Oleh :
Preseptor :
dr. Marliza Sp.P
Segala puji dan syukur kepada Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang karena atas segala rahmat dan karunia-Nya penulis dapat
menyelesaikan referat yang berjudul “Systemic Inflammatory Response
Syndrome“. Penyusunan referat ini sebagai salah satu tugas dalam menjalani
Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian/SMF Ilmu Paru di Rumah Sakit Umum
Cut Meutia Aceh Utara.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Marliza Sp.P selaku
penguji, selama mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian/SMF Ilmu
Paru atas waktu dan tenaga yang telah diluangkan untuk memberikan bimbingan,
saran, arahan, masukan, semangat, dan motivasi bagi penulis sehingga referat ini
dapat diselesaikan.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih banyak kekurangan. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan saran yang membangun untuk perbaikan di
masa yang akan datang. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................4
2.1 Definisi...........................................................................................................4
2.2 Epidemiologi..................................................................................................4
2.3 Etiologi...........................................................................................................5
2.4 Faktor Resiko.................................................................................................6
2.5 Patofisiologi...................................................................................................8
2.5.1 Imunitas bawaan dan mediator inflamasi..............................................11
2.5.2 Disregulasi hemostasis..........................................................................11
2.5.3 Immunosuppression..............................................................................12
2.5.4 Disfungsi sel, jaringan dan organ..........................................................13
2.6 Manifestasi klinis.........................................................................................15
2.7 Diagnosis......................................................................................................16
2.8 Tatalaksana...................................................................................................16
2.8.1 Surviving Sepsis Campaign..................................................................16
2.8.2 Stabilisasi hemodinamik.......................................................................17
2.8.3 Kontrol Infeksi......................................................................................22
2.9 Komplikasi...................................................................................................25
BAB III KESIMPULAN........................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................29
ii
3
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) adalah suatu bentuk
respon peradangan terhadap adanya infeksi bakteri, fungi, ricketsia, virus, dan
protozoa untuk melokalisasi dan kemudian menghilangkan endogen atau eksogen
penyebabnya. Respon peradangan ini timbul ketika sistem pertahanan tubuh tidak
cukup mengenali atau menghilangkan infeksi tersebut dengan melibatkan
pelepasan reaktan fase akut berupa mediator langsung dari perubahan otonom,
endokrin, hematologi, dan imunologis. SIRS dengan sumber infeksi mikroba yang
diketahui disebut dengan sepsis.1
Sepsis adalah disfungsi organ yang mengancam jiwa akibat disregulasi
respons tubuh terhadap infeksi.2,5,6 Definisi sepsis yang baru meninggalkan
penggunaan kriteria SIRS untuk identifikasi adanya sepsis dan meninggalkan
istilah sepsis berat. Kriteria SIRS tidak selalu menggambarkan respon disregulasi
yang mengancam jiwa dan dianggap memiliki validitas yang lemah dalam
identifikasi sepsis. Jika sepsis tidak dikenali dengan cepat akan menyebabkan
syok septik dan mortalitas. Syok septik adalah bagian dari sepsis dimana terjadi
abnormalitas sirkulasi dan metabolisme seluler yang dapat meningkatkan
mortalitas.2
2.2 Epidemiologi
Sepsis merupakan masalah kesehatan umum di seluruh dunia dengan
kejadian tahunan sekitar 200 hingga 300 kasus per 100.000 penduduk. Angka
kejadian sepsis di Amerika Serikat mencapai 750.000 kasus/tahun. Rumah Sakit
Sardjito Yogyakarta melaporkan sebanyak 275 kasus sepsis pada tahun 2002
dengan angka mortalitasnya sebesar 56,83%.7 Lebih dari sepertiga kunjungan
rumah sakit disebabkan oleh sepsis dan hampir 50% pasien yang masuk intensive
care unit (ICU) adalah pasien dengan sepsis.8
5
2.3 Etiologi
Pada tingkat molekuler, etiologi SIRS secara luas dibagi menjadi dua yaitu
pola molekul terkait kerusakan dan pola molekul terkait patogen. pola molekul
terkait kerusakan seperti luka bakar, trauma,trauma terkait prosedur bedah,
aspirasi akut, pankreatitis akut, penyalahgunaan zat dan keracunan, iskemia organ,
eksaserbasi akut vaskulitis autoimun, reaksi merugikan dari obat, iskemia dan
perforasi usus, keganasan hematologi serta eritema multiforme. pola molekul
terkait patogen seperti infeksi bakteri, virus, jamur serta sindrom syok toksik yang
berasal dari eksotoksin dan endotoksin.1
SIRS yang diketahui penyebabnya atau yang disebut sepsis biasanya
disebabkan oleh infeksi bakteri meskipun sepsis juga dapat disebabkan oleh virus
dan jamur. Mikroorganisme kausal yang paling sering ditemukan pada orang
dewasa adalah Escherichia coli, Staphylococcus aureus, dan Streptococcus
pneumonia. Spesies Enterococcus, Klebsiella, dan Pseudomonas juga sering
ditemukan. Sepsis dapat dipicu oleh infeksi di bagian manapun dari tubuh.
