Anda di halaman 1dari 31

Refarat

SYSTEMIC INFLAMMATORY RESPONSE SYNDROME


(SIRS)

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani


Kepaniteraan Klinik Senior Pada Bagian/SMF Ilmu Paru
Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh
Rumah Sakit Umum Cut Meutia

Oleh :

Dwi Agustian Harahap


2006112041

Preseptor :
dr. Marliza Sp.P

BAGIAN ILMU/SMF PARU


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
RUMAH SAKIT UMUM CUT MEUTIA
ACEH UTARA
2022
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang karena atas segala rahmat dan karunia-Nya penulis dapat
menyelesaikan referat yang berjudul “Systemic Inflammatory Response
Syndrome“. Penyusunan referat ini sebagai salah satu tugas dalam menjalani
Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian/SMF Ilmu Paru di Rumah Sakit Umum
Cut Meutia Aceh Utara.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Marliza Sp.P selaku
penguji, selama mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian/SMF Ilmu
Paru atas waktu dan tenaga yang telah diluangkan untuk memberikan bimbingan,
saran, arahan, masukan, semangat, dan motivasi bagi penulis sehingga referat ini
dapat diselesaikan.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih banyak kekurangan. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan saran yang membangun untuk perbaikan di
masa yang akan datang. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Lhokseumawe, Mei 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................4
2.1 Definisi...........................................................................................................4
2.2 Epidemiologi..................................................................................................4
2.3 Etiologi...........................................................................................................5
2.4 Faktor Resiko.................................................................................................6
2.5 Patofisiologi...................................................................................................8
2.5.1 Imunitas bawaan dan mediator inflamasi..............................................11
2.5.2 Disregulasi hemostasis..........................................................................11
2.5.3 Immunosuppression..............................................................................12
2.5.4 Disfungsi sel, jaringan dan organ..........................................................13
2.6 Manifestasi klinis.........................................................................................15
2.7 Diagnosis......................................................................................................16
2.8 Tatalaksana...................................................................................................16
2.8.1 Surviving Sepsis Campaign..................................................................16
2.8.2 Stabilisasi hemodinamik.......................................................................17
2.8.3 Kontrol Infeksi......................................................................................22
2.9 Komplikasi...................................................................................................25
BAB III KESIMPULAN........................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................29

ii
3

BAB I
PENDAHULUAN

Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) adalah suatu


bentuk respon peradangan terhadap adanya infeksi bakteri, fungi, ricketsia, virus,
dan protozoa  untuk melokalisasi dan kemudian menghilangkan endogen atau
eksogen penyebabnya. Respon peradangan ini timbul ketika sistem pertahanan
tubuh tidak cukup mengenali atau menghilangkan infeksi tersebut dengan
melibatkan pelepasan reaktan fase akut berupa mediator langsung dari perubahan
otonom, endokrin, hematologi, dan imunologis. SIRS dengan sumber infeksi
mikroba yang diketahui disebut dengan sepsis.1
Sepsis adalah disfungsi organ yang mengancam jiwa akibat dari
disregulasi respon host terhadap infeksi.2 Studi skala besar yang melibatkan
269951 pasien rawat inap, menemukan bahwa 15% pasien memenuhi setidaknya
dua kriteria diagnostik untuk SIRS selama masuk rumah sakit. Angka kematian
secara signifikan lebih tinggi pada pasien dengan SIRS (4,3%) dibandingkan
dengan mereka yang tidak SIRS (1,2%).  
Insiden global antara tahun 1995 – tahun 2015 adalah 437 per 100 ribu
orang pertahun untuk kejadian sepsis dan severe sepsis. Sepsis berkontribusi
terhadap satu dari dua sampai 3 angka kejadian kematian pada penelitian cohort di
rumah sakit. Data dari Center for Disease Control (CDC) menunjukkan bahwa
insiden sepsis meningkat ±8,7% setiap tahun, dari 164.000 kasus (83 per 100.000
populasi) pada tahun 1979 menjadi 660.000 kasus (240 kasus per 100.000
populasi) pada tahun 2000.3
SIRS merupakan suatu keadaan darurat medis. Penanganan SIRS secara
dini akan menghemat biaya dan mengurangi jumlah hari pelayanan rawat inap dan
rumah sakit bagi pasien. Namun seringkali SIRS terlambat terdignosa sehingga
meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada pasien SIRS.4
4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) adalah suatu bentuk
respon peradangan terhadap adanya infeksi bakteri, fungi, ricketsia, virus, dan
protozoa  untuk melokalisasi dan kemudian menghilangkan endogen atau eksogen
penyebabnya. Respon peradangan ini timbul ketika sistem pertahanan tubuh tidak
cukup mengenali atau menghilangkan infeksi tersebut dengan melibatkan
pelepasan reaktan fase akut berupa mediator langsung dari perubahan otonom,
endokrin, hematologi, dan imunologis. SIRS dengan sumber infeksi mikroba yang
diketahui disebut dengan sepsis.1
Sepsis adalah disfungsi organ yang mengancam jiwa akibat disregulasi
respons tubuh terhadap infeksi.2,5,6 Definisi sepsis yang baru meninggalkan
penggunaan kriteria SIRS untuk identifikasi adanya sepsis dan meninggalkan
istilah sepsis berat. Kriteria SIRS tidak selalu menggambarkan respon disregulasi
yang mengancam jiwa dan dianggap memiliki validitas yang lemah dalam
identifikasi sepsis. Jika sepsis tidak dikenali dengan cepat akan menyebabkan
syok septik dan mortalitas. Syok septik adalah bagian dari sepsis dimana terjadi
abnormalitas sirkulasi dan metabolisme seluler yang dapat meningkatkan
mortalitas.2

2.2 Epidemiologi
Sepsis merupakan masalah kesehatan umum di seluruh dunia dengan
kejadian tahunan sekitar 200 hingga 300 kasus per 100.000 penduduk. Angka
kejadian sepsis di Amerika Serikat mencapai 750.000 kasus/tahun. Rumah Sakit
Sardjito Yogyakarta melaporkan sebanyak 275 kasus sepsis pada tahun 2002
dengan angka mortalitasnya sebesar 56,83%.7 Lebih dari sepertiga kunjungan
rumah sakit disebabkan oleh sepsis dan hampir 50% pasien yang masuk intensive
care unit (ICU) adalah pasien dengan sepsis.8
5

Sepsis merupakan penyebab kematian kedua tertinggi di instalasi


perawatan intensif nonkardiak dan merupakan 10 penyebab tertinggi kematian di
dunia secara keseluruhan. Angka kematian akibat sepsis jauh lebih besar
dibandingkan akibat sindrom koroner akut ataupun stroke. Mortalitas bisa
mencapai 30% pada sepsis hingga 80% pada syok sepsis.5
Studi skala besar yang melibatkan 269951 pasien rawat inap, menemukan
bahwa 15% pasien memenuhi setidaknya dua kriteria diagnostik untuk SIRS
selama masuk rumah sakit. Angka kematian secara signifikan lebih tinggi pada
pasien dengan SIRS (4,3%) dibandingkan dengan mereka yang tidak SIRS
(1,2%).  Insiden SIRS yang lebih rendah pada wanita dan orang Afrika-Amerika.1

