meningkat, tetapi ini mungkin mencerminkan
diagnosis yang lebih cepat dan lebih akurat. CBTRUS mencatat bahwa, pada tahun
2000, sekitar 359.00 orang di Amerika Serikat hidup dengan tumor otak primer
dengan 75% memiliki tumor jinak dan 23% memiliki tumor ganas.

2.2 Epidemiologi2

Berdasarkan data-data dari Central Brain Tumor Registry of the United


State (CBTRUS) insidensi kanker otak ganas dan jinak adalah 22.36 per 100,000
per tahun; (7.18 per 100,000 untuk kanker otak ganas, 15.18 per 100,000 untuk
tumor otak jinak). Tingkat kejadian dikalangan wanita lebih tinggi (24.46 kasus per
100,000 untuk jumlah kiraan 213.301 kasus tumor) dibandingkan laki-laki (20.10
kasus per 100,000 untuk jumlah kiraan 154.816 tumor) pada tahun 2009-2013.2

Diperkirakan 79.270 kasus baru otak malignan dan bukan malignan utama
dan tumor CNS lain didiagnosis di Amerika Serikat pada 2017. Ini termasuk kira-
kira 26.070 kasus utama malignan dan 53,200 kasus bukan malignan yang akan
didiagnosis di Amerika Serikat dalam 2017. Kadar insiden di seluruh dunia, otak
malignan utama dan tumor CNS lain pada tahun 2012, umur terlaras menggunakan
penduduk dunia standard, adalah 3.4 bagi setiap 100,000.

Kadar insiden pada wanita adalah 3.9 dari setiap 100,000 dan 3.0 bagi setiap
100,000 laki-laki. Ini diperkirakan 139.608 orang lelaki dan 116.605 orang
perempuan yang didiagnosis di seluruh dunia dengan tumor otak malignan utama
pada tahun 2012, jumlah keseluruhan 256.213 orang. Kadar kejadian adalah lebih
tinggi di negara-negara yang lebih maju (5.1 kasus per 100,000) daripada di negara-
negara berkembang (3.0 kasus per 100,000).

2.3 Etiologi3

Penyebab tumor hingga saat ini masih belum diketahui secara pasti
walaupun telah banyak penyelidikan yang dilakukan. Adapun faktor-faktor yang
perlu ditinjau, yaitu:3
a. Herediter

Riwayat tumor otak dalam satu anggota keluarga jarang ditemukan


kecuali pada meningioma, astrocytoma dan neurofibroma dapat dijumpai
pada anggota-anggota sekeluarga. Sklerosis tuberose atau penyakit Sturge-
Weber yang dapat dianggap sebagai manifestasi pertumbuhan baru
memperlihatkan faktor familial yang jelas. Selain jenis-jenis neoplasma
tersebut tidak ada bukti-bukti yang kuat untuk memikirkan adanya faktor-
faktor hereditas yang kuat pada neoplasma.3

b. Sisa-sisa Sel Embrional (Embryonic Cell Rest)

Bangunan-bangunan embrional berkembang menjadi bangunan-


bangunan yang mempunyai morfologi dan fungsi yang terintegrasi dalam
tubuh. Ada kalanya sebagian dari bangunan embrional tertinggal dalam
tubuh menjadi ganas dan merusak bangunan di sekitarnya. Perkembangan
abnormal itu dapat terjadi pada kraniofaringioma, teratoma intrakranial dan
kordoma.3

c. Radiasi

Jaringan dalam sistem saraf pusat peka terhadap radiasi dan dapat
mengalami perubahan degenerasi namun belum ada bukti radiasi dapat
memicu terjadinya suatu glioma. Meningioma pernah dilaporkan terjadi
setelah timbulnya suatu radiasi.3

d. Virus

Banyak penelitian tentang inokulasi virus pada binatang kecil dan


besar yang dilakukan dengan maksud untuk mengetahui peran infeksi virus
dalam proses terjadinya neoplasma tetapi hingga saat ini belum ditemukan
hubungan antara infeksi virus dengan perkembangan tumor pada sistem
saraf pusat.3

e. Substansi-substansi karsinogenik
Penyelidikan tentang substansi karsinogen sudah lama dan luas
dilakukan. Kini telah diakui bahwa ada substansi yang karsinogenik seperti
methylcholanthrone, nitroso-ethyl-urea.3

f. Trauma Kepala

Trauma kepala yang dapat menyebabkan hematoma sehingga


mendesak massa otak akhirnya terjadi tumor otak.3

2.4 Klasifikasi Tumor Otak

Berdasarkan klasifikasi WHO tahun 2007, tumor otak digolongkan


menurut temuan histopatologis. Namun saat ini klasifikasi WHO tahun 2016
dibedakan secara biomolekular untuk kepentingan tata laksana dan prognosis,
seperti adanya mutasi isocitrate dehydrogenase (IDH)-l dan 2, serta p53. Pada
oligodendroglioma anaplastik dengan delesi kromosom lp mempunyai prognosis
yang lebih baik terhadap terapi dibandingkan yang kromosom lpnya intak (Tabel
1).
Tabel 1. Klasifikasi Tumor Otak (WHO, 2016)

Berdasarkan epidemiologinya, tumor tersering adalah astrositoma dan


meningioma. Golongan astrositoma tersering adalah derajat tinggi (high grade),
terutama glioblastoma, sekitar 38% dari tumor otak keseluruhan. Tumor ini
termasuk ganas, sehingga gejala klinis biasanya dalam waktu hitungan bulan
dengan defisit neurologis yang berat, serta gambaran MRI yang khas bisa berupa
kistik, nekrosis, atau perdarahan, dan edema yang luas. Prognosis biasanya buruk,
kecuali jika dapat dideteksi dini dan ditatalaksana segera dikatakan dapat
memperpanjang kelangsungan hidup.

Meningioma merupakan tumor kedua tersering, terutama pada perempuan,


dikatakan berkaitan dengan hormon estrogen dan progesteron. Mayoritas (90%)
tumor ini jinak (derajat I) dan mempunyai prognosis yang baik jika dapat direseksi
total. Mengingat letaknya yang dapat jauh di dalam, seperti daerah basis kranii atau
klivus, maka kadang terjadi residu tumor yang dapat menyebabkan rekurensi.
Sejauh ini belum ada kemoterapi yang tepat dan tumor juga tidak terlalu berespons
terhadap radioterapi. laju tumbuhnya yang sangat lambat, maka kadang pasien
dapat bertahan cukup lama dengan gejala sisa yang minimal.

Kanker dapat menyebar dari satu organ ke lainnya saat cukilan kecil tumor
pecah dan memasuki aliran darah. Lalu cukilan tumor terbawa ke organ lain, yang
memulai aksinya. kanker yang menyebar ke otak paling umum menimpa orang
lanjut usia; kanker paru, payudara, usus dan kanker kulit yang disebut melanoma
yang berbahaya. Kanker prostat adalah kasus khusus karena atas suatu alasan,
penyebarannya mengarah ke penutup otak daripada jaringan otak itu sendiri.5

