Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH IMUNOLOGI

“Beberapa Jenis Penyakit yang Disebabkan Oleh Gangguan Sistem Imun”

Dosen Pengampu Mata Kuliah Imunologi


Dr. Niluh Putu Manik Widiyanti, S.Si., M.Kes.

Disusun oleh :

Indriana Refita Devi NIM. 1813091004


I Kadek Sandiase NIM. 1813091005
Efrem Aldiant Stesirali Pantus NIM. 1813091010
Gede Deva Maruta Ambara NIM. 1813091013
Wahyu Falsafa Restavara NIM. 1813091014

Semester VI Biologi

PROGRAM STUDI BIOLOGI


JURUSAN BIOLOGI DAN PERIKANAN KELAUTAN
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
2021
KATA PENGANTAR

“Om Swastyastu”

Puja dan puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa
karena atas berkat dan rahmat-Nyalah beserta dibarengi dengan usaha dari kami
selaku tim penyusun sehingga makalah imunologi ini yang berjudul “Beberapa Jenis
Penyakit yang Disebabkan Oleh Gangguan Sistem Imun” dapat terselesaikan tepat
pada waktunya.

Ada pun maksud dan tujuan dari penyusunan makalah imunologi ini adalah
untuk mengkaji dan mengetahui mengenai beberapa jenis penyakit yang disebabkan
oleh gangguan sistem imun, respon alergi dan autoimun.

Dalam kesempatan ini, kami selaku tim penyusun mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
makalah imunologi ini.

Harapan yang kami inginkan semoga makalah imunologi ini dapat bermanfaat
bagi pembaca. Apabila dalam penyusunan makalah ini terdapat kesalahan maupun
kekurangan, kami sangat mengharapkan kritikan dan saran yang sifatnya membangun
dari para pembaca.

”Om Shanti Shanti Shanti Om”

Singaraja, 24 Maret 2021

Tim penyusun

Kelompok 1

Mata Kuliah Imunologi


Program Studi S1 Biologi ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................................i

KATA PENGANTAR ............................................................................................. ii

DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................ 2
1.3 Tujuan Pembelajaran ....................................................................................... 2
1.4 Manfaat Pembelajaran ..................................................................................... 2
BAB II KAJIAN ISI
2.1 Hipersensitivitas dan autoimun ........................................................................ 3
2.2 Faktor lingkungan yang memicu terjadinya autoimun ...................................... 4
2.3 Pembagian penyakit autoimun ......................................................................... 6
2.4 Respon alergi ................................................................................................. 18
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan.................................................................................................... 25
3.2 Saran ............................................................................................................. 25

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 26

Mata Kuliah Imunologi


Program Studi S1 Biologi iii
DAFTAR GAMBAR

2.1 Mekanisme penyakit autoimun yang dapat menyebabkan kerusakan sel berupa
siklus yang berulang. ....................................................................................... 8
2.2 Penderita asma mengalami penyempitan saluran bronkiolus ............................ 9
2.3 Pembengkakan merupakan salah satu gejala anafilaksis ................................. 10
2.4 Mekanisme hipersensitivitas tipe II, antibodi mengenali antigen yang terdapat
pada permukaan sel........................................................................................ 10
2.5 Erythroblastosis fetalis pada kehamilan pertama dan kedua ............................ 12
2.6 Pembesaran kelenjar tiroid dan pembesaran mata merupakan gejala-gejala
Graves Disease. ............................................................................................. 13
2.7 Mekanisme hipersensitivitas tipe III ............................................................... 14
2.8 Ruam dengan bentuk kupu-kupu pada individu yang terkena SLE .................. 15
2.9 Perbandingan sendi pada penderita rheumatoid arthritis dengan orangsehat
(healthy joint). ............................................................................................... 16
2.10 Kerusakan selubung myelin akibat serangan sel limfosit T dibandingkan dengan
sel saraf normal.............................................................................................. 18

Mata Kuliah Imunologi


Program Studi S1 Biologi iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sistem imun atau sistem kekebalan tubuh memiliki fungsi sangat sentral
dalam pertahanan tubuh manusia. Tanpa sistem imun, tubuh akan rentan terkena
serangan kuman, parasit, atau virus. Sistem imun juga lah yang berperan
melawan serangan berbagai jenis patogen, sehingga tubuh kita tetap berada
dalam kondisi sehat. Sistem imun pada dasarnya merupakan sistem perlindungan
yang ada di dalam tubuh manusia yang bila mana sistem imun atau sistem
kekebalan tubuh tersebut berfungsi dengan tidak baik, maka tubuh kita tidak
akan mendapat proteksi yang semestinya.
Respon imun berfungsi memberikan perlindungan terhadap tubuh dari
serangan patogen. Namun, kadang kala respon imun mengalami gangguan
sehingga tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Hipersensitivitas
adalah suatu kondisidimana respon imun terjadi secara berlebihan sehingga tidak
memberikan efek proteksi tetapi justru menyebabkan penyakit pada individu.
Autoimun sebagai bagian dari hipersensitivitas juga bersifat merusak tubuh.
Beberapa mekanisme disebutkan menjadi penyebab hipersensitivitas dan
autoimun.
Oleh karena itu, dalam makalah ini akan mengkaji mengenai beberapa
jenis penyakit yang disebabkan oleh gangguan sistem imun, respon alergi dan
autoimun.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraikan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan


permasalahan sebagai berikut :
1.2.1 Apa yang dimaksud dengan hipersensitivitas dan autoimun ?

1
Mata Kuliah Imunologi
Program Studi S1 Biologi
1.2.2 Faktor lingkungan apa yang memicu terjadinya autoimun ?
1.2.3 Bagaimana pembagian penyakit autoimun ?
1.2.4 Bagaimana proses terjadi respon alergi ?

