PPDH XXXI
Oleh:
Halaman
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................... 3
1.3 Tujuan ........................................................................................................ 3
1.4 Manfaat ...................................................................................................... 3
1.4.1 Manfaat Praktis................................................................................... 3
1.4.2 Manfaat Teoritis ................................................................................. 4
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................... 5
2.1 Celluler Mediated Immunity ...................................................................... 5
2.2 Sistem Kekebalan Tubuh Unggas Secara Umum ...................................... 8
2.2.1 Organ Limfoid Primer ........................................................................ 10
2.2.2 Organ Limfoid Sekunder .................................................................... 12
2.3 Kekebalan Non Spesifik pada Unggas ....................................................... 13
2.4 Kekebalan Spesifik Seluler pada Unggas .................................................. 16
2.5 Mekanisme Imunitas Seluler ...................................................................... 17
2.6 Organ Limfoid Primer Unggas .................................................................. 21
2.7 Proses Apoptosis Unggas dengan CMI ...................................................... 21
2.7.1 Jalur intrinsic ...................................................................................... 23
2.7.2 Jalur Ekstrinsik ................................................................................... 23
2.7.3 Mekanisme apoptosis ......................................................................... 24
2.7.4 Signal Penginduksi Apoptosis ............................................................ 24
2.7.5 Regulator Molekuler dari Apoptosis .................................................. 25
2.7.7 Target Caspase ................................................................................... 26
2.7.8 Tahap Pelaksanaan Apoptosis ............................................................ 26
2.7.9 Sistem Kekebalan Ayam dan Unggas Lain dalam Melawan
Infeksi Virus ND ............................................................................. 30
BAB III PENUTUP ................................................................................................... 34
3.1 Kesimpulan ................................................................................................ 34
3.2 Saran.........................................................................................................35
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 36
ii
BAB 1 PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu negara yang jumlah penduduknya terus mengalami
peningkatan sehingga permintaan terhadap bahan makanan yang memiliki nilai gizi yang
baik akan meningkat pula. Makanan yang bergizi baik dapat berasal dari produk hewani
maupun nabati. Salah satu produk makanan hewani yang memiliki nilai gizi tinggi adalah
daging. Daging dapat berasal dari ternak ruminansia maupun nonruminansia, termasuk
kebutuhan protein hewani. Namun ada beberapa spesies unggas, seperti diantaranya ayam
broiler, yang diketahui memiliki kelemahan yaitu rentan terhadap serangan penyakit,
terutama penyakit yang disebabkan oleh virus. Penyakit yang disebabkan oleh virus ini
kematian unggas. Selain itu bahaya yang disebabkan oleh infeksi virus yaitu penularan
strain-strain virus tertentu kepada manusia. Akibat dari serangan penyakit-penyakit ini,
Secara umum sistem kekebalan tubuh pada unggas tidak berbeda secara signifikan
dengan sistem kekebalan pada manusia maupun mamalia. Unggas mempunyai dua organ
limfoid primer, yaitu Timus dan Bursa Fabricius. Kedua organ limfoid ini secara sinergis,
Rangsangan terhadap sel-sel tersebut terjadi apabila tubuh terpapar suatu zat yang oleh sel
atau jaringan tadi dianggap asing. Benda asing ini dinamakan antigen atau imunogen dan
proses serta fenomena yang menyertainya disebut dengan respons imun yang nantinya
akan menghasilkan suatu zat yang disebut dengan antibodi. Tingkat kekebalan tubuh ini
1
2
akan terus berubah-ubah selama hidup unggas dan dapat diamati baik secara seluler
ataupun humoral.
Hal ini kemudian menjadi penting untuk dipahami karena akan berguna dalam
dihilangkan sifat infeksiusnya, ke dalam tubuh hewan. Di dalam tubuh hewan, diharapkan
yang secra khusus menyerang sistem kekebalan tubuh unggas, seperti diantaranya Avian
Influenza (AI), Newcastle Disease (ND), dan Infectious Bursal Disease (IBD). Berbagai
penyakit tersebut, dapat menginfeksi organ limfoid, misalnya bursa fabricius, timus dan
limpa yang berperan utama dalam menghasilkan respon kekebalan dan jika organ limfoid
mengalami lesi akan mengganggu sistem kekebalan ayam yang terinfeksi patogen virulen
(Cheville, 1967).
Apabila sistem imun dalam tubuh terpapar oleh zat yang dianggap asing, maka
akan terjadi dua jenis respons imun, yaitu respons imun non spesifik dan respons imun
spesifik. Walaupun kedua respons imun ini prosesnya berbeda, namun telah dibuktikan
bahwa kedua jenis respons imun diatas saling meningkatkan efektivitasnya. Respons imun
yang terjadi sebenarnya merupakan interaksi antara satu komponen dengan komponen lain
sedemikian rupa sehingga menghasilkan suatu aktivitas biologis yang seirama dan serasi
(Roitt, 1994).
3
immunity?
1.3 Tujuan
immunity
1.4 MANFAAT
hidup unggas dalam usahanya untuk mengeliminasi agen infeksius maupun non-
Resistensi dan pemulihan pada infeksi virus bergantung pada interaksi antara virus
dan inangnya. Pertahanan inang bekerja langsung pada virus atau secara tidak langsung
pada replikasi virus untuk merusak atau membunuh sel yang terinfeksi. Fungsi pertahanan
nonspesifik inang pada awal infeksi untuk menghancurkan virus adalah mencegah atau
mengendalikan infeksi, kemudian adanya fungsi pertahanan spesifik dari inang termasuk
pada infeksi virus bervariasi bergantung pada virulensi virus, dosis infeksi, dan jalur
Sistem imun pada unggas bekerja secara umum seperti sistem imun pada mamalia.
Stimulasi antigenik menginduksi respons imun yang dilakukan sistem seluler secara
antigen dan menyerahkannya kepada limfosit. Limfosit B, yang berperan sebagai mediator
imunitas humoral, yang mengalami transformasi menjadi sel plasma dan memproduksi
antibodi. Limfosit T mengambil peran pada imunitas seluler dan mengalami diferensiasi
Antigen-presenting cell (APC) yaitu makrofag, sel denrit, dan limfosit B merombak
mengeluarkan subsetnya, yaitu CD4, untuk mengenal antigen bekerja sama dengan Mayor
Hystocompatablity Complex (MHC) kelas II dan dikatakan sebagai MHC kelas II restriksi.
Antigen endogen dihasilkan oleh tubuh inang. Sebagai contoh adalah protein yang
disintesis virus dan protein yang disintesis oleh sel kanker. Antigen endogen dirombak
menjadi fraksi peptida yang selanjutnya berikatan dengan MHC kelas I pada retikulum
5
6
untuk berikatan dengan MHC kelas I, dan ini dikatakan sebagai MHC kelas I restriksi
Limfosit adalah sel yang ada di dalam tubuh hewan yang mampu mengenal dan
menghancurkan bebagai determinan antigenik yang memiliki dua sifat pada respons imun
khusus, yaitu spesifitas dan memori. Limfosit memiliki beberapa subset yang memiliki
perbedaan fungsi dan jenis protein yang diproduksi, namun morfologinya sulit dibedakan
(Abbas et al. 2000). Limfosit berperan dalam respons imun spesifik karena setiap individu
limfosit dewasa memiliki sisi ikatan khusus sebagai varian dari prototipe reseptor antigen.
Reseptor antigen pada limfosit B adalah bagian membran yang berikatan dengan antibodi
yang disekresikan setelah limfosit B yang mengalami diferensiasi menjadi sel fungsional,
yaitu sel plasma yang disebut juga sebagai membran imunoglobulin. Reseptor antigen
pada limfosit T bekerja mendeteksi bagian protein asing atau patogen asing yang masuk
sel inang (Janeway et al.2001). Mekanisme kerja sistem imun disajikan pada Gambar 2
(Cann 1977).