Pada saat kanker menyebar ke otak, biasanya tumbuh sebagai tumor


tunggal. jadi, tumor otak metastatic memiliki gejala sama sebagai tumor otak primer
dan terlihat mirip sekali pada studi pencitraan. Dokter bisa memberitahu perbedaan
hanya dengan melihat tumor di bawah mikroskop dan mengenali bahwa sel-sel
yang membentuk tumor tidak normal, berada di dalam otak tapi bergerak ke sana
dari paru-paru atau payudara. Tak jarang gejala dari tumor otak adalah tanda
pertama yang menandai munculnya kanker. di waktu-waktu yang lani, keterlibatan
otak dalam penyakit sudah terlambat, setelah kanker sudah menyebar ke organ-
organ lain.5
2.5 Patofisiologi Tumor otak2
Tumor otak diperkirakan muncul ketika gen tertentu pada kromosom sel
rusak dan tidak lagi berfungsi dengan baik. Sel akan mengalami kematian saat
mencapai fase akhir usia sel. Proses kematian sel terbagi menjadi dua berdasarkan
mekanismenya, yaitu nekrosis sel dan apoptosis. Gen yang mengalami perubahan
pada tumor SSP dapat dibagi menjadi dua kategori umum yaitu onkogen dan tumor
suppressor genes sebagai gen penghambat pertumbuhan.2
Pertumbuhan sel yang abnormal secara terus menerus akan menyebabkan
vaskularisasi dari pembuluh darah host tidak mencukupi sehingga terjadi hipoksia.
Hal ini memicu sel tumor menyekresi vascular endothelial growth factor (VEGF)
untuk merangsang pembentukan pembuluh darah atau angiogenesis. Vascular
Endothelial Growth Factor (VEGF) digambarkan sebagai faktor permeabilitas
pembuluh darah dan berfungsi sebagai regulator angiogenesis dan permeabilitas
pembuluh darah. Vascular endothelial growth factor (VEGF) disekresi langsung
oleh sel tumor dan ekspresi VEGF pada tumor dikorelasikan dengan permeabilitas
vaskular dan edema vasogenik. Edema vasogenik yang dimediasi oleh VEGF dan
mediator inflamasi menyebabkan kerusakan sawar darah otak oleh karena
kerusakan fungsi dari protein tight junction. Adapun protein penyusun tight
junction berupa occludin, claudin-5, claudin-1 dan ZO-1.5

Gambar 2. Mekanisme Edem Vasogenik pada Tumor Otak

Vascular endothelial growth factor (VEGF) berikatan dengan endotel sel


melalui interaksi dengan afinitas tinggi tirosin kinase reseptor flt-1 (VEGFR-1) dan
Flk 1/KDR (VEGFR-2). Reseptor ini diekspresikan terutama pada sel endotel.
Vascular endothelial growth factor (VEGF) mempunyai peranan yang sangat kuat
terhadap permeabilitas pembuluh darah dan bahkan seribu kali lebih kuat dari
histamin, dan mungkin memiliki efek langsung di tight junction endotel. Selain itu,
VEGF menginduksi pembentukan edema melalui sintesis dan pelepasan Nitric
Oxide (NO). Vascular endothelial growth factor (VEGF) dapat mengganggu fungsi
occludin, dengan pembukaan tight junction sebagai konsekuensinya. Hipotesis
alternatif pada pembentukan dan regulasi edema otak telah didapatkan setelah
penemuan family aquaporin. Di otak, aquaporin-4 dinyatakan dalam kaki astrocytic
endotel. Aquaporin-4 sangat di upregulasi dalam high grade glioma.6

Efek massa tumor dan edema peritumoral yang meningkatkan tekanan


intrakranial akan meningkatkan tekanan di sekitar nervus optikus sehingga
menyebabkan gangguan tekanan intraokular dan gangguan aliran aksoplasma. Hal
ini menyebabkan pembengkakan pada nervus optikus dan akumulasi cairan
sehingga mengganggu jaras visual.7

2.6 Manifestasi Tumor Otak2,5

Semua gejala klinis tumor otak adalah berlandaskan pada efek desak ruang.
Tekanan di intrakranial dipertahankan konstan sesuai dengan hukum Monroe Kelly
dengan memodifikasi aliran darah dan cairan serebrospinal. Oleh karena itu, jika
penambahan massa terus membesar, meningen akan meregang sehingga
merangsang reseptor nyeri. Efek desak ruang bukan hanya ditimbulkan oleh massa,
namun juga oleh edema di sekitarnya, sehingga lebih mudah menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial. Sesuai dengan pertumbuhan massa, nyeri akan
terasa semakin berat terutama jika ada penambahan volume ke intrakranial seperti
setelah aktivitas fisik, malam atau pagi hari, dan saat batuk, bersin atau mengedan.
Nyeri kepala hebat disertai penurunan kesadaran merupakan tanda-tanda herniasi
serebri.2,5

Manifestasi klinis neurologi tumor otak adalah nyeri kepala, gangguan


motorik atau sensorik, kejang, penurunan kesadaran dan defisit kognitif. Gejal-
gejala ini muncul dan berkembang secara perlahan, sehingga tumor otak sulit untuk
dideteksi secara dini pada saat gejalanya belum dirasakan mengganggu. Namun
pada keadaan perubahan mendadak sistem homeostasis tubuh, tumor otak juga
dapat menimbulkan manifestasi klinis yang bersifat akut.2

Beberapa penelitian juga telah membahas perubahan perilaku spesifik yang


terkait dengan tumor otak. Ada sejumlah efek neurologi, kognitif, dan psikologis
yang dikenal dapat bermanifestasi pada orang dewasa dengan tumor otak primer.
Hal ini dapat terjadi sebagai akibat langsung dari infiltrasi tumor, efek pengobatan
yang terkait, dan juga dampak psikologis penyakit dengan prognosis yang buruk.
Berbagai daerah lobus frontal memainkan peran utama dalam proses perilaku atau
kognitif ini. Perubahan perilaku yang terjadi seperti disinhibisi sosial, agresi fisik
dan verbal, terbatasnya wawasan dan kehilangan penilaian sosial dapat dikaitkan
dengan lesi pada korteks prefrontal orbitofrontal dan ventromedial. Perilaku
termasuk apatis bisa terkait dengan kerusakan pada korteks prefrontal medial dan
koneksinya.

Lesi di cingulate anterior dan sirkuit prefrontal dorsolateral mungkin


berhubungan dengan gangguan dalam komponen fungsi eksekutif yang juga
memiliki peran dalam pengawasan atau monitoring perilaku. Selain efek lokal
neoplasma di korteks prefrontal, efek jarak jauh dari tumor yang terletak di daerah
kortikal dan subkortikal lainnya juga dapat menyebabkan gangguan fungsi kognitif
dan perilaku.8

Fry dkk melaporkan bahwa gejala klinis dari tumor otak yang paling sering
dikeluhkan pasien adalah nyeri kepala (56%) diikuti dengan gangguan perilaku
(44%), dan gangguan visual atau penglihatan (38%). Pada anak-anak dapat
dijumpai gangguan pada proses belajar di sekolah, gangguan pertumbuhan dan
gangguan endokrin. Gangguan visual yang sering dikeluhkan adalah pandangan
ganda dan penglihatan kabur. Sedangkan gangguan visual lain yang lebih jarang
dikeluhkan adalah fotofobia, juling, gangguan pergerakan bola mata dan halusinasi
visual.9

Selain itu Tagoe dkk menyebutkan bahwa nyeri kepala (77,8%) adalah salah
satu gejala klinis yang paling awal dan umum dikeluhkan pasien-pasien dengan
tumor otak, diikuti oleh perubahan perilaku (19,4%), anosmia (19,4%), muntah
(13,9%), gangguan menstruasi (13,9%), kejang (11,1%), tinnitus (11,1%) dan
ataksia (5,6%). Sedangkan gejala neurooftalmik yang paling umum dikeluhkan
adalah penglihatan kabur (83,3%) diikuti fotofobia (31,4%) dan nyeri pada mata
(31,4%).10

Fry dkk menyebutkan bahwa tanda klinis yang sering dijumpai saat
pemeriksaan neurologi lengkap adalah abnormalitas nervus kranialis (49%), tanda-
tanda gangguan serebelar (48%), papil edema (38%), penurunan kesadaran (12%),
abnormalitas somatosensorik (11%). Dari abnormalitas nervus kranialis, gangguan
visual memiliki frekuensi tersering sebanyak 49% dimana terjadi gangguan
lapangan pandang sebanyak 23% dan gangguan visus sebanyak 26% diikuti
kelumpuhan nervus kranialis VI (37%) dan kelumpuhan nervus kranialis VII
(28%).9

Tagoe dkk (2015) melaporkan bahwa tanda klinis neurooftalmik yang


paling sering dijumpai adalah papil atrofi (74,3%) diikuti oleh Relative Afferent
Pupillary Defect (RAPD) (34,3%), papil edema (25%) dan tanda-tanda lain yang
lebih jarang dijumpai seperti proptosis, ptosis, nistagmus, dan strabismus.10