1.3 Tujuan Pembelajaran

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam pembelajaran ini yaitu :

1.3.1 Mengetahui hipersensitivitas dan autoimun

1.3.2 Mengetahui faktor lingkungan yang memicu terjadinya autoimun

1.3.3 Mengetahui pembagian penyakit autoimun

1.3.4 Mengetahui proses terjadi respon alergi


/

1.4 Manfaat Pembelajaran


Adapun manfaat dari pembelajaran ini yaitu memberikan informasi
mengenai beberapa jenis penyakit yang disebabkan oleh gangguan sistem imun,
respon alergi dan autoimun.

2
Mata Kuliah Imunologi
Program Studi S1 Biologi
BAB II
KAJIAN ISI

2.1 Hipersensitivitas dan Autoimun


Hipersensitivitas adalah suatu respon imun yang berlebihan sehingga
menghasilkan ketidaknyamanan dan penyakit pada individu yang
mengalaminya. Berbeda dengan penyakit yang diakibatkan oleh infeksi patogen,
hipersensitivitas ini timbul dari respon imun yang normal, dan reaksinya
berlebihan. Penyakit autoimun adalah penyakit dimana respon imun tubuh
mengenali dan bereaksi dengan protein tubuh (self antigen) sendiri. Oleh karena
itu penyakit autoimun akan bersifat kronis dikarenakan protein tubuh tidak akan
hilang, namun menetap dalam tubuh. Pada manusia, autoimunitas ini belum
diketahui secara jelas penyebabnya. Autoimun merupakan bagian dari
hipersensitivitas.
Autoimunitas sebenarnya bukan merupakan penyakit tetapi merupakan
suatu keadaan di mana tubuh tidak mampu membedakan sel atau jaringan tubuh
sendiri dari sel atau jaringan asing sehingga jaringan tubuh sendiri dianggap
sebagai antigen asing. Antigen tersebut disebut autoantigen sedang antibodi yang
dibentuk disebut autoantibodi. Respons imun terhadap antigen jaringan sendiri
yang disebabkan karena mekanisme normal yang gagal berperan untuk
mempertahankan self tolerance sel B, sel T atau keduanya. Penyakit autoimun
adalah kerusakan jaringan atau gangguan fungsi fisiologis yang ditimbulkan oleh
respons autoimun. Perbedaan tersebut adalah penting karena respons imun dapat
terjadi tanpa disertai penyakit atau penyakit yang ditimbulkan mekanisme lain
(seperti infeksi).
Sel autoreaktif adalah limfosit yang mempunyai reseptor untuk self
antigen atau autoantigen. Bila sel tersebut memberikan respons autoimun,
disebut sel limfosit reaktif (SLR). Pada keadaan normal, meskipun SLR
3
Mata Kuliah Imunologi
Program Studi S1 Biologi
berpapasan dengan autoantigen, tidak selalu terjadi respons autoimun, oleh
karena ada sistem yang mengontrol reaksi autoimun. Respons terhadap self-
antigen melibatkan komponen-komponen yang juga bekerja dalam respons imun
seperti antibodi, komplemen, kompleks imun dan Cell Mediated Immunity
(CMI). Antigen yang berperan pada penyakit autoimun pada umumnya belum
diketahui.

2.2 Faktor yang Memicu Terjadinya Autoimun


Peran genetik pada penyakit autoimun melibatkan gen multiple. Namun
demikian efek sejumlah gen tunggal dapat juga menimbulkan autoimunitas. Studi
keluarga atau kembar menunjukkan kontribusi genetik dalam semua penyakit
autoimun dan autoimunitas sub klinis yang lebih sering ditemukan pada anggota
keluarga.
Generasi selanjutnya belum tentu mengalami penyakit autoimun, karena
tubuh kita punya mekanisme yang disebut epigenetik. Mekanisme ini mengatur
muncul atau tidaknya ekspresi gen yang membawa penyakit autoimun dari
generasi sebelumnya. Mekanisme epigenetik memungkinkan munculnya protein,
metabolit, atau substansi lain yang dihasilkan dari proses membaca gen termasuk
untuk penyakit autoimun. Bila gen yang membawa penyakit autoimun
diwariskan namun tidak terbaca atau terekspresikan, maka generasi tersebut tidak
mengalami gangguan tersebut.
Keyakinan penyakit autoimun diturunkan berasal dari proses pewarisan gen
selama pembuahan. Keturunan yang dihasilkan akan mewarisi gen baik dan
buruk yang diperoleh dari orangtuanya. Meski diwariskan, pembacaan dan
ekspresi gen bergantung dari mekanisme tubuh.
Selain itu, terdapat beberapa faktor lingkungan dapat memicu autoimunitas
seperti mikroba, hormon, radiasi UV, obat dan logam.

4
Mata Kuliah Imunologi
Program Studi S1 Biologi
a) Mikroba
Hubungan antara infeksi mikroba dapat berupa virus ataupun bakteri
dengan autoimunitas disebabkan karena adanya kemiripan (mimicracy).
Berbagai virus berhubungan dengan berbagai penyakit autoimun yang
mengenai sendi. Virus Adeno dan Coxsackie A9, B2, B4, B6 sering
berhubungan dengan polyarthritis, pleuritis, myalgia, ruam kulit, faringitis,
miokarditis dan leukositosis.

b) Bakteri
Penyakit autoimun yang ditimbulkan bakteri adalah demam reuma pasca
infeksi streptokok yang disebabkan oleh antibodi terhadap streptokok yang
diikat jantung dan menimbulkan miokarditis. Demam reuma adalah gejala sisa
nonsupuratif penyakit Streptokok A, biasanya berupa faringitis dengan
manifestasi 2-4 minggu pasca infeksi akut. Ada tiga gejala utama yaitu
arthritis, karditis dan korea (gerakan tidak terkontrol, tidak teratur dari otot
muka, lengan dan tungkai). Gejala tersebut biasanya timbul pada penderita
yang menunjukkan beberapa gambaran klinis utama dan jarang terjadi dengan
sendiri.
Pada pemeriksaan imunologik ditemukan antibodi yang bereaksi dengan
protein M dari mikroba penyebab. Antigen Streptokok tersebut memiliki
epitop yang mirip dengan jaringan miokard jantung manusia dan antibodi
terhadap streptokok tersebut memiliki epitop yang mirip dengan jaringan
miokard jantung manusia dan antibodi terhadap streptokok akan menyerang
jantung (jaringan katup). Antibodi terhadap antigen streptokok bereaksi silang
dengan antigen otot jantung dan menimbulkan kerusakan dan penyakit demam
reuma. Penyakit menghilang bila bakteri dieliminasi dan tidak terjadi produksi
antibody.