2.3 Etiologi
Pada tingkat molekuler, etiologi SIRS secara luas dibagi menjadi dua yaitu
pola molekul terkait kerusakan dan pola molekul terkait patogen. pola molekul
terkait kerusakan seperti luka bakar, trauma,trauma terkait prosedur bedah,
aspirasi akut, pankreatitis akut, penyalahgunaan zat dan keracunan, iskemia organ,
eksaserbasi akut vaskulitis autoimun, reaksi merugikan dari obat, iskemia dan
perforasi usus, keganasan hematologi serta eritema multiforme. pola molekul
terkait patogen seperti infeksi bakteri, virus, jamur serta sindrom syok toksik yang
berasal dari eksotoksin dan endotoksin.1
SIRS yang diketahui penyebabnya atau yang disebut sepsis biasanya
disebabkan oleh infeksi bakteri meskipun sepsis juga dapat disebabkan oleh virus
dan jamur. Mikroorganisme kausal yang paling sering ditemukan pada orang
dewasa adalah Escherichia coli, Staphylococcus aureus, dan Streptococcus
pneumonia. Spesies Enterococcus, Klebsiella, dan Pseudomonas juga sering
ditemukan. Sepsis dapat dipicu oleh infeksi di bagian manapun dari tubuh.
Daerah infeksi yang paling sering menyebabkan sepsis adalah paru-paru, saluran
kemih, perut, dan panggul. Sekitar satu dari lima kasus, infeksi dan sumber sepsis
tidak dapat terdeteksi.9
6

2.4 Faktor Resiko


a. Usia
Usia seseorang menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi
kejadian SIRS. Anak–anak dan usia lanjut mempunyai faktor risiko lebih
besar untuk mengalami SIRS. Lebih dari 60% pasien yang mengalami
SIRS berada pada usia >65 tahun. Hal ini dikarenakan lansia lebih mudah
untuk terjangkit infeksi akibat terjadinya penurunan kekebalan tubuh
seiring dengan pertambahan usia, yang juga dikenal sebagai
immunosenescence. Kondisi ini menyebabkan lansia lebih rentan untuk
terjangkit infeksi serta resiko tinggi untuk infeksi yang lebih parah dan
berkepanjangan.10
Proses penuaan melemahkan respon imun dalam menghadapi
infeksi melalui beberapa jalur kompleks, seperti penurunan produksi
sitokin dan perubahan ekspresi serta fungsi dari toll-like reseptors (TLRs).
Pada lansia, juga terjadi penurunan imunitas adaptif karena proses thymic
involusi yang menekan fungsi dari sel T. Selain itu, sel B pada lansia juga
sering menghasilkan antibodi dengan afinitas yang rendah sehingga
mengurangi imunogenisitas dan efek protektif dari vaksin.11
Penuaan juga menurunkan integritas kulit dan menyebabkan kulit
lebih tipis dan kering. Hal ini akan meningkatkan resiko untuk
mengembangkan infeksi kulit dan jaringan lunak. Pada lansia juga sering
dijumpai imobilitas, sulit menelan dan perawatan mulut yang tidak
memadai sehingga meningkatkan resiko pneumonia.11
b. Jenis kelamin
Hasil penelitian yang dilakukan di RSUP Dr. Kariadi Semarang
menunjukan bahwa pasien dewasa jenis kelamin laki-laki dua kali berisiko
menderita sepsis dibanding dengan pasien dewasa berjenis kelamin
perempuan. Hal ini diperkuat penelitan yang dilakukan yang menyatakan
bahwa perempuan kurang mungkin untuk mengalami kematian yang
berhubungan dengan sepsis dibandingkan dengan laki-laki. Diindikasikan
7

bahwa female sex steroid menghasilkan zat-zat yang bersifat


immunoprotektif apabila terjadi trauma atau perdarahan.12
c. Penyakit komorbid
Kondisi komorbiditas kronis dapat melemahkan fungsi kekebalan
tubuh, seperti penyakit ginjal kronik, sirosis hepar, diabetes mellitus, HIV,
penyakit paru dan penyakit jantung. Salah satu penyakit komorbid yang
sering mendasari pasien SIRS adalah diabetes melitus (DM). Diabetes
melitus menyebabkan pasien lebih rentan untuk terkena infeksi dan
berakhir dengan SIRS. Diabetes melitus juga memperburuk prognosis dari
infeksi, meningkatkan morbiditas dan mortalitas dari sepsis.13
Kondisi hiperglikemi pada DM menyebabkan terjadinya
perubahan-perubahan metabolisme seperti peningkatan pembentukan
advanced glycation end products (AGEs) dan aktivasi dari protein kinase
C isoforms. Perubahan-perubahan metabolisme ini menyebabkan
peningkatan produksi superoksida, yang mengaktifkan jalur inflamasi
sehingga terjadi peradangan yang berkepanjangan.13
Diabetes melitus mengganggu sistem kekebalan secara umum
dengan mempengaruhi usia hidup, produksi, dan fungsi sel imun bawaan
dan adaptif, yang menyebabkan gangguan homeostatik dalam pergantian
sel imun. Gangguan homeostasis ini dapat disebabkan karena over-
nutrition dan peningkatan adiposit pada pasien DM.13
d. Immunosuppression
Keganasan (baik keganasan padat dan hematolgi), transplantasi
(organ padat dan stem sel hematopoetik) dan imunosupresi (kongenital
dan didapat) merusak imunitas bawaan dan adaptif, serta menjadi faktor
yang sangat signifikan terhadap SIRS dan syok septik. Beberapa literatur
menunjukkan bahwa kondisi imunosupresi meningkatkan insiden SIRS
dan berhubungan dengan peningkatan mortalitas terkait SIRS.14
Pasien neutropenia memiliki defek utama dalam respon imun
bawaan dan rentan terhadap patogen konvensional dan oportunistik.
Pasien transplantasi organ padat memiliki defek utama dalam imunitas
8

