Disusun oleh :
Semester VI Biologi
“Om Swastyastu”
Puja dan puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa
karena atas berkat dan rahmat-Nyalah beserta dibarengi dengan usaha dari kami
selaku tim penyusun sehingga makalah imunologi ini yang berjudul “Beberapa Jenis
Penyakit yang Disebabkan Oleh Gangguan Sistem Imun” dapat terselesaikan tepat
pada waktunya.
Ada pun maksud dan tujuan dari penyusunan makalah imunologi ini adalah
untuk mengkaji dan mengetahui mengenai beberapa jenis penyakit yang disebabkan
oleh gangguan sistem imun, respon alergi dan autoimun.
Dalam kesempatan ini, kami selaku tim penyusun mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
makalah imunologi ini.
Harapan yang kami inginkan semoga makalah imunologi ini dapat bermanfaat
bagi pembaca. Apabila dalam penyusunan makalah ini terdapat kesalahan maupun
kekurangan, kami sangat mengharapkan kritikan dan saran yang sifatnya membangun
dari para pembaca.
Tim penyusun
Kelompok 1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................ 2
1.3 Tujuan Pembelajaran ....................................................................................... 2
1.4 Manfaat Pembelajaran ..................................................................................... 2
BAB II KAJIAN ISI
2.1 Hipersensitivitas dan autoimun ........................................................................ 3
2.2 Faktor lingkungan yang memicu terjadinya autoimun ...................................... 4
2.3 Pembagian penyakit autoimun ......................................................................... 6
2.4 Respon alergi ................................................................................................. 18
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan.................................................................................................... 25
3.2 Saran ............................................................................................................. 25
2.1 Mekanisme penyakit autoimun yang dapat menyebabkan kerusakan sel berupa
siklus yang berulang. ....................................................................................... 8
2.2 Penderita asma mengalami penyempitan saluran bronkiolus ............................ 9
2.3 Pembengkakan merupakan salah satu gejala anafilaksis ................................. 10
2.4 Mekanisme hipersensitivitas tipe II, antibodi mengenali antigen yang terdapat
pada permukaan sel........................................................................................ 10
2.5 Erythroblastosis fetalis pada kehamilan pertama dan kedua ............................ 12
2.6 Pembesaran kelenjar tiroid dan pembesaran mata merupakan gejala-gejala
Graves Disease. ............................................................................................. 13
2.7 Mekanisme hipersensitivitas tipe III ............................................................... 14
2.8 Ruam dengan bentuk kupu-kupu pada individu yang terkena SLE .................. 15
2.9 Perbandingan sendi pada penderita rheumatoid arthritis dengan orangsehat
(healthy joint). ............................................................................................... 16
2.10 Kerusakan selubung myelin akibat serangan sel limfosit T dibandingkan dengan
sel saraf normal.............................................................................................. 18
Sistem imun atau sistem kekebalan tubuh memiliki fungsi sangat sentral
dalam pertahanan tubuh manusia. Tanpa sistem imun, tubuh akan rentan terkena
serangan kuman, parasit, atau virus. Sistem imun juga lah yang berperan
melawan serangan berbagai jenis patogen, sehingga tubuh kita tetap berada
dalam kondisi sehat. Sistem imun pada dasarnya merupakan sistem perlindungan
yang ada di dalam tubuh manusia yang bila mana sistem imun atau sistem
kekebalan tubuh tersebut berfungsi dengan tidak baik, maka tubuh kita tidak
akan mendapat proteksi yang semestinya.
Respon imun berfungsi memberikan perlindungan terhadap tubuh dari
serangan patogen. Namun, kadang kala respon imun mengalami gangguan
sehingga tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Hipersensitivitas
adalah suatu kondisidimana respon imun terjadi secara berlebihan sehingga tidak
memberikan efek proteksi tetapi justru menyebabkan penyakit pada individu.
Autoimun sebagai bagian dari hipersensitivitas juga bersifat merusak tubuh.
