Anda di halaman 1dari 28

CLINICAL SCIENCE SESSION

SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS

Oleh :

Khairi Wilda Prihati

Pengampu : dr. Iin Dwiyanti, Sp.PD. FINASIM**

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM RSUD RADEN MATTAHER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI

2022

i
HALAMAN PENGESAHAN

CLINICAL SCIENCE SESSION (CSS)

SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS

Disusun Oleh :

Khairi Wilda Prihati

G1A221068

Sebagai Syarat Dalam Mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior

Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Raden Mattaher

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi

Laporan ini telah diterima


Jambi, September 2022

Pembimbing

dr. Iin Dwiyanti, Sp.PD, FINASIM

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Clinical Science Session yang berjudul “Systemic Lupus Erythematosus”
sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di
Bagian Ilmu Penyakit Dalam di Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher
Provinsi Jambi.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Iin Dwiyanti, Sp.PD.


FINASIM yang telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk
membimbing penulis selama menjalani Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian
Ilmu Penyakit Dalam di Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi
Jambi.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada laporan kasus
ini, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan
laporan kasus ini. Penulis mengharapkan semoga laporan kasus ini dapat
bermanfaat bagi penulis dan pembaca.

Jambi, September 2022

Khairi Wilda Prihati

3
iii
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN........................................................................... ii
KATA PENGANTAR...................................................................................... iii
DAFTAR ISI..................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN................................................................................. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................... 2
2.1 Definisi........................................................................................................ 2
2.2 Epidemiologi............................................................................................... 2
2.3 Etiologi........................................................................................................ 4
2.4 Patofisiologi................................................................................................. 5
2.5 Gejala Klinis................................................................................................ 9
2.6 Diagnosis.................................................................................................... 10
2.7 Diagnosis Banding..................................................................................... 16
2.8 Tatalaksana................................................................................................. 16
2.9 Prognosis.................................................................................................... 20
2.10 Komplikasi............................................................................................... 21
BAB III KESIMPULAN.................................................................................. 22
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 23

iv4
BAB I

PENDAHULUAN

Systemic Lupus Erythematosus merupakan penyakit autoimun sistemik


yang ditandai dengan produksi autoantibodi dengan keterlibatan multiorgan dan
manifestasi klinis yang sangat bervariasi.1 Penyakit ini ditandai dengan adanya
periode remisi dan episode serangan akut dengan gambaran klinis yang beragam
berkaitan dengan berbagai organ yang terlibat. Manifestasi klinik SLE berbeda-
beda pada masing-masing individu apakah terkait dengan autoantibodi masih
kurang jelas sehingga klinisi tidak bisa memprediksi manifestasi klinik tertentu
serta memperkirakan perjalanan penyakit.2

SLE ditemukan hampir di seluruh dunia dengan angka prevalensi dan


insiden yang berbeda-beda menurut letak geografisnya. Penelitian menunjukkan
bahwa angka kejadian SLE di seluruh dunia sekitar 1-10 per 100.000 orang
pertahun dengan angka prevalensi sekitar 20-70 per 100.000 orang pertahun.1

Diagnosis SLE ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis dan pemeriksaan


laboratorium seperti darah lengkap, urine lengkap, faal ginjal, faal hati dan
pemeriksaan serologi untuk menentukan produksi autoantibodi yang secara umum
akan meningkat pada SLE.3

Walaupun beberapa tahun terakhir banyak didapatkan kemajuan dalam hal


diagnosis dan terapi, namun resiko kematian pada pasien SLE masih lebih tinggi
dibandingkan populasi umum. Pada pasien yang baru di diagnosis SLE, angka
harapan hidup 5 tahun kedepan lebih dari 90%, sedangkan angka harapan hidup
15-20 tahun kedepan 80%. Prognosis yang buruk dan peningkatan resiko
kematian berhubungan etnisitas dan social ekonomi.1

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Istilah Lupus diambil dari bahasa latin yang berarti serigala dan dipakai
pertama kali pada abad pertengahan untuk menggambarkan lesi kulit yang erosive
yang mirip dengan gigitan serigala. Seorang ahli dari Vienna bernama Ferdinand
von Hebra memperkenalkan istilah “kupu-kupu” untuk menggambarkan rash di
daerah malar dan menyebutnya sebagai lupus erythematosus.1

Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah penyakit sistemik dengan


gambaran klinis yang sangat luas dengan penyebab multifaktor antara lain
genetik, lingkungan, dan hormonal. SLE merupakan penyakit autoimun non organ
spesifik. Seringkali disebut dengan penyakit seribu wajah karena manifestasinya
sangat luas dan merupakan penyakit yang fatal. Manifestasinya dapat ringan
hanya mengenai kulit atau sendi dan manifestasi berat yang mengancam jiwa
misalnya neuropsychiatric systemic lupus erythematosus (NPSLE), lupus nefritis,
pneumonitis, karditis, dan organ lainnya.2,18

Penyakit SLE ditandai dengan self-tolerance yang hilang akibat fungsi


imunologik yang abnormal dan produksi autoantibodi berlebih, diikuti dengan
terbentuknya kompleks imun yang akan berdampak pada jaringan sehat.3

2.2 Epidemiologi
Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO mencatat jumlah penderita
penyakit Lupus di seluruh dunia dewasa ini mencapai lima juta orang. Sebagian
besar dari mereka adalah perempuan usia produktif dan setiap tahun ditemukan
lebih dari 100 ribu penderita baru.4 Dari sekitar 1.250.000 orang Indonesia yang
terkena penyakit Lupus asumsi prevalensi 0,5%, sangat sedikit yang menyadari
bahwa dirinya menderita penyakit Lupus. Hal ini terjadi karena gejala penyakit
Lupus pada setiap penderita berbeda-beda, tergantung dari manifestasi klinis yang
muncul.4,19

