Anda di halaman 1dari 29

Tinjuan Pustaka 3

Sabtu, 01 Desember 2018

PERAN KORTIKOSTEROID PADA SEPSIS DAN SYOK


SEPSIS

Oleh: Andry Wahyudi Agus


1610248117

Narasumber: dr. Zarfiardy Aksa F, Sp.P (K)

PPDS-1 PULMONOLOGI DAN KEDOKTERAN RESPIRASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU

RSUD ARIFIN ACHMAD PROVINSI RIAU

PEKANBARU
SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa
tugas referat ini saya susun tanpa tindakan plagiarisme sesuai dengan peraturan
yang berlaku di Universitas Riau. Jika dikemudian hari ternyata saya melakukan
tindakan plagiarisme, saya akan bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima
sanksi yang dijatuhkan oleh Universitas Riau kepada saya.

Pekanbaru, Desember 2018

Andry Wahyudi Agus

ii
DAFTAR ISI

JUDUL .................................................................................................................. i

LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................. ii

DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ iv

DAFTAR TABEL ................................................................................................. v

PENDAHULUAN................................................................................................. 1

PATOGENESIS SEPSIS ...................................................................................... 2

DIAGNOSIS SEPSIS DAN SYOK SEPSIS ........................................................ 5

AKSIS HYPOTHALAMIC PITUITARY ADRENAL (HPA) DAN SEPSIS .......... 8

PERANAN KORTIKOSTEROID PADA SEPSIS .............................................. 10

PEMBERIAN KORTIKOSTEROID PADA SEPSIS .......................................... 11

EFEK SAMPING PEMAKAIAN KORTIKOSTEROID PADA PASIEN


SEPSIS. ................................................................................................................. 17

REKOMENDASI PEMBERIAN KORTIKOSTEROID PADA SEPSIS DAN


SYOK SEPSIS ...................................................................................................... 18

KESIMPULAN ..................................................................................................... 21

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 22

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Patogenesis sepsis ............................................................................... 3

Gambar 2. Respon koagulan pada sepsis .............................................................. 4

Gambar 3. Alur identifikasi sepsis dan syok sepsis .............................................. 7

Gambar 3. Aksis Hypothalamic Pituitary Adrenal (HPA) ................................... 9

iv
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Kriteria diagnosis sepsis.......................................................................... 5

Tabel 2. Komponen penilaian skor SOFA ............................................................ 6

Tabel 3. Efek anti inflamasi kortikosteroid ........................................................... 11

Tabel 4. Hasil penelitian yang menggunakan kortikosteroid dosis rendah pada


pasien syok sepsis dan sepsis. ............................................................................... 14

v
PENDAHULUAN
Sepsis didefinisikan sebagai disfungsi organ yang mengancam jiwa akibat disregulasi
respon tubuh terhadap infeksi. Sedangkan syok sepsis adalah kondisi sepsis disertai
abnormalitas sirkulasi dan metabolisme seluler yang menyebabkan peningkatan
1,2
mortalitas . Sepsis merupakan masalah kesehatan global dan menjadi penyebab
utama kematian akibat infeksi. Satu dari empat orang yang mengalami sepsis akan
meninggal. Pengenalan dini dan diagnosis sepsis perlu dilakukan untuk mencegah
transisi menjadi syok sepsis 2. World Health Organization (WHO) mendata angka
kejadian sepsis di negara maju sekitar 31,5 juta kasus kejadian sepsis dan lebih dari
setengahnya adalah sepsis berat (19,4 juta dengan 5,3 juta kematian) 3.

Laporan angka kejadian tahunan di Amerika Serikat terdapat 50 hingga 300 kasus per
100.000 orang dengan lebih dari 750.000 pasien dievaluasi dan ditatalaksana di unit
gawat darurat per tahun 4. Data dari Brasil menunjukkan tingkat mortalitas sepsis
sekitar 50%. Pada tingkat global tingkat kematian yang ditunjukkan dalam banyak
penelitian sekitar 55% dan 60% dalam kasus syok sepsis. Di beberapa negara Afrika
bahkan ada kematian 100% dari sepsis 3. Di Indonesia pasien sepsis berat dan syok
sepsis di RSUP dr. Cipto Mangunkusumo pada tahun 2012-2013 diketahui angka
kematian berkisar 61%. Insidens sepsis di RSUP Dr. M. Djamil Padang meningkat per
tahunnya sejak tahun 2010 hingga 2013 yaitu masing-masing sebanyak 351 pasien, 512
pasien, 734 pasien dan 757 pasien dengan sepsis sebagai diagnosis utama. Infeksi paru
dan saluran napas merupakan penyebab sepsis terbanyak yaitu 40-60% dibandingkan
infeksi yang terjadi pada kulit, saluran kemih, usus, dan organ pelvis 5.

Kortikosteroid merupakan salah satu komponen dari manajemen sepsis yang telah
mengalami perubahan yang signifikan. Kortikosteroid diberikan karena memiliki efek
antiinflamasi kuat sesuai patogenesis sepsis sebagai suatu respons inflamasi. Terapi
kortikosteroid telah dimulai sejak tahun 1950. Beberapa penelitian klinis gagal
menunjukkan manfaat pemberian kortikosteroid pada sepsis sehingga sampai saat ini
pemberian kortikosteroid pada sepsis masih menjadi perdebatan baik dari segi manfaat,
dosis maupun waktu yang tepat untuk pemberiannya 6.

1
PATOGENESIS SEPSIS
Sepsis merupakan sindrom klinis akibat respon tubuh terhadap adanya infeksi. Respon
ini merupakan hasil interaksi yang kompleks antara mikroorganisme penyebab dan
penjamu serta merupakan bentuk mekanisme perlindungan tubuh yang bertujuan
mengeliminasi mikroorganisme tetapi dapat memberikan dampak peradangan,
gangguan hemodinamik hingga kegagalan organ 7. Vincent dkk menyatakan bahwa
mikroorganisme penyebab sepsis terbesar adalah endotoksin dari bakteri gram negatif
dengan persentase 62%, diikuti oleh eksotoksin dari bakteri gram positif, kandida dan
bakteri anaerob masing-masing 46%, 17%, dan 4,5% 8. Lapisan pertahanan epitel pada
kulit dan mukosa (paru, traktus gastrointestinal, traktus urogenital) merupakan
pertahanan tubuh pertama dalam melawan invasi mikroorganisme ini 7,9.

Mikroorganisme dapat masuk ke dalam jaringan apabila pertahanan tubuh di atas dapat
ditembus. Di dalam jaringan mikroorganisme tersebut akan dikenali, diingesti dan
dibunuh oleh sel-sel imunitas alamiah (fagosit). Beberapa resptor seperti Toll Like
Receptor (TLR), peptidoglycan-related protein receptors dan reseptor intraselular
dapat mengenali mikroorganisme patogen. Hal ini akan mengaktivasi kaskade
intraselular yang menghasilkan aktivasi Nuclear Transcription Factor-кB (NF-кB)
yang mengalami translokasi ke dalam nukleus sel imun. Apabila virulensi
mikroorganisme tersebut tinggi dan respon imun alamiah penjamu tidak mampu
melokalisir infeksi maka mikroorganisme tersebut beserta komponennya dapat
menyerang sirkulasi darah dan kemudian mengaktivasi sel-sel makrofag fagositik yang
berada jauh dari lokasi infeksi serta mendatangkan sel-sel inflamasi ke tempat infeksi
tersebut. Proses inflamasi ini akan menyebabkan disfungsi seluler dan kerusakan
jaringan yang mengarah pada disfungsi multiorgan dan kematian 7,9.

