Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN TUTORIAL KELOMPOK 5

“IMMUNODEFISIENSI “

KETUA : Joewella (21000048)


SEKRETARIS : Chelsa Lilis G R Situmorang (21000056)

ANGGOTA : Elwan Triani Harefa (21000001)

Celvin Andryanto Simatupang (21000023)

Santa M. Lumbangaol (21000039)

Ranny P. Simanjuntak (21000050)

Tania C. Pasaribu (21000060)

Michael J. Sitepu (21000062)

Putri Sari Estetika (21000067)

Mhd Al Hafiz Siddiq Nasution (21000084

Dosen Tutorial : : Dr. Renatha Nita Hadameon N, Sp.PK

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN MEDAN
2023/2024
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat dan
rahmatNya kami dapat menyelesaikan laporan tutorial ini. Laporan ini disusun berdasarkan
pemicu “Immunodefisiensi”. Dalam kesempatan ini, kami juga mengucapkan terima kasih
kepada dosen yang membimbing selama tutorial berjalan dan semua pihak yang membantu
dalam menyelesaikan laporan tutorial ini.
Kami menyadari laporan yang kami buat masih banyak kekurangan. Oleh karena itu,
kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca. Akhir kata kami mengharapkan laporan
tutorial ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Medan, 8 Oktober 2023


Hormat kami,

Kelompok 5
DATA PELAKSANAAN TUTORIAL
1) JUDUL BLOK
Imuno-Haematologi (IH)

2) JUDUL TUTORIAL
Immunodefisiensi

3) DOSEN TUTOR : Dr. Renatha Nita Hadameon N, Sp.PK

4) DATA PELAKSANAAN TUTORIAL


 TUTORIAL I
HARI/TANGGAL : Senin 02 Oktober 2023
WAKTU : 13.00 - 15.00 WIB
TEMPAT : Ruang Tutorial V
 TUTORIAL II
HARI/TANGGAL : Sabtu, 06 Oktober 2023
WAKTU : 10.00 – 11.50 WIB
TEMPAT : Ruang Tutorial V
PEMICU
seorang wanita, 23 tahun datang keluhan nyeri dan kaku pada sendi jari-jari telapak tangan
lebih dari > 30 menit disertai ruam pada wajah yang diperberat dengan terpapar sinar
matahari.

MORE INFO
Anti Ds DNA (+)

I. UNFAMILIAR TERMS
- Anti Ds DNA (+) : pemeriksaan untuk mencari antibody terhadap dsDNA dalam
serum atau plasma untuk membantu diagnosis penyakit SLE dan juga monitoring.

II. PROBLEM DEFINITION


- Nyeri dan kaku pada sendi jari-jari telapak tangan lebih dari > 30 menit
- Ruam pada wajah yang diperberat dengan paparan sinar matahari

III. BRAINSTORMING
- Mengalami RA
- Terjadi inflamasi karena adanya proses autoantibody
- Kompleks RF dan igG akan ditimbun pada synovial sendi dan mengaktifkan
komplemen yang menyebabkan inflamasi dan menyebabkan kekakuan
- Hipersensitivitas pada paparan matahari setelah terjadi inflamasi pada kulit wajah

IV. ANALYZING PROBLEM


Pasien mengalami autoimun hipersensitivitas tipe 3 sehingga terjadi penumpukan
kompleks imun didalam jaringan dan jaringan yang paling sering terlibat yaitu ginjal,
persendian, kulit dan pembuluh darah. Penumpukan ini akan mengaktifkan komplemen
sehingga terjadi reaksi inflamasi seperti pada pemicu ini kekakuan pada sendi dan ruam
pada wajah.

V. HIPOTESA
SLE (Systemic Lupus eritematosus)
VI. LEARNING ISSUE
1. Defenisi imunologi, sistem imun, Hipersensitivitas dan autoimun
2. Fisiologi sistem imun
3. Klasifikasi hipersensitivitas
4. DD nyeri,kaku sendi & Ruam di wajah
5. Defenisi, etiologi, & faktor resiko SLE
6. Patofisiologi SLE
7. Penegakan diagnosis SLE
8. Tatalaksana, edukasi & Indikasi rujuk SLE
9. Komplikasi & prognosis SLE

VII. PEMBAHASAN LEARNING ISSUE


1. Defenisi imunologi, sistem imun, Hipersensitivitas dan autoimun
a. Imunologi
Imunologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang imunitas atau kekebalan
akibat adanya rangsangan molekul asing dari luar maupun dari dalam tubuh manusia.
Manusia memiliki sistem pelacakan dan penjagaan terhadap benda asing yang
dikenal dengan sistem imun, dimana akan melindungi tubuh terhadap penyebab
penyakit, patogen seperti virus, bakteri, parasit, dan jamur.
Imunologi merupakan percabangan ilmu kedokteran biologi yang mempelajari
tentang system imun atau system kekebalan tubuh. Dan awalnya imunologi
merupakan cabang dari mikrobiologi, yaitu kira-kira abad ke XV pada saat
berkembangnya penelitian penyakit infeksi dan bagaimana tubuh memberikan respon.

b. System imun
Sistem imun merupakan sistem yang berfungsi untuk mencegah terjadinya
kerusakan tubuh atau timbulnya penyakit.
Di dalam system imun ini memiliki jaringan kompleks yang terdiri dari organ, sel,
dan protein, yang bertugas melindungi tubuh dari infeksi dan sel abnormal dari tubuh
itu sendiri.
Sistem imun terdiri atas dua yaitu sistem imun spesifik dan sistem imun non
spesifik. Sistem imun spesifik (Merupakan respon imun yang didapat (acquired), yang
timbul akibat dari rangsangan antigen tertentu, sebagai akibat tubuh pernah terpapar
sebelumnya.). Sedangkan sistem imun nonspesifik (Umumnya merupakan imunitas
bawaan (innate immunity), dalam artian bahwa respons terhadap zat asing dapat
terjadi walaupun tubuh sebelumnya tidak pernah terpapar oleh zat tersebut.)