5
Mata Kuliah Imunologi
Program Studi S1 Biologi
c) Hormon
Studi epidemiologi menemukan bahwa wanita lebih cenderung
menderita penyakit autoimun dibanding pria. Selain itu, wanita pada
umumnya memproduksi antibodi lebih banyak dibandingkan pria yang
biasanya merupakan respons proinfalmasi Th1. Kehamilan sering disertai
dengan memburuknya penyakit terutama artritis rheumatik dan relaps sering
terjadi setelah melahirkan. Kadar prolactin yang timbul tiba-tiba setelah
kehamilan berhubungan dengan kecenderungan terjadinya penyakit
autoimun seperti RA.

d) Radiasi UV
Pajanan dengan radiasi Ultraviolet (biasanya sinar matahari) diketahui
merupakan pemicu inflamasi kulit dan kadang LES. Radiasi UV dapat
menimbulkan modifikasi struktur radikal bebas self antigen yang
meningkatkan imunogenitas.

e) Logam
Berbagai macam logam seperti Zn, Cu, Cr,Pb, Cd,Pt, perak dan silikon
diduga dapat menimbulkan efek terhadap sistem imun, baik in vitro maupun
in vivo dan kadang serupa autoimunitas. Salah satu yang banyak diteliti
adalah terhadap silikon. Silikon merupakan metalloid ( kristal non logam),
dan bentuk dioksida nya disebut dengan silica. Pajanan debu dari silikon
yang berhubungan dengan pekerjaan dapat menimbulkan penyakit yang
disebut silikosis. Respons imun yang terjadi dapat berupa produksi ANA,
RF, dan mungkin dapat menunjukkan LES atau sindrom serupa skeloderma
dengan endapan kompleks imun di glomerulus dan glomerulosklerosis lokal.
Walaupun banyak dugaan keterlibatan logam dalam autoimunitas,
namun masih banyak penelitian yang harus dilakukan terhadap keterlibatan
logam dalam autoimuntas. Sebagai contoh adalah logam Silikon dapat

6
Mata Kuliah Imunologi
Program Studi S1 Biologi
merangsang respon autoimun dengan indikator terdeteksinya ANA serta
menimbulkan penyakit serupa skleroderma.
2.3 Pembagian Penyakit Autoimun
Penyakit autoimun dapat digolongkan menjadi 2 kelompok berdasarkan
organnya, yaitu (a) organ- specific dan (b) sistemik.
a. Penyakit autoimun organ spesifik
Pada penyakit autoimun organ spesifik maka alat tubuh yang menjadi
sasaran adalah kelenjar tiroid, kelenjar adrenal, lambung dan pankreas.
Respon imun yang terjadi adalah terbentuknya antibodi terhadap jaringan
alatnya sendiri. Dalam hal ini muncul antibodi yang tumpang tindih, seperti
antibodi terhadap kelenjar tiroid dan antibodi terhadap lambung sering
ditemukan pada satu penderita. Kedua antibodi tersebut jarang ditemukan
bersamaan dengan antibodi yang non-organ spesifik seperti antibodi terhadap
komponen nukleus dan nukleoprotein. Contohnya pada penyakit Hashimoto’s
thyroiditis dan Graves disease.
Penderita anemia pernisiosa lebih cenderung menderita penyakit tiroid
autoimun dibanding orang normal dan juga sebaliknya penderita dengan
penyakit tiroid autoimun lebih cenderung untuk juga menderita anemia
pernisiosa. Contohnya pada penyakit Hashimoto’s thyroiditis dan Graves
disease.
b. Penyakit autoimun non-organ spesifik/sistemik
Autoimun non-organ spesifik terjadi karena dibentuknya antibodi
terhadap autoantigen yang tersebar luas di dalam tubuh atau penyakit
autoimun yang berdampak pada keseluruhan jaringan tubuh, seperti DNA.
Antibodi yang tumpang tindih ditemukan pula pada golongan penyakit
autoimun, misalnya anti DNA yang dapat ditemukan pada golongan penyakit
rheumatoid seperti arthritis rheumatoid dan lupus eritematosus sistemik. Juga
sering ditemukan gejala klinis yang sama pada kedua penyakit tersebut. Pada
7
Mata Kuliah Imunologi
Program Studi S1 Biologi
penyakit autoimun nonorgan spesifik, sering juga dibentuk kompleks imun
yang dapat diendapkan pada dinding pembuluh darah, kulit, sendi, dan ginjal,
serta menimbulkan kerusakan pada organ tersebut. Tempat endapan kompleks
imun di dalam ginjal bergantung pada ukuran kompleks yang ada di dalam
sirkulasi. seperti misalnya pada penyakit lupus (SLE, Systemic Lupus
Erythematosus) dan rheumatoid arthritis.
Mekanisme penyakit autoimun yang menyebabkan kerusakan sel
merupakan suatu siklus yang dapat berulang. Dimulai dari pengenalan self
antigen oleh antibodi dan sel limfosit akan menyebabkan terjadinya aktivasi
antibodi dan limfosit tersebut. Hasil dari aktivasi ini adalah adanya reaksi
inflamasi pada tempat tertentu. Stimulasi perbanyakan antibodi terhadap sel
antigen terus berlanjut dan siklus akan kembalidari awal (Gambar 01)