Tabel 2. Tanda dan Gejala Klinis Tumor Otak Berdasarkan Jenis Tumor9
Deshmukh dkk melaporkan bahwa justru pasien tumor otak yang diteliti
100% mengalami gejala penurunan visus, kemudian gejala terbanyak kedua adalah
nyeri kepala sebanyak 41,17%, diikuti vertigo sebanyak 23,52%, serta muntah dan
tinnitus sebanyak 11,76%. Dan tanda yang paling sering dijumpai pada
pemeriksaan neurologi adalah papil atrofi sebanyak 76,46% dan papil edema
sebanyak 11,76%.11

Dari keseluruhan pasien tersebut, jenis tumor terbanyak adalah meningioma


sebanyak 41% diikuti dengan makroadenoma pituitari sebanyak 29%. Sedangkan
DeAngelis dan Wen menjabarkan persentase tanda dan gejala klinis pasien tumor
otak berdasarkan jenis tumornya yaitu high-grade glioma, low-grade glioma,
meningioma dan tumor metastasis.12

Manifestasi Lokal2 :

Manifestasi klinis lokal disebabkan oleh kerusakan, iritasi, atau kompresi


dari sebagian otak tempat tumor terletak.

1) Kelemahan Fokal (misal, hemiparesis)

2) Gangguan sensoris, antara lain tidak dapat merasakan (anestesia), atau sensasi
abnormal (Parestesia)

3) Gangguan bahasa

4) Gangguan koordinasi (misal, jalan sempoyongan)

5) Gangguan penglihatan seperti diplopia (pandangan ganda) atau gangguan lapang


pandang (monopia)

2.7 Diagnosis

a. Anamnesis
Anamnesis dimulai dari keluhan yang dialami pasien dapat berupa nyeri
kepala, mual, penurunan nafsu makan maupun berat badan, muntah menyembur,
kejang, gangguan penglihatan, gangguan keseimbangan, kelumpuhan anggota
gerak, perubahan perilaku atau penurunan fungsi kognitif.13

Gejala yang penting adalah gejala awal nyeri kepala sebagai tanda bahaya
adanya kelainan intrakranial. Anamnesis yang teliti terhadap nyeri kepala serta
defisit neurologis seminimal mungkin seperti gangguan fungsi kognitif yang
berdampak pada aktivitas sehari-hari pasien dapat membantu mendeteksi tumor
sekecil mungkin. Hal ini tentu ditunjang dengan pemeriksaan fisik lengkap yang
komprehensif hingga funduskopi untuk memastikan adanya gejala-gejala lesi desak
ruang.2

b.Pemeriksaan Fisik dan Neurologis

Pemeriksaan fisik umum maupun pemeriksaan neurologis dibutuhkan untuk


mendiagnosis tumor otak sekaligus berfungsi untuk menjelaskan kecocokan
gangguan klinis dan fungsional tumor otak. Beberapa tumor otak memiliki
manifestasi neurooftalmik yang khas seperti tumor regio sella, tumor regio pineal
dan tumor fossa posterior.13

Pemeriksaan fisik dan neurologis yang dilakukan dimulai dari pemeriksaan


kesadaran, baik menggunakan penilaian secara kualitatif dan kuantitatif. Kemudian
dilakukan pemeriksaan saraf kranial, pemeriksaan motorik, pemeriksaan refleks
tendon dalam, pemeriksaan sensorik dan pemeriksaan khusus lainnya sesuai gejala
yang dikeluhkan pasien, misal pemeriksaan neurooftalmologi, pemeriksaan
neurootologi dan lain lain.14

Pemeriksaan neurooftalmologi dibedakan menjadi pemeriksaan fungsi


sistem aferen, pemeriksaan fungsi sistem eferen, pemeriksaan eksternal dan
pemeriksaan funduskopi. Pemeriksaan ini dilakukan pada semua kasus NO baik
gangguan penglihatan, diplopia dan gangguan lainnya.15

Pemeriksaan fungsi sistem aferen dimulai dari pemeriksaan tajam


penglihatan. Pemeriksaan ini dapat menggunakan visus bedside, Snellen Chart
maupun Rosenbaum Chart. Alat yang dibutuhkan untuk pemeriksaan visus terdiri
dari penutup mata (occluder), Snellen chart, Rosenbaum chart, pinhole dan
penlight. Kemudian pemeriksaan dilanjutkan dengan pemeriksaan lapang pandang.
Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk menentukan lokasi lesi dari jaras penglihatan.
Pemeriksaan dapat dilakukan secara sederhana dengan konfrontasi namun idealnya
dilakukan dengan menggunakan perimetri.15

Pemeriksaan fungsi sistem eferen dimulai dari pemeriksaan gerakan bola


mata dan pemeriksaan pupil. Hal ini bertujuan untuk menilai adakah keterlibatan
paresis nervus kranial. Setelah itu dilakukan pemeriksaan eksternal, yaitu
pemeriksaan kelopak mata apakah terdapat ptosis, lagophtalmus maupun retraksi
kelopak mata. Pemeriksaan terakhir adalah funduskopi dimana alat yang
dibutuhkan adalah ophtalmoscop direct dan midriatikum. Hal yang perlu diamati
saat funduskopi adalah bentuk papil, warna, pembuluh darah retina (rasio Aa:Vv),
cup dan gambaran retina lain (eksudat, perdarahan dan lain-lain).15

c. Pemeriksaan Penunjang Pencitraan

Pencitraan memiliki peranan yang penting pada diagnosis dan manajemen


pasien dengan tumor otak. Kemajuan dalam teknik pencitraan memungkinkan
untuk visualisasi tumor secara noninvasif dan telah mengubah cara mendiagnosis
dan mengobati tumor otak. Perencanaan pra-bedah dengan penggunaan functional
Magnetic Resonance Imaging (fMRI) dan MRI tensor difusi membantu melindungi
jaringan yang sehat, sehingga dapat mengurangi morbiditas pascaoperasi.15,16

Pemeriksaan radiologi standar adalah Computed Tomography (CT) scan


dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) dengan kontras. Computed Tomography
Scan berguna untuk melihat adanya tumor pada langkah awal penegakan diagnosis
dan sangat baik untuk melihat kalsifikasi atau lesi erosi/destruksi pada tulang
tengkorak. Magnetic Resonance Imaging otak dengan atau tanpa kontras
merupakan standar baku emas dan mampu menyediakan sebuah gambaran stasis
dari tumor. Magnetic Resonance Imaging dapat melihat gambaran jaringan lunak
dengan lebih jelas dan sangat baik untuk tumor infratentorial, tetapi mempunyai
keterbatasan dalam melihat kalsifikasi. Pemeriksaan Magnetic Resonance
Spectroscopy (MRS) sangat baik untuk menentukan daerah nekrosis dengan tumor
yang masih viable, sehingga dapat digunakan sebagai penuntun biopsi serta untuk
menyingkirkan infeksi. Pemeriksaan Positron Emission Tomography (PET) dapat
berguna pascaterapi untuk membedakan antara tumor yang rekuren dan jaringan
nekrosis akibat radiasi.2

Computed tomography scan merupakan modalitas pertama yang digunakan


pada pasien tumor otak, namun untuk sebagian besar kasus. Peran CT scan sebagian
besar digunakan pada pencitraan emergensi dalam mendeteksi perdarahan, herniasi,
dan hidrosefalus, tetapi efek massa dan kalsifikasi dalam tumor seperti
oligodendroglioma atau menigioma juga berpotensi terdeteksi.2

Meskipun banyak sekali perbaikan dalam teknik pencitraan lanjutan selama


beberapa dekade terakhir, MRI tetap menjadi metode pencitraan standar untuk
praktik neuro-onkologi. Rekomendasi konsensus saat ini untuk protokol standar
MRI tumor otak adalah 3-dimensi (3-D) T1, axial fluid-attenuated inversion
recovery (FLAIR), axial diffusion-weighted imaging (DWI), axial gadolinium
contrast-enhanced T2, dan 3-D gadolinium contrast-enhanced T1 yang dilakukan
pada minimum sistem MR 1,5 tesla. Jika 3-D tidak dapat dilakukan karena kendala
waktu atau keterbatasan teknis maka dapat diganti teknik 2-D. Urutan struktural
(T2- weighted, FLAIR, dan pre-and postcontrast T1-weighted) memberikan dasar
utama pemeriksaan MRI.17

