Oleh :
UNIVERSITAS JAMBI
2022
i
HALAMAN PENGESAHAN
Disusun Oleh :
G1A221068
Pembimbing
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Clinical Science Session yang berjudul “Systemic Lupus Erythematosus”
sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di
Bagian Ilmu Penyakit Dalam di Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher
Provinsi Jambi.
3
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN........................................................................... ii
KATA PENGANTAR...................................................................................... iii
DAFTAR ISI..................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN................................................................................. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................... 2
2.1 Definisi........................................................................................................ 2
2.2 Epidemiologi............................................................................................... 2
2.3 Etiologi........................................................................................................ 4
2.4 Patofisiologi................................................................................................. 5
2.5 Gejala Klinis................................................................................................ 9
2.6 Diagnosis.................................................................................................... 10
2.7 Diagnosis Banding..................................................................................... 16
2.8 Tatalaksana................................................................................................. 16
2.9 Prognosis.................................................................................................... 20
2.10 Komplikasi............................................................................................... 21
BAB III KESIMPULAN.................................................................................. 22
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 23
iv4
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Istilah Lupus diambil dari bahasa latin yang berarti serigala dan dipakai
pertama kali pada abad pertengahan untuk menggambarkan lesi kulit yang erosive
yang mirip dengan gigitan serigala. Seorang ahli dari Vienna bernama Ferdinand
von Hebra memperkenalkan istilah “kupu-kupu” untuk menggambarkan rash di
daerah malar dan menyebutnya sebagai lupus erythematosus.1
2.2 Epidemiologi
Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO mencatat jumlah penderita
penyakit Lupus di seluruh dunia dewasa ini mencapai lima juta orang. Sebagian
besar dari mereka adalah perempuan usia produktif dan setiap tahun ditemukan
lebih dari 100 ribu penderita baru.4 Dari sekitar 1.250.000 orang Indonesia yang
terkena penyakit Lupus asumsi prevalensi 0,5%, sangat sedikit yang menyadari
bahwa dirinya menderita penyakit Lupus. Hal ini terjadi karena gejala penyakit
Lupus pada setiap penderita berbeda-beda, tergantung dari manifestasi klinis yang
muncul.4,19
2
Gambar 1. Jumlah Rumah Sakit yang melapor di Indonesia Tahun 2014-20164
3
2.3 Etiologi
Etiologi LES masih belum jelas, namun telah terbukti bahwa LES
merupakan interaksi antara faktor genetik (disregulasi imun, hormon) dan
lingkungan (sinar UVB, obat), yang berakibat pada terbentuk limfosit T dan B
autoreaktif yang persisten. Menurut anggapan sekarang penyakit LES dapat
ditimbulkan karena gangguan sistem imun pada sel B dan sel T, atau pada
interaksi antara kedua sel tersebut.6,10
4
Faktor lingkungan meliputi obat demetilasi, infeksi virus, virus endogen
atau elemen seperti viral serta sinar ultraviolet (sinar UV). Sinar UV merupakan
faktor lingkungan yang paling sering menyebabkan eksaserbasi SLE. Sinar UV
akan menstimulasi keratinosit sehingga menyebabkan stimulasi sel B dan
produksi antibodi.3
2.4 Patofisiologi
Faktor genetik, imunologik dan hormonal serta lingkungan diduga
berperan dalam patofisiologi SLE. Penyakit diawali dengan fase preklinis yang
ditandai oleh autoantibodi yang serupa dengan penyakit autoimun sistemik
lainnya dan menjadi penyakit yang spesifik secara klinis pada fase autoimun.
