Anda di halaman 1dari 40

MAKALAH KELOMPOK 4B

PPDH XXXI

Celluler Mediataed Immunity pada Unggas

Oleh:

Bahana Gatra 061813143011 Rilla Ainul Ghurroh 061813143066


R. Zaksara Fero A.M.W 061813143083 Talitha Winadia 061813143054
Zakiah Saumi 061813143089 Rima Eka Rahmani 061813143068
Fatma Rahmania 061813143059 Zakiya Ardian 061813143053
Mita Fitria Santi 061813143050 Agustin Citra Dwi H. 061813143084
Diche Septin Ardina 061813143070 Novi Ayu Septiani 061813143051
Wahyu Retno Swari 061813143069

DEPARTEMEN PATOLOGI VETERINER


PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2019
DAFTAR ISI

Halaman
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................... 3
1.3 Tujuan ........................................................................................................ 3
1.4 Manfaat ...................................................................................................... 3
1.4.1 Manfaat Praktis................................................................................... 3
1.4.2 Manfaat Teoritis ................................................................................. 4
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................... 5
2.1 Celluler Mediated Immunity ...................................................................... 5
2.2 Sistem Kekebalan Tubuh Unggas Secara Umum ...................................... 8
2.2.1 Organ Limfoid Primer ........................................................................ 10
2.2.2 Organ Limfoid Sekunder .................................................................... 12
2.3 Kekebalan Non Spesifik pada Unggas ....................................................... 13
2.4 Kekebalan Spesifik Seluler pada Unggas .................................................. 16
2.5 Mekanisme Imunitas Seluler ...................................................................... 17
2.6 Organ Limfoid Primer Unggas .................................................................. 21
2.7 Proses Apoptosis Unggas dengan CMI ...................................................... 21
2.7.1 Jalur intrinsic ...................................................................................... 23
2.7.2 Jalur Ekstrinsik ................................................................................... 23
2.7.3 Mekanisme apoptosis ......................................................................... 24
2.7.4 Signal Penginduksi Apoptosis ............................................................ 24
2.7.5 Regulator Molekuler dari Apoptosis .................................................. 25
2.7.7 Target Caspase ................................................................................... 26
2.7.8 Tahap Pelaksanaan Apoptosis ............................................................ 26
2.7.9 Sistem Kekebalan Ayam dan Unggas Lain dalam Melawan
Infeksi Virus ND ............................................................................. 30
BAB III PENUTUP ................................................................................................... 34
3.1 Kesimpulan ................................................................................................ 34
3.2 Saran.........................................................................................................35
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 36

ii
BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara yang jumlah penduduknya terus mengalami

peningkatan sehingga permintaan terhadap bahan makanan yang memiliki nilai gizi yang

baik akan meningkat pula. Makanan yang bergizi baik dapat berasal dari produk hewani

maupun nabati. Salah satu produk makanan hewani yang memiliki nilai gizi tinggi adalah

daging. Daging dapat berasal dari ternak ruminansia maupun nonruminansia, termasuk

unggas. Produksi daging unggas banyak dikembangkan sebagai sumber pemenuhan

kebutuhan protein hewani. Namun ada beberapa spesies unggas, seperti diantaranya ayam

broiler, yang diketahui memiliki kelemahan yaitu rentan terhadap serangan penyakit,

terutama penyakit yang disebabkan oleh virus. Penyakit yang disebabkan oleh virus ini

sangat merugikan bagi peternak karena menurunkan produktivitas,dan dapat menyebabkan

kematian unggas. Selain itu bahaya yang disebabkan oleh infeksi virus yaitu penularan

strain-strain virus tertentu kepada manusia. Akibat dari serangan penyakit-penyakit ini,

permintaan terhadap daging unggas di pasaran akan menurun tajam.

Secara umum sistem kekebalan tubuh pada unggas tidak berbeda secara signifikan

dengan sistem kekebalan pada manusia maupun mamalia. Unggas mempunyai dua organ

limfoid primer, yaitu Timus dan Bursa Fabricius. Kedua organ limfoid ini secara sinergis,

memproduksi sel-sel imun yang berguna untuk mengeliminasi agen-agen infeksius

maupun non-infeksius penyebab dari penyakit-penyakit yang menyerang tubuh unggas.

Rangsangan terhadap sel-sel tersebut terjadi apabila tubuh terpapar suatu zat yang oleh sel

atau jaringan tadi dianggap asing. Benda asing ini dinamakan antigen atau imunogen dan

proses serta fenomena yang menyertainya disebut dengan respons imun yang nantinya

akan menghasilkan suatu zat yang disebut dengan antibodi. Tingkat kekebalan tubuh ini

1
2

akan terus berubah-ubah selama hidup unggas dan dapat diamati baik secara seluler

ataupun humoral.

Hal ini kemudian menjadi penting untuk dipahami karena akan berguna dalam

pengaplikasian program vaksinasi di lapangan. Vaksinasi merupakan proses

dimasukkannya mikroorganisme penyebab penyakit yang telah dilemahkan atau

dihilangkan sifat infeksiusnya, ke dalam tubuh hewan. Di dalam tubuh hewan, diharapkan

mikroorganisme yang dimasukkan tidak menimbulkan bahaya penyakit melainkan dapat

merangsang pembentukan zat-zat kekebalan (antibodi) terhadap agen penyakit tersebut

(Tizard, 1988). Dalam perkembagannya, banyak bermunculan penyakit-penyakit sistemik

yang secra khusus menyerang sistem kekebalan tubuh unggas, seperti diantaranya Avian

Influenza (AI), Newcastle Disease (ND), dan Infectious Bursal Disease (IBD). Berbagai

penyakit tersebut, dapat menginfeksi organ limfoid, misalnya bursa fabricius, timus dan

limpa yang berperan utama dalam menghasilkan respon kekebalan dan jika organ limfoid

mengalami lesi akan mengganggu sistem kekebalan ayam yang terinfeksi patogen virulen

(Cheville, 1967).

Apabila sistem imun dalam tubuh terpapar oleh zat yang dianggap asing, maka

akan terjadi dua jenis respons imun, yaitu respons imun non spesifik dan respons imun

spesifik. Walaupun kedua respons imun ini prosesnya berbeda, namun telah dibuktikan

bahwa kedua jenis respons imun diatas saling meningkatkan efektivitasnya. Respons imun

yang terjadi sebenarnya merupakan interaksi antara satu komponen dengan komponen lain

yang terdapat didalam sistem imun. Interaksi tersebut berlangsung bersama-sama

sedemikian rupa sehingga menghasilkan suatu aktivitas biologis yang seirama dan serasi

(Roitt, 1994).
3

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan celluler mediated immunity?

2. Bagaimana mekanisme kerja sistem imunitas pada unggas?

3. Apa saja kekebalan spesifik pada unggas?

4. Apa saja kekebalan non spesifik pada unggas?

5. Bagaimana mekanisme imunitas seluler?

6. Apa saja organ limpoid primer unggas?

7. Bagaimana mekanisme proses apoptosis ungags dengan celluler mediated

immunity?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan celluler mediated immunity.

2. Untuk mengetahui mekanisme kerja sistem imunitas pada unggas

3. Untuk mengetahui kekebalan spesifik pada unggas.

4. Untuk mengetahui kekebalan non spesifik pada unggas.

5. Untuk mengetahui mekanisme imunitas seluler.

6. Untuk mengetahui Apa saja organ limpoid primer unggas.

7. Untuk mengetahui mekanisme proses apoptosis unggas dengan celluler mediated

immunity

1.4 MANFAAT

1.4.1 MANFAAT PRAKTIS

Untuk mengurangi maupun menghindari potensi terjadinya outbreak oleh

penyakit-penyakit yang menyerang sistem imunitas pada unggas.


4

1.4.2 MANFAAT TEORITIS

Memberikan pemahaman mengenai mekanisme proses apoptosis unggas

dengan celluler mediated immunity serta kepentingannya terhadap kelangsungan

hidup unggas dalam usahanya untuk mengeliminasi agen infeksius maupun non-

infeksius yang masuk ke dalam tubuh.


BAB 2 PEMBAHASAN

2.1 Imunitas yang diMediasi dalam Tingkat Seluler

Resistensi dan pemulihan pada infeksi virus bergantung pada interaksi antara virus

dan inangnya. Pertahanan inang bekerja langsung pada virus atau secara tidak langsung

pada replikasi virus untuk merusak atau membunuh sel yang terinfeksi. Fungsi pertahanan

nonspesifik inang pada awal infeksi untuk menghancurkan virus adalah mencegah atau

mengendalikan infeksi, kemudian adanya fungsi pertahanan spesifik dari inang termasuk

pada infeksi virus bervariasi bergantung pada virulensi virus, dosis infeksi, dan jalur

masuknya infeksi (Mayer 2003).

Sistem imun pada unggas bekerja secara umum seperti sistem imun pada mamalia.

Stimulasi antigenik menginduksi respons imun yang dilakukan sistem seluler secara

bersama-sama diperankan oleh makrofag, limfosit B, dan limfosit T. Makrofag memproses

antigen dan menyerahkannya kepada limfosit. Limfosit B, yang berperan sebagai mediator

imunitas humoral, yang mengalami transformasi menjadi sel plasma dan memproduksi

antibodi. Limfosit T mengambil peran pada imunitas seluler dan mengalami diferensiasi

fungsi yang berbeda sebagai subpopulasi (Sharma 1991).

Antigen eksogen masuk ke dalam tubuh melalui endosistosis atau fagositosis.

Antigen-presenting cell (APC) yaitu makrofag, sel denrit, dan limfosit B merombak

antigen eksogen menjadi fragmen peptida melalui jalan endositosis. Limfosit T

mengeluarkan subsetnya, yaitu CD4, untuk mengenal antigen bekerja sama dengan Mayor

Hystocompatablity Complex (MHC) kelas II dan dikatakan sebagai MHC kelas II restriksi.

Antigen endogen dihasilkan oleh tubuh inang. Sebagai contoh adalah protein yang

disintesis virus dan protein yang disintesis oleh sel kanker. Antigen endogen dirombak

menjadi fraksi peptida yang selanjutnya berikatan dengan MHC kelas I pada retikulum

5
6

endoplasma. Limfosit T mengeluarkan subsetnya, yaitu CD8, mengenali antigen endogen

untuk berikatan dengan MHC kelas I, dan ini dikatakan sebagai MHC kelas I restriksi

(Kuby 1999, Tizard 2000).