Beberapa mekanisme disebutkan menjadi penyebab hipersensitivitas dan
autoimun.
Oleh karena itu, dalam makalah ini akan mengkaji mengenai beberapa
jenis penyakit yang disebabkan oleh gangguan sistem imun, respon alergi dan
autoimun.
1
Mata Kuliah Imunologi
Program Studi S1 Biologi
1.2.2 Faktor lingkungan apa yang memicu terjadinya autoimun ?
1.2.3 Bagaimana pembagian penyakit autoimun ?
1.2.4 Bagaimana proses terjadi respon alergi ?
2
Mata Kuliah Imunologi
Program Studi S1 Biologi
BAB II
KAJIAN ISI
4
Mata Kuliah Imunologi
Program Studi S1 Biologi
a) Mikroba
Hubungan antara infeksi mikroba dapat berupa virus ataupun bakteri
dengan autoimunitas disebabkan karena adanya kemiripan (mimicracy).
Berbagai virus berhubungan dengan berbagai penyakit autoimun yang
mengenai sendi. Virus Adeno dan Coxsackie A9, B2, B4, B6 sering
berhubungan dengan polyarthritis, pleuritis, myalgia, ruam kulit, faringitis,
miokarditis dan leukositosis.
b) Bakteri
Penyakit autoimun yang ditimbulkan bakteri adalah demam reuma pasca
infeksi streptokok yang disebabkan oleh antibodi terhadap streptokok yang
diikat jantung dan menimbulkan miokarditis. Demam reuma adalah gejala sisa
nonsupuratif penyakit Streptokok A, biasanya berupa faringitis dengan
manifestasi 2-4 minggu pasca infeksi akut. Ada tiga gejala utama yaitu
arthritis, karditis dan korea (gerakan tidak terkontrol, tidak teratur dari otot
muka, lengan dan tungkai). Gejala tersebut biasanya timbul pada penderita
yang menunjukkan beberapa gambaran klinis utama dan jarang terjadi dengan
sendiri.
Pada pemeriksaan imunologik ditemukan antibodi yang bereaksi dengan
protein M dari mikroba penyebab. Antigen Streptokok tersebut memiliki
epitop yang mirip dengan jaringan miokard jantung manusia dan antibodi
terhadap streptokok tersebut memiliki epitop yang mirip dengan jaringan
miokard jantung manusia dan antibodi terhadap streptokok akan menyerang
jantung (jaringan katup). Antibodi terhadap antigen streptokok bereaksi silang
dengan antigen otot jantung dan menimbulkan kerusakan dan penyakit demam
reuma. Penyakit menghilang bila bakteri dieliminasi dan tidak terjadi produksi
antibody.
5
Mata Kuliah Imunologi
Program Studi S1 Biologi
c) Hormon
Studi epidemiologi menemukan bahwa wanita lebih cenderung
menderita penyakit autoimun dibanding pria. Selain itu, wanita pada
umumnya memproduksi antibodi lebih banyak dibandingkan pria yang
biasanya merupakan respons proinfalmasi Th1. Kehamilan sering disertai
dengan memburuknya penyakit terutama artritis rheumatik dan relaps sering
terjadi setelah melahirkan. Kadar prolactin yang timbul tiba-tiba setelah
kehamilan berhubungan dengan kecenderungan terjadinya penyakit
autoimun seperti RA.
d) Radiasi UV
Pajanan dengan radiasi Ultraviolet (biasanya sinar matahari) diketahui
merupakan pemicu inflamasi kulit dan kadang LES. Radiasi UV dapat
menimbulkan modifikasi struktur radikal bebas self antigen yang
meningkatkan imunogenitas.
e) Logam
Berbagai macam logam seperti Zn, Cu, Cr,Pb, Cd,Pt, perak dan silikon
diduga dapat menimbulkan efek terhadap sistem imun, baik in vitro maupun
in vivo dan kadang serupa autoimunitas. Salah satu yang banyak diteliti
adalah terhadap silikon. Silikon merupakan metalloid ( kristal non logam),
dan bentuk dioksida nya disebut dengan silica. Pajanan debu dari silikon
yang berhubungan dengan pekerjaan dapat menimbulkan penyakit yang
disebut silikosis. Respons imun yang terjadi dapat berupa produksi ANA,
RF, dan mungkin dapat menunjukkan LES atau sindrom serupa skeloderma
dengan endapan kompleks imun di glomerulus dan glomerulosklerosis lokal.