7
Sel limfosit B berasal dari sumsum tulang belakang dan mengalami pendewasaan
pada jaringan ekivalen bursa. Jumlah sel limfosit B dalam keadaan normal berkisar antara
10 dan 15%. Setiap limfosit B memiliki 105 B cell receptor (BCR), dan setiap BCR
memiliki dua tempat pengikatan yang identik. Antigen yang umum bagi sel B adalah
protein yang memiliki struktur tiga dimensi. BCR dan antibodi mengikat antigen dalam
bentuk aslinya. Hal ini membedakan antara sel B dan sel T, yang mengikat antigen yang
Jajaran ketiga sel limfoid adalah natural killer cells (sel NK) yang tidak memiliki
reseptor antigen spesifik dan merupakan bagian dari sistem imun nonspesifik. Sel ini
beredar dalam darah sebagai limfosit besar yang khusus memiliki granula spesifik yang
memiliki kemampuan mengenal dan membunuh sel abnormal, seperti sel tumor dan sel
8
yang terinfeksi oleh virus. Sel NK berperan penting dalam imunitas nonspesifik pada
Antibodi diproduksi oleh sistem imun spesifik primer pada pemulihan pada infeksi
virus dan pertahanan pada serangan infeksi virus. Sel T lebih berperan pada pemulihan
infeksi virus. Sitotoksik sel T (CTLs) atau CD8 berperan pada respons imun terhadap
antigen virus pada sel yang diinfeksi dengan cara membunuh sel yang terinfeksi untuk
mencegah penyebaran infeksi virus. Sel T helper (CD4) adalah subset sel T yang berperan
membantu sel B untuk memproduksi antibodi. Limfokin disekresikan oleh sel T untuk
mempengaruhi dan mengaktivasi makrofag dan sel NK sehingga meningkat secara nyata
Patogen yang mampu dijangkau oleh antibodi adalah hanya antigen yang berada
pada peredaran darah dan di luar sel, padahal beberapa bakteri patogen, parasit, dan virus
perkembangan replikasinya berada di dalam sel sehingga tidak dapat dideteksi oleh
antibodi. Penghancuran patogen ini membutuhkan peran limfosit T sebagai imunitas yang
diperantarai oleh sel. Limfosit T mengenal sel yang terinfeksi virus, virus yang
menginfeksi sel bereplikasi di dalam sel dengan memanfaatkan sistem biosintesis sel
inang. Derivat antigen dari replikasi virus dikenal oleh limfosit T sitotoksik. Sel tersebut
mampu mengontrol sel yang terinfeksi sebelum replikasi virus dilangsungkan secara
lengkap. Sel T sitotoksik merupakan ekspresi dari molekul CD8 pada permukaannya
Sistem kekebalan tubuh unggas mirip dengan kekebalan pada mamalia. Sistem
kekebalan dibagi menjadi sistem kekebalan non spesifik dan spesifik. Sistem kekebalan
non-spesifik adalah sistem kekebalan alami unggas terhadap serangan penyakit. Sistem
9
kekebalan secara genetik didapatkan dari induk ayam kepada anak ayam. Fitur anatomis
juga merupakan sistem kekebalan nonspesifik yaitu kulit ayam yang ditutupi dengan bulu.
Hal ini membantu melawan cedera eksternal. Organisme patogen tidak dapat menembus
lapisan tubuh ayam karena terlindungi kulit dan membran mokusa. Bakteri pada usus ayam
yang sehat memiliki populasi mikroba yang stabil. Mikroflora dapat membantu untuk
mencegah serangan organisme patogen. Trakea dilapisi dengan sili, silia memainkan peran
penting dalam menghilangkan organisme patogen dan debris. Akan tetapi, tingkat debu
atau amonia yang tinggi bisa membuat kerja sistem siliaris tidak efektif. Sistem kekebalan
non-spesifik ini merupakan sistem kekebalan paling awal dan paling sederhana dari sistem
kekebalan umum.
dan seluler. Komponen non-seluler termasuk immunoglobulin (antibodi) dan sel-sel yang
memproduksi antibodi. Antibodi bekerja secara khusus terhadap antigen. Sebagai contoh,
antibodi terhadap Newcastle Disease (ND) hanya bekerja terhadap virus ND. Komponen
seluler dari mekanisme kekebalan spesifik mencakup semua sel yang bereaksi dengan
khusus terhadap antigen kecuali yang terkait dengan produksi antibodi. Antibodi bekerja
melalui dua cara yang berbeda untuk mempertahankan tubuh terhadap agen penyebab
penyakit yaitu dengan cara langsung menginaktivasi agen penyebab penyakit dan dengan
tersebut. Sistem kekebalan pada unggas terdiri atas T-lymphocytes yang merupakan
humoral . Cell Mediated Immunity (CMI) adalah sistem kekebalan yang independent,
dibawah kontrol thymus . CMI memberikan respon kekebalan awal saat infeksi, dan dapat
dideteksi lebih awal pada 2-3 hari setelah vaksinasi dengan live vaccines . Humoral
diaktifkan menjadi sel plasma (plasma cells) dan disekresikan dalam darah dan derivatnya
dengan menghasilkan immunoglobulin IgM dan IgG. IgM dan IgG tersusun dalam proses
Organ limfoid yang ada pada tubuh ayam dibagi menjadi organ primer (sentral)
dan sekunder (tepi). Yang termasuk organ limfoid primer adalah bursa Fabricius di dekat
kloaka dan thymus di daerah leher. Sedangkan yang termasuk organ limfoid sekunder
antara lain kelenjar Harderian (terletak di belakang bola mata), limpa, Peyer's patches
(letaknya di sepanjang mukosa usus) dan caeca tonsil (di perbatasan usus buntu) (Medion
2014).
Kelenjar timus memiliki tugas penting dalam kerja sistem kekebalan tubuh kita,
yaitu mengolah sel-sel darah putih yang diproduksi di sumsum tulang dan mengubahnya
limfosit-T. Sel-sel limfosit-T ini mempunyai peran penting dalam hal pertahanan tubuh
melawan infeksi, yaitu dengan merangsang produksi antibodi oleh limfosit lainnya. Selain
itu, sel Limfosit-T juga membantu pertumbuhan dan aktivitas fagosit (sel darah putih besar
yang berkontribusi dalam pertahanan kekebalan tubuh dengan menelan mikroba, partikel
asing, atau sel lainnya). dengan fungsi mengenal dan menghancurkan sel yang terinfeksi
bakteri atau virus, mengaktifkan makrofag dalam fagositosis dan membantu sel B dalam
memproduksi antibodi (Alan 2002). T-cells berkembang dan terkumpul pada beberapa
organ limfoid, seperti tonsil usus buntu (cecal tonsil), dan kelenjar Harderian.
Bursa Fabricius Bursa fabricius merupakan organ limfoid primer yang menjadi
salah satu ciri khas pada unggas. Organ ini sangat baik perkembangannya pada usia muda.
11
Secara anatomi, bursa fabricius terletak di bagian dorsal kloaka (Hassan et al. 2011). Bursa
fabricius merupakan bagian dari sistem limfoid yang menghasilkan antibodi. Organ ini
dapat mengontrol perkembangan dari sel plasma dan germinal center dari limpa dan
limfonodus (Aughey dan Frye 2001). Menurut Hassan et al.(2011), bursa fabricius dapat
menghasilkan limfosit B yang disalurkan ke organ limfoid sekunder seperti limpa. Bentuk
bursa fabricius adalah folikel bursa. Secara histologi, bursa fabricius terlihat sebagai
rangkaian lipatan seperti daun yang dikelilingi oleh pseudostratified epithelium. Lipatan-
lipatan tersebut disebut dengan plica yang terdiri dari plica besar dan plica kecil. Folikel
limfoid, jaringan ikat, dan pembuluh darah merupakan bagian penyusun dari organ ini.
Folikel limfoid terdiri dari korteks dan medulla yang jika diwarnai dengan hematoksilin
eosin, bagian korteksnya mengambil warna lebih banyak dari medulla. Pada bagian ini
selnya lebih kompleks. Korteks terdiri dari sel limfosit, sel plasma, dan makrofag,
sedangkan medulla hanya terdiri dari sel limfosit saja. Folikel berkembang dari interaksi
pertumbuhan epitel dan sel mesenkim. Setiap folikel matang terdiri dari medulla dan
korteks. Pada pewarnaan He matoksilin Eosin (HE) bagian korteks mengambil warna lebih
kuat dibandingkan dengan medulla sama seperti kandungannya yang relative lebih banyak
mengandung limfosit kecil. Tiap folikel dipenuhi oleh satu atau dua sel dan koloni tersebut
melakukan proliferasi di dalam folikel. Jumlah total folikel pada bursa yang matang atau
dewasa sekitar antara 8000-1200 buah. Korteks dan medulla dipisahkan oleh membran
basal yang berhubungan dengan permukaan epitel. Permukaan medulla dari membran
basal folikularis terdiri dari lapisan sel epitel squasmos atau kubus. Stroma jaringan epitel
secara ekstensif terdapat dalam medulla (Riddel 1996). Sel B yang dihasilkan oleh bursa
Fabricius akan menghasilkan antibodi dan sel pengingat (sel memori). Dalam menanggapi
adanya antigen, sel-sel plasma menghasilkan antibodi. Antibodi adalah suatu protein yang
jalan mengikat patogen tersebut dengan protein yang bersifat antigenik. Sel-sel plasma
yang menghasilkan antibodi berasal dari sel B. Sel-sel memori akan mengingat dan
mengenal antigen yang pernah masuk kedalam tubuh, sehingga sistem kekebalan unggas
Limpa Limpa merupakan organ limfoid terbesar dalam sistem pertahanan tubuh.