Limfosit adalah sel yang ada di dalam tubuh hewan yang mampu mengenal dan

menghancurkan bebagai determinan antigenik yang memiliki dua sifat pada respons imun

khusus, yaitu spesifitas dan memori. Limfosit memiliki beberapa subset yang memiliki

perbedaan fungsi dan jenis protein yang diproduksi, namun morfologinya sulit dibedakan

(Abbas et al. 2000). Limfosit berperan dalam respons imun spesifik karena setiap individu

limfosit dewasa memiliki sisi ikatan khusus sebagai varian dari prototipe reseptor antigen.

Reseptor antigen pada limfosit B adalah bagian membran yang berikatan dengan antibodi

yang disekresikan setelah limfosit B yang mengalami diferensiasi menjadi sel fungsional,

yaitu sel plasma yang disebut juga sebagai membran imunoglobulin. Reseptor antigen

pada limfosit T bekerja mendeteksi bagian protein asing atau patogen asing yang masuk

sel inang (Janeway et al.2001). Mekanisme kerja sistem imun disajikan pada Gambar 2

(Cann 1977).
7

Gambar 2 Mekanisme secara umum sistem imun (Cann 1997)

Sel limfosit B berasal dari sumsum tulang belakang dan mengalami pendewasaan

pada jaringan ekivalen bursa. Jumlah sel limfosit B dalam keadaan normal berkisar antara

10 dan 15%. Setiap limfosit B memiliki 105 B cell receptor (BCR), dan setiap BCR

memiliki dua tempat pengikatan yang identik. Antigen yang umum bagi sel B adalah

protein yang memiliki struktur tiga dimensi. BCR dan antibodi mengikat antigen dalam

bentuk aslinya. Hal ini membedakan antara sel B dan sel T, yang mengikat antigen yang

sudah terproses dalam sel (Kresno 2004).

Jajaran ketiga sel limfoid adalah natural killer cells (sel NK) yang tidak memiliki

reseptor antigen spesifik dan merupakan bagian dari sistem imun nonspesifik. Sel ini

beredar dalam darah sebagai limfosit besar yang khusus memiliki granula spesifik yang

memiliki kemampuan mengenal dan membunuh sel abnormal, seperti sel tumor dan sel
8

yang terinfeksi oleh virus. Sel NK berperan penting dalam imunitas nonspesifik pada

patogen intraseluler (Janeway et al. 2001).

Antibodi diproduksi oleh sistem imun spesifik primer pada pemulihan pada infeksi

virus dan pertahanan pada serangan infeksi virus. Sel T lebih berperan pada pemulihan

infeksi virus. Sitotoksik sel T (CTLs) atau CD8 berperan pada respons imun terhadap

antigen virus pada sel yang diinfeksi dengan cara membunuh sel yang terinfeksi untuk

mencegah penyebaran infeksi virus. Sel T helper (CD4) adalah subset sel T yang berperan

membantu sel B untuk memproduksi antibodi. Limfokin disekresikan oleh sel T untuk

mempengaruhi dan mengaktivasi makrofag dan sel NK sehingga meningkat secara nyata

pada penyerangan virus (Mayer 2003).

Patogen yang mampu dijangkau oleh antibodi adalah hanya antigen yang berada

pada peredaran darah dan di luar sel, padahal beberapa bakteri patogen, parasit, dan virus

perkembangan replikasinya berada di dalam sel sehingga tidak dapat dideteksi oleh

antibodi. Penghancuran patogen ini membutuhkan peran limfosit T sebagai imunitas yang

diperantarai oleh sel. Limfosit T mengenal sel yang terinfeksi virus, virus yang

menginfeksi sel bereplikasi di dalam sel dengan memanfaatkan sistem biosintesis sel

inang. Derivat antigen dari replikasi virus dikenal oleh limfosit T sitotoksik. Sel tersebut

mampu mengontrol sel yang terinfeksi sebelum replikasi virus dilangsungkan secara

lengkap. Sel T sitotoksik merupakan ekspresi dari molekul CD8 pada permukaannya

(Janeway et al. 2001).

2.2 Sistem Kekebalan Tubuh Unggas Secara Umum

Sistem kekebalan tubuh unggas mirip dengan kekebalan pada mamalia. Sistem

kekebalan dibagi menjadi sistem kekebalan non spesifik dan spesifik. Sistem kekebalan

non-spesifik adalah sistem kekebalan alami unggas terhadap serangan penyakit. Sistem
9

kekebalan secara genetik didapatkan dari induk ayam kepada anak ayam. Fitur anatomis

juga merupakan sistem kekebalan nonspesifik yaitu kulit ayam yang ditutupi dengan bulu.

Hal ini membantu melawan cedera eksternal. Organisme patogen tidak dapat menembus

lapisan tubuh ayam karena terlindungi kulit dan membran mokusa. Bakteri pada usus ayam

yang sehat memiliki populasi mikroba yang stabil. Mikroflora dapat membantu untuk

mencegah serangan organisme patogen. Trakea dilapisi dengan sili, silia memainkan peran

penting dalam menghilangkan organisme patogen dan debris. Akan tetapi, tingkat debu

atau amonia yang tinggi bisa membuat kerja sistem siliaris tidak efektif. Sistem kekebalan

non-spesifik ini merupakan sistem kekebalan paling awal dan paling sederhana dari sistem

kekebalan umum.

Sistem kekebalan spesifik memiliki dua komponen, yaitu non-seluler (humoral)

dan seluler. Komponen non-seluler termasuk immunoglobulin (antibodi) dan sel-sel yang

memproduksi antibodi. Antibodi bekerja secara khusus terhadap antigen. Sebagai contoh,

antibodi terhadap Newcastle Disease (ND) hanya bekerja terhadap virus ND. Komponen

seluler dari mekanisme kekebalan spesifik mencakup semua sel yang bereaksi dengan

khusus terhadap antigen kecuali yang terkait dengan produksi antibodi. Antibodi bekerja

melalui dua cara yang berbeda untuk mempertahankan tubuh terhadap agen penyebab

penyakit yaitu dengan cara langsung menginaktivasi agen penyebab penyakit dan dengan

mengaktifkan sistem komplemen yang kemudian akan menghancurkan agen penyakit

tersebut. Sistem kekebalan pada unggas terdiri atas T-lymphocytes yang merupakan

komponen kekebalan seluler dan B-lymphocytes yang merupakan komponen kekebalan

humoral . Cell Mediated Immunity (CMI) adalah sistem kekebalan yang independent,

dibawah kontrol thymus . CMI memberikan respon kekebalan awal saat infeksi, dan dapat

dideteksi lebih awal pada 2-3 hari setelah vaksinasi dengan live vaccines . Humoral

Mediated Immunity (Kekebalan Humoral) merupakan pertahanan menengah oleh sistem


10

kekebalan seluler, yaitu B-lymphocyte dibawah kontrol bursa fabrisius. B-lymphocyte

diaktifkan menjadi sel plasma (plasma cells) dan disekresikan dalam darah dan derivatnya

dengan menghasilkan immunoglobulin IgM dan IgG. IgM dan IgG tersusun dalam proses

perkembangan respon kekebalan humoral .

Organ limfoid yang ada pada tubuh ayam dibagi menjadi organ primer (sentral)

dan sekunder (tepi). Yang termasuk organ limfoid primer adalah bursa Fabricius di dekat

kloaka dan thymus di daerah leher. Sedangkan yang termasuk organ limfoid sekunder

antara lain kelenjar Harderian (terletak di belakang bola mata), limpa, Peyer's patches

(letaknya di sepanjang mukosa usus) dan caeca tonsil (di perbatasan usus buntu) (Medion

2014).

2.2.1 Organ Limfoid Primer

Kelenjar timus memiliki tugas penting dalam kerja sistem kekebalan tubuh kita,

yaitu mengolah sel-sel darah putih yang diproduksi di sumsum tulang dan mengubahnya

menjadi sel limfosit-T.Timus memproduksi limfosit dan akan berdeferensiasi menjadi

limfosit-T. Sel-sel limfosit-T ini mempunyai peran penting dalam hal pertahanan tubuh

melawan infeksi, yaitu dengan merangsang produksi antibodi oleh limfosit lainnya. Selain

itu, sel Limfosit-T juga membantu pertumbuhan dan aktivitas fagosit (sel darah putih besar

yang berkontribusi dalam pertahanan kekebalan tubuh dengan menelan mikroba, partikel

asing, atau sel lainnya). dengan fungsi mengenal dan menghancurkan sel yang terinfeksi

bakteri atau virus, mengaktifkan makrofag dalam fagositosis dan membantu sel B dalam

memproduksi antibodi (Alan 2002). T-cells berkembang dan terkumpul pada beberapa

organ limfoid, seperti tonsil usus buntu (cecal tonsil), dan kelenjar Harderian.

Bursa Fabricius Bursa fabricius merupakan organ limfoid primer yang menjadi

salah satu ciri khas pada unggas. Organ ini sangat baik perkembangannya pada usia muda.
11

Secara anatomi, bursa fabricius terletak di bagian dorsal kloaka (Hassan et al. 2011). Bursa

fabricius merupakan bagian dari sistem limfoid yang menghasilkan antibodi. Organ ini

dapat mengontrol perkembangan dari sel plasma dan germinal center dari limpa dan

limfonodus (Aughey dan Frye 2001). Menurut Hassan et al.(2011), bursa fabricius dapat

menghasilkan limfosit B yang disalurkan ke organ limfoid sekunder seperti limpa. Bentuk

bursa fabricius adalah folikel bursa. Secara histologi, bursa fabricius terlihat sebagai

rangkaian lipatan seperti daun yang dikelilingi oleh pseudostratified epithelium. Lipatan-

lipatan tersebut disebut dengan plica yang terdiri dari plica besar dan plica kecil. Folikel

limfoid, jaringan ikat, dan pembuluh darah merupakan bagian penyusun dari organ ini.