Tabel 3. Metode Pencitraan dan Kegunaan Utama Pencitraan Tumor Otak


Kombinasi dari peran modalitas pencitraan dalam mendiagnosis tumor otak
secara anatomi dan fungsional dibutuhkan dalam diagnosis, evaluasi dari terapi dan
prognosis dari pasien tumor otak. Dimana pemeriksaan pencitraan seperti CT scan
dan MRI dapat menentukan lokasi dari tumor sedangkan pemeriksaan pencitraan
fungsional dapat menilai aktifitas biologis dan metabolisme dari sel tumor,
termasuk didalamnya metabolisme glukosa, uptake asam amino, hipoksia, laju
proliferasi dan tingkat invasif dari tumor tersebut.2

Selain itu dapat dilakukan pemeriksaan penunjang pencitraan lain, diantaranya:3,4,5

1. Foto Polos Dada

Dilakukan untuk mengetahui apakah tumornya berasal dari suatu metastasis


yang akan memberikan gambaran nodul tunggal ataupun multiple pada otak.

2. Pemeriksaan cairan serebrospinal


Dilakukan untuk melihat adanya sel-sel tumor dan juga marker tumor. Tetapi
pemeriksaan ini tidak rutin dilakukan terutama pada pasien dengan massa di
otak yang besar. Umumnya diagnosis histologik ditegakkan melalui
pemeriksaan patologi anatomi, sebagai cara yang tepat untuk membedakan
tumor dengan proses-proses infeksi (abses cerebri).
3. Biopsi Stereostatik
Dapat digunakan untuk mendiagnosis kedudukan tumor yang dalam dan untuk
memberikan dasar-dasar pengobatan dan informasi prognosis.
4. Angiografi Serebral
Memberikan gambaran pembuluh darah serebral dan letak tumor serebral.
5. Elektroensefalogram (EEG)
Mendeteksi gelombang otak abnormal pada daerah yang ditempati tumor dan
dapat memungkinkan untuk mengevaluasi lobus temporal pada waktu kejang.
2.8 Penatalaksanaan Tumor Otak

Faktor–faktor prognostik sebagai pertimbangan penatalaksanaan :

1. Usia

2. General Health

3. Ukuran Tumor

4. Lokasi Tumor

5. Jenis Tumor

Pada prinsipnya pada tumor otak terbagi atas terapi simtomatik, definitif,
dan paliatif. Hal ini dilakukan secara bersama dalam tim yang multidisiplin disertai
pembicaraan untuk menentukan kesepakatan bersama. Untuk menjalani itu semua,
pasien harus kuat secara mental dengan dukungan penuh dari keluarga. Pasien
dengan tumor otak dapat mengalami gangguan psikiatri hingga 78%, baik bersifat
organik akibat tumornya atau fungsional yang berupa gangguan penyesuaian,
depresi, dan ansietas. Hal ini dapat menghambat proses terhadap pasien.

Terapi Simtomatik

Pasien dengan tumor otak bisa datang dalam keadaan peningkatan TIK,
sehingga harus ditatalaksana segera. Perlu dilakukan analisis penyebab peningkatan
tekanannya segera berdasarkan gambaran klinis dan imajing, karena berbeda
tatalaksananya. Gejala peningkatan TIK akibat ukuran masa tumor yang besar
biasanya berlangsung secara perlahan dalam durasi yang lama dalam hitungan
minggu atau bulan, memerlukan tindakan operatif segera. Namun jika gejala
berlangsung singkat dalam hitungan jam atau hari maka peningkatan TIK biasanya
disebabkan oleh edema peritumoral atau hidrosefalus akibat sumbatan sistem
ventrikel. Bahkan peningkatannya juga bisa berlangsung mendadak menyerupai
gejala stroke, yang ditemukan pada tumor berdarah seperti apopleksia hipofisis,
astrositoma derajat tinggi yang kaya akan pembuluh darah yang rapuh, atau tumor
metastasis.
Penyebab peningkatan TIK tersering adalah edema vasogenik, sesuai
dengan patofisiologi tumor untuk cenderung menyebabkan edema di sekitarnya.
Obat pilihan utama adalah kortikosteroid golongan deksametason dosis tinggi,
loading lO mg IV dilanjutkan dosis rumatan 16-20mg/hari dan dapat dinaikkan
dosisnya. Secara teori dosis maksimal bisa hingga 96mg/hari, namun kenyataannya
dosis 30mg/hari juga sudah berefek bermakna. Pemberian antiedema ini sebenarnya
bersifat sementara, sambil mempersiapkan pasien untuk tindakan operatif. Namun
kenyataannya persiapannya sering cukup lama.

Pada pemberian yang lebih dari 5-7 hari, steroid tidak boleh dihentikan tiba-
tiba karena dapat menyebabkan rebound phenomenon, sehingga dilakukan
penurunan secara bertahap (tapering off), Penurunan dilakukan sebanyak 20% dari
dosis harian setiap 3-5 hari tergantung keadaan klinis. Sebaliknya dosis juga dapat
dinaikkan jika dianggap terjadi perburukan klinis akibat edemanya. Manitol tidak
dianjurkan diberikan karena dapat memperburuk edema, kecuali bersamaan dengan
deksametason pada situasi yang berat atau pascaoperasi.

Hidrosefalus biasanya ditemukan akibat penekanan ventrikel oleh tumor di


daerah sella, pineal, serebelum, atau intraventrikel itu sendiri. Dapat dilakukan
pemasangan pirau ventrikuloperitoneal (ventriculoperitoneal/VP shunt) segera
untuk menurunkan TIK sebelum kemudian dilakukan reseksi tumor penyebabnya.
Pada tumor berdarah, dapat terjadi edema sitotoksik bercampur dengan edema
vasogenik, sehingga jika belum terjadi perbaikan klinis yang signifikan setelah
pemberian deksametason dapat dilanjutkan dengan pemberian manitol 25-50 mg
dalam solusio 20% intravena selama 10-20 menit.

Efek samping pemberian steroid yakni gangguan toleransi glukosa, stress


ulcer, miopati, perubahan mood, peningkatan nafsu makan, Cushingoid, dan
sebagainya. Sebagian besar dari efek samping tersebut bersifat reversibel apabila
steroid dihentikan. Selain efek samping, hal-hal yang perlu diperhatikan dalam
pemberian steroid yakni interaksi obat. Kadar antikonvulsan serum, seperti fenitoin
dan karbamazepin dapat dipengaruhi oleh deksametason, sehingga membutuhkan
pemantauan.

Epilepsi merupakan kelainan yang sering ditemukan, 30% sebagai


manifestasi awal dengan bentuk bangkitan tersering adalah bangkitan fokal dengan
atau tanpa perubahan menjadi umum sekunder. Oleh karena tingginya tingkat
rekurensi bangkitan, maka harus diberikan obat antiepilepsi (OAE) yang ditentukan
berdasarkan pertimbangan profil efek samping, interaksi obat, dan biaya. OAE
golongan lama seperti fenitoin dan karbamazepin kurang dianjurkan karena dapat
berinteraksi dengan deksametason dan kemoterapi. Alternatif lain mencakup
Ievetirasetam, asam valproat, lamotrigin, klobazam, topiramat, atau okskarbazepin.
Levetirasetam lebih dianjurkan (Level A) dan memiliki profil efek samping yang
lebih baik dengan dosis antara 20-40mg/kgBB, serta dapat digunakan
pascakraniotomi.