Organ ini merupakan organ limfoid sekunder yang terdapat pada bagian kiri lambung.
Limpa berfungsi sebagai tempat pematangan sel antibodi dan melakukan tindakan
perlawanan terhadap antigen asing yang datang. Limpa memiliki selubung terluar yang
disebut dengan kapsula. Bagian ini terdiri dari dari otot polos, serabut kolagen, dan serabut
elastin yang dilengkapi dengan fibrosit. Perpanjangan dari kapsula disebut dengan
trabekula yang menunjang kehidupan bagian parenkima dari limpa (Aughey dan Frye
2001). Limpa pada unggas memiliki suatu keunikan yang dapat membedakannya dengan
hewan lain. Pada mamalia, fibromuskular berkembang dengan baik, namun pada unggas
secara histologi terlihat lebih tipis. Unggas hampir tidak memiliki trabekula, bahkan pada
sebagian unggas trabekula tidak dapat ditemukan (Aughey dan Frye 2001). Secara
histologi parenkima limpa memiliki dua bagian utama, yaitu pulpa merah dan pulpa putih.
Secara umum, pulpa merah merupakan tempat produksi sel darah merah dan pulpa putih
sebagai tempat yang kaya dengan sel limfosit sebagai respon sistem imun (Dellman dan
Eurell 1998). Pulpa merah sebagai salah satu bagian dari limpa berisi banyak jumlah
eritrosit sehingga berwarna lebih terang (Aughey dan Frye 2001). Pada pulpa merah juga
terdapat sinus venosus, arteri dan kapiler, serta korda limpa yang berisi makrofag, sel
plasma, limfosit, dan sel darah putih lainnya. Pulpa putih merupakan salah satu parameter
terbentuknya sistem kekebalan tubuh. Pada bagian ini banyak terdapat sel limfosit,
13
terutama limfosit T yang berasal dari sistem limfoid primer, makrofag, dan sel dendrit
(Aughey dan Frye 2001). Dellman dan Eurell (1998) mengatakan bahwa pulpa merah dan
pulpa putih dipisahkan oleh suatu selaput yang disebut dengan zona marginal. Zona inilah
darah. Imunomodulator Bursa fabricius dan limpa sangat rentan terhadap berbagai
penyakit yang dapat menurunkan fungsi kekebalan tubuh. Salah satu cara mencegah
Imunomodulator merupakan suatu zat kimia, obat, atau aksi dari suatu sistem imun
yang dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh dan mencegah terjadinya infeksi agen
asing, baik agen infeksius maupun agen non-infeksius. Agen-agen ini dapat menyebabkan
proses peradangan. Sebagai imunomodulator, suatu zat atau bahan kimia tertentu tidak
langsung bekerja pada agen penyebab suatu peradangan, namun zat ini hanya bekerja
merangsang sistem kekebalan untuk menghasilkan antibodi dalam jumlah yang lebih
banyak untuk melawan agen penyakit tersebut (Kumala et al. 2013) Imunomodulator tidak
hanya berasal dari obat-obatan berbahan dasar kimia, namun sistem kekebalan juga bisa
Respon kekebalan non-spesifik (alamiah) terdiri dari faktor-faktor yang sudah ada
sejak lahir atau sebelum tubuh terinfeksi mikroorganisme. Respon kekebalan ini bersifat
cepat dan paling awal dalam pertahanan terhadap infeksi mikroorganisme. Sistem
kekebalan non-spesifik terdiri dari beberapa komponen yaitu barrier fisik dan kimia (bulu,
kulit, mukosa); sel fagosit (makrofag, NK, neutrofil, heterofil ) (Ferdous et al. 2008);
protein komplemen dan mediator peradangan dan sitokin(Scott & Owens 2008).
14
Sistem kekebalan non-spesifik tidak hanya melawan patogen tetapi juga mengawali
terjadinya reaksi kaskade yang melibatkan berbagai macam komponen sistem kekebalan
untuk selanjutnya menginduksi sistem kekebalan spesifik (adaptif). Sistem kekebalan non-
spesifik sangat penting pada fase awal invasi mikroorganisme dengan cara membatasi
penyebaran patogen sampai ke sistem kekebalan spesifik (sel limfosit B dan T) bekerja
untuk melawan infeksi tersebut (Juul-Madsen et al. 2008). Invasi patogen ke dalam tubuh
inang dapat melalui oral atau saluran pencernaan, penetrasi kulit atau mukosa, serta
μm) akan dibunuh di nasal cavity dan trachea proximal tetapi partikel yang lebih kecil
mampu menginfeksi sepanjang saluran pernafasan. Partikel ukuran sedang (1,1 μm) akan
tersaring di paru-paru dan cranial air sacs tetapi partikel yang lebih kecil (0,091 μm) akan
mampu melewati seluruh paru-paru kemudian terperangkap dalam abdominal air sacs
(Hayter & Besch 1974). Makrofag ditemukan dalam jumlah besar pada epitelium atrium
jantung dan infindubular yang berperan penting mengeliminasi partikel dari udara
granulosit dan makrofag ditemukan pada sel saluran pernafasan dan fagosit mononuklear
dapat dideteksi di parenkim paru-paru dan jaringan penghubung air sacs (Crespo et al.
1998). Barrier fisik dan kimia yang termasuk sistem kekebalan non-spesifik mengatur
simbiosis mutualisme dengan mikroba flora normal pada saluran pencernaan. Pemahaman
tentang bagaimana sistem kekebalan alami berupaya untuk melindungi dan menjaga
keseimbangan dengan berbagai jenis mikroba sangat penting untuk mencegah dan
patterns (PAMPs). Pengenalan PAMPs oleh PPRs baik secara sendiri maupun heterodimer
dengan PRRs yang lain, toll-like receptors (TLR), nucleotide binding oligomerization
domain proteins (NOD), RNA helicases seperti retinoic acid induce-ible gen 1 (RIG1) atau
respon sinyal intraseluler untuk mengaktifkan gen yang mengkode sitokin penyebab
radang, faktor anti apoptosis dan peptida anti mikroba (Timmermans et al. 2013). Reseptor
RIG-1 pada makrofag berperan penting dalam melindungi sel inang dari infeksi virus ND
dan sebagai antivirus untuk melawan virus ND pada awal infeksi. Ekspresi RIG-1 dalam
serangan mikroorganisme jika dibandingkan dengan reseptor sel sistem kekebalan spesifik
BCR dan TCR. Reseptor sel pada sistem kekebalan non-spesifik ditemukan dalam jumlah
yang lebih besar di seluruh tubuh jika dibandingkan dengan reseptor sel sistem kekebalan
spesifik. Sistem kekebalan non-spesifik seluler memiliki sampai 100 jenis reseptor yang
berbeda. Reseptor ini diekspresikan dengan frekuensi yang tinggi dan disebarkan
berdasarkan tipe sel. Setiap reseptor diekspresikan pada jutaan sel kekebalan nonspesifik
sebaliknya pada sistem kekebalan spesifik BCR dan TCR populasinya sangat sedikit pada
sel yang diperoleh dari klon yang spesifik. Keragaman dan frekuensi reseptor yang
spesifik dan spesifik. Reseptor sel kekebalan nonspesifik untuk mendeteksi patogen
mempunyai frekuensi yang tinggi sehingga menyebabkan respon yang terjadi sangat cepat,
tetapi kemampuan membedakan patogen atau spesifisitas rendah. Respon sel sistem
16
kekebalan spesifik (BCR dan TCR) melambat tergantung pada proliferasi sel, tetapi
Infeksi virus pertama kali dikenali oleh protein inang yaitu protein TLR dan NOD.