2
Gambar 1. Jumlah Rumah Sakit yang melapor di Indonesia Tahun 2014-20164

Berdasarkan data Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) Online, pada


tahun 2016 terdapat 858 rumah sakit yang melaporkan datanya. Jumlah ini
meningkat dari dua tahun sebelumnya. Pertambahan jumlah rumah sakit yang
melapor menunjukkan bahwa pelaporan data dan informasi rumah sakit semakin
meningkat.4

SLE paling banyak di derita oleh perempuan dengan perbandingan rasio


laki-laki : perempuan = 1: 12 pada usia subur. Selain itu penyakit ini juga bisa
didapatkan pada anak-anak dan lansia. SLE lebih banyak didapatkan pada ras non
Caucasian seperti African American, Hispanic, dan asia. Pada ras-ras tersebut,
SLE cenderung lebih aktif, lebih berat, resiko relaps dan terjadinya kerusakan
organ lebih tinggi.1,11,19

Penyakit Lupus kebanyakan menyerang wanita pada usia 15-50 tahun


(usia masa produktif). Namun, Lupus juga dapat menyerang anak-anak dan pria.
Berdasarkan dara SIRS Online, proporsi pasien rawat inap Lupus di rumah sakit
di Indonesia tahun 2016 berjenis kelamin laki-laki 54,3% lebih banyak
dibandingkan pasien perempuan yaitu 45,7%. Pada tahun 2014 proporsi pasien
perempuan lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki.4,11,12

3
2.3 Etiologi
Etiologi LES masih belum jelas, namun telah terbukti bahwa LES
merupakan interaksi antara faktor genetik (disregulasi imun, hormon) dan
lingkungan (sinar UVB, obat), yang berakibat pada terbentuk limfosit T dan B
autoreaktif yang persisten. Menurut anggapan sekarang penyakit LES dapat
ditimbulkan karena gangguan sistem imun pada sel B dan sel T, atau pada
interaksi antara kedua sel tersebut.6,10

Hal tersebut akan menyebabkan aktivasi sel-sel B poliklonal, akibatnya


terjadi pembentukan autoantibodi secara berlebihan. Autoantibodi adalah antibodi
patologik yang terbentuk akibat sistem imun tubuh tidak dapat membedakan
antara “self” dan “nonself ”. Selain itu banyak faktor lain yang berperan terhadap
timbulnya penyakit LES, antara lain faktor genetik, defisiensi komplemen,
hormon, lingkungan, stress, obat-obatan dan faktor lain.6

Faktor genetik diduga memengaruhi kerentanan dan perkembangan


maupun tingkat keparahan penyakit SLE. Sejumlah kombinasi ekspresi varian gen
berhubungan dengan manifestasi klinis SLE, misal komponen komplemen C1q
mengeliminasi buangan sel nekrotik (bahan apoptotik) pada individu sehat, namun
pada pasien SLE, defisiensi komponen C1q menimbulkan ekspresi penyakit.
Contoh lain adalah STAT4 yang merupakan faktor genetik yang memiliki risiko
untuk terjadinya rheumatoid arthritis dan SLE, berhubungan dengan SLE berat.3

Mekanisme hormon terhadap perkembangan SLE tidak banyak diketahui.


Estrogen berhubungan dengan stimulasi sel T dan sel B, makrofag serta sitokin.
Progesteron mempengaruhi produksi autoantibodi. Kadar prolaktin yang
meningkat berhubungan dengan flares SLE.3

Faktor imunologik terjadi karena hilangnya self-tolerance pasien SLE.


Ketidakseimbangan proses fagositosis pada pasien SLE menyebabkan clearance
sel apoptotik dan kompleks imun yang tidak sempurna. Pembentukan autoantibodi
dan kompleks imun (pada kombinasi dengan antigen) menimbulkan inflamasi dan
kerusakan jaringan.3

4
Faktor lingkungan meliputi obat demetilasi, infeksi virus, virus endogen
atau elemen seperti viral serta sinar ultraviolet (sinar UV). Sinar UV merupakan
faktor lingkungan yang paling sering menyebabkan eksaserbasi SLE. Sinar UV
akan menstimulasi keratinosit sehingga menyebabkan stimulasi sel B dan
produksi antibodi.3

2.4 Patofisiologi
Faktor genetik, imunologik dan hormonal serta lingkungan diduga
berperan dalam patofisiologi SLE. Penyakit diawali dengan fase preklinis yang
ditandai oleh autoantibodi yang serupa dengan penyakit autoimun sistemik
lainnya dan menjadi penyakit yang spesifik secara klinis pada fase autoimun.
Kerusakan dini sebagian besar berhubungan dengan penyakit, sedangkan
kerusakan lamban seperti infeksi, aterosklerosis, dan keganasan biasanya
berhubungan dengan komplikasi penyakit dan terapi imunosupresan.7

Gambar 2. Perjalanan penyakit SLE3

a) Faktor genetik
Genome-wide assosiation studies (GWAS) menggunakan ratusan
hingga ribuan marker single nucleotide polymoprhism (SNP) untuk
penyakit SLE. GWAS telah mengkonfirmasi kepentingan dari gen yang
berkaitan dengan respon imun dan inflamasi (HLA-DR, PTPN22, STAT4,
IRF5, BLK, OX40L, FCGR2A, BANK1, SPP1, IRAK1, TNFAIP3, C2,
C4, CIq, PXK), DNA repairs (TREX1), adherence of inflammatory cells