Terapi Definitif

Terapi definitf tumor otak adalah biopsi dan reseksi tumor. Terutama pada
tumor-tumor di ekstraaksial seperti meningioma, tata laksana utamanya hanya
reseksi luas beserta kapsulnya. Untuk lokasi yang lebih dalam, dapat dilakukan
biopsi stereotaktik, Semakin banyak tumor yang dapat direseksi maka keluarannya
akan lebih baik. Selain efek desak ruangnya teratasi, kemungkinan untuk rekuren
juga lebih kecil. Oleh karena itu lebih disukai jika tumor dapat didiagnosis dalam
ukuran kecil berdasarkan deteksi dini.

Radioterapi terutama dilakukan pada tumor-tumor yang sensitif seperti


tumor pineal, germ cell, astrositoma derajat tinggi, dan metastasis otak. Pada tumor
yang letak dalam dilakukan steretotactic radiotherapy atau radiosurgery.

Kemoterapi untuk tumor otak lebih terbatas pilihannya, karena harus dapat
menembus sawar darah otak. Tujuannya untuk menghambat pertumbuhan tumor
dan meningkatkan kualitas hidup (quality of life) pasien semaksimal mungkin.
Sejauh ini yang menjadi pilihan adalah temozolamid, untuk glioblastoma dan
metastasis.
Terapi Paliatif

Kata paliatif berasal dari bahasa Yunani 'pallium' yang berarti 'cloak' dalam
bahasa Inggris atau 'mantel' yang dimaksudkan untuk menutupi hal-hal yang tidak
nyaman. Biasanya dilakukan setelah pasien menjalani terapi definitif namun masih
terdapat keluhan akibat gejala sisa tumornya. Terapi ini juga diindikasikan jika
pasien tidak dapat dilakukan terapi definitif oleh karena ukuran tumor yang terlalu
besar, kondisi buruk, dan terlalu berisiko untuk dilakukan terapi definitif.

Penetapan terapi ini perlu disepakati oleh semua tim secara multidisiplin
bersama dokter penanggung jawab utama, serta dokter gizi, rehabilitasi medik,
psikiatri, dan ahli terapi paliatif.

Pasien perlu penyesuaian terhadap gejala sisanya untuk bisa kembali


minimal beraktivitas mandiri. Biasanya gangguan berupa kejang, nyeri, atau
gangguan fungsi luhur yang dapat diberikan terapi yang sesuai. Dapat diberikan
juga diberikan psikoterapi suportif dan relaksasi yang akan membantu pasien dan
keluarga.

2.9 Komplikasi

Menurut beberapa sumber salah satunya menurut Ginsberg komplikasi yang


dapat terjadi pada tumor otak antara lain:

1. Peningkatan Tekanan Intrakraial


Peningkatan tekanana intrakranial terjadi saat salah satu maupun semua
faktor yang terdiri dari massa otak, aliran darah ke otak serta jumlah cairan
serebrospinal mengalami peningkatan. Peningkatan dari salah satu faktor
diatas akan memicu:
a. Edema Serebral
Peningkatan cairan otak yang berlebih terakumulasi disekitar lesi
sehingga menambah efek masa yang mendesak.
b. Hidrosefalus
Hidrosefalus terjadi akibat peningkatan produksi CSS ataupun karena
adanya gangguan sirkulasi dan absorbsi CSS. Pada tumor otak, massa
tumor akan mengobstruksi aliran dan absorbsi CSS sehingga memicu
terjadinya hidrosefalus.
c. Herniasi Otak
Peningkatan tekanan intracranial dapat mengakibatkan herniasi sentra,
unkus, dan singuli. Herniasi serebellum akan menekan mesensefalon
sehingga menyebabkan hilangnya kesadaran dan menekan saraf otak
ketiga (okulomotor)
2. Epilepsi
Epilepsi diakibatkan oleh adanya perangsangan atau gangguan di dalam
selaput otak (serebral cortex) yang disebabkan oleh adanya massa tumor.
3. Berkurangnya fungsi neurologis
Gejala berkurangnya fungsi neurologis karena hilangnya jaringan otak
adalah khas bagi suatu tumor ganas. Penurunan fungsi neurologis ini
tergantung pada bagian otak yang terkena tumor.
4. Ensefalopati radiasi
5. Metastase ke tempat lain
6. Kematian

2.10 Prognosis

Jika tumor jinak, dilakukan penghapusan lengkap. Bahkan dengan tidak


lengkap, kelangsungan hidup berkepanjangan dimungkinkan dengan operasi
berulang. Untuk tumor ganas dengan prognosis yang buruk, meskipun dengan
operasi ataupun radioterapi. Anaplastic astrocytoma dengan waktu kelangsungan
hidup rata-rata dengan radioterapi dan kemoterapi 36-48 bulan. Untuk mixed
anaplastic astrocytoma dan glioblastoma, yaitu waktu kelangsungan hidup ratarata
dengan iradiasi otak 9-11 bulan; 10% dari pasien dengan glioblastoma dapat
bertahan selama 2 tahun.18,19
BAB III

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

a. Nama : Ny. E

b. Usia : 46 Tahun

c. Jenis Kelamin : Perempuan

d. Agama : Islam

e. Alamat : Semurup, Kerinci

f. Pekerjaan : Petani

g. MRS : 10 Mei 2022

II ANAMNESIS (alloanamnesis)

a. Keluhan Utama

Pasien datang dengan penurunan kesadaran yang berlangsung secara


perlahan sejak +/- 10 hari SMRS.

b. Riwayat penyakit sekarang

Pasien datang dengan penurunan kesadaran yang berlangsung secara


perlahan sejak +/- 10 hari SMRS. Kurang lebih 10 hari SMRS keluarga pasien
mengatakan bahwa pasien sudah mengalami penurunan kesadaran, pasien
mengantuk dan mudah tertidur namun keluarga sulit untuk membangunkan
pasien.

Sebelumnya 2 bulan yang lalu pasien sering mengeluhkan sakit kepala, dan
mudah marah kepada keluarganya, pasien sering mengantuk. Kemudian, +/- 1
bulan yang lalu pasien masih bisa berbicara dan mengeluarkan kalimat namun
keluarga mengatakan bahwa bicara pasien tidak jelas dan sulit diajak
berkomunikasi. +/- 3 minggu SMRS, keluarga sering melihat bahwa pasien
sering menyeret kakinya saat berjalan, sering tertidur dimana saja dan mulai
jarang makan dan kurangnya aktivitas sehari-hari. Untuk keluhan lain saat ini
kejang tidak ada, keluarga pasien mengatakan bahwa pasien sering lupa dengan
aktivitas sehari-hari yang sering dilakukan, mengeluh nyeri kepala (+) dan
sempat mengalami muntah (+) beberapa kali, muntah berupa isi makanan dan
cairan tanpa didahului adanya mual dan kejang (-). Keluhan lain berupa demam
juga sering dialami oleh pasien. Namun demam naik turun dan tidak pernah
mengonsumsi obat penurunan demam. Pasien tidak dapat makan sejak 10 hari
SMRS. Pasien tidak dapat mengerti isi pikiran orang lain yang diungkapkan
secara lisan, tulisan dan isyarat. Pasien tidak dapat mengontrol BAB dan BAK.
Setelah kondisi pasien semakin memberat akhirnya keluarga memutuskan
untuk membawa pasien ke RSUD Raden Mattaher Jambi.

c. Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat darah tinggi tidak ada. Riwayat diabetes tidak ada. Riwayat sakit
jantung tidak ada. Riwayat stroke sebelumnya tidak ada. Riwayat trauma kepala
tidak ada. Riwayat merokok dan konsumsi alkohol tidak ada. Penyakit ini di
derita untuk pertama kalinya.

d. Riwayat penyakit keluarga

Tidak ada riwayat diabetes melitus dalam keluarga, tidak ada riwayat asma
dalam keluarga, dan tidak ada riwayat hipertensi dalam keluarga

III. PEMERIKSAAN FISIK

A. Keadaan Umum (14 Mei 2022)

1) Kesadaran : Somnolen GCS : 8 (E2M5V1)


2) Tekanan Darah : 121/72 mmHg
3) Nadi : 90x/ menit
4) Respirasi : 20x/menit, pernapasan regular
5) Suhu : 37,5°C
6) Berat Badan : 75kg
7) Tinggi Badan : 165cm

B. Status Generalis

1) Kepala
Normocephal, ukuran normal, simetris, hematom (-), deformitas (-), fraktur (-
), pulsasi tidak ada kelainan.