Ikatan antara reseptor dengan komponen mikroorganisme akan mengaktivasi


serangkaian respons imun humoral dan seluler yang bertujuan untuk mengeliminasi
mikroorganisme patogen, membatasi kerusakan jaringan dan mempertahankan
homeostasis organ. Aktivasi sel-sel imun ini menyebabkan pelepasan sejumlah
komponen seperti kemokin yang berfungsi mengatur migrasi leukosit ke daerah

2
inflamasi, sitokin dan protease. Sitokin terbagi menjadi sitokin proinflamasi seperti
interleukin-1 (IL-1), IL-2, IL-6, IL-8, IL-10, interferon gamma (INF-γ) dan sitokin
antiinflamasi. Sitokin ini sendiri memainkan peranan penting pada proses terjadinya
sepsis. Dalam beberapa jam pertama respons inflamasi akan dilepaskan sitokin
proinflamasi yaitu Tumour Necrosis Factor-α (TNF-α) dan IL-1β (Gambar 1) 7,9.

Gambar 1. Patogenesis sepsis


Dikutip dari (7)

Sitokin TNF-α dan IL-1β akan memacu produksi toxic downstream mediators,
termasuk prostaglandin, leukotrien, Platelet Activating Factor (PAF), dan fosfolipase
A2. Mediator ini merusak lapisan endotel yang menyebabkan peningkatan kebocoran
kapiler. Sitokin ini juga menyebabkan produksi molekul adhesi pada sel endotel dan
neutrofil. Interaksi endotel neutrofilik menyebabkan cedera endotel lebih lanjut melalui
pelepasan komponen neutrofil. Akhirnya neutrofil teraktivasi melepaskan Nitric Oxide
(NO). Hal ini memungkinkan neutrofil dan cairan mengalami ekstravasasi ke dalam
ruang ekstravaskular yang terinfeksi yang mengarah ke syok sepsis. Selama proses
inflamasi netrofil dan makrofag banyak menghasilkan Reactive Oxygen Species (ROS)
seperti superoxide dan NO. Keberadaan NO memberi keuntungan dan kerugian. Nitric

3
oxide (NO) mengatur mikrosirkulasi menuju organ vital dan turut berperan pada
eliminasi mikroorganisme patogen. Pelepasan NO secara berlebihan dan
berkepanjangan akan menimbulkan vasodilatasi menyeluruh dan berkaitan dengan
renjatan sepsis yang tidak responsif dengan vasopresor. Pada akhirnya gangguan
endotel ini menyebabkan disfungsi berbagai organ dan hipoksia di jaringan 7,9.

Mikroorganisme patogen beserta komponen-komponennya juga dapat menginduksi


sistem koagulasi (Gambar 2). Beberapa mekanisme gangguan koagulasi pada sepsis
yaitu pembentukan trombin yang diperantarai oleh Tissue Factor (TF) yang
diekspresikan pada pemukaan sel endotel, monosit, dan platelet ketika sel ini
distimulasi oleh toksin sitokin dan mediator lain. Pembentukan trombin oleh TF
merupakan tahap penting pada patogenesis sepsis. Pada awal kejadian sepsis terjadi
keseimbangan antara koagulasi serta inhibitornya dan fibrinolisis serta inhibitornya
sehingga mikrotrombus yang terbentuk cepat dilisiskan guna mencegah gangguan
perfusi organ. Bila sepsis berlangsung lama dan semakin berat akan terjadi
ketidakseimbangan proses homeostasis yang mengakibatkan deposit fibrin pada
mikrovaskuler, trombosis dan perdarahan sehingga terjadi Disseminated Intravascular
Coagulation (DIC) 4,7.

Gambar 2. Respon koagulan pada sepsis


Dikutip dari (4)

4
Sebagian besar individu dapat tercapai keseimbangan antara mediator proinflamasi
dengan mediator antiinflamasi sehingga homeostasis organ tercapai. Pada sebagian
individu respons antiinflamasi bisa lebih kuat sehingga terjadi anergi dan
kecenderungan untuk menderita infeksi nosokomial. Pada sebagian individu lainnya
keseimbangan terganggu dengan respon proinflamasi lebih kuat hingga menimbulkan
sindrom respons inflamasi sistemik (Systemic Inflammatory Response Syndrome atau
SIRS), disfungsi sistem multiorgan (Multi Organ Dysfunction System atau MODS),
syok sepsis dan akhirnya kematian 4.

DIAGNOSIS SEPSIS DAN SYOK SEPSIS


Sepsis adalah suatu keadaan dimana terjadi infeksi atau dugaan adanya infeksi disertai
respons inflamasi sistemik terhadap infeksi dengan karakteristik beberapa tanda dan
gejala perubahan parameter umum, parameter inflamasi, parameter hemodinamik,
parameter disfungsi organ dan parameter perfusi jaringan (Tabel 1). Sepsis berat adalah
sepsis dengan komplikasi disfungsi organ 10. Berdasarkan konsensus sepsis tahun 2016
dijelaskan tentang alur identifikasi sepsis dan syok sepsis yang menggunakan penilaian
skor the Sequential Organ Failure Assessment (SOFA) score yang meliputi gangguan
pernapasan, koagulasi, fungsi hati, kardiovaskuler, sistim saraf pusat dan fungsi ginjal
(Tabel 2 dan Gambar 3) 2.

Tabel 1. Kriteria diagnostik sepsis


INFEKSI
Bukti adanya infeksi atau dicurigai infeksi, diserta beberapa kritera berikut:

PARAMETER UMUM
Demam (suhu >38,3’C)
Hipotermia (suhu <36’C)
Denyut jantung >90 kali/menit atau >2 SD diatas nilai normal untuk usia.
Takipneu >30 kali/menit.
Perubahan status mental.
Edema nyata atau keseimbangan cairan positif (>20 ml/kg/24 jam).
Hiperglikemia (glukosa plasma >110 mg/dL) tanpa diabetes.

PARAMETER INFLAMASI
Lekositosis (lekosit >12.000/μL).
Lekopenia (lekosit <4.000/μL).
Hitung lekosit normal dengan >10% bentung lekosit muda (immature)
C Reactive Protein (CRP) plasma >2 SD diatas nilai normal.

5
Procalcitonin plasma >2 SD diatas nilai normal.

PARAMETER HEMODINAMIK
Hipotensi arterial (tekanan darah sistolik <90 mmHg, mean arterial pressure (MAP) <70,
atau tekanan darah sistolik menurun >40 mmHg pada orang dewasa atau <2 SD dibawah
nilai normal untuk usia.
Saturasi oksigen vena campuran >70%.
Indeks kardiak >3,5 l/menit.m2.

PARAMETER DISFUNGSI ORGAN


Hipoksemia arterial (PaO2/FiO2 <300).
Oligouri akut (urin <0,5 ml/kg/jam selama minimal 2 jam).
Peningkatan kreatinin ≥0,5 mg/dl.
Gangguan koagulasi (international normalized ratio/INR >1,5 atau aPTT >60 detik).
Ileus (tidak adanya bising usus).
Trombositopenia (hitung trombosit <100.000/μL).
Hiperbilirubinemia (bilirubin total plasma > 4 mg/dl atau 70 mmol/l).

