“IMMUNODEFISIENSI “
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN MEDAN
2023/2024
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat dan
rahmatNya kami dapat menyelesaikan laporan tutorial ini. Laporan ini disusun berdasarkan
pemicu “Immunodefisiensi”. Dalam kesempatan ini, kami juga mengucapkan terima kasih
kepada dosen yang membimbing selama tutorial berjalan dan semua pihak yang membantu
dalam menyelesaikan laporan tutorial ini.
Kami menyadari laporan yang kami buat masih banyak kekurangan. Oleh karena itu,
kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca. Akhir kata kami mengharapkan laporan
tutorial ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Kelompok 5
DATA PELAKSANAAN TUTORIAL
1) JUDUL BLOK
Imuno-Haematologi (IH)
2) JUDUL TUTORIAL
Immunodefisiensi
MORE INFO
Anti Ds DNA (+)
I. UNFAMILIAR TERMS
- Anti Ds DNA (+) : pemeriksaan untuk mencari antibody terhadap dsDNA dalam
serum atau plasma untuk membantu diagnosis penyakit SLE dan juga monitoring.
III. BRAINSTORMING
- Mengalami RA
- Terjadi inflamasi karena adanya proses autoantibody
- Kompleks RF dan igG akan ditimbun pada synovial sendi dan mengaktifkan
komplemen yang menyebabkan inflamasi dan menyebabkan kekakuan
- Hipersensitivitas pada paparan matahari setelah terjadi inflamasi pada kulit wajah
V. HIPOTESA
SLE (Systemic Lupus eritematosus)
VI. LEARNING ISSUE
1. Defenisi imunologi, sistem imun, Hipersensitivitas dan autoimun
2. Fisiologi sistem imun
3. Klasifikasi hipersensitivitas
4. DD nyeri,kaku sendi & Ruam di wajah
5. Defenisi, etiologi, & faktor resiko SLE
6. Patofisiologi SLE
7. Penegakan diagnosis SLE
8. Tatalaksana, edukasi & Indikasi rujuk SLE
9. Komplikasi & prognosis SLE
b. System imun
Sistem imun merupakan sistem yang berfungsi untuk mencegah terjadinya
kerusakan tubuh atau timbulnya penyakit.
Di dalam system imun ini memiliki jaringan kompleks yang terdiri dari organ, sel,
dan protein, yang bertugas melindungi tubuh dari infeksi dan sel abnormal dari tubuh
itu sendiri.
Sistem imun terdiri atas dua yaitu sistem imun spesifik dan sistem imun non
spesifik. Sistem imun spesifik (Merupakan respon imun yang didapat (acquired), yang
timbul akibat dari rangsangan antigen tertentu, sebagai akibat tubuh pernah terpapar
sebelumnya.). Sedangkan sistem imun nonspesifik (Umumnya merupakan imunitas
bawaan (innate immunity), dalam artian bahwa respons terhadap zat asing dapat
terjadi walaupun tubuh sebelumnya tidak pernah terpapar oleh zat tersebut.)
c. Hipersensitivitas
Hipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas atau sensitivitas terhadap antigen
yang pernah ada atau dikenal sebelumnya.
Reaksi hipersensitivitas merupakan reaksi imun yang patologik, yang terjadi
akibatrespon imun yang berlebihan sehingga menimbulkan kerusakan jaringan tubuh.
d. Autoimun
Penyakit autoimun merupakan penyakit yang terjadi akibat sistem kekebalan
tubuh atau sistem imun menyerang sel-selnya sendiri. Penyakit autoimun berkembang
ketika sistem kekebalan tubuh salah dalam menilai sel yang ada dalam tubuh dan
malah menganggapnya sebagai zat asing.
Etiologi dibalik penyakit autoimun bersifat multifaktorial, dimana faktor genetik,
hormonal, dan lingkungan (paparan zat tertentu, seperti asbes, merkuri, perak, dan
emas, pola hidup yang berantakan serta pola makan yang kurang sehat.) semuanya
berperan.