adaptif dan rentan terhadap berbagai patogen yang memerlukan respons


imun seluler yang efektif. Risiko infeksi pada penerima transplantasi organ
lebih diperumit oleh mekanis, vaskular, dan penolakan organ yang
ditransplantasikan itu sendiri. Keadaan penekanan imun dapat
memodifikasi tanda-tanda utama peradangan, membuat diagnosis infeksi
dan sepsis yang akurat dan cepat menjadi sulit.15
e. Prosedur invasif
Prosedur invasif seperti pemasangan kateter, perangkat
intravascular, prostetik, hemodialisis, kateter dialisis peritoneal dan
endotracheal tubes dapat menjadi jalur masuk patogen sehingga
meningkatkan resiko terjadinya SIRS.1
f. Prolonged hospitalization
Proses perawatan pada pasien-pasien kritis di ruang ICU yang lama
dapat meningkatkan kejadian infeksi lebih tinggi. Hal ini sejalan dengan
teori bahwa tubuh manusia secara kontinu terpajan dengan berbagai
mikroorganisme yang berpotensi pathogen dan membahayakan baik
dilingkungannya maupun dalam dirinya sendiri. Di beberapa tempat dalam
tubuh kita, seperti di dalam mulut atau usus, terdapat berbagai macam
mikroorganisme yang hidup secara alamiah dan biasanya tidak
menyebabkan infeksi. Namun, dalam beberapa kondisi, beberapa dari
mikroorganisme tersebut juga dapat menyebabkan infeksi.1,16
2.5 Patofisiologi
Peradangan yang dipicu oleh rangsangan menular atau tidak menular
menimbulkan interaksi kompleks dari respon imun humoral, seluler, sitokin, dan
jalur komplemen, sehingga terjadi ketidakseimbangan antara kaskade
proinflamasi dan anti-inflamasi yang dapat mengakibatkan terjadinya systemic
inflammatory response syndrome. Proses aktivasi ini terdiri dari lima tahapan
yaitu : 1,16
1. Reaksi lokal
Reaksi di lokasi cedera yang bertujuan untuk menahan cedera dan
membatasi penyebaran. Sel-sel efektor imun di lokasi tersebut melepaskan sitokin
9

yang pada gilirannya merangsang sistem retikuloendotelial yang mendorong


perbaikan luka melalui peradangan lokal. Terdapat vasodilatasi lokal yang
diinduksi oleh oksida nitrat dan prostasiklin (rubor) serta terjadi gangguan pada
tight junction endotel untuk memungkinkan adanya marginasi dan transfer
leukosit ke jaringan. Kebocoran sel dan cairan yang kaya protein di ruang
ekstravaskular menyebabkan terjadinya pembengkakan (tumor) dan peningkatan
panas (kalor). Mediator inflamasi berdampak pada saraf somatosensori lokal yang
menyebabkan munculnya nyeri (dolor) dan hilangnya fungsi (functio laesa). 
2. Early Compensatory Anti-Inflammatory Response Syndrome (CARS)
Merupakan upaya untuk menjaga keseimbangan imunologis berupa
stimulasi faktor pertumbuhan dan perekrutan makrofag dan trombosit sebagai
tingkat mediator pro-inflamasi untuk mempertahankan homeostasis.
3. Proinflamasi SIRS proinflamasi
Proses ini mengakibatkan disfungsi endotel progresif, koagulopati, dan
aktivasi jalur koagulasi yang menghasilkan trombosis mikro organ akhir, dan
peningkatan progresif permeabilitas kapiler, yang akhirnya mengakibatkan
hilangnya integritas sirkulasi.
4. CARS taking over SIRS
Proses ini menghasilkan keadaan imunosupresi relatif. Oleh karena itu,
individu menjadi rentan terhadap infeksi sekunder atau nosokomial, sehingga
memunculkan kaskade SIRS.
5. MODS dengan disregulasi persisten dari respons SIRS dan CARS.
Pada tingkat sel, rangsangan berbahaya non-infeksi, agen infeksi atau
endotoksin atau eksotoksin yang dihasilkan oleh infeksi mengaktifkan banyak sel
termasuk neutrofil, makrofag, sel mast, trombosit, dan sel endotel. Respon awal
yang dimediasi oleh sel-sel inflamasi ini melibatkan tiga jalur utama: aktivasi IL-1
dan TNF alfa., aktivasi jalur prostaglandin dan leukotriene serta aktivasi jalur
komplemen C3a – C5a.
Interleukin 1 (IL1) dan tumor necrosis factor alfa (TNF-alpha) adalah
mediator awal dalam satu jam pertama. Peran mereka sangat penting dalam
memiringkan skala ke arah overdrive proinflamasi.Tindakan mereka secara luas
10

dapat dibagi menjadi tiga kategori : propagasi jalur sitokin, perubahan koagulasi
menyebabkan kelainan mikrosirkulasi dan pelepasan hormon stres
Propagasi Jalur Sitokin
Pelepasan IL1 dan TNF-alpha menghasilkan disosiasi faktor nuklir-kB
(NF-kB) dari inhibitornya. NF-kB dengan demikian mampu menginduksi
pelepasan massal sitokin proinflamasi lainnya termasuk IL-6, IL-8, dan
Interferon-gamma.IL-6 menginduksi pelepasan reaktan fase akut termasuk
prokalsitonin dan protein C reaktif. Pemicu infeksi cenderung menghasilkan
lonjakan TNF-alfa yang lebih besar dan dengan demikian IL-6 dan IL-8. Sitokin
proinflamasi poten lainnya adalah protein High mobility group box 1 (HMGB1)
yang terlibat dalam respon sitotoksik tertunda SIRS dan sepsis. Telah ditetapkan
sebagai prediktor independen kematian 1 tahun dalam studi observasional pasien
cedera otak traumatis.1,16
Perubahan Koagulasi Menyebabkan Kelainan Mikrosirkulasi
Seperti kebanyakan respons awal lainnya pada SIRS, perubahan jalur
koagulasi juga dipicu oleh IL-1 dan TNF-alpha. Fibrinolisis menjadi terganggu
oleh aktivasi plasminogen activator inhibitor-1. Ada cedera endotel langsung,
sehingga mengakibatkan pelepasan faktor jaringan, yang memicu kaskade
koagulasi. Juga, mediator anti-inflamasi Protein C aktif dan antitrombin
dihambat. Akibatnya, terjadi trombosis mikrovaskular yang meluas, peningkatan
permeabilitas kapiler, serta kerapuhan dan gangguan perfusi jaringan yang
berkontribusi terhadap disfungsi organ yang progresif.1,16
Pelepasan Hormon Stres
Terutama katekolamin, vasopresin, dan aktivasi aksis renin-angiotensin-
aldosteron menghasilkan lonjakan steroid endogen yang meningkat. Katekolamin
bertanggung jawab atas komponen takikardia dan takipnea pada sepsis sementara
glukokortikoid berkontribusi pada peningkatan jumlah leukosit serta marginnya
dalam sirkulasi perifer.1,16
Sindrom Respon Anti-inflamasi Kompensatori (CARS)
Respon kompensasi anti inflamasi dimediasi oleh interleukin IL-4 dan IL-
10 yang cenderung menghambat produksi TNF-alpha, IL-1, IL-6, dan IL-
11

