Anda di halaman 1dari 26

CLINICAL SCIENCE SESSION (CSS)/ REFERAT

* Kepaniteraan Klinik Senior/ GIA218066/ Juni 2020


**Pembimbing : dr. Andi Hasyim, Sp.An

SEPSIS
Ai Rusmayanti, S.Ked * dr. Andi Hasyim, Sp.An **

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ANESTESI RSUD RADEN MATTAHER PROVINSI JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2020

1
HALAMAN PENGESAHAN
CLINICAL SCIENCE SESSION (CSS)/ REFERAT

SEPSIS

Disusun oleh:
Ai Rusmayanti, S.Ked
G1A218066

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ANESTESI RSUD RADEN MATTAHER PROVINSI JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI

Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan


pada Juni 2020

PEMBIMBING

dr. Andi Hasyim, Sp.An


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Clinical
Science Session (CSS) dalam bentuk laporan kasus bayangan yang berjudul
“Sepsis” sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di
Bagian Anestesi di Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Andi Hasyim, Sp.An yang
telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk membimbing penulis
selama menjalani Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Anestesi di Rumah Sakit
Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada makalah laporan
kasus ini, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran untuk
menyempurnakan makalah ini. Penulis mengharapkan semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi penulis dan pembaca.

Jambi, Juni 2020

Ai Rusmayanti, S.Ked
DAFTAR ISI

Halaman Judul.................................................................................................. i
Halaman Pengesahan....................................................................................... ii
Kata Pengantar................................................................................................. iii
Daftar Isi............................................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................... 3
2.1 Definisi Sepsis........................................................................................3
2.2 Etiologi...................................................................................................5
2.3 Epidemiologi..........................................................................................5
2.4 Patofisiologi...........................................................................................5
2.5 Manifestasi Klinis................................................................................10
2.6 Diagnosis..............................................................................................10
2.7 Tatalaksana...........................................................................................12
2.8 Komplikasi...........................................................................................19
BAB III KESIMPULAN................................................................................. 21
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 22
BAB I

PENDAHULUAN

Seiring dengan meningkatnya kejadian sepsis yang berkaitan dengan


tingginya angka mortalitas pasien maka sepsis menjadi perhatian besar di dunia.
Sepsis merupakan suatu sindrom kompleks dan multifaktorial yang terjadi karena
adanya respon tubuh terhadap infeksi dimana respon tersebut cenderung
berbahaya atau bersifat merusak.1,2 Penelitian Mc. Pherson et al yang dilakukan di
Inggris pada tahun 2001 sampai dengan tahun 2010 menyatakan bahwa 1 dari 20
kematian yang terjadi di Inggris diakibatkan oleh sepsis dengan prevalensi
kejadian sebesar 5,5% untuk wanita dan 4,8% untuk pria.3

Angka kejadian sepsis yang dilaporkan di Amerika tercatat 750.000 setiap


4
tahunnya dan kematian sekitar 2% kasus terkait dengan kejadian severe sepsis.
Di Indonesia, berdasarkan data di Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo
(RSCM), pada tahun 1999 ditemukan 92 kasus sepsis dengan laju mortalitas
sebesar 78,3% dan terjadi peningkatan pada tahun 2000 menjadi 160 kasus
dengan laju mortalitas sebesar 84,4%. 5

Sepsis membutuhkan biaya terbesar di rumah sakit, Amerika Serikat


menghabiskan $ 20,3 miliar di tahun 2011 untuk perawatan pada pasien sepsis.
Hal itu berarti menghabiskan $ 55.616.438 untuk perawatan sepsis Amerika
Serikat per hari. Biaya sepsis kurang lebih dua kali lipat dibandingkan dengan
diagnosis lain, sementara peningkatan biaya sepsis di rumah sakit adalah tiga kali
peningkatan biaya rumah sakit secara keseluruhan. Pasien sepsis tinggal di rumah
sakit 75% lebih lama dari pasien lain.6

Infeksi merupakan fenomena yang ditandai dengan respon inflamasi akibat


masuknya mikroorganisme ke dalalm jaringan tubuh yang steril. Infeksi sistemik
dapat berkembang menjadi SIRS (Systemic Inflammatory Responds Syndrome).
SIRS disertai adanya infeksi didefinisikan sebagai sepsis. Sepsis berat merupakan
kriteria yang telah disebutkan diatas yang berkaitan dengan keadan disfungsi
organ, hipoperfusi, dan hipotensi.7
Kejadian sepsis merupakan keadaan disfungsi organ yang mengancam
jiwa yang disebabkan oleh respon pejamu yang tidak teratur terhadap infeksi. 8
Manifestasi klinis dari sepsis sangat bervariabel, tergantung dari mana awal lokasi
infeksi, organisme penyebab, bentuk dari disfungsi organ dan interval sebelum
inisiasi terapi.9
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Sepsis

Sepsis menurut American College of Chest Physicians and Society of


Critical Care Medicine adalah Systemic Inflammatory Response Syndrome
(SIRS) yang disebabkan oleh infeksi. Kriteria SIRS dapat ditegakan bila
memenuhi dua atau lebih kriteria berikut : suhu tubuh >38°C atau <36°C, denyut
jantung ≥90 kali/menit, frekuensi pernapasan >20 kali/menit atau tekanan PaCO2
< 32 mm Hg, leukositosis (>12,000/µL) atau leukopenia (<4,000/µL) atau
ditemukannya >10% sel muda. Seorang pasien dapat mengalami infeksi berat
tanpa memenuhi kriteria SIRS; sebaliknya, kriteria SIRS mungkin ditemukan
pada kasus lain yang tidak disebabkan oleh proses infeksi 7