c. Hipersensitivitas
Hipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas atau sensitivitas terhadap antigen
yang pernah ada atau dikenal sebelumnya.
Reaksi hipersensitivitas merupakan reaksi imun yang patologik, yang terjadi
akibatrespon imun yang berlebihan sehingga menimbulkan kerusakan jaringan tubuh.

d. Autoimun
Penyakit autoimun merupakan penyakit yang terjadi akibat sistem kekebalan
tubuh atau sistem imun menyerang sel-selnya sendiri. Penyakit autoimun berkembang
ketika sistem kekebalan tubuh salah dalam menilai sel yang ada dalam tubuh dan
malah menganggapnya sebagai zat asing.
Etiologi dibalik penyakit autoimun bersifat multifaktorial, dimana faktor genetik,
hormonal, dan lingkungan (paparan zat tertentu, seperti asbes, merkuri, perak, dan
emas, pola hidup yang berantakan serta pola makan yang kurang sehat.) semuanya
berperan.

2. Fisiologi Sistem Imun


3. Klasifikasi Hipersensitivitas

Respon imun yang berfungsi sebagai proteksi yang berarti melindungi tubuh dari
infeksi mikroba atau yang lainnya. Namun ada juga respon imun yang mengakibatkan
kerusakan jaringan sehingga menimbulkan penyakit. Hal itulah yang disebut
hipersensitivitas.

1 . Reaksi Hipersensitivitas type I ( immediate hipersensitivity) / Reaksi IgE

Ikatan silang antara antigen dan IgE yang diikat oleh sel mast dan basofil melepas mediator
vasoaktif.

Contoh penyakit :

Anafilaksis sistemik dan lokal seperti rinitis,asma,urtikaria,alergi makanan dan ekzim.

Mekanisme reaksi hipersensitivitas type I


Disebut juga reaksi cepat atau reaksi anafilaksis atau reaksi alergi , Timbul segera sesudah
tubuh terpajan dengan antigen (reaksi lokal atau sistemik)

Reaksi terjadi pelepasan molekul-molekul inflamatorik sebagai respons terhadap antigen.


Antigen yang merangsangnya dinamakan alergen.

Antigen merangsang sel B untuk membentuk IgE dengan bantuan sel Th

IgE diikat oleh sel mast/basofil melalui reseptor Fcε.

Bila tubuh terpajan ulang dengan antigen yang sama, maka antigen tersebut akan diikat oleh
IgE yang sudah ada pada permukaan sel mast/basofil

Sel mast/basofil mengalami degranulasi dan melepas mediator-mediator inflamasi antara lain
histamin yang menimbulkan gejala reaksi hipersensitivitas tipe 1.

2. Reaksi Hipersensitivitas type II (sitotoksik IgG dan IgM)

Ab terhadap antigen permukaan sel menimbulkan destruksi sel dengan bantuan komplemen
atau ADCC.

Contoh penyakit : reaksi transfusi, eritoblastosis fetalis,anemia hemolitik autoimun.

Mekanisme reaksi hipersensitivitas type II

Disebut juga reaksi sitotoksik atau sitolitik Terjadi karena dibentuk IgG dan IgM terhadap
antigen yang merupakan bagian dari sel pejamu.

Terjadi ketika sel-sel dihacurkan oleh sistem imun hingga Sering terjadi akibat kombinasi
aktivitas komplemen dan
antibodi. Antibodi tersebut mengaktifkan sel yang memiliki reseptor Fcγ-R (mis. sel NK)
Suatu kompenen dari berbagai penyakit autoimun

3. Hipersentivitas 3

Reaksi Tipe III (kompleks imun) adalah kompleks yang dimediasi IgG dan IgM.

Ikatan antibodi dengan antigen membentuk kompleks imun terlarut yang terakumulasi pada
dinding pembuluh darah sehingga menyebabkan reaksi inflamasi lokal dan kerusakan
jaringan.

Contoh dari reaksi ini adalah pada systemic lupus erythematosus

Disebut juga reaksi kompleks imun. Terjadi bila kompleks antigenantibodi ditemukan dalam
sirkulasi atau dinding pembuluh darah atau jaringan dan mengaktifkan komplemen. Antibodi
yang berperan biasanya jenis IgM atau IgG. Kompleks imun akan mengaktifkan sejumlah
komponen sistem imun. Komplemen yang diaktifkan melepas anafilaktosis yang memacu sel
mast dan basofil melepas histamine

Contoh :

a. systemic lupus erythematosus


b. rtritis reumatoid,
c. infeksi malaria, virus, dan lepra.

4. Hipersentivitas 4

Atau (hipersensitivitas yang tertunda) merupakan hipersensitivitas yang dimediasi sel T. Sel
Th 1 yang mengenali antigen lalu merekrut limfosit dan monosit lain ke daerah yang
terinfeksi dan memulai reaksi inflamasi

Pada hipersensitivitas tipe IV tidak ada antibodi yang terlibat. Jenis reaksi ini dapat dilihat
pada

dermatitis karena kontak fisik, sindrom StevenJohnson, dan erythema multiforme.