8. Keseimbangan SIRS dan CARS menentukan di mana titik terminasi dalam


kontinum SIRS ke MODS. CARS memiliki bahayanya sendiri. Jika dibiarkan
berlanjut, itu membuat individu yang masih hidup mengalami keadaan
imunosupresi yang berkepanjangan. Dengan demikian individu menjadi rentan
terhadap infeksi nosocomial. 1,16
2.5.1 Imunitas bawaan dan mediator inflamasi
Tahap pertama yang memulai respon host terhadap patogen adalah aktivasi
dari sel-sel imunitas bawaan, yang dibentuk terutama oleh sel makrofag, monosit,
neutrofil dan sel natural killer. Aktivasi ini terjadi ketika pattern-recognition
receptors (PRRs) sel imun mendeteksi pathogen-associated molecular patterns
(PAMPs), seperti endotoksin bakteri dan β-glucans jamur. Sumber lain dapat juga
dari interaksi dengan damage-associated molecular patterns (DAMPs) yang
merupakan material intraseluler atau molekul yang dilepaskan dari sel yang rusak
atau mati. Molekul-molekul ini akan berikatan ke reseptor spesifik monosit dan
makrofag seperti toll-like receptors (TLRs), C-Type Leptin receptors, NOD-like
receptors dan RIG-1 like receptors. Ikatan ini akan mengaktivasi intracellular
signal pathways yang mengakibatkan transkripsi dan pelepasan dari sitokin pro-
inflamasi seperti TNFα, IL-1, dan IL-6. Dan juga, beberapa ikatan reseptor,
seperti kelompok NOD-like receptor, dapat menghasilkan tambahan sitokin
penting seperti IL-1β dan IL-18 serta caspase yang berperan dalam programmed
cell death.17
Sitokin proinflamasi menyebabkan aktivasi dan poliferasi leukosit, aktivasi
sistem komplemen, peningkatan sintesis molekul endothelial adhesion dan
ekspresi kemokin, produksi tissue factor, dan menginduksi hepatic acute phase
reactants. Pada sepsis, respon immun bertindak berlebihan yang menyebabkan
kerusakan kolateral dan kematian jaringan dan sel host.
2.5.2 Disregulasi hemostasis
Pada sepsis, terdapat pertemuan antara jalur inflamasi dan jalur
hemostasis, sehingga terjadi kaskade inflamasi dan koagulasi yang teraktivasi
secara simultan. Luasnya interaksi ini dapat bervariasi mulai dari trombositopenia
ringan hingga fulminant disseminated intravascular coagulation (DIC). Penyebab
12

disregulasi koagulasi ini disebabkan oleh multifaktorial. Hiperkoagualabilitas


yang terjadi pada sepsis dipicu oleh pelepasan tissue factor dari sel endotelial
yang rusak (juga dapat dihasilkan oleh sel monosit dan sel-sel polimorfonuklear).
Tissue factor yang beredar di sirkulasi akan mengaktivasi kaskade koagulasi
sistemik sehingga terjadi produksi thrombin, aktivasi platelet, dan pembentukan
gumpalan platelet-fibrin. Mikrothrombus ini dapat menyumbat pembuluh darah
kecil dan mengganggu aliran darah distal sehingga menyebabkan hipoksia dan
disfungsi organ.
Disregulasi ini kemudian diperberat dengan penurunan efek antikoagulasi
dari protein C dan antithrombin yang seharusnya dapat membatasi dan
menghentikan kaskade koagulasi. Protein C dapat menghasilkan efek
antikoagulasi melalui degradasi faktor Va dan VIIIa, dan juga memiliki efek anti-
inflamasi dengan menghambat TNFα, IL-1β, dan IL-6 serta membatasi neutrofil
dan monosit adhesi ke endotelium. Pada pasien dengan inflamasi sistemik berat,
seperti pada sepsis, terjadi penurunan jumlah protein C dalam plasma, penurunan
produksi thrombomodulin, sehingga memungkinkan penyebaran kaskade
koagulasi yang tidak ter-regulasi.
Peningkatan kadar TNFα dan IL-1β di dalam plasma menyebabkan
pelepasan tissue plasminogen activator dari sel endotel vaskular. Sehingga terjadi
peningkatan aktivasi plasmin yang kemudian dibatasi dengan peningkatan
plasminogen activator inhibitor type 1 (PAI-1). Hal ini menyebabkan
berkurangnya fibrinolisis dan penghancuran fibrin, yang mengakibatkan
trombosis mikrovaskular bertahan lama.
2.5.3 Immunosuppression
Menariknya, tahap proinflamasi awal sering digantikan dengan keadaan
imunosupresi yang berkepanjangan. Hal ini disebabkan oleh menurunnya jumlah
sel T (helper dan sitotoksik) sebagai hasil dari apoptosis dan penurunan respon
sitokin proinflamasi. Penelitian postmortem pada pasien ICU yang meninggal
karena sepsis mendapatkan penurunan jumlah sel CD4+ dan CD8+ di organ
lymphoid seperti limpa. Dan juga, terjadi penurunan sitokin penting seperti IL-6
dan TNF yang disebabkan karena endotoksin patogen. Pada pasien sepsis,
13

neutrofil mengekspresikan lebih sedikit reseptor kemokin, dan kemotaksis


berkurang sebagai respon terhadap IL-8. Sehingga dapat diketahui bahwa sistem
imun pada pasien sepsis gagal untuk menghasilkan respon imun yang efektif
terhadap infeksi sekunder dari bakteri, virus dan jamur.
2.5.4 Disfungsi sel, jaringan dan organ
Mekanisme yang mendasari dibalik disfungsi jaringan dan organ pada
pasien sepsis adalah penurunan oksigen yang didapat dan digunakan oleh sel
akibat hipoperfusi. Pada pasien sepsis, hipoperfusi dapat terjadi akibat disfungsi
kardiovaskular. Septik kardiomiopati dapat terjadi akibat sitokin yang
bersirkulasi, seperti TNFα dan IL-1β. Sitokin ini dapat menyebabkan depresi sel
miokard dengan mengganggu fungsi mitokondria sel. Kondisi ini berlangsung
akut dan reversible. Hal ini akan menyebabkan disfungsi sistolik dan disfungsi
diastolik dengan penurunan stroke volume, peningkatan end-diastolik dan end-
sistolik volume.

Sumber : Huang M, Cai S, Su J. The Pathogenesis of Sepsis and Potential Therapeutic Targets. 2019