Gambar 01. Mekanisme penyakit autoimun yang dapat menyebabkan


kerusakan sel berupa siklus yang berulang

Ada 4 jenis hipersensitivitas, yaitu Tipe I (Immediate Hypersensitivity),


Tipe II (Antibody Mediated), Tipe III (Immune complex mediated) dan tipe IV
(Delayed Type Hypersensitivity).
1. Hipersensitivitas tipe I atau dikenal dengan alergi, terjadi dengan
perantaraan IgE.
Apabila ada antigen dan dikenali oleh molekul IgE yang ada di

8
Mata Kuliah Imunologi
Program Studi S1 Biologi
permukaan sel mast, akan menyebabkan produksi sitokin pro-inflamasi yang
disebut histamin oleh sel mast. Histamin ini akan menyebabkan reaksi alergi.
Mekanisme histamin menyebabkan alergi bisa berupa terjadinya kontraksi
otot polos pada paru- paru sehingga individu kesulitan bernafas.Bisa juga
dengan meningkatkan permeabilitas pembuluh darah sehingga plasma darah
bisa keluar dari pembuluh darah dan menyebabkan syok. Kejadian ini disebut
syok anafilaksis.
Respon yang dihasilkan dari hipersensitivitas tipe I ini sangat cepat,
dalam waktu 15-30 menit setelah paparan agen penyebab alergi (alergen).
Terdapat beberapa macam alergen, seperti bulu kucing, serbuk bunga, debu,
dll. Alergen untuk setiap individu bisa berbeda-beda.Contoh penyakit yang
merupakan hipersensitivitas tipe I adalah asma dan anafilaksis. Pada asma,
saluran bronkiolus akan menyempit dan mengganggu jalannya udara
bernafas. Hal ini menyebabkan individu yang terkena asma mengalami
kesulitan bernafas (Gambar 02).

Gambar 02. Penderita asma mengalami penyempitan saluran bronkiolus

9
Mata Kuliah Imunologi
Program Studi S1 Biologi
Selain asma, ada juga anafilaksis yang merupakan hipersensitivitas tipe
I. Anafilaksis adalah gejala alergi berat dan sistemik yang dapat
mengakibatkan kematian. Oleh karena itu, seseorang yang mengalami
anafilaksis harus mendapatkan pertolongan medis sesegera mungkin.
Pertolongan medis untuk anafilaksis adalah dengan pemberian epinefrin.
Beberapa gejala anafilaksis antara lain batuk, sesak pada dada, kesulitan
bernafas dan peningkatan denyut jantung, pembengkakan pada beberapa
tempat seperti muka dan lidah, muntah, diare, nadi lemah dan pucat (Gambar
03).

Gambar 03. Pembengkakan merupakan salah satu gejala anafilaksis

2. Hipersensitivitas tipe II merupakan hipersensitivitas dengan perantaraan


antibodi (IgM dan IgG) yang berikatan dengan antigen yang ada pada
permukaan sel. Ikatan antigen-antibodi ini membentuk komplek yang
menstimulasi protein komplemen beraksi. Respon dari protein komplemen
bersifat sitotoksik (merusak sel) sehingga bisa berdampak serius bagi individu
(Gambar 04). Contoh penyakit hipersensitivitas tipe II adalah
trombositopenia, Grave’s disease, eritroblastosis fetalis dan Myasthenia
gravis.

10
Mata Kuliah Imunologi
Program Studi S1 Biologi
Gambar 04. Mekanisme hipersensitivitas tipe II, antibodi
mengenali antigen yang terdapat pada permukaan sel
 Erythroblastosis fetalis

Erythroblastosis fetalis adalah suatu kondisi anemia pada bayi yang

disebabkan antibodi ibu mengenali antigen yang terdapat pada sel darah

merah janin, sehingga mengakibatkan penggumpalan sel darah merah

dan anemia pada bayi. Hal ini dapat terjadi apabila seorang wanita

dengan golongan darah Rhesus (Rh) negatif (Rh-) menikah dengan laki-

laki yang memiliki golongan darah Rh+. Janin yang dikandung wanita ini

akan memiliki golongan darah Rh+.

Antibodi ibu akan dapat mengenali antigen Rhesus pada sel darah

merah janin, sehingga terjadilah anemia pada janin. Umumnya bayi yang

dilahirkan pada kasus erythroblastosis fetalis dapat bertahan hidup pada

kelahiran pertama tidak terdampak serius. Tetapi pada kelahiran kedua

11
Mata Kuliah Imunologi
Program Studi S1 Biologi
dan seterusnya, bayi dapat mengalami anemia, hipoalbuminemia,

peningkatan bilirubin, gagal jantung dan kematian (Gambar 05).

Gambar 05. Erythroblastosis fetalis pada kehamilan pertama dan kedua.


Pada kehamilan pertama bayi tidak terdampak serius, namun pada
kehamilan kedua danseterusnya dapat mengakibatkan kematian.
 Graves Disease
Penyakit Graves adalah kelainan autoimun. Ini menyebabkan
kelenjar tiroid membuat terlalu banyak hormon tiroid dalam tubuh.
Kondisi ini dikenal sebagai hipertiroidisme. Penyakit Graves adalah
salah satu bentuk hipertiroidisme yang paling umum.
Pada penyakit Graves, sistem kekebalan menciptakan antibodi
yang dikenal sebagai imunoglobulin perangsang tiroid. Antibodi ini
kemudian menempel pada sel tiroid yang sehat. Mereka dapat
menyebabkan tiroid menghasilkan terlalu banyak hormon tiroid. Hal ini
menyebabkan pembesaran kelenjar tiroid, pembesaran mata, penurunan
nafsu makan, perubahan siklus menstruasi pada wanita dan peningkatan
dan ketidakteraturan detak jantung (Gambar 06).
Hormon tiroid memengaruhi banyak aspek tubuh. Ini dapat
12
Mata Kuliah Imunologi
Program Studi S1 Biologi
mencakup fungsi sistem saraf, perkembangan otak, suhu tubuh, dan
elemen penting lainnya. Jika tidak diobati, hipertiroidisme dapat
menyebabkan penurunan berat badan, kecemasan, gelisah, lekas marah,
depresi, dan kelelahan mental atau fisik.