Walaupun banyak dugaan keterlibatan logam dalam autoimunitas,
namun masih banyak penelitian yang harus dilakukan terhadap keterlibatan
logam dalam autoimuntas. Sebagai contoh adalah logam Silikon dapat
6
Mata Kuliah Imunologi
Program Studi S1 Biologi
merangsang respon autoimun dengan indikator terdeteksinya ANA serta
menimbulkan penyakit serupa skleroderma.
2.3 Pembagian Penyakit Autoimun
Penyakit autoimun dapat digolongkan menjadi 2 kelompok berdasarkan
organnya, yaitu (a) organ- specific dan (b) sistemik.
a. Penyakit autoimun organ spesifik
Pada penyakit autoimun organ spesifik maka alat tubuh yang menjadi
sasaran adalah kelenjar tiroid, kelenjar adrenal, lambung dan pankreas.
Respon imun yang terjadi adalah terbentuknya antibodi terhadap jaringan
alatnya sendiri. Dalam hal ini muncul antibodi yang tumpang tindih, seperti
antibodi terhadap kelenjar tiroid dan antibodi terhadap lambung sering
ditemukan pada satu penderita. Kedua antibodi tersebut jarang ditemukan
bersamaan dengan antibodi yang non-organ spesifik seperti antibodi terhadap
komponen nukleus dan nukleoprotein. Contohnya pada penyakit Hashimoto’s
thyroiditis dan Graves disease.
Penderita anemia pernisiosa lebih cenderung menderita penyakit tiroid
autoimun dibanding orang normal dan juga sebaliknya penderita dengan
penyakit tiroid autoimun lebih cenderung untuk juga menderita anemia
pernisiosa. Contohnya pada penyakit Hashimoto’s thyroiditis dan Graves
disease.
b. Penyakit autoimun non-organ spesifik/sistemik
Autoimun non-organ spesifik terjadi karena dibentuknya antibodi
terhadap autoantigen yang tersebar luas di dalam tubuh atau penyakit
autoimun yang berdampak pada keseluruhan jaringan tubuh, seperti DNA.
Antibodi yang tumpang tindih ditemukan pula pada golongan penyakit
autoimun, misalnya anti DNA yang dapat ditemukan pada golongan penyakit
rheumatoid seperti arthritis rheumatoid dan lupus eritematosus sistemik. Juga
sering ditemukan gejala klinis yang sama pada kedua penyakit tersebut. Pada
7
Mata Kuliah Imunologi
Program Studi S1 Biologi
penyakit autoimun nonorgan spesifik, sering juga dibentuk kompleks imun
yang dapat diendapkan pada dinding pembuluh darah, kulit, sendi, dan ginjal,
serta menimbulkan kerusakan pada organ tersebut. Tempat endapan kompleks
imun di dalam ginjal bergantung pada ukuran kompleks yang ada di dalam
sirkulasi. seperti misalnya pada penyakit lupus (SLE, Systemic Lupus
Erythematosus) dan rheumatoid arthritis.
Mekanisme penyakit autoimun yang menyebabkan kerusakan sel
merupakan suatu siklus yang dapat berulang. Dimulai dari pengenalan self
antigen oleh antibodi dan sel limfosit akan menyebabkan terjadinya aktivasi
antibodi dan limfosit tersebut. Hasil dari aktivasi ini adalah adanya reaksi
inflamasi pada tempat tertentu. Stimulasi perbanyakan antibodi terhadap sel
antigen terus berlanjut dan siklus akan kembalidari awal (Gambar 01)
8
Mata Kuliah Imunologi
Program Studi S1 Biologi
permukaan sel mast, akan menyebabkan produksi sitokin pro-inflamasi yang
disebut histamin oleh sel mast. Histamin ini akan menyebabkan reaksi alergi.