Folikel limfoid terdiri dari korteks dan medulla yang jika diwarnai dengan hematoksilin

eosin, bagian korteksnya mengambil warna lebih banyak dari medulla. Pada bagian ini

selnya lebih kompleks. Korteks terdiri dari sel limfosit, sel plasma, dan makrofag,

sedangkan medulla hanya terdiri dari sel limfosit saja. Folikel berkembang dari interaksi

pertumbuhan epitel dan sel mesenkim. Setiap folikel matang terdiri dari medulla dan

korteks. Pada pewarnaan He matoksilin Eosin (HE) bagian korteks mengambil warna lebih

kuat dibandingkan dengan medulla sama seperti kandungannya yang relative lebih banyak

mengandung limfosit kecil. Tiap folikel dipenuhi oleh satu atau dua sel dan koloni tersebut

melakukan proliferasi di dalam folikel. Jumlah total folikel pada bursa yang matang atau

dewasa sekitar antara 8000-1200 buah. Korteks dan medulla dipisahkan oleh membran

basal yang berhubungan dengan permukaan epitel. Permukaan medulla dari membran

basal folikularis terdiri dari lapisan sel epitel squasmos atau kubus. Stroma jaringan epitel

secara ekstensif terdapat dalam medulla (Riddel 1996). Sel B yang dihasilkan oleh bursa

Fabricius akan menghasilkan antibodi dan sel pengingat (sel memori). Dalam menanggapi

adanya antigen, sel-sel plasma menghasilkan antibodi. Antibodi adalah suatu protein yang

besar molekulnya dapat membantu menghancurkan dan melumpuhkan patogen dengan


12

jalan mengikat patogen tersebut dengan protein yang bersifat antigenik. Sel-sel plasma

yang menghasilkan antibodi berasal dari sel B. Sel-sel memori akan mengingat dan

mengenal antigen yang pernah masuk kedalam tubuh, sehingga sistem kekebalan unggas

dapat bertindak cepat (Cheville 1967).

2.2.2 Organ Limfoid Sekunder

Limpa Limpa merupakan organ limfoid terbesar dalam sistem pertahanan tubuh.

Organ ini merupakan organ limfoid sekunder yang terdapat pada bagian kiri lambung.

Limpa berfungsi sebagai tempat pematangan sel antibodi dan melakukan tindakan

perlawanan terhadap antigen asing yang datang. Limpa memiliki selubung terluar yang

disebut dengan kapsula. Bagian ini terdiri dari dari otot polos, serabut kolagen, dan serabut

elastin yang dilengkapi dengan fibrosit. Perpanjangan dari kapsula disebut dengan

trabekula yang menunjang kehidupan bagian parenkima dari limpa (Aughey dan Frye

2001). Limpa pada unggas memiliki suatu keunikan yang dapat membedakannya dengan

hewan lain. Pada mamalia, fibromuskular berkembang dengan baik, namun pada unggas

secara histologi terlihat lebih tipis. Unggas hampir tidak memiliki trabekula, bahkan pada

sebagian unggas trabekula tidak dapat ditemukan (Aughey dan Frye 2001). Secara

histologi parenkima limpa memiliki dua bagian utama, yaitu pulpa merah dan pulpa putih.

Secara umum, pulpa merah merupakan tempat produksi sel darah merah dan pulpa putih

sebagai tempat yang kaya dengan sel limfosit sebagai respon sistem imun (Dellman dan

Eurell 1998). Pulpa merah sebagai salah satu bagian dari limpa berisi banyak jumlah

eritrosit sehingga berwarna lebih terang (Aughey dan Frye 2001). Pada pulpa merah juga

terdapat sinus venosus, arteri dan kapiler, serta korda limpa yang berisi makrofag, sel

plasma, limfosit, dan sel darah putih lainnya. Pulpa putih merupakan salah satu parameter

terbentuknya sistem kekebalan tubuh. Pada bagian ini banyak terdapat sel limfosit,
13

terutama limfosit T yang berasal dari sistem limfoid primer, makrofag, dan sel dendrit

(Aughey dan Frye 2001). Dellman dan Eurell (1998) mengatakan bahwa pulpa merah dan

pulpa putih dipisahkan oleh suatu selaput yang disebut dengan zona marginal. Zona inilah

yang menghubungkan kedua bagian dan menghubungkan antibodi dengan pembuluh

darah. Imunomodulator Bursa fabricius dan limpa sangat rentan terhadap berbagai

penyakit yang dapat menurunkan fungsi kekebalan tubuh. Salah satu cara mencegah

penurunan tersebut adalah dengan meningkatkan jumlah limfosit B dengan menambahkan

suatu perlakuan yang disebut imunomodulator (Haskito 2011).

Imunomodulator merupakan suatu zat kimia, obat, atau aksi dari suatu sistem imun

yang dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh dan mencegah terjadinya infeksi agen

asing, baik agen infeksius maupun agen non-infeksius. Agen-agen ini dapat menyebabkan

proses peradangan. Sebagai imunomodulator, suatu zat atau bahan kimia tertentu tidak

langsung bekerja pada agen penyebab suatu peradangan, namun zat ini hanya bekerja

merangsang sistem kekebalan untuk menghasilkan antibodi dalam jumlah yang lebih

banyak untuk melawan agen penyakit tersebut (Kumala et al. 2013) Imunomodulator tidak

hanya berasal dari obat-obatan berbahan dasar kimia, namun sistem kekebalan juga bisa

ditingkatkan dengan menggunakan bahan-bahan yang bersifat alami.

2.3 Kekebalan Non Spesifik pada Unggas

Respon kekebalan non-spesifik (alamiah) terdiri dari faktor-faktor yang sudah ada

sejak lahir atau sebelum tubuh terinfeksi mikroorganisme. Respon kekebalan ini bersifat

cepat dan paling awal dalam pertahanan terhadap infeksi mikroorganisme. Sistem

kekebalan non-spesifik terdiri dari beberapa komponen yaitu barrier fisik dan kimia (bulu,

kulit, mukosa); sel fagosit (makrofag, NK, neutrofil, heterofil ) (Ferdous et al. 2008);

protein komplemen dan mediator peradangan dan sitokin(Scott & Owens 2008).
14

Sistem kekebalan non-spesifik tidak hanya melawan patogen tetapi juga mengawali

terjadinya reaksi kaskade yang melibatkan berbagai macam komponen sistem kekebalan

untuk selanjutnya menginduksi sistem kekebalan spesifik (adaptif). Sistem kekebalan non-

spesifik sangat penting pada fase awal invasi mikroorganisme dengan cara membatasi

penyebaran patogen sampai ke sistem kekebalan spesifik (sel limfosit B dan T) bekerja

untuk melawan infeksi tersebut (Juul-Madsen et al. 2008). Invasi patogen ke dalam tubuh

inang dapat melalui oral atau saluran pencernaan, penetrasi kulit atau mukosa, serta

saluran pernafasan atau inhalasi.

Inhalasi partikel mikroorganisme dalam bentuk aerosol dilawan oleh sistem

kekebalan respirasi unggas melalui filtrasi aerodinamik, mukosiliari, fagositosis.

Perlekatan partikel mikroorganisme tergantung ukurannya. Partikel ukuran besar (3,7-7

μm) akan dibunuh di nasal cavity dan trachea proximal tetapi partikel yang lebih kecil

mampu menginfeksi sepanjang saluran pernafasan. Partikel ukuran sedang (1,1 μm) akan

tersaring di paru-paru dan cranial air sacs tetapi partikel yang lebih kecil (0,091 μm) akan

mampu melewati seluruh paru-paru kemudian terperangkap dalam abdominal air sacs

(Hayter & Besch 1974). Makrofag ditemukan dalam jumlah besar pada epitelium atrium

jantung dan infindubular yang berperan penting mengeliminasi partikel dari udara

(Nganpiep & Maina 2002). Leukosit dideteksi pada permukaanair sacssedangkan

granulosit dan makrofag ditemukan pada sel saluran pernafasan dan fagosit mononuklear

dapat dideteksi di parenkim paru-paru dan jaringan penghubung air sacs (Crespo et al.

1998). Barrier fisik dan kimia yang termasuk sistem kekebalan non-spesifik mengatur

simbiosis mutualisme dengan mikroba flora normal pada saluran pencernaan. Pemahaman

tentang bagaimana sistem kekebalan alami berupaya untuk melindungi dan menjaga

keseimbangan dengan berbagai jenis mikroba sangat penting untuk mencegah dan

pengobatan penyakit (Maynard et al. 2012).


15

Kekebalan non-spesifik diawali oleh reaksi reseptor yang dikenali oleh

mikroorganisme (pattern recognition receptors/PRRs) dan pathogen-associated moleculer

patterns (PAMPs). Pengenalan PAMPs oleh PPRs baik secara sendiri maupun heterodimer

dengan PRRs yang lain, toll-like receptors (TLR), nucleotide binding oligomerization

domain proteins (NOD), RNA helicases seperti retinoic acid induce-ible gen 1 (RIG1) atau

melanoma differentiation-associated protein 5 (MDA5), lectin tipe C mampu menginduksi

respon sinyal intraseluler untuk mengaktifkan gen yang mengkode sitokin penyebab

radang, faktor anti apoptosis dan peptida anti mikroba (Timmermans et al. 2013). Reseptor

RIG-1 pada makrofag berperan penting dalam melindungi sel inang dari infeksi virus ND

dan sebagai antivirus untuk melawan virus ND pada awal infeksi. Ekspresi RIG-1 dalam

jumlah besar akan menurunkan replikasi virus ND (Fournier et al. 2012).

Reseptor sel sistem kekebalan non-spesifik bersifat kurang spesifik terhadap

serangan mikroorganisme jika dibandingkan dengan reseptor sel sistem kekebalan spesifik

BCR dan TCR. Reseptor sel pada sistem kekebalan non-spesifik ditemukan dalam jumlah

yang lebih besar di seluruh tubuh jika dibandingkan dengan reseptor sel sistem kekebalan

spesifik. Sistem kekebalan non-spesifik seluler memiliki sampai 100 jenis reseptor yang

berbeda. Reseptor ini diekspresikan dengan frekuensi yang tinggi dan disebarkan

berdasarkan tipe sel. Setiap reseptor diekspresikan pada jutaan sel kekebalan nonspesifik

sebaliknya pada sistem kekebalan spesifik BCR dan TCR populasinya sangat sedikit pada

sel yang diperoleh dari klon yang spesifik. Keragaman dan frekuensi reseptor yang

digunakan untuk melawan patogen menyebabkan perbedaan respon kekebalan non-

spesifik dan spesifik. Reseptor sel kekebalan nonspesifik untuk mendeteksi patogen

mempunyai frekuensi yang tinggi sehingga menyebabkan respon yang terjadi sangat cepat,

tetapi kemampuan membedakan patogen atau spesifisitas rendah. Respon sel sistem
16

kekebalan spesifik (BCR dan TCR) melambat tergantung pada proliferasi sel, tetapi

spesifisitasnya sangat tinggi(Juul-Madsen et al. 2008).

