Disusun oleh:
KELOMPOK 4 -KELAS B-
SEMESTER IV
JURUSAN S1 KEPERAWATAN
2023/2024
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami hantarkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa, karena dengan karunia-
Nya kami dapat menyelesaiakan makalah kami yang berjudul “ASUHAN
KEPERAWATAN TERHADAP PENYAKIT SLE”.
Tidak lupa kami sampaikan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah
membantu dan membimbing kami dalam mengerjakan karya ilmiah ini. Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada teman-teman mahasiswa yang juga sudah memberi
kontribusi baik langsung maupun tidak langsung dalam pembuatan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih sangat jauh dari
kesempurnaan, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun guna sempurnanya makalah ini. Penulis berharap semoga makalah ini bisa
bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
Penulis
DAFTAR ISI
i
KATA PENGANTAR......................................................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................................1
A. Latar Belakang........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..................................................................................................2
C. Tujuan Masalah......................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................3
A. Landasan Teori.......................................................................................................3
1. Definisi................................................................................................................3
2. Etiologi................................................................................................................3
3. Patofisiologi........................................................................................................4
4. Manifestasi Klinis...............................................................................................5
5. Pemeriksaan Penunjang....................................................................................11
6. Penatalaksanaan................................................................................................12
B. Pathway................................................................................................................13
C. Asuhan Keperawatan............................................................................................14
1. Pengkajian.........................................................................................................14
2. Diagnosa Keperawatan.....................................................................................16
3. Luaran Intervensi Keperawatan........................................................................17
BAB III PENUTUP..............................................................................................28
A. Kesimpulan...........................................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................30
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Systemic Erithematosus Lupus (SLE) atau yang biasa dikenal dengan istilah
lupus merupakan suatu penyakit autoimun yang menyebabkan inflamasi kronik.
Penyakit ini terjadi dalam tubuh akibat sistem kekebalan tubuh salah menyerang
jaringan sehat. Penyakit ini juga merupakan penyakit multi sistem dimana
banyak manifestasi klinik yang didapat penderita, sehingga setiap penderita akan
mengalami gejala yang berbeda dengan penderita lainnya tergantung dari organ
apa yang diserang oleh antibody tubuhnya sendiri. Manifestasi klinik yang
paling sering dijumpai adalah skin rash, arthritis, dan lemah. Pada kasus yang
berat, SLE bisa menyebabkan nefritis, masalah neurologi, anemia, dan
trobositopenia.
SLE dapat menyerang siapa saja tidak memandang ras apapun. Hanya saja
penyakit ini angka kejadiannya didominasi oleh prempuan dimana perbandingan
antara prempuan dan laki-laki adalah 10:1. SLE menyerang prempuan pada usia
produksi ,puncak insidennya usia antara 15-40. Di Indonesia sendiri jumlah
penderita SLE secara tepat belum diketahui tetapi diperkirakan sama dengan
jumlah pendirita SLE diamerika yaitu 1.500.000 orang ( yayasan lupus
Indonesia ).
Pengobatan pada penderita SLE ditujukan untuk mengatasi gejala dan
induksi remisi serta mempertahankan remisi selama mungkin pada
perkembangan penyakit. Karena manifestasi klinis yang sangat bervariasi maka
pengobatan didasarkan pada manifestasi yang muncul pada masing-masing
individu. Obat-obat yang umum digunakan pada terapi farmakologis penderita
SLE yaitu NSAID ( Non-Steroid Anti-Inflammatory Drugs), obat-obat
antimalarial, kortikosteroid, dan obat-obat antikanker (imunosupresan) selain itu
terdapat obat-obat yang lain seperti terapi hormone,immunoglobulin intravena,
UV A-1 fototerapi, monoclonal antibody, dan transplasi sumsum tulang yang
masih menjadi penelitian para ilmuwan.