2) Leher
Lurus, torticollis (-), kaku kuduk (-), deformitas (-), tumor (-)

3) Mata
Reflek pupil isokor, Konjungtiva anemis (-), sklera ikerik (-)

4) Hidung
Normosepta, sekret atau cairan yang mengalir keluar (-)

5) Mulut
Tidak ditemukan adanya kelainan

6) Thoraks

Paru

Inspeksi : Simetris saat inspirasi - ekspirasi, retraksi (-), jejas (-/-)

Palpasi : Fremitus taktil kedua lapang paru

Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru

Auskultasi : Suara nafas vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-,-)

Jantung

Inspeksi : Iktus kordis tidak dapat terlihat

Palpasi : Iktus kordis teraba di sela iga IV linea mid clavicla


sinistra

Perkusi : Batas jantung tidak melebar

Auskultasi : BJ1-BJ2 regular, murmur (-), gallop (-)


Abdomen

Inspeksi : Datar, bekas operasi (-)

Auskultasi : Bising usus (+) normal

Palpasi : supel, turgor baik, massa (-), organomegali (-), hepar tidak
teraba, lien tidak teraba

Perkusi : Timpani pada seluruh regio abdomen

Ekstremitas

Tonus : Normotonus

Massa : Eutrofi

Sendi : Tidak dapat dinilai

CRT : < 2 detik

Kekuatan : Tidak dapat dinilai

Edema : Tidak ada

C. Pemeriksaan Neurologis

Saraf-saraf otak :
1. N. Olfaktorius

Kanan Kiri

Penciuman : Sulit dinilai Sulit dinilai

Anosmia : Sulit dinilai Sulit dinilai

Hyposmia : - -

Parosmia : - -

2. N. Optikus

Kanan Kiri

Visus : - -

Anopsia : Sulit dinilai Sulit dinilai


Hemianopsia : Sulit dinilai Sulit dinilai

Fundus Oculi : Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Papil edema : Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Papil atrofi : Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Perdarahan retina : Tidak dilakukan Tidak dilakukan

3. Nn. Occulomotorius, Trochlearis dan Abducens

Kanan Kiri

Diplopia : Sulit dinilai Sulit dinilai

Celah Mata : Simetris Simetris

Ptosis : Tidak ada Tidak ada

Strabismus : Tidak ada Tidak ada

Gerakan bola mata : Sulit dinilai Sulit dinilai

Pupil

Bentuk : Bulat Bulat

Ukuran : 3 mm 2 mm

Isokor/anisokor: anisokor anisokor

Midriasis/miosis: Tidak ada Tidak ada

Refleks cahaya: Menurun Menurun

4. N. Trigeminus

Kanan Kiri

Motorik

Menggigit : Sulit dinilai Sulit dinilai

Trismus : Sulit dinilai Sulit dinilai

Refleks Kornea : Ada Ada

Sensorik
Dahi : Sulit dinilai Sulit dinilai

Pipi : Sulit dinilai Sulit dinilai

Dgu : Sulit dinilai Sulit dinilai

5. N. Facialis

Kanan Kiri

Motorik :

Mengerutkan dahi : Sulit dinilai Sulit dinilai

Menutup mata : Sulit dinilai Sulit dinilai

Menunjukkan gigi : Sulit dinilai Sulit dinilai

Lipatan nasolabialis : Sulit dinilai Sulit dinilai

Bentuk Muka

Istirahat : Simetris

Berbicara/bersiul : Sulit dinilai

Sensorik

2/3 anterior lidah : Tidak dilakukan

Otonom

Salivasi : Tidak ada

Lakrimasi : Tidak ada

6. N. Statoacusticus

N. Cochlears

Kanan Kiri

Suara bisikan : Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Tes Weber : Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Tes Rinne : Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N. Vestibularis
Nistagmus : Sulit dinilai

Vertigo : Sulit dinilai

7. N. Glossopharingeus dan N. Vagus

Area pharingeus : Tidak dilakukan

Uvula : Sulit dinilai

Gangguan menelan : Sulit dinilai

Suara serak/sengau : Sulit dinilai

Denyut jantung : Tidak ada kelainan

Refleks

Muntah : Tidak dilakukan

Batuk : Tidak dilakukan

Sensorik

1/3 belakang lidah : Sulit dinilai

8. N. Accessorius

Mengangkat bahu : Sulit dinilai

Memutar bahu : Sulit dinilai

9. N. Hypoglossus

Mengulur lidah : Sulit dinilai

Fasikulasi : Tidak ada

Atrofi papil : Tidak ada

Disatria : Tidak ada

D. Motorik

Lengan Kanan Kiri

Gerakan : Kurang Kurang

Kekuatan : 1 1
Tonus : Menurun Menurun

Refleks Fisiologi: Normal Hiperrefleks

Refleks Patologi

Hoffman Trommer : Tidak ada Tidak ada

Leri : Tidak ada Tidak ada

Meyer : Tidak ada Tidak ada

Tungkai

Gerakan : Kurang Kurang

Kekuatan : 1 1

Tonus : Menurun Menurun

Klonus

Paha : Tidak ada Tidak ada

Kaki : Tidak ada Tidak ada

Refleks Fisiologis

KPR : Normal Normal

APR : Normal Normal

Refleks Patologis
Babinsky : Tidak ada Tidak ada

Chaddock : Tidak ada Tidak ada

Oppenheim : Tidak ada Tidak ada

Gordon : Tidak ada Tidak ada

Schaeffer : Tidak ada Tidak ada

Rossolimo : Tidak ada Tidak ada

Mendel Bechterew : Tidak ada Tidak ada

E. Fungsi Sensorik : Tidak dapat dinilai


F. Fungsi Luhur : Tidak dapat di nilai

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Laboratorium
Darah Rutin (10 Mei 2022)
Parameter Hasil Nilai Rujukan

Hemoglobin 14,2 g/dL 13,4 – 15,5 g/dL


Hematokrit 41,5 % 34,5 – 54 %
Eritrosit 4,80 x 106/uL 4,0 – 5,0 x 106/uL
Trombosit 482. x 106/uL 150-450 x 106/uL
Leukosit 15,1 x 106/uL 4,0 – 10,0 x 106/uL

Glukosa Darah (10 Mei 2022)


Parameter Hasil Nilai Rujukan

Gula Darah Sewaktu 120 mg/dl <200 mg/dl

Faal Ginjal (10 Mei 2022)


Parameter Hasil Nilai Rujukan

Ureum 37 mg/dl 15-39 mg/dl


Creatinin 0.66 mg/dl 0,55-1,3 mg/dl

Elektrolit (10 Mei 2022)


Parameter Hasil Nilai Rujukan
Natrium 144,2 mmol/L 135-147 mmol/L
Kalium 3.79 mmol/L 3.5-5.0 mmol/L
Chlorida 105.8 mmol/L 95-105 mmol/L
Calcium ion++ 1.21 mmol/L 1,00-1,15 mmol/L
Profil Lipid (12 Mei 2022)
Parameter Hasil Nilai Rujukan
Cholesterol Total 196 mg/dl <200 mg/dl
Trigliserida 86 mg/dl <150 mg/dl
HDL Cholesterol 62 mg/dl >35 mg/dl
LDL Cholesterol 129 mg/dl 0-99 mg/dl

Darah Rutin (14 Mei 2022)


Parameter Hasil Nilai Rujukan
Hemoglobin 12,9 g/dl 12,9-14.2 g/dl
Hematokrit 38,3% 37,7-53,7%
Eritrosit 4,32 x 106/uL 4.06-4.69 106/uL
Trombosit 406 x 103//uL 155-366 x 103/uL
Leukosit 15.0 x 103/uL 3,70-10.1 x 103/uL

Elektrolit (14 Mei 2022)


