SEPSIS
Ai Rusmayanti, S.Ked * dr. Andi Hasyim, Sp.An **
1
HALAMAN PENGESAHAN
CLINICAL SCIENCE SESSION (CSS)/ REFERAT
SEPSIS
Disusun oleh:
Ai Rusmayanti, S.Ked
G1A218066
PEMBIMBING
Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Clinical
Science Session (CSS) dalam bentuk laporan kasus bayangan yang berjudul
“Sepsis” sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di
Bagian Anestesi di Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Andi Hasyim, Sp.An yang
telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk membimbing penulis
selama menjalani Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Anestesi di Rumah Sakit
Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada makalah laporan
kasus ini, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran untuk
menyempurnakan makalah ini. Penulis mengharapkan semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi penulis dan pembaca.
Ai Rusmayanti, S.Ked
DAFTAR ISI
Halaman Judul.................................................................................................. i
Halaman Pengesahan....................................................................................... ii
Kata Pengantar................................................................................................. iii
Daftar Isi............................................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................... 3
2.1 Definisi Sepsis........................................................................................3
2.2 Etiologi...................................................................................................5
2.3 Epidemiologi..........................................................................................5
2.4 Patofisiologi...........................................................................................5
2.5 Manifestasi Klinis................................................................................10
2.6 Diagnosis..............................................................................................10
2.7 Tatalaksana...........................................................................................12
2.8 Komplikasi...........................................................................................19
BAB III KESIMPULAN................................................................................. 21
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 22
BAB I
PENDAHULUAN
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam definisi terbaru ini, istilah “sepsis berat” telah dihilangkan, hal ini
bertujuan agar sepsis tidak dianggap ringan dan bisa diberi penanganan yang tepat
sesegera mungkin. Sepsis dikaitkan dengan tingkat mortalitas sekitar 30%.13 Syok
septik merupakan perkembangan dari sepsis disertai dengan Mean Arterial
Pressure <65 mmHg atau memerlukan vasopresor dan disertai kadar laktat > 2
mmol/L.8
2.2 Etiologi4
Sepsis disebabkan antara lain oleh organisme gram negatif, gram positif,
jamur, virus, dan parasit. Penyebab tersering untuk sepsis adalah bakteri gram
negatif dengan presentase 60-80%. Tetapi perlu diketahui bahwa terjadi
peningkatan angka kejadian sepsis yang disebabkan oleh bakteri gram positif dan
jamur sejak pertengahan tahun 1990.
2.3 Epidemiologi.14
2.4 Patofisiologi4
a) Respon Host
Respons host terhadap sepsis ditandai oleh respons proinflamasi (atas panel, berwarna merah) dan imunosupatif
antiinflamasi.tanggapan yang menekan (bagian bawah panel, berwarna biru). Arah, luas, dan durasi reaksi ini
ditentukan oleh kedua faktor host(misalnya, karakteristik genetik, usia, penyakit yang menyertai, dan obat-obatan) dan
faktor patogen (misalnya, beban mikroba dan virulensi). Di-respons flamatory diawali oleh interaksi antara pola-pola
molekul terkait-patogen yang diekspresikan oleh patogen dan pola-pola.reseptor pengenalan yang diekspresikan oleh
sel inang di permukaan sel (reseptor mirip tol [TLR] dan reseptor lektin tipe-C [CLR]), diendosom (TLRs), atau dalam
sitoplasma (reseptor yang diinduksi asam retinoat gen 1-like receptor [RLRs] dan oligomerisasi yang mengikat
nukleotida)reseptor seperti domain [NLR]). Konsekuensi dari peradangan yang berlebihan adalah kerusakan jaringan
kolateral dan kematian sel nekrotikmenghasilkan pelepasan pola molekul terkait kerusakan, yang disebut molekul
bahaya yang melanggengkan peradangan setidaknya sebagiandengan bertindak pada reseptor pengenalan pola yang
sama yang dipicu oleh patogen.
c) Kelainan Koagulasi
e) Disfungsi Organ
2.6 Diagnosis
Terdapat beberapa kriteria untuk mendiagnosis sepsis. Sequential Organ
Failure Assesment (SOFA) Score digunakan pada pasien di ICU. Sementara
Untuk Quick SOFA digunakan pada pasien diluar ICU.8
1. Resusitasi Awal
a) Setelah cairan resusitasi awal, pemberian cairan lanjutan diberikan
dengan pemantauan rutin dan sering dari hemodinamik pasien.