PARAMETER PERFUSI JARINGAN


Hiperlaktatemia (>3 mmol/l).
Penurunan capillary refill atau mottling.
Dikutip dari (10)

Skor SOFA dibuat sederhana untuk memudahkan penggunaannya secara klinis.


Rentang total skor SOFA yaitu 0-24 merupakan gabungan skor masing-masing
parameter sistim organ, dimana nilai tinggi menunjukkan disfungsi organ berat. 2 Syok
sepsis adalah kegagalan sirkulasi akut ditandai dengan hipotensi arterial persisten yang
bukan disebabkan oleh penyebab lain. Kriteria hipotensi yaitu tekanan arterial sistolik
<90 mmHg, mean arterial pressure (MAP) <60, atau penurunan tekanan sistolik >40
mmHg dari baseline, walaupun sudah diberi resusitasi cairan adekuat, tanpa penyebab
lainnya.10

Tabel 2. Komponen penilaian skor SOFA


PARAMETER 0 1 2 3 4
RESPIRASI
PaO2/FiO2 (kPa) ≥400 <400 <300 <200 <100
(53,3) (53,3) (40) (6,7) dengan (13,3)
respirator dengan
respirator
KOAGULASI
Trombosit (x103/mm3). ≥150 <150 <100 <50 <20
HATI
Bilirubin (mg/dl)/ <1,2 1,2-1,9 2,0-59 6,0-11,9 >12,0

6
(µmol/L) (20) (20-32) (33-101) (102-204) (204)
KARDIOVASKULER
Hipotensi. MAP MAP <70 Dopamin Dopamin Dopamin
≥70 <5 atau 5,1-15/ >15/
Dobutamin Epineprin Epinefrin
≤0,1 atau ≤0,1 atau
Norepineprin Norepinefrin
≤0,1 ≤0,1
SSP
Glasgow Coma Scale. 15 13-14 10-12 6-9 <6
RENAL
Kreatinin (mg/dl)/ <1,2 1,2-1,9 2,0-3,4 3,5-4,9 >5,0
(µmol/L) (110) (110-170) (171-299) (300-440) (400)
atau
Jumlah urin (ml/d). <500 <200
Dikutip dari (2)

Pasien terduga sepsis

Monitor kondisi klinis,


evaluasi kembali terhadap
kemungkinan sepsis

Nilai disfungsi
organ A. Variabel qSOFA:
• Frekuensi napas
Monitor kondisi klinis, • Status mental
evaluasi kembali terhadap • Tekanan darah sistolik
kemungkinan sepsis
B. Variabel SOFA:
• Ratio PaO2/FiO2
• Skor GCS
• MAP
Meskipun resusitasi cairan • Penggunaan
telah adekuat,
Vasopresor
• Vasopresor untuk menjaga
MAP ≥65 mmHg dengan tipe dan dosis
• Kadar serum laktat >2 rerata
mmol/L • Serum kreatinin
• Produksi urin
• Bilirubin
• Jumlah platelet

Gambar 3. Alur identifikasi sepsis dan syok sepsis.


Dikutip dari (2)

7
AKSIS HYPOTHALAMIC PITUITARY ADRENAL (HPA) DAN SEPSIS
Respon tubuh terhadap stres dipengaruhi oleh komponen sentral (hipotalamus dan
batang otak) serta komponen perifer (aksis HPA, sistem saraf simpatis dan
adrenomedular). Pada sistem aksis HPA, Corticotropin Releasing Hormone (CRH)
menyebabkan hipofisis melepaskan Adrenal Corticotropin Hormone (ACTH).
Kemudian ACTH merangsang korteks adrenal untuk mensekresi kortisol. Kortisol
merupakan glukokortikoid alami kuat yang memiliki peran penting untuk menjaga
tonus vaskuler, integritas endotel, permeabilitas vaskuler dan distribusi cairan tubuh
intravaskuler. Kortisol juga memiliki efek antiinflamasi dalam mengurangi aktivasi
Nuclear Transcription Factor-кB (NF-кB) dan meningkatkan sintesa sitokin
antiinflamasi (IL-6). 6,11-13

Jika sistem ini menghasilkan terlalu banyak ACTH maka kortisol juga akan semakin
meningkat. Kortisol ini akan kembali mempengaruhi dan menghambat produksi CRH
oleh hipotalamus serta menurunkan kepekaan sel-sel penghasil ACTH terhadap CRH
dengan bekerja secara langsung pada hipofisis anterior. Melalui pendekatan ganda ini,
kortisol melakukan kontrol umpan balik negatif untuk menstabilkan konsentrasinya
sendiri dalam plasma. Apabila kadar kortisol mulai turun maka efek inhibisi kortisol
pada hipotalamus dan hipofisis berkurang sehingga faktor-faktor yang merangsang
peningkatan sekresi kortisol (CRH-ACTH) akan meningkat. Sistem ini bisa mengalami
perubahan tergantung pada kebutuhan fisiologis akan kortisol (Gambar 3) 11-13.

Pada saat terjadi sepsis, tubuh berada dalam kondisi stres sehingga sistem saraf
simpatik akan teraktivasi dan mengeluarkan kortisol serta katekolamin endogen untuk
mempertahankan keseimbangan hemostatis. Pada keadaan ini terjadi peningkatan
kadar kortikotropin plasma (adrenal corticotropin hormone atau ACTH) yang
diproduksi kelenjar hipofisis dan peningkatan sekresi kortisol dari zona fasikulata
korteks adrenal 11,12. Sitokin inflamasi yang muncul pada keadaan sepsis ikut memiliki
peranan dalam merangsang dan menekan kerja aksis HPA. Kehadiran IL-1β dan IL-6
di perifer juga dapat meningkatkan kadar CRH, ACTH dan glukokortikoid 6,11,12.

8
Stres seperti stres fisik,
emosional, hipoglikemi,
paparan dingin, nyeri

Gambar 4. Aksis Hypothalamic Pituitary Adrenal (HPA)


Dikutip dari (14)

Sitokin-sitokin inflamasi ini juga mampu merangsang hipofisis dan adrenal secara
langsung untuk mensekresi ACTH dan glukokortikoid. Tumor Necrosis Factor-α
dapat mengganggu stimulasi hipofisis oleh CRH dan fungsi kelenjar adrenal, serta
menghambat sintesis kortisol sehingga menyebabkan insufisiensi adrenal. Sintesis
kortisol yang terhambat menyebabkan waktu paruh kortisol menjadi memanjang
disertai berkurangnya afinitas kortisol terhadap reseptor glukokortikoid sehingga
kortisol dalam serum meningkat. Peningkatan kortisol dalam serum meyebabkan
resistensi glukokortikoid. Dengan kondisi tersebut kaskade inflamasi tidak teregulasi
dengan baik dan menyebabkan disfungsi di berbagai sistem organ. Pemberian
suplementasi kortikosteroid eksogen sebagai terapi adjuvan pada sepsis diduga dapat
menurunkan respon imun dan memperbaiki vaskularisasi sehingga suplai oksigen di
jaringan tetap terjaga. Walaupun demikian pemberian kortikosteroid pada kasus sepsis
masih kontroversi 6,11,12.