Vasodilatasi arteri-vena (yang diinduksi oleh mediator inflamasi) dan


penurunan return vena akibat kardiomiopati menyebabkan terjadinya hipotensi
14

dan syok distributif pada pasien sepsis. Syok dipercepat dengan adanya kebocoran
plasma ke ruang intersisial yang disebabkan oleh hilangnya fungsi barier endotel
yang dipicu oleh perubahan cadherin dan tight junction endotel.
Perubahan hemodinamik pada pasien sepsis ditambah dengan trombosis
mikrovaskular menyebabkan hipoperfusi ke jaringan dan organ. Sehingga
meningkatkan glikolisis anaerob dan menyebabkan peningkatan produksi laktat.
Dan juga, peningkatan produksi reactive oxygen species (ROS) akibat respon
inflamasi yang disebabkan oleh disfungsi mitokondria dan penurunan kadar ATP
sel. Mekanisme ini menyebabkan kerusakan ditingkat sel.
Terganggunya fungsi barier endotel, vasodilatasi, peningkatan adhesi
leukosit, dan disregulasi koagulasi menimbulkan edema cairan di ruang intersisial,
rongga tubuh dan jaringan subkutan. Pada paru, terdapat gangguan pada barier
endotel alveolar sehingga terjadi akumulasi cairan kaya protein di ruang intersisial
paru dan alveoli. Hal ini akan mengganggu ventilasi-perfusi, hipoksia, dan
penurunan pengembangan paru yang menyebabkan acute respiratory distress
syndrome (ARDS) pada kasus ekstrim.
Pada ginjal, dengan kombinasi penurunan perfusi ke ginjal, acute tubular
nekrosis, gangguan mikrovaskulatur dan tubulus dapat menyebabkan berbagai
derajat akut kidney injuri. Pada saluran cerna, peningkatan permeabilias lapisan
mukosa menyebabkan bakteri dapat berpindah disepanjang dinding usus dan
autodigesti usus oleh enzim luminal. Pada hati, terdapat penurunan bilirubin
clearance yang menyebabkan cholestasis. Penurunan kesadaran sering didapatkan
pada pasien sepsis yang menandakan adanya disfungsi SSP. Hal ini dapat
disebabkan oleh perubahan blood-brain barrier, yang menyebabkan toksin, sel
inflamasi dan sitokin bebas masuk. Kemudian menyebabkan edema serebral,
gangguan neurotransmitter, stres oksidatif dan kerusakan korteks serebri yang
menimbulkan klinis septik enselopati dengan variasi klinis mulai dari delirium
hingga koma. Dan juga terjadi peningkatan glukoneogenesis untuk menyediakan
energi bagi sel imun, yang jika disertai dengan resistensi insulin dapat
menyebabkan hiperglikemia.18
15

Sumber : Huang M, Cai S, Su J. The Pathogenesis of Sepsis and Potential Therapeutic Targets. 2019

2.6 Manifestasi klinis


Manifestasi klinis yang timbul dapat berupa gejala sistemik terhadap
infeksi dan juga dapat berhubungan dengan lokasi dan sumber infeksi penyebab
sepsis. Adapun manifestasi yang dapat muncul adalah sebagai berikut :
1. Demam (> 38,3 0C) atau hipotermia (< 36 0C).
2. Peningkatan laju jantung.
3. Takipnea (laju nafas >20x/menit atau PCO2 >32 mmHg).
4. Perubahan status mental yang terjadi secara akut, dapat berupa
peningkatan (gaduh,gelisah) atau penurunan kesadaran.
5. Edema signifikan atau keseimbangan cairan positif (>20 mL/kg dalam 24
jam).
6. Hiperglikemia (glukosa plasma >140 mg/dL) tanpa ada diabetes.
7. Manifestasi dari sumber infeksi yang dapat diidentifikasi atau dicurigai.
16

2.7 Diagnosis
Kriteria SIRS berdasarkan Konsensus Konfrensi ACCP/SCCM 1991

2.8 Tatalaksana
2.8.1 Surviving Sepsis Campaign
Pedoman Surviving Sepsis Campaign pertama kali terbentuk pada tahun
2004. Direvisi pada tahun 2008, 2012 dan 2016 dan ada pembaharuan pada Juni
2018. Pedoman pada awalnya berisi rekomendasi; termasuk early goal directed
resuscitation dari pasien pada 6 jam pertama setelah terdiagnosa; pemeriksaan
untuk menentukan organisme penyebab sebelum memulai terapi antibiotik khusus
dan pemberian antibiotik-spektrum luas.
Rekomendasi digabungkan menjadi 6-jam dan 3-jam bundle. Penggunaan
bundle ini menunjukkan peningkatan kesembuhan. Bundle 3-jam pada revisi 2016
berisi :
(I) Ukur kadar laktat,
(II) kultur darah sebelum antibiotik,
(III) berikan antibiotik-spektrum luas,
(IV) berikan kristaloid 30 mL/kg untuk hipotensi (mean arterial blood
pressure<65 mmHg) atau laktat >4 mmol/L dalam 3 jam.
17

Pada pembaruan 2018, bundle 3-jam dan 6-jam dikombinasikan menjadi


bundle 1 jam pertama (Hour-1 bundle). Sehingga bundle 1 jam pertama berisi :
(I) Ukur kadar laktat,
(II) kultur darah sebelum antibiotik,
(III) berikan antibiotik-spektrum luas,
(IV) berikan kristaloid 30 mL/kg untuk hipotensi (mean arterial blood
pressure<65 mmHg) atau laktat >4 mmol/L dalam 3 jam,
(V) Berikan vasopresor jika hipotensi dijumpai saat atau setelah resusitasi
cairan untuk mempertahankan MAP ≥ 65mmHg.
Resusitasi mungkin selesai lebih dari 1 jam, namun harus segera dilaksanakan
dalam 1 jam. Meta-analisis untuk penelitian resusitasi sepsis telah
mengindikasikan bahwa intervensi dini, yang timbul sebelum terjadinya disfungsi
organ memberikan hasil yang lebih baik.19

2.8.2 Stabilisasi hemodinamik


2.8.2.1 Resusitasi cairan
Pada fase awal sepsis terjadi fase hipovolemik hipodinamik. Oleh karena
itu diperlukan resusitasi cairan yang adekuat. Hipovolemia terjadi karena
penambahan volume cairan interstisial karena ekstravasasi cairan, sehingga aliran
darah balik vena berkurang.
Prinsip resusitasi pada pasien hipoperfusi yang diinduksi sepsis (sepsis
induced hypoperfusion), seharusnya mengacu pada target yang jelas dan
dikerjakan sedini mungkin. Penundaan dalam melakukan resusitasi awal serta
keterlambatan dalam mencapai target terapi akan berdampak terhadap luaran
klinis. Dua hal penting yang ditekankan saat melakukan resusitasi awal pada
sepsis induced hypoperfusion adalah:
1. Tatalaksana resusitasi cairan yang tepat untuk memperbaiki hipoperfusi
2. Tatalaksana lanjutan untuk mencapai target MAP 65 mmHg sesegera
mungkin, setelah pemberian cairan dianggap cukup adekuat.
Tatalaksana resusitasi cairan dapat dilaksanakan sebagai berikut:
18

1. Resusitasi cairan awal sebaiknya segera dilakukan saat diagnosa


hipoperfusi atau hipotensi yang diinduksi oleh sepsis telah ditegakkan.
2. Tatalaksana resusitasi cairan dimulai dengan pemberian kristaloid
30cc/kgBB intravena (dalam 3 jam pertama). Pada kondisi-kondisi
tertentu, misalnya pada kasus Gagal Ginjal Kronis (GGK) yang perlu
hemodialisis, gagal jantung kongestif, atau pada keadaan di mana pasien
berpotensi mengalami gagal napas namun belum terintubasi, maka
pemberian cairan harus dilakukan lebih hati-hati. Oksigenasi harus
dipantau secara ketat dan penilaian responsivitas cairan (fluid
responsiveness) dianjurkan dalam keadaan-keadaan tersebut.
3. Setelah resusitasi cairan awal dilakukan,maka keputusan untuk
memberikan cairan tambahan sebaiknya didasarkan atas penilaian status
hemodinamik yang dilakukan secara berkala.