1
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Masalah
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Landasan Teori
B. Definisi
C. Etiologi
3
ditemukan lebih besar pada kelaurga dengan kondisi sosial ekonomi
yang tinggi. 7 Poltekkes Kemenkes Yogyakarta
b. Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan yang dapat memicu terjadinya
Systemic Lupus Erythematosus antara lain:
1) Hormon
Hormon estrogen dapat merangsang sistem imun tubuh dan
penyakit ini sering terjadi pada perempuan terutama saat usia
reproduktif dimana terdapat kadar estrogen yang tinggi.
2) Obat-obatan
Beberapa obat dapat menyebabkan terjadinya gangguan
sistem imun melalui mekanisme molecular mimicry, yaitu
molekul obat memiliki struktur yang sama dengan molekul di
dalam tubuh sehingga menyebabkan gangguan toleransi imun.
3) Infeksi
Infeksi dapat memicu respon imun dan pelepasan isi sel
yang rusak akibat infeksi dan dapat meningkatkan respon imun
sehingga menyebabkan penyakit autoimun.
4) Paparan sinar ultraviolet
Adanya paparan sinar ultraviolet dapat menyebabkan
kerusakan dan kematian sel kulit serta berkaitan dengan
fotosensitivitas pada penderita.
D. Patofisiologi
4
antara lain anti-dsDNA, anti-Ro, anti-Sm, antibodi antifosfolipid dan
antibodi antinuklear.
Pada pasien Systemic Lupus Erythematosus juga terjadi peningkatan
produksi sitokin proinflamasi, antara lain Interleukin- 8 Poltekkes Kemenkes
Yogyakarta 2 (IL-2), Interferon gamma (IFN-γ), Interferon alpha (IFN-α),
Interleukin-4 (IL-4), Interleukin-6 (IL-6), Interleukin-10 (IL-10), Tumor
Necrosis Factor Alpha (TNF-α), dan Transforming Growth Factor Beta
(TGF-β) dimana semua sitokin proinflamasi ini semua disekresi oleh sel T
Helper-1 (TH1). Pada pasien Systemic Lupus Erythematosus juga terjadi
gangguan aktivitas fagositosis, gangguan fiksasi komplemen, peningkatan
apoptosis yang dapat mengakibatkan terjadinya inflamasi jaringan dan
kerusakan organ. Pada orang yang sehat, kompleks imun dibersihkan oleh
Fragmen crystallizable (Fc) dan Complement Receptor (CR). Kegagalan
pembersihan kompleks imun menyebabkan deposisi. Kerusakan jaringan
dimulai dengan adanya sel inflamasi, intermediet oksigen reaktif, produksi
sitokin proinflamasi dan modulasi kaskade koagulasi.
E. Manifestasi Klinis
5
dan biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya.
Kelelahan ini agak sulit dinilai karena banyak kondisi lain yang dapat
menyebabkan kelelahan seperti adanya anemia, meningkatnya beban
kerja, konflik kejiwaan serta pemakaian obat seperti prednison.
Kelelahan akibat penyakit ini memberikan respon terhadap
pemberian steroid atau latihan (Evalina, 2012).
Penurunan berat badan dijumpai pada sebagian penderita
Systemic Lupus Erythematosus dan terjadi dalam beberapa bulan
sebelum diagnosis ditegakkan. Demam sebagai salah satu gejala
konstitusional sulit dibedakan dari sebab lain seperti infeksi karena
suhu tubuh dapat lebih dari 400C tanpa adanya bukti infeksi lain
seperti leukositosis. Demam akibat penyakit ini biasanya tidak
disertai menggigil. Gejala-gejala lain yang sering dijumpai pada
penderita dapat terjadi sebelum ataupun seiring dengan aktivitas
penyakitnya seperti rambut rontok, hilangnya nafsu makan, bengkak,
sakit kepala, mual dan muntah (Isbagio dkk, 2013)
b. Manifestasi Pada Kulit
Manifestasi pada kulit merupakan yang paling umum pada
kelainan Systemic Lupus Erythematosus, kejadiannya berkisar antara
80-90% dari kasus. Dari kriteria diagnosis terdapat empat diantaranya
merupakan kelainan pada kulit seperti fotosensitivitas, ruam malar,
lesi diskoid serta lesi mukokutan (lesi pada mulut). Kelainan pada
kulit dapat dibagi menjadi kelainan yang bersifat spesifik dan non
spesifik, sedangkan spesifik lesi dibagi menjadi tiga bagian yang
pertama kelainan yang bersifat akut, kedua kelainan yang bersifat
sub-akut dan terakhir skelainan yang bersifat kronik (Ghrahani,
2015).