b) Pemantauan tanda vital pasien yang ada (invasive ataupun non
invasive ), terdiri dari, heart rate,, tekanan darah, saturasi oksigen,
respiration rate, suhu, urin output, saturasi O2 arterial, echocardiografi.
c) Penilaian hemodinamik lanjutan seperti penilaian fungsi jantung, untuk
menentukan jenis syok yang dialami pasien, bila pemeriksaan klinis
tidak jelas.
d) Target MAP awal 65 mmHg pada pasien dengan syok septik yang
membutuhkan vasopressor
e) Variable dinamis selain variable statis yang dapat digunakan untuk
memperkirakan respon tubuh terhadap pemberian cairan
f) Variabel dinamis (menilai respon terhadap fluid challenge yang
meningkatkan stroke volume) : variasi tekanan nadi (pulse pressure
variation).
g) Resusitasi terpandu kadar laktat tubuh, dimana peningkatan laktat
merupakan tanda dari hipoperfusi jaringan. Serum laktat bukan untuk
mengukur perfusi jaringan, namun peningkatan laktat serum mewakili
hipoksia jaringan, peningkatan glikolisis aerob akibat peningkatan
berlebih stimulasi beta adrenergic atau akibat penyebab lain (contoh
liver failure)
2. Skrining Sepsis
Sistem rumah sakit direkomendasikan memiliki program untuk
sepsis, termasuk didalamnya skrining sepsis untuk pasien nyeri akut, dan pasien
resiko tinggi. Makin cepat diagnosis sepsis ditegakkan, dan dilakukan tata laksana
yang cepat, makin besar angka harapan hidup pasien.
3. Diagnosis
Kultur mikrobiologi rutin (termasuk kultur sampel darah)
dilakukan sebelum memulai terapi antibiotik pada pasien curiga sepsis/syok
sepsis, dan tidak ada penundaan dalam pemberian terapi antibiotik. Kultur
dilakukan sebelum pemberian antibiotik spectrum luas, dan bila telah ada hasil,
maka antibiotik disesuaikan dengan hasil kultur. Tidak ada penundaan dalam
pemberian antibiotik pada pasien dengan sepsis/syok septik. Kultur minimal
menggunakan 2 set kultur darah (aerobic dan anaerobic).
4. Terapi Antibiotik
a) Pemberian antibiotik intravena diberikan secepatnya dalam waktu
kurang dari 1 jam setelah diagnosa sepsis/syok sepsis ditegakkan.
Penundaan pemberian antibiotik meningkatkan angka kematian
pasien dengan sepsis/syok sepsis.
b) Pemberian antibiotik spectrum luas dengan 1 atau lebih antibiotik
pada pasien dengan sepsis/syok sepsis untuk membunuh semua
jenis kuman pathogen penyebab sepsis.
c) Pemberian antibiotik empiric disesuaikan bila ada hasil identifikasi
pathogen dan sensitifitas, dan atau perbaikan klinis nyata.
d) Jangan diberikan profilaksis antibiotik sistemik ada pasien dengan
keadaan inflamasi berat non infeksius, seperti luka bakar,
pankreatitis.
e) Pemberian dosis antibiotik disesuaikan secara optimal sesuai
dengan prinsip farmakokinetik/farmakodinamik (penggunaan obat
rasional) pada pasien sepsis/syok septik
f) Terapi antibiotik empiric kombinasi, minimal 2 antibiotic yang
meliputi semua pathogen pada manajemen awal sepsis/syok sepsis
g) Terapi kombinasi tersebut tidak dilakukan secara rutin pada pasien
infeksi berat seperti bacteremia, dan sepsis tanpa syok.
h) Tidak menggunakan terapi kombinasi sebagai terapi rutin pada
sepsis dengan neutropenia/ bacteremia
i) Bila pasien pada resusitasi awal diberikan terapi antibiotik
kombinasi, untuk dilakukan deeskalasi antibiotic dengan
penyetopan terapi kombinasi pada beberapa hari pertama bila
terdapat perbaikan respon klinis. Hal ini juga berlaku untuk infeksi
dengan kultur positif, atau empiric (infeksi dengan kultur
negative).