Gambar 2.1 Hubungan Infeksi, Sepsis dan SIRS10

Sepsis menurut Fundamental Critical Care Support (FCCS) adalah


manisfestasi sistemik tehadap infeksi. Sepsis berat merupakan perkembangan dari
sepsis yang disertai dengan kegagalan organ, hipoperfusi, atau hipotensi. Selain
hipoperfusi dan kegagalan organ, terjadi pula asidosis laktat, oliguria, gangguan
koagulasi, atau perubahan akut pada status mental. Perkembangan sepsis
memburuk dapat menjadi syok septik bila terdapat kegagalan organ yang tidak
ditangani dengan cepat dan efektif.11

Sesuai dengan Surviving Sepsis Campaign 2012, sepsis didefinisikan


sebagai adanya infeksi disertai SIRS. Didefinisikan sepsis berat apabila sepsis
disertai disfungsi organ yang disebabkan oleh sepsis atau hipoperfusi jaringan.
Syok septik merupakan sepsis disertai hipoperfusi walaupun telah dilakukan
resusitasi cairan yang adekuat. Hipoperfusi jaringan yang diinduksi oleh sepsis
didefinisikan sebagai hipotensi yang diinduksi oleh infeksi, peningkatan laktat,
atau oliguria.12

Sepsis merupakan disfungsi organ yang mengancam jiwa yang disebabkan


oleh respon tubuh yang tidak teratur terhadap infeksi. Disfungsi organ dinyatakan
sebagai perubahan akut pada total skor Sequential Organ Failure Assessment
(SOFA) >2 poin sebagai konsekuensi dari infeksi. Nilai SOFA dapat dianggap nol
pada pasien yang tidak diketahui memiliki disfungsi organ. Sementara skor SOFA
>2 dihubungkan dengan mortalitas serta adanya infeksi.8

Menurut The Third International Consensus Definitions for Sepsis and


Septic Shock (Sepsis-3) 2016 , SIRS yang terdapat dalam definisi sepsis terdahulu
dianggap tidak bisa dijadikan dasar diagnosis karena respon inflamasi tersebut
bisa hanya menggambarkan respon host yang normal dan adaptif. Perubahan ini
meningkatkan spesifisitas tetapi sensitivitas menurun. Namun tetap kriteria SIRS
terus membantu dalam diagnosis umum infeksi.7

Dalam definisi terbaru ini, istilah “sepsis berat” telah dihilangkan, hal ini
bertujuan agar sepsis tidak dianggap ringan dan bisa diberi penanganan yang tepat
sesegera mungkin. Sepsis dikaitkan dengan tingkat mortalitas sekitar 30%.13 Syok
septik merupakan perkembangan dari sepsis disertai dengan Mean Arterial
Pressure <65 mmHg atau memerlukan vasopresor dan disertai kadar laktat > 2
mmol/L.8
2.2 Etiologi4

Sepsis disebabkan antara lain oleh organisme gram negatif, gram positif,
jamur, virus, dan parasit. Penyebab tersering untuk sepsis adalah bakteri gram
negatif dengan presentase 60-80%. Tetapi perlu diketahui bahwa terjadi
peningkatan angka kejadian sepsis yang disebabkan oleh bakteri gram positif dan
jamur sejak pertengahan tahun 1990.

2.3 Epidemiologi.14

Selama 40 tahun terakhir kejadian sepsis berat telah secara substansial


meningkat, sebagian karena peningkatan tersebut usia populasi. Perkiraan terbaru
di Negara-negara Amerika, Eropa, dan Inggris berkisar antara 0.4/1000 dan
1/1000 dari populasi

2.4 Patofisiologi4

a) Respon Host

Ketika konsep teori host muncul, mengasumsikan bahwa gambaran klinis


sepsis adalah hasil dari respon inflamasi yang berlebihan. Kemudian, Bone et al.
mengembangkan gagasan bahwa respon awal peradangan sebagai jalan “
kompensasi antiinflamasi respon sindrom” .Hal tersebut terlihat semakin nyata
bahwa infeksi memicu lebih kompleks, lebih variabel, dan memperpanjang respon
host, dimana baik teori mekanisme proinflamasi dan antiinflamasi dapat
berkontribusi untuk penurunan infeksi dan pemulihan jaringan di satu sisi dan
cedera organ dan infeksi sekunder lainnya. Respon spesifik pada setiap pasien
bergantung pada pathogen penyebabnya(virulensi) dan host (karakteristik genetik
dan penyakit penyertanya), dengan respons yang berbedadi tingkat lokal, regional,
dan sistemik (Gbr. 2.2). Komposisi dan arah respon host mungkin berubah seiring
denga perjalanan klinis. Secara umum, reaksi proinflamasi (bertugas melawan
patogen) dianggap bertanggung jawab atas kerusakan jaringan pada sepsis berat,
sedangkan respon antiinflamasi (penting untuk membatasi cedera jaringan lokal
dan sistemik) terlibat dalam peningkatan kerentanan terhadap infeksi sekunder.
Gambar 2.2 Respon Host Terhadap Sepsis

Respons host terhadap sepsis ditandai oleh respons proinflamasi (atas panel, berwarna merah) dan imunosupatif
antiinflamasi.tanggapan yang menekan (bagian bawah panel, berwarna biru). Arah, luas, dan durasi reaksi ini
ditentukan oleh kedua faktor host(misalnya, karakteristik genetik, usia, penyakit yang menyertai, dan obat-obatan) dan
faktor patogen (misalnya, beban mikroba dan virulensi). Di-respons flamatory diawali oleh interaksi antara pola-pola
molekul terkait-patogen yang diekspresikan oleh patogen dan pola-pola.reseptor pengenalan yang diekspresikan oleh
sel inang di permukaan sel (reseptor mirip tol [TLR] dan reseptor lektin tipe-C [CLR]), diendosom (TLRs), atau dalam
sitoplasma (reseptor yang diinduksi asam retinoat gen 1-like receptor [RLRs] dan oligomerisasi yang mengikat
nukleotida)reseptor seperti domain [NLR]). Konsekuensi dari peradangan yang berlebihan adalah kerusakan jaringan
kolateral dan kematian sel nekrotikmenghasilkan pelepasan pola molekul terkait kerusakan, yang disebut molekul
bahaya yang melanggengkan peradangan setidaknya sebagiandengan bertindak pada reseptor pengenalan pola yang
sama yang dipicu oleh patogen.