9
PERANAN KORTIKOSTEROID PADA SEPSIS

Korteks adrenal memproduksi dua kelas utama hormon steroid (kortikosteroid) yaitu
glukokortikoid dan mineralokortikoid. Glukokortikoid terutama berperan pada
metabolisme karbohidrat, lemak dan protein sedangkan mineralokortikoid berperan
dalam pengaturan keseimbangan elektrolit dan air. Kortikosteroid yang dikenal dengan
beberapa istilah yaitu glukokortikosteroid, glukokortikoid atau hanya disebut dengan
steroid yang secara luas digunakan saat ini. Kortisol atau hidrokortison merupakan
glukokortikoid alami yang paling kuat. Sedangkan obat-obat sintetik seperti prednison,
prednisolon dan deksametason merupakan turunan hidrokortison 15.

Kortikosteroid sintetik digunakan sebagai obat utama dalam beberapa penyakit


inflamasi untuk menekan proses proinflamasi yang berlebihan, seperti pada asma,
penyakit kolagen, vaskulitis, dan penyakit autoimun. Efek antiinflamasi inilah yang
menyebabkan kortikosteroid sintetik pada awalnya dipikirkan dapat memperbaiki
perjalanan penyakit dan menurunkan mortalitas pada syok sepsis. Dampak
antiinflamasi kortikosteroid tertera pada Tabel 3. Selain efek antiinflamasi
kortikosteroid juga memiliki beberapa fungsi lain pada syok sepsis, yaitu menghambat
enzim nitrit oksida sintase yang memiliki efek vasodilatasi, sehingga hemodinamik
tetap terjaga stabil 15,16.

Kortikosteroid diketahui memiliki efek yang luas dalam tubuh oleh karena reseptornya
juga tersebar luas di seluruh bagian tubuh. Pada sistem kardiovaskuler kortikosteroid
memberikan efek yang penting seperti meningkatkan respons pembuluh darah terhadap
pemberian katekolamin eksogen, menjaga tonus vaskuler, mengatur permeabilitas
vaskuler, mengatur pengeluaran kalium dan potasium serta mengatur pengeluaran air.
15,16
. Kortikosteroid juga memegang peranan penting terhadap metabolisme glukosa
dengan merangsang glukoneogenesis dan glikogenolisis di hati serta mempromosikan
sekresi glukagon dan adrenalin. Kortikosteroid akan menghambat ambilan glukosa di
seluler dengan menginduksi resistensi insulin perifer sehingga menyebabkan
peningkatan glukosa dalam darah 11.

10
Tabel 3. Efek anti inflamasi kortikosteroid
Efek melalui Efek pada Efek pada netrofil Efek lain
lipokortin interleukin
• Membantu sel • Menghambat • Stabilisasi lisosom • Mencegah aktivasi
PMN* berespon sintesis IL-1. netrofil. kaskade
terhadap stimulus. • Menghambat IL- • Menghambat komplemen.
• Menghambat 6. pelepasan enzim • Menghambat NO
fosfolipase A2 dan • Menurunkan lisosom. sintase eksogen.
mencegah waktu paruh • Menghambat • Mengurangi PAF
pembentukan mRNA IL-3. kemotaksis. pada pelepasan
prostaglandin. • Menurunkan • Mengurangi endotoksin.
• Perubahan pada kinerja sitokin dan respon inflamasi.
Ca2+ terikat faktor • Mencegah
membran. pertumbuhan. hiperagregasi dan
• Menurunkan adhesi leukosit
kemampuan yang dipicu
netrofil dalam endotoksin.
melepaskan
metabolit oksigen
aktif.
Dikutip dari (16)

Pada kondisi syok sepsis atau sepsis dapat menyebabkan suatu keadaan insufisiensi
adrenal relatif. Penyebab tersering insufisiensi adrenal akut adalah sindrom respons
inflamasi sistemik dan sepsis yang bersifat reversibel jika proses inflamasinya segera
ditangani. Konsentrasi kortisol pada menit 30 dan 60 yang kurang dari 18 μg/dL atau
kenaikan kortisol kurang dari 9 μg/dL disepakati oleh beberapa ahli sebagai parameter
11
penegakan insufisiensi adrenal . Penelitian Annane dkk terhadap pasien dengan
insufisiensi adrenal relatif yang diberi terapi hidrokortison (50 mg intravena tiap 6 jam)
dan fludrokortison (50 μg oral/hari) selama 7 hari menunjukan tingkat mortalitas lebih
rendah pada pasien syok sepsis dengan insufisiensi adrenal 17.

PEMBERIAN KORTIKOSTEROID PADA SEPSIS

Peranan kortikosteroid pada beberapa penyakit telah terbukti bermanfaat. Namun pada
sepsis penggunaan kortikosteroid menjadi kontroversi selama lebih dari lima dekade.
Pada awal dekade kortikosteroid diberikan dalam dosis tinggi. Namun adanya beberapa
laporan efek samping yang timbul dan tidak adanya perbedaan mortalitas dibanding
plasebo maka penggunaan kortikosteroid pada sepsis dihentikan. Lebih dari satu

11
dekade terakhir kortikosteroid pada sepsis semakin banyak digunakan namun dengan
17
dosis yang lebih mendekati kadar fisiologis . Awal mula pemberian kortikosteroid
dimulai dari temuan data preklinik yang menyebutkan bahwa terdapat perbaikan
hemodinamik pada hewan percobaan yang diberikan endotoksin dosis letal atau
diinfeksi dengan E.coli yang hidup dan diberi terapi dengan kortikosteroid dosis tinggi.
Setelah data preklinik tersebut, atas dasar keyakinan bahwa sepsis merupakan suatu
respons inflamasi dilakukanlah beberapa uji klinis terhadap pasien sebagai usaha untuk
menentukan keuntungan dari penggunaan kortikosteroid dalam tatalaksana pasien
sepsis berat dan syok sepsis 18.

Selama tahun 1970 hingga 1990 telah banyak penelitian yang memperlihatkan kerja
kortikosteroid dosis tinggi seperti metilprednisolon (30 mg/kg) atau deksametason (3-
6 mg/kg). Pada tahun 1976 penelitian fenomenal oleh Schumer menunjukan bahwa
pemakaian kortikosteroid dosis tinggi menunjukkan mortalitas yang lebih rendah
(10,4% metilprednisolon dan 9,3% deksametason) dibandingkan dengan plasebo yang
menggunakan larutan salin normal saja (38,4%) pada 172 pasien dengan syok sepsis.
Schumer juga mempublikasikan studi retrospektif pada 328 pasien, dengan mortalitas
42,5% pada pasien dengan terapi larutan normal salin dibandingkan 14% dengan terapi
tambahan kortikosteroid. 19.

Beberapa uji klinis yang dilakukan pada pertengahan tahun 1980-an justru gagal
menunjukan mamfaat dalam pencegahan syok, perbaikan syok, atau mortalitas setelah
20-22
diberikan kortikosteroid dosis tinggi . Bahkan penelitian meta-analisis yang
dilakukan oleh Cronin dkk menunjukan peningkatan angka mortalitas pada kelompok
yang mendapatkan kortikosteroid dosis tinggi disertai dengan laporan angka kejadian
kasus perdarahan saluran cerna akibat pemberian kortikosteroid dosisi tinggi 23. Setelah
laporan ini klinisi berhenti menggunakan kortikosteroid dosis tinggi untuk pasien
sepsis dan syok sepsis. Pada pemberian kortikosteroid dosis tinggi dapat menyebabkan
penekanan pada aksis HPA sehingga sekresi hormon kortikotropin akan berkurang dan
akibat supresi pada adrenal menyebabkan terjadi insufisiensi absolut hormon adrenal
seperti adrenalin, noradrenalin serta mineralokortikoid yang selanjutnya akan

12
menyebabkan kelainan tonus pembuluh darah perifer, kelainan elektrolit dan
metabolisme karbohidrat yang dapat menstimulasi terjadinya syok sepsis 24.