Infeksi virus pertama kali dikenali oleh protein inang yaitu protein TLR dan NOD.

Sinyal berlangsung sangat cepat kemudian terjadi transkripsi faktor aktivasi yang

menghasilkan interferon dan sitokin untuk menghambat replikasi virus. Infeksi virus ND

mampu menginduksi nitric oxide (NO) dalam sel heterofil dan monosit dalam darah. Sel

makrofag mengekresikan interferon alpha (INF α) dan interferon beta (IFN β) sedangkan

sel monosit dalam darah memproduksi interferon gamma (IFN-γ) (Ahmed et al. 2007).

Respon aktivasi makrofag terdiri dari migrasi dan kemotaksis, fagositosis dan produksi

reaktif nitrogen dan oksigen. Respon ini merupakan reaksi peradangan dan membatasi

penyebaran patogen (Qureshi et al. 2000). Makrofag berfungsi sebagai antigen presenting

cell (APC), akan mengaktifkan sel T melalui co-stimulator molekul dan stimulator sitokin

(Houston et al. 2008). Infeksi virus ND strain virulen merangsang respon gen inang IFN α,

IFN β, interleukin 1 (IL-1) dan interleukin 6 (IL-6) dalam leukosit limpa (Rue et al. 2011).

Lebih lanjut, virus ND virulen mampu merangsang respon sitokin penyebab peradangan

yaitu IFN α, IFN γ, IL-1 dan IL-6 dalam leukosit limpa tetapi respon ini tidak ditunjukkan

oleh infeksi virus ND strain tidak virulen (Wakamatsu et al. 2006a; 2006b).

2.4 Kekebalan Spesifik Seluler pada Unggas

Kekebalan yang diperantarai sel Cell mediated immunity (CMI) efektif melawan

infeksi yang terjadi di dalam sel (intra sel). Kekebalan CMI bekerja dengan cara

menghancurkan sel yang terinfeksi virus atau masuk ke dalam sel untuk menghilangkan

antigen virus. Sel limfosit T adalah antigen spesifik dalam respon CMI dan mampu

melawan infeksi patogen secara luas. Semua sel T mengekspresikan CD3 kompleks pada

permukaan selnya serta terpisah dari reseptor sel T. Receptor cell T (TCR) pada sel
17

limfosit T diperlukan pada awal interaksi dengan antigen. Receptor cell T pada sel T hanya

bersifat spesifik pada komponen protein tertentu pada antigen (antigenpeptida). Receptor

cell T hanya berinteraksi dengan antigen-peptida yang diekspresikan oleh APC bersama

dengan molekul MHC II (Moon et al. 2007).

Sel limfosit T terdiri dari subset sel limfosit T helper (Th) dan T cytotoxic (Tc).

Sitokin yang disekresi dari sel T helper CD4+ dan sel T cytotoxic CD8+ merupakan

prinsip utama respon CMI. Cytotoxic limfosit T atau CD8+ terdapat pada permukaan sel T

serta berperan dalam melisiskan sel yang terinfeksi virus atau tumor sel (Ravindra et al.

2009). Cytotoxic limfosit T berikatan dengan antigen-peptida memerlukan molekul MHC

I. Molekul MHC I terdapat pada permukan sel. Ikatan komplek (TCR, antigenpeptida dan

MHC I) serta signal yang ditimbulkan oleh T helper 1 diperlukan untuk mengaktifasi sel T

cytotoxic berikatan dengan sel target (Fung-Leung et al. 1991).

Sel T helper CD4+ dibagi menjadi dua subset, tergantung pada tipe sitokin yang

dihasilkannya yaitu T helper 1 (Th1) dan T helper 2 (Th2). Subset Th1 lebih berperan

penting dalam CMI, serta juga membantu sel B untuk memproduksi IFN-γ dan interleukin

(IL)-2. Subset Th2 lebih banyak memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10, serta membantu

sel B untuk menghasilkan semua tipe imunoglobulin termasuk IgA. Sitokin Th2

menstimulasi ekspresi IgA oleh permukaan sel B yang positif terhadap IgA serta

perkembangan dan pematangan sel plasma yang mensekresikan IgA. Sel T yang

ditemukan pada jaringan limfoid mukosa termasuk Th2 sitokin (Xu-Amano et al. 1994).

Subset limfosit T CD8 terutama berperan melisiskan sel melalui respon sitokin. Subset

limfosit T CD4 dapat menghasilkan beberapa respon sitokin terhadap stimulasi antigen

(Arstila et al. 1994).

2.5 Mekanisme Imunitas Seluler


18

Sistem kebal adalah bentuk adaptasi dari sistem pertahanan pada vertebrata sebagai

pelindung terhadap serangan mikroorganisme patogen dan kanker. Sistem ini dapat

membangkitkan beberapa macam sel dan molekul yang secara spesifik mampu mengenali

dan mengeliminasi benda asing (Decker 2000). Menurut Tizard (2004), tanggap kebal

merupakan respon biologis sehingga dapat menyebabkan variasi tanggap kebal bagi setiap

individu. Sistem kekebalan unggas dibagi menjadi sistem kekebalan non-spesifik dan

sistem kekebalan spesifik (Carpenter 2004). Mekanisme kedua sistem kekebalan tersebut

tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, keduanya saling meningkatkan efektivitasnya

dan terjadi interaksi sehingga menghasilkan suatu aktivitas biologik yang seirama dan

serasi (Fenner dan Fransk 1995).

Sistem kekebalan non-spesifik merupakan sistem kekebalan yang secara alami

diperoleh tubuh dan proteksi yang diberikannya tidak terlalu kuat. Semua agen penyakit

yang masuk ke dalam tubuh akan dihancurkan oleh sistem kekebalan tersebut sehingga

proteksi yang diberikannya tidak spesifik terhadap penyakit tertentu (Butcher dan Miles

2003). Sistem ini berupa pertahanan fisik, mekanik, dan kimiawi yang berespon pada awal

paparan. Kekebalan fisik- mekanik terdiri dari kulit dan selaput lendis yang merupakan

bagian permukaan tubuh paling luar untuk mencegah masuknya bahan asing. Faktor lain

yang berperan dalan sistem pertahanan non-spesifik adalah makrofag dan mikrofag

melalui proses fagositosis dengan membunuh, menghancurkan, dan mengeliminasi antigen

dari tubuh. Sel makrofag ini meliputi sel Langerhans di kulit, sel Kupffer di hati, sel debu

di paru-paru, sel histiosit di jaringan, dan astrosit di sel syaraf. Sel mikrofag meliputi sel

neutrofil, basofil, dan eosinofil (Wibawan et al. 2003).

Sistem kekebalan spesifik terdiri dari sistem berperantara sel (Cell Mediated

Immunity) dan sistem kekebalan berperantara antibodi (Antibody Mediated Immunity) atau

yang lebih dikenal dengan sistern kekebalan humoral (Butcher dan Miles 2003). Antigen
19

yang berhasil masuk ke dalam tubuh dengan melewati sistem pertahanan tubuh non-

spesifik akan berhadapan dengan makrofag. Selain berfungsi melakukan fagositosis,

makrofag juga berfungsi sebagai Antigen Presenting Cells (APC) yang dikenal juga

sebagai sel penyaji atau set penadah yang akan menghancurkan antigen sedemikian iupa

sehingga seluruh komponennya dapat berinteraksi dengan sistem imun spesifik atau

antibodi. Makrofag yang berfungsi sebagai APC ini akan memfragmentasikan dan

mempresentasikan antigen tersebut kepada sel limfosit T-helper (Th) melalui molekul

Major Histocompatibility Complex (MHC) yang terletak dipermukaan makrofag (Wibawan

et al. 2003).

Sel limfosit yang berperan penting dalam sistem kekebalan terbagi menjadi dua,

yaitu sel B dan sel T. Sel B di dalam tubuh mamalia secara umum matang dan

berdiferensiasi dalam sumsum tulang, sedangkan dalam tubuh unggas sel B matang dan

berdiferensiasi dalam bursa Fabricius. Sel T di dalam tubuh mamalia dan unggas matang

dal berdiferensiasi pada kelenjar timus. Sel B merupakan bagian dari antibody mediated

immunity atau imunitas humoral karena sel B akan memproduksi antibodi yang

bersirkulasi dalam saluran darah dan lirnfe. Antibodi tersebut akan menempel pada antigen

asing yang memberi tanda agar dapat dihancurkan oleh sel sistem imun (Darmono 2006).

Sel B akan mengalami proses perkembangan melalui dua jalur setelah terjadi

rangsangan antigen, yaitu berdiferensiasi menjadi sel plasma dan sel memori. Sel plasma

akan membentuk immunoglobulin. Jumlah immunoglobulin dalam setiap sel B adalah

sekitar 104 sampai 105 (Tizard 1982). Sel plasma akan mati setelah tiga sampai enam hari,

sehingga kadar immunoglobulin akan menurun secara perlahan-lahan melalui katabolisme.

Sel memori hidup berbulan-bulan atau tahunan setelah pemaparan antigen yang pertatna

kali. Jika terjadi pemaparan kedua kalinya dengan antigen yang sama, maka antigen akan

merangsang lebih banyak lagi sel peka antigen daripada pemaparan pertama. Dengan
20

adanya sel memori, maka sistem pembentukan antibodi memiliki kemampuan untuk

mengingat keterpaparan dengan suatu antigen sebelumnya. Antibodi yang dihasilkan

hanya bereaksi dengan antigen yang ada di permukaan sel. Tanggap kebal humoral unggas

dicirikan dengan antibodi yang diproduksi oleh sel B yang berada di bawah kontrol bursa

Fabricius. Bursa Fabricius merupakan organ limfoid primer yang terletak di bagian dorsal

kloaka dan hanya ada pada unggas (Wibawan et al. 2003). Menurut Nunoya et al. (1992)

dalam Az~nijah (2005) bursa Fabricius mengalami perkembangan maksimurn ketika

berumur tiga sampai enam minggu.