Mekanisme histamin menyebabkan alergi bisa berupa terjadinya kontraksi
otot polos pada paru- paru sehingga individu kesulitan bernafas.Bisa juga
dengan meningkatkan permeabilitas pembuluh darah sehingga plasma darah
bisa keluar dari pembuluh darah dan menyebabkan syok. Kejadian ini disebut
syok anafilaksis.
Respon yang dihasilkan dari hipersensitivitas tipe I ini sangat cepat,
dalam waktu 15-30 menit setelah paparan agen penyebab alergi (alergen).
Terdapat beberapa macam alergen, seperti bulu kucing, serbuk bunga, debu,
dll. Alergen untuk setiap individu bisa berbeda-beda.Contoh penyakit yang
merupakan hipersensitivitas tipe I adalah asma dan anafilaksis. Pada asma,
saluran bronkiolus akan menyempit dan mengganggu jalannya udara
bernafas. Hal ini menyebabkan individu yang terkena asma mengalami
kesulitan bernafas (Gambar 02).
9
Mata Kuliah Imunologi
Program Studi S1 Biologi
Selain asma, ada juga anafilaksis yang merupakan hipersensitivitas tipe
I. Anafilaksis adalah gejala alergi berat dan sistemik yang dapat
mengakibatkan kematian. Oleh karena itu, seseorang yang mengalami
anafilaksis harus mendapatkan pertolongan medis sesegera mungkin.
Pertolongan medis untuk anafilaksis adalah dengan pemberian epinefrin.
Beberapa gejala anafilaksis antara lain batuk, sesak pada dada, kesulitan
bernafas dan peningkatan denyut jantung, pembengkakan pada beberapa
tempat seperti muka dan lidah, muntah, diare, nadi lemah dan pucat (Gambar
03).
10
Mata Kuliah Imunologi
Program Studi S1 Biologi
Gambar 04. Mekanisme hipersensitivitas tipe II, antibodi
mengenali antigen yang terdapat pada permukaan sel
Erythroblastosis fetalis
disebabkan antibodi ibu mengenali antigen yang terdapat pada sel darah
dan anemia pada bayi. Hal ini dapat terjadi apabila seorang wanita
dengan golongan darah Rhesus (Rh) negatif (Rh-) menikah dengan laki-
laki yang memiliki golongan darah Rh+. Janin yang dikandung wanita ini
Antibodi ibu akan dapat mengenali antigen Rhesus pada sel darah
merah janin, sehingga terjadilah anemia pada janin. Umumnya bayi yang
11
Mata Kuliah Imunologi
Program Studi S1 Biologi
dan seterusnya, bayi dapat mengalami anemia, hipoalbuminemia,
Miastenia Gravis
Sasaran dari penyakit ini ialah reseptor asetilkolin pada hubungan
neuromuskuler. Reaksi antara reseptor dan Ig akan mencegah
penerimaan impuls saraf yang dalam keadaan normal dialirkan oleh
molekul asetilkolin. Hal ini menimbulkan kelemahan otot yang begitu
berat yang ditandai dengan gejala yang sulit mengunyah dan bernafas
sehingga dapat mengakibatkan kematian karena gagal nafas. Timbulnya
miastenia gravis berhubungan dengan timus. Pada umumnya penderita
menunjukkan hipertrofi timus dan bila kelenjar timus diangkat, penyakit
kadang-kadang dapat menghilang.
Molekul yang menunjukkan rekasi silang dengan reseptor
asetilkolin telah ditemukan dalam berbagai sel timus seperti timosit dan
sel epitel. Keterlibatan sel-sel dalam perannya menimbulkan penyakit
belum diketahui.