Pada akhir tahun 1990-an dan awal 2000-an para klinisi kembali menggunakan
kortikosteroid namun dalam dosis lebih rendah atau dosis fisiologis, yaitu 200-300 mg
17,18
hidrokortison sehari intravena . Hal ini didasari akibat terjadinya insufisiensi
adrenal relatif pada kondisi sepsis yang menunjukkan tertekannya sensitivitas
vasopresor terhadap katekolamin dan tidak respon dalam menanggapi rangsangan
kortikotropin 25,26. Penelitian Annane dkk terhadap pasien dengan insufisiensi adrenal
relatif yang diberi terapi hidrokortison (50 mg IV tiap 6 jam) dan fludrokortison (50 μg
oral/hari) selama 7 hari menunjukan tingkat mortalitas lebih rendah pada pasien syok
sepsis dengan insufisiensi adrenal tanpa peningkatan efek samping dari terapi tersebut
17
.

Berdasarkan panduan Surviving Sepsis Campaign tahun 2016, kortikosteroid hanya


digunakan pada pasien syok sepsis jika resusitasi cairan dan terapi vasopressor tidak
dapat menstabilkan hemodinamik. Pada kasus seperti ini pemberian kortikosteroid
dinilai dapat menurunkan kebutuhan vasopressor dan mengatasi syok lebih cepat.
Pemulihan vaskular di perifer membaik sehingga perfusi dan kerusakan organ dapat
lebih cepat teratasi 1. Penelitian Briegel dkk mengevaluasi hiperdinamik dini pasien
syok sepsis yang diberi terapi hidrokortison (100 mg diikuti dengan 0,18 mg/kg/jam
secara intravena selama 6 hari) dan dilanjutkan dengan tappering memperlihatkan
kelompok yang diberi hidrokortison membutuhkan lebih sedikit terapi vasopressor dan
angka kejadian disfungsi organ lebih rendah dibandingkan dengan kelompok plasebo
(2 hari versus 7 hari) 27.

Penelitian meta-analisis oleh Sligl dkk. pada tahun 2009 tidak menemukan perbedaan
yang signifikan terhadap angka mortalitas tetapi didapatkan perubahan renjatan syok
28
dalam 7 hari setelah diberi kortikosteroid dosis rendah (64,9% versus. 47,5%) .
Penelitian lainnya oleh Wang dkk pada tahun 2014 yang melakukan meta-analisis
terhadap delapan studi menemukan terapi hidrokortison dosis rendah tidak menunjukan
perubahan terhadap angka mortalitas tetapi angka kejadian renjatan syok berkurang

13
29
pada hari ke 7 dan 28 . Hasil yang sama didapatkan pada Cochrane Review oleh
Annane dkk yang menemukan peningkatan perbaikan syok pada hari ke 7 dan 28 pada
pasien yang mendapatkan terapi kortikosteroid dosis rendah 30.

Pemberian kortikosteroid dosis rendah seperti hidrokortison juga dapat menurunkan


inflamasi yang terjadi melalui beberapa mekanisme, antara lain menurunkan agregrasi
trombosit dan adhesi sel, menaikkan regulasi dari faktor anti-inflamasi seperti
fagositosis, kemokinesis dan proses antioksidatif serta menginduksi monosit spesifik
31
yang bersifat anti-inflamasi . Penelitian Oppert dkk dengan menggunakan
hidrokortison intravena 50 mg diikuti oleh 0,18 mg/kg/jam menunjukan terdapat
perbaikan syok yang lebih cepat dan durasi terapi vasopressor lebih singkat disertai
dengan penurunan produksi sitokin proinflamasi yang menunjukkan perbaikan
hemodinamik dan imunomodulator 32.

Hasil beberapa penelitian memang menunjukan pemberian kortikosteroid dosis rendah


dapat memperbaiki renjatan syok pada sepsis, akan tetapi angka mortalitas tidak
menunjukan perbedaan yang signifikan. Penelitian skala besar yang dilakukan
CORTICUS (Corticosteroid Therapy of Septic Shock) pada tahun 2008 yang
mengikutsertakan hampir 500 subjek memperlihatkan bahwa hidrokortison tidak
meningkatkan kelangsungan hidup baik secara keseluruhan atau pada pasien yang tidak
33
memiliki respons terhadap kortikotropin . Hasil ini berbeda dengan penelitian
multisenter oleh Annane dkk yang meneliti pasien syok sepsis yang tidak responsif
terhadap vasopresor (terjadi hipotensi meskipun telah diberikan resusitasi cairan dan
vasopressor selama lebih dari 1 jam) menunjukkan perbaikan syok yang signifikan dan
pengurangan angka kematian pada pasien dengan insufisiensi adrenal relatif (kortisol
≤ 9 ug/dL) 17
. Tabel 4 menunjukan beberapa hasil penelitian yang menggunakan
kortikosteroid dosis rendah pada pasien syok sepsis dan sepsis.

Tabel 4. Hasil penelitian yang menggunakan kortikosteroid dosis rendah pada pasien
syok sepsis dan sepsis.
Penelitian Jumlah Terapi Hasil Utama Kesimpulan
studi Kortikoteroid
Bollaert 34 41 Hidrokortison 100 Perbaikan syok Pemberian terapi
(1998) mg/8jam selama 5 hidrokortison secara

14
hari kemudian Hemodinamik signifikan
disapih selama >6 meningkatkan status
hari Angka hemodinamik pada
mortalitas syok sepsis. Terjadi
perbaikan syok setelah
7 hari pemberian
steroid merupakan
prediktor yang kuat
untuk survival.

Briegel 27 40 Hidrokortison 100 Perbaikan syok Kelompok yang


(1999) mg (loading) diikuti diberikan
0,18 mg/kg/jam Durasi hidrokortison
secara IV hingga pemberian membutuhkan lebih
perbaikan syok vasopresor sedikit terapi
kemudian disapih vasopressor dan angka
selama >6 hari kejadian disfungsi
organ lebih rendah
dibandingkan dengan
kelompok kontrol.

Annane 17 300 Hidrokortison (50 Angka Tingkat mortalitas


(2002) mg IV tiap 6 jam) mortalitas lebih rendah pada
dan fludrokortison dalam 28 hari pasien syok sepsis
(50 μg oral/hari) pada pasien dengan insufisiensi
selama 7 hari. syok sepsis dan adrenal pada kelompok
insufisiensi hidrokortison dan tidak
adrenal. ditemukan
peningkatan efek
samping.

Oppert 32 41 Hidrokortison 50 Perbaikan syok Pemberian terapi


(2005) mg bolus, hidrokortison
kemudian 0,18 Profil sitokin meningkatkan
mg/kg/jam sampai perbaikan syok dan
vasopressor Durasi penurunan produksi
dihentikan, lalu pemberian sitokin proinflamasi.
disapih 0,06 vasopresor Waktu pemberian
mg/kg/jam selama vasopresor lebih
24 jam, kemudian singkat.
dikurangi 0,02
mg/kg/ jam.