Sel T yang bersirkulasi dalam darah dan limfe dapat secara langsung

menghancurkan antigen asing. Sel T bertanggung jawab atas cell mediated immunity atau

imunitas seluler. Sel T bergantung pada molekul permukaan yaitu MHC nntuk mengenali

fragmen antigen (Darmono 2006). Sel T terdiri dari beberapa subpopulasi yang dapat

distimulasi oleh tipe antigen yang berbeda. Antigen virus yang terdapat pada sel yang

terinfeksi akan dipresentasikan bersama-sama dengan MHC kelas I dan akan menstimulasi

sel T CD8+ (sitotoksik). Sedangkan antigen mikroba ekstraseluler akan diendositosis oleh

APC dan dipresentasikan dengan MHC kelas I1 dan akan mengaktivasi sel T CD4+

(helper). Antigen yang menempel pada MHC kelas I1 dan sel T CD4+ akan memacu

produksi antibodi dan mengaktifkan makrofag (Putera 2001). Interaksi antara sel Th

dengan APC akan menginduksi pengeluaran sitokin atau interleukin yang merupakan alat

komunikasi antar sel sehingga akan menginduksi pematangan sel B. Sitokin yang

dikeluarkan oleh limfosit disebut limfokin sedangkan sitokin yang dikeluarkan oleh

makrofag disebut monokin. Selain alat komunikasi, sitokin juga berfungsi dalam

mengendalikan respon imun dan reaksi inflamasi dengan cara mengatur pertumbuhan serta

mobilitas dan diferensiasi leukosit maupun sel lain.


21

Kekebalan humoral yang dihasilkan oleh sel B tidak dapat berespon terhadap

antigen yang terdapat didalam sel, sehingga mekanisme kekebalan seluler yang berperan.

Sel yang berperan dalam mekanisme kekebalan seluler adalah sel limfosit Tcytotoxic (Tc).

Sel ini akan mencari sel-sel yang mengalami kelainan fisiologis untuk kemudian

menghancurkan seluruh sel tersebut beserta antigen yang ada di dalamnya. Tujuan

penghancuran ini adalah untuk mencegah penyebaran antigen intraseluler ke sel-sel sehat

lain yang ada di sekitarnya (Wibawan et al. 2003).

2.6 Organ Limfoid Primer Unggas

Organ-organ yang berperan dalam sistem kekebalan tubuh unggas antara lain yaitu

timus, bursa fabrisius dan limfa. Organ limfoid primer pada unggas terdiri dari timus dan

bursa fabrisius. Kedua organ ini berfungsi mengatur produksi dan diferensiasi limfosit.

Penyakit dan kondisi tertentu seperti cekaman panas diketahui mempengaruhi

perkembangan organ limfoid pada ayam. Kondisi ini biasa disebut imunosupresi, yaitu

perubahan reaksi kekebalan kekeadaan negatif, sehingga respon tubuh ternak terhadap

masuknya benda asing menjadi berkurang, atau bisa menjadi pemicu serangan berbagai

penyakit ke dalam tubuh ternak. Imunosupresi akan ditunjukkan dengan adanya tekanan,

hambatan, atau gangguan pada komponen sistem kekebalan tubuh, antara lain langsung

merusak dan mengganggu pertumbuhan organ limfoid primer (bursa dan timus), sekaligus

organ limfoid sekunder (limfa). Organ limfoid primer maupun sekunder yang sangat kecil

merupakan reaksi terhadap kasus imunosupresi (seperti akibat suhu lingkungan panas)

yang berlangsung dalam jangka waktu lama. Ternak yang memiliki bobot relatif limfoid

yang besar, cenderung tahan terhadap berbagai penyakit.

2.7 Proses Apoptosis Unggas dengan CMI


22

Apoptosis adalah kematian sel yang terprogram (programmed cell death), adalah

suatu komponen yang normal terjadi dalam perkembangan sel untuk menjaga

keseimbangan pada organisme multiseluler. Informasi genetik pemicu apoptosis aktif

setelah sel menjalani masa hidup tertentu, menyebabkan perubahan secara morfologis

termasuk perubahan pada inti sel. Kemudian sel akan terfragmentasi menjadi badan

apoptosis, selanjutnya fragmen tersebut diabsorpsi sehingga sel yang mati menghilang.

Kematian sel terprogram di mulai selama embriogenesis dan terus berlanjut

sepanjang waktu hidup organisme. Rangsang yang menimbulkan apoptosis meliputi

isyarat hormon, rangsangan antigen, peptida imun, dan sinyal membran yang

mengidentifikasi sel yang menua atau bermutasi. Virus yang menginfeksi sel akan

seringkali menyebabkan apoptosis, yang akhirnya yang mengakibatkan kematian virus dan

sel penjamu (host). Hal ini merupakan satu cara yang dikembangkan oleh organisme hidup

untuk melawan infeksi virus. Defisiensi apoptosis telah berpengaruh pada perkembangan

kanker dan penyakit neuro degeneratif dengan penyebab yang tidak diketahui, termasuk

penyakit Alzheimer dan sklerosis lateral amiotrofik (penyakit Lou Gehrig). Apoptosis

yang dirangsang antigen dari sel imun (sel T dan sel B) sangat penting dalam

menimbulkan dan mempertahankan toleransi dari imun (Elizabeth J. Corwin, 2009).

Apoptosis ditimbulkan lewat serangkaian kejadian molekuler yang berawal dengan

berbagai cara yang berbeda tapi pada akhirnya berpuncak pada aktivasi enzim kaspase.

Proses apoptosis terdiri dari fase inisiasi (kaspase menjadi aktif) dan fase eksekusi,

ketika enzim mengakibatkan kematian sel. Inisiasi apoptosis terjadi melalui dua jalur yang

berbeda tetapi nantinya akan menyatu (konvergen), yaitu: jalur ekstrinsik atau, yang

dimulai dari reseptor, dan jalur intrinsik atau jalur mitokondria (Mitchell; Kumar; Abbas &

Fausto, 2007).
23

2.7.1 Jalur intrinsik

Gangguan internal sel akan menyebabkan Bax melakukan penetrasi dalam

membran mitokondria sehingga mensekresikan cytochrome c. Cytochrome c dan Apf-1

akan mengikat molekul caspase-9 dan membentuk kompleks yang disebut apoptosom.

Kompleks tersebut akan menginisiasi urutan aktivasi caspase sampai pada fagositosis sel

tersebut. Selain terjadi pelepasan cytochrome c, pada mekanisme alternatif juga

melibatkan pelepasan protein mitokondrial lain yaitu apoptosis-inducing factor (AIF).

Apoptosis-inducing factor terbukti memiliki aktivitas proteolitik yang bisa dihambat oleh

inhibitor caspase spectrum luas, tetapi tidak bisa dihambat oleh inhibitor spesifik untuk

caspase-1 dan caspase-7. Bcl-2 banyak ditemukan terutama pada membran mitokondria

bagian luar, retikulum endoplasma dan membran inti. Beberapa anggota famili Bcl-2

proapoptotik ditemukan dalam sel pada konsentrasi yang cukup untuk menyebabkan

apoptosis. Meskipun demikian angggota famili Bcl-2 tersebut tidak bisa secara langsung

menyebabkan apoptosis, sebab aktivitasnya dikontrol dalam bentuk laten.

2.7.2 Jalur Ekstrinsik

Inisiasi apoptosis melalui jalur ekstrinsik melibatkan ikatan antara protein sinyal

kematian ekstraseluler seperti TNF-α, Fas-Ligand (Fas-L), TNF-related apoptosis

including ligand (TRAIL) dan Apo-3 ligand (Apo-3L) dengan reseptor permukaan sel

sasaran. Sampai saat ini telah dikenal untaian cDNA yang berasal dari 8 macam death

receptor. Diantara ke 8 macam reseptor permukaan tersebut CD95 merupakan reseptor

yang paling banyak diketahui. Reseptor-reseptor permukaan sel sasaran tersebut

diantaranya adalah TNF- α receptor 1 (TNF-R1), TNF- α receptor 2 (TNF-R2), Fas, death

receptor 3 (DR-3). Setelah berikatan dengan ligand yang sama, death receptor membentuk

kompleks homotrimerik yang menyebabkan protein adaptor intraseluler tertarik ke


24

membran sel seperti TNF-R1 dan DR-3 yang disebut TNFR-associated death domain

protein (TRADD). Sedangkan Fas dan DR-4 berinteraksi dengan Fas-associated death

domain protein (FADD). FADD dan TRAAD tidak berinteraksi dengan DR-5 sehingga

diduga ada protein lain yang terlibat. Sinyal yang diaktivasi oleh TNF-R1 atau DR- 3

terpecah pada tingkat TRADD. Translokasi inti faktor transkripsi nuclear factor-қB (NF-

қB), dan aktivasi c-Jun N-terminal Kinase (JNK) dimulai. Sinyal TNF-α akan berikatan

dengan sinyal jalur Fas menyebabkan interaksi antara TRADD dengan FADD. Ikatan-

ikatan tersebut mengirimkan sinyal ke sitoplasma untuk mengaktivasi caspase-8

selanjutnya terjadi kaskade caspase untuk apoptosis.

2.7.3 Mekanisme apoptosis

Mekanisme apoptosis sangat kompleks dan rumit. Secara garis besarnya apoptosis

dibagi menjadi 4 tahap, yaitu :

1. Adanya signal kematian (penginduksi apoptosis).

2. Tahap integrasi atau pengaturan (transduksi signal, induksi gen apoptosis yang

berhubungan, dll)

3. Tahap pelaksanaan apoptosis (degradasi DNA, pembongkaran sel, dll)

4. Fagositosis.

2.7.4 Signal Penginduksi Apoptosis

Apoptosis tidak memerlukan suatu proses transkripsi atau translasi. Molecular

machine yang dibutuhkan untuk kematian sel dianggap mengalami dormansi dan hanya

memerlukan aktivasi yang cepat. Signal yang menginduksi apoptosis bisa berasal dari

ekstraseluler dan intraseluler. Signal ekstraseluler contohnya hormon hormon. Hormon

tiroksin menginduksi apoptosis pada ekor tadpole. Apoptosis juga bisa dipicu oleh
25

kurangnya signal yang dibutuhkan sel untuk bertahan hidup seperti growth factor. Sel lain,

sel berhubungan dengan sel yang berdekatan juga bisa memberikan signal untuk apoptosis.