13
Mata Kuliah Imunologi
Program Studi S1 Biologi
3. Hipersensitivitas Tipe III diperantarai oleh pembentukan komplek
imun di darah. Komplek imun adalah antibodi dan antigen terlarut yang
saling berikatan. Komplek imun ini tidak dapat dapat dihilangkan oleh
sel-sel imun, dan kemudian mengendap di dasar pembuluh darah atau
di ginjal (Gambar 07). Hal ini akan menyebabkan terjadinya
peradangan di daerah tersebut. Munculnya respon hipersensitivitas tipe
III ini cukup lambat, sekitar 3-10 jam. Contoh penyakit
hipersensitivitas tipe III adalah systemic lupus erythomatosis dan
arthritis.
15
Mata Kuliah Imunologi
Program Studi S1 Biologi
Gambar 09. Perbandingan sendi pada penderita rheumatoid arthritis
dengan orangsehat (healthy joint). Terjadi peradangan pada
rheumatoid arthritis.
Pada RA dibentuk Ig yang dapat berupa IgM abnormal
(disebut Rheumatoid factor, RF) yang spesifik terhadap fraksi Fc
dari molekul IgG. Terbentuknya Ig ini dalam jumlah besar belum
diketahui dengan jelas.
Kompleks RF dan IgG ditimbun dalam sinovia sendi dan
mengaktifkan komplemen yang melepas mediator dengan sifat
kemotaktik granulosit. Respons inflamasi yang disertai peningkatan
permeabilitas vaskuler menimbulkan pembengkakan sendi dan sakit
bila eksudat bertambah banyak. Enzim hidrolitik yang dilepas
neutrofil segera memecah kolagen dan tulang rawan sendi yang
dapat menimbulkan destruksi permukaan sendi sehingga
mengganggu fungsi normal. Akibat inflamasi yang berulang-ulang,
terjadi penimbunan fibrin dan penggantian tulang rawan oleh
jaringan ikat sehingga sendi menyatu (ankilosis) yang menjadi sulit
untuk digerakkan.
16
Mata Kuliah Imunologi
Program Studi S1 Biologi
4. Hipersensitivitas tipe IV
oleh sel limfosit T, baik sel T CD4+ maupun CD8+. Sel limfosit T
mantoux.
akan menyerang selubung mielin pada sel saraf. Selubung mielin ini
ini dirusak, maka sel saraf juga akan rusak. Hal ini mengakibatkan
hilangnya fungsi dan koordinasi sel saraf dari otak. Gejalanya juga
tingkat kerusakan sel saraf. Hal ini antara lain mati rasa atau
17
Mata Kuliah Imunologi
Program Studi S1 Biologi
kelemahan anggota gerak pada sisi yang sama, penglihatan menjadi
20
Mata Kuliah Imunologi
Program Studi S1 Biologi
(NO dan NO2), volatile organic compounds, ozon, sulfur dioksida (SO2)
dapat menginduksi gejala pada pasien dengan rinitis alergi.
2.4.3 Mediator dalam Reaksi Alergi
Gejala klinis alergi ditentukan oleh berbagai macam mediator yang
berasal dari berbagai sel seperti sel mast, basofil, eosinofil dan neutrofil.
Mediator-mediator tersebut antara lain :
Histamin
Histamin merupakan amin vasoaktif yang berada di dalam granul
sitoplasma pada sel mast dan basofil, serta mempunyai reseptor di
berbagai bagian tubuh. Efek histamin pada gelaja alergi terutama di 14
pembuluh darah dan otot polos. Pelepasan histamin menyebabkan
vasodilatasi, meningkatnya permeabilitas pembuluh darah serta
kontraksi otot polos yang dapat menyebabkan menifestasi klinis pada
rinitis alergi, urtikaria, bronkhospasme pada reaksi anafilaktik akut.
Eosinophil chemotactic factor of anaphylaxis (ECF-A)
ECF-A adalah suatu tetrapeptida yang berada di dalam granul
sitoplasma sel mast. Pelepasan ECF menyebabkan migrasi eosinofil
pada reaksi alergi.