Daerah infeksi yang paling sering menyebabkan sepsis adalah paru-paru, saluran
kemih, perut, dan panggul. Sekitar satu dari lima kasus, infeksi dan sumber sepsis
tidak dapat terdeteksi.9
6
dapat dibagi menjadi tiga kategori : propagasi jalur sitokin, perubahan koagulasi
menyebabkan kelainan mikrosirkulasi dan pelepasan hormon stres
Propagasi Jalur Sitokin
Pelepasan IL1 dan TNF-alpha menghasilkan disosiasi faktor nuklir-kB
(NF-kB) dari inhibitornya. NF-kB dengan demikian mampu menginduksi
pelepasan massal sitokin proinflamasi lainnya termasuk IL-6, IL-8, dan
Interferon-gamma.IL-6 menginduksi pelepasan reaktan fase akut termasuk
prokalsitonin dan protein C reaktif. Pemicu infeksi cenderung menghasilkan
lonjakan TNF-alfa yang lebih besar dan dengan demikian IL-6 dan IL-8. Sitokin
proinflamasi poten lainnya adalah protein High mobility group box 1 (HMGB1)
yang terlibat dalam respon sitotoksik tertunda SIRS dan sepsis. Telah ditetapkan
sebagai prediktor independen kematian 1 tahun dalam studi observasional pasien
cedera otak traumatis.1,16
Perubahan Koagulasi Menyebabkan Kelainan Mikrosirkulasi
Seperti kebanyakan respons awal lainnya pada SIRS, perubahan jalur
koagulasi juga dipicu oleh IL-1 dan TNF-alpha. Fibrinolisis menjadi terganggu
oleh aktivasi plasminogen activator inhibitor-1. Ada cedera endotel langsung,
sehingga mengakibatkan pelepasan faktor jaringan, yang memicu kaskade
koagulasi. Juga, mediator anti-inflamasi Protein C aktif dan antitrombin
dihambat. Akibatnya, terjadi trombosis mikrovaskular yang meluas, peningkatan
permeabilitas kapiler, serta kerapuhan dan gangguan perfusi jaringan yang
berkontribusi terhadap disfungsi organ yang progresif.1,16
Pelepasan Hormon Stres
Terutama katekolamin, vasopresin, dan aktivasi aksis renin-angiotensin-
aldosteron menghasilkan lonjakan steroid endogen yang meningkat. Katekolamin
bertanggung jawab atas komponen takikardia dan takipnea pada sepsis sementara
glukokortikoid berkontribusi pada peningkatan jumlah leukosit serta marginnya
dalam sirkulasi perifer.1,16
Sindrom Respon Anti-inflamasi Kompensatori (CARS)
Respon kompensasi anti inflamasi dimediasi oleh interleukin IL-4 dan IL-
10 yang cenderung menghambat produksi TNF-alpha, IL-1, IL-6, dan IL-
11
Sumber : Huang M, Cai S, Su J. The Pathogenesis of Sepsis and Potential Therapeutic Targets. 2019
dan syok distributif pada pasien sepsis. Syok dipercepat dengan adanya kebocoran
plasma ke ruang intersisial yang disebabkan oleh hilangnya fungsi barier endotel
yang dipicu oleh perubahan cadherin dan tight junction endotel.