5
to the endothelium (ITGAM), dan tissue response to injury (KLK1,
KLK3). Temuan ini mengedepankan pentingnya jalur sinyal Toll-like
receptor (TLR) dan interferon tipe 1 (IFN). Gen STAT4 yang merupakan
faktor risiko genetik terhadap artritis rheumatoid dan SLE dikaitkan
dengan kejadian SLE berat. Salah satu komponen penentu dari jalur-jalur
ini adalah TNFAIP3 yang telah diketahui berperan dalam 6 (enam)
kelainan autoimun termasuk SLE.7
b) Efek epigenetik
Risiko untuk penyakit SLE dapat dipengaruhi oleh efek epigenetik
seperti metilasi DNA dan modifikasi histon pasca translasi yang dapat
terjadi baik diturunkan atau modifikasi oleh lingkungan. Epigenetik
menggambarkan adanya perubahan yang diwariskan dalam ekspresi gen
yang disebabkan oleh mekanisme selain perubahan urutan basa DNA.
Beberapa penelitian juga telah menunjukkan hubungan metilasi DNA pada
SLE.7
c) Faktor lingkungan
Sinar ultraviolet merupakan pemicu SLE yang berasal dari
lingkungan. Paparan UVA2 dan UVB melalui proses tanning kulit untuk
kecantikan dapat mengeksaserbasi peyakit kulit pada pasien dengan
kelainan ini. Namun, akibat dari tidak terpapar matahari adalah defisiensi
vitamin D dimana berkaitan juga dengan aktivitas penyakit. Faktor
lingkungan lainnya adalah merokok, infeksi, estrogen eksogen, obat-
obatan, agen biologis dan pestisida, alkohol, dan vaksinasi.2,7

Gambar 3. Faktor pencetus dari lingkungan7

6
Radiasi ultraviolet (UV) mempunyai gelombang pendek dan
mempunyai energi yang tinggi, panjang gelombangnya sekitar 100–400
nm dan dibagi dalam tiga komponen UV A 24 (320–400 nm), UV B (290–
320), dan UV C 200–290 nm. Dari ketiga ultraviolet yang memengaruhi
secara biologi hanya UV B. Radiasi UV B dapat memicu terjadinya
metilasi DNA, komponen UV C diabsorsi oleh atmosfer oleh lapisan ozon
sedangkan UV A tidak diabsorsi oleh atmosfer dan 95% radiasinya sampai
pada permukaan bumi dan sangat sedikit diabsorsi oleh protein dan asam
nukleat.
Sinar ultraviolet menyebabkan perubahan susunan DNA yang
disebut proses epigenetik dalam proses epigenetik Metilasi DNA mungkin
merupakan epigenetik yang paling banyak dipelajari menambahkan gugus
metil ke posisi 5′ karbon sitosin dalam dinukleotida citosin-fosfat-
guanosin (CpG) mekanisme epigenetik yang sangat kuat. Fungsinya
mengontrol aksesibilitas terhadap faktor transkripsi, co-activators
transkripsi, dan RNA polimerase.
Polusi udara adalah salah satu faktor lingkungan yang tak kalah
pentingnya dengan sinar matahari. Bahan-bahan polutan yang ditolerir dan
menilai aktivitas polusi udara. Partikel yang kecil atau lebih kecil 2,5 m.
Polusi debu rumah dan diduga bertanggung jawab terjadinya beberapa
penyakit autoimun dan perubahan kondisi inflamasi dan berdampak lain
pada kesehatan. Diduga adanya polutan menimbulkan ROS yang
merupakan 25 faktor terpenting pada polusi. Beberapa komponen mayor
dari PM25, antara lain polycyclic aromatic hydrocarbons dan trace
elements dilaporkan ada hubungan dengan prevalensi SLE. Infeksi juga
diduga sebagai salah satu faktor lingkungan yang terkait dengan
patogenesis SLE.
Suatu studi epidemiologi menunjukkan prevalensi yang tinggi
antibodi antigen virus Epstein-Barr (EBV) pada pasien SLE dibandingkan
dengan populasi sehat. Infeksi virus ini meningkatkan kadar interferon
(IFN) tipe 1 yang memicu aktivitas sel B. Toksin-toksin yang terdapat di

7
lingkungan sekitar juga diduga memiliki potensi menyebabkan SLE,
namun dugaan tersebut belum dieksplorasi lebih lanjut secara
komprehensif. Saat ini, merokok secara aktif telah dianggap sebagai faktor
risiko untuk SLE karena memberikan stimulus inflamasi ke sel epitel atau
mononuklear di paru-paru dan menginduksi terjadinya modifikasi protein
atau peradangan nonspesifik. Selain faktor-faktor di atas, faktor ekonomi
terbukti berkontribusi terhadap keparahan manifestasi klinik SLE yang
kemungkinan terkait dengan akses yang buruk terhadap pelayanan
kesehatan.2,7
d) Faktor hormonal
Insiden SLE meningkat setelah pubertas dan menurun setelah
menopause. Tingkat keparahan penyakit beragam saat hamil dan siklus
menstruasi. Pada studi kohort terhadap 238.308 wanita yang diamati
secara prospektif antara tahun 1976 dan 2003, faktor-faktor seperti
menarch dini, pemakaian kontrasepsi oral, menopause dini, menopause
surgikal, dan penggunaan hormon pasca menopause berkaitan dengan
meningkatnya risiko dari penyakit SLE.7
Peran dari hormon pada penyakit SLE antara lain:
1. Kerentanan terhadap perkembangan SLE
a. Kadar estrogen endogen rendah bersifat protektif
b. Nilai androgen rendah pada laki-laki meningkatkan risiko
c. Pemakaian estrogen eksogen pada wanita meningkatkan risiko

2. Profil hormon dan aksis hipotalamus pituitasi pada pasien SLE


a. Meningkatnya metabolisme estrogen menjadi metabolit yang lebih
poten (pada kedua jenis kelamin)
b. Nilai androgen rendah (pada kedua jenis kelamin)
c. Nilai androgen berkorelasi terbalik dengan aktifitas penyakit pada
wanita
d. Bukti awal adanya defek aksis HPA pada pasien SLE wanita yang tidak
diterapi

8
3. Aktifitas hormon dan prognosis SLE
a. Aktifitas penyakit cenderung menurun setelah menopause
b. Flares pada SLE dapat terjadi selama periode perubahan cepat hormon
c. Fluktuasi siklus aktifitas penyakit pada wanita selama siklus menstruasi
d. Pasien dengan onset SLE pasca menopause memiliki aktifitas penyakit
lebih rendah dan prognosis lebih baik