Sprung 33 499 Hidrokortison 50 Angka Hidrokortison dosis


CORTICUS mg/6 jam untuk 5 mortalitas rendah tidak
(2008) hari lalu 50 mg/12 dalam 28 hari meningkatkan angka
jam untuk 3 hari, antara grup kelangsungan hidup
kemudian, 50 yang memiliki atau perbaikan syok
respon pada pasien dengan

15
mg/24 jam selama 3 kortikotropin syok sepsis baik secara
hari. atau tidak keseluruhan atau pada
terhadap pasien yang tidak
plasebo. memiliki respons
terhadap kortikotropin

Keh 35 380 Bolus hidrokortison Menilai Terdapat kejadian


HYPRESS iv 50mg diikuti oleh perkembangan superinfeksi, termasuk
(2016) infus hidrukortison sepsis dalam 14 sepsis baru dan syok
200 mg/24 jam hari sepsis.
selama 5 hari, Pasien sepsis berat
kemudian 100 mg yang tidak dalam syok
untuk hari 6 dan 7, sepsis, pemberian
kemudian 50 mg hidrokortison tidak
pada hari 8 dan 9 mengurangi risiko
serta 25 mg pada syok sepsis dalam 14
hari 10 dan 11. hari.

Lv 36 118 Hidrokortison 200 Angka Inisiasi awal


(2017) mg/hari IV selama mortalitas hidrokortison dosis
6 dalam 28 harirendah tidak
hari, dan kemudian menurunkan risiko
tappering off. Lama rawatan kematian dan lamanya
di ICU dan rawatan di ICU atau
Rumah Sakit rumah sakit pada
pasien dengan syok
sepsis.

Annane 37 1241 Bolus hidrokortison Angka Angka mortalitas


APROCCHSS IV 50 mg/6 jam, mortalitas dalam 90 hari lebih
(2018) fludrocortisone dalam 90 hari rendah pada kelompok
tablet 50 μg/hari. yang menerima
hidrokortison dan
fludrocortisone
daripada yang
menerima
plasebo.

Venkatesh 38 3800 Hidrokortison 200 Angka Pasien syok sepsis


ADRENAL mg/hari selama 7 mortalitas dengan ventilasi
(2018) hari. dalam 90 hari mekanis yang
mendapatkan terapi
hidrokortison tidak
menunjukan angka
mortalitas dalam 90
hari lebih rendah
daripada plasebo.

16
Pemakaian hidrokortison lebih disukai dibandingkan glukokortikoid lainnya pada
pasien dengan syok sepsis. Beberapa alasan mengapa hidrokortison lebih disukai
adalah banyak pengalaman yang menggunakan hidrokortison sebagai kortikosteroid
dosis rendah untuk mengatasi pasien syok sepsis, selain itu hidrokortison merupakan
sintetik kortisol yang sama dengan kortisol fisiologis sehingga dapat secara langsung
menggantikan kortisol dan tidak tergantung pada transformasi metabolik.
Hidrokortison juga memiliki aktivitas mineralokortikoid sementara tidak pada
metilprednisolon maupun deksametason. Penelitian Gibbison dkk menyebutkan bahwa
pemberian hidrokortison bolus lebih baik dalam memperbaiki syok pada pasien sepsis
dibandingkan dengan metil prednisolon bolus dan plasebo 40. Penelitian yang dilakukan
oleh Reincke dkk juga menyebutkan bahwa deksametason dapat menyebabkan
penekanan yang lebih cepat dan lama pada aksis HPA setelah diberikan 41.

EFEK SAMPING PEMAKAIAN KORTIKOSTEROID PADA PASIEN SEPSIS.

Efek samping yang dihasilkan oleh pemberian kortikosteroid dosis tinggi cukup
banyak dilaporkan. Gejala akut yang terjadi meliputi superinfeksi, hiperglikemia,
kelemahan otot, hipernatremia, perdarahan saluran cerna bagian atas, aritmia, psikosis,
39
dan penyembuhan luka yang buruk . Beberapa studi telah mencatat bahwa
kortikosteroid dosis tinggi menyebabkan superinfeksi dibandingkan kortikosteroid
dosis rendah. Meskipun beberapa studi tidak menunjukkan peningkatan kejadian
17,27
superinfeksi , studi CORTICUS yang menggunakan kortikosteroid dosis rendah
justru menunjukkan peningkatan tingkat superinfeksi, termasuk kasus sepsis baru atau
syok sepsis 33.

Pada pasien dengan penyakit yang berat juga rentan terhadap infeksi virus. Sebuah
studi menunjukkan bahwa pasien dengan sepsis lebih rentan untuk terkena infeksi
cytomegalovirus. Studi lain juga menunjukkan bahwa infeksi cytomegalovirus
dikaitkan dengan kortikosteroid yang digunakan pada pasien ICU dan memiliki angka
mortalitas yang lebih besar, durasi pemakaian ventilasi mekanik yang lebih lama serta
waktu rawatan ICU yang lama. Studi juga mencatat angka kejadian

17
polyneuromyopathy yang tinggi pada pasien kritis yang menerima terapi kortikosteroid
dosis tinggi 39.

Beberapa klinisi mempercayai bahwa kortikosteroid yang diberikan kepada pasien


syok sepsis mungkin dapat membantu mencegah terjadinya Acute Respiratory Distress
Syndrome (ARDS). Sebuah meta-analisis justru menunjukkan pasien yang menerima
terapi kortikosteroid memiliki tingkat perkembangan ARDS yang lebih tinggi
dibandingkan plasebo.(37% versus 17%). Penelitian meta-analisis ini juga menunjukan
angka kematian yang cukup tinggi pada pasien yang mendapat kortikosteroid yang
menjadi ARDS dibandingkan plasebo (52% versus 39%) 38.

Kortikosteroid dosis tinggi juga menyebabkan penekanan pada aksis HPA sehingga
sekresi hormon kortikotropin akan berkurang yang menyebabkan penekanan pada
adrenal sehingga terjadi insufisiensi absolut hormon adrenal misalnya adrenalin dan
noradrenalin serta mineralokortikoid yang selanjutnya akan menyebabkan kelainan
tonus pembuluh darah perifer, kelainan elektrolit dan metabolisme karbohidrat
sehingga menstimulasi terjadinya syok sepsis 24.

REKOMENDASI PEMBERIAN KORTIKOSTEROID PADA SEPSIS DAN


SYOK SEPSIS

Penggunaan kortikosteroid sebagai terapi tambahan untuk manajemen sepsis berat atau
syok sepsis membutuhkan beberapa pertimbangan. Pertimbangan pertama dalam
diagnosis dan manajemen pasien dengan syok sepsis merupakan keseluruhan dari
pemberian terapi antimikroba, mengontrol sumber infeksi, dan pemberian resusitasi
cairan. Vasopressor diberikan sesuai dengan kebutuhan untuk memperbaiki perfusi jika
pasien gagal memberi respon rehidrasi cairan sesuai dengan pedoman Surviving Sepsis
Campaign (SSC) 2016 6. Jika tindakan ini tidak tercapai maka disarankan pemberian
hidrokortison intravena dengan dosis 200 mg/hari. Alasannya adalah respon pasien
syok sepsis terhadap pemberian cairan dan terapi vasopresor menjadi faktor penting
dalam menentukan pemilihan pasien untuk pemberian terapi hidrokortison.