Kerusakan dini sebagian besar berhubungan dengan penyakit, sedangkan
kerusakan lamban seperti infeksi, aterosklerosis, dan keganasan biasanya
berhubungan dengan komplikasi penyakit dan terapi imunosupresan.7
a) Faktor genetik
Genome-wide assosiation studies (GWAS) menggunakan ratusan
hingga ribuan marker single nucleotide polymoprhism (SNP) untuk
penyakit SLE. GWAS telah mengkonfirmasi kepentingan dari gen yang
berkaitan dengan respon imun dan inflamasi (HLA-DR, PTPN22, STAT4,
IRF5, BLK, OX40L, FCGR2A, BANK1, SPP1, IRAK1, TNFAIP3, C2,
C4, CIq, PXK), DNA repairs (TREX1), adherence of inflammatory cells
5
to the endothelium (ITGAM), dan tissue response to injury (KLK1,
KLK3). Temuan ini mengedepankan pentingnya jalur sinyal Toll-like
receptor (TLR) dan interferon tipe 1 (IFN). Gen STAT4 yang merupakan
faktor risiko genetik terhadap artritis rheumatoid dan SLE dikaitkan
dengan kejadian SLE berat. Salah satu komponen penentu dari jalur-jalur
ini adalah TNFAIP3 yang telah diketahui berperan dalam 6 (enam)
kelainan autoimun termasuk SLE.7
b) Efek epigenetik
Risiko untuk penyakit SLE dapat dipengaruhi oleh efek epigenetik
seperti metilasi DNA dan modifikasi histon pasca translasi yang dapat
terjadi baik diturunkan atau modifikasi oleh lingkungan. Epigenetik
menggambarkan adanya perubahan yang diwariskan dalam ekspresi gen
yang disebabkan oleh mekanisme selain perubahan urutan basa DNA.
Beberapa penelitian juga telah menunjukkan hubungan metilasi DNA pada
SLE.7
c) Faktor lingkungan
Sinar ultraviolet merupakan pemicu SLE yang berasal dari
lingkungan. Paparan UVA2 dan UVB melalui proses tanning kulit untuk
kecantikan dapat mengeksaserbasi peyakit kulit pada pasien dengan
kelainan ini. Namun, akibat dari tidak terpapar matahari adalah defisiensi
vitamin D dimana berkaitan juga dengan aktivitas penyakit. Faktor
lingkungan lainnya adalah merokok, infeksi, estrogen eksogen, obat-
obatan, agen biologis dan pestisida, alkohol, dan vaksinasi.2,7
6
Radiasi ultraviolet (UV) mempunyai gelombang pendek dan
mempunyai energi yang tinggi, panjang gelombangnya sekitar 100–400
nm dan dibagi dalam tiga komponen UV A 24 (320–400 nm), UV B (290–
320), dan UV C 200–290 nm. Dari ketiga ultraviolet yang memengaruhi
secara biologi hanya UV B. Radiasi UV B dapat memicu terjadinya
metilasi DNA, komponen UV C diabsorsi oleh atmosfer oleh lapisan ozon
sedangkan UV A tidak diabsorsi oleh atmosfer dan 95% radiasinya sampai
pada permukaan bumi dan sangat sedikit diabsorsi oleh protein dan asam
nukleat.
Sinar ultraviolet menyebabkan perubahan susunan DNA yang
disebut proses epigenetik dalam proses epigenetik Metilasi DNA mungkin
merupakan epigenetik yang paling banyak dipelajari menambahkan gugus
metil ke posisi 5′ karbon sitosin dalam dinukleotida citosin-fosfat-
guanosin (CpG) mekanisme epigenetik yang sangat kuat. Fungsinya
mengontrol aksesibilitas terhadap faktor transkripsi, co-activators
transkripsi, dan RNA polimerase.
Polusi udara adalah salah satu faktor lingkungan yang tak kalah
pentingnya dengan sinar matahari. Bahan-bahan polutan yang ditolerir dan
menilai aktivitas polusi udara. Partikel yang kecil atau lebih kecil 2,5 m.
Polusi debu rumah dan diduga bertanggung jawab terjadinya beberapa
penyakit autoimun dan perubahan kondisi inflamasi dan berdampak lain
pada kesehatan. Diduga adanya polutan menimbulkan ROS yang
merupakan 25 faktor terpenting pada polusi. Beberapa komponen mayor
dari PM25, antara lain polycyclic aromatic hydrocarbons dan trace
elements dilaporkan ada hubungan dengan prevalensi SLE. Infeksi juga
diduga sebagai salah satu faktor lingkungan yang terkait dengan
patogenesis SLE.