2.5 Gejala Klinis


Manifestasi konstitusional seperti kelelahan, demam, arthealgia¸ dan berat
badan yang menurun merupakan gejala yang lazim dialami oleh pasien SLE.
Manifestasi mukokutaneus SLE yang pertama adalah ruam kupu-kupu yaitu ruam
eritem pada pipi dan batang hidung.14,20

Kemudian menifestasi lain adalah fotosensitifitas yaitu munculnya ruam


atau eksaserbasi setelah terpapar sinar matahari. Fototsensitifitas ini muncul pada
30-70% dari pasien SLE. Selain itu juga terdapat ruam diskoid.14

Manifestasi muskuloskeletal dialami oleh pasien SLE. Umumnya pasien


mengalami poliatritis yang simetris dengan pada 90% kasus terdapat atralgia.
Manifestasi pleuropulmonary paling umum pada penderita SLE adalah pleuritis.
Manifestasi jantung dan pembulu darah pada penderita SLE antara lain
perikardial, dapat berupa perikarditis, dan penebalan perikardial yang diawali
efusi perikardial.14

Keterlibatan ginjal sebagian besar ditemukan setelah 5 tahun pasien


menderita SLE dengan prevalensi 30- 50%. Manifestasi ginjal menjadi salah satu
penyebab terkait dengan dinamisnya perjalanan penyakit SLE, maka diagnosis
dini tidaklah mudah ditegakkan. SLE pada tahap awal, seringkali bermanifestasi
sebagai penyakit lain misalnya artritis reumatoid, glomerulonefritis, anemia,
dermatitis dan sebagainya. Ketepatan diagnosis dan pengenalan dini penyakit SLE
menjadi penting.7

9
Kecurigaan akan penyakit SLE perlu dipikirkan bila dijumpai 2 (dua) atau
lebih kriteria sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu:7

1. Wanita muda dengan keterlibatan dua organ atau lebih.


2. Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan penurunan
berat badan.
3. Muskuloskeletal: artritis, artralgia, miositis
4. Kulit: ruam kupu-kupu (butterfly atau malar rash), fotosensitivitas, lesi
membrana mukosa, alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria, vaskulitis.
5. Ginjal: hematuria, proteinuria, silinderuria, sindroma nefrotik
6. Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen
7. Paru-paru: pleurisy, hipertensi pulmonal,lesi parenkhim paru.
8. Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis
9. Retikulo-endotel: organomegali (limfadenopati, splenomegali, hepatomegali)
10. Hematologi: anemia, leukopenia, dan trombositopenia
11. Neuropsikiatri: psikosis, kejang, sindroma otak organik mielitis
transversus,gangguan kognitif neuropati kranial dan perifer.
2.6 Diagnosis1,3
Diagnosis SLE biasanya ditegakkan berdasarkan penilaian dari ahli yang
berpengalaman yang dapat mengidentifikasi kerakteristik, gejala dan hasil
laboratorium yang sesuai dengan SLE sambil menyingkirkan semua diagnosis
banding. Diagnosis menjadi sulit apabila gejala yang muncul tidak khas atau tidak
muncul secara bersamaan cul secara bersamaan (Aringer, 2016) Sampai saat ini
belum ada kriteria diagnosis yang disepakati untuk mendiagnosis SLE, yang
sudah ada adalah kriteria klasifikasi yang digunakan dalam penelitian SLE.

Pada tahun 1971 Cohen dkk menerbitkan kriteria klasifikasi pertama untuk
SLE yang terdiri dari 14 kriteria klasifikasi SLE. Kemudian pada tahun 1982, Tan
dkk merevisi kriteria tersebut seiring dengan kemajuan ilmu kedokteran mengenai
tes serologi, yaitu antibodi antinuklear (ANA) dan anti-dsDNA. Kemudian pada
tahun 1997 dilakukan revisi lagi yang dikenal dengan kriteria American

10
Rheumatism Association (ARA/ACR). Namun sayangnya kriteria ini tidak pernah
divalidasi.

Kriteria ARA pada awalnya dimaksudkan untuk menjadi kriteria pada


penelitian bukan sebagai kriteria diagnosis yang bersifat eksklusif dan membatasi.
Kriteria diagnostik harus dapat diterapkan pada subjek manapun di dunia, dan
harus mencakup variabel imunologi yang divalidasi pada populasi yang berbeda,
yang masih sulit terpenuhi.Namun, kenyataan yang berkembang kemudian tidak
demikian, kriteria ini malah digunakan secara luas oleh klinisi untuk diagnosis
SLE. Akibatnya dapat sering menimbulkan “misdiagnosis”

Selain itu bisa terjadi keterlambatan diagnosis SLE karena pada saat
terpenuhi empat poin sesuai syarat kriteria ARA 1997, pasien mungkin telah lama
menderita SLE, dan telah terjadi kerusakan organ yang cukup berat. Sebenarnya
Tan dkk sudah mengingatkan agar berhati-hati, karena kriteria tersebut dan agar
tidak digunakan sebagai kriteria diagnostik yang benar sampai tes yang lebih luas
terhadap berbagai jenis penyakit telah dilakukan. Kriteria tersebut sengaja dibuat
sederhana agar memudahkan pengajaran dan aplikasi praktis untuk kepentingan
penelitian

SLICC (Systemic Lupus International Collaborating Clinics) adalah suatu


kelompok penelitian mengenai SLE yang sudah berdirir sejak 30 tahun yang lalu,
yang juga berperan dalam pengembangan indeks ACR/SLICC Damage. SLICC
mencatat beberapa kekurangan kriteria ACR yaitu antara lain : banyak pasien
yang diklasifikasikan sebagai SLE tapi tanpa didapatkan kriteria imunologi
satupun, terlalu fokus terhadap manifestasi kulit yang khas dan kurang
memperhatikan menifestasi kulit lupus bentuk lain, banyak manifestasi neurologi
yang spesifik SLE tidak diperhitungkan, kuantifikasi protein urin harus di
modifikasi menggunakan standar baru , tidak dimasukkannya kadar komplemen
serum yang rendah dan antibodi anti fosfolipid pada kriteria imunologi, pasien
nefritis dengan biopsi ginjal sesuai lupus nefritis mungkin tidak diklasifikasikan
SLE.1,2,17