Parameter Hasil Nilai Rujukan
Natrium 146,8 mmol/L 135-147 mmol/L
Kalium 146,8 mmol/L 135-147 mmol/L
Chlorida 108,1 mmol/L 95-105 mmol/L
Calcium ion++ 1.15 mmol/L 1,00-1,15 mmol/L

b. CT-Scan Kontras
Massa di fossa anterior, regio mid frontal, dengan ukuran +/- 8,27 x 6,79 x
5,12 cm , yang mendesak dan menyempitkan ventrikel lateralis kanan kornu
anterior, ventrikel lateralis kiri kornu anterior, ventrikel III dan
menyebabkan herniasi subfalchine ke sisi kiri sejauh +/- 4,3 cm.
V. Diagnosis Kerja
Tumor Intrakranial

VI. Tatalaksana
1. Non Medikamentosa :
a) Pemantuan kesadaran, tanda-tanda vital, dan perkembangan
defisit neurologi.
b) Head up 30 ͦ
c) Intake nutrisi yang adekuat, diet lunak 1500 kalori
d) Pemasangan NGT dan Kateter
e) Edukasi keluarga

2. Medikamentosa :
a) IVFD RL 0,9% 20 tpm
b) Lansoprazole 1x30mg (IV)
c) Tramadol 2x1gr (IV)
d) Dexamethasone 2x1gr (IV)
e) Paracetamol 3 x 500 mg (IV)
f) N-Acetyl 3x1 (PO)

VII. Prognosis
1. Quo ad vitam : dubia ad malam
2. Quo ad fungsionam : dubia ad malam
3. Quo ad sanationam : dubia ad malam
BAB IV

ANALISA KASUS

Telah diperiksa Ny. E perempuan berusia 46 tahun dengan diagnosa


Penurunan Kesadaran ec Tumor Intrakranial. Dari anamnesis didapatkan beberapa
hal penting yang mengarah ke Penurunan kesadaran, disertai kelemahan anggota
gerak kiri yang terjadi sejak 10 hari SMRS, pasien juga sempat mengeluh nyeri
kepala terjadi secara kronik, progresif, pada seluruh kepala terutama bagian depan.
Hal ini sesuai dengan adanya gejala nyeri kepala yang umumnya dapat mengarah
kepada adanya Tekanan didalam Intrakranial (TIK) akibat efek desak ruang. Nyeri
kepala ini cenderung bersifat intermitten, tumpul, berdenyut dan memberat
terutama di pagi hari, karena selama tidur malam pCo2 serebral meningkat sehingga
mengakibatkan Cerebral Blood Flow (CBF) dan dengan demikian mempertinggi
tekanan intrakranial. Juga lonjakan sejenak seperti karena batuk dan mengejan
dapat memperberat nyeri kepala.

Hasil anamnesis, keluarga pasien juga mengatakan bahwa pasien sering


muntah tanpa diawali dengan mual, mengindikasikan adanya tumor yang luas
dengan efek massa tumor tersebut juga mendindikasikan adanya pergeseran otak.
Muntah sering timbul pada pagi hari setelah bangun tidur yang disebabkan oleh
tekanan intrakranial yang meninggi selama tidur malam. Sifat muntah dari
penderita dengan TIK meningkat adalah khas, yaitu muntah yang “menyemprot”
(proyektil) dan tidak didahului oleh mual. Hal ini terjadi oleh karena tekanan
intrakranial yang menjadi lebih tinggi selama tidur malam, akibat pCo2 serebral
meningkat. Munta proyektil tanpa didahului mual memperbesar kecurigaan adanya
suatu massa Intrcranial.

Dari anamnesis juga didapatkan pula bahwa keluarga sering melihat pasien
berjalan sambil menyeret kakinya. Hal ini sesuai dengan adanya kemungkinan
tumor berdasarkan lobus fokal, dalam hal ini dicurigai terjadi di bagian frontal.
Apabila tumor terletak di basis lobus frontalis, kehilangan sensasi penciuman
(anosmia), gangguan penglihatan dan pembengkakan pada nervus optikus
(papiloedema) dapat terjadi. Apabila tumor mengenai bagian kanan dan kiri lobus
frontalis, perubahan status mental atau tingkah laku, dan jalan yang tidak
terkoordinasi (ataxic gait) dapat terjadi. Bila tumor menekan jaras motorik dapat
menimbulkan hemiparase (Contralateral). Bisa juga terjadi dysphasia (brocca). Bila
menekan permukaan media dapat menyebabkan inkontinentia. Bila tumor terletak
di basis frontal menimbulkan sindrom Foster kennedy. Pada lobus dominan dapat
menimbulkan gejala afasia.

Dari pemeriksaan fisik, bahwa terdapat penurunan kekuatan otot pada


lengan dan tungkai, seerta terjadi lateralisasi ke arah kiri pasien. Dari pemeriksaan
penunjang berupa CT-scan dengan kontras didapatkan gambaran massa di fossa
anterior, regio mid frontal, yang mendesak dan menyempitkan ventrikel lateralis
kanan kornu anterior, ventrikel lateralis kiri kornu anterior, ventrikel III dan
menyebabkan herniasi subfalchine ke sisi kiri sejauh +/- 4,3cm. Hal tersebut sesuai
dengam teori dimana lokasi tumor di lobus frontalis dapat menyebabkan timbulnya
kelemahan lengan dan tungkai kontralateral serta perubahan kepribadian seperti
penurunan tingkat intelektual.

Selain itu hasil MRI, juga mendukung kenapa pasien dapat mengalami
penurunan kesadaran, dan refleks cahaya yang menurun. didapatkan kesan MRI
berupa Massa padat ekstraaksial di regio midline, inferior lobus frontal, dengan
katakteristik massa menyebabkan pendesakan parenkim lobus frontal kanan dan
kiri, midline shift sejauh +/- 1 cm, herniasi uncal kanan, pendesakan midbrain ke
arah kiri. Sesuai dengan teori bahwa herniasi uncal adalah bagian paling dalam pada
lobus temporal yaitu uncus bisa sangat terhimpit sehingga melewati tentorium dan
menyebabkan tekanan yang tinggi pada batang otak terutama midbrain. Jika ada
massa yang menyebabkan herniasi uncal, maka uncus ini akan menekan nervus
kranialis ke-3 yang berfungsi mengontrol input parasimpatis pada organ mata.
Keadaan ini akan mengganggu transmisi neural parasimpatis sehingga
menyebabkan pupil pada mata terkait akan berdilatasi dan gagal untuk berkonstriksi
apabila adanya respon cahaya seperti mana seharusnya. Maka dengan adanya gejala
dilatasi pupil yang tidak berespon dengan cahaya, itu merupakan tanda penting
adanya peningkatan Tekanan Intrakranial. Dilatasi pupil sering diikuti dengan
beberapa gejala lain kompresi nervus kranialis ke-3 yaitu deviasi bola mata kearah
atas atau bawah akibat dari hilangnya innervasi ke semua otot motilitas kecuali oto
rectus lateralis yang diinervasikan oleh N. VI dan m. rectus obliqus superior yang
diinervasikan oleh N. IV. Dengan peningkatan tekanan intracranial, postur
dekortikasi akan terlihat. Herniasi tipe ini juga akan menyebabkan kerusakan pada
batang otak, yang berefek letargi, bradikardi, kelainan respiratori dan dilatasi pupil.
Herniasi uncal akan berlanjut dengan herniasi sentral sekiranya tidak ditangani.20

Gambaran CT-Scan merupakan alat diagnostik yang penting dalam evaluasi


pasien yang di duga menderita tumor otak. Gambaran CT-Scan pada tumor otak,
umumnya akan tampak lesi abnormal berupa massa yang mendorong struktur otak
sekitarnya. Bila tumor menekan jaras motorik akan menimbulkan hemiparese
kontralateral, kejang fokal, dan pada lobus dominan menimbulkan gejala afasia.