Suatu studi epidemiologi menunjukkan prevalensi yang tinggi
antibodi antigen virus Epstein-Barr (EBV) pada pasien SLE dibandingkan
dengan populasi sehat. Infeksi virus ini meningkatkan kadar interferon
(IFN) tipe 1 yang memicu aktivitas sel B. Toksin-toksin yang terdapat di
7
lingkungan sekitar juga diduga memiliki potensi menyebabkan SLE,
namun dugaan tersebut belum dieksplorasi lebih lanjut secara
komprehensif. Saat ini, merokok secara aktif telah dianggap sebagai faktor
risiko untuk SLE karena memberikan stimulus inflamasi ke sel epitel atau
mononuklear di paru-paru dan menginduksi terjadinya modifikasi protein
atau peradangan nonspesifik. Selain faktor-faktor di atas, faktor ekonomi
terbukti berkontribusi terhadap keparahan manifestasi klinik SLE yang
kemungkinan terkait dengan akses yang buruk terhadap pelayanan
kesehatan.2,7
d) Faktor hormonal
Insiden SLE meningkat setelah pubertas dan menurun setelah
menopause. Tingkat keparahan penyakit beragam saat hamil dan siklus
menstruasi. Pada studi kohort terhadap 238.308 wanita yang diamati
secara prospektif antara tahun 1976 dan 2003, faktor-faktor seperti
menarch dini, pemakaian kontrasepsi oral, menopause dini, menopause
surgikal, dan penggunaan hormon pasca menopause berkaitan dengan
meningkatnya risiko dari penyakit SLE.7
Peran dari hormon pada penyakit SLE antara lain:
1. Kerentanan terhadap perkembangan SLE
a. Kadar estrogen endogen rendah bersifat protektif
b. Nilai androgen rendah pada laki-laki meningkatkan risiko
c. Pemakaian estrogen eksogen pada wanita meningkatkan risiko
8
3. Aktifitas hormon dan prognosis SLE
a. Aktifitas penyakit cenderung menurun setelah menopause
b. Flares pada SLE dapat terjadi selama periode perubahan cepat hormon
c. Fluktuasi siklus aktifitas penyakit pada wanita selama siklus menstruasi
d. Pasien dengan onset SLE pasca menopause memiliki aktifitas penyakit
lebih rendah dan prognosis lebih baik
9
Kecurigaan akan penyakit SLE perlu dipikirkan bila dijumpai 2 (dua) atau
lebih kriteria sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu:7
Pada tahun 1971 Cohen dkk menerbitkan kriteria klasifikasi pertama untuk
SLE yang terdiri dari 14 kriteria klasifikasi SLE. Kemudian pada tahun 1982, Tan
dkk merevisi kriteria tersebut seiring dengan kemajuan ilmu kedokteran mengenai
tes serologi, yaitu antibodi antinuklear (ANA) dan anti-dsDNA. Kemudian pada
tahun 1997 dilakukan revisi lagi yang dikenal dengan kriteria American
10
Rheumatism Association (ARA/ACR). Namun sayangnya kriteria ini tidak pernah
divalidasi.
Selain itu bisa terjadi keterlambatan diagnosis SLE karena pada saat
terpenuhi empat poin sesuai syarat kriteria ARA 1997, pasien mungkin telah lama
menderita SLE, dan telah terjadi kerusakan organ yang cukup berat. Sebenarnya
Tan dkk sudah mengingatkan agar berhati-hati, karena kriteria tersebut dan agar
tidak digunakan sebagai kriteria diagnostik yang benar sampai tes yang lebih luas
terhadap berbagai jenis penyakit telah dilakukan. Kriteria tersebut sengaja dibuat
sederhana agar memudahkan pengajaran dan aplikasi praktis untuk kepentingan
penelitian
11
Tabel 1 Kriteria klasifikasi SLICC untuk SLE1,2
Kriteria Klinis
3. Ulkus Oral dan nasofaringeal Ulkus di palatum, buccal, lidah, atau nasal
disingkirkan penyebab lain seperti
vaskulitis , behcet, herpes, IBD, reaktif
artritis, makanan asam
12
sendi pagi hari.