b) Innate Immunity (Kekebalan bawaan)

Pathogen mengaktifkan sel-sel imun melalui interaksi reseptor, di


antaranya empat kelas utama - reseptor seperti tol, lektin tipe-C, gen 1-
likereseptor yang diinduksi asam retinoat, dan oligomerisasi yang
mengikat nukleotida reseptor seperti domain - telah diidentifikasi,dengan
kelompok terakhir yang sebagian bertindak dalam proteinkompleks yang
disebut inflammasom (Gbr. 2.2). Reseptor ini mengenali struktur yang ada
pada mikroba, disebut pola molekuler yang berhubungan dengan patogen,
hasil-dalam regulasi gen inflamasi transkripsi dan inisiasi kekebalan
bawaan.Reseptor yang sama juga molekul endogenecules dilepaskan dari
sel yang mengalami inflamasi, disebut pola molekul terkait inflamasi, atau
alarmin, seperti protein kelompok mobilitas tinggi B1, S100 protein, dan
RNA ekstraseluler, DNA dan kelompoknya. Alarmin juga dilepaskan saat
adanya inflamasi seperti trauma, sehingga memunculkan konsep bahwa
patogenesis pada kegagalan organ multipel pada sepsis tidak berbeda
secara mendasar dari pada penyakit kritis tidak menular.

c) Kelainan Koagulasi

Sepsis berat hampir selalu berhubungan dengan perubahan koagulasi,


sering menyebabkan disaminated intravascular coagulation (DIC).
Kelebihan deposisi fibrin diatur oleh koagulasi melalui aksi faktor
jaringan, suatu transmembran glycoprotein yang diekspresikan oleh
berbagai sel jenis; oleh gangguan mekanisme antikoagulan,termasuk
sistem protein C dan antitrombin; dan oleh penurunan fibrin karena
depresi sistem fibrinolitik (Gbr. 2.3). Protease-activated reseptor (PAR)
membentuk molekul antara koagulasi dan inflamasi. Di antara empat
subtipe yang telah diidentifikasi, PAR1 khususnya terlibat dalam sepsis.
PAR1 memberikan efek sitoprotektif bila dirangsang oleh protein C yang
teraktivasi atau dosis rendah trombin yang mengganggu fungsi endotelium
saat diaktifkan olehtrombin dosis tinggi.

d) Mekanisme Antiinflamasi dan Imunosupresi

Sistem imun humoral, seluler,dan mekanisme saraf yang


melemahkan respon proonflamasi yang membahayakan (Gbr. 2.2). fnotip
antiinflamasi yang bertugas untuk perbaiakan jaringan, dan mengatur sel T
dan myeloid mengurangi reaksi peradangan. Selain itu, mekanisme sel
neural bisa menghambat peradangan(neuro-inflammatory reflex), input
sensorik disampaikan melalui saraf aferen vagus ke batang otak, dimana
aktivitas saraf vagus eferen mengaktifkan nervus splenicus di pleksus
siliaka ,hasil dari pelepasan norepinefrin di limpa dan sekresi asetilkolin
oleh CD4+ sel T. Pelepasan asetilkolin target α7-reseptor kolinergik pada
makrofag, menekan pelepasan sitokin proinflamasi. Pasien yang bertahan
pada sepsis bergantung pada perawatan intensive yang memiliki bukti
peningkatan imunosupresif, yang diperlihatkan dengan adanya ekspresi sel
myeloid HLA-DR. Pada pasien yang memiliki fokus infeksi yang
berkelanjutan,meskipun terapi antimikroba, atau reaktivasi infeksi virus
laten.

e) Disfungsi Organ

Meskipun mekanisme-mekanisme yang mendasari kegagalan organ pada


sepsis, peran kuncinya ada pada gangguan oksigenasi (Gbr. 2.3). Beberapa
factor, termasuk hipotensi, berkurangnya deformabilitas sel darah merah,
dan trombosis mikrovaskular, berkontribusi terhadap penurunan
pengiriman oksigen pada syok septik. Inflamasi dapat menyebabkan
disfungsi endothelium , disertai dengan apoptosis sel dan hilangnya
barrier, menimbulkan edema subkutan dan rongga tubuh. Selain itu,
kerusakan mitokondria disebabkan oleh stres oksidatif dan mekanisme
lainnya yang mengganggu penggunaan oksigen seluler. Selain itu,
Gambar
mitokondria 2.3rusak
yang Kegagalan Organalarmin
melepaskan dalamke
Sepsis Parah dan
lingkungan Disfungsi Vaskuler
ekstraseluler,
Endotelium dan Mitokondria.
termasuk mitokondria DNA dan formil peptida, yang dapat mengaktivasi
Sepsis dikaitkan dengan trombosis mikrovaskuler yang disebabkan oleh aktivasi bersamaan koagulasi
neutrofil dan menyebabkan
(dimediasi inflamasi
oleh faktor jaringan) jaringan lebih mekanisme
dan peningkatanpasangan lanjut. antikoagulan sebagai konsekuensi dari
penurunan aktivitas jalur antikoagulan endogen (dimediasi oleh aktiprotein C, antithrombin, dan penghambat
jalur faktor jaringan), ditambah fibrinolisis yang terganggu karena peningkatan pelepasan plasminogenaktivator
inhibitor tipe 1 (PAI-1). Kapasitas untuk menghasilkan protein C yang diaktifkan terganggu setidaknya sebagian
oleh berkurangnya ekspresi duareseptor endotel: trombomodulin (TM) dan reseptor protein C endotel.
Pembentukan trombus selanjutnya difasilitasi olehtrofil extracellular traps (NETs) yang dilepaskan dari neutrofil
yang sekarat. Pembentukan trombus menyebabkan hipoperfusi jaringan, yang merupakandiperlihatkan oleh
vasodilatasi, hipotensi, dan penurunan deformabilitas sel darah merah. Oksigenasi jaringan lebih lanjut
terganggu oleh hilangnya penghalangfungsi endotelium karena hilangnya fungsi cadherin (VE) endotel vaskular,
perubahan dalam endotel sel-ke-sel ketatpersimpangan, tingginya tingkat angiopoietin 2, dan keseimbangan
terganggu antara sphingosine-1 reseptor fosfat 1 (S1P1) dan S1P3 dalamdinding pembuluh darah, yang
setidaknya sebagian karena induksi preferensial S1P3 melalui protease activated reseptor 1 (PAR1) sebagai
hasilnyadari pengurangan rasio protein aktif C ke trombin. Penggunaan oksigen terganggu pada tingkat
subselular karena kerusakan mitokondriadari stres oksidatif.
Gambar 2.4 Perubahan Patofisiologi Pada Sepsis15