Signal intraseluler misalnya radiasi ionisasi, kerusakan karena oksidasi radikal bebas,dan

gangguan pada siklus sel. Kedua jalur penginduksi tersebut bertemu di dalam sel, berubah

menjadi family protein pengeksekusi utama yang dikenal sebagai caspase. Sel yang

berbeda memberikan respon yang berbeda terhadap penginduksi apoptosis. Misalnya sel

splenic limfosit akan mengalami apoptosis saat terpapar radiasi ionisasi, sedangkan sel

myocyte tidak mengalami apoptosis untuk pemaparan yang sama.

2.7.5 Regulator Molekuler dari Apoptosis

Signal kematian dihubungkan dengan pelaksanaan apoptosis oleh tahap integrasi

atau pengaturan. Pada tahap ini terdapat molekul regulator positif atau negatif yang dapat

menghambat, memacu, mencegah apoptosis sehingga menentukan apakah sel tetap hidup

atau mengalami apoptosis (mati). Apoptosis diperantarai oleh famili protease yang disebut

caspase, yang diaktifkan melalui proteolisis dari bentuk prekursor inaktifnya (zymogen).

Caspase merupakan endoprotease yang memiliki sisi aktif Cys (C) dan membelah pada

terminal C pada residu Asp, oleh karena itu dikenal sebagai Caspases (Cys containing Asp

specific protease). Saat ini telah ditemukan 13 anggota famili caspases. Beberapa anggota

famili caspase yang terlibat dalam apoptosis dibedakan menjadi 2 golongan. Golongan

yang pertama terdiri dari caspase 8, 9,10 yang mengandung prodomain yang panjang pada

terminal N, fungsinya sebagai inisiator dalam proses kematian sel. Golongan yang kedua

terdiri dari caspase 3, 6, 7 yang mengandung prodomain yang pendek dan berfungsi

sebagai efektor, membelah berbagai substrat yang mati yang pada akhirnya menyebabkan

perubahan morfologi dan biokimia yang tampak pada sel yang mengalami apoptosis.

Molekul efektor lain dalam apoptosis adalah Apaf-1 (apoptotic protease activating factor)
26

bersama sitokrom c mengambil procaspase 9 di ATP-dependent manner, dan menstimulasi

proses perubahan procaspase 9 menjadi caspase 9. Regulator apoptosis yang lain adalah

anggota famili Bcl-2. Saat ini ada 18 anggota famili Bcl-2 yang telah diidentifikasi, dan

dibagi ke dalam 3 grup berdasarkan strukturnya. Anggota grup pertama diwakili oleh Bcl-

2 dan Bcl-xL yang berfungsi sebagai anti-apoptosis. Anggota grup kedua diwakili oleh

Bax dan Bak (Bcl-2 associated killer), sebagaimana anggota grup yang ketiga yaitu Bid (a

novel BH3 domain-only death agonist) dan Bad (the Bcl-2 associated death molecule),

merupakan molekul pro-apoptosis.

2.7.6 Target Caspase

Apoptosis melibatkan:

1. memadatkan inti sel

2. memadatkan dan membagi-bagi sitoplasma ke dalam selaput ikat badan apoptotis

3. rusaknya kromosom ke dalam fragmen yang berisi berbagai nukleosom

Target protein pada umumnya harus protein lain, suatu DNA endonuklease. Ketika

protein target pecah, DNase bebas untuk berpindah tempat ke inti dan mulai pelaksanaan.

Perubahan dalam apoptosis terjadi ketika caspase 3 membelah gelsolin, suatu protein

dilibatkan dalam pemeliharaan morfologi sel. Gelsolin yang dibelah membelah actin

filamen di dalam sel. Protein yang lain diperlukan untuk membentuk badan apopotic: suatu

kinase yang disebut p21-activated kinase 2 (PAK-2). Kinase ini diaktifkan oleh caspase-3

dengan proteolisis terbatas.

2.7.7 Tahap Pelaksanaan Apoptosis


27

Sinyal apoptosis bisa terjadi secara intraseluler dan ekstraseluler. Jalur ekstrinsik

(ekstraseluler) diinisiasi melalui stimulasi dari reseptor kematian (death receptor)

sedangkan jalur intrinsik diinisiasi melalui pelepasan faktor signal dari mitokondria dalam

sel. Peristiwa apoptosis jalur ekstrinsik dimulai dari adanya pelepasan molekul signal yang

disebut ligan oleh sel lain tetapi bukan berasal dari sel yang akan mengalami apoptosis.

Ligan tersebut berikatan dengan death receptor yang terletak pada transmembran sel target

yang menginduksi apoptosis. Death receptor yang terletak di permukaan sel adalah famili

reseptor TNF (Tumor Necrosis Factor), yang meliputi TNF-R1, CD 95 (Fas), dan TNF-

Related Apoptosis Inducing Ligan (TRAIL)-R1 dan R2. Ligan yang berikatan dengan

reseptor tersebut akan mengakibatkan caspase inisiator 8 setelah membentuk trimer

dengan adaptor FADD (Fas Associeted Death Domain). Kompleks yang terbentuk antara

ligan-reseptor dan FADD disebut DISC (Death Inducing Signaling Complex). CD 95,

TRAIL-R1 dan R2 terikat dengan FADD, sedangkan TNF-R1 terikat secara tidak langsung

melalui molekul adaptor lain, yaitu : TNF-Reseptor Associeted Death Domain protein

(TRADD). Stress mitokondria yang menginduksi apoptosis jalur intrinsik disebabkan oleh

senyawa kimia atau kehilangan faktor pertumbuhan, sehingga menyebabkan gangguan

pada mitokondria dan terjadi pelepasan sitokrom c dari intermembrane mitokondria.

Protein capcase-8 akan memotong anggota famili Bcl-2 yaitu Bid.

Kemudian Bid yang terpotong pada bagian ujungnya akan menginduksi insersi Bax

dalam membran mitokondria dan melepaskan molekul proapoptotik seperti sitokrom

c,Samc/Diablo, Apoptosis Inducing Factor (AIF), dan omi/Htr2. dengan adanya dATP

akan terbentuk kompleks antara sitokrom c, APAF1 dan caspase 9 yang disebut

apoptosom. Selanjutnya, capcase 9 akan mengaktifkan downstream procaspase-3. Protein

caspase 3 yang aktif memecah berbagai macam substrat, diantaranya enzim DNA repair

seperti poly-ADP Ribose Polymerase (PARP) dan DNA protein kinase yaitu protein
28

struktural seluler dan nukleus, termasuk aparatus mitotik inti, lamina nukleus, dan aktin

serta endonuklease, seperti Caspase-Aktivated Deoxyribonuklease Inhibitor (ICAD) dan

konstituen seluler lainnya. Selain itu, caspase 3 juga mempunyai kemampuan untuk

mengaktifkan caspese lainnya, seperti procaspase-6 dan procaspase-7 yang memberikan

amplifikasi terhadap kerusakan seluler.

Adanya seluler stres meningkatkan ekspresi dari protein p53 yang mengakibatkan

terjadinya GI arrest atau apoptosis. Anggota dari apoptosis Stimulating Protein p53

(ASPP) yaitu ASPP 1 dan ASPP 2 secara spesifik menstimulasi fungsi transsktivasi p53

pada promotor gen proapoptotik seperti Bax dan p53 Inducible Gene 3 (PIG 3), tapi tidak

pada promotor gen yang menyebabkan cell cycle arrest, yaitu p21 dan MDM2.

Berdasarkan hasil pemeriksaan sediaan bursa Fabrisius ayam secara mikroskopis

dapat dinyatakan bahwa, salah satu ciri sel bursa yang mengalami apoptosis pada sediaan

mikroskopis dengan pewarnaan menggunakan Kit Apopteg adalah adanya warna coklat

gelap pada inti. Kontribusi terbesar terjadinya imunosupresi pada infeksi Avibirna Virus

adalah adanya pengosongan sel limfoid pada bursa Fabrisius akibat infeksi yang berupa

apoptosis dan nekrosis. Apoptosis merupakan kematian sel terprogram melalui mekanisme

genetik yang dapat terjadi secara fisiologis maupun patologis. Aktivitas enzim telomerase

diketahui sangat berperan pada proses apoptosis fisiologis, sedangkan apoptosis patologis

terjadi karena terdapat gangguan keseimbangan system genetik yang dipicu oleh faktor

lingkungan, missal Infeksi virus (Thomson, 1995 ). Menurut Reed (2000) proses apoptosis

melibatkan beberapa protease sistein yang disebut caspase (cyst ein Aspartyl-Spesifik

Protease). Caspase yang terlibat dalam proses apop-tosis antara lain caspase 2, 8, 9, 10

yang tergolong caspase inisiator, caspase 3, 6, 7 yang tergolong caspase eksekutor.

Penelitian yang di lakukan oleh Routenschlein et al (2002) mengungkapkan bahwa untuk

penghancuran sel bursa dibutuhkan peran sel limfosit. Perlakuan tinektomi pada infeksi
29

avibirna virus menghilangkan respon inflamasi yang diinduksi virus secara signifikan

mengurangi kejadian apoptosis sel bursa Fabrisius dibandingkan dengan ayam yang

memiliki sel T utuh. Hal ini memberikan pemahaman bahwa pada infeksi avibirna virus,

limfosit T berperan besar pada proses apoptosis.

Hasil statistik terhadap jumlah sel apoptotik sel bursa pada infeksi avibirna virus

pada penelitian ini menunjukkan bahwa hari ke 4 dan ke 6 paling tinggi dan berbeda

sangat nyata dengan hari ke 2,8 dan 10. Hari ke 2 belum terjadi peningkatan sel apoptotik,

kemudian meningkat pada hari ke 4 dan ke 6 dan tampak mengalami penurunan pada hari

ke 8 dan 10. Sel apoptotik pada bursa juga terjadi pada kontrol, hal ini dapat dijelaskan

bahwa apoptosis dapat terjadi baik patologik maupun fisiologik. Gambaran ini sesuai

dengan pernyataan Rautenschlein et al, 2002, bahwa pada fase akut, yaitu sekitar lima hari

setelah infeksi terjadi peningkatan jumlah sel limfosit T yang berperan sangat besar pada

mekanisme apoptosis melalui pengaktifan caspase oleh granzim. Limfosit T sitotoksik dan

sel NK dapat menimbulkan lisis pada sel target melalui pengeluaran perforin dan

granzime. Perforin merupakan enzim yang mampu membentuk celah pada membrane sel

target sehingga kemudian granzim dapat menerobos masuk untuk melisis sel tersebut

(Abbas et al., 2000) setelah masuk sitoplasma target, granzim dapat langsung

mengaktifkan caspase inisiator seperti caspase 10, kemudian terjadi aktivasi kaskade

caspase yang selanjutnya memicu apoptosis.