Parameter-parameter hemodinamik yang dapat digunakan untuk


menentukan status hemodinamik pasien antara lain adalah:
 Tekanan darah (non-invasif atau invasif)
 Saturasi oksigen arteri (pulse oxymetri)
 Nadi
 Capillary filling time
 Mottling score
 Frekuensi napas
 Produksi urin,
 Monitoring cardiac output (non invasif, semi invasif maupun invasif)
19

Mottling score

Resusitasi dilakukan segera pada pasien renjatan septik. Renjatan septik


didefinisikan sebagai hipotensi persisten setelah pemberian cairan inisial atau
konsentrasi laktat darah ≥ 4 mmol/L. Peningkatan konsentrasi laktat serum
menandakan adanya hipoperfusi jaringan. Berikut adalah target resusitasi inisial
selama 6 jam pertama:
 Tekanan vena sentral (central venous pressure, CVP) 8-12 mmHg
 Tekanan arteri rerata (mean arterial pressure, MAP) ≥ 65 mmHg
 Jumlah urin ≥ 0,5 mL/kg/jam
 ScvO2 atau SvO2 masing-masing ≥ 70% atau ≥ 65%
MAP dapat dihitung dengan rumus :
Tekanan sistolik +2(Tekanan diastolik )
MAP=
3
Target MAP lebih dipilih karena menggambarkan ambang autoreglukosasi
aliran darah ke organ. Mekanisme autoreglukosasi pada organ jantung, ginjal, dan
sistem saraf pusat terganggu pada MAP < 60 mmHg, maka dipilih target MAP ≥
65 mmHg untuk menjamin perfusi organ. Pada pasien dengan hipertensi kronik,
dibutuhkan MAP lebih tinggi untuk mencapai perfusi organ yang adekuat.
Fluid challenge adalah pemberian cairan intravena dalam jumlah banyak
dalam waktu singkat dengan pemantauan ketat untuk evaluasi respons pasien
sekaligus menghindari terjadi edema paru. Berikan fluid challenge 1000 mL
20

kristaloid atau 300-500 mL koloid dalam waktu 30 menit. Pemberian cairan lebih
banyak dan lebih cepat diperlukan pada hipoperfusi jaringan yang diinduksi
sepsis. Meskipun penyebab takikardia pada pasien sepsis multifaktor, penurunan
laju nadi setelah resusitasi cairan menandakan perbaikan volume intravaskular.
Fluid challenge ini disarankan untuk tetap diberikan selama didapatkan perbaikan
hemodinamik. Kecepatan pemberian cairan harus diturunkan bila tekanan
pengisian jantung meningkat tanpa diikuti perbaikan hemodinamik. Sebagai
pertimbangan, pada fase sepsis lebih berat, hipotensi akan lebih refrakter terhadap
pemberian cairan. Uji pemberian resusitasi cairan dilakukan dalam waktu 15-30
menit. 20
Derajat defisit volume intravaskular pada pasien sepsis bervariasi. Karena
venodilatasi dan kebocoran kapiler yang terus berlangsung, sebagian besar pasien
memerlukan resusitasi cairan yang agresif selama 24 jam pertama. Input akan
lebih besar dibandingkan output, sehingga rasio input/output tidak bermanfaat
untuk menilai keberhasilan resusitasi cairan dalam waktu tersebut. Dikatakan
bahwa mortalitas pada pasien sepsis yang menggunakan koloid tidak menurun
signifikan. Studi SAFE (Saline versus Albumin Fluid Evaluation) menunjukkan
bahwa pemberian albumin sama keamanan dan efektifnya dengan kristaloid.
Sehingga cairan pilihan untuk resusitasi awal sepsis dan renjatan septik adalah
kristaloid.
2.8.2.2 Vasopresor
Terapi vasopresor diperlukan untuk mempertahankan perfusi pada kondisi
hipotensi yang membahayakan nyawa, meksipun hipovolemia masih belum
teratasi. Target penggunaan vasopresor adalah mempertahankan MAP ≥ 65
mmHg. Di bawah MAP tersebut, mekanisme autoreglukosasi dapat tidak
berfungsi, dan perfusi berbanding lurus dengan tekanan darah. Pasien seperti ini
memerlukan terapi vasopresor untuk mencapai tekanan perfusi minimal dan
mempertahankan aliran darah adekuat. Titrasi norepinefrin hingga mencapai MAP
≥ 65 mmHg terbukti mempertahankan perfusi jaringan.
Resusitasi cairan adekuat merupakan aspek penting dalam tata laksana
hemodinamik pasien renjatan septik dan ideal telah tercapai sebelum vasopresor
21

dan inotropik diberikan namun penggunaan vasopresor secara dini pada pasien
dengan renjatan berat seringkali diperlukan. Hal ini dikarenakan keterlambatan
pemberian vasopresor juga berkaitan dengan peningkatan mortalitas yang
signifikan. Pilihan vasopresor inisial adalah norepinefrin dan dopamin diberikan
melalui vena sentral. Epinefrin, fenilefrin, dan vasopresin tidak direkomendasikan
sebagai vasopresor inisial pada renjatan septik.
Dopamin meningkatkan MAP dan curah jantung, terutama akibat
peningkatan volume sekuncup dan laju jantung. Norepinefrin meningkatkan MAP
karena efek vasokonstriksinya, dengan efek minimal terhadap laju jantung dan
lebih minimal lagi terhadap peningkatan volume sekuncup dibandingkan
dopamin. Keduanya dapat digunakan sebagai lini pertama untuk mengatasi
hipotensi pada sepsis. Namun kemudian dikatakan bahwa norepinefrin lebih poten
dibandingkan dopamin dan lebih efektif mengatasi hipotensi pada kondisi renjatan
septik. Dopamin lebih bermanfaat pada pasien dengan penurunan fungsi sistolik
namun lebih sering menyebabkan takikardia dan lebih aritmogenik. Norepinefrin
juga meningkatkan aliran darah ke ginjal sehingga memperbaiki bersihan
kreatinin. Serum laktat juga mengalami penurunan sehingga norepinefrin dinilai
memperbaiki oksigenasi jaringan. Epinefrin digunakan bila tekanan darah tidak
memberi respons dengan norepinefrin atau dopamin.

2.8.2.3 Inotropik
Inotropik yang sering digunakan dalam sepsis adalah isoproterenol,
dobutamin, dan epinefrin. Isoproterenol merupakan agonis β1 dan β2 yang efektif
meningkatkan CI. Agen ini juga memiliki efek vasodilator sehingga berpotensi
menurunkan tekanan darah. Selain itu efek takikardianya signifikan sehingga
isoproterenol tidak sering digunakan sebagai inotropik. Epinefrin memberikan
efek inotropik melalui reseptor β terutama pada dosis rendah. Hingga saat ini
dobutamin adalah inotropik pilihan dalam tata laksana sepsis berat.
Dobutamin adalah inotropik pilihan pertama untuk pasien dengan curah
jantung rendah namun pengisian ventrikel kiri adekuat (atau resusitasi cairan yang
telah dinilai adekuat) serta MAP adekuat. Dobutamin diberikan dengan dosis
22

inisial 2-20 µg/kgBB/menit. Dobutamin dapat ditambahkan dengan vasopresor


lain apabila terdapat disfungsi miokard yang ditandai peningkatan tekanan
pengisian jantung dan curah jantung yang rendah.