2.5 Manifestasi Klinis16

Gejala klinik sepsis biasanya tidak spesifik, biasanya didahului dengan


tanda-tanda sepsis non spesifik, meliputi demam, menggigil, dan gejala konstitutif
seperti lelah, malaise, gelisah atau kebingungan. Gejala tersebut tidak khusus
untuk infeksi dan dapat dijumpai pada banyak macam kondisi inflamasi non-
infeksius. Tempat infeksi yang paling sering : paru, traktur digestifus, traktus
urinaris, kulit, jaringan lunak dan saraf pusat.

2.6 Diagnosis
Terdapat beberapa kriteria untuk mendiagnosis sepsis. Sequential Organ
Failure Assesment (SOFA) Score digunakan pada pasien di ICU. Sementara
Untuk Quick SOFA digunakan pada pasien diluar ICU.8

Sequential Organ i. PaO2/FIO2,


Failure Assesment ii. Platelet (<150x103µ/L abnormal)
(SOFA) Score iii. Bilirubin (>1,2 mg/dL abnormal)
iv. Mean arterial pressure(MAP), penggunaan
dobutamin, epinefrin, norepinefrin
v. Glasglow Coma Scale Score
vi. Serum Creatinine, urine output
Kriteria Quick SOFA i. Respiratory Rate ≥22 bpm
(qSOFA) ii. Status kesadaran (GCS)
iii. Tekanan darah sistolik ≤100mm Hg
Syok Sepsis i. Kriteria sepsis
ii. MAP <65mm Hg atau memerlukan
vasopresor
iii. Laktat > 2mmol/L

Tabel 1. Kriteria Sepsis14

Berikut merupakan tanda- tanda pada syok septik disesuaikan dengan


sistem organnya :
Sistem Organ Tanda Klinis
Neurologi Delirium, penurunan kesadaran
Kardiovakular Vasodilatasi, hipovolemia, disfungsi jantung
Pernafasan Takipneu, kurangnya pertukaran oksigen, Acute
Respiratory Distress Syndrome (ARDS)
Pencernaan Ileus, hiperbilirubinemia
Saluran kemih Oliguria, peningkatan plasma urea dan kreatinin
Hematologi Anemia, trombositopenia, koagulopati, Disseminated
Intravascular Coagulation (DIC)
Endokrin dan metabolik Hiperglikemia, tiroid, peningkatan laktat
Penyakit infeksi Leukositosis, peningkatan mediator inflamasi

Tabel 2. Tanda pada syok septik14


2.7 Tatalaksana
Penatalaksanaan sepsis yang optimal mencangkup stabilisasi pasien
langsung (perbaikan hemodinamik), pemberian antibiotik, pengobatan
fokus infeksi dan resusitasi serta terapi suportif apabila telah terjadi
disfungsi organ. Syok septik adalah keadaan darurat medis yang
membutuhkan intervensi segera.Ada tiga prinsip penatalaksanaannya:
1) Mengendalikan dan memberantas infeksi dengan memberikan
antibiotik intravena yang tepat dan tepat waktu, drainase abses,
debridemen jaringan nekrotik, dan pengangkatan benda asing yang
terinfeksi;
2) Pemeliharaan perfusi yang memadai dengan cairan intravena dan
inotropic dan agen vasopresor; dan
3) Pengobatan suportif untuk komplikasi seperti ARDS, gagal ginjal,
perdarahan gastrointestinal, dan DIC.
Menurut Sepsis Survivsl Campaign (SSC) 2016 ada 20 tatalaksana
untuk sepsis secara kompeherensif,yaitu : 17