j) Pemberian antibiotik 7-10 hari secara adekuat pada pasien
sepsis/syok septik.
k) Pemberian antibiotik diperpanjang pada pasien dengan respon
klinis lambat, focus infeksi yang tidak dapat dilakukan drainase,
bacteremia S.aureus, infeksi jamur dan virus, defisiensi imunologis
termasuk neutropenia.
l) Pemberikan antibiotik diperpendek pada pasien dengan perbaikan
klinis cepat dan nyata dengan pengendalian infeksi efektif pada
infeksi intra abdomen atau urosepsis, atau pada pasien pielonefritis
anatomis baik.
m) Penilaian harian dari de eskalasi antibiotik pada pasien sepsis/syok
sepsis.
n) Pengukuran kadar prokalsitonin untuk membatu dalam evaluasi
pemendekan durasi waktu pemberian antibiotik pada pasien
sepsis.1
5. Source Control (Pengendalian Sumber Infeksi)
a) Diagnosis spesifik penyebab infeksi diidentifikasi dini dan diterapi
secepatnya baik dengan intervensi bedah maupun non bedah.
b) Pemindahan dini akses intravena yang dicurigai sebagai sumber
infeksi pada pasien sepsis/syok sepsis.
6. Terapi Cairan
a) Teknik fluid challenge test dilakukan ketika pemberian cairan
intravena dilanjutkan selama terdapat perbaikan hemodinamik.
b) Cairan kristaloid sebagai cairan pilihan untuk resusitasi awal dan
penggantian volume cairan lanjut pada pasien sepsis dan syok
sepsis
c) Penggunakan cairan kristaloid berimbang untuk resusitasi cairan
pasien dengan sepsis/syok sepsis
d) Penggunaan albumin sebagai cairan tambahan disamping kristaloid
untuk resusitasi awal dan penggantian volume cairan lanjut pada
pasien sepsis/syok sepsis yang membutuhkan kristaloid dalam
jumlah tertentu. Cairan albumin yang disarankan adalah albumin
5%.
e) Tidak menggunakan hydroxyethyl starches (HES) untuk cairan
pengganti volume intravascular pada pasien sepsis/syok sepsis.
f) Penggunaan cairan kristaloid lebih disarankanbdaripada gelatin
(gelafusal) ketika melakukan resusitasi cairan pasien sepsis/syok
sepsis.
7. Obat-Obatan Vasoaktif
a) Pemberian norepinefrin sebagai obat pilihan pertama vasopressor
pada pasien sepsis/syok sepsis.
b) Penambahan vasopressin (hingga dosis 0,03 U/menit) atau
epinefrin untuk meningkatkan MAP sesuai target (≥ 65 mmHg),
atau penggunaan vasopressin (hingga dosis 0,03 U/menit) untuk
menurunkan dosis norepinefrin.
c) Penggunaan dopamine sebagai agen vasopressor alternatif dari
norepinefrin, hanya pada kasus-kasus tertentu (antara lain pasien
dengan resiko rendah takiaritmia, dan absolut/relatif bradikardia).
d) Tidak menggunakan dopamine dosis rendah untuk proteksi renal.
e) Pemberian dobutamin pada pasien dengan hipoperfusi persisten
walau telah diberikan loading cairan adekuat dan telah diberikan
obat vasopressor.
f) Pasien yang memerlukan pemberian obat vasopressor dipasang
kateter arterial secepatnya, bila keadaan memungkinkan.
8. Kortikosteroid
Tidak memberikan hidrokortison intravena untuk terapi pasien
sepsis/syok sepsis yang respon terhadap resusitasi cairan adekuat dan terapi
vasopressor. Bila stabilitas hemodinamik ini tidak tercapai dengan 2 hal tersebut,
maka disarankan pemberian hidrokortison intravena dengan dosis 200 mg/hari.