Respon imun yang berfungsi sebagai proteksi yang berarti melindungi tubuh dari
infeksi mikroba atau yang lainnya. Namun ada juga respon imun yang mengakibatkan
kerusakan jaringan sehingga menimbulkan penyakit. Hal itulah yang disebut
hipersensitivitas.
Ikatan silang antara antigen dan IgE yang diikat oleh sel mast dan basofil melepas mediator
vasoaktif.
Contoh penyakit :
Bila tubuh terpajan ulang dengan antigen yang sama, maka antigen tersebut akan diikat oleh
IgE yang sudah ada pada permukaan sel mast/basofil
Sel mast/basofil mengalami degranulasi dan melepas mediator-mediator inflamasi antara lain
histamin yang menimbulkan gejala reaksi hipersensitivitas tipe 1.
Ab terhadap antigen permukaan sel menimbulkan destruksi sel dengan bantuan komplemen
atau ADCC.
Disebut juga reaksi sitotoksik atau sitolitik Terjadi karena dibentuk IgG dan IgM terhadap
antigen yang merupakan bagian dari sel pejamu.
Terjadi ketika sel-sel dihacurkan oleh sistem imun hingga Sering terjadi akibat kombinasi
aktivitas komplemen dan
antibodi. Antibodi tersebut mengaktifkan sel yang memiliki reseptor Fcγ-R (mis. sel NK)
Suatu kompenen dari berbagai penyakit autoimun
3. Hipersentivitas 3
Reaksi Tipe III (kompleks imun) adalah kompleks yang dimediasi IgG dan IgM.
Ikatan antibodi dengan antigen membentuk kompleks imun terlarut yang terakumulasi pada
dinding pembuluh darah sehingga menyebabkan reaksi inflamasi lokal dan kerusakan
jaringan.
Disebut juga reaksi kompleks imun. Terjadi bila kompleks antigenantibodi ditemukan dalam
sirkulasi atau dinding pembuluh darah atau jaringan dan mengaktifkan komplemen. Antibodi
yang berperan biasanya jenis IgM atau IgG. Kompleks imun akan mengaktifkan sejumlah
komponen sistem imun. Komplemen yang diaktifkan melepas anafilaktosis yang memacu sel
mast dan basofil melepas histamine
Contoh :
4. Hipersentivitas 4
Atau (hipersensitivitas yang tertunda) merupakan hipersensitivitas yang dimediasi sel T. Sel
Th 1 yang mengenali antigen lalu merekrut limfosit dan monosit lain ke daerah yang
terinfeksi dan memulai reaksi inflamasi
Pada hipersensitivitas tipe IV tidak ada antibodi yang terlibat. Jenis reaksi ini dapat dilihat
pada
Eritema multiformis adalah reaksi hipersensitivitas di kulit yang sering kali dipicu oleh
infeksi. Eritema multiformis ditandai dengan munculnya ruam kemerahan di kulin
4. DD Nyeri, Kaku Sendi & Ruam di Wajah
2. Artritis penyakit Penyebab nya Nyeri sendi dan Tes darah lengkap
reumatoid multisistemik belum di ketahui pembengkankan Pemeriksaan
(RA) kronis yang secara pasti Adanya RF ( faktor
diperantarai kekakuan sendi rheumatoid) positif
Namun ada terutama pada tinggi
kekebalan tubuh
beberapa faktor pagi hari Atau ACPA ( antibod
dan terutama
seperti Terhambatnya
terlokalisasi protein sitrullinasi an
pergerakan
pada persendian siklik ) positif tinggi
Faktor genetik Berkembang
Faktor pada usia 30-60 Dan bisa dengan MR
tahun atau ct scan
lingkungan
( merokok )
Faktor
hormonal
Definisi
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) atau penyakit lupus adalah salah satu jenis penyakit
autoimun kronis yang menimbulkan peradangan pada beberapa bagian tubuh, seperti sendi,
kulit, ginjal, hingga otak. Seperti halnya penyakit autoimun lain, lupus terjadi karena sistem
kekebalan tubuh melawan sel sehat dalam tubuh.