1. Resusitasi Awal
a) Setelah cairan resusitasi awal, pemberian cairan lanjutan diberikan
dengan pemantauan rutin dan sering dari hemodinamik pasien.
b) Pemantauan tanda vital pasien yang ada (invasive ataupun non
invasive ), terdiri dari, heart rate,, tekanan darah, saturasi oksigen,
respiration rate, suhu, urin output, saturasi O2 arterial, echocardiografi.
c) Penilaian hemodinamik lanjutan seperti penilaian fungsi jantung, untuk
menentukan jenis syok yang dialami pasien, bila pemeriksaan klinis
tidak jelas.
d) Target MAP awal 65 mmHg pada pasien dengan syok septik yang
membutuhkan vasopressor
e) Variable dinamis selain variable statis yang dapat digunakan untuk
memperkirakan respon tubuh terhadap pemberian cairan
f) Variabel dinamis (menilai respon terhadap fluid challenge yang
meningkatkan stroke volume) : variasi tekanan nadi (pulse pressure
variation).
g) Resusitasi terpandu kadar laktat tubuh, dimana peningkatan laktat
merupakan tanda dari hipoperfusi jaringan. Serum laktat bukan untuk
mengukur perfusi jaringan, namun peningkatan laktat serum mewakili
hipoksia jaringan, peningkatan glikolisis aerob akibat peningkatan
berlebih stimulasi beta adrenergic atau akibat penyebab lain (contoh
liver failure)
2. Skrining Sepsis
Sistem rumah sakit direkomendasikan memiliki program untuk
sepsis, termasuk didalamnya skrining sepsis untuk pasien nyeri akut, dan pasien
resiko tinggi. Makin cepat diagnosis sepsis ditegakkan, dan dilakukan tata laksana
yang cepat, makin besar angka harapan hidup pasien.
3. Diagnosis
Kultur mikrobiologi rutin (termasuk kultur sampel darah)
dilakukan sebelum memulai terapi antibiotik pada pasien curiga sepsis/syok
sepsis, dan tidak ada penundaan dalam pemberian terapi antibiotik. Kultur
dilakukan sebelum pemberian antibiotik spectrum luas, dan bila telah ada hasil,
maka antibiotik disesuaikan dengan hasil kultur. Tidak ada penundaan dalam
pemberian antibiotik pada pasien dengan sepsis/syok septik. Kultur minimal
menggunakan 2 set kultur darah (aerobic dan anaerobic).
4. Terapi Antibiotik
a) Pemberian antibiotik intravena diberikan secepatnya dalam waktu
kurang dari 1 jam setelah diagnosa sepsis/syok sepsis ditegakkan.
Penundaan pemberian antibiotik meningkatkan angka kematian
pasien dengan sepsis/syok sepsis.
b) Pemberian antibiotik spectrum luas dengan 1 atau lebih antibiotik
pada pasien dengan sepsis/syok sepsis untuk membunuh semua
jenis kuman pathogen penyebab sepsis.
c) Pemberian antibiotik empiric disesuaikan bila ada hasil identifikasi
pathogen dan sensitifitas, dan atau perbaikan klinis nyata.
d) Jangan diberikan profilaksis antibiotik sistemik ada pasien dengan
keadaan inflamasi berat non infeksius, seperti luka bakar,
pankreatitis.
e) Pemberian dosis antibiotik disesuaikan secara optimal sesuai
dengan prinsip farmakokinetik/farmakodinamik (penggunaan obat
rasional) pada pasien sepsis/syok septik
f) Terapi antibiotik empiric kombinasi, minimal 2 antibiotic yang
meliputi semua pathogen pada manajemen awal sepsis/syok sepsis
g) Terapi kombinasi tersebut tidak dilakukan secara rutin pada pasien
infeksi berat seperti bacteremia, dan sepsis tanpa syok.
h) Tidak menggunakan terapi kombinasi sebagai terapi rutin pada
sepsis dengan neutropenia/ bacteremia
i) Bila pasien pada resusitasi awal diberikan terapi antibiotik
kombinasi, untuk dilakukan deeskalasi antibiotic dengan
penyetopan terapi kombinasi pada beberapa hari pertama bila
terdapat perbaikan respon klinis. Hal ini juga berlaku untuk infeksi
dengan kultur positif, atau empiric (infeksi dengan kultur
negative).
j) Pemberian antibiotik 7-10 hari secara adekuat pada pasien
sepsis/syok septik.
k) Pemberian antibiotik diperpanjang pada pasien dengan respon
klinis lambat, focus infeksi yang tidak dapat dilakukan drainase,
bacteremia S.aureus, infeksi jamur dan virus, defisiensi imunologis
termasuk neutropenia.
l) Pemberikan antibiotik diperpendek pada pasien dengan perbaikan
klinis cepat dan nyata dengan pengendalian infeksi efektif pada
infeksi intra abdomen atau urosepsis, atau pada pasien pielonefritis
anatomis baik.
m) Penilaian harian dari de eskalasi antibiotik pada pasien sepsis/syok
sepsis.
n) Pengukuran kadar prokalsitonin untuk membatu dalam evaluasi
pemendekan durasi waktu pemberian antibiotik pada pasien
sepsis.1
5. Source Control (Pengendalian Sumber Infeksi)
a) Diagnosis spesifik penyebab infeksi diidentifikasi dini dan diterapi
secepatnya baik dengan intervensi bedah maupun non bedah.
b) Pemindahan dini akses intravena yang dicurigai sebagai sumber
infeksi pada pasien sepsis/syok sepsis.
6. Terapi Cairan
a) Teknik fluid challenge test dilakukan ketika pemberian cairan
intravena dilanjutkan selama terdapat perbaikan hemodinamik.
b) Cairan kristaloid sebagai cairan pilihan untuk resusitasi awal dan
penggantian volume cairan lanjut pada pasien sepsis dan syok
sepsis
c) Penggunakan cairan kristaloid berimbang untuk resusitasi cairan
pasien dengan sepsis/syok sepsis
d) Penggunaan albumin sebagai cairan tambahan disamping kristaloid
untuk resusitasi awal dan penggantian volume cairan lanjut pada
pasien sepsis/syok sepsis yang membutuhkan kristaloid dalam
jumlah tertentu. Cairan albumin yang disarankan adalah albumin
5%.
e) Tidak menggunakan hydroxyethyl starches (HES) untuk cairan
pengganti volume intravascular pada pasien sepsis/syok sepsis.
f) Penggunaan cairan kristaloid lebih disarankanbdaripada gelatin
(gelafusal) ketika melakukan resusitasi cairan pasien sepsis/syok
sepsis.
7. Obat-Obatan Vasoaktif
a) Pemberian norepinefrin sebagai obat pilihan pertama vasopressor
pada pasien sepsis/syok sepsis.
b) Penambahan vasopressin (hingga dosis 0,03 U/menit) atau
epinefrin untuk meningkatkan MAP sesuai target (≥ 65 mmHg),
atau penggunaan vasopressin (hingga dosis 0,03 U/menit) untuk
menurunkan dosis norepinefrin.
c) Penggunaan dopamine sebagai agen vasopressor alternatif dari
norepinefrin, hanya pada kasus-kasus tertentu (antara lain pasien
dengan resiko rendah takiaritmia, dan absolut/relatif bradikardia).
d) Tidak menggunakan dopamine dosis rendah untuk proteksi renal.
e) Pemberian dobutamin pada pasien dengan hipoperfusi persisten
walau telah diberikan loading cairan adekuat dan telah diberikan
obat vasopressor.
f) Pasien yang memerlukan pemberian obat vasopressor dipasang
kateter arterial secepatnya, bila keadaan memungkinkan.
8. Kortikosteroid
Tidak memberikan hidrokortison intravena untuk terapi pasien
sepsis/syok sepsis yang respon terhadap resusitasi cairan adekuat dan terapi
vasopressor. Bila stabilitas hemodinamik ini tidak tercapai dengan 2 hal tersebut,
maka disarankan pemberian hidrokortison intravena dengan dosis 200 mg/hari.