11
Tabel 1 Kriteria klasifikasi SLICC untuk SLE1,2

Kriteria Klinis

1. Lupus kutaneus akut Meliputi ruam malar lupus (jangan


dimasukkan bila diskoid malar);lupus bula;
varian nekrolisis epidermal toksik dari
SLE; ruam lupus makulopapular; ruam
lupus fotosensitif tanpa deramtomiositis;
atau lupus kutan subakut (nonindurated
psoriaform dan/atau lesi polisklik anular
yang sembuh tanpa jaringan parut,
walaupun kadang-kadang disertai
depigmentasi atau telengiektasis
postinflamasi)

2. Lupus kutaneus kronik Meliputi ruam diskoid klasik; terlokalisir


(di atas leher); generalisata (di atas dan di
bawah leher); lupus hipertrofik (verukous);
lupus panniculitis (profundus); lupus
mukosa; lupus eritematous tumidus; lupus
chilblains; lupus discoid/overlap dari liken
planus

3. Ulkus Oral dan nasofaringeal Ulkus di palatum, buccal, lidah, atau nasal
disingkirkan penyebab lain seperti
vaskulitis , behcet, herpes, IBD, reaktif
artritis, makanan asam

4. Alopesia non scarring Penipisan difus rambut, rambut gampang


patah disingkirkan dulu alopesia areata,
obat-obatan, defisiensi besi, alopesia
androgenik.

5. Sinovitis > 2 sendi Nyeri 2 sendi atau lebih disertai dengan


edema atau efusi disertai dengan kekakuan

12
sendi pagi hari.

6. Serositis Pleuritis tipikal selama lebih dari 1 hari


atau efusi pleura atau pleural rub; nyeri
perikardial tipikal (nyeri yang diperberat
dengan duduk membungkuk) selama lebih
dari 1 hari atau efusi perikard atau
pericardial rub atau perikarditis oleh
gambaran elektrokardiografi tanpa
penyebab lain seperti infeksi, uremia dan
perikarditis Dressler

7. Manifestasi ginjal Protein urin/ kreatinin atau protein urin 24


jam (500 mg atau lebih) atau ada cast
eritrosit

8. Manifestasi neurologi Kejang, psikosis, mononeuritis multiplex (


singkirkan penyebab vaskulitis primer)
myelitis, neuropati perifer (disingkirkan
penyebab lain seperti vaskulitis primer,
infeksi, diabetes mellitus), acute
confusional state (tanpa penyebab lain :
metabolik , uremia, obat)

9. Leukopenia / limfopenia Leukopenia < 4000mm3 (disingkirkan


penyebab lain seperti : hipertensi porta
dan obat-obatan) Limfopenia < 1000 mm3
dengan disingkirkan penyebab lain seperti
terapi steroid dan infeksi

10. Trombositopenia <100,000 mm3 (sudah disingkirkan


penyebab lain seperti obat-obatan,
hipertensi portal, dan TTP

KRITERIA IMUNOLOGI

11. ANA Diatas nilai normal

13
12. Anti DS DNA Diatas nilai normal kecuali ELISA: duakali
diatas nilai normal

13. Antibodi anti fosfolipid Anti koagulan lupus anticoagulant, RPR


false positif, titer anticardiolipin (IgA, IgG
or IgM) medium atau tinggi dan beta 2-
glycoprotein I (IgA, IgG or IgM)

14. Kadar komplemen rendah Kadar C3, C4 or CH50 rendah

15. Direct Coomb tes yang positif Tanpa adanya gambaran anemia hemolitik

Pada kriteria SLICC terdiri dari 10 kriteria klinis dan 5 kriteria imunologi.
Seseorang diklasifikasikan telah menderita SLE apabila memenuhi 4 kriteria yang
harus meliputi 1 kriteria klinis dan 1 kriteria imunologi. Atau apabila hasil biopsi
ginjal pasien sesuai dengan gambaran lupus nefritis disertai ANA dan anti
DSDNA yang positif. Kriteria-kriteria ini tidak harus didapatkan bersamaan.
Sedangkan pada kriteria ACR 1997 terdiri dari 11 kriteria, dan pasien di
klasifikasikan sebagai SLE bila memenuhi 4 dari 11 kriteria tersebut.1,2

American College of Rheumatology (ACR)1 telah memberikan kriteria


diagnosis untuk LES. Terdapat 11 kriteria, apabila ditemukan 4 atau lebih kriteria
ACR, maka diagnosis LES memiliki sensitivitas 85% dan spesifisitas 95%.
Manifestasi klinis LES dapat diklasifikasikan dalam kategori ringan, sedang, dan
berat.13

Kriteria diagnostik SLE menurut ACR :13

a. Ruam malar
Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah malar dan cenderung
tidak melibatkan lipat nasolabial.
b. Ruam diskoid
Plak eritema menonjol dengan keratotik dan sumbatan folikular. Pada SLE
lanjut dapat ditemukan parut atrofik

14
c. Fotosensitifitas
Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar matahari, baik
dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh dokter pemeriksa
d. Ulkus mulut
Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat oleh dokter
pemeriksa
e. Artritis
Artritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi perifer, ditandai oleh
nyeri tekan, bengkak atau efusia.
f. Serositis
- Pleuritas, riwayat nyeri pleuratik atau pleuratic friction rub yang didengar
oleh dokter pemeriksa atau terdapat bukti efusi pleura.
-Perikarditis, terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial friction rub atau
terdapat efusi perikardium
g. Gangguan renal
-Proteinuria menetap >0,5 gram per hari atau >3+ bila tidak dilakukan
pemeriksaan kuantitatif. Atau
-Silinder seluler: dapat berupa silinder eritrosit, hemoglobin, granular, tubular,
atau campuran.
h. Gangguan neurologi
- Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan metabolik
(misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidak-seimbangan elektrolit).
- Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan metabolik
(misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidak-seimbangan elektrolit)
i. Gangguan hematologik
- Anemia hemolitik dengan retikulosis
- Lekopenia <4.000/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau lebih
- Limfopenia <1.500/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau lebih
- Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa disebabkan oleh obat-obatan
j. Gangguan imunologik