Gambar 06. Pembesaran kelenjar tiroid dan pembesaran mata


merupakan gejala-gejala Graves Disease.

 Miastenia Gravis
Sasaran dari penyakit ini ialah reseptor asetilkolin pada hubungan
neuromuskuler. Reaksi antara reseptor dan Ig akan mencegah
penerimaan impuls saraf yang dalam keadaan normal dialirkan oleh
molekul asetilkolin. Hal ini menimbulkan kelemahan otot yang begitu
berat yang ditandai dengan gejala yang sulit mengunyah dan bernafas
sehingga dapat mengakibatkan kematian karena gagal nafas. Timbulnya
miastenia gravis berhubungan dengan timus. Pada umumnya penderita
menunjukkan hipertrofi timus dan bila kelenjar timus diangkat, penyakit
kadang-kadang dapat menghilang.
Molekul yang menunjukkan rekasi silang dengan reseptor
asetilkolin telah ditemukan dalam berbagai sel timus seperti timosit dan
sel epitel. Keterlibatan sel-sel dalam perannya menimbulkan penyakit
belum diketahui.

13
Mata Kuliah Imunologi
Program Studi S1 Biologi
3. Hipersensitivitas Tipe III diperantarai oleh pembentukan komplek
imun di darah. Komplek imun adalah antibodi dan antigen terlarut yang
saling berikatan. Komplek imun ini tidak dapat dapat dihilangkan oleh
sel-sel imun, dan kemudian mengendap di dasar pembuluh darah atau
di ginjal (Gambar 07). Hal ini akan menyebabkan terjadinya
peradangan di daerah tersebut. Munculnya respon hipersensitivitas tipe
III ini cukup lambat, sekitar 3-10 jam. Contoh penyakit
hipersensitivitas tipe III adalah systemic lupus erythomatosis dan
arthritis.

Gambar 07. Mekanisme hipersensitivitas tipe III. Antibodi akan


berikatan dengan antigen bebas membentuk komplek imun, mengendap
di pembuluh darah dan ginjal.
 Systemic Lupus Erythematosus (SLE) atau yang lebih dikenal
dengan penyakit lupus, adalah inflamasi atau peradangan pada
beberapa tempat di tubuh akibat pengenalan antigen tubuh oleh
antibodi. Inflamasi ini bisa terjadi pada beberapa organ tubuh
sehingga mengakibatkan kerusakan dan menyebabkan kematian.
Gejala SLE cukup bervariasi, namun yang paling khas adalah
terbentuknya ruam (rash) pada pipi yang berbentuk kupu-kupu
14
Mata Kuliah Imunologi
Program Studi S1 Biologi
(Gambar 08).

Gambar 08. Ruam dengan bentuk kupu-kupu pada individu yang


terkena SLE
Penderita SLE membentuk Ig terhadap beberapa komponen
badan misalnya DNA. Diduga Ig tersebut membentuk kompleks
dengan DNA yang berasal dari degradasi jaringan normal.
Sensitivitas penderita SLE terhadap sinar UV diduga berdasarkan hal
ini.
Agregat kompleks imun akan disaring di ginjal dan mengendap
di membran basal glomerulus. Kompleks lainnya mungkin
mengendap di dinding arteri dan sendi membentuk endapan lumpry-
lumpry. Kompleks tersebut kemudian mengaktifkan komplemen, dan
menarik granulosit dan menimbulkan reaksi inflamasi sebagai
glomerulonephritis. Kerusakan ginjal menimbulkan protein uria dan
kadang-kadang perdarahan. Derajat gejala penyakit dapat berubah-
ubah sesuai dengan kadar kompleks imun.
 Rheumatoid arthritis merupakan peradangan yang terjadi pada
persendian, khususnya pada tangan dan kaki (Gambar 09).
Peradangan pada sendi ini mengakibatkan adanya pembengkakan
pada daerah sendi, alat gerak menjadi kaku dan sakit saat digerakkan.

15
Mata Kuliah Imunologi
Program Studi S1 Biologi
Gambar 09. Perbandingan sendi pada penderita rheumatoid arthritis
dengan orangsehat (healthy joint). Terjadi peradangan pada
rheumatoid arthritis.
Pada RA dibentuk Ig yang dapat berupa IgM abnormal
(disebut Rheumatoid factor, RF) yang spesifik terhadap fraksi Fc
dari molekul IgG. Terbentuknya Ig ini dalam jumlah besar belum
diketahui dengan jelas.
Kompleks RF dan IgG ditimbun dalam sinovia sendi dan
mengaktifkan komplemen yang melepas mediator dengan sifat
kemotaktik granulosit. Respons inflamasi yang disertai peningkatan
permeabilitas vaskuler menimbulkan pembengkakan sendi dan sakit
bila eksudat bertambah banyak. Enzim hidrolitik yang dilepas
neutrofil segera memecah kolagen dan tulang rawan sendi yang
dapat menimbulkan destruksi permukaan sendi sehingga
mengganggu fungsi normal. Akibat inflamasi yang berulang-ulang,
terjadi penimbunan fibrin dan penggantian tulang rawan oleh
jaringan ikat sehingga sendi menyatu (ankilosis) yang menjadi sulit
untuk digerakkan.