Menurut Jungmann et al. (2001) peningkatan proporsi jumlah sel apoptosis pada

infeksi avibirna virus ini, dapat dihubungkan dengan replikasi virus. Sel apoptosis banyak

ditemukan didaerah sekitar sel-sel yang mengekspresikan antigen, ini mengindikasikan

bahwa faktor penginduksi apoptosis mungkin dikeluarkan oleh sel-sel yang mereplikasi

virus. Menurut Nieper et al (1999), sebagian besar sel-sel apoptotik dalam bursa Fabrisius

mengandung antigen virus empat hari setelah penginfeksian. Interferon yang terbentuk
30

setelah infeksi virus ini di- pertimbangkan sebagai satu dari beberapa penyebab

kemungkinan terjadinya apoptosis. Infeksi virus merupakan penyebab paling umum

terjadinya pembentukan interferon. DsRNA diketahui sebagai perangsang kuat interferon

yang mungkin menghambat sintesis protein dan juga merangsang apoptosis. Apoptosis

dirangsang oleh interferon alpha berhubungan dengan aktivasi beberapa caspase, seperti

aktivasi caspase 3. Aktivasi caspase ini merupakan peristiwa penting dalam penginduksian

kaskade caspase oleh interferon alpha (Thyrell and Erickson, 2002 ).

2.7.8 Sistem Kekebalan Ayam dan Unggas Lain dalam Melawan Infeksi Virus ND

Sistem imun pada unggas dibagi menjadi 2 tipe kekebalan yaitu kekebalan alami

dan spesifik (adaptive immunity). Kekebalan alami merupakan alat pertahanan pertama

terhadap serangan virus. Kekebalan alami meliputi pertahanan fisik dan kimia, protein

darah dan sel fagosit. Kulit, mukosa dan sekresi lambung adalah bagian dari pertahanan

fisik dan kimia. Komplemen merupakan suatu serum protein yang bekerja bersama dengan

antibodi dalam menyampaikan sel target. Beberapa sel darah yang mempunyai fungsi

sebagai fagosit di antaranya makrofag, heterofil, trombosit dan natural killer. Meskipun

kekebalan alami merupakan pertahanan yang berperan pertama kali melawan infeksi suatu

virus tetapi kekebalan alami ini kurang spesifik dalam melawan berbagai macam tipe

infeksi (ERF, 2004; 2007). Pertahanan terhadap serangan virus akan digantikan oleh

kekebalan spesifik (adaptive immunity) apabila kekebalan alami tidak mampu melawan

infeksi virus. Kekebalan spesifik mempunyai proteksi yang lebih spesifik terhadap

permukaan virus dan biasanya garis pertahanan ini lebih dikenal ketika terjadi infeksi

berikutnya.

Pertahanan yang bersifat spesifik diperoleh dari kekebalan pasif dan aktif.

Kekebalan pasif meliputi antibodi maternal yang telah dimiliki oleh unggas sebelumnya
31

serta kekebalan ini mampu memberikan perlindungan terhadap infeksi alam atau vaksinasi,

sedangkan kekebalan aktif baru muncul melalui infeksi alam atau vaksinasi. Kekebalan

aktif dibagi menjadi kekebalan humoral dan kekebalan yang diperantarai sel (ERF, 2004).

Limfosit B bertanggung jawab terhadap kekebalan humoral sedangkan limfosit T berperan

dalam kekebalan yang diperantarai sel atau cell- mediated immunity (CMI). Limfosit B

pada ayam ditemukan dalam organ bursa fabricius sedangkan limfosit T terdapat pada

organ tymus (BARNESS,1996). Timus, bursa fabricius dan sumsum tulang merupakan

organ lymfoid utama pada unggas sedangkan organ-organ lymfoid pendukung pada

unggas adalah limpa, mukosa jaringan lymfoid, kelenjar lymfoid dan susunan syaraf pusat

(POPE,1991). Sistem kekebalan pada unggas merupakan suatu interaksi yang komplek

antara beberapa tipe sel yang berbeda dan faktor-faktor penting yang mampu

meningkatkan efektivitas respon terhadap infeksi patogen (SARKER et al., 2000). Respon

kekebalan seluler dan kekebalan humoral berperan penting dalam melawan infeksi virus

ND. Respon kekebalan seluler dan humoral timbul setelah 2 sampai dengan 3 hari pasca

vaksinasi ND tetapi respon kekebalan seluler hanya berperan kecil pada ayam yang

divaksinasi ND (BEARD dan BRUGH, 1975; REYNOLDS dan MARAQA, 2000; AL-

SHAHERY et al., 2008). Meskipun demikian, penelitian yang dilakukan oleh AL-

ZUBEEDY (2009) menunjukkan hasil bahwa selain respon kekebalan humoral, respon

kekebalan seluler juga berperan penting dalam meningkatkan kekebalan pada ayam umur

satu hari yang divaksinasi ND. Antibodi merupakan suatu unit yang berfungsi dalam

kekebalan humoral.

Antibodi dihasilkan oleh sel plasma dari permukaan limfosit B yang mengandung

molekul-molekul immunoglobulin (Ig). Antibodi ditemukan dalam cairan tubuh serta

efektif dalam melawan infeksi yang terjadi di luar sel (ekstra sel). Terdapat 3 klas atau

isotipe immunoglobulin yang ditemukan dalam sistem imun unggas yaitu IgM, IgY(G) dan
32

IgA (LILLEHOJ dan TROUT, 1996). Hasil penelitian yang dilakukan XIAO et al. (2009)

menunjukkan bahwa program vaksinasi dengan formula vaksin ND yang mengandung 20,

40 dan 80 mg/dosis ekstrak Momordica chochinchinensis mampu meningkatkan titer

antibodi IgG pada 14, 21, 28 dan 35 hari pascavaksinasi. Ayam umur 1 hari yang divaksin

dengan vaksin live ND melalui tetes mata mempunyai tingkat kekebalan yang efektif

terhadap serangan virus ND dimana strain virus vaksin live tersebut bereplikasi dengan

cepat di membran mukosa konjungtiva, lubang hidung dan harderian gland serta mampu

menginduksi produksi antibodi IgA (ALEXANDER, 2003; CHANSIRIPORNCHAI dan

SASIPREEYAJAN, 2006). Kekebalan yang diperantarai sel (CMI) efektif melawan

infeksi yang terjadi di dalam sel (intra sel). Kekebalan ini bekerja dengan cara

menghancurkan sel yang terinfeksi virus atau masuk ke dalam sel untuk menghilangkan

antigen virus.

Sel limfosit T adalah antigen spesifik dalam respon CMI dan mampu melawan

infeksi patogen secara luas. Semua sel T mengekspresikan CD3 compleks pada permukaan

selnya serta terpisah dari reseptor sel T. Sel T helper atau yang biasa dikenal dengan CD4

berperan dalam regulasi kekebalan humoral dan CMI. Sel T helper berfungsi mengaktifkan

makrofag dengan mensekresikan sitokin dan menstimulasi pertumbuhan serta diferensiasi

sel B. Cytotoxic limfosit T atau yang dikenal dengan CD8 terdapat pada permukaan sel T

serta berperan dalam melisiskan sel yang terinfeksi virus atau tumor sel (ERF, 2004). Sel

limfosit T αβ yang terdapat pada jaringan lymfoid perifer ayam menyerupai pada mamalia

dan umumnya dapat dibagi menjadi 2 subpopulasi yaitu CD4 dan CD8 (CHAN et al.,

1988). Subset Th1 dan Th2 tidak ditemukan pada ayam tetapi reaksi kekebalan dari kedua

tipe tersebut dapat diamati. Subset CD8 limfosit T terutama melisiskan sel melalui respon

sitokin. Subset CD4 limfosit T dapat menghasilkan beberapa respon sitokin untuk

stimulasi antigen (ARSTILA et al., 1994). Apabila salah satu tipe limfosit distimulasi oleh
33

antigen maka proliferasi dan diferensiasi sel limfosit terjadi dalam sel efektor dan sel

memori. Sel memori akan kembali muncul ketika antigen yang sama menyerang lagi. Sel

ini berdiferensiasi dengan cepat dalam sel efektor untuk melawan antigen. Produksi sel

memori yang spesifik terhadap antigen merupakan awal pertahanan terhadap infeksi serta

konsep vaksinasi (ERF, 2004; SCOTT, 2004). Respon imun seluler mencapai puncaknya

setelah 3 minggu pascavaksinasi virus ND (LIU et al., 2008).


BAB 3 PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Organ limfoid pada tubuh ayam dibagi menjadi organ primer (sentral) dan

sekunder (tepi). Yang termasuk organ limfoid primer adalah bursa Fabricius di dekat

kloaka dan thymus di daerah leher. Sedangkan yang termasuk organ limfoid sekunder

antara lain kelenjar Harderian, limpa, Peyer's patches dan caeca tonsil. Sistem kekebalan

tubuh unggas dibagi menjadi sistem kekebalan non spesifik dan spesifik. Sistem kekebalan

non-spesifik merupakan sistem kekebalan alami unggas terhadap serangan penyakit.

Sistem kekebalan spesifik memiliki dua komponen, yaitu non-seluler (humoral) dan

seluler. Komponen non-seluler termasuk immunoglobulin (antibodi) dan sel-sel yang

memproduksi antibodi. Sistem kekebalan pada unggas terdiri atas T-lymphocytes yang

merupakan komponen kekebalan seluler dan B-lymphocytes yang merupakan komponen

kekebalan humoral . Cell Mediated Immunity (CMI) adalah sistem kekebalan yang

independent, dibawah kontrol thymus. CMI memberikan respon kekebalan awal saat

infeksi, dan dapat dideteksi lebih awal pada 2-3 hari setelah vaksinasi dengan live vaccines

. Humoral Mediated Immunity (Kekebalan Humoral) merupakan pertahanan menengah

oleh sistem kekebalan seluler, yaitu B-lymphocyte dibawah kontrol bursa fabrisius. B-

lymphocyte diaktifkan menjadi sel plasma (plasma cells) dan disekresikan dalam darah

dan derivatnya dengan menghasilkan immunoglobulin IgM dan IgG.