Panduan tata laksana penggunaan vasopresor pada syok septik21

2.8.3 Kontrol Infeksi


2.8.3.1 Antibiotik
Pemberian antibiotik intravena harus diinisiasi sesegera mungkin setelah
teridentifikasi dalam 1 jam pertama untuk sepsis dan syok septik. Dapat diberikan
antibiotik empiris spektrum luas dengan 1 atau kombinasi antibiotik untuk
mencakup semua kemungkinan patogen. Antibiotik empiris yang diberikan
ditujukan untuk patogen yang kemungkinan menyebabkan sepsis. Pilihan
antibiotik empiris dapat diberikan menurut lokasi infeksi :

No Fokus infeksi Pilihan antibiotik


1 Pneumonia 1. Beta lactam (ceftriaxone, cefotaxime,
23

komunitas ampicilin/sulbactam) + azithromycin


2. Beta lactam (ceftriaxone, cefotaxime,
ampicilin/sulbactam) + fluorokuinolon
(levofloxacin dan moxifloxacin.)

2 Pneumonia Sefalosporin antipseudomonas (cefepim,ceftazidim) /


nosokomial karbapenem antipseudomonas
(imipenem,meropenem) / beta laktam-penghambat
beta laktamase (piperasilin tazobactam)
+
fluorokuinolon antipseudomonas (siprofloksasin,
levofloksasin) / aminoglikosida (amikasin,
gentamisin, tobramisin)
+
linezolid atau vankomisin
3 Infeksi 1. Imipenem-cilastatin/ meropenem/ doripenem/
intraabdomen ertapenem/ piperasilin tazobactam
komunitas 2. Cefepim/ ceftazidim/ siprofloksasin/ levofloksasin
+ metronidazol
4 Infeksi 1. Karbapenem/ piperasilim tazobactam
intraabdomen 2. Vankomisin (jika insiden MRSA tinggi)
nosokomial
5 Infeksi kulit dan 1. Purulen : Vankomisin/ linezoid
jaringan lunak 2. Non purulen :
a. Piperasilin tazobactam + vankomisin
b. Klindamisin/ metronidazol + aminoglikosida/
fluorokuinolon
c. Imipenem/ meropenem/ extrapenem
d. Sefotaxim + metronidazol/ klindamisin
6 Infeksi saluran 1. Sefalosporin generasi 3
kemih
24

2. Fluorokuinolon (siprofloksasin/levofloksasin)
3. Beta laktam/penghambat beta laktamase anti
pseudomonas
4. Karbapenem dengan/tanpa aminoglikosida
7 Infeksi susunan Vankomisin + sefalosporin generasi 3
saraf pusat
8 Infeksi terkait Sefalosporin generasi 4/ karbapenem/ beta laktam
kateter dengan atau tanpa aminoglikosida + vankomisin(jika
intravaskular MRSA tinggi)

Terapi antiinfeksi empiris awal dapat berupa satu atau lebih obat yang
memiliki aktivitas terhadap semua patogen yang mungkin (bakteri,jamur atau
virus) dan juga memiliki kemampuan penetrasi dalam konsentrasi adekuat ke
dalam jaringan yang diduga menjadi sumber infeksi. Rejimen antimikroba yang
diberikan harus dinilai setiap hari untuk melihat kemungkinan deeskalasi. Terapi
empiris sebaiknya tidak diberikan lebih dari 3-5 hari. Regimen antimikroba
spesifik harus segera dilakukan setelah patogen definitif diketahui. Lama terapi
antimikroba diberikan sebaiknya 7-10 hari dan dapat diberikan lebih lama pada
pasien-pasien dengan respon klinis lambat.

2.8.3.2 Kontrol sumber infeksi


Pengendalian sumber infeksi atau source control merupakan semua bentuk
upaya yang dilakukan untuk menghilangkan sumber infeksi, mengendalikan
kontaminasi yang sedang berlangsung dan mengembalikan anatomi serta fisiologi
seperti kondisi premorbid. Fokus infeksi yang memerlukan tindakan pengendalian
sumber infeksi, antara lain:
1. Abses intra-abdomen
2. Perforasi organ gastrointestinal
3. Iskemia usus
4. Kolangitis
5. Pielonefritis
25

6. Infeksi jaringan lunak disertai nekrosis


7. Empiema
8. Artritis septik
9. Fraktur terbuka
10. Infeksi kaki diabetik
Adapun prinsip utama pengendalian sumber infeksi terdiri atas 3 “D”, yaitu:
1. Drainase abses
Terbentuknya abses akan mengisolasi sumber infeksi dari sirkulasi
sistemik, sekaligus menghambat masuknya sel imun dan antimikroba.
Drainase memfasilitasi jalan keluar isi abses sehingga proses inflamasi
berangsur berkurang.
2. Debridement
Debridement adalah proses membuang jaringan non vital, termasuk benda
asing (implan) yang dapat memicu pertumbuhan mikroorganisme.
Jaringan non vital dan bekuan darah merupakan media yang baik untuk
pertumbuhan mikroorganisme.
3. Definitif terapi
Tujuan utama terapi definitif adalah mengembalikan fungsi dengan risiko
paling minimal. Tindakan ini dilakukan dengan tetap mengantisipasi
kebutuhan rekonstruksi di kemudian hari.
2.9 Komplikasi
Komplikasi bervariasi berdasarkan etiologi yang mendasari. Potensi
komplikasi yang mungkin terjadi meliputi:
1. Cedera paru akut (acute lung injury) dan sindrom gangguan fungsi
respirasi akut (acute respiratory distress syndrome)
Terbentuknya cairan inflamasi dalam alveoli mengganggu
pertukaran gas, mempermudah timbulnya kolaps paru, dan menurunkan
komplian, dengan hasil akhir gangguan fungsi respirasi dan hipoksemia.
Komplikasi ALI/ ARDS timbul pada banyak kasus sepsis dan biasanya
mudah terlihat pada foto toraks, dalam bentuk opasitas paru bilateral yang
konsisten dengan edema paru. Pasien yang septik yang pada mulanya tidak
26

memerlukan ventilasi mekanik selanjutnya mungkin memerlukannya jika


pasien mengalami ALI/ ARDS setelah resusitasi cairan.
2. Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)
Pada DIC yang disebabkan oleh sepsis, kaskade koagulasi
diaktivasi secara difus sebagai bagian respons inflamasi. Pada saat yang
sama, sistem fibrinolitik, yang normalnya bertindak untuk
mempertahankan kaskade pembekuan, diaktifkan. Sehingga memulai
spiral umpan balik dimana kedua sistem diaktifkan secara konstan dan
difus−bekuan yang baru terbentuk, lalu diuraikan. Sebagian besar faktor
pembekuan dan trombosit digunakan, sehingga menyebabkan
berkurangnya cadangan pembekuan dan trombosit. Dengan demikian,
pasien berisiko mengalami komplikasi akibat thrombosis dan perdarahan.
3. Gagal jantung
Depresi miokardium merupakan komplikasi dini syok septik,
dengan mekanisme yang diperkirakan kemungkinannya adalah kerja
langsung molekul inflamasi ketimbang penurunan perfusi arteri koronaria.
Sepsis memberikan beban kerja jantung yang berlebihan, yang dapat
memicu sindroma koronaria akut (ACS) atau infark miokardium (MCI),
terutama pada pasien usia lanjut.