Sinyal berlangsung sangat cepat kemudian terjadi transkripsi faktor aktivasi yang
menghasilkan interferon dan sitokin untuk menghambat replikasi virus. Infeksi virus ND
mampu menginduksi nitric oxide (NO) dalam sel heterofil dan monosit dalam darah. Sel
makrofag mengekresikan interferon alpha (INF α) dan interferon beta (IFN β) sedangkan
sel monosit dalam darah memproduksi interferon gamma (IFN-γ) (Ahmed et al. 2007).
Respon aktivasi makrofag terdiri dari migrasi dan kemotaksis, fagositosis dan produksi
reaktif nitrogen dan oksigen. Respon ini merupakan reaksi peradangan dan membatasi
penyebaran patogen (Qureshi et al. 2000). Makrofag berfungsi sebagai antigen presenting
cell (APC), akan mengaktifkan sel T melalui co-stimulator molekul dan stimulator sitokin
(Houston et al. 2008). Infeksi virus ND strain virulen merangsang respon gen inang IFN α,
IFN β, interleukin 1 (IL-1) dan interleukin 6 (IL-6) dalam leukosit limpa (Rue et al. 2011).
Lebih lanjut, virus ND virulen mampu merangsang respon sitokin penyebab peradangan
yaitu IFN α, IFN γ, IL-1 dan IL-6 dalam leukosit limpa tetapi respon ini tidak ditunjukkan
oleh infeksi virus ND strain tidak virulen (Wakamatsu et al. 2006a; 2006b).
Kekebalan yang diperantarai sel Cell mediated immunity (CMI) efektif melawan
infeksi yang terjadi di dalam sel (intra sel). Kekebalan CMI bekerja dengan cara
menghancurkan sel yang terinfeksi virus atau masuk ke dalam sel untuk menghilangkan
antigen virus. Sel limfosit T adalah antigen spesifik dalam respon CMI dan mampu
melawan infeksi patogen secara luas. Semua sel T mengekspresikan CD3 kompleks pada
permukaan selnya serta terpisah dari reseptor sel T. Receptor cell T (TCR) pada sel
17
limfosit T diperlukan pada awal interaksi dengan antigen. Receptor cell T pada sel T hanya
bersifat spesifik pada komponen protein tertentu pada antigen (antigenpeptida). Receptor
cell T hanya berinteraksi dengan antigen-peptida yang diekspresikan oleh APC bersama
Sel limfosit T terdiri dari subset sel limfosit T helper (Th) dan T cytotoxic (Tc).
Sitokin yang disekresi dari sel T helper CD4+ dan sel T cytotoxic CD8+ merupakan
prinsip utama respon CMI. Cytotoxic limfosit T atau CD8+ terdapat pada permukaan sel T
serta berperan dalam melisiskan sel yang terinfeksi virus atau tumor sel (Ravindra et al.
I. Molekul MHC I terdapat pada permukan sel. Ikatan komplek (TCR, antigenpeptida dan
MHC I) serta signal yang ditimbulkan oleh T helper 1 diperlukan untuk mengaktifasi sel T
Sel T helper CD4+ dibagi menjadi dua subset, tergantung pada tipe sitokin yang
dihasilkannya yaitu T helper 1 (Th1) dan T helper 2 (Th2). Subset Th1 lebih berperan
penting dalam CMI, serta juga membantu sel B untuk memproduksi IFN-γ dan interleukin
(IL)-2. Subset Th2 lebih banyak memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10, serta membantu
sel B untuk menghasilkan semua tipe imunoglobulin termasuk IgA. Sitokin Th2
menstimulasi ekspresi IgA oleh permukaan sel B yang positif terhadap IgA serta
perkembangan dan pematangan sel plasma yang mensekresikan IgA. Sel T yang
ditemukan pada jaringan limfoid mukosa termasuk Th2 sitokin (Xu-Amano et al. 1994).
Subset limfosit T CD8 terutama berperan melisiskan sel melalui respon sitokin. Subset
limfosit T CD4 dapat menghasilkan beberapa respon sitokin terhadap stimulasi antigen
Sistem kebal adalah bentuk adaptasi dari sistem pertahanan pada vertebrata sebagai
pelindung terhadap serangan mikroorganisme patogen dan kanker. Sistem ini dapat
membangkitkan beberapa macam sel dan molekul yang secara spesifik mampu mengenali
dan mengeliminasi benda asing (Decker 2000). Menurut Tizard (2004), tanggap kebal
merupakan respon biologis sehingga dapat menyebabkan variasi tanggap kebal bagi setiap
individu. Sistem kekebalan unggas dibagi menjadi sistem kekebalan non-spesifik dan
sistem kekebalan spesifik (Carpenter 2004). Mekanisme kedua sistem kekebalan tersebut
tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, keduanya saling meningkatkan efektivitasnya
dan terjadi interaksi sehingga menghasilkan suatu aktivitas biologik yang seirama dan
diperoleh tubuh dan proteksi yang diberikannya tidak terlalu kuat. Semua agen penyakit
yang masuk ke dalam tubuh akan dihancurkan oleh sistem kekebalan tersebut sehingga
proteksi yang diberikannya tidak spesifik terhadap penyakit tertentu (Butcher dan Miles
2003). Sistem ini berupa pertahanan fisik, mekanik, dan kimiawi yang berespon pada awal
paparan. Kekebalan fisik- mekanik terdiri dari kulit dan selaput lendis yang merupakan
bagian permukaan tubuh paling luar untuk mencegah masuknya bahan asing. Faktor lain
yang berperan dalan sistem pertahanan non-spesifik adalah makrofag dan mikrofag
dari tubuh. Sel makrofag ini meliputi sel Langerhans di kulit, sel Kupffer di hati, sel debu
di paru-paru, sel histiosit di jaringan, dan astrosit di sel syaraf. Sel mikrofag meliputi sel
Sistem kekebalan spesifik terdiri dari sistem berperantara sel (Cell Mediated
Immunity) dan sistem kekebalan berperantara antibodi (Antibody Mediated Immunity) atau
yang lebih dikenal dengan sistern kekebalan humoral (Butcher dan Miles 2003). Antigen
19
yang berhasil masuk ke dalam tubuh dengan melewati sistem pertahanan tubuh non-
makrofag juga berfungsi sebagai Antigen Presenting Cells (APC) yang dikenal juga
sebagai sel penyaji atau set penadah yang akan menghancurkan antigen sedemikian iupa
sehingga seluruh komponennya dapat berinteraksi dengan sistem imun spesifik atau
antibodi. Makrofag yang berfungsi sebagai APC ini akan memfragmentasikan dan
mempresentasikan antigen tersebut kepada sel limfosit T-helper (Th) melalui molekul
et al. 2003).
Sel limfosit yang berperan penting dalam sistem kekebalan terbagi menjadi dua,
yaitu sel B dan sel T. Sel B di dalam tubuh mamalia secara umum matang dan
berdiferensiasi dalam sumsum tulang, sedangkan dalam tubuh unggas sel B matang dan
berdiferensiasi dalam bursa Fabricius. Sel T di dalam tubuh mamalia dan unggas matang
dal berdiferensiasi pada kelenjar timus. Sel B merupakan bagian dari antibody mediated
immunity atau imunitas humoral karena sel B akan memproduksi antibodi yang
bersirkulasi dalam saluran darah dan lirnfe. Antibodi tersebut akan menempel pada antigen
asing yang memberi tanda agar dapat dihancurkan oleh sel sistem imun (Darmono 2006).