Etiologi
Etiologi lupus eritematosus sistemik (LES) atau systemic lupus eritematosus adalah
autoimunitas yang menyebabkan terbentuknya autoantibodi dan kompleks imun. Terdapat
beberapa faktor yang dianggap mempengaruhi risiko terjadinya lupus eritematosus sistemik,
yakni faktor genetik, infeksi virus, obat, dan paparan ultraviolet.
- Faktor Genetik
Telah ada lebih dari 100 lokus gen yang ditemukan berhubungan dengan kerentanan
seseorang mengalami lupus eritematosus sistemik. Defisiensi gen tunggal yang mengkode
komplemen C4 dapat menyebabkan kekurangan C4 dan berkurangnya eliminasi sel B self-
reactive. Mutasi pada gen yang menyebabkan kekurangan komplemen C1q akan
menimbulkan gangguan pembersihan debris selular pasca apoptosis.
Polimorfisme nukleotida tunggal juga menjadi faktor yang dapat memicu terjadinya lupus
eritematosus sistemik, seperti yang ditemukan pada gen STAT4, PTPN22, CD3, PP2Ac,
TNIP1, PRDM1, JAZF1, UHRF1BP1, dan IL10. Selain itu kelainan jumlah gen C4,
FCGR3B dan TLR7 berhubungan dengan ekspresi penyakit.
- Infeksi Virus
Infeksi virus, terutama Epstein-Barr Virus (EBV), telah dikaitkan dengan timbulnya gejala
lupus eritematosus sistemik.
Faktor Risiko
Lupus eritematosus sistemik meningkat risikonya pada:
Usia 30–70 tahun pada wanita dan 50–70 tahun pada laki-laki
Merokok
6. Patofisiologi SLE
Penjelasan :
Patofisiologi dari SLE dimulai dari faktor resiko yang ada, seperti faktor lingkungan
(paparan sinar UV dan terinfeksi virus atau bakteri), faktor genetik (HLA dan defisiensi
komplemen) dan juga hormonal (estrogen). Saat seseorang terkena paparan UV ataupun
terinfeksi bakteri, maka akan terjadi kerusakan jaringan. Kerusakan ini membuat sel otomatis
akan mengalami apoptosis. Normalnya proses apoptosis akan optimal sehingga tidak terdapat
sisa dari proses tersebut. Namun, pada seseorang yang beresiko tinggi terkena SLE, maka di
dalam diri orang tersebut sudah terdapat faktor genetik yang akan mebuat proses apoptosis
tersebut menjadi tidak optimal dan terdapat sisa dari proses tersebut. Hal ini, dipengaruhi
juga oleh karena faktor genetik seseorang yang mengalami defisiensi komplemen, sehingga
komplemen tidak dapat bekerja optimal untuk pembersihan proses apoptosis.
Setelah terdapat sisa dari proses apoptosis, hal tersebut akan dianggap sebagai benda
asing (antigen) oleh tubuh, sehingga sel tersebut akan ditangkap oleh APC (magrofag) dan
akan difagositosis, kemudian fragment nya akan dipresentasikan ke permukaan sel. Oleh
kaki MHC kelas II ke CD-4 Th akan diimplementasikan menjadi T inflamantory dan Sel B.
Kemudian sel B akan menjadi sel memori dan sel plasma, dimana nanti sel plasma akan
memproduksi antibodi. Antibodi yang terbentuk sudah langsung berikatan dengan antigen
dari sisa proses apoptotik, maka dari itu hal ini disebut dengan autoantibody. Karna sel
plasma terus membentuk antibodi, maka terjadilah penumpukan kompleks antigen-antibody
di dalam jaringan. Jaringan yang sering terjadi penumpukan yaitu pada kulit, ginjal dan sendi.
Pada saat terjadi penumpukan ini, komplemen akan datang untuk mengaktifkan proses
inflamasi. Hal tersebu akan dipresentasikan sebagai arthritis jika pada sendi, eritem pada
kulit, perikarditis pada jantung dan nefritis pada ginjal.