16
Mata Kuliah Imunologi
Program Studi S1 Biologi
4. Hipersensitivitas tipe IV

Hipersensitivitas tipe IV menghasilkan reaksi yang lambat, yaitu

beberapa hari setelah terpapar antigen (48-72 jam). Hipersensitivitas

tipe ini merupakan satu- satunya yang disebabkan atau diperantarai

oleh sel limfosit T, baik sel T CD4+ maupun CD8+. Sel limfosit T

CD4+ yang mengenali antigen akan teraktivasi dan mengeluarkan

sitokin yang berperan dalam inflamasi.

Untuk hipersensitivitas tipe IV ini, inflamasi yang terjadi lebih

berat. Sedangkan sel T CD8+ pada kejadian hipersensitivitas tipe IV

ini sangat aktif merusak sel terinfeksi patogen. Contoh penyakit

hipersensitivitas tipe IV ini adalah penyakit multiple sclerosis

(kerusakan myelin), dermatitis karena penggunaan bahan nikel

(misalnya penggunaan cincin) dan reaksi yang terjadi pada tes

mantoux.

 Multiple sclerosis adalah penyakit autoimun, dimana sel limfosit T

akan menyerang selubung mielin pada sel saraf. Selubung mielin ini

berfungsi untuk melindungi sel saraf (Gambar 10). Apabila selubung

ini dirusak, maka sel saraf juga akan rusak. Hal ini mengakibatkan

hilangnya fungsi dan koordinasi sel saraf dari otak. Gejalanya juga

cukup bervariasi, tergantung dimana sel saraf yang diserang dan

tingkat kerusakan sel saraf. Hal ini antara lain mati rasa atau
17
Mata Kuliah Imunologi
Program Studi S1 Biologi
kelemahan anggota gerak pada sisi yang sama, penglihatan menjadi

kabur, terjadi kesulitan dalam berbicara, menelan dan berjalan.

Gambar 10. Kerusakan selubung myelin akibat serangan sel limfosit T


dibandingkandengan sel saraf normal
2.4 Reaksi Alergi
2.4.1 Pengertian Alergi
Alergi merupakan bagian dari reaksi hipersensivitas, yaitu respon imun
yang berlebihan terhadap suatu antigen atau alergen, dikenal dengan istilah
hipersensitivitas tipe I. Reaksi hipersensitivitas tipe I juga disebut sebagai
hipersensitivitas cepat (immediate hypersensitivity) karena reaksi yang terjadi
secara cepat dalam beberapa menit setelah paparan antigen, setelah itu diikuti
respon lambat (late-phase reaction) atau reaksi alergi fase lambat (RAFL)
yang terjadi selang beberapa jam, yaitu reaksi inflamasi yang disebabkan oleh
adanya infiltrasi sel-sel inflamasi seperti neutrofil, eosinofil, dan makrofag.
Reaksi hipersensitivitas tipe I ini merupakan gabungan dari reaksi alergi
fase cepat (RAFC) dan reaksi alergi fase lambat (RAFL) terhadap paparan
suatu alergen. Hipersensitivitas tipe I adalah reaksi hipersensitivitas yang
terjadi ketika antigen berikatan dengan antibodi immunoglobulin E (IgE) pada
18
Mata Kuliah Imunologi
Program Studi S1 Biologi
permukaan sel mast yang menyebabkan sel mast mengalami degranulasi dan
mengeluarkan beberapa mediator inflamasi. Alergen yang terlibat di reaksi
hipersensitivitas ini merupakan antigen spesifik yang pada individu normal
tidak menunjukan gejala klinis, namun beberapa individu merespon substansi
tersebut dengan memproduksi sejumlah besar IgE dan mengakibatkan
terjadinya berbagai manisfestasi klinis alergi.
Alergen yang menyebabkan respon hipersensivitas pada individu
dengan atopi merupakan suatu protein atau subtansi kimia yang terikat
protein. Alergen tipikal ini termasuk protein dalam serbuk sari (pollen),
tungau (house dust mites), bulu binatang, makanan, jamur (mold) dan
obatobatan seperti antibiotik penisilin. Tidak seperti infeksi oleh kuman yang
menstimulasi respon imun bawaan yang menyebabkan dominasi produksi
TH1, pada paparan oleh alergen menyebabkan tubuh merespon dengan
dominasi produksi TH2 yang memicu reaksi hipersensitivitas.
2.4.2 Faktor Risiko Alergi
a. Genetik
Risiko timbulnya gejala alergi lebih tinggi pada individu dengan
riwayat keluarga dengan penyakit atopi dibandingkan tanpa atopi. Gejala
alergi pada anak yang mempunyai orang tua dengan alergi akan lebih
parah dibandingkan dengan anak dengan orang tua tanpa alergi. Anak
yang memiliki saudara dengan penyakit alergi mempunyai hampir dua
kali lipat risiko alergi makanan dibandingkan dengan yang tidak memiliki
riwayat keluarga alergi. Risiko alergi makanan tertinggi pada anak
dengan kedua orang tua alergi dan satu atau lebih saudara kandung
dengan alergi.
b. Usia
Perkembangan penyakit alergi atopi yang berhubungan dengan
bertambahnya usia disebut dengan atopic march. Dermatitis alergi
19
Mata Kuliah Imunologi
Program Studi S1 Biologi
muncul pada 6 bulan pertama sampai beberapa tahun awal kehidupan.
Anak dengan riwayat alergi susu sapi dengan IgE positif pada usia 7
bulan mempunyai risiko mempunyai hiperresponsivitas bronkhial pada
usia sekolah. Dermatitis alergi dengan IgE spesifik alergen yang muncul
pada usia 2-4 tahun mempunyai risiko tinggi untuk berkembang menjadi
asma dan rinitis alergi dibandingkan dermatitis alergi tanpa perantara IgE.
Prevalensi rinitis alergi terbesar pada masa anak-anak dan remaja usia
sekolah, kemudian menurun secara signifikan seiring bertambahnya usia.
c. Stres
Hubungan antara stres dan sistem imun melalui 2 jalur yaitu
autonomic nervous system (ANS) dan axis hyphophyseal-pituitaryadrenal
(HPA). Stres menstimulasi sekresi adrenocorticotrophic hormone
(ACTH) dan mengaktivasi korteks adrenal untuk mensekresi kortisol dan
katekolamin oleh medula.
Kortisol dan katekolamin menghambat produksi IL-12 oleh TH1.
Kortisol juga berpengaruh langsung terhadap sel TH2 sehingga
meningkatkan produksi IL-4, IL-10, dan IL-13. ANS yang terdiri dari
sistem saraf simpatis dan parasimpatis di sistem saraf pusat (SSP),
memodulasi sistem imun melalui neurotransmiter, neuropeptida, dan
hormon. Stres dapat meningkatkan produksi noradrenalin dapat
menurunkan produksi sitokin IL-12. Hal tersebut menyebabkan sistem
imun menjadi dominan sel TH2 sehingga memicu terjadinya reaksi alergi
d. Lingkungan
Urbanisasi yang cepat dan industrialisasi di seluruh dunia telah
meningkatkan polusi udara dan menyebabkan paparan terhadap populasi.
Pada saat yang sama prevalensi penyakit asma dan alergi meningkat di
negara-negara industri. Paparan kronik polusi udara seperti Nitric oxides