Sel B akan mengalami proses perkembangan melalui dua jalur setelah terjadi
rangsangan antigen, yaitu berdiferensiasi menjadi sel plasma dan sel memori. Sel plasma
sekitar 104 sampai 105 (Tizard 1982). Sel plasma akan mati setelah tiga sampai enam hari,
Sel memori hidup berbulan-bulan atau tahunan setelah pemaparan antigen yang pertatna
kali. Jika terjadi pemaparan kedua kalinya dengan antigen yang sama, maka antigen akan
merangsang lebih banyak lagi sel peka antigen daripada pemaparan pertama. Dengan
20
adanya sel memori, maka sistem pembentukan antibodi memiliki kemampuan untuk
hanya bereaksi dengan antigen yang ada di permukaan sel. Tanggap kebal humoral unggas
dicirikan dengan antibodi yang diproduksi oleh sel B yang berada di bawah kontrol bursa
Fabricius. Bursa Fabricius merupakan organ limfoid primer yang terletak di bagian dorsal
kloaka dan hanya ada pada unggas (Wibawan et al. 2003). Menurut Nunoya et al. (1992)
Sel T yang bersirkulasi dalam darah dan limfe dapat secara langsung
menghancurkan antigen asing. Sel T bertanggung jawab atas cell mediated immunity atau
imunitas seluler. Sel T bergantung pada molekul permukaan yaitu MHC nntuk mengenali
fragmen antigen (Darmono 2006). Sel T terdiri dari beberapa subpopulasi yang dapat
distimulasi oleh tipe antigen yang berbeda. Antigen virus yang terdapat pada sel yang
terinfeksi akan dipresentasikan bersama-sama dengan MHC kelas I dan akan menstimulasi
sel T CD8+ (sitotoksik). Sedangkan antigen mikroba ekstraseluler akan diendositosis oleh
APC dan dipresentasikan dengan MHC kelas I1 dan akan mengaktivasi sel T CD4+
(helper). Antigen yang menempel pada MHC kelas I1 dan sel T CD4+ akan memacu
produksi antibodi dan mengaktifkan makrofag (Putera 2001). Interaksi antara sel Th
dengan APC akan menginduksi pengeluaran sitokin atau interleukin yang merupakan alat
komunikasi antar sel sehingga akan menginduksi pematangan sel B. Sitokin yang
dikeluarkan oleh limfosit disebut limfokin sedangkan sitokin yang dikeluarkan oleh
makrofag disebut monokin. Selain alat komunikasi, sitokin juga berfungsi dalam
mengendalikan respon imun dan reaksi inflamasi dengan cara mengatur pertumbuhan serta
Kekebalan humoral yang dihasilkan oleh sel B tidak dapat berespon terhadap
antigen yang terdapat didalam sel, sehingga mekanisme kekebalan seluler yang berperan.
Sel yang berperan dalam mekanisme kekebalan seluler adalah sel limfosit Tcytotoxic (Tc).
Sel ini akan mencari sel-sel yang mengalami kelainan fisiologis untuk kemudian
menghancurkan seluruh sel tersebut beserta antigen yang ada di dalamnya. Tujuan
penghancuran ini adalah untuk mencegah penyebaran antigen intraseluler ke sel-sel sehat
Organ-organ yang berperan dalam sistem kekebalan tubuh unggas antara lain yaitu
timus, bursa fabrisius dan limfa. Organ limfoid primer pada unggas terdiri dari timus dan
bursa fabrisius. Kedua organ ini berfungsi mengatur produksi dan diferensiasi limfosit.
perkembangan organ limfoid pada ayam. Kondisi ini biasa disebut imunosupresi, yaitu
perubahan reaksi kekebalan kekeadaan negatif, sehingga respon tubuh ternak terhadap
masuknya benda asing menjadi berkurang, atau bisa menjadi pemicu serangan berbagai
penyakit ke dalam tubuh ternak. Imunosupresi akan ditunjukkan dengan adanya tekanan,
hambatan, atau gangguan pada komponen sistem kekebalan tubuh, antara lain langsung
merusak dan mengganggu pertumbuhan organ limfoid primer (bursa dan timus), sekaligus
organ limfoid sekunder (limfa). Organ limfoid primer maupun sekunder yang sangat kecil
merupakan reaksi terhadap kasus imunosupresi (seperti akibat suhu lingkungan panas)
yang berlangsung dalam jangka waktu lama. Ternak yang memiliki bobot relatif limfoid
Apoptosis adalah kematian sel yang terprogram (programmed cell death), adalah
suatu komponen yang normal terjadi dalam perkembangan sel untuk menjaga
setelah sel menjalani masa hidup tertentu, menyebabkan perubahan secara morfologis
termasuk perubahan pada inti sel. Kemudian sel akan terfragmentasi menjadi badan
apoptosis, selanjutnya fragmen tersebut diabsorpsi sehingga sel yang mati menghilang.
isyarat hormon, rangsangan antigen, peptida imun, dan sinyal membran yang
mengidentifikasi sel yang menua atau bermutasi. Virus yang menginfeksi sel akan
seringkali menyebabkan apoptosis, yang akhirnya yang mengakibatkan kematian virus dan
sel penjamu (host). Hal ini merupakan satu cara yang dikembangkan oleh organisme hidup
untuk melawan infeksi virus. Defisiensi apoptosis telah berpengaruh pada perkembangan
kanker dan penyakit neuro degeneratif dengan penyebab yang tidak diketahui, termasuk
penyakit Alzheimer dan sklerosis lateral amiotrofik (penyakit Lou Gehrig). Apoptosis
yang dirangsang antigen dari sel imun (sel T dan sel B) sangat penting dalam
berbagai cara yang berbeda tapi pada akhirnya berpuncak pada aktivasi enzim kaspase.
Proses apoptosis terdiri dari fase inisiasi (kaspase menjadi aktif) dan fase eksekusi,
ketika enzim mengakibatkan kematian sel. Inisiasi apoptosis terjadi melalui dua jalur yang
berbeda tetapi nantinya akan menyatu (konvergen), yaitu: jalur ekstrinsik atau, yang
dimulai dari reseptor, dan jalur intrinsik atau jalur mitokondria (Mitchell; Kumar; Abbas &
Fausto, 2007).
23
akan mengikat molekul caspase-9 dan membentuk kompleks yang disebut apoptosom.
Kompleks tersebut akan menginisiasi urutan aktivasi caspase sampai pada fagositosis sel
Apoptosis-inducing factor terbukti memiliki aktivitas proteolitik yang bisa dihambat oleh
inhibitor caspase spectrum luas, tetapi tidak bisa dihambat oleh inhibitor spesifik untuk
caspase-1 dan caspase-7. Bcl-2 banyak ditemukan terutama pada membran mitokondria
bagian luar, retikulum endoplasma dan membran inti. Beberapa anggota famili Bcl-2
proapoptotik ditemukan dalam sel pada konsentrasi yang cukup untuk menyebabkan
apoptosis. Meskipun demikian angggota famili Bcl-2 tersebut tidak bisa secara langsung
Inisiasi apoptosis melalui jalur ekstrinsik melibatkan ikatan antara protein sinyal
including ligand (TRAIL) dan Apo-3 ligand (Apo-3L) dengan reseptor permukaan sel
sasaran. Sampai saat ini telah dikenal untaian cDNA yang berasal dari 8 macam death
diantaranya adalah TNF- α receptor 1 (TNF-R1), TNF- α receptor 2 (TNF-R2), Fas, death
receptor 3 (DR-3). Setelah berikatan dengan ligand yang sama, death receptor membentuk
membran sel seperti TNF-R1 dan DR-3 yang disebut TNFR-associated death domain
protein (TRADD). Sedangkan Fas dan DR-4 berinteraksi dengan Fas-associated death
domain protein (FADD). FADD dan TRAAD tidak berinteraksi dengan DR-5 sehingga
diduga ada protein lain yang terlibat. Sinyal yang diaktivasi oleh TNF-R1 atau DR- 3
terpecah pada tingkat TRADD. Translokasi inti faktor transkripsi nuclear factor-қB (NF-
қB), dan aktivasi c-Jun N-terminal Kinase (JNK) dimulai. Sinyal TNF-α akan berikatan
dengan sinyal jalur Fas menyebabkan interaksi antara TRADD dengan FADD. Ikatan-
Mekanisme apoptosis sangat kompleks dan rumit. Secara garis besarnya apoptosis
2. Tahap integrasi atau pengaturan (transduksi signal, induksi gen apoptosis yang
berhubungan, dll)
4. Fagositosis.
machine yang dibutuhkan untuk kematian sel dianggap mengalami dormansi dan hanya
memerlukan aktivasi yang cepat. Signal yang menginduksi apoptosis bisa berasal dari
tiroksin menginduksi apoptosis pada ekor tadpole. Apoptosis juga bisa dipicu oleh
25
kurangnya signal yang dibutuhkan sel untuk bertahan hidup seperti growth factor. Sel lain,
sel berhubungan dengan sel yang berdekatan juga bisa memberikan signal untuk apoptosis.
Signal intraseluler misalnya radiasi ionisasi, kerusakan karena oksidasi radikal bebas,dan
gangguan pada siklus sel. Kedua jalur penginduksi tersebut bertemu di dalam sel, berubah
menjadi family protein pengeksekusi utama yang dikenal sebagai caspase. Sel yang
berbeda memberikan respon yang berbeda terhadap penginduksi apoptosis. Misalnya sel
splenic limfosit akan mengalami apoptosis saat terpapar radiasi ionisasi, sedangkan sel
atau pengaturan. Pada tahap ini terdapat molekul regulator positif atau negatif yang dapat
menghambat, memacu, mencegah apoptosis sehingga menentukan apakah sel tetap hidup
atau mengalami apoptosis (mati). Apoptosis diperantarai oleh famili protease yang disebut
caspase, yang diaktifkan melalui proteolisis dari bentuk prekursor inaktifnya (zymogen).