Penatalaksanaan SOL tergantung pada penyebab lesi. Untuk tumor primer,


jika memungkinkan dilakukan eksisi sempurna, namun umumnya sulit dilakukan
sehingga pilihan pada radioterapi dan kemoterapi, namun jika tumor metastase
pengobatan paliatif yang dianjurkan. Hematom membutuhkan evakuasi dan lesi
infeksi membutuhkan evakuasi serta terapi antibiotik.21

Penatalaksanaan untuk pasien ini adalah pengobatan medikamentosa dan


pembedahan. Pengobatan medikamentosa diberikan deksametason yang dapat
menurunkan oedem serebral. Kortikosteroid untuk mengurangi oedema peritumoral
dan mengurangi tekanan intracranial. Efeknya mengurangi sakit kepala dengan
cepat. Dexamethasone adalah corticosteroid yang dipilih karena aktivitas
mineralocorticoid yang minimal. Dosisinya dapat diberikan mulai dari 16 mg/hari,
tetapi dosis ini dapat ditambahkan maupun dikurangi untuk mencapai dosis yang
dibutuhkan agar dapat mengontrol gejala neurologik. Penatalaksanaan sementara
yang dapat dilakukan pada pasien ini adalah terapi suportif, yaitu infus ringer laktat
XX tetes/menit (makro), ranitidin ampul 1 gram/12 jam, dexamethasone1 ampul/6
jam.
Terapi pembedahan dapat dilakukan untuk mengurangi tumor pokok,
memberikan jalan untuk cairan serebrospinal (CSF) mengalir dan mencapai
potensial penyembuhan.21 Prognosis untuk pasien ini baik.Karena pada pasien telah
dilakukan diagnosis dini dan penanganan yang tepat melalui pembedahan. Dengan
penanganan yang baik maka persentase angka ketahahan hidup diharapkan dapat
meningkat.Angka ketahanan hidup lima tahun (fiveyears survival) berkisar 50-60%
dan angka ketahanan hidup sepuluh tahun (tenyears survival) berkisar 30- 40%.3
Prognosis tergantung pada tipe tumor.

Prognosa penderita tumor otak yang seluruh tumornya telah dilakukan


pengangkatan secara bersih dan luas akan mempengaruhi (recurrens rates) atau
angka residif kembali. Hasil penelitian dari ‘The Mayo Clinic Amerika’
menunjukkan bahwa: 25% dari seluruh penderita tumor otak yang telah dilakukan
reseksi total, sepuluh tahun kemudian tumornya residif kembali, sedangkan pada
penderita yang hanya dilakukan reseksi subtotal, 61% yang residif kembali.
DAFTAR PUSTAKA

1. A, Sylvia., M, Lorraine. (2015). Patofisiologi Edisi 6 Vo 2 Konsep Klinis


Proses- Proses Penyakit. Jakarta : EGC.
2. Anindita, T. dan Malueka, R.G. 2019. Tinjauan Umum Tumor Sistem Saraf
Pusat. Dalam : Anindita, T., Andriani, R. dan Malueka, R.G. (Ed). Buku
Ajar Neuroonkologi. Kelompok Studi Neuro-onkologi Perdossi hal 13-35.
Penerbit Kedokteran Indonesia. Jakarta.
3. Sajjad A, Naroo GY, Khan Z, Ali Z, Nasim B, Sheikh A et al. Space
occupying lesions (SOL) of the Brain – Clinical Manifestation with Subtle
Neurological Symptoms in Emergency Department. JAMMR. 2018; 26(3)
; 1-8
4. Louis, D.N., Perry, A., Reifenberger, G., Deimling, A. V., FigarellaBranger,
D., Cavenee, W.K. et al. 2016. The 2016 World Health Organization
Classification of Tumors of The Central Nervous System: a Summary. Acta
Neuropathol. 131(6): 803-20.
5. Murayi, R. and Chittiboina, P. 2016. Glucocorticoids in the Management of
Peritumoral Brain Edema: A Review of Molecular Mechanism. Child’s
Nervous Systems. 32(12): 2293-302.
6. Husna, U. dan Dalhar, M. 2017. Patofisiologi dan Penatalaksanaan Edema
Serebri. Malang Neurology Journal. 3(2): 94-107.
7. Rigi, M., Almarzougi, S.J., Morgan, M.L. and Lee, A.G. 2015. Papilledema:
Epidemiology, Etiology and Clinical Management. Dove Medical Press
Journal. 7: 47-57.
8. Simpson, G.K., Koh, E.S., Whiting, D., Wright, K.M., Simpson, T., Firth,
R. et al. 2015. Frequency, Clinical Correlates and Ratings of Behavioral
Changes in Primary Brain Tumor Patients: A Preliminary Investigation.
Frontiers in Oncology. 5(78):1-9.
9. Fry, C.W., Perrow, R. and Paul, S.P. 2014. Brain Tumours in Children:
Importance of Early Identification. British Journal of Nursing. 23(22):
1202-07.
10. Tagoe, N.N., Essuman, V.A., Fordjour, G., Akpalu, J., Bankah, P. and
Ndanu, T. 2015. Neuro-ophthalmic and Clinical Characteristics of Brain
Tumours in A Tertiary Hospital in Ghana. Ghana Medical Journal. 49 (3):
181-6.
11. Deshmukh, S., Das, D., Bhattacharjee, H., Ganesh, C.K., Magdalene, D.,
Gupta, K. et al. 2019. Profile of Brain Tumors Having Ocular
Manifestations in a Tertiary Eye Care Institute: A Retrospective Study.
TNOA Journal of Ophthalmic Science and Research. 56(2): 71-5.
12. DeAngelis, L.M. and Wen, P.Y. 2017. Primary and Metastatic Tumors of
The Nervous System. In: Hauser, S.L. and Josephson, S.A. (Eds).
Harrison’s Neurology in Clinical Medicine 4th Edition page 591-605.
McGraw-Hill Education. San Fransisco.
13. Komite Penanggulangan Kanker Nasional (KPKN). 2017. Tumor Otak.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.
14. Zairinal, R.A., Aninditha, T., Astini, N., Masita dan Budikayanti, A. 2018.
Pemeriksaan Kesadaran. Dalam: Estiasari, R., Zairinal, R.A. dan Islamiyah,
W.R. (Ed). Pemeriksaan Klinis Neurologi Praktis Umum edisi pertama hal
1-17. Kolegium Neurologi Indonesia, Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia. Jakarta.
15. Sitorus, F., Ariarini, N.N. R. dan Iqbal, K.M. 2018. Pemeriksaan
Neurooftalmologi. Dalam: Estiasari, R., Tunjungsari, D. dan Samatra,
D.P.G.P. (Ed). Pemeriksaan Klinis Neurologi Praktis Khusus edisi pertama
hal 1-16. Kolegium Neurologi Indonesia, Perhimpunan Dokter Spesialis
Saraf Indonesia. Jakarta.
16. Baig, M.A., Klein, J.P. and Mechtler, L.L. 2016. Imaging of Brain Tumors.
Continuum. 22(5): 1529–52.
17. Meyer, J.E.V., Mabray, M.C. and Cha, S. 2017. Current Clinical Brain
Tumor Imaging. Neurosurgery. 81(3): 397–415.
18. National Cancer Institute. What You Need To Know About Brain Tumors
[internet]. 2015 [cited 2016 April 16]. Available from :
http://www.cancer.gov/
19. Chinese Clinical Oncology. Prognostic Scores for Brain Metastasis Patients
: Use in Clinical Practice and Trial Design [internet]. 2015, June [cited 2016
may 15]. Available from : http://cco.amegroups.com/ Inez M, Yulianti D,
Adam A. Insidensi Tumor Supratentorial Berdasarkan Jenis dan Letaknya
di RSUP dr. Hasan Sadikin Tahun 2012-2013.JNI 2015;4(3): 157–61.
20. Mardjono, M., Sidharta, P., 2009. Koma supratentorial diensefalik.
Dalam:Neurologi Klinis Dasar. Edisi 1. Jakarta:Dian Rakyat. 193-195.
21. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi klinis dasar. Jakarta: PT dian rakyat;
2007. hlm. 242.

Anda mungkin juga menyukai