Ruam “kupu-kupu” atau malar klasik sering menjadi gejala
awal lupus dan terjadi kekambuhan setelah pajanan matahari. Eritema
yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah malar dan cenderung
tidak melibatkan lipat nasolabial. Pada kelainan yang bersifat akut
timbul rash atau ruam setelah terpapar sinar matahari dan rash akan
6
berkurang sampai menghilang setelah paparan sinar matahari
dihindari. Kelainan kulit yang paling ringan berupa fotosensitivitas
dimana dapat dirasakan pada kulit yang terpapar sinar matahari
secara langsung dirasakan oleh penderita sendiri seperti rasa
“terbakar”(Ghrahani, 2015).
c. Manifestasi Muskuloskeletal
Terlibatnya sendi baik atralgia atau artritis, keduanya sering
timbul pada awal penyakit dan merupakan gejala klinik yang
tersering pada penderita dengan Systemic Lupus Erythematosus aktif.
Artritis sendi pada penderita umumnya poli artritis mirip dengan
artritis reumatoid yang mana daerah yang sering terkena pada sendi-
sendi kecil pada tangan dan lutut. Sendi yang terkena dapat
mengalami pembengkakan atau sinovitis. Artritis pada penyakit ini
walaupun sudah berlangsung cukup lama tidak mengalami erosi dan
destruksi sendi. Seringkali pada penderita Systemic Lupus
Erythematosus berat yang mengenai sendi tangan dikenal sebagai
Jaccoud artropati dengan gambaran kliniknya mirip dengan artritis
reumatoid seperti adanya swan neck-deformity, hal ini terjadi bukan
karena kerusakan sendi tetapi karena peradangan pada kapsul sendi
dan tendon serta liga men sendi yang mengalami kekenduran jaringan
ikat sendi (laxity) akibatnya kedudukan sendi menjadi tidak stabil,
bila prosesnya masih awal dapat pulih kembali bila penyakit ini
mendapat pengobatan yang adekuat, sedangkan bila terlambat
pengobatannya seringkali sudah terjadi fibrosis maka akan
menimbulkan kecacatan yang menetap (Nugraha, 2021).
Rasa sakit pada otot pada penderita ini dikenal sebagai mialgia
bila pada pemeriksaan enzim creatine phosphokinase dalam batas
normal, sedangkan miositis bila terjadi kenaikan enzim, hal ini
seringkali sulit dibedakan dengan kelainan otot karena fibromialgia
yang disebabkan karena depresi, yang mana perlu kita ketahui
seringkali penderita juga menderita kelainan itu pada 22% kasus.
7
Pada fibromialgia kelainan nyeri pada daerah-daerah tertentu yang
bersifat simetrik (Nugraha, 2021).