2. Ruam
Ruam pada lupus eritematosus sistemik dapat terjadi pada setiap bagian tubuh yang terpapar
matahari, seperti muka, lengan, dan tangan. Tanda ruam yang paling sering ditemukan adalah
ruam merah berbentuk kupu-kupu pada hidung dan pipi.
3. Nyeri Dada
Gejala nyeri dada pada lupus eritematosus sistemik umumnya berkaitan dengan inflamasi
pada dinding paru. Nyeri diperberat dengan tarikan napas dalam
4. Rambut Rontok
Rambut rontok dapat terjadi akibat withdrawal kortikosteroid, anemia defisiensi besi, demam
tinggi, stress mental, atau infeksi
6. Gangguan Ginjal
Hampir setengah pasien lupus memiliki gangguan ginjal, yang disebut sebagai nefritis lupus.
Gejala yang dapat ditemukan adalah penambahan berat badan, kaki bengkak, dan penurunan
produksi urin.
7. Ulkus Mulut
Ulkus pada mulut umumnya terjadi pada langit mulut, tetapi juga dapat terjadi di dalam gigi,
pipi dalam, dan bibir. Lesi dapat atau tidak disertai nyeri. Mulut kering juga dapat dikeluhkan
oleh pasien
9. Gangguan Memori
Beberapa pasien lupus eritematosus sistemik dilaporkan memiliki masalah memori dan sering
mengalami kebingungan.
Pemeriksaan penunjang
Penghitungan sel darah lengkap (complete blood count). Penderita lupus dapat
mengalami anemia sehingga dapat diketahui melalui pemeriksaan sel darah lengkap.
Selain terjadinya anemia, penderita lupus juga dapat mengalami kekurangan sel darah
putih atau trombosit.
Analisis urine. Urine pada penderita lupus dapat mengalami kenaikan kandungan
protein dan sel darah merah. Kondisi ini menandakan bahwa lupus menyerang ke
ginjal.
Tes komplemen C3 dan C4. Komplemen adalah senyawa dalam darah yang
membentuk sebagian sistem kekebalan tubuh. Level komplemen dalam darah akan
menurun seiring aktifnya SLE.
8. Tatalaksana, edukasi & Indikasi rujuk SLE
1. Tatalaksana SLE
Tujuan utama penatalaksanaan SLE adalah meningkatkan kualitas hidup pasien SLE.
Tujuan khusus penatalaksanaan SLE antara lain mampu menurunkan aktivitas penyakit
hingga pada level yang rendah, mencapai masa remisi yang panjang, mengurangi rasa nyeri
dan memelihara fungsi organ agar aktivitas hidup sehari-hari tetap baik sehingga kualitas
hidup yang optimal dapat tercapai.
Terapi SLE bersifat individual berdasarkan manifestasi klinis yang dialami pasien,
aktivitas penyakit dan derajat keparahan penyakit serta komorbiditas. Strategi terapi atau
disebut dengan pilar terapi SLE meliputi antara lain, 1) edukasi dan konseling, 2) program
rehabilitasi, 3) terapi medikamentosa (OAINS, antimalaria, steroid, imunosupresan /
sitotoksik, dan terapi lain). Pasien yang mendapatkan terapi perlu dilakukan monitoring
secara reguler oleh ahli rematologi untuk mengoptimalkan terapi farmakologik maupun non
farmakologik serta mencapai tujuan terapi.
Terapi farmakologi
1. Non Steroidal Anti-Inflamatory Drugs (NSAID)
Digunakan untuk mengobati gejala musculoskeletal, nyeri kepala, inflamasi,
membrana mukosa dan serositis
NSAID menghambat produksi prostaglandin dengan berikatan dengan
siklooksigenase. Limfosit T mengekspresikan isoenzim siklooksigenase – 2
dimana hal ini dapat berperan pada aktivasi sel T, produksi IL-2, TNF- α, dan
INF-2 Y.
COX-2 inhibitor dapat menurunkan produksi antibody serta menghambat
respon sel T terhadap nukleosom dan presentasi antigen oleh antigen
presenting cell.