9. Produk Darah
a) Transfusi PRC hanya diberikan bila Hb < 7 g/dL pasien dewasa
tanpa adanya keadaan buruk/penyakit lain, seperti iskemia
miokard, hypoxemia berat, atau perdarahan akut.
b) Tidak menggunakan eritripoetin untuk terapi pasien anemia
berhubungan dengan sepsis
c) Tidak memberikan FFP (Fresh Frozen Plasma) untuk koreksi
abnormalitas pembekuan tanpa adanya perdarahan atau prosedur
invasive terencana.
d) Tranfusi platelet bila trombosit < 10,000 /mm3 tanpa adanya
perdarahan, atau trombosit < 20,000 /mm3 pasien dengan resiko
perdarahan. Target jumlah trombosit > 50,000 /mm3 disarankan
untuk pasien dengan perdarahan aktif, akan dilakukan
operasi/tindakan invasif.
10. Immunoglobulin
Tidak memberikan immunoglobulin intravena pada pasien
sepsis/syok sepsis.
11. Blood Purification
Tidak ada rekomendasi untuk penggunaan teknik blood
purification (seperti hemofiltrasi volume tinggi, hemoadsorbsi) pada pasien
sepsis/syok sepsis.
12. Antikoagulan
a) Tidak memberikan antitrombin untuk terapi sepsis/syok sepsis
b) Tidak rekomendasi untuk penggunaan trombomodulin atau heparin
pada terapi sepsis/syok sepsis.
13. Ventilasi Mekanik
a) Target tidal volume 6 ml/kg predicted body weight (PBW)
dibandingkan tidal volume 12 mL/kg PBW pada pasien sepsis
dengan ARDS
b) Penggunaan target batas atas untuk plateu pressure sebesar 30
cmH2O lebih tinggi dari plateu pressure pasien dewasa sepsis
dengan ARDS
c) Penggunaan PEEP tinggi dibandingkan PEEP rendah pada pasien
sepsis dengan ARDS sedang-berat
d) Lung recruitment pada pasien dewasa sepsis dengan ARDS.
e) Posisi prone/tengkurap dibandingkan posisi supine/terlentang pada
pasien dewasa sepsis dengan ARDS dengan rasio PaO2/FiO2 <
150.
f) Tidak menggunakan HFOV (High Frequency Occilatory
Ventilation) pada pasien dewasa sepsis dengan ARDS
g) Tidak ada rekomendasi penggunaan NIV (non invasive ventilasi)
pada pasien sepsis dengan ARDS
h) Penggunaan obat pelumpuh otot selama ≤ 48 jam pada pasien
dewasa dengan ARDS dan rasio PaO2/FiO2 < 150 mmHg
i) Pemberian cairan konservatif untuk maintenance pasien sepsis
dengan ARDS tanpa tanda hipoperfusi jaringan
j) Tidak menggunakan ß-2 agonis untuk terapi pasien sepsis dengan
ARDS tanpa bronkospasme
k) Tidak memasang rutin kateter PA pada pasien sepsis dengan
ARDS
l) Pemberian volume tidal rendah dibandingkan volume tidal tinggi
pada pasien sepsis dengan gagal nafas tanpa ARDS
m) Pasien sepsis dengan ventilasi mekanik diposisikan kenaikan
kepala (head up) 30 – 45 derajat, meminimalkan resiko aspirasi dan
terjadinya VAP (ventilation associated pneumonia)
n) Dilakukan SBT (spontaneous breathing trial) pada pasien sepsis
yang akan dilakukan weaning ventilator
o) Penggunaan protocol weaning pada pasien sepsis dengan gagal
nafas yang mampu mentoleransi weaning.
14. Sedasi Dan Analgesia
Untuk meminimalkan pemberian sedasi continue maupun
intermitten pada pasien sepsis dengan ventilasi mekanis. Penggunaan penilaian
level sedasi (CAM-ICU, Ramsay) disarankan untuk meminimalkan pemberian
sedasi/analgesia ini.