9. Produk Darah
a) Transfusi PRC hanya diberikan bila Hb < 7 g/dL pasien dewasa
tanpa adanya keadaan buruk/penyakit lain, seperti iskemia
miokard, hypoxemia berat, atau perdarahan akut.
b) Tidak menggunakan eritripoetin untuk terapi pasien anemia
berhubungan dengan sepsis
c) Tidak memberikan FFP (Fresh Frozen Plasma) untuk koreksi
abnormalitas pembekuan tanpa adanya perdarahan atau prosedur
invasive terencana.
d) Tranfusi platelet bila trombosit < 10,000 /mm3 tanpa adanya
perdarahan, atau trombosit < 20,000 /mm3 pasien dengan resiko
perdarahan. Target jumlah trombosit > 50,000 /mm3 disarankan
untuk pasien dengan perdarahan aktif, akan dilakukan
operasi/tindakan invasif.
10. Immunoglobulin
Tidak memberikan immunoglobulin intravena pada pasien
sepsis/syok sepsis.
11. Blood Purification
Tidak ada rekomendasi untuk penggunaan teknik blood
purification (seperti hemofiltrasi volume tinggi, hemoadsorbsi) pada pasien
sepsis/syok sepsis.
12. Antikoagulan
a) Tidak memberikan antitrombin untuk terapi sepsis/syok sepsis
b) Tidak rekomendasi untuk penggunaan trombomodulin atau heparin
pada terapi sepsis/syok sepsis.
13. Ventilasi Mekanik
a) Target tidal volume 6 ml/kg predicted body weight (PBW)
dibandingkan tidal volume 12 mL/kg PBW pada pasien sepsis
dengan ARDS
b) Penggunaan target batas atas untuk plateu pressure sebesar 30
cmH2O lebih tinggi dari plateu pressure pasien dewasa sepsis
dengan ARDS
c) Penggunaan PEEP tinggi dibandingkan PEEP rendah pada pasien
sepsis dengan ARDS sedang-berat
d) Lung recruitment pada pasien dewasa sepsis dengan ARDS.
e) Posisi prone/tengkurap dibandingkan posisi supine/terlentang pada
pasien dewasa sepsis dengan ARDS dengan rasio PaO2/FiO2 <
150.
f) Tidak menggunakan HFOV (High Frequency Occilatory
Ventilation) pada pasien dewasa sepsis dengan ARDS
g) Tidak ada rekomendasi penggunaan NIV (non invasive ventilasi)
pada pasien sepsis dengan ARDS
h) Penggunaan obat pelumpuh otot selama ≤ 48 jam pada pasien
dewasa dengan ARDS dan rasio PaO2/FiO2 < 150 mmHg
i) Pemberian cairan konservatif untuk maintenance pasien sepsis
dengan ARDS tanpa tanda hipoperfusi jaringan
j) Tidak menggunakan ß-2 agonis untuk terapi pasien sepsis dengan
ARDS tanpa bronkospasme
k) Tidak memasang rutin kateter PA pada pasien sepsis dengan
ARDS
l) Pemberian volume tidal rendah dibandingkan volume tidal tinggi
pada pasien sepsis dengan gagal nafas tanpa ARDS
m) Pasien sepsis dengan ventilasi mekanik diposisikan kenaikan
kepala (head up) 30 – 45 derajat, meminimalkan resiko aspirasi dan
terjadinya VAP (ventilation associated pneumonia)
n) Dilakukan SBT (spontaneous breathing trial) pada pasien sepsis
yang akan dilakukan weaning ventilator
o) Penggunaan protocol weaning pada pasien sepsis dengan gagal
nafas yang mampu mentoleransi weaning.
14. Sedasi Dan Analgesia
Untuk meminimalkan pemberian sedasi continue maupun
intermitten pada pasien sepsis dengan ventilasi mekanis. Penggunaan penilaian
level sedasi (CAM-ICU, Ramsay) disarankan untuk meminimalkan pemberian
sedasi/analgesia ini.
15.Kontrol Glukosa
a) Direkomendasikan, pembuatan protocol manajemen gula darah
pasien ICU dengan sepsis, pemberian dosis insukin ketika
pemeriksaan GDS 2 kali berturut-turut memberikan hasil GDS >
190 mg/dL. Protokol ini harus mentargetkan level tertinggi GDS
normal adalah ≤180 mg/dL daripada target level tertinggi GDS
≤110 mg/dL
b) Nilai GDS dimonitoring 1-2 jam hingga nilai GDS dan kecepatan
pemberian insulin stabil, dilanjutkan per 4 jam pada pasien yang
diberikan insulin infus (intravena).
c) Nilai GDS yang didapat dengan pengambilan darah kapiler harus
di interpretasi hati-hati karena pengukuran tersebut mungkin tidak
akurat memperkirakan darah ateri atau nilai glukosa plasma.
d) Penggunaan darah arterial dibandingkan darah kapiler untuk tes
glukosa menggunakan alat glucose meter bila pasien terpasang
kateter arterial.
16. Renal Replacement Teraphy (Rrt)
a) Penggunaan mesin RRT secara terus menerus atau intermitten pada
pasien sepsis dengan AKI (acute kidney injury)
b) Penggunaan mesin RRT untuk manajemen balance cairan pada
pasien sepsis hemodinamik tidak stabil
c) Tidak menggunakan mesin RRT untuk indikasi oligouria atau
peningkatan kreatinin pada pasien sepsis dengan AKI tanpa
indikasi lain untuk dialisis.
17. Terapi Bikarbonat
Disarankan tidak menggunakan bicnat untuk meningkatkan
hemodinamik atau untuk mengurangi dosis vasopressor pada pasien hipoperfusi
dengan asidosis laktat dengan pH ≥ 7.15.
18. Profilaksis Tromboemboli Vena
a) Pemberian profilaksis heparin (UFH) atau LMWH untuk
pencegahan tromboemboli vena bila tidak ada kontraindikasi
mutlak
b) Penggunaan LMWH dibandingkan UFH untuk pencegahan
tromboemboli vena bila tidak ada kontraindikasi penggunaan
LMWH.
19. Profilaksis Ulkus Peptikum
a) Pemberian profilaksis ulkus peptikum pada pasien sepsis/syok
sepsis resiko perdarahan saluran cerna
b) Obat yang disarankan untuk profilaksis ulkus peptikum adalah
proton pump inhibitors (PPIs) atau histamine-2 receptor
antagonists (H2RAs)
c) Tidak disarankan pemberian profilaksis ulkus peptikum pada
pasien tanpa resiko perdarahan saluran cerna.
20. Nutrisi
a) Tidak menggunakan nutrisi parenteral dini ataupun kombinasi
nutrisi parenteral dengan enteral pada pasien kritis dengan
sepsis/syok sepsis yang daoat diberi makan enteral.
b) Tidak menggunakan nutrisi parenteral dini ataupun kombinasi nutri
parenteral dan enteral, (lebih disarankan untuk memulai pemberian
glukosa intravena dan pemberian makan enteral, sesuai toleransi
pasien), pada 7 hari pertama pada pasien kritis sepsis/syok sepsis
yang sulit dilakukan pemberian makanan enteral dini
c) Pemberian makanan enteral dini dibanding mempuasakan pasien
atau hanya memberikan glukosa intravena pasien syok
sepsis/sepsis yang dapat diberika makan enteral
d) Diet hopokalori makanan enteral pada pasien sepsis/syok sepsis,
jika makanan enteral hipokalori merupakan strategi awal, maka
pemberian makan disesuaikan dengan toleransi pasien
e) Pemberian asam amino omega 3 sebagai suplementasi pada pasien
sepsis/syok sepsis
f) Mengukur residu cairan lambung pasien dengan intoleransi
makanan atau pasien resiko tinggi aspirasi dan jangan secara rutin
monitoring volume residu lambung.
g) Penggunaan obat-obat prokinetik pada pasien dengan intoleransi
makanan
h) Penggunaan NGT pada pasien ICU dengan sepsis/syok sepsis
resiko tinggi aspirasi
i) Tidak memberikan selenium intravena pada pasien sepsis/syok
sepsis
j) Tidak memberikan arginin untuk terapi sepsis/syok sepsis
k) Tidak menggunakan glutamin untuk terapi sepsis/syok sepsis
l) Tidak ada rekomendasi untuk penggunaan carnitin untuk
sepsis/syok sepsis.