Caspase merupakan endoprotease yang memiliki sisi aktif Cys (C) dan membelah pada
terminal C pada residu Asp, oleh karena itu dikenal sebagai Caspases (Cys containing Asp
specific protease). Saat ini telah ditemukan 13 anggota famili caspases. Beberapa anggota
famili caspase yang terlibat dalam apoptosis dibedakan menjadi 2 golongan. Golongan
yang pertama terdiri dari caspase 8, 9,10 yang mengandung prodomain yang panjang pada
terminal N, fungsinya sebagai inisiator dalam proses kematian sel. Golongan yang kedua
terdiri dari caspase 3, 6, 7 yang mengandung prodomain yang pendek dan berfungsi
sebagai efektor, membelah berbagai substrat yang mati yang pada akhirnya menyebabkan
perubahan morfologi dan biokimia yang tampak pada sel yang mengalami apoptosis.
Molekul efektor lain dalam apoptosis adalah Apaf-1 (apoptotic protease activating factor)
26
proses perubahan procaspase 9 menjadi caspase 9. Regulator apoptosis yang lain adalah
anggota famili Bcl-2. Saat ini ada 18 anggota famili Bcl-2 yang telah diidentifikasi, dan
dibagi ke dalam 3 grup berdasarkan strukturnya. Anggota grup pertama diwakili oleh Bcl-
2 dan Bcl-xL yang berfungsi sebagai anti-apoptosis. Anggota grup kedua diwakili oleh
Bax dan Bak (Bcl-2 associated killer), sebagaimana anggota grup yang ketiga yaitu Bid (a
novel BH3 domain-only death agonist) dan Bad (the Bcl-2 associated death molecule),
Apoptosis melibatkan:
Target protein pada umumnya harus protein lain, suatu DNA endonuklease. Ketika
protein target pecah, DNase bebas untuk berpindah tempat ke inti dan mulai pelaksanaan.
Perubahan dalam apoptosis terjadi ketika caspase 3 membelah gelsolin, suatu protein
dilibatkan dalam pemeliharaan morfologi sel. Gelsolin yang dibelah membelah actin
filamen di dalam sel. Protein yang lain diperlukan untuk membentuk badan apopotic: suatu
kinase yang disebut p21-activated kinase 2 (PAK-2). Kinase ini diaktifkan oleh caspase-3
Sinyal apoptosis bisa terjadi secara intraseluler dan ekstraseluler. Jalur ekstrinsik
sedangkan jalur intrinsik diinisiasi melalui pelepasan faktor signal dari mitokondria dalam
sel. Peristiwa apoptosis jalur ekstrinsik dimulai dari adanya pelepasan molekul signal yang
disebut ligan oleh sel lain tetapi bukan berasal dari sel yang akan mengalami apoptosis.
Ligan tersebut berikatan dengan death receptor yang terletak pada transmembran sel target
yang menginduksi apoptosis. Death receptor yang terletak di permukaan sel adalah famili
reseptor TNF (Tumor Necrosis Factor), yang meliputi TNF-R1, CD 95 (Fas), dan TNF-
Related Apoptosis Inducing Ligan (TRAIL)-R1 dan R2. Ligan yang berikatan dengan
dengan adaptor FADD (Fas Associeted Death Domain). Kompleks yang terbentuk antara
ligan-reseptor dan FADD disebut DISC (Death Inducing Signaling Complex). CD 95,
TRAIL-R1 dan R2 terikat dengan FADD, sedangkan TNF-R1 terikat secara tidak langsung
melalui molekul adaptor lain, yaitu : TNF-Reseptor Associeted Death Domain protein
(TRADD). Stress mitokondria yang menginduksi apoptosis jalur intrinsik disebabkan oleh
Kemudian Bid yang terpotong pada bagian ujungnya akan menginduksi insersi Bax
c,Samc/Diablo, Apoptosis Inducing Factor (AIF), dan omi/Htr2. dengan adanya dATP
akan terbentuk kompleks antara sitokrom c, APAF1 dan caspase 9 yang disebut
caspase 3 yang aktif memecah berbagai macam substrat, diantaranya enzim DNA repair
seperti poly-ADP Ribose Polymerase (PARP) dan DNA protein kinase yaitu protein
28
struktural seluler dan nukleus, termasuk aparatus mitotik inti, lamina nukleus, dan aktin
konstituen seluler lainnya. Selain itu, caspase 3 juga mempunyai kemampuan untuk
Adanya seluler stres meningkatkan ekspresi dari protein p53 yang mengakibatkan
terjadinya GI arrest atau apoptosis. Anggota dari apoptosis Stimulating Protein p53
(ASPP) yaitu ASPP 1 dan ASPP 2 secara spesifik menstimulasi fungsi transsktivasi p53
pada promotor gen proapoptotik seperti Bax dan p53 Inducible Gene 3 (PIG 3), tapi tidak
pada promotor gen yang menyebabkan cell cycle arrest, yaitu p21 dan MDM2.
dapat dinyatakan bahwa, salah satu ciri sel bursa yang mengalami apoptosis pada sediaan
mikroskopis dengan pewarnaan menggunakan Kit Apopteg adalah adanya warna coklat
gelap pada inti. Kontribusi terbesar terjadinya imunosupresi pada infeksi Avibirna Virus
adalah adanya pengosongan sel limfoid pada bursa Fabrisius akibat infeksi yang berupa
apoptosis dan nekrosis. Apoptosis merupakan kematian sel terprogram melalui mekanisme
genetik yang dapat terjadi secara fisiologis maupun patologis. Aktivitas enzim telomerase
diketahui sangat berperan pada proses apoptosis fisiologis, sedangkan apoptosis patologis
terjadi karena terdapat gangguan keseimbangan system genetik yang dipicu oleh faktor
lingkungan, missal Infeksi virus (Thomson, 1995 ). Menurut Reed (2000) proses apoptosis
melibatkan beberapa protease sistein yang disebut caspase (cyst ein Aspartyl-Spesifik
Protease). Caspase yang terlibat dalam proses apop-tosis antara lain caspase 2, 8, 9, 10
penghancuran sel bursa dibutuhkan peran sel limfosit. Perlakuan tinektomi pada infeksi
29
avibirna virus menghilangkan respon inflamasi yang diinduksi virus secara signifikan
mengurangi kejadian apoptosis sel bursa Fabrisius dibandingkan dengan ayam yang
memiliki sel T utuh. Hal ini memberikan pemahaman bahwa pada infeksi avibirna virus,
Hasil statistik terhadap jumlah sel apoptotik sel bursa pada infeksi avibirna virus
pada penelitian ini menunjukkan bahwa hari ke 4 dan ke 6 paling tinggi dan berbeda
sangat nyata dengan hari ke 2,8 dan 10. Hari ke 2 belum terjadi peningkatan sel apoptotik,
kemudian meningkat pada hari ke 4 dan ke 6 dan tampak mengalami penurunan pada hari
ke 8 dan 10. Sel apoptotik pada bursa juga terjadi pada kontrol, hal ini dapat dijelaskan
bahwa apoptosis dapat terjadi baik patologik maupun fisiologik. Gambaran ini sesuai
dengan pernyataan Rautenschlein et al, 2002, bahwa pada fase akut, yaitu sekitar lima hari
setelah infeksi terjadi peningkatan jumlah sel limfosit T yang berperan sangat besar pada
mekanisme apoptosis melalui pengaktifan caspase oleh granzim. Limfosit T sitotoksik dan
sel NK dapat menimbulkan lisis pada sel target melalui pengeluaran perforin dan
granzime. Perforin merupakan enzim yang mampu membentuk celah pada membrane sel
target sehingga kemudian granzim dapat menerobos masuk untuk melisis sel tersebut
(Abbas et al., 2000) setelah masuk sitoplasma target, granzim dapat langsung
mengaktifkan caspase inisiator seperti caspase 10, kemudian terjadi aktivasi kaskade
Menurut Jungmann et al. (2001) peningkatan proporsi jumlah sel apoptosis pada
infeksi avibirna virus ini, dapat dihubungkan dengan replikasi virus. Sel apoptosis banyak
bahwa faktor penginduksi apoptosis mungkin dikeluarkan oleh sel-sel yang mereplikasi
virus. Menurut Nieper et al (1999), sebagian besar sel-sel apoptotik dalam bursa Fabrisius
mengandung antigen virus empat hari setelah penginfeksian. Interferon yang terbentuk
30
setelah infeksi virus ini di- pertimbangkan sebagai satu dari beberapa penyebab
yang mungkin menghambat sintesis protein dan juga merangsang apoptosis. Apoptosis
dirangsang oleh interferon alpha berhubungan dengan aktivasi beberapa caspase, seperti
aktivasi caspase 3. Aktivasi caspase ini merupakan peristiwa penting dalam penginduksian
2.7.8 Sistem Kekebalan Ayam dan Unggas Lain dalam Melawan Infeksi Virus ND
Sistem imun pada unggas dibagi menjadi 2 tipe kekebalan yaitu kekebalan alami
dan spesifik (adaptive immunity). Kekebalan alami merupakan alat pertahanan pertama
terhadap serangan virus. Kekebalan alami meliputi pertahanan fisik dan kimia, protein
darah dan sel fagosit. Kulit, mukosa dan sekresi lambung adalah bagian dari pertahanan
fisik dan kimia. Komplemen merupakan suatu serum protein yang bekerja bersama dengan
antibodi dalam menyampaikan sel target. Beberapa sel darah yang mempunyai fungsi
sebagai fagosit di antaranya makrofag, heterofil, trombosit dan natural killer. Meskipun
kekebalan alami merupakan pertahanan yang berperan pertama kali melawan infeksi suatu
virus tetapi kekebalan alami ini kurang spesifik dalam melawan berbagai macam tipe
infeksi (ERF, 2004; 2007). Pertahanan terhadap serangan virus akan digantikan oleh
kekebalan spesifik (adaptive immunity) apabila kekebalan alami tidak mampu melawan
infeksi virus. Kekebalan spesifik mempunyai proteksi yang lebih spesifik terhadap
permukaan virus dan biasanya garis pertahanan ini lebih dikenal ketika terjadi infeksi
berikutnya.