15.Kontrol Glukosa
a) Direkomendasikan, pembuatan protocol manajemen gula darah
pasien ICU dengan sepsis, pemberian dosis insukin ketika
pemeriksaan GDS 2 kali berturut-turut memberikan hasil GDS >
190 mg/dL. Protokol ini harus mentargetkan level tertinggi GDS
normal adalah ≤180 mg/dL daripada target level tertinggi GDS
≤110 mg/dL
b) Nilai GDS dimonitoring 1-2 jam hingga nilai GDS dan kecepatan
pemberian insulin stabil, dilanjutkan per 4 jam pada pasien yang
diberikan insulin infus (intravena).
c) Nilai GDS yang didapat dengan pengambilan darah kapiler harus
di interpretasi hati-hati karena pengukuran tersebut mungkin tidak
akurat memperkirakan darah ateri atau nilai glukosa plasma.
d) Penggunaan darah arterial dibandingkan darah kapiler untuk tes
glukosa menggunakan alat glucose meter bila pasien terpasang
kateter arterial.
16. Renal Replacement Teraphy (Rrt)
a) Penggunaan mesin RRT secara terus menerus atau intermitten pada
pasien sepsis dengan AKI (acute kidney injury)
b) Penggunaan mesin RRT untuk manajemen balance cairan pada
pasien sepsis hemodinamik tidak stabil
c) Tidak menggunakan mesin RRT untuk indikasi oligouria atau
peningkatan kreatinin pada pasien sepsis dengan AKI tanpa
indikasi lain untuk dialisis.
17. Terapi Bikarbonat
Disarankan tidak menggunakan bicnat untuk meningkatkan
hemodinamik atau untuk mengurangi dosis vasopressor pada pasien hipoperfusi
dengan asidosis laktat dengan pH ≥ 7.15.
18. Profilaksis Tromboemboli Vena
a) Pemberian profilaksis heparin (UFH) atau LMWH untuk
pencegahan tromboemboli vena bila tidak ada kontraindikasi
mutlak
b) Penggunaan LMWH dibandingkan UFH untuk pencegahan
tromboemboli vena bila tidak ada kontraindikasi penggunaan
LMWH.
19. Profilaksis Ulkus Peptikum
a) Pemberian profilaksis ulkus peptikum pada pasien sepsis/syok
sepsis resiko perdarahan saluran cerna
b) Obat yang disarankan untuk profilaksis ulkus peptikum adalah
proton pump inhibitors (PPIs) atau histamine-2 receptor
antagonists (H2RAs)
c) Tidak disarankan pemberian profilaksis ulkus peptikum pada
pasien tanpa resiko perdarahan saluran cerna.
20. Nutrisi
a) Tidak menggunakan nutrisi parenteral dini ataupun kombinasi
nutrisi parenteral dengan enteral pada pasien kritis dengan
sepsis/syok sepsis yang daoat diberi makan enteral.
b) Tidak menggunakan nutrisi parenteral dini ataupun kombinasi nutri
parenteral dan enteral, (lebih disarankan untuk memulai pemberian
glukosa intravena dan pemberian makan enteral, sesuai toleransi
pasien), pada 7 hari pertama pada pasien kritis sepsis/syok sepsis
yang sulit dilakukan pemberian makanan enteral dini
c) Pemberian makanan enteral dini dibanding mempuasakan pasien
atau hanya memberikan glukosa intravena pasien syok
sepsis/sepsis yang dapat diberika makan enteral
d) Diet hopokalori makanan enteral pada pasien sepsis/syok sepsis,
jika makanan enteral hipokalori merupakan strategi awal, maka
pemberian makan disesuaikan dengan toleransi pasien
e) Pemberian asam amino omega 3 sebagai suplementasi pada pasien
sepsis/syok sepsis
f) Mengukur residu cairan lambung pasien dengan intoleransi
makanan atau pasien resiko tinggi aspirasi dan jangan secara rutin
monitoring volume residu lambung.
g) Penggunaan obat-obat prokinetik pada pasien dengan intoleransi
makanan
h) Penggunaan NGT pada pasien ICU dengan sepsis/syok sepsis
resiko tinggi aspirasi
i) Tidak memberikan selenium intravena pada pasien sepsis/syok
sepsis
j) Tidak memberikan arginin untuk terapi sepsis/syok sepsis
k) Tidak menggunakan glutamin untuk terapi sepsis/syok sepsis
l) Tidak ada rekomendasi untuk penggunaan carnitin untuk
sepsis/syok sepsis.
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
1
De Oliveira A, Cardoso C, Santos F, Campos AP, Leite E, Stanislaus J, et al. Predictors of
mortality in patients with severe sepsis or septic shock in the ICU of a public teaching hospital. Crit
Care. 2013;17(Suppl 4):P31
2
Cohen J. The immunopathogenesis of sepsis. Nature. 2002;420(6917):885-91.