KRITERIA IMUNOLOGI
13
12. Anti DS DNA Diatas nilai normal kecuali ELISA: duakali
diatas nilai normal
15. Direct Coomb tes yang positif Tanpa adanya gambaran anemia hemolitik
Pada kriteria SLICC terdiri dari 10 kriteria klinis dan 5 kriteria imunologi.
Seseorang diklasifikasikan telah menderita SLE apabila memenuhi 4 kriteria yang
harus meliputi 1 kriteria klinis dan 1 kriteria imunologi. Atau apabila hasil biopsi
ginjal pasien sesuai dengan gambaran lupus nefritis disertai ANA dan anti
DSDNA yang positif. Kriteria-kriteria ini tidak harus didapatkan bersamaan.
Sedangkan pada kriteria ACR 1997 terdiri dari 11 kriteria, dan pasien di
klasifikasikan sebagai SLE bila memenuhi 4 dari 11 kriteria tersebut.1,2
a. Ruam malar
Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah malar dan cenderung
tidak melibatkan lipat nasolabial.
b. Ruam diskoid
Plak eritema menonjol dengan keratotik dan sumbatan folikular. Pada SLE
lanjut dapat ditemukan parut atrofik
14
c. Fotosensitifitas
Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar matahari, baik
dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh dokter pemeriksa
d. Ulkus mulut
Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat oleh dokter
pemeriksa
e. Artritis
Artritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi perifer, ditandai oleh
nyeri tekan, bengkak atau efusia.
f. Serositis
- Pleuritas, riwayat nyeri pleuratik atau pleuratic friction rub yang didengar
oleh dokter pemeriksa atau terdapat bukti efusi pleura.
-Perikarditis, terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial friction rub atau
terdapat efusi perikardium
g. Gangguan renal
-Proteinuria menetap >0,5 gram per hari atau >3+ bila tidak dilakukan
pemeriksaan kuantitatif. Atau
-Silinder seluler: dapat berupa silinder eritrosit, hemoglobin, granular, tubular,
atau campuran.
h. Gangguan neurologi
- Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan metabolik
(misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidak-seimbangan elektrolit).
- Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan metabolik
(misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidak-seimbangan elektrolit)
i. Gangguan hematologik
- Anemia hemolitik dengan retikulosis
- Lekopenia <4.000/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau lebih
- Limfopenia <1.500/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau lebih
- Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa disebabkan oleh obat-obatan
j. Gangguan imunologik
15
- Anti-DNA: antibodi terhadap native DNA dengan titer yang abnormal. Atau
- Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen nuklear Sm. Atau
- Temuan positif terhadap antibodi antifosfolipid yang didasarkan atas:
1) kadar serum antibodi antikardiolipin abnormal baik IgG atau IgM,
2) tes lupus antikoagulan positif menggunakan metode standar, atau
3) hasil tes serologi positif palsu terhadap sifilis sekurang-kurangnya selama 6
bulan dan dikonfrimasi dengan tes imobilisasi Treponema pallidum atau tes
fluoresensi absorpsi antibodi treponema.
k. Antibodi antinuklear positif (ANA)
Titer abnormal dari antibodi anti-nuklear berdasarkan pemeriksaan
imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat pada setiap kurun waktu
perjalanan penyakit tanpa keterlibatan obat yang diketahui berhubungan
dengan sindroma lupus yang diinduksi obat.
2.8 Tatalaksana
Terapi SLE nonrenal terdiri dari terapi awal dan terapi pemeliharaan.
terapi awal bertujuan untuk mengurangi inflamasi sistemik dan mencapai remisi.
terapi pemeliharaan merupakan tahapan setelahnya yang bertujuan untuk
mempertahankan remisi dan mengurangi risiko kekambuhan. secara umum,
16
pemberian kortikosteroid ataupun imunosupresan disesuaikan dengan
derajat penyakit SLE yang paling berat pada pasien.