18
Penggunaan kortikosteroid pada kasus sepsis tidak meningkatkan angka morbiditas
maupun mortalitas 1.

Pertimbangan selanjutnya adalah kontraindikasi yang harus diperhatikan apabila


terdapat potensi resiko memburuknya miopati dengan obat penghambat
neuromuskular, ketoasidosis diabetes, virus human immunodeficiency, tuberkulosis,
pasca operasi dengan luka yang terbuka, dan riwayat ulkus peptikum. Jika terdapat
faktor resiko ini seharusnya kortikosteroid dihindari jika memungkinkan 6. Pada kasus
dengan insufisiensi adrenal berdasarkan pedoman SSC 2016 tes stimulasi ACTH tidak
digunakan untuk identifikasi pasien syok sepsis mana yang harus diberi hidrokortison
1
. Satu penelitian yang dilakukan oleh Annane menyatakan potensi manfaat interaksi
antara kortikosteroid dan tes stimulasi ACTH pada pasien sepsis berat dan syok sepsis
tidak signifikan secara statistik. Selain itu, untuk mengukur konsentrasi kortisol
umumnya digunakan metode immunoassay total cortisol (protein-bound dan kortisol
bebas) sehingga tidak menggambarkan kosentrasi kortisol bebas yang sebenarnya 17.

Regimen kortikosteroid yang umum dipakai sebagai terapi yaitu hidrokortison


intravena infus 100 mg/8 jam atau 50 mg/6 jam. Pilihan lain juga tersedia seperti 100
mg intravena bolus diikuti oleh infus 0,18 mg/kg/jam IV 6. Penelitian meta-analisis
terbaru menunjukkan bahwa tidak ada satu pun regimen pengobatan dengan
kortikosteroid dosis rendah yang efektif dalam mengurangi angka mortalitas, meskipun
hidrokortison lebih cenderung dikaitkan dengan perbaikan yang cepat pada status
hemodinamik dan pengurangan durasi pemakaian vasopressor 40. Fludrokortison tidak
disarankan saat ini, karena studi COIITSS menunjukkan peningkatan risiko infeksi 1,42.
Pemberian kortikosteroid sebaiknya dilakukan dalam 24 jam sejak onset dari syok
sepsis 31.

Pemberian kortikosteroid dihentikan ketika pasien tidak lagi memerlukan terapi


vasopresor 1. Beberapa pedoman merekomendasikan tapering off karena penghentian
kortikosteroid secara tiba-tiba dapat menyebabkan peningkatan mediator inflamasi dan
memperburuk keadaan hemodinamik 33. Setelah pemberian hidrokortison selama 5 hari
dosis mulai di sapih selama 3 sampai 6 hari (diturunkan menjadi 50 mg setiap 12 jam,

19
31
lalu 50 mg setiap 24 jam sebelum berhenti) . Namun beberapa pedoman tidak
1,38
menyarankan tapering off karena tidak menunjukkan adanya keuntungan .
Kortikosteroid dapat diindikasikan ketika ada riwayat terapi kortikosteroid atau
disfungsi adrenal, tetapi apakah kortikosteroid dosis rendah memiliki potensi
pencegahan dalam mengurangi kejadian sepsis dan syok sepsis pada pasien kritis
belum dapat dijawab 1.

Sebagian ahli tidak mendukung pemberian kortikosteroid secara empiris pada sepsis
dengan beberapa alasan. Pertama, respons terhadap kortikotropin ditemukan dengan
tingkat yang bervariasi pada berbagai penelitian dan setengah dari seluruh pasien
memberikan respons normal sehingga membuktikan pentingnya pemeriksaan
kortikotropin terlebih dahulu sebelum pemberian kortikosteroid. Kedua, efek samping
akibat kortikosteroid cukup sering terjadi, seperti infeksi sekunder, perdarahan saluran
cerna, dan peningkatan kadar gula darah yang akhirnya ikut meningkatkan mortalitas.
Ketiga, sebagian penelitian yang mendukung terapi kortikosteroid empiris pada pasien
sepsis memiliki kekurangan, misalnya dalam hal pemilihan subjek. Ada kemungkinan
bahwa sebagian subjek yang diikutsertakan dalam penelitian sebenarnya mengalami
insufisiensi adrenal primer atau sekunder. Gambaran klinis krisis adrenal terkadang
sulit dibedakan dengan syok sepsis. Bila pasien dengan insufisiensi adrenal sejati
masuk ke dalam kelompok plasebo dan tidak mendapat kortikosteroid akan
memberikan kesintasan yang buruk sehingga hasilnya seakan-akan mendukung
kelompok steroid 16.

20
KESIMPULAN

1. Sepsis merupakan sindrom klinis akibat respon tubuh terhadap adanya infeksi
sedangkan syok sepsis adalah kegagalan sirkulasi akut ditandai dengan hipotensi
arterial persisten walaupun sudah diberi resusitasi cairan adekuat tanpa penyebab
lainnya.
2. Kortikosteroid memiliki efek yang luas dalam tubuh oleh karena reseptornya juga
tersebar luas di seluruh bagian tubuh terutama sebagai antiinflamasi namun juga
memiliki efek samping yang besar pula.
3. Penggunaan kortikosteroid pada kasus sepsis menjadi kontroversi karena sebagian
penelitian gagal menunjukan perbaikan angka mortalitas walaupun dapat
memperbaiki keadaan syok.
4. Rekomendasi penggunaan kortikosteroid pada sepsis menurut SSC tahun 2016 yaitu
pemberian hidrokortison intravena <200 mg/hari apabila status hemodinamik pada
pasien syok sepsis tidak dapat diperbaiki setelah pemberian resusitasi cairan dan
terapi vasopresor yang adekuat.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Rhodes A, Evans LE, Alhazzani W, Levy MM, Antonelli M, Ferrer R, et al.


Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines for Management of Sepsis
and Septic Shock. 2016. Crit Care Med 2017;45:486–552.
2. Singer M, Deutschman CS, Seymour CW, Shankar-Hari M, Annane D, Bauer M,
et al. The Third International Consensus Definitions for Sepsis and Septic Shock
(Sepsis-3). JAMA. 2016;315(8):801-10.
3. Machado F. Overview of Sepsis in Low- and Middle-Income Countries. In: WHO.
WHO Sepsis Technical Expert Meeting. World Health Organization. 2018;14.
4. Russell JA. Management of sepsis. N Engl J Med. 2006;355(16):1699-713.
5. Arifin, Trilaksmi A, Semedi BP, Pangalila FJV, Razi F, Wisudarti CF, et al.
Penatalaksanaan sepsis dan syok sepsis. Jakarta: PERDICI. 2017;p.2-5
6. Long B, Koyfman A. Controversies in Corticosteroid Use for Sepsis. J Emerg
Med. 2017;53(5):653-61.
7. Han J, Cribbs SK, Martin GS. Sepsis, Severe Sepsis, and Septic Shock. In: Hall
JB, Schmidt GA, Kress JP. Principles of Critical Care. Fourth Edition. Mc Graw-
Hill Education. United States. 2015;5(64):562-75.
8. Vincent JL, Rello J, Marshall J, Silva E, Anzueto A, Martin CD. International
Study of the Prevalence and Outcomes of Infection in Intensive Care Units. JAMA.
2009;302(21):2323-9.
9. Abbas AK, Litchtman AH, Pillai S. Overview of Immune Responses to Microbes.
In: Basic Immunology: Function and Disorders of the Immune System, 5th
Edition. Philadelphia: Elsevier Saunders. 2016:21-2.
10. Levy MM, Fink MP, Marshall JC, et al. 2001 SCCM/ESICM/ACCP/ATS/SIS
International Sepsis Definitions Conference. Intensive Care Med 2003;29:530-8.
11. Polito A, Aboab J, Annane D. The Hypothalamic Pituitary Adrenal Axis. In:
Chadwick DJ, Goode J. Sepsis: New Insights, New Therapies. John Wiley & Sons,
Ltd. British. 2007;(280):182-203.
12. Annane D. The Role of ACTH and Corticosteroids for Sepsis and Septic Shock:
An Update. Front. Endocrinol. 2016;7(70):1-7.
13. Weismüller K, Bauer M, Hofer S, Weigand MA.The neuroendocrine axis and the
pathophysiology of sepsis. Anasthesiol Intensivmed Notfallmed Schmerzther.
2010;45(9):574-8.
14. Desmet SJ, Beck IM, Bougarne N, Clarisse D, Deckers J, Ratman D, et al. The
increasing complexity of glucocorticoid receptor signaling and regulation. P Belg
Roy Acad Med. 2014;3:33-52.