20
Mata Kuliah Imunologi
Program Studi S1 Biologi
(NO dan NO2), volatile organic compounds, ozon, sulfur dioksida (SO2)
dapat menginduksi gejala pada pasien dengan rinitis alergi.
2.4.3 Mediator dalam Reaksi Alergi
Gejala klinis alergi ditentukan oleh berbagai macam mediator yang
berasal dari berbagai sel seperti sel mast, basofil, eosinofil dan neutrofil.
Mediator-mediator tersebut antara lain :
 Histamin
Histamin merupakan amin vasoaktif yang berada di dalam granul
sitoplasma pada sel mast dan basofil, serta mempunyai reseptor di
berbagai bagian tubuh. Efek histamin pada gelaja alergi terutama di 14
pembuluh darah dan otot polos. Pelepasan histamin menyebabkan
vasodilatasi, meningkatnya permeabilitas pembuluh darah serta
kontraksi otot polos yang dapat menyebabkan menifestasi klinis pada
rinitis alergi, urtikaria, bronkhospasme pada reaksi anafilaktik akut.
 Eosinophil chemotactic factor of anaphylaxis (ECF-A)
ECF-A adalah suatu tetrapeptida yang berada di dalam granul
sitoplasma sel mast. Pelepasan ECF menyebabkan migrasi eosinofil
pada reaksi alergi.
 Prostaglandin (PGD2)
PGD2 adalah bioaktif yang berasal dari asam arakidonat yang
dihasilkan melalui aktivitas COX. Mediator tersebut menimbulkan
kontraksi otot polos, vasodilatasi, dan meningkatkan permeabilitas
kapiler.
 Leukotrien
Leukotrien adalah mediator yang berasal dari asam arakidonat
yang dihasilkan oleh sel mast mukosa dan basofil, dan mempunyai

21
Mata Kuliah Imunologi
Program Studi S1 Biologi
reseptor spesifik di otot polos bronkhus serta menyebabkan
bronkhospasme persisten yang terjadi pada asma
 Platelet-activating factor (PAF)
PAF adalah suatu fosfolipid yang dihasilkan oleh sel mast yang
dapat menyebabkan bronkokonstriksi, hipotensi, permeabilitas
pembuluh darah, serta efek kemotaksis terutama terhadap eosinofil.
 Kemokin
Kemokin adalah bagian dari sitokin yang merangsang gerakan
leukosit dan mengatur migrasi leukosit dari darah ke jaringan, seperti
RANTES dan eotaxin.
 Selektin dan Integrin Ligands
E-selektin dan ligan integrin (VCAM-1 dan ICAM-1) yang
disintesis oleh sel endotel dan diekspresikan ke permukaan sel endotel
berfungsi untuk adhesi leukosit yang beredar di pembuluh darah.