17
g. OAINS dapat digunakan sebagai terapi simtomatik jangka pendek
(beberapa hari sampai beberapa minggu) untuk mengatasi keluhan
nyeri sendi, nyeri otot, atau demam pada lupus
18
c. mofetil mikofenolat atau siklofosfamid digunakan pada kasus lupus
nefritis dan lupus non renal yang refrakter
d. terapi biologis seperti belimumab atau rituksimab dapat
dipertimbangkan jika pasien tidak berespon baik dengan
imunosupresan
e. imunoglobulin intravena dan plasmaferesis dapat dipertimbangkan
pada pasien dengan sitopenia refrakter, thrombotic thrombocytopenic
purpura (TTP), neuropsychiatric systemic lupus erythematosus
(NPSLE) yang progresif atau refrakter, APS katastrofik.
19
Psikoedukasi17
Agar dapat mengoptimalkan kemampuannya dalam melakukan koping
terhadap nyeri yang diderita. Salah satu cara untuk mengatasi berbagai emosi
negatif yang muncul akibat sakit kronis yang diderita adalah dengan psikoedukasi
dan lewat usaha pasien untuk menerima nyeri nyeri itu sendiri. Pasien dengan
LES yang menerima dukungan dan psikoedukasi secara umum pada penelitian
sebelumnya dilaporkan menunjukkan peningkatan fungsi fisik, nyeri tubuh, fungsi
sosial, dan vitalitas.
Psikoedukasi dan pendidikan seperti itu memiliki efek positif pada
manajemen penyakit secara total. Kehadiran nyeri kronis yang terus-menerus pada
pasien LES dapat mempengaruhi kondisi emosi penderitanya, misalkan perasaan
pesimis, putus asa, dan kesal terhadap nyeri yang diderita. Apabila berbagai emosi
negatif tersebut dibiarkan berlarut-larut akan menyebabkan timbulnya perasaan
depresi yang dapat menurunkan kemampuan mengatasi penderita dalam
menghadapi nyeri kronisnya.
Penurunan kemampuan mengatasi ini juga diiringi dengan menurunnya
tingkat kegiatan yang dikerjakan penderita dan intensitas nyeri yang dirasakan.
Seseorang yang terdiagnosis penyakit seperti kronis LES mengalami perubahan
dramatis dalam gaya hidupdan penurunan yang berat pada kemampuan fungsional
dan kualitas hidup. Hal demikian juga dengan faktor interaksi SSP pada LES
termasuk kerusakan otak secara langsung,gangguan neuropsikiatri, penggunaaan
steroid, respons terhadap pasien dan beban penyakit.
2.9 Prognosis
Prognosis SLE bervariasi mulai dari ringan hingga berkembang cepat
menjadi berat disertai kegagalan multiorgan bahkan kematian. Rerata five year
survival pada SLE telah meningkat secara signifikan sejak pertengahan abad ke-
20, dari sekitar 40% pada tahun 1950 menjadi lebih dari 90% pada tahun 1980.
Hal ini berkaitan dengan berbagai faktor yang meliputi pengenalan lebih dini dan
pemeriksaan yang lebih sensitif untuk menegakkan diagnosis SLE, terapi yang
lebih baik.3
20
Sekalipun berbagai perkembangan diagnosis maupun terapi telah menjadi
lebih baik, pasien SLE tetap memiliki rerata mortalitas 2 -5 kali lipat lebih tinggi
daripada populasi umum. Prognosis pasien dengan SLE lebih buruk apabila
disertai dengan atau pada keadaan penyakit renal (terutama glomerulonefritis
proliferatif difus), hipertensi, jenis kelamin laki-laki, usia muda, usia yang lebih
tua saat muncul gejala, status sosioekonomi rendah, ras kulit hitam, antibodi anti
fosfolipid positif, aktivitas penyakit yang tinggi.3
2.10 Komplikasi
Penderita LES mengalami gangguan imunologik dan genetik yang
merupakan predisposisi untuk terjadinya infeksi. Pasien LES memiliki risiko tujuh
kali lipat lebih tinggi untuk terjadinya TB, terutama pada daerah endemis, dan
lebih sering ditemukan infeksi TB ekstrapulmoner. Studi dari Zhang, dkk.