Eritema multiformis adalah reaksi hipersensitivitas di kulit yang sering kali dipicu oleh
infeksi. Eritema multiformis ditandai dengan munculnya ruam kemerahan di kulin
4. DD Nyeri, Kaku Sendi & Ruam di Wajah

no Penyakit Definisi Etiologi Tanda dan gejala Penegakan diagnosis

1 Artritis radang sendi Belum di ketahui  Sakroilitis Radiografi ,ultrasonogr


psoriatis inflamasi kronis pasti apa penyebab (nyeri magnetic resonan
yang nya namun punggung imaging (MR
berhubungan penyakit ini bawah) computerized tomograp
 Biasanya terjadi
dengan psoriasis melibatkan (CT), dan skintigr
di usia 30-50
(PsO) interaksi kompleks tahun dan tulang adalah tek
antara faktor merata pada pencitraan un
genetik dan pria dan wanita diagnosis PsA
lingkungan yang  Pada sebagian
mengakibatkan besar pasien
peradangan yang timbul penyakit
kulit sperti
dimediasi
psoriasis
kekebalan yang
 Mudah
melibatkan kulit kelelahan
dan sendi  Penyakit kuku
ada nya
perubahan
bentuk dan
Faktor lingkungan,
warna
termasuk infeksi  Penyakit mata
(seperti berupa uveitis
streptokokus,
human
immunodeficiency
virus), penggunaan
narkoba, dan
trauma sendi
(terutama pada
anak-anak)

2. Artritis penyakit Penyebab nya  Nyeri sendi dan  Tes darah lengkap
reumatoid multisistemik belum di ketahui pembengkankan Pemeriksaan
(RA) kronis yang secara pasti  Adanya RF ( faktor
diperantarai kekakuan sendi rheumatoid) positif
Namun ada terutama pada tinggi
kekebalan tubuh
beberapa faktor pagi hari Atau ACPA ( antibod
dan terutama
seperti  Terhambatnya
terlokalisasi protein sitrullinasi an
pergerakan
pada persendian siklik ) positif tinggi
 Faktor genetik  Berkembang
 Faktor pada usia 30-60  Dan bisa dengan MR
tahun atau ct scan
lingkungan
( merokok )
 Faktor
hormonal

3. Lupus penyakit yang Penyebab nya  Kelelahan  Diagnosis SLE idak


Eritematosu terjadi ketika belum di ketahui  Demam ada satu pun gambar
s Sistemik sistem kekebalan secara pasti tapi  Penurunan berat klinis atau kelainan
(SLE) tubuh ada beberapa faktor badan laboratorium yang
 Adanya ruam dapat memastikan
menyerang seperti
malar / ruam diagnosis
jaringan dan SLE. Sebaliknya, SL
 Faktor genetik kupu kupu
organ tubuh  suatu ruam didiagnosis
 Faktor
sendiri (penyakit pruritus berdasarkan kumpula
hormonal
autoimun) eritematosa tanda, gejala, dan
( lebih banyak
yang menonjol pemeriksaan
pada
pada pipi dan laboratorium yang
perempuan )
batang hidung sesuai. Salah satunya
 Faktor anti bodi –anti ssdna
lingkungan
4. Vaskulitis sekelompok Penyebab  Berbentuk Bisa mendiagnosis
kondisi langka, vaskulitis belum di papul purpura berdasarkan gejala
juga disebut ketahui secara pasti multiple
angiitis, yang  Lesi dapat 1. biopsi mengambil
Ada beberapa berupa plak, sempel kecil dari jaring
merusak
faktor seperti urtika, pustul, yang terinveksi
pembuluh darah vesikel, bula,
dengan  Usia ( bisa dan ulkus 2. tes darah ( untuk
menyebabkan terjadi pada  Rasa terbakar / mendeteksi kadar sel
peradangan, atau anak anak / gatal darah dan anti bosi)
pembengkakan orang dewasa )  Nyeri
 Faktor genetik  Hilang nafsu 3. radiografi, seperti
 Faktor gaya makan rontgen dada atau
hidup  Penurunan berar tomografi komputer
( merokok / badan resolusi tinggi (HR-CT)
menggunkakan
narkoba ) diindikasikan pada pasi
 Adanya
ganngguan
sistem imun
pad tubuh
5. scleroderma kelainan jaringan Penyebab  Morphea adalah  Tes darah lengkap
ikat autoimun skleroderma belum bentuk klinis
yang paling  Elektrokardiogram
kronis yang diketahui
ditandai dengan sepenuhnya. Ada umum  Hitung darah lengka
 Skleroderma
penebalan dan beberapa bukti
linier  Fungsi ginjal dan ha
pengerasan kulit bahwa faktor bermanifestasi
dan jaringan genetik dan sebagai pita  Urinalisis
lainnya. lingkungan kulit yang  Dosis NT-pro-BNP
berperan dalam menebal dan
asal usul mengeras
skleroderma. Silika
dan pelarut organik
tertentu diketahui
sebagai faktor
risiko terjadinya
skleroderma
sistemik.
Dampaknya adalah
aktivasi sistem
kekebalan tubuh
sehingga
menyebabkan
kerusakan
pembuluh darah
dan cedera pada
jaringan yang
mengakibatkan
terbentuknya
jaringan parut dan
penumpukan
kolagen berlebih.

5. Defenisi, etiologi, & faktor resiko SLE

Definisi
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) atau penyakit lupus adalah salah satu jenis penyakit
autoimun kronis yang menimbulkan peradangan pada beberapa bagian tubuh, seperti sendi,
kulit, ginjal, hingga otak. Seperti halnya penyakit autoimun lain, lupus terjadi karena sistem
kekebalan tubuh melawan sel sehat dalam tubuh.