2.4.4 Patofisiologi Alergi di Saluran Pernapasan


 Fase Sensitisasi
Alergen yang terinhalasi akan difagosit oleh makrofag dan sel
dendritik yang berperan sebagai Antigen Presenting Cell (APC) yang
terdapat di saluran napas. Alergen yang tidak habis dicerna akan
dipresentasikan ke permukaan APC sebagai peptida pendek dan
berikatan dengan Major Histocompatibility Complex (MHC) kelas II
pada permukaan APC. Kompleks antigen-MHC kelas II ini akan
dikenali oleh reseptor sel T di sel TH0 (naive T helper) sehingga sel
TH0 akan berdiferensiasi menjadi sel TH2. Sel TH2 selanjutnya
memproduksi sitokin IL-4, IL-5, dan IL-13 yang menstimulasi
perubahan isotipe (isotype switching) sel B untuk meproduksi IgE
spesifik antigen dan proliferasi eosinofil, sel mast, dan neutrofil.
22
Mata Kuliah Imunologi
Program Studi S1 Biologi
Sel B spesifik berubah menjadi sel plasma untuk memproduksi
IgE. M Molekul IgE spesifik yang diproduksi tersebut hanya untuk
satu antigen tertentu. Antibodi IgE berikatan kuat dengan reseptor Fc
(FcԑRI) pada permukaan basofil dan sel mast. Sel mast yang telah
berikatan dengan IgE inilah yang telah aktif disebut sel mast yang
telah tersensitisasi.
 Reaksi Fase Cepat
Reaksi alergi fase cepat (RAFC) terjadi apabila terdapat paparan
ulang alergen yang sama pada dua atau lebih IgE yang berikatan silang
(cross-linking) pada permukaan sel mast menyebabkan degranulasi sel
mast dan melepaskan mediator-mediator inflamasi primer (performed
mediator) seperti histamin dan triptase dalam beberapa menit serta
berlangsung sampai 30 menit.
Mediator-mediator tersebut menyebabkan hiper-reaktivitas
mukosa hidung sehingga menyebabkan respon awal pada rinitis alergi
yang dimanifestasikan sebagai bersin, gatal pada hidung dan
rhinorrhea.
 Reaksi Fase Lambat
Reaksi alergi fase lambat (RAFL) terjadi selang beberapa jam
setelah reaksi fase cepat dan berlangsung sampai sekitar 24 jam,
kemudian mereda secara bertahap. Reaksi ini ditandai dengan
peningkatan jumlah sel TH2, eosinofil, basofil, dan neutrofil yang
melepaskan sitokin dan molekul mediator lainnya. Paparan alergen
juga merangsang sel mast untuk memproduksi mediator-mediator
inflamasi lainnya (newly formed mediators), termasuk prostaglandin
D2 (PGD2), leukotrien C4 (LTC4), platelet-activating factor (PAF),
dan eosinophil chemotactic factor of anaphylaxis (ECF-A), serta

23
Mata Kuliah Imunologi
Program Studi S1 Biologi
sitokin-sitokin seperti IL-5, GM-CSF, dan IL-3, yang membantu
mempertahankan reaksi inflamasi dengan proses kemotaksis spesifik
untuk neutrofil dan eosinofil ke lokasi inflamasi.
Sel TH2 mengatur dan menjaga respon inflamasi dengan
mengeluarkan beberapa sitokin untuk merangsang sekresi
kemoatraktan seperti RANTES, eotaxin, membrane co-factor protein,
dan eosinophil chemotactic factor yang berfungsi untuk migrasi
eosinofil ke jaringan.
Adhesi dan migrasi eosinofil ke lokasi inflamasi juga yang
diregulasi oleh sitokin sel TH2 yaitu dengan menginduksi ekspresi
molekul adhesi yaitu intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1),
vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM-1), dan E-selectin pada
permukaan sel endotel pembuluh darah. Eosinofil mempunyai peran
paling penting dalam reaksi alergi fase ini.
Mediator inflamasi yang diproduksi oleh eosinofil seperti IL-5,
eotaxin dan produk granular eosinofil seperti MBP, ECP, EPO, dan
EDN menyebabkan hiper-reaksivitas hidung, kerusakan pada epitel
saluran napas dan berhubungan dengan reaksi alergi kronis. Infiltrasi
eosinofil dan selsel inflamasi lain ke mukosa hidung menyebabkan
destruksi dan remodeling mukosa hidung yang menyebabkan
manifestasi klinis hidung tersumbat, hiper-reaktivitas nasobronkhial,
dan mengkronis.

24
Mata Kuliah Imunologi
Program Studi S1 Biologi
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

 Hipersensitivitas adalah suatu respon imun yang berlebihan sehingga


menghasilkan ketidaknyamanan dan penyakit pada individu yang
mengalaminya

 Penyakit autoimun adalah penyakit dimana respon imun tubuh mengenali


dan bereaksi dengan protein tubuh (self antigen) sendiri

 Beberapa faktor lingkungan dapat memicu autoimunitas seperti mikroba,


hormon, radiasi UV, obat dan logam.
 Penyakit autoimun dapat digolongkan menjadi 2 kelompok berdasarkan
organnya, yaitu (a) organ- specific dan (b) sistemik
 Ada 4 jenis hipersensitivitas, yaitu Tipe I (Immediate Hypersensitivity),
Tipe II (Antibody Mediated), Tipe III (Immune complex mediated) dan tipe
IV (Delayed Type Hypersensitivity).
 Alergi merupakan bagian dari reaksi hipersensivitas, yaitu respon imun
yang berlebihan terhadap suatu antigen atau alergen, dikenal dengan istilah
hipersensitivitas tipe I.
 Gejala klinis alergi ditentukan oleh berbagai macam mediator yang berasal
dari berbagai sel seperti sel mast, basofil, eosinofil dan neutrofil

3.2 Saran

Semoga makalah ini bisa menjadi bahan belajar bagi teman-teman semua
yang ingin mengetahui mengenai beberapa jenis penyakit yang disebabkan oleh
gangguan sistem imun, respon alergi dan autoimun.

Apabila dalam penyusunan makalah ini terdapat kesalahan atau


kekeliruan, kami mohon kritikan dan masukan yang sifatnya membangun.
25
Mata Kuliah Imunologi
Program Studi S1 Biologi
DAFTAR PUSTAKA

Abbas, A.K. and Lichtman, A.H. 2007. Cellular and Molecular Immunology. 6th ed.

WB Saunders Company Saunders, Philadelphia.

Baratawidjaja KG, Iris R. 2014. Imunologi Dasar edisi II. Jakarta : FKUI

Baratawidjaja, K.G., Rengganis I. 2010. Imunologi Dasar edisi 9. Jakarta : BP.FKUI.

Marliana, Nina dan Retno Martini widhyasih. 2018. Imunuserologi. Jakarta : Pusat

Pendidikan Sumber Daya Manusia Kesehatan.

Nuzulul Hikmah, I Dewa Ayu Ratna Dewanti. 2010. Seputar Reaksi Hipersensitivitas

(Alergi). Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Jember

Saraswati, Henny. 2017. Modul Imunologi. Universitas Esa Unggul.

26
Mata Kuliah Imunologi
Program Studi S1 Biologi

Anda mungkin juga menyukai