Contoh : Celecoxib
Efek samping yang perlu dipertimbangkan dalam penggunaan SLE : penyakit
jantung coroner, toksisitas terhadap ginjal, hipertensi, reaksi alergi, serta
toksisitas terhadap hepar.
2. Antimalaria
Obat antimalaria meningkatkan pH yang menurunkan pembentukan kompleks
major histocompatibility complex (MHC), menghambat pembentukan
kompleks peptide – MHC kelas II sehingga stimulasi terhadap CD+Sell T
yang bersifat reaktif kepada autoantigen menurun, pelepasan sitokin dan
terjadinya autoimunitas juga menurun.
Obat antimalaria dapat mengenali dan mengikat bahan asing yang kemudian
berkontribusi dalam mengaktivasi sistem imun.
Obat malaria yang digunakan : Hidroksiklorokuin, klorokuin, dan kuinakrin
Dosis maksimal klorokuin: 3mg/kg/hari (4-6 minggu)
Dosis maksimal Hidroksiklorokuin : 6,5mg/kg/hari (8-12 minggu)
Efek samping : mual, anoreksia, muntah, diare dan distensi abdomen,
pigmentasi kulit, keratopati,nyeri kepala, insomnia,tinnitus.
Efek samping jarang : miopati, kardiomiopati, depresi sumsung tulang
Efek samping akan berkurang dengan penyesuaian dosis dan dapat
menghilang bila obat dihentikan,
3. Glukokortikoid
Terapi pemeliharaan harus mencapai control aktivitas penyakit dengan dosis
glukokortikoid serendah mungkin dan penghentian bila memungkinkan.
Pada tingkat molecular, glukokortikoid bekerja pada berbagai sel (netrofil,
monosit-makrofag, fibroblast,endotel) dengan efek genomic dan nongenomic
dalam menghambat sintesis dan sekresi mediator protein inflamasi.
Pada tingkat selular, glukokortikoid tidak hanya bekerja pada inisiasi inflamasi
akut dengan blockade vasodilatasi pembuluh darah kecil, migrasi leukosit
PMN dan eosinophil dalam respon kerusakan jaringan, tetapi juga
memfasilitasi pembersihan sel inflamasi dan resolusi inflamasi.
Respon terapi terhadap glukokortikoid pada hampir seluruh manifestasi
SLE dicapai dalam kurang dari 1 sampai 2 minggu, serta 2 sampai 6 minggu
pada lupus nefritis. Bila terdapat respon terapi yang baik dalam 1 sampai 2
minggu setelah inisiasi atau telah ditambahkan agen sitotoksik dalam regimen
pada penyakit refrakter, maka penurunan dosis glukokortikold (tappering off)
harus dilakukan. Tahap pertama adalah dengan pemberian regimen satu kali
per
hari pada pagi hari, dengan dosis harian dapat diturunkan sebesar 5mg (5-
10%)
setiap minggu hingga dosis mencapai 0,25-0,5mg/kg/hari. Penghentian
glukokortikoid atau penurunan hingga dosis minimal dapat dilakukan secara
lebih
perlahan.
4. Agen imunosupresan (agen sitotoksik)
Agen imunosupresan digunakan pada SLE dengan manifestasi berat untuk
meminimalisir kerusakan jaringan ireversibel serta mengurangi toksisitas
akibat penggunaan kortikosteroid. Pada beberapa dekade belakangan ini
tatalaksana SLE difokuskan pada minimalisasi penggunaan siklofosfamid,
bahkan pada SLE dengan manifestasi berat sekalipun. Penggunaan
siklofosfamid dibatasi hanya sebagai induksi remisi, diikuti dengan terapi
pemeliharaan dengan MMF atau azathioprine pada pengobatan lupus nefriitis.
Selain itu, dilakukan pemendekan periode induksi menggunakan
siklofosfamid,
alau substitusi siklofosfamid dengan MMF untuk induksi remisi pada lupus
nefritis.
a. Siklofosfamid
Walaupun toksisitasnya yang jelas, siklofosfamid masih merupakan obat
yang penting dalam talalaksana SLE. Efek Klinis dan toksik siklofosfamid
bergantung pada dosis, rute pemberian, durasi dan dosis kumulaltifnya.