3
.McPherson D, Griffiths C, Williams M, et al Sepsis-associated mortality in England: an analysis
of multiple cause of death data from 2001 to 2010 BMJ Open 2013;3:e002586. doi:
10.1136/bmjopen-2013-002586
4
Derek C. Angus, M.D., M.P.H.,Tom van der Poll, M.D., Ph.D.Severe Sepsis and Septic Shock.N
Engl J Med (serial online) 2013(diakses 30 Mei 2020); 369:840
851.Diunduhdari:URL:http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMra1208623#t=article
5
Widodo D. The clinical, laboratory, and microbiological profile of patients with sepsis at the
internal medicine inpatient unit of Dr. Ciptomangukusumo national general hospital, jakarta. Med J
Indones. 2004;13(2):90-5.
6
O’Brien, Jim. The Cost of Sepsis.2015.(diakses 30 Mei 2020). Diunduh dari : URL :
https://blogs.cdc.gov/safehealthcare/the-cost-of-sepsis/
7
Kaplan, J lewis. Systemic Inflammatory Responds Syndrome.2017.(diakses 30 Mei 2020).
Diunduh dari : URL : https://emedicine.medscape.com/.
8
Shankar-Hari M, Phillips GS, Levy ML, et al. Developing a New Definition and Assesing New
Clinical Criteria for Septic Shock : For The Third International Consensus Definitions for Sepsis
and Septic Shock (Sepsis-3). JAMA. 2016;315(8):801–810. doi:10.1001/jama.2016.0287
9
Shapiro NI, Howell MD, Talmor D, Nathanson LA, Lisbon A, Wolfre RE, Weiss JW(2005) Serum
lactate as a predictor of mortality in emergency depatement with infection.Ann Emerg Med 2
45:534-528.
10
Morgan GE, Mikhail MS. Critical Care In : Clinical Anesthesiology, 5th ed. Lange Medical
Books/McGraw-Hill. 2013 7.
11
Vincent JL, Marshall JC, Namendys-Silva SA, Francois B, Martin-Loeches I, Lipman J et al.
Assessment of the worldwide burden of critical illness: the intensive care over nations (ICON)
audit. Lancet Respir Med. 2014;2: 380–386. pmid:24740011.
12
Dellinger RP, Levy MM, Rhodes A, Annane D, Gerlach H, Opal SM, dkk. Surviving Sepsis
Campaign: International Guidelines for Management of Severe Sepsis and Septic Shock, 2012.
Intensive Care Med. 1 Februari 2013;39(2):165–228
13
Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrison’s Principles of
Internal Medicine 18E Vol 2 EB. Vol 8. McGrawHill Education; 2012.
14
Nunnally M.E. Sepsis for The Anaesthesist. 2016. (diakses 30 Mei 2020) Diunduh dari : URL :
https://academic.oup.com/bja/article/117/suppl_3/iii44/2664399.
15
Evans T. Diagnosis and management of sepsis. Clin Med (Lond). 2018;18(2):146‐149.
doi:10.7861/clinmedicine.18-2-146 (diakses 30 Mei 2020) Diunduh dari : URL :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6303466/
16
Hermawan A.Guntur . Sepsis. In : Sudoyo Aru . Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I.Edisi VI.
Jakarta : Interna Publishing ; 2014. Hal 695
17
Rhodes A, Evans LE, Alhazzani W et al. Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines for
Management of Sepsis and Septic Shock: 2016. New York: Springer-Intensive Care Med. 2017
(diakses 30 Mei 2020)
18
Howell MD, Davis AM. Management of Sepsis and Septic Shock. JAMA. 2017;317(8):847–848.
doi:10.1001/jama.2017.0131
19
Rivers E, Nguyen B, Havstad S, Ressler J, Muzzin A, Knoblich B, dkk. Early Goal-Directed
Therapy in the Treatment of Severe Sepsis and Septic Shock. New England Journal of Medicine. 8
November 2001;345:1368–77 ((diakses 30 Mei 2020)) Diunduh dari : URL :
https://bestpractice.bmj.com/topics/en-gb/245/complications#referencePop170