15
- Anti-DNA: antibodi terhadap native DNA dengan titer yang abnormal. Atau
- Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen nuklear Sm. Atau
- Temuan positif terhadap antibodi antifosfolipid yang didasarkan atas:
1) kadar serum antibodi antikardiolipin abnormal baik IgG atau IgM,
2) tes lupus antikoagulan positif menggunakan metode standar, atau
3) hasil tes serologi positif palsu terhadap sifilis sekurang-kurangnya selama 6
bulan dan dikonfrimasi dengan tes imobilisasi Treponema pallidum atau tes
fluoresensi absorpsi antibodi treponema.
k. Antibodi antinuklear positif (ANA)
Titer abnormal dari antibodi anti-nuklear berdasarkan pemeriksaan
imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat pada setiap kurun waktu
perjalanan penyakit tanpa keterlibatan obat yang diketahui berhubungan
dengan sindroma lupus yang diinduksi obat.

2.7 Diagnosis Banding


Beberapa penyakit atau kondisi di bawah ini seringkali mengacaukan
diagnosis akibat gambaran klinis yang mirip atau beberapa tes laboratorium yang
serupa, yaitu :8

a. undifferentiated connective tissue disease


b. sindroma sjogren
c. sindroma antibodi antifosfolipid (APS)
d. fibromialgia (ANA positif)
e. Purpura trombositopenik idiopatik
f. lupus imbas obat
g. arthritis reumatoid dini
h. vaskulitis

2.8 Tatalaksana
Terapi SLE nonrenal terdiri dari terapi awal dan terapi pemeliharaan.
terapi awal bertujuan untuk mengurangi inflamasi sistemik dan mencapai remisi.
terapi pemeliharaan merupakan tahapan setelahnya yang bertujuan untuk
mempertahankan remisi dan mengurangi risiko kekambuhan. secara umum,

16
pemberian kortikosteroid ataupun imunosupresan disesuaikan dengan
derajat penyakit SLE yang paling berat pada pasien.

1. SLE derajat ringan9


a. obat-obatan yang dapat digunakan pada SLE derajat ringan adalah
antimalaria, kortikosteroid, OAINS, metotreksat, dan tabir surya
b. kortikosteroid untuk SLE derajat ringan dapat diberikan secara topikal
untuk kelainan kulit. pada saat menentukan kortikosteroid topikal yang
tepat, harus diperhatikan potensi kortikosteroid dan sediaanya. potensi
kortikosteroid tergantung area kulit. Pada area yang tipis (wajah),
digunakan kortikosteroid potensi rendah, seperti flusinolon asetonid
0,01% atau hidrokortison butirat 1%. kortikosteroid yang digunakan
untuk badan dan ekstremitas adalah potensi sedang, seperti
triamsinolon asetonidatau betametason valerat. Area yang tebal
(seperti kulit kepala, telapak tangan, telapak kaki) dapat digunakan
kortikosteroid potensi tinggi seperti klobetasol proprionat. pemilihan
bentuk sediaan kortikosteroid untuk badan dapat digunakan krim atau
salep, sedangkan untuk kulit kepala digunakan solusio. Lupus diskoid
biasanya memberikan respon yang baik dengan pemberian
kortikosteroid intralesi.
c. kortikosteroid intraartikular dapat diberikan untuk arthritis
d. kortikosteroid oral (prednisolon <20 mg/hari atau setara) diberikan
apabila penggunaan kortikosteroid topikal atau IA tidak memberikan
respon atau tidak memungkinkan. kortikosteroid oral diberikan
maksimal selama dua minggu dan diturunkan dosisnya secara cepat,
dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan (prednisolon < 7,5 mg/hari)
e. antimalaria (hidroksiklorokuin atau klorokuin) diberikan pada semua
pasien SLE kecuali terdapat kontraindikasi
f. metotreksat terutama digunakan untuk mengontrol arhtritis dan ruam
kulit pada lupus serta berperan sebagai steroid sparing agent

17
g. OAINS dapat digunakan sebagai terapi simtomatik jangka pendek
(beberapa hari sampai beberapa minggu) untuk mengatasi keluhan
nyeri sendi, nyeri otot, atau demam pada lupus

2. SLE derajat sedang9


a. diperlukan prednisolon oral dengan dosis lebih tinggi (<o,5
mg/kgBB/hari atau setara) daripada yang digunakan pada SLE derajat
ringan atau penggunaan metilprednisolon IV (<250 mg selama 1-3
hari) dilanjutkan prednisolon oral <0,5 mg/kgBB/hari. Dosis
kortikosteroid kemudian diturunkan bertahap sesuai dengan perbaikan
aktivitas penyakit sampai ke dosis terendah (7,5 mg.hari) atau
dihentikan jika efek steroid sparing agent telah muncul dalam
beberapa minggu/bulan).
b. kortikosteroid diberikan bersama dengan imunsupresan dan
antimalaria untuk mengontrol aktivitas penyakit. imunosupresan dan
antimalaria bermanfaat sebagai steroid sparing agent
c. imunosupresan yang dapat digunakan antara lain metotreksat,
azatioprin, mofetil mikofenolat, asam mikofenolat, siklosporin, dan
penghambat kalsineurin lainnya (takrolimus) sesuai dengan organ
yang terlibat.
d. pada kasus refrakter dapat dipertimbangkan penggunaan belimumab
atau rituksimab