Etiologi
Etiologi lupus eritematosus sistemik (LES) atau systemic lupus eritematosus adalah
autoimunitas yang menyebabkan terbentuknya autoantibodi dan kompleks imun. Terdapat
beberapa faktor yang dianggap mempengaruhi risiko terjadinya lupus eritematosus sistemik,
yakni faktor genetik, infeksi virus, obat, dan paparan ultraviolet.

- Faktor Genetik

Telah ada lebih dari 100 lokus gen yang ditemukan berhubungan dengan kerentanan
seseorang mengalami lupus eritematosus sistemik. Defisiensi gen tunggal yang mengkode
komplemen C4 dapat menyebabkan kekurangan C4 dan berkurangnya eliminasi sel B self-
reactive. Mutasi pada gen yang menyebabkan kekurangan komplemen C1q akan
menimbulkan gangguan pembersihan debris selular pasca apoptosis.

Polimorfisme nukleotida tunggal juga menjadi faktor yang dapat memicu terjadinya lupus
eritematosus sistemik, seperti yang ditemukan pada gen STAT4, PTPN22, CD3, PP2Ac,
TNIP1, PRDM1, JAZF1, UHRF1BP1, dan IL10. Selain itu kelainan jumlah gen C4,
FCGR3B dan TLR7 berhubungan dengan ekspresi penyakit.

- Infeksi Virus
Infeksi virus, terutama Epstein-Barr Virus (EBV), telah dikaitkan dengan timbulnya gejala
lupus eritematosus sistemik.

- Paparan Sinar Ultraviolet


Paparan sinar ultraviolet (UV) diduga dapat menimbulkan lupus eritematosus sistemik
dengan memicu terjadinya kerusakan DNA sehingga mengubah ekspresi gen.
Obat-Obatan
Obat yang telah dikaitkan dengan lupus eritematosus sistemik adalah obat-obat yang dapat
menyebabkan metilasi DNA, seperti hidralazin.

- Merokok dan Menghirup Silika


Merokok dan menghirup silika dapat menyebabkan modifikasi protein atau memicu proses
inflamasi nonspesifik yang mencetuskan autoimunitas pada lupus eritematosus sistemik.

Faktor Risiko
Lupus eritematosus sistemik meningkat risikonya pada:

 Jenis kelamin wanita

 Usia 30–70 tahun pada wanita dan 50–70 tahun pada laki-laki

 Penggunaan obat procainamide, minosiklin, terbinafine,


sulfasalazin, isoniazid, phenytoin, dan carbamazepine
 Riwayat lupus pada keluarga

 Merokok

6. Patofisiologi SLE
Penjelasan :

Patofisiologi dari SLE dimulai dari faktor resiko yang ada, seperti faktor lingkungan
(paparan sinar UV dan terinfeksi virus atau bakteri), faktor genetik (HLA dan defisiensi
komplemen) dan juga hormonal (estrogen). Saat seseorang terkena paparan UV ataupun
terinfeksi bakteri, maka akan terjadi kerusakan jaringan. Kerusakan ini membuat sel otomatis
akan mengalami apoptosis. Normalnya proses apoptosis akan optimal sehingga tidak terdapat
sisa dari proses tersebut. Namun, pada seseorang yang beresiko tinggi terkena SLE, maka di
dalam diri orang tersebut sudah terdapat faktor genetik yang akan mebuat proses apoptosis
tersebut menjadi tidak optimal dan terdapat sisa dari proses tersebut. Hal ini, dipengaruhi
juga oleh karena faktor genetik seseorang yang mengalami defisiensi komplemen, sehingga
komplemen tidak dapat bekerja optimal untuk pembersihan proses apoptosis.

Setelah terdapat sisa dari proses apoptosis, hal tersebut akan dianggap sebagai benda
asing (antigen) oleh tubuh, sehingga sel tersebut akan ditangkap oleh APC (magrofag) dan
akan difagositosis, kemudian fragment nya akan dipresentasikan ke permukaan sel. Oleh
kaki MHC kelas II ke CD-4 Th akan diimplementasikan menjadi T inflamantory dan Sel B.
Kemudian sel B akan menjadi sel memori dan sel plasma, dimana nanti sel plasma akan
memproduksi antibodi. Antibodi yang terbentuk sudah langsung berikatan dengan antigen
dari sisa proses apoptotik, maka dari itu hal ini disebut dengan autoantibody. Karna sel
plasma terus membentuk antibodi, maka terjadilah penumpukan kompleks antigen-antibody
di dalam jaringan. Jaringan yang sering terjadi penumpukan yaitu pada kulit, ginjal dan sendi.
Pada saat terjadi penumpukan ini, komplemen akan datang untuk mengaktifkan proses
inflamasi. Hal tersebu akan dipresentasikan sebagai arthritis jika pada sendi, eritem pada
kulit, perikarditis pada jantung dan nefritis pada ginjal.

7. Penegakan diagnosis SLE


Lupus eritematosus sistemik umumnya memiliki gejala yang beragam pada tiap pasien
dikarenakan keterlibatan hampir seluruh organ dalam perjalanan penyakitnya. Gejala juga
biasanya datang dan pergi, dan tidak selalu menetap pada penderita. Seiring waktu, gejala
baru dapat muncul, dan gejala lainnya dapat berkurang. LES merupakan penyakit yang dapat
terjadi flare maupun remisi.

1. Nyeri Otot Dan Sendi


Pasien lupus eritematosus sistemik dapat mengalami nyeri dan kaku yang dapat atau tidak
disertai bengkak. Gejala ini merupakan gejala yang hampir terjadi pada seluruh pasien lupus
eritematosus sistemik. Lokasi bagian tubuh yang paling sering dikeluhkan adalah leher, paha,
bahu, dan tungkai atas

2. Ruam
Ruam pada lupus eritematosus sistemik dapat terjadi pada setiap bagian tubuh yang terpapar
matahari, seperti muka, lengan, dan tangan. Tanda ruam yang paling sering ditemukan adalah
ruam merah berbentuk kupu-kupu pada hidung dan pipi.