Pertahanan yang bersifat spesifik diperoleh dari kekebalan pasif dan aktif.
Kekebalan pasif meliputi antibodi maternal yang telah dimiliki oleh unggas sebelumnya
31
serta kekebalan ini mampu memberikan perlindungan terhadap infeksi alam atau vaksinasi,
sedangkan kekebalan aktif baru muncul melalui infeksi alam atau vaksinasi. Kekebalan
aktif dibagi menjadi kekebalan humoral dan kekebalan yang diperantarai sel (ERF, 2004).
dalam kekebalan yang diperantarai sel atau cell- mediated immunity (CMI). Limfosit B
pada ayam ditemukan dalam organ bursa fabricius sedangkan limfosit T terdapat pada
organ tymus (BARNESS,1996). Timus, bursa fabricius dan sumsum tulang merupakan
organ lymfoid utama pada unggas sedangkan organ-organ lymfoid pendukung pada
unggas adalah limpa, mukosa jaringan lymfoid, kelenjar lymfoid dan susunan syaraf pusat
(POPE,1991). Sistem kekebalan pada unggas merupakan suatu interaksi yang komplek
antara beberapa tipe sel yang berbeda dan faktor-faktor penting yang mampu
meningkatkan efektivitas respon terhadap infeksi patogen (SARKER et al., 2000). Respon
kekebalan seluler dan kekebalan humoral berperan penting dalam melawan infeksi virus
ND. Respon kekebalan seluler dan humoral timbul setelah 2 sampai dengan 3 hari pasca
vaksinasi ND tetapi respon kekebalan seluler hanya berperan kecil pada ayam yang
divaksinasi ND (BEARD dan BRUGH, 1975; REYNOLDS dan MARAQA, 2000; AL-
SHAHERY et al., 2008). Meskipun demikian, penelitian yang dilakukan oleh AL-
ZUBEEDY (2009) menunjukkan hasil bahwa selain respon kekebalan humoral, respon
kekebalan seluler juga berperan penting dalam meningkatkan kekebalan pada ayam umur
satu hari yang divaksinasi ND. Antibodi merupakan suatu unit yang berfungsi dalam
kekebalan humoral.
Antibodi dihasilkan oleh sel plasma dari permukaan limfosit B yang mengandung
efektif dalam melawan infeksi yang terjadi di luar sel (ekstra sel). Terdapat 3 klas atau
isotipe immunoglobulin yang ditemukan dalam sistem imun unggas yaitu IgM, IgY(G) dan
32
IgA (LILLEHOJ dan TROUT, 1996). Hasil penelitian yang dilakukan XIAO et al. (2009)
menunjukkan bahwa program vaksinasi dengan formula vaksin ND yang mengandung 20,
antibodi IgG pada 14, 21, 28 dan 35 hari pascavaksinasi. Ayam umur 1 hari yang divaksin
dengan vaksin live ND melalui tetes mata mempunyai tingkat kekebalan yang efektif
terhadap serangan virus ND dimana strain virus vaksin live tersebut bereplikasi dengan
cepat di membran mukosa konjungtiva, lubang hidung dan harderian gland serta mampu
infeksi yang terjadi di dalam sel (intra sel). Kekebalan ini bekerja dengan cara
menghancurkan sel yang terinfeksi virus atau masuk ke dalam sel untuk menghilangkan
antigen virus.
Sel limfosit T adalah antigen spesifik dalam respon CMI dan mampu melawan
infeksi patogen secara luas. Semua sel T mengekspresikan CD3 compleks pada permukaan
selnya serta terpisah dari reseptor sel T. Sel T helper atau yang biasa dikenal dengan CD4
berperan dalam regulasi kekebalan humoral dan CMI. Sel T helper berfungsi mengaktifkan
sel B. Cytotoxic limfosit T atau yang dikenal dengan CD8 terdapat pada permukaan sel T
serta berperan dalam melisiskan sel yang terinfeksi virus atau tumor sel (ERF, 2004). Sel
limfosit T αβ yang terdapat pada jaringan lymfoid perifer ayam menyerupai pada mamalia
dan umumnya dapat dibagi menjadi 2 subpopulasi yaitu CD4 dan CD8 (CHAN et al.,
1988). Subset Th1 dan Th2 tidak ditemukan pada ayam tetapi reaksi kekebalan dari kedua
tipe tersebut dapat diamati. Subset CD8 limfosit T terutama melisiskan sel melalui respon
sitokin. Subset CD4 limfosit T dapat menghasilkan beberapa respon sitokin untuk
stimulasi antigen (ARSTILA et al., 1994). Apabila salah satu tipe limfosit distimulasi oleh
33
antigen maka proliferasi dan diferensiasi sel limfosit terjadi dalam sel efektor dan sel
memori. Sel memori akan kembali muncul ketika antigen yang sama menyerang lagi. Sel
ini berdiferensiasi dengan cepat dalam sel efektor untuk melawan antigen. Produksi sel
memori yang spesifik terhadap antigen merupakan awal pertahanan terhadap infeksi serta
konsep vaksinasi (ERF, 2004; SCOTT, 2004). Respon imun seluler mencapai puncaknya
3.1 Kesimpulan
Organ limfoid pada tubuh ayam dibagi menjadi organ primer (sentral) dan
sekunder (tepi). Yang termasuk organ limfoid primer adalah bursa Fabricius di dekat
kloaka dan thymus di daerah leher. Sedangkan yang termasuk organ limfoid sekunder
antara lain kelenjar Harderian, limpa, Peyer's patches dan caeca tonsil. Sistem kekebalan
tubuh unggas dibagi menjadi sistem kekebalan non spesifik dan spesifik. Sistem kekebalan
Sistem kekebalan spesifik memiliki dua komponen, yaitu non-seluler (humoral) dan
memproduksi antibodi. Sistem kekebalan pada unggas terdiri atas T-lymphocytes yang
kekebalan humoral . Cell Mediated Immunity (CMI) adalah sistem kekebalan yang
independent, dibawah kontrol thymus. CMI memberikan respon kekebalan awal saat
infeksi, dan dapat dideteksi lebih awal pada 2-3 hari setelah vaksinasi dengan live vaccines
oleh sistem kekebalan seluler, yaitu B-lymphocyte dibawah kontrol bursa fabrisius. B-
lymphocyte diaktifkan menjadi sel plasma (plasma cells) dan disekresikan dalam darah
Apoptosis adalah kematian sel yang terprogram (programmed cell death), suatu
komponen yang normal terjadi dalam perkembangan sel untuk menjaga keseimbangan
pada organisme multiseluler. Proses apoptosis terdiri dari fase inisiasi (kaspase menjadi
aktif) dan fase eksekusi, ketika enzim mengakibatkan kematian sel. Inisiasi apoptosis
terjadi melalui dua jalur yang berbeda tetapi nantinya akan menyatu (konvergen), yaitu:
jalur ekstrinsik atau, yang dimulai dari reseptor, dan jalur intrinsik atau jalur mitokondria.