Apoptosis adalah kematian sel yang terprogram (programmed cell death), suatu

komponen yang normal terjadi dalam perkembangan sel untuk menjaga keseimbangan

pada organisme multiseluler. Proses apoptosis terdiri dari fase inisiasi (kaspase menjadi

aktif) dan fase eksekusi, ketika enzim mengakibatkan kematian sel. Inisiasi apoptosis

terjadi melalui dua jalur yang berbeda tetapi nantinya akan menyatu (konvergen), yaitu:

jalur ekstrinsik atau, yang dimulai dari reseptor, dan jalur intrinsik atau jalur mitokondria.

34
35

Secara garis besarnya apoptosis dibagi menjadi 4 tahap, yaitu adanya signal kematian

(penginduksi apoptosis), tahap integrasi atau pengaturan (transduksi signal, induksi gen

apoptosis yang berhubungan, dll), tahap pelaksanaan apoptosis (degradasi DNA,

pembongkaran sel, dll), dan Fagositosis.

3.2 Saran

Penulis menyadari bahwa makalah diatas banyak sekali kesalahan dan jauh dari

kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki makalah tersebut dengan berpedoman pada

banyak sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Maka dari itu penulis mengharapkan

kritik dan saran mengenai pembahasan makalah di atas.


36

DAFTAR PUSTAKA

Abbas AK, Lichtman AH, Pober JS. 2000. Celluler and Molecular Immunologi. 4thEd. W.B.
Ssaunders Company. Harcourt Health Science Company.

Ahmed KA, Saxena VK, Ara A, Singh KB, Sundaresan NR, Saxena M, Rasool TJ. 2007. Immune
response to Newcastle disease virus in chicken lines divergently selected for cutaneous
hypersensitivity. Int J Immunogenet. 34:445-455.

Ajik Azmijah, 2005. Observation of Bursal Apoptotic Cells Due to Avibirna Virus Infection.Vol.
21, No. 2.

Alan. 2002. Effect Of maternally derived antibody on vaccination againts infectious bursal disease
(Gumboro) with light vaccine in brunei. Int. J. Poult. Sci. 1: 98-101

Alexander, D.J. 2003. New castle disease. In: Disease of Poultry 11th Ed.. SAIF, Y.M. (Ed.). Iowa
State University Press. Amess. pp. 64 – 87.

Al-Zubeedy, A.Z. 2009. Immune response in day old broiler chick vaccinated against newcastle
disease virus. Iraqi Sci. 23(2): 143 – 146.

Arstila TP, Vainio O, Lassila O. 1994. Central role of Cd4+ T-Cells in avian immune-response.
Poult Sci. 73:1019-1026.

Aughey E, Frye FL. 2001. Comparative Veterinary Histology with Clinical Correlates. London
(EN) : Manson Publising. P: 252-270

Azinijal~ A. 2005. Pengarnatan Junlah Sel Apoptotik pada Bursa Fabricius Akibat Infeksi Virus
Avibirna. Dalam Media Kedokteran Hewan Vol. 21 No.2 Mei 2005.
www.ioumal.unair.ac.id/filerPDF/MKH-21-2-14.pdf - [5 September 2009]

Butcher, GD dan RD 'Miles. 2003. The Avian Immune System. http://edis.ifas.ufl.edu. [21
Februari 2009]

Cann A.J. 1997. Principle of Molecular Virology. Acdemic Press. 2nd Edition Capter 6.

Carpenter, S. 2004. Avian Immune System.


http://www.l1olisticbird.com/hbn04/sprinn04/immunesvstem.htm. [2 1 Februari 2009].

Cheville NF. 1967. Studies on pathogenesis of Gumboro disease in the bursa of fabricius, spleen
and thymus of the chicken. Am. J. Pathol. 51 : 527-551.

Crespo R, Yamashiro S, Hunter DB. 1998. Development of the thoracic air sacs of turkeys with
age and rearing concitions. Avian Dis. 42:35-44.

Darmono, 2006. Sistem Kekebalan tubuh. http://www.~eocities.com/kulial~fadimunolo~/Sistem-


kekebalan.doc. [2 1 Februari 20091

Darmono, 2006. Sistem Kekebalan tubuh. http://www.~eocities.com/kulial~fadimunolo~/Sistem-


kekebalan.doc. [2 1 Februari 2009]
37

Decker, JM. 2000. Introduction to Immunology. USA. Blackwell Science, Inc.

Dyah Ayu Hewajuli dan N.L.P.I, Dharmayanti. 2011. Patogenitas virus newcastle disease pada
ayam. Balai besar penelitian veteriner. 2-9.

Fenner J dm Fransk. 1995. Virologi Veteriner. Edisi kedua. P Harya, Peuerjemah. Semarang. IKIP
Semarang Press. Terjemahan dari: Veterinary Virology.

Ferdous F, Maurice D, Scott T. 2008. Broiler chick thrombocyte response to lipopolysaccharide.


Poult Sci. 87:61-63.

Fournier P, Wilden H, Schirrmacher V. 2012. Importance of retinoic acid-inducible gene I and of


receptor for type I interferon for cellular resistance to infection by Newcastle disease virus.
Int J Oncol. 40:287-298.

Fung-Leung WP, Schilham MW, Rahemtulla A, Kündig TM, Vollenweider M, Potter J, van Ewijk
W, Mak TW. 1991. CD8 is needed for development of cytotoxic T cells but not helper T
cells. Cell. 65:443-449.

Haskito AEP. 2011. Efek pemberian ekstrak daun srikaya (Annona squamosa l) terhadap gambaran
histologi bursa fabricius dan limpa ayam pedaging yang diinfeksi virus infectious bursal
disease [Skripsi]. Surabaya (ID): Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Surabaya.

Hayter RB, Besch EL. 1974. Airborne particle deposition in the respiratory tract of chickens. Poult
Sci. 53:15071511.

Houston EG, Nechanitzky R, Fink PJ. 2008. Cutting edge: Contact with secondary lymphoid
organs drives postthymic T cell maturation. J Immunol. 181:52135217.

Janeway CA, Paul T, Mark W, Mark JS. 2001. Immuno Biology. Fifth Edition. Garland
Publishing, New York.

Juul-Madsen HR, Viertlboeck B, Smith AL, Göbel TWF. 2008. Avian innate immune responses.
In: Davison F, Kaspers B, Schat KA, editors. Avian Immunol. California (US): Academic
Press is an imprint of Elsevier.p. 13-50.

Kresno SB. 2004. Imunologi : Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Edisi keempat. Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jakarta.

Kuby 1999. Immunology. W.H. Freemasn Company. New York 3rd Edition.

Kumala S, Dewi AT, Nugroho YA. 2013. Efek Imunostimulan Ekstrak Etanol Herba Pegagan
Centell asiatica L) terhadap 169 Mencit Jantan yang Diinduksi Sel Darah Merah Domba. J
Med Vet Indones.

Mayer G. 2003. Virology Chapter Twelve “Virus Host Interactions” University of South Caorlina.

Maynard CL, Elson CO, Hatton RD, Weaver CT. 2012. Reciprocal interactions of the intestinal
microbiota and immune system. Nature. 489:231-241.

Medion. 2014. Imunosupresi pada Ayam Broiler. [Internet]. [diunduh 2015 Mei 26]. Tersedia
pada: https://info.medion.co.id/index.php/artikel/ broiler/ pengobatan-a-
vaksinasi/imunosupresi-pada-ayam-broiler.
38

Moon JJ, Chu HH, Pepper M, McSorley SJ, Jameson SC, Kedl RM, Jenkins MK. 2007. Naive
CD4+ T cell frequency varies for different epitopes and predicts repertoire diversity and
response magnitude. Immunity. 27:203-213

Nganpiep LN, Maina JN. 2002. Composite cellular defence stratagem in the avian respiratory
system: Functional morphology of the free (surface) macrophages and specialized
pulmonary epithelia. J Anat. 200:499-516.

Ravindra PV, Tiwari AK, Ratta B, Bais MV, Chaturvedi U, Palia SK, Sharma B, Chauhan RS.
2009. Time course of Newcastle disease virus-induced apoptotic pathways. Virus Res.
144:350-354

Riddel C. 1987. Avian histopathology. Inc. Pennsylvania: American Association of Avian


Pathologist.

Rue CA, Susta L, Cornax I, Brown CC, Kapczynski DR, Suarez DL, King DJ, Miller PJ, Afonso
CL. 2011. Virulent Newcastle disease virus elicits a strong innate immune response in
chickens. J Gen Virol. 92:931-939.

Scott T, Owens MD. 2008. Thrombocytes respond to lipopolysaccharide through Toll-like


receptor-4 and MAP kinase and NF-κB pathways leading to expression of interleukin-6
and cyclooxygenase-2 with production of prostaglandin E2. Mol Immunol. 45:1001-1008.

Sharma JM. 1991. Overview of Avian Immune System. Vet Immunol and Immunopathol. 30 : 13-
17.

Timmermans K, Plantinga TS, Kox M, Vaneker M, Scheffer GJ, Adema GJ, Joosten LAB, Neteaa
MG. 2013. Blueprints of signaling interactions between pattern recognition receptors:
Implications for the design of vaccine adjuvants. Clin Vaccine Immunol. 20:427432.

Tizard IR. 2000. Veterinary Immunology An Introduction. Sixth Edition. WB Saunders Company.
Harcourt Health Sciences Company. Philadelphia, Pennsylvania.

Tizard, IR. 1982. An Introduction to Veterinary Immunology. 2nd Edition. USA. W. B. Saunders
Conlpany.

Tizard, IR. 2004. Veterinary Immunology. China. W. B. Saunders Company.

Wakamatsu N, King DJ, Seal BS, Samal SK, Brown CC. 2006b. The pathogenesis of Newcastle
disease: A comparison of selected Newcastle disease virus wildtype strains and their
infectious clones. Virology. 353:333-343.

Wibawan, IWT, Retno DS, CS Damayanti, TB Tauffani. 2003. Diktat Imunologi. Bogor. FKH-
IPB.

Xu-Amano J, Jackson RJ, Fujihashi K, Kiyono H, Staats HF, McGhee JR. 1994. Helper Th1 and
Th2 cell responses following mucosal or systemic immunization with cholera toxin.
Vaccine. 12:903- 911.

Anda mungkin juga menyukai