3. Nyeri Dada
Gejala nyeri dada pada lupus eritematosus sistemik umumnya berkaitan dengan inflamasi
pada dinding paru. Nyeri diperberat dengan tarikan napas dalam

4. Rambut Rontok
Rambut rontok dapat terjadi akibat withdrawal kortikosteroid, anemia defisiensi besi, demam
tinggi, stress mental, atau infeksi

5. Sensitivitas Terhadap Matahari atau Sinar


Kebanyakan pasien lupus eritematosus sistemik umumnya sensitif terhadap sinar, yang
disebut sebagai fotosensitivitas. Paparan terhadap sinar dapat menyebabkan ruam, demam,
lemas, atau nyeri sendi pada beberapa pasien lupus eritematosus sistemik

6. Gangguan Ginjal
Hampir setengah pasien lupus memiliki gangguan ginjal, yang disebut sebagai nefritis lupus.
Gejala yang dapat ditemukan adalah penambahan berat badan, kaki bengkak, dan penurunan
produksi urin.

7. Ulkus Mulut
Ulkus pada mulut umumnya terjadi pada langit mulut, tetapi juga dapat terjadi di dalam gigi,
pipi dalam, dan bibir. Lesi dapat atau tidak disertai nyeri. Mulut kering juga dapat dikeluhkan
oleh pasien

8. Lemas Berkepanjangan Atau Berat


Keluhan lemas pada lupus eritematosus sistemik tidak boleh dianggap tidak penting karena
gejala ini dapat menjadi tanda bahaya dari flare lupus. Pasien dapat merasakan lemas atau
kelelahan walaupun sudah tidur cukup. Lemas juga dapat menunjukkan adanya anemia

9. Gangguan Memori
Beberapa pasien lupus eritematosus sistemik dilaporkan memiliki masalah memori dan sering
mengalami kebingungan.

10. Pembekuan Darah


Pasien lupus eritematosus sistemik memiliki risiko pembekuan darah yang tinggi. Hal ini
dapat menyebabkan pembekuan darah pada kaki, paru-paru, stroke, serangan jantung, atau
keguguran berulang.

11. Penyakit Mata


Pasien lupus eritematosus sistemik dapat memiliki gejala pada mata, berupa mata kering,
inflamasi mata, dan ruam pada kelopak mata.

Pemeriksaan penunjang

 Penghitungan sel darah lengkap (complete blood count). Penderita lupus dapat
mengalami anemia sehingga dapat diketahui melalui pemeriksaan sel darah lengkap.
Selain terjadinya anemia, penderita lupus juga dapat mengalami kekurangan sel darah
putih atau trombosit.

 Analisis urine. Urine pada penderita lupus dapat mengalami kenaikan kandungan
protein dan sel darah merah. Kondisi ini menandakan bahwa lupus menyerang ke
ginjal.

 Pemeriksaan ANA (antinuclear antibody). Pemeriksaan ini digunakan untuk


memeriksa keberadaan sel antibodi tertentu dalam darah dimana kebanyakan
pengidap SLE memilikinya. Sekitar 98% penderita lupus memiliki hasil positif jika
dilakukan tes ANA sehingga ini merupakan metode yang paling sensitif dalam
memastikan diagnosis.

 Pemeriksaan imunologi. Di antaranya adalah anti-dsDNA antibody, anti-Sm antibody,


antiphospholipid antibody, syphilis, lupus anticoagulant, dan Coombs’ test.
Pemeriksaan imunologi tersebut merupakan salah satu kriteria dalam penentuan
diagnosis SLE.

 Tes komplemen C3 dan C4. Komplemen adalah senyawa dalam darah yang
membentuk sebagian sistem kekebalan tubuh. Level komplemen dalam darah akan
menurun seiring aktifnya SLE.
8. Tatalaksana, edukasi & Indikasi rujuk SLE

1. Tatalaksana SLE

Tujuan utama penatalaksanaan SLE adalah meningkatkan kualitas hidup pasien SLE.
Tujuan khusus penatalaksanaan SLE antara lain mampu menurunkan aktivitas penyakit
hingga pada level yang rendah, mencapai masa remisi yang panjang, mengurangi rasa nyeri
dan memelihara fungsi organ agar aktivitas hidup sehari-hari tetap baik sehingga kualitas
hidup yang optimal dapat tercapai.

Terapi SLE bersifat individual berdasarkan manifestasi klinis yang dialami pasien,
aktivitas penyakit dan derajat keparahan penyakit serta komorbiditas. Strategi terapi atau
disebut dengan pilar terapi SLE meliputi antara lain, 1) edukasi dan konseling, 2) program
rehabilitasi, 3) terapi medikamentosa (OAINS, antimalaria, steroid, imunosupresan /
sitotoksik, dan terapi lain). Pasien yang mendapatkan terapi perlu dilakukan monitoring
secara reguler oleh ahli rematologi untuk mengoptimalkan terapi farmakologik maupun non
farmakologik serta mencapai tujuan terapi.