Prostaglandin (PGD2)
PGD2 adalah bioaktif yang berasal dari asam arakidonat yang
dihasilkan melalui aktivitas COX. Mediator tersebut menimbulkan
kontraksi otot polos, vasodilatasi, dan meningkatkan permeabilitas
kapiler.
Leukotrien
Leukotrien adalah mediator yang berasal dari asam arakidonat
yang dihasilkan oleh sel mast mukosa dan basofil, dan mempunyai
21
Mata Kuliah Imunologi
Program Studi S1 Biologi
reseptor spesifik di otot polos bronkhus serta menyebabkan
bronkhospasme persisten yang terjadi pada asma
Platelet-activating factor (PAF)
PAF adalah suatu fosfolipid yang dihasilkan oleh sel mast yang
dapat menyebabkan bronkokonstriksi, hipotensi, permeabilitas
pembuluh darah, serta efek kemotaksis terutama terhadap eosinofil.
Kemokin
Kemokin adalah bagian dari sitokin yang merangsang gerakan
leukosit dan mengatur migrasi leukosit dari darah ke jaringan, seperti
RANTES dan eotaxin.
Selektin dan Integrin Ligands
E-selektin dan ligan integrin (VCAM-1 dan ICAM-1) yang
disintesis oleh sel endotel dan diekspresikan ke permukaan sel endotel
berfungsi untuk adhesi leukosit yang beredar di pembuluh darah.
23
Mata Kuliah Imunologi
Program Studi S1 Biologi
sitokin-sitokin seperti IL-5, GM-CSF, dan IL-3, yang membantu
mempertahankan reaksi inflamasi dengan proses kemotaksis spesifik
untuk neutrofil dan eosinofil ke lokasi inflamasi.
Sel TH2 mengatur dan menjaga respon inflamasi dengan
mengeluarkan beberapa sitokin untuk merangsang sekresi
kemoatraktan seperti RANTES, eotaxin, membrane co-factor protein,
dan eosinophil chemotactic factor yang berfungsi untuk migrasi
eosinofil ke jaringan.
Adhesi dan migrasi eosinofil ke lokasi inflamasi juga yang
diregulasi oleh sitokin sel TH2 yaitu dengan menginduksi ekspresi
molekul adhesi yaitu intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1),
vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM-1), dan E-selectin pada
permukaan sel endotel pembuluh darah. Eosinofil mempunyai peran
paling penting dalam reaksi alergi fase ini.
Mediator inflamasi yang diproduksi oleh eosinofil seperti IL-5,
eotaxin dan produk granular eosinofil seperti MBP, ECP, EPO, dan
EDN menyebabkan hiper-reaksivitas hidung, kerusakan pada epitel
saluran napas dan berhubungan dengan reaksi alergi kronis. Infiltrasi
eosinofil dan selsel inflamasi lain ke mukosa hidung menyebabkan
destruksi dan remodeling mukosa hidung yang menyebabkan
manifestasi klinis hidung tersumbat, hiper-reaktivitas nasobronkhial,
dan mengkronis.
24
Mata Kuliah Imunologi
Program Studi S1 Biologi
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
Semoga makalah ini bisa menjadi bahan belajar bagi teman-teman semua
yang ingin mengetahui mengenai beberapa jenis penyakit yang disebabkan oleh
gangguan sistem imun, respon alergi dan autoimun.
Abbas, A.K. and Lichtman, A.H. 2007. Cellular and Molecular Immunology. 6th ed.
Baratawidjaja KG, Iris R. 2014. Imunologi Dasar edisi II. Jakarta : FKUI
Marliana, Nina dan Retno Martini widhyasih. 2018. Imunuserologi. Jakarta : Pusat
Nuzulul Hikmah, I Dewa Ayu Ratna Dewanti. 2010. Seputar Reaksi Hipersensitivitas
26
Mata Kuliah Imunologi
Program Studi S1 Biologi