3. SLE derajat berat9


a. pasien dengan SLE derajat berat, membutuhkan investigasi
menyeluruh untuk mengekslusi etiologi lain, termasuk infeksi.
Tatalaksana tergantung etiologi (inflamasi atau trombosis),
menggunakan imunosupresan dan antikoagulan
b. terapi imunosupresan untuk SLE berat yang aktif diantaranya
metilprednisolon intravena atau prednisolon oral (<1 mg/kgBB/hari
atau setara)

18
c. mofetil mikofenolat atau siklofosfamid digunakan pada kasus lupus
nefritis dan lupus non renal yang refrakter
d. terapi biologis seperti belimumab atau rituksimab dapat
dipertimbangkan jika pasien tidak berespon baik dengan
imunosupresan
e. imunoglobulin intravena dan plasmaferesis dapat dipertimbangkan
pada pasien dengan sitopenia refrakter, thrombotic thrombocytopenic
purpura (TTP), neuropsychiatric systemic lupus erythematosus
(NPSLE) yang progresif atau refrakter, APS katastrofik.

Gambar 4. Algoritme penatalaksaan SLE13

19
Psikoedukasi17
Agar dapat mengoptimalkan kemampuannya dalam melakukan koping
terhadap nyeri yang diderita. Salah satu cara untuk mengatasi berbagai emosi
negatif yang muncul akibat sakit kronis yang diderita adalah dengan psikoedukasi
dan lewat usaha pasien untuk menerima nyeri nyeri itu sendiri. Pasien dengan
LES yang menerima dukungan dan psikoedukasi secara umum pada penelitian
sebelumnya dilaporkan menunjukkan peningkatan fungsi fisik, nyeri tubuh, fungsi
sosial, dan vitalitas.
Psikoedukasi dan pendidikan seperti itu memiliki efek positif pada
manajemen penyakit secara total. Kehadiran nyeri kronis yang terus-menerus pada
pasien LES dapat mempengaruhi kondisi emosi penderitanya, misalkan perasaan
pesimis, putus asa, dan kesal terhadap nyeri yang diderita. Apabila berbagai emosi
negatif tersebut dibiarkan berlarut-larut akan menyebabkan timbulnya perasaan
depresi yang dapat menurunkan kemampuan mengatasi penderita dalam
menghadapi nyeri kronisnya.
Penurunan kemampuan mengatasi ini juga diiringi dengan menurunnya
tingkat kegiatan yang dikerjakan penderita dan intensitas nyeri yang dirasakan.
Seseorang yang terdiagnosis penyakit seperti kronis LES mengalami perubahan
dramatis dalam gaya hidupdan penurunan yang berat pada kemampuan fungsional
dan kualitas hidup. Hal demikian juga dengan faktor interaksi SSP pada LES
termasuk kerusakan otak secara langsung,gangguan neuropsikiatri, penggunaaan
steroid, respons terhadap pasien dan beban penyakit.

2.9 Prognosis
Prognosis SLE bervariasi mulai dari ringan hingga berkembang cepat
menjadi berat disertai kegagalan multiorgan bahkan kematian. Rerata five year
survival pada SLE telah meningkat secara signifikan sejak pertengahan abad ke-
20, dari sekitar 40% pada tahun 1950 menjadi lebih dari 90% pada tahun 1980.
Hal ini berkaitan dengan berbagai faktor yang meliputi pengenalan lebih dini dan
pemeriksaan yang lebih sensitif untuk menegakkan diagnosis SLE, terapi yang
lebih baik.3

20
Sekalipun berbagai perkembangan diagnosis maupun terapi telah menjadi
lebih baik, pasien SLE tetap memiliki rerata mortalitas 2 -5 kali lipat lebih tinggi
daripada populasi umum. Prognosis pasien dengan SLE lebih buruk apabila
disertai dengan atau pada keadaan penyakit renal (terutama glomerulonefritis
proliferatif difus), hipertensi, jenis kelamin laki-laki, usia muda, usia yang lebih
tua saat muncul gejala, status sosioekonomi rendah, ras kulit hitam, antibodi anti
fosfolipid positif, aktivitas penyakit yang tinggi.3

Penyebab mortalitas pada beberapa tahun pertama adalah penyakit yang


aktif (misal penyakit sistem saraf pusat atau ginjal) atau infeksi yang berhubungan
dengan imunosupresi. Penyebab kematian di tahun-tahun selanjutnya adalah
akibat komplikasi SLE (misal penyakit ginjal stadium akhir), komplikasi terapi,
penyakit kardiovaskuler. Pasien SLE memiliki risiko kematian 3 kali lipat lebih
besar dibanding populasi umum.3

Risiko morbiditas pada pasien SLE juga menunjukkan peningkatan


sehubungan dengan penyakit yang aktif dan efek samping obat seperti
glukokortikoid dan obat sitotoksik. Glukokortikoid dapat menginduksi nekrosis
panggul dan lutut, osteoporosis, fatique serta disfungsi kognitif.3

2.10 Komplikasi
Penderita LES mengalami gangguan imunologik dan genetik yang
merupakan predisposisi untuk terjadinya infeksi. Pasien LES memiliki risiko tujuh
kali lipat lebih tinggi untuk terjadinya TB, terutama pada daerah endemis, dan
lebih sering ditemukan infeksi TB ekstrapulmoner. Studi dari Zhang, dkk.
mengungkapkan dari 452 pasien LES yang mendapatkan terapi steroid atau obat
imunosupresi lain, sebanyak 42 pasien terdiagnosis TB, 11 pasien (23,8%)
menderita TB paru dan 31 pasien (73,8%) mengalami TB ekstrapulmoner. TB
sumsum tulang merupakan TB ekstrapulmoner yang jarang, yakni 0,38–2,2%
pada populasi umum. Manifestasi klinis TB pada pasien immunocompromised
seringkali tidak jelas sehingga menyulitkan dalam diagnosis. Kondisi
immunocompromised dan terapi imunosupresan berpengaruh pada tingginya
mortalitas TB sumsum tulang.13

21
BAB III
KESIMPULAN
Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah penyakit sistemik dengan
gambaran klinis yang sangat luas dengan penyebab multifaktor antara lain
genetik, lingkungan, dan hormonal. SLE merupakan penyakit autoimun non organ
spesifik. Seringkali disebut dengan penyakit seribu wajah karena manifestasinya
sangat luas dan merupakan penyakit yang fatal.