34
35
Secara garis besarnya apoptosis dibagi menjadi 4 tahap, yaitu adanya signal kematian
(penginduksi apoptosis), tahap integrasi atau pengaturan (transduksi signal, induksi gen
3.2 Saran
Penulis menyadari bahwa makalah diatas banyak sekali kesalahan dan jauh dari
banyak sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Maka dari itu penulis mengharapkan
DAFTAR PUSTAKA
Abbas AK, Lichtman AH, Pober JS. 2000. Celluler and Molecular Immunologi. 4thEd. W.B.
Ssaunders Company. Harcourt Health Science Company.
Ahmed KA, Saxena VK, Ara A, Singh KB, Sundaresan NR, Saxena M, Rasool TJ. 2007. Immune
response to Newcastle disease virus in chicken lines divergently selected for cutaneous
hypersensitivity. Int J Immunogenet. 34:445-455.
Ajik Azmijah, 2005. Observation of Bursal Apoptotic Cells Due to Avibirna Virus Infection.Vol.
21, No. 2.
Alan. 2002. Effect Of maternally derived antibody on vaccination againts infectious bursal disease
(Gumboro) with light vaccine in brunei. Int. J. Poult. Sci. 1: 98-101
Alexander, D.J. 2003. New castle disease. In: Disease of Poultry 11th Ed.. SAIF, Y.M. (Ed.). Iowa
State University Press. Amess. pp. 64 – 87.
Al-Zubeedy, A.Z. 2009. Immune response in day old broiler chick vaccinated against newcastle
disease virus. Iraqi Sci. 23(2): 143 – 146.
Arstila TP, Vainio O, Lassila O. 1994. Central role of Cd4+ T-Cells in avian immune-response.
Poult Sci. 73:1019-1026.
Aughey E, Frye FL. 2001. Comparative Veterinary Histology with Clinical Correlates. London
(EN) : Manson Publising. P: 252-270
Azinijal~ A. 2005. Pengarnatan Junlah Sel Apoptotik pada Bursa Fabricius Akibat Infeksi Virus
Avibirna. Dalam Media Kedokteran Hewan Vol. 21 No.2 Mei 2005.
www.ioumal.unair.ac.id/filerPDF/MKH-21-2-14.pdf - [5 September 2009]
Butcher, GD dan RD 'Miles. 2003. The Avian Immune System. http://edis.ifas.ufl.edu. [21
Februari 2009]
Cann A.J. 1997. Principle of Molecular Virology. Acdemic Press. 2nd Edition Capter 6.
Cheville NF. 1967. Studies on pathogenesis of Gumboro disease in the bursa of fabricius, spleen
and thymus of the chicken. Am. J. Pathol. 51 : 527-551.
Crespo R, Yamashiro S, Hunter DB. 1998. Development of the thoracic air sacs of turkeys with
age and rearing concitions. Avian Dis. 42:35-44.
Dyah Ayu Hewajuli dan N.L.P.I, Dharmayanti. 2011. Patogenitas virus newcastle disease pada
ayam. Balai besar penelitian veteriner. 2-9.
Fenner J dm Fransk. 1995. Virologi Veteriner. Edisi kedua. P Harya, Peuerjemah. Semarang. IKIP
Semarang Press. Terjemahan dari: Veterinary Virology.
Fung-Leung WP, Schilham MW, Rahemtulla A, Kündig TM, Vollenweider M, Potter J, van Ewijk
W, Mak TW. 1991. CD8 is needed for development of cytotoxic T cells but not helper T
cells. Cell. 65:443-449.
Haskito AEP. 2011. Efek pemberian ekstrak daun srikaya (Annona squamosa l) terhadap gambaran
histologi bursa fabricius dan limpa ayam pedaging yang diinfeksi virus infectious bursal
disease [Skripsi]. Surabaya (ID): Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Surabaya.
Hayter RB, Besch EL. 1974. Airborne particle deposition in the respiratory tract of chickens. Poult
Sci. 53:15071511.
Houston EG, Nechanitzky R, Fink PJ. 2008. Cutting edge: Contact with secondary lymphoid
organs drives postthymic T cell maturation. J Immunol. 181:52135217.
Janeway CA, Paul T, Mark W, Mark JS. 2001. Immuno Biology. Fifth Edition. Garland
Publishing, New York.
Juul-Madsen HR, Viertlboeck B, Smith AL, Göbel TWF. 2008. Avian innate immune responses.
In: Davison F, Kaspers B, Schat KA, editors. Avian Immunol. California (US): Academic
Press is an imprint of Elsevier.p. 13-50.
Kresno SB. 2004. Imunologi : Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Edisi keempat. Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jakarta.
Kuby 1999. Immunology. W.H. Freemasn Company. New York 3rd Edition.
Kumala S, Dewi AT, Nugroho YA. 2013. Efek Imunostimulan Ekstrak Etanol Herba Pegagan
Centell asiatica L) terhadap 169 Mencit Jantan yang Diinduksi Sel Darah Merah Domba. J
Med Vet Indones.
Mayer G. 2003. Virology Chapter Twelve “Virus Host Interactions” University of South Caorlina.
Maynard CL, Elson CO, Hatton RD, Weaver CT. 2012. Reciprocal interactions of the intestinal
microbiota and immune system. Nature. 489:231-241.
Medion. 2014. Imunosupresi pada Ayam Broiler. [Internet]. [diunduh 2015 Mei 26]. Tersedia
pada: https://info.medion.co.id/index.php/artikel/ broiler/ pengobatan-a-
vaksinasi/imunosupresi-pada-ayam-broiler.
38
Moon JJ, Chu HH, Pepper M, McSorley SJ, Jameson SC, Kedl RM, Jenkins MK. 2007. Naive
CD4+ T cell frequency varies for different epitopes and predicts repertoire diversity and
response magnitude. Immunity. 27:203-213
Nganpiep LN, Maina JN. 2002. Composite cellular defence stratagem in the avian respiratory
system: Functional morphology of the free (surface) macrophages and specialized
pulmonary epithelia. J Anat. 200:499-516.
Ravindra PV, Tiwari AK, Ratta B, Bais MV, Chaturvedi U, Palia SK, Sharma B, Chauhan RS.
2009. Time course of Newcastle disease virus-induced apoptotic pathways. Virus Res.
144:350-354
Rue CA, Susta L, Cornax I, Brown CC, Kapczynski DR, Suarez DL, King DJ, Miller PJ, Afonso
CL. 2011. Virulent Newcastle disease virus elicits a strong innate immune response in
chickens. J Gen Virol. 92:931-939.
Sharma JM. 1991. Overview of Avian Immune System. Vet Immunol and Immunopathol. 30 : 13-
17.
Timmermans K, Plantinga TS, Kox M, Vaneker M, Scheffer GJ, Adema GJ, Joosten LAB, Neteaa
MG. 2013. Blueprints of signaling interactions between pattern recognition receptors:
Implications for the design of vaccine adjuvants. Clin Vaccine Immunol. 20:427432.
Tizard IR. 2000. Veterinary Immunology An Introduction. Sixth Edition. WB Saunders Company.
Harcourt Health Sciences Company. Philadelphia, Pennsylvania.
Tizard, IR. 1982. An Introduction to Veterinary Immunology. 2nd Edition. USA. W. B. Saunders
Conlpany.
Wakamatsu N, King DJ, Seal BS, Samal SK, Brown CC. 2006b. The pathogenesis of Newcastle
disease: A comparison of selected Newcastle disease virus wildtype strains and their
infectious clones. Virology. 353:333-343.
Wibawan, IWT, Retno DS, CS Damayanti, TB Tauffani. 2003. Diktat Imunologi. Bogor. FKH-
IPB.
Xu-Amano J, Jackson RJ, Fujihashi K, Kiyono H, Staats HF, McGhee JR. 1994. Helper Th1 and
Th2 cell responses following mucosal or systemic immunization with cholera toxin.
Vaccine. 12:903- 911.