4. Gangguan fungsi hati


Hipoperfusi ke hati pada keadaan sepsis menyebabkan gangguan
fungsi hati. Gangguan fungsi hati biasanya manifest sebagai ikterus
kolestatik, dengan peningkatan bilirubin, aminotransferase, dan alkali
fosfatase. Fungsi sintetik biasanya tidak berpengaruh kecuali pasien
mempunyai status hemodinamik yang tidak stabil dalam waktu yang lama.
5. Gagal ginjal
Hipoperfusi tampaknya merupakan mekanisme yang utama
terjadinya gagal ginjal pada keadaan sepsis, yang dimanifestasikan sebagai
oliguria, azotemia, dan sel-sel peradangan pada urinalisis.
27
BAB III
KESIMPULAN

Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) adalah suatu bentuk


respon peradangan terhadap adanya infeksi bakteri, fungi, ricketsia, virus, dan
protozoa  untuk melokalisasi dan kemudian menghilangkan endogen atau eksogen
penyebabnya. Respon peradangan ini timbul ketika sistem pertahanan tubuh tidak
cukup mengenali atau menghilangkan infeksi tersebut dengan melibatkan
pelepasan reaktan fase akut berupa mediator langsung dari perubahan otonom,
endokrin, hematologi, dan imunologis. SIRS dengan sumber infeksi mikroba yang
diketahui disebut dengan sepsis. Faktor resiko yang dapat menyebabkan sepsis
adalah usia lebih dari 60 tahun, jenis kelamin laki-laki, penyakit komorbid kronik,
imunosupresi, prosedur invasif, dan perawatan di rumah sakit dalam waktu yang
lama. SIRS dapat ditegakkan apabila terdapat 2 dari 4 kriteria yang sudah
ditentukan. Prinsip penatalaksanaan SIRS adalah stabilisasi hemodinamik dan
kontrol infeksi. Stabilisasi hemodinamik dapat dilakukan dengan resusitasi cairan
dan penggunaan agen vasoaktif. Kontrol infeksi dapat dilakukan dengan
pemberian antibiotik dan kontrol sumber infeksi. Komplikasi yang dapat timbul
pada pasien sepsis adalah ALI, ARDS, DIC, gagal jantung, gangguan fungsi hati,
dan gagal ginjal.

28
29

DAFTAR PUSTAKA

1. Chakraborty RK, Burns B. Systemic Inflammatory Response Syndrome. StatPearls


[Internet]. 2021 Jul 28 [cited 2022 May 16];
2. Opal SM, Rubenfeld GD, Poll T Van Der, Vincent J, Angus DC. The Third
International Consensus Definitions for SIRS, Sepsis and Septic Shock (Sepsis-3).
2016;315(8):801–10.
3. Vincent J-L, Sakr Y, Sprung CL, Ranieri VM, Reinhart K, Gerlach H, et al. Sepsis
in European intensive care units: results of the SOAP study. Crit Care Med. 2006
Feb;34(2):344–53.
4. Danai P, Martin GS. Epidemiology of sepsis: recent advances. Curr Infect Dis Rep.
2005 Sep;7(5):329–34.
5. Arifin M, Frans J. Penatalaksanaan sepsis dan syok septik optimalisasi
FASTHUGSBID. Perhimpun Dr INTENSIVE CARE Indones. 2017;1–3.
6. Febrianto R, Farhanah N, Sari EP. Hubungan Luka Bakar Derajat Sedang Dan Berat
Menurut Kategori American Burn Association Dan Faktor – Faktor Yang
Mempengaruhi Kejadian Sepsis Di Rsup Dr. Kariadi. Diponegoro University; 2016.
7. Eka I. Prediksi Luaran Menggunakan qSOFA, Rasio Spo2/Fio2 dan Prokalsitonin
Pada Pasien Sepsis Pneumonia di Bangsal Paru RSUP M.Djamil Padang.
Universitas Andalas; 2020.
8. Putra IMP. Pendekatan Sepsis dengan Skor SOFA. 2018;45(8):606–9.
9. Putri YH. Faktor Risiko Sepsis pada Pasien Dewasa di RSUP Dr.Kariadi.
Universitas Diponegoro; 2014.
10. Ye-Ting Z, Dao-Ming T. Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) and
the Pattern and Risk of Sepsis Following Gastrointestinal Perforation. Med Sci
Monit [Internet]. 2018 Jun 9 [cited 2022 May 16];24:3888. Available from:
/pmc/articles/PMC6024714/
11. Rowe TA, Mckoy JM. Sepsis in Older Adults. Infect Dis Clin NA. 2017;31(4):731–
42.
12. S P. Praktik pencegahan kejadian SIRS. UNIMUS [Internet]. 2018 [cited 2022 May
16];1(2).
13. Frydrych LM, Fattahi F, He K, Ward PA, Delano MJ, Delano MJ. Diabetes and
Sepsis : Risk , Recurrence , and Ruination. 2017;8(October).
14. Aygencel G. Does immunosuppression affect the course of septic shock ?
30

2018;10(Suppl 9):1119–21.
15. Kalil AC, Opal SM. Sepsis in the Severely Immunocompromised Patient. Transpl
Oncol. 2015;
16. Boka K, Pinsky. Michael R. Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS).
Med Drug Dis [Internet]. 2020 Nov [cited 2022 May 16];
17. Huang M, Cai S, Su J. The Pathogenesis of Sepsis and Potential Therapeutic
Targets. 2019;
18. Gyawali B, Ramakrishna K, Dhamoon AS. Sepsis : The evolution in definition ,
pathophysiology , and management. 2019;
19. Sutan Syarif Muda Dalimunthe. Pengaruh Penatalaksanaan One Hour Bundle Sepsis
pada Pasien Sepsis Terhadap Nilai Asam Laktat dan Skor SOFA di RSUP Haji
Adam Malik Medan. Universitas Sumatera Utara; 2020.
20. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor Hk.01.07/Menkes/342/2017 Tentang Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Sepsis. 2017;1–82.
21. Dellinger RP, Schorr CA, Levy MM. A users’ guide to the 2016 Surviving Sepsis
Guidelines. Vol. 43, Intensive care medicine. United States; 2017. p. 299–303.

Anda mungkin juga menyukai