 Terapi farmakologi
1. Non Steroidal Anti-Inflamatory Drugs (NSAID)
Digunakan untuk mengobati gejala musculoskeletal, nyeri kepala, inflamasi,
membrana mukosa dan serositis
NSAID menghambat produksi prostaglandin dengan berikatan dengan
siklooksigenase. Limfosit T mengekspresikan isoenzim siklooksigenase – 2
dimana hal ini dapat berperan pada aktivasi sel T, produksi IL-2, TNF- α, dan
INF-2 Y.
COX-2 inhibitor dapat menurunkan produksi antibody serta menghambat
respon sel T terhadap nukleosom dan presentasi antigen oleh antigen
presenting cell.
Contoh : Celecoxib
Efek samping yang perlu dipertimbangkan dalam penggunaan SLE : penyakit
jantung coroner, toksisitas terhadap ginjal, hipertensi, reaksi alergi, serta
toksisitas terhadap hepar.
2. Antimalaria
Obat antimalaria meningkatkan pH yang menurunkan pembentukan kompleks
major histocompatibility complex (MHC), menghambat pembentukan
kompleks peptide – MHC kelas II sehingga stimulasi terhadap CD+Sell T
yang bersifat reaktif kepada autoantigen menurun, pelepasan sitokin dan
terjadinya autoimunitas juga menurun.
Obat antimalaria dapat mengenali dan mengikat bahan asing yang kemudian
berkontribusi dalam mengaktivasi sistem imun.
Obat malaria yang digunakan : Hidroksiklorokuin, klorokuin, dan kuinakrin
Dosis maksimal klorokuin: 3mg/kg/hari (4-6 minggu)
Dosis maksimal Hidroksiklorokuin : 6,5mg/kg/hari (8-12 minggu)
Efek samping : mual, anoreksia, muntah, diare dan distensi abdomen,
pigmentasi kulit, keratopati,nyeri kepala, insomnia,tinnitus.
Efek samping jarang : miopati, kardiomiopati, depresi sumsung tulang
Efek samping akan berkurang dengan penyesuaian dosis dan dapat
menghilang bila obat dihentikan,
3. Glukokortikoid
Terapi pemeliharaan harus mencapai control aktivitas penyakit dengan dosis
glukokortikoid serendah mungkin dan penghentian bila memungkinkan.
Pada tingkat molecular, glukokortikoid bekerja pada berbagai sel (netrofil,
monosit-makrofag, fibroblast,endotel) dengan efek genomic dan nongenomic
dalam menghambat sintesis dan sekresi mediator protein inflamasi.
Pada tingkat selular, glukokortikoid tidak hanya bekerja pada inisiasi inflamasi
akut dengan blockade vasodilatasi pembuluh darah kecil, migrasi leukosit
PMN dan eosinophil dalam respon kerusakan jaringan, tetapi juga
memfasilitasi pembersihan sel inflamasi dan resolusi inflamasi.
Respon terapi terhadap glukokortikoid pada hampir seluruh manifestasi
SLE dicapai dalam kurang dari 1 sampai 2 minggu, serta 2 sampai 6 minggu
pada lupus nefritis. Bila terdapat respon terapi yang baik dalam 1 sampai 2
minggu setelah inisiasi atau telah ditambahkan agen sitotoksik dalam regimen
pada penyakit refrakter, maka penurunan dosis glukokortikold (tappering off)
harus dilakukan. Tahap pertama adalah dengan pemberian regimen satu kali
per
hari pada pagi hari, dengan dosis harian dapat diturunkan sebesar 5mg (5-
10%)
setiap minggu hingga dosis mencapai 0,25-0,5mg/kg/hari. Penghentian
glukokortikoid atau penurunan hingga dosis minimal dapat dilakukan secara
lebih
perlahan.
4. Agen imunosupresan (agen sitotoksik)
Agen imunosupresan digunakan pada SLE dengan manifestasi berat untuk
meminimalisir kerusakan jaringan ireversibel serta mengurangi toksisitas
akibat penggunaan kortikosteroid. Pada beberapa dekade belakangan ini
tatalaksana SLE difokuskan pada minimalisasi penggunaan siklofosfamid,
bahkan pada SLE dengan manifestasi berat sekalipun. Penggunaan
siklofosfamid dibatasi hanya sebagai induksi remisi, diikuti dengan terapi
pemeliharaan dengan MMF atau azathioprine pada pengobatan lupus nefriitis.
Selain itu, dilakukan pemendekan periode induksi menggunakan
siklofosfamid,
alau substitusi siklofosfamid dengan MMF untuk induksi remisi pada lupus
nefritis.
a. Siklofosfamid
Walaupun toksisitasnya yang jelas, siklofosfamid masih merupakan obat
yang penting dalam talalaksana SLE. Efek Klinis dan toksik siklofosfamid
bergantung pada dosis, rute pemberian, durasi dan dosis kumulaltifnya.
Efek langsung siklofosfamid sebagai imunomodulator membuat obat ini
memiliki onset yang cepat dalam efektifitas terapi (dalam 2 sampai 4 hari).
Mekanisme kerja siklofosfamid terdiri atas perannya dalam mempengaruhi
fungsi
makrofag, meningkatkan produksi prostaglandin E2, mengganggu transkripsi
gen, dan efek langsung terhadap limfosit. Siklofosfamid yang diberikan secara
intravena menekan aktivasi sel T.
Siklofosfamid intravena bulanan dapat dimulai dengan dosis 500 —
750mg/m3 dalam normal salin selama 1 jam. Dosis dapat ditingkatkan 10 -
25%
dengan target hitung leukosit antara 2000 — 3000/m m3 .Penurunan dosis
harus
dilakukan pada saat hitung leukosit dibawah 2000/m m3 atau hitung granulosit
dibawah 1000/m m3 . Terapi induksi dapat diberikan sebanyak 6 kali.
Penggunaan
siklofosfamid intravena setiap 2 minggu dilkuti dengan pemberian azathioprin
telah terbukti efektif.
Efek samping siklofosfamid antara lain sistitis hemoragika, karsinoma buli
dan keganasan, supresi sumsumg tulang, pneumonitis interstitial akut, infeksi,
infertilitas dan teratotoksisitas. Kejadian sistilis hemoragik dan karsinoma buli
terjadi pada pemberian dosis diatas 30 gram. Hidrasi adekuat selama
pemberian
siklofosfamid dapat dilakukan untuk mencegah sistitis hemoragika.
b. Azathioprine
Azathioprie menurunkan jumlah sel T, sel B dan sel NK sehingga
menghambat imunitas selular dan humoral, menekan pembentukan
autoantibodi
dan menghambat sintesis prostaglandin. Berbeda dengan siklofosfamid,
azathioprine tidak digunakan sebagai obat tunggal pada terapi lupus nefrilis,
namun memberikan hasil yang baik bila digunakan sebagai sparing ageni
terhadap steroid maupun siklofosfamnid.
Obat ini jauh lebih murah bila dibandingkan dengan agen biologis belimumab
atau rituximab, sehingga patut dipertimbangkan dalam tatalaksana
SLE yang resisten terhadap steroid.
c. Methotrexate
Metotrexat adalah antagonis folat yang menghambat dihidrofolat
reduktase. Disintesis pada tahun 1940 dan digunakan sebagai zat sitotoksik
terhadap tumor. Bila digunakan dalam dosis pada penyakit rematik, efek
sitotoksiknya lebih sedikit dan berguna dalam imunomodulator.
Methotrexat diberikan secara oral atau subkutan dengan dosis 10 —
30mg, dengan penambahan asam folat 1 mg/hari. Methotrexat relatif aman dan
ditoleransi dengan baik dalam pengobatan SLE, terulama pada pasien SLE
dengan manifestasi kutaneus dan muskuloskeletal. Monitoring fungsi ginjal
sangat penting, kontrasepsi yang baik harus diberikan pada wanita produktif
untuk mencegah efek teratotoksisitas.
d.Mycophenolate
Uji Klinis terkontrol berkualitas baik telah menunjukan efektifitas terapi
SLE dengan MMF, sehingga MMF dapat dijadikan terapi alternatif terapi
induksi
pada lupus nefritis. Faktor genetik mempengaruhi respon terapi dengan obat
ini.
Suku afrika-amerika dan hispanik memberikan respon terapi yang baik bila
dibandingkan dengan kaukasia.
Terapi dengan MMF juga dapat menjadi terapi pemeliharan setelah
induksi menggunakan siklofosfamid dan MMF mungkin lebih baik jika
dibandingkan dengan azathioprin sebagai terapi pemeliharaan. Efek toksik
yang
kecil terhadap gonad membuat MMF lebih digemari dan menjadi lini pertama
dalam pengobatan bagi penderita SLE yang berada dalam masa pubertas atau
anak — anak.