Perubahan hemodinamik pada pasien sepsis ditambah dengan trombosis
mikrovaskular menyebabkan hipoperfusi ke jaringan dan organ. Sehingga
meningkatkan glikolisis anaerob dan menyebabkan peningkatan produksi laktat.
Dan juga, peningkatan produksi reactive oxygen species (ROS) akibat respon
inflamasi yang disebabkan oleh disfungsi mitokondria dan penurunan kadar ATP
sel. Mekanisme ini menyebabkan kerusakan ditingkat sel.
Terganggunya fungsi barier endotel, vasodilatasi, peningkatan adhesi
leukosit, dan disregulasi koagulasi menimbulkan edema cairan di ruang intersisial,
rongga tubuh dan jaringan subkutan. Pada paru, terdapat gangguan pada barier
endotel alveolar sehingga terjadi akumulasi cairan kaya protein di ruang intersisial
paru dan alveoli. Hal ini akan mengganggu ventilasi-perfusi, hipoksia, dan
penurunan pengembangan paru yang menyebabkan acute respiratory distress
syndrome (ARDS) pada kasus ekstrim.
Pada ginjal, dengan kombinasi penurunan perfusi ke ginjal, acute tubular
nekrosis, gangguan mikrovaskulatur dan tubulus dapat menyebabkan berbagai
derajat akut kidney injuri. Pada saluran cerna, peningkatan permeabilias lapisan
mukosa menyebabkan bakteri dapat berpindah disepanjang dinding usus dan
autodigesti usus oleh enzim luminal. Pada hati, terdapat penurunan bilirubin
clearance yang menyebabkan cholestasis. Penurunan kesadaran sering didapatkan
pada pasien sepsis yang menandakan adanya disfungsi SSP. Hal ini dapat
disebabkan oleh perubahan blood-brain barrier, yang menyebabkan toksin, sel
inflamasi dan sitokin bebas masuk. Kemudian menyebabkan edema serebral,
gangguan neurotransmitter, stres oksidatif dan kerusakan korteks serebri yang
menimbulkan klinis septik enselopati dengan variasi klinis mulai dari delirium
hingga koma. Dan juga terjadi peningkatan glukoneogenesis untuk menyediakan
energi bagi sel imun, yang jika disertai dengan resistensi insulin dapat
menyebabkan hiperglikemia.18
15
Sumber : Huang M, Cai S, Su J. The Pathogenesis of Sepsis and Potential Therapeutic Targets. 2019
2.7 Diagnosis
Kriteria SIRS berdasarkan Konsensus Konfrensi ACCP/SCCM 1991
2.8 Tatalaksana
2.8.1 Surviving Sepsis Campaign
Pedoman Surviving Sepsis Campaign pertama kali terbentuk pada tahun
2004. Direvisi pada tahun 2008, 2012 dan 2016 dan ada pembaharuan pada Juni
2018. Pedoman pada awalnya berisi rekomendasi; termasuk early goal directed
resuscitation dari pasien pada 6 jam pertama setelah terdiagnosa; pemeriksaan
untuk menentukan organisme penyebab sebelum memulai terapi antibiotik khusus
dan pemberian antibiotik-spektrum luas.
Rekomendasi digabungkan menjadi 6-jam dan 3-jam bundle. Penggunaan
bundle ini menunjukkan peningkatan kesembuhan. Bundle 3-jam pada revisi 2016
berisi :
(I) Ukur kadar laktat,
(II) kultur darah sebelum antibiotik,
(III) berikan antibiotik-spektrum luas,
(IV) berikan kristaloid 30 mL/kg untuk hipotensi (mean arterial blood
pressure<65 mmHg) atau laktat >4 mmol/L dalam 3 jam.