Etiologi LES masih belum jelas, namun telah terbukti bahwa LES
merupakan interaksi antara faktor genetik (disregulasi imun, hormon) dan
lingkungan (sinar UVB, obat), yang berakibat pada terbentuk limfosit T dan B
autoreaktif yang persisten. Faktor genetik, imunologik dan hormonal serta
lingkungan diduga berperan dalam patofisiologi SLE.

American College of Rheumatology (ACR)1 telah memberikan kriteria


diagnosis untuk LES. Terdapat 11 kriteria, apabila ditemukan 4 atau lebih kriteria
ACR, maka diagnosis LES memiliki sensitivitas 85% dan spesifisitas 95%.

Diagnosis SLE biasanya ditegakkan berdasarkan penilaian dari ahli yang


berpengalaman yang dapat mengidentifikasi kerakteristik, gejala dan hasil
laboratorium yang sesuai dengan SLE sambil menyingkirkan semua diagnosis
banding. Diagnosis menjadi sulit apabila gejala yang muncul tidak khas atau tidak
muncul secara bersamaan. Sampai saat ini belum ada kriteria diagnosis yang
disepakati untuk mendiagnosis SLE, yang sudah ada adalah kriteria klasifikasi
yang digunakan dalam penelitian SLE.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Hidayati, Prema. Kriteria Klasifikasi SLE. Bagian Penyakit Dalam.


Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia. Makassar. Slicc.
2. Yuliasih, Perkembangan Patogenesis Dan Tatalaksana Systemic Lupus
Erythematosus. 2020.
3. Tanzilia, May. Tambunan, Betty. Dkk. Tinjauan Pustaka : Patogenesis
Dan Diagnosis Sistemik Lupus Eritematosus. Syifa’ Medika. Vol. 11. No.
2. 2021.
4. Pusat Data Dan Informasi Kementerian Kesehatan Ri. Situasi Lupus Di
Indonesia. 2017.
5. Sudewi, Ni., Kurniati, Nia. Karakteristik Klinis Lupus Eritematosus
Sistemik Pada Anak. Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Ui. Vol 11. No 2. 2019.
6. Fajriansyah, Najirman. Lupus Eritematosus Sistemik Pada Pria. Jurnal
Kesehatan Andalas. 2019.
7. Wahyuni, Sri. Peran Imunitas Humoral Pada Penyakit Systemic Lupus
Erhytematosus. Bagian Biokimia Prodi Pendidikan Dokter. Jurnal
Kedokteran. Universitas Malikussaleh. 2018.
8. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. Diagnosis Dan Pengelolaan Lupus
Eritematosus Sistemik. Isbn 978-979-3730-16-5. 2011.
9. Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia. Lupus Eritematosus
Sistemik. 2019
10. Fatmawati, Atikah. Regulasi Diri Pada Penyakit Kronis Systemic Lupus
Erhytematosus : Kajian Literatur. Jurnal Keperawatan Indonesia. Volume
21 No. 1. Hal 43-50. Pissn 1410-4490, Eissn 2354-9203. Jawa Timur.
2018.
11. Gaya, Leon. Sayuti, Marzuqi. Sistemik Lupus Eritematosus Pada
Kehamilan. Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. Volume 6 No.3.
2017.

23
12. Asih, Rizky. Sukendra, Dyah. Hubungan Keparahan Penyakit, Aktivitas,
Dan Kualitas Tidur Terhadap Kelelahan Pasien Systemic Lupus
Erythematosus. Uns. 2016.
13. Poespitasari, Vinandia. Tuberkulosis Sumsum Tulang Pada Lupus
Eritematosus Sistemik Berat: Sebuah Studi Kasus. Jurnal Penyakit Dalam
Indonesia. Vol. 5 No.2. 2018.
14. Darma, Nyoman. Dkk. Karakteristik Manifestasi Klinis Pasien Sistemik
Lupus Eritematosus Di Poliklinik Rematologi Rsup Sanglah Periode Juni
– September 2018. Issn: 2597-8012 Jurnal Medika Udayana, Vol. 9
No.5,Mei, 2020
15. Amalia, Tuty. Setiadhi, Riani. Terapi Kandidiasis Pada Anak Dengan
Lupus Eritematosus Sistemik Disertai Ko-Infeksi Tuberkulosis. Jurnal
Unpad. 2019.
16. Widijanti, Anik. Melissa, Ella. Hipertiroid Dan Lupus Eritematosus
Sistemik. Medika Jurnal Kedokteran Indonesia . 2021.
17. Prabowo, Agung. Dkk. Psikoedukasi Untuk Mengurangi Nyeri Pasien
Lupus Eritematosus Sistemik. Jurnal Warta Lpm. Vol. 24, No. 3, Juli
2021, Hlm. 427-435
18. Rahayu, Dinda. Dkk. Hubungan Tingkat Pengetahuan Dan Tingkat
Kepatuhan Minum Obat Dengan Tingkat Kekambuhan Lupus
Eritematosus Sistemik. Jurnal Epidemiologi Kesehatan Komunitas. 2021.
P261-268.
19. Hamijoyo, Laniyati. Risk Factors For Poor Pregnancy Outcome In
Systemic Lupus Erythematosus Patients. Acta Med Indones. Intern Med.
Volume 51. Number 2. 2019.
20. R, Evalina. Gambaran Klinis Dan Kelainan Imunologis Pada Anak
Dengan Lupus Eritematosus Sistemik Di Rumah Sakit Umum Pusat Adam
Malik Medan. Sari Pediatri. Volume 13. No.6. 2016.

24

Anda mungkin juga menyukai