Efek langsung siklofosfamid sebagai imunomodulator membuat obat ini
memiliki onset yang cepat dalam efektifitas terapi (dalam 2 sampai 4 hari).
Mekanisme kerja siklofosfamid terdiri atas perannya dalam mempengaruhi
fungsi
makrofag, meningkatkan produksi prostaglandin E2, mengganggu transkripsi
gen, dan efek langsung terhadap limfosit. Siklofosfamid yang diberikan secara
intravena menekan aktivasi sel T.
Siklofosfamid intravena bulanan dapat dimulai dengan dosis 500 —
750mg/m3 dalam normal salin selama 1 jam. Dosis dapat ditingkatkan 10 -
25%
dengan target hitung leukosit antara 2000 — 3000/m m3 .Penurunan dosis
harus
dilakukan pada saat hitung leukosit dibawah 2000/m m3 atau hitung granulosit
dibawah 1000/m m3 . Terapi induksi dapat diberikan sebanyak 6 kali.
Penggunaan
siklofosfamid intravena setiap 2 minggu dilkuti dengan pemberian azathioprin
telah terbukti efektif.
Efek samping siklofosfamid antara lain sistitis hemoragika, karsinoma buli
dan keganasan, supresi sumsumg tulang, pneumonitis interstitial akut, infeksi,
infertilitas dan teratotoksisitas. Kejadian sistilis hemoragik dan karsinoma buli
terjadi pada pemberian dosis diatas 30 gram. Hidrasi adekuat selama
pemberian
siklofosfamid dapat dilakukan untuk mencegah sistitis hemoragika.
b. Azathioprine
Azathioprie menurunkan jumlah sel T, sel B dan sel NK sehingga
menghambat imunitas selular dan humoral, menekan pembentukan
autoantibodi
dan menghambat sintesis prostaglandin. Berbeda dengan siklofosfamid,
azathioprine tidak digunakan sebagai obat tunggal pada terapi lupus nefrilis,
namun memberikan hasil yang baik bila digunakan sebagai sparing ageni
terhadap steroid maupun siklofosfamnid.
Obat ini jauh lebih murah bila dibandingkan dengan agen biologis belimumab
atau rituximab, sehingga patut dipertimbangkan dalam tatalaksana
SLE yang resisten terhadap steroid.
c. Methotrexate
Metotrexat adalah antagonis folat yang menghambat dihidrofolat
reduktase. Disintesis pada tahun 1940 dan digunakan sebagai zat sitotoksik
terhadap tumor. Bila digunakan dalam dosis pada penyakit rematik, efek
sitotoksiknya lebih sedikit dan berguna dalam imunomodulator.
Methotrexat diberikan secara oral atau subkutan dengan dosis 10 —
30mg, dengan penambahan asam folat 1 mg/hari. Methotrexat relatif aman dan
ditoleransi dengan baik dalam pengobatan SLE, terulama pada pasien SLE
dengan manifestasi kutaneus dan muskuloskeletal. Monitoring fungsi ginjal
sangat penting, kontrasepsi yang baik harus diberikan pada wanita produktif
untuk mencegah efek teratotoksisitas.
d.Mycophenolate
Uji Klinis terkontrol berkualitas baik telah menunjukan efektifitas terapi
SLE dengan MMF, sehingga MMF dapat dijadikan terapi alternatif terapi
induksi
pada lupus nefritis. Faktor genetik mempengaruhi respon terapi dengan obat
ini.
Suku afrika-amerika dan hispanik memberikan respon terapi yang baik bila
dibandingkan dengan kaukasia.
Terapi dengan MMF juga dapat menjadi terapi pemeliharan setelah
induksi menggunakan siklofosfamid dan MMF mungkin lebih baik jika
dibandingkan dengan azathioprin sebagai terapi pemeliharaan. Efek toksik
yang
kecil terhadap gonad membuat MMF lebih digemari dan menjadi lini pertama
dalam pengobatan bagi penderita SLE yang berada dalam masa pubertas atau
anak — anak.