2. Edukasi

- Memperhatikan pola istirahat, pola tidur, olahraga


- Menghindari rokok dan alcohol
- Menghindari paparan sinar matahari (pukul 10.00 – 16.00)
- Menggunakan tabir surya spf 30 atau lebih
- Menggunakan payung atau topi
1. Penjelasan tentang apa itu lupus dan penyebabnya.
2. Tipe dari penyakit SLE dan perangai dari masing-masing tipe tersebut.
3. Masalah yang terkait dengan fisik: kegunaan latihan terutama yang terkait
dengan pemakaian steroid seperti osteoporosis, istirahat, pemakaian alat bantu
maupun diet, mengatasi infeksi secepatnya maupun pemakaian kontrasepsi.
4. Pengenalan masalah aspek psikologis: bagaimana pemahaman diri pasien SLE,
mengatasi rasa lelah, stres emosional, trauma psikis, masalah terkait dengan
keluarga atau tempat kerja dan pekerjaan itu sendiri, mengatasi rasa nyeri.
5. Pemakaian obat mencakup jenis, dosis, lama pemberian dan sebagainya. Perlu
tidaknya suplementasi mineral dan vitamin. Obat-obatan yang dipakai jangka
panjang contohnya obat anti tuberkulosis dan beberapa jenis lainnya termasuk
antibiotikum.

3. Indikasi Rujukan

SKDI : 3A

mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan awal, dan merujuk

Maksud rujukan dikelompokkan dalam:

a. Konfirmasi diagnosis

b. Kajian akan berat ringannya penyakit dan aktivitasnya.

c. Panduan pengelolaan secara umum.

d. Bila aktivitas penyakit tidak dapat dikendalikan.

e. Semua kasus SLE dengan keterlibatan organ vital atau membahayakan nyawa.

f. Pencegahan / pengobatan efek samping obat.

g. Pada SLE dengan keadaan tertentu seperti kehamilan.

10. Komplikasi & prognosis SLE

PROGNOSIS
Prognosis pasien Lupus Erimatosus Sistemik sangat bervariasi bergantung pada
keterlibatan organnya. Sekitar 25 % pasien dapat mengalami remisi selama beberapa tahun,
tetapi hal ini jarang menetap. Prognosis buruk (50% mortalitas dalam 10 tahun) terutama
berkaitan dengan keterlibatan ginjal. Penyebab utama mortalitas umumnya gagal
ginjal,infeksi,serta tromboemboli.