17
Mottling score
kristaloid atau 300-500 mL koloid dalam waktu 30 menit. Pemberian cairan lebih
banyak dan lebih cepat diperlukan pada hipoperfusi jaringan yang diinduksi
sepsis. Meskipun penyebab takikardia pada pasien sepsis multifaktor, penurunan
laju nadi setelah resusitasi cairan menandakan perbaikan volume intravaskular.
Fluid challenge ini disarankan untuk tetap diberikan selama didapatkan perbaikan
hemodinamik. Kecepatan pemberian cairan harus diturunkan bila tekanan
pengisian jantung meningkat tanpa diikuti perbaikan hemodinamik. Sebagai
pertimbangan, pada fase sepsis lebih berat, hipotensi akan lebih refrakter terhadap
pemberian cairan. Uji pemberian resusitasi cairan dilakukan dalam waktu 15-30
menit. 20
Derajat defisit volume intravaskular pada pasien sepsis bervariasi. Karena
venodilatasi dan kebocoran kapiler yang terus berlangsung, sebagian besar pasien
memerlukan resusitasi cairan yang agresif selama 24 jam pertama. Input akan
lebih besar dibandingkan output, sehingga rasio input/output tidak bermanfaat
untuk menilai keberhasilan resusitasi cairan dalam waktu tersebut. Dikatakan
bahwa mortalitas pada pasien sepsis yang menggunakan koloid tidak menurun
signifikan. Studi SAFE (Saline versus Albumin Fluid Evaluation) menunjukkan
bahwa pemberian albumin sama keamanan dan efektifnya dengan kristaloid.
Sehingga cairan pilihan untuk resusitasi awal sepsis dan renjatan septik adalah
kristaloid.
2.8.2.2 Vasopresor
Terapi vasopresor diperlukan untuk mempertahankan perfusi pada kondisi
hipotensi yang membahayakan nyawa, meksipun hipovolemia masih belum
teratasi. Target penggunaan vasopresor adalah mempertahankan MAP ≥ 65
mmHg. Di bawah MAP tersebut, mekanisme autoreglukosasi dapat tidak
berfungsi, dan perfusi berbanding lurus dengan tekanan darah. Pasien seperti ini
memerlukan terapi vasopresor untuk mencapai tekanan perfusi minimal dan
mempertahankan aliran darah adekuat. Titrasi norepinefrin hingga mencapai MAP
≥ 65 mmHg terbukti mempertahankan perfusi jaringan.
Resusitasi cairan adekuat merupakan aspek penting dalam tata laksana
hemodinamik pasien renjatan septik dan ideal telah tercapai sebelum vasopresor
21
dan inotropik diberikan namun penggunaan vasopresor secara dini pada pasien
dengan renjatan berat seringkali diperlukan. Hal ini dikarenakan keterlambatan
pemberian vasopresor juga berkaitan dengan peningkatan mortalitas yang
signifikan. Pilihan vasopresor inisial adalah norepinefrin dan dopamin diberikan
melalui vena sentral. Epinefrin, fenilefrin, dan vasopresin tidak direkomendasikan
sebagai vasopresor inisial pada renjatan septik.
Dopamin meningkatkan MAP dan curah jantung, terutama akibat
peningkatan volume sekuncup dan laju jantung. Norepinefrin meningkatkan MAP
karena efek vasokonstriksinya, dengan efek minimal terhadap laju jantung dan
lebih minimal lagi terhadap peningkatan volume sekuncup dibandingkan
dopamin. Keduanya dapat digunakan sebagai lini pertama untuk mengatasi
hipotensi pada sepsis. Namun kemudian dikatakan bahwa norepinefrin lebih poten
dibandingkan dopamin dan lebih efektif mengatasi hipotensi pada kondisi renjatan
septik. Dopamin lebih bermanfaat pada pasien dengan penurunan fungsi sistolik
namun lebih sering menyebabkan takikardia dan lebih aritmogenik. Norepinefrin
juga meningkatkan aliran darah ke ginjal sehingga memperbaiki bersihan
kreatinin. Serum laktat juga mengalami penurunan sehingga norepinefrin dinilai
memperbaiki oksigenasi jaringan. Epinefrin digunakan bila tekanan darah tidak
memberi respons dengan norepinefrin atau dopamin.