One Hour Bundle - Surviving Sepsis Campaign 201818

 Pengukuran kadar laktat, pengukuran ulang bila kadar laktat>2 mmol/L


 Kultur darah sebelum pemberian antibiotik
 Pemberian antibiotic spectrum luas
 Pemberian 30mL/kg kristaloid untuk hipotensi atau kadar laktat ≥ 4 mmol/L.
 Pemberian vasopresor jika terjadi hipotensi selama atau setelah resusitasi
cairan untuk mempertahankan MAP ≥ 65 mm Hg.

2.8 Komplikasi Sepsis19


a. Multiple System Organ Failure
Respon inflamasi pada sepsis menyebabkan cedera jaringan yang
luas. Disfungsi multi-organ dapat disebabkan oleh apoptosis sel
imun, epitel, dan sel endotel serta pergeseran fenotipe anti-
inflamasi, diperparah oleh perfusi organ yang terganggu karena
hipotensi, keadaan cardiac output rendah, mikrosirkulasi yang
tidak teratur, dan edema jaringan. Kegagalan setiap organ
meningkatkan risiko kematian rata-rata sebesar 15% hingga 20%.
Disfungsi paru cenderung terjadi sejak dini dan berlanjut.
Disfungsi sistem saraf pusat atau fungsi hati sering terjadi beberapa
jam sampai berberapa hari setelah onset sepsis dan menetap untuk
periode waktu yang bervariasi.
b. Kematian
Penyebab pasti kematian pada sepsis adalah multifaktorial.
Kematian akibat syok septik biasanya terjadi karena kegagalan
multi-organ, tidak responsifnya perawatan, atau infeksi sekunder.
Komplikasi lainnya seperti :
- Disfungsi ginjal
- Ensefalopati Hepatik
- Disfungsi miokardial
- Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)
- Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)

BAB III

KESIMPULAN

Kejadian sepsis merupakan keadaan disfungsi organ yang mengancam


jiwa yang disebabkan oleh respon pejamu yang tidak teratur terhadap infeksi.
Penyebab tersering untuk sepsis adalah bakteri gram negatif dengan presentase
60-80%. Selama 40 tahun terakhir kejadian sepsis berat telah secara substansial
meningkat, sebagian karena peningkatan tersebut usia populasi.Gejala klinik
sepsis biasanya tidak spesifik, biasanya didahului dengan tanda-tanda sepsis non
spesifik, meliputi demam, menggigil, dan gejala konstitutif seperti lelah, malaise,
gelisah atau kebingungan. Patofisiologi sepsis dimulai dari tingkat, molekul
sampai dengan kerusakan organ.