KOMPLIKASI

SLE yang tidak terdiagnosis dengan cepat dan ditangani dengan baik dapat menimbulkan
komplikasi yang bervariasi, mulai dari komplikasi yang ringan, sedang, berat, hingga
kematian. Komplikasi yang sering terjadi antara lain :

 Anemia Hemolitik adalah penyakit kurang darah akibat penghancuran sel darah
merah lebih cepat dari waktunya.
 Trombosis adalah pembentukan gumpalan darah di dalam pembuluh darah sehingga
menghalangi darah mengalir dengan normal di pembuluh darah.
 Lupus Serebral adalah termaksud dalam Sistemik Lupus Eritematosus yang
manifestasi kliniknyatidak hanya menyerang sistem kekebalan tubuh namun secara
khusus targetnya adalah otak,disamping keseluruh tubuh.
 Lupus Nefritis adalah peradangan pada ginjal akibat pengaruh penyakit systemic
lupus erythematosus (SLE).
 Infeksi Sekunder adalah adanya suatu proses infeksi baru yang muncul setelah
sebelumnya terdapat infeksi yang lain.

Komplikasi pada pasien SLE dapat terjadi karena kerusakan organ akibat penyakit tersebut
atau karena efek samping obat.
Komplikasi yang berhubungan dengan proses penyakit termasuk namun tidak terbatas
pada percepatan aterosklerosis dengan risiko penyakit arteri koroner beberapa kali lipat lebih
tinggi bahkan pada populasi muda, penyakit ginjal stadium akhir, dan defisit neurologis,
termasuk kebutaan akibat manifestasi neuropsikiatri. Penderita lupus kulit yang parah,
terutama lupus diskoid, dapat mengalami kerusakan kulit permanen dan alopecia. Kecemasan
dan depresi lebih sering terjadi pada pasien SLE. Beberapa komplikasi terkait kehamilan
telah diketahui, termasuk keguguran, preeklamsia dan eklampsia, blok jantung bawaan, dan
lupus neonatal.
Komplikasi akibat pengobatan sering terjadi dan memerlukan pemantauan
ketat. Penggunaan kortikosteroid jangka panjang pada pasien SLE sering kali menyebabkan
osteoporosis yang tidak terdiagnosis dan tidak diobati, sehingga menyebabkan patah tulang
akibat osteoporosis. Komplikasi lain dari penggunaan terapi kortikosteroid jangka panjang
termasuk nekrosis avaskular, glaukoma, katarak, penambahan berat badan, dan kontrol
diabetes melitus yang buruk. Penggunaan kortikosteroid dosis tinggi juga dapat dikaitkan
dengan infeksi oportunistik dan psikosis akut. Penggunaan hidroksiklorokuin dalam jangka
panjang jarang menyebabkan makulopati dan retinopati yang tidak dapat disembuhkan, dan
pemeriksaan oftalmologi yang ketat dianjurkan. Penggunaan siklofosfamid dikaitkan dengan
risiko sistitis interstisial dan kanker kandung kemih yang sangat tinggi bahkan setelah
penghentian obat.
VIII. Kesimpulan
Pasien mengalami SLE (Systemic Lupus eritematosus)
Daftar Pustaka

1. Kurup, S., & Pozun, A. (2022). Biochemistry, Autoimmunity. StatPearls.


https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK576418/
2. Chauhan A, Jandial A, Mishra K, Sandal R. Acute arthritis, skin rash and
Lofgren’s syndrome. BMJ Case Rep [Internet]. 2021 Jun 7 [cited 2023 Oct
7];14(6):239239. Available from: /pmc/articles/PMC8186550/
3. Varga J, Wigley FM. Scleroderma. Clin Immunol Princ Pract [Internet]. 2023 Jul
31 [cited 2023 Oct 7];743-755.e1. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK537335/
4. Liu JT, Yeh HM, Liu SY, Chen KT. Psoriatic arthritis: Epidemiology, diagnosis,
and treatment. World J Orthop [Internet]. 2014 Sep 9 [cited 2023 Oct 7];5(4):537.
Available from: /pmc/articles/PMC4133459/
5. Taylor PC. Update on the diagnosis and management of early rheumatoid arthritis.
Clin Med (Northfield Il) [Internet]. 2020 Nov 1 [cited 2023 Oct 7];20(6):561.
Available from: /pmc/articles/PMC7687323/
6. Cojocaru M, Inimioara ;, Cojocaru M, Silosi I, Doina Vrabie C. Manifestations of
Systemic Lupus Erythematosus. Mædica [Internet]. 2011 [cited 2023 Oct
7];6(4):330. Available from: /pmc/articles/PMC3391953/
7. Sticherling M, Kuhn A. Systemic Lupus Erythematosus. Braun-Falco’s
Dermatology [Internet]. 2023 Aug 4 [cited 2023 Oct 7];923–39. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK535405/
8. Jatwani S, Goyal A. Vasculitis. StatPearls [Internet]. 2023 Aug 8 [cited 2023 Oct
7]; Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK545186/
9. Wahyuni, S. (n.d.). PERAN IMUNITAS HUMORAL PADA PENYAKIT
SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE). Retrieved October 8, 2023, from
https://ojs.unimal.ac.id/averrous/article/view/451/374
10. Kumar V, Abbas A., Fausto N. ROBBINS & COTRAN DASAR PATOLOGIS
PENYAKIT. 7th ed. Rachman LY, editor. EGC; 2010. 200 p.
11. Bartels CM, Garg S. Systemic Lupus Erythematosus (SLE). Medscape. 2023.
12. Crow MK. Pathogenesis of systemic lupus erythematosus: risks, mechanisms and
therapeutic targets. Ann Rheum Dis. Published online February 15, 2023:ard-
2022-223741. Doi:10.1136/ard-2022-223741
13. Vaillant AAJ, Goyal A, Varacallo M. Systemic Lupus Erythematosus [Internet].
2023. Available from:
https://www-ncbi-nlm-nih-gov.translate.goog/books/NBK535405/?
_x_tr_sl=en&_x_tr_tl=id&_x_tr_hl=id&_x_tr_pto=tc#article-24526.s11

Anda mungkin juga menyukai