22
15. Chrousos GP, George P. Adrenocorticosteroids and Adrenocortical Antagonists.
In: Katzung BG, Trevor AJ. Basic & Clinical Pharmacology. 13th Ed. Boston,
McGraw-Hill 2014;39:982-1004.
16. Ariani DW, Alan RT. Penggunaan Steroid dalam Tata Laksana Sepsis Analisis
Kasus Berbasis Bukti. Sari Pediatri. 2010;11(6):387-94.
17. Annane D, Sebille V, Charpentier C, Bollaert PE, Francois B, Korach JM, dkk.
Effect of treatment with low doses of hydrocortisone and fludrocortisone on
mortality in patients with septic shock. JAMA. 2002;288(7):862-71.
18. Patel GP, Balk RA. Systemic Steroids in Severe Sepsis and Septic Shock. Am J
Respir Crit Care Med. 2012;185(2):133–9.
19. Schumer W. Steroid in the treatment of clinical septic shock. Ann Surg
1976;184(3):333-41.
20. Sprung CL, Caralis P, Marcial E, Pierce M, Gelbard M, Long W, et al. The effects
of high-dose corticosteroids in patients with septic shock. A prospective,
controlled study. N Engl J Med. 1984;311(18):1137-43.
21. Bone RC, Fisher CJJ, Clemmer TP, Slotman GJ, Metz CA, Balk RA: A controlled
clinical trial of high-dose methylprednisolone in the treatment of severe sepsis and
septic shock. N Engl J Med. 1987;317(11):653-8.
22. Veterans Administration Systemic Sepsis Cooperative Study Group: Effect of
high-dose glucocorticoid therapy on mortality in patients with clinical signs of
systemic sepsis. N Engl J Med. 1987;317(11):659-65.
23. Cronin L, Cook DJ, Carlet J, et al. Corticosteroid treatment for sepsis: a critical
appraisal and meta-analysis of the literature. Crit Care Med. 1995;23:1430–9.
24. Hermawan GA. Imunologi, Diagnosis, dan Penatalaksanaan Sepsis. Dalam
Hermawan GA, Steroid dosis rendah pada penatalaksanaan sepsis. Sebelas Maret
University Press.Surakarta. 2011.
25. Annane D, Bellissant E, Sebille V, et al. Impaired pressor sensitivity to
noradrenaline in septic shock patients with and without impaired adrenal reserve.
Br J Clin Pharmacol. 1998;46:589–97.
26. Annane D, Sebille V, Trocke G, et al. A 3-level prognostic classification of septic
shock based on cortisol level and cortisol response to corticotropin. JAMA.
2000;283:1038–45.
27. Briegel J, Frost H, Haller M, et al. Stress doses of hydrocortisone reverse
hyperdynamic septic shock: a prospective, randomized, double-blind, single center
study (Abstract). Crit Care Med. 1999;27:723–32.
28. Sligl WI, Milner DA Jr, Sundar S, et al. Safety and efficacy of corticosteroids for
the treatment of septic shock: a systematic review and meta-analysis. Clin Infect
Dis 2009;49:93–101.

23
29. Wang C, Sun J, Zheng J, et al. Low-dose hydrocortisone therapy attenuates septic
shock in adult patients but does not reduce 28-day mortality: a meta-analysis of
randomized controlled trials. Anesth Analg 2014;118:346–57.
30. Annane D, Bellissant E, Bollaert PE, Briegel J, Keh D, Kupfer Y. Corticosteroids
for treating sepsis. Cochrane Database Syst Rev 2015;CD002243.
31. Annane D. Corticosteroids for severe sepsis: an evidencebased guide for
physicians. Ann Intensive Care. 2011;1(1):1-7.
32. Oppert M, Schindler R, Husung C, et al. Low-dose Hydrocortisone Improves
Shock Reversal and Reduces Cytokine Levels in Early Hyperdynamic Septic
Shock, Crit Care Med. 2005;33:2457-64.
33. Sprung CL, Annane D, Keh D, et al, Corticus Study Group. The CORTICUS
randomized, double-blind, placebo-controlled study of hydrocortisone therapy in
patients with septic shock. N Engl J Med. 2008;358(2):111–24.
34. Bollaert PE, Charpentier C, Levy S, et al. Reversal of Late Septic Shock with
Supraphysiologic Doses of Hydrocortisone. (Abstract). Crit Care Med.
1998;27:723-32.
35. Keh D, Trips E, Marx G, Wirtz SP, Abduljawwad E, Bercker S, et al. Effect of
Hydrocortisone on Development of Shock Among Patients With Severe Sepsis.
The HYPRESS Randomized Clinical Trial. JAMA. 2016;316(17):1775-85.
36. Lv Q, Gu X, Chen Q, Yu J, Zheng R. Early initiation of low-dose hydrocortisone
treatment for septic shock in adults: a randomized clinical trial. Am J Emerg Med.
2017;35(12):1810-14.
37. Annane D, Renault A, Brun‑Buisson C, Megarbane B, Quenot JP, Siami S, et al.
Hydrocortisone plus Fludrocortisone for Adults with Septic Shock. N Engl J Med.
2018;378:809-18.
38. Venkatesh B, Finfer S, Cohen J, Rajbhandari D, Arabi Y, Bellomo R, et al.
Adjunctive Glucocorticoid Therapy in Patients with Septic Shock. N Engl J Med.
2018;378:797-808.
39. Sprung CL, Goodman S, G.Weiss Y. Steroid Therapy of Septic Shock. Crit Care
Clin 2009;25:825-34
40. Gibbison B, López-López JA, Higgins JP, Miller T, Lightman SL, Annane D, et
al. Corticosteroids in septic shock: a systematic review and network meta-analysis.
Crit Care. 2017;21(1):1-8.
41. Reincke M, Allolio B, Wurth G, Winkelmann W. The Hypothalamic-Pituitary-
Adrenal Axis in Critical Illness: Response to Dexamethasone and Corticotropin
Releasing Hormone. J Clin Endocrinol Metab. 1993;77(1):151-6.
42. The COIITSS Study Investigators. Corticosteroid Treatment and Intensive Insulin
Therapy for Septic Shock in Adults: A Randomized Controlled Trial. JAMA.
2010;303(4):341-48.

24

Anda mungkin juga menyukai