2.8.2.3 Inotropik
Inotropik yang sering digunakan dalam sepsis adalah isoproterenol,
dobutamin, dan epinefrin. Isoproterenol merupakan agonis β1 dan β2 yang efektif
meningkatkan CI. Agen ini juga memiliki efek vasodilator sehingga berpotensi
menurunkan tekanan darah. Selain itu efek takikardianya signifikan sehingga
isoproterenol tidak sering digunakan sebagai inotropik. Epinefrin memberikan
efek inotropik melalui reseptor β terutama pada dosis rendah. Hingga saat ini
dobutamin adalah inotropik pilihan dalam tata laksana sepsis berat.
Dobutamin adalah inotropik pilihan pertama untuk pasien dengan curah
jantung rendah namun pengisian ventrikel kiri adekuat (atau resusitasi cairan yang
telah dinilai adekuat) serta MAP adekuat. Dobutamin diberikan dengan dosis
22
2. Fluorokuinolon (siprofloksasin/levofloksasin)
3. Beta laktam/penghambat beta laktamase anti
pseudomonas
4. Karbapenem dengan/tanpa aminoglikosida
7 Infeksi susunan Vankomisin + sefalosporin generasi 3
saraf pusat
8 Infeksi terkait Sefalosporin generasi 4/ karbapenem/ beta laktam
kateter dengan atau tanpa aminoglikosida + vankomisin(jika
intravaskular MRSA tinggi)
Terapi antiinfeksi empiris awal dapat berupa satu atau lebih obat yang
memiliki aktivitas terhadap semua patogen yang mungkin (bakteri,jamur atau
virus) dan juga memiliki kemampuan penetrasi dalam konsentrasi adekuat ke
dalam jaringan yang diduga menjadi sumber infeksi. Rejimen antimikroba yang
diberikan harus dinilai setiap hari untuk melihat kemungkinan deeskalasi. Terapi
empiris sebaiknya tidak diberikan lebih dari 3-5 hari. Regimen antimikroba
spesifik harus segera dilakukan setelah patogen definitif diketahui. Lama terapi
antimikroba diberikan sebaiknya 7-10 hari dan dapat diberikan lebih lama pada
pasien-pasien dengan respon klinis lambat.
28
29
DAFTAR PUSTAKA
2018;10(Suppl 9):1119–21.
15. Kalil AC, Opal SM. Sepsis in the Severely Immunocompromised Patient. Transpl
Oncol. 2015;
16. Boka K, Pinsky. Michael R. Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS).
Med Drug Dis [Internet]. 2020 Nov [cited 2022 May 16];
17. Huang M, Cai S, Su J. The Pathogenesis of Sepsis and Potential Therapeutic
Targets. 2019;
18. Gyawali B, Ramakrishna K, Dhamoon AS. Sepsis : The evolution in definition ,
pathophysiology , and management. 2019;
19. Sutan Syarif Muda Dalimunthe. Pengaruh Penatalaksanaan One Hour Bundle Sepsis
pada Pasien Sepsis Terhadap Nilai Asam Laktat dan Skor SOFA di RSUP Haji
Adam Malik Medan. Universitas Sumatera Utara; 2020.
20. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor Hk.01.07/Menkes/342/2017 Tentang Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Sepsis. 2017;1–82.
21. Dellinger RP, Schorr CA, Levy MM. A users’ guide to the 2016 Surviving Sepsis
Guidelines. Vol. 43, Intensive care medicine. United States; 2017. p. 299–303.