mengungkapkan dari 452 pasien LES yang mendapatkan terapi steroid atau obat
imunosupresi lain, sebanyak 42 pasien terdiagnosis TB, 11 pasien (23,8%)
menderita TB paru dan 31 pasien (73,8%) mengalami TB ekstrapulmoner. TB
sumsum tulang merupakan TB ekstrapulmoner yang jarang, yakni 0,38–2,2%
pada populasi umum. Manifestasi klinis TB pada pasien immunocompromised
seringkali tidak jelas sehingga menyulitkan dalam diagnosis. Kondisi
immunocompromised dan terapi imunosupresan berpengaruh pada tingginya
mortalitas TB sumsum tulang.13
21
BAB III
KESIMPULAN
Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah penyakit sistemik dengan
gambaran klinis yang sangat luas dengan penyebab multifaktor antara lain
genetik, lingkungan, dan hormonal. SLE merupakan penyakit autoimun non organ
spesifik. Seringkali disebut dengan penyakit seribu wajah karena manifestasinya
sangat luas dan merupakan penyakit yang fatal.
Etiologi LES masih belum jelas, namun telah terbukti bahwa LES
merupakan interaksi antara faktor genetik (disregulasi imun, hormon) dan
lingkungan (sinar UVB, obat), yang berakibat pada terbentuk limfosit T dan B
autoreaktif yang persisten. Faktor genetik, imunologik dan hormonal serta
lingkungan diduga berperan dalam patofisiologi SLE.
22
DAFTAR PUSTAKA
23
12. Asih, Rizky. Sukendra, Dyah. Hubungan Keparahan Penyakit, Aktivitas,
Dan Kualitas Tidur Terhadap Kelelahan Pasien Systemic Lupus
Erythematosus. Uns. 2016.
13. Poespitasari, Vinandia. Tuberkulosis Sumsum Tulang Pada Lupus
Eritematosus Sistemik Berat: Sebuah Studi Kasus. Jurnal Penyakit Dalam
Indonesia. Vol. 5 No.2. 2018.
14. Darma, Nyoman. Dkk. Karakteristik Manifestasi Klinis Pasien Sistemik
Lupus Eritematosus Di Poliklinik Rematologi Rsup Sanglah Periode Juni
– September 2018. Issn: 2597-8012 Jurnal Medika Udayana, Vol. 9
No.5,Mei, 2020
15. Amalia, Tuty. Setiadhi, Riani. Terapi Kandidiasis Pada Anak Dengan
Lupus Eritematosus Sistemik Disertai Ko-Infeksi Tuberkulosis. Jurnal
Unpad. 2019.
16. Widijanti, Anik. Melissa, Ella. Hipertiroid Dan Lupus Eritematosus
Sistemik. Medika Jurnal Kedokteran Indonesia . 2021.
17. Prabowo, Agung. Dkk. Psikoedukasi Untuk Mengurangi Nyeri Pasien
Lupus Eritematosus Sistemik. Jurnal Warta Lpm. Vol. 24, No. 3, Juli
2021, Hlm. 427-435
18. Rahayu, Dinda. Dkk. Hubungan Tingkat Pengetahuan Dan Tingkat
Kepatuhan Minum Obat Dengan Tingkat Kekambuhan Lupus
Eritematosus Sistemik. Jurnal Epidemiologi Kesehatan Komunitas. 2021.
P261-268.
19. Hamijoyo, Laniyati. Risk Factors For Poor Pregnancy Outcome In
Systemic Lupus Erythematosus Patients. Acta Med Indones. Intern Med.
Volume 51. Number 2. 2019.
20. R, Evalina. Gambaran Klinis Dan Kelainan Imunologis Pada Anak
Dengan Lupus Eritematosus Sistemik Di Rumah Sakit Umum Pusat Adam
Malik Medan. Sari Pediatri. Volume 13. No.6. 2016.
24