Terdapat beberapa kriteria untuk mendiagnosis sepsis. Sequential Organ Failure


Assesment (SOFA) Score digunakan pada pasien di ICU. Sementara Untuk Quick
SOFA digunakan pada pasien diluar ICU. Sesuai dengan Surviving Sepsis
Campaign 2016, penatalaksanaan sepsis yang optimal mencangkup stabilisasi
pasien langsung (perbaikan hemodinamik), pemberian antibiotik, pengobatan
fokus infeksi dan resusitasi. Sesuai dengan Surviving Sepsis Campaign 2018,
diterapkan tatalaksana pada satu jam pertama. Komplikasi sepsis sesuai dengan
patofisiologi nya, dapat mengakibatkan Multi System Organ Failure hingga
kematian.

DAFTAR PUSTAKA
1
De Oliveira A, Cardoso C, Santos F, Campos AP, Leite E, Stanislaus J, et al. Predictors of
mortality in patients with severe sepsis or septic shock in the ICU of a public teaching hospital. Crit
Care. 2013;17(Suppl 4):P31
2
Cohen J. The immunopathogenesis of sepsis. Nature. 2002;420(6917):885-91.
3
.McPherson D, Griffiths C, Williams M, et al Sepsis-associated mortality in England: an analysis
of multiple cause of death data from 2001 to 2010 BMJ Open 2013;3:e002586. doi:
10.1136/bmjopen-2013-002586
4
Derek C. Angus, M.D., M.P.H.,Tom van der Poll, M.D., Ph.D.Severe Sepsis and Septic Shock.N
Engl J Med (serial online) 2013(diakses 30 Mei 2020); 369:840
851.Diunduhdari:URL:http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMra1208623#t=article
5
Widodo D. The clinical, laboratory, and microbiological profile of patients with sepsis at the
internal medicine inpatient unit of Dr. Ciptomangukusumo national general hospital, jakarta. Med J
Indones. 2004;13(2):90-5.
6
O’Brien, Jim. The Cost of Sepsis.2015.(diakses 30 Mei 2020). Diunduh dari : URL :
https://blogs.cdc.gov/safehealthcare/the-cost-of-sepsis/
7
Kaplan, J lewis. Systemic Inflammatory Responds Syndrome.2017.(diakses 30 Mei 2020).
Diunduh dari : URL : https://emedicine.medscape.com/.

8
Shankar-Hari M, Phillips GS, Levy ML, et al. Developing a New Definition and Assesing New
Clinical Criteria for Septic Shock : For The Third International Consensus Definitions for Sepsis
and Septic Shock (Sepsis-3). JAMA. 2016;315(8):801–810. doi:10.1001/jama.2016.0287
9
Shapiro NI, Howell MD, Talmor D, Nathanson LA, Lisbon A, Wolfre RE, Weiss JW(2005) Serum
lactate as a predictor of mortality in emergency depatement with infection.Ann Emerg Med 2
45:534-528.
10
Morgan GE, Mikhail MS. Critical Care In : Clinical Anesthesiology, 5th ed. Lange Medical
Books/McGraw-Hill. 2013 7.

11
Vincent JL, Marshall JC, Namendys-Silva SA, Francois B, Martin-Loeches I, Lipman J et al.
Assessment of the worldwide burden of critical illness: the intensive care over nations (ICON)
audit. Lancet Respir Med. 2014;2: 380–386. pmid:24740011.

12
Dellinger RP, Levy MM, Rhodes A, Annane D, Gerlach H, Opal SM, dkk. Surviving Sepsis
Campaign: International Guidelines for Management of Severe Sepsis and Septic Shock, 2012.
Intensive Care Med. 1 Februari 2013;39(2):165–228
13
Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrison’s Principles of
Internal Medicine 18E Vol 2 EB. Vol 8. McGrawHill Education; 2012.

14
Nunnally M.E. Sepsis for The Anaesthesist. 2016. (diakses 30 Mei 2020) Diunduh dari : URL :
https://academic.oup.com/bja/article/117/suppl_3/iii44/2664399.
15
Evans T. Diagnosis and management of sepsis. Clin Med (Lond). 2018;18(2):146‐149.
doi:10.7861/clinmedicine.18-2-146 (diakses 30 Mei 2020) Diunduh dari : URL :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6303466/
16
Hermawan A.Guntur . Sepsis. In : Sudoyo Aru . Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I.Edisi VI.
Jakarta : Interna Publishing ; 2014. Hal 695
17
Rhodes A, Evans LE, Alhazzani W et al. Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines for
Management of Sepsis and Septic Shock: 2016. New York: Springer-Intensive Care Med. 2017
(diakses 30 Mei 2020)

18
Howell MD, Davis AM. Management of Sepsis and Septic Shock. JAMA. 2017;317(8):847–848.
doi:10.1001/jama.2017.0131
19
Rivers E, Nguyen B, Havstad S, Ressler J, Muzzin A, Knoblich B, dkk. Early Goal-Directed
Therapy in the Treatment of Severe Sepsis and Septic Shock. New England Journal of Medicine. 8
November 2001;345:1368–77 ((diakses 30 Mei 2020)) Diunduh dari : URL :
https://bestpractice.bmj.com/topics/en-gb/245/complications#referencePop170

Anda mungkin juga menyukai