2. Edukasi
3. Indikasi Rujukan
SKDI : 3A
a. Konfirmasi diagnosis
e. Semua kasus SLE dengan keterlibatan organ vital atau membahayakan nyawa.
PROGNOSIS
Prognosis pasien Lupus Erimatosus Sistemik sangat bervariasi bergantung pada
keterlibatan organnya. Sekitar 25 % pasien dapat mengalami remisi selama beberapa tahun,
tetapi hal ini jarang menetap. Prognosis buruk (50% mortalitas dalam 10 tahun) terutama
berkaitan dengan keterlibatan ginjal. Penyebab utama mortalitas umumnya gagal
ginjal,infeksi,serta tromboemboli.
KOMPLIKASI
SLE yang tidak terdiagnosis dengan cepat dan ditangani dengan baik dapat menimbulkan
komplikasi yang bervariasi, mulai dari komplikasi yang ringan, sedang, berat, hingga
kematian. Komplikasi yang sering terjadi antara lain :
Anemia Hemolitik adalah penyakit kurang darah akibat penghancuran sel darah
merah lebih cepat dari waktunya.
Trombosis adalah pembentukan gumpalan darah di dalam pembuluh darah sehingga
menghalangi darah mengalir dengan normal di pembuluh darah.
Lupus Serebral adalah termaksud dalam Sistemik Lupus Eritematosus yang
manifestasi kliniknyatidak hanya menyerang sistem kekebalan tubuh namun secara
khusus targetnya adalah otak,disamping keseluruh tubuh.
Lupus Nefritis adalah peradangan pada ginjal akibat pengaruh penyakit systemic
lupus erythematosus (SLE).
Infeksi Sekunder adalah adanya suatu proses infeksi baru yang muncul setelah
sebelumnya terdapat infeksi yang lain.
Komplikasi pada pasien SLE dapat terjadi karena kerusakan organ akibat penyakit tersebut
atau karena efek samping obat.
Komplikasi yang berhubungan dengan proses penyakit termasuk namun tidak terbatas
pada percepatan aterosklerosis dengan risiko penyakit arteri koroner beberapa kali lipat lebih
tinggi bahkan pada populasi muda, penyakit ginjal stadium akhir, dan defisit neurologis,
termasuk kebutaan akibat manifestasi neuropsikiatri. Penderita lupus kulit yang parah,
terutama lupus diskoid, dapat mengalami kerusakan kulit permanen dan alopecia. Kecemasan
dan depresi lebih sering terjadi pada pasien SLE. Beberapa komplikasi terkait kehamilan
telah diketahui, termasuk keguguran, preeklamsia dan eklampsia, blok jantung bawaan, dan
lupus neonatal.
Komplikasi akibat pengobatan sering terjadi dan memerlukan pemantauan
ketat. Penggunaan kortikosteroid jangka panjang pada pasien SLE sering kali menyebabkan
osteoporosis yang tidak terdiagnosis dan tidak diobati, sehingga menyebabkan patah tulang
akibat osteoporosis. Komplikasi lain dari penggunaan terapi kortikosteroid jangka panjang
termasuk nekrosis avaskular, glaukoma, katarak, penambahan berat badan, dan kontrol
diabetes melitus yang buruk. Penggunaan kortikosteroid dosis tinggi juga dapat dikaitkan
dengan infeksi oportunistik dan psikosis akut. Penggunaan hidroksiklorokuin dalam jangka
panjang jarang menyebabkan makulopati dan retinopati yang tidak dapat disembuhkan, dan
pemeriksaan oftalmologi yang ketat dianjurkan. Penggunaan siklofosfamid dikaitkan dengan
risiko sistitis interstisial dan kanker kandung kemih yang sangat tinggi bahkan setelah
penghentian obat.
VIII. Kesimpulan
Pasien mengalami SLE (Systemic Lupus eritematosus)
Daftar Pustaka