d. Manisfestasi pada Ginjal
Nefritis lupus atau komplikasi pada ginjal merupakan salah satu
komplikasi yang serius pada penderita Systemic Lupus
Erythematosus sebab akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas
penderita. Pada saat ini harapan hidup selama 15 tahun penderita
Systemic Lupus Erythematosus dengan nefritis berkisar 80%,
sedangkan di tahun 60an harapan hidupnya selama 5 tahun hanya
50%, walaupun kita sudah mengalami kemajuan yang berarti dalam
memberikan terapi akan tetapi insidensi terjadinya progresifitas gagal
ginjal masih cukup tinggi hal ini karena seringkali kita mengalami
kesulitan mengidentifikasi penderita Systemic Lupus Erythematosus
yang mengenai ginjal secara klinik, karena seringkali komplikasi
nefritis lupus terjadi secara diam-diam dan gejala dini sering tidak
terdeteksi. Hal paling mencolok keterlibatan ginjal pada penderita
yakni berupa adanya protein uria atau silinder eritrosit atau granular
pada pemeriksaan sedimen urin, bahkan pada keadaan yang lebih
ringan dijumpai hematuri-piuria tanpa gejala, sedangkan pada
keadaan yang lanjut dapat terjadi kenaikan serum ureum-kreatinin
dan hipertensi (Judha,2015).
e. Manifestasi pada neuro psikiatrik
Diagnosis neuro-psikiatrik pada Systemic Lupus Erythematosus
tidaklah mudah komite adhoc The American Collage of
Rheumatology menyatakan sindrom ini meliputi 50% langsung
berhubungan dengan penyakitnya sedangkan sisanya berhubungan
atau memiliki asosiasi dengan penyakit ini. Manifestasi yang
tersering ialah sakit kepala, gangguan psikiatrik dan gangguan
kognitif. Sindrom ini bisa berdiri 12 Poltekkes Kemenkes Yogyakarta
sendiri atau bersamaan dengan manifestasi neuro psikiatrik yang lain
(Azizah, 2013).
8
Kelainan neurologik pada Systemic Lupus Erythematosu dibagi
menjadi 2 bagian, pertama kelainan pada susunan saraf pusat, kedua
kelainan pada susunan saraf perifer. Kelainan pada susunan saraf
pusat dapat berupa nyeri kepala yang tidak mau hilang-hilang dan
tidak responsif dengan analgesia narkotik, kejang-kejang fokal atau
general, biasanya berhubungan dengan penyakitnya yang dalam
keadaan aktif, gejala yang lain yang jarang misalnya cerebrovaskular
accident, meningitis dan aseptik. Sedangkan, kelainan pada susunan
saraf perifer terutama terlibatnya saraf kranial baik motorik atau
sensorik pada mata dan nervus trigeminal misalnya pasien dengan
keluhan gangguan penglihatan, buta, oedema papil, nisgtagmus,
hilang pendengaran, vertigo atau facial palsy serta paralisis mirip
dengan sindrom guilain-barre atau miastenia garvis. Adapun
gangguan psikiatrik pada penderita dapat berupa perubahan prilaku,
psikosis, insomnia, delirum dan depresi (Azizah, 2013).
f. Manifestasi pada gastrointestinal
Komplikasi gastrointestinal bisa berupa kelainan pada esofagus,
vaskulitis mesenterika, radang pada usus, pankreatitis, hepatitis dan
peritonitis. Kelainan disfagia termasuk komplikasi yang jarang. Kelainan
yang sering didapat berupa nyeri abdomen karena vaskulitis dari pembuluh
darah usus, begitu pula lupus enteritis yang melibatkan pembuluh darah
mesenterika yang berupa vaskulitis atau trombosis. Diagnosis ditegakkan
pada pemeriksaan arteriografi akan didapatkan kelainan berupa vaskulitis,
sehingga selain keluhan nyeri abdomen juga dapat berupa perdarahan
prerektum baik pada usus besar maupun usus halus dan bila ini terjadi
diperlukan investigasi yang lebih seksama untuk mencegah terjadinya
perforasi (Evalina, 2012).
Manifestasi pada gastrointestinal Komplikasi gastrointestinal bisa
berupa kelainan pada esofagus, vaskulitis mesenterika, radang pada usus,
pankreatitis, hepatitis dan peritonitis. Kelainan disfagia termasuk
komplikasi yang jarang. Kelainan yang sering didapat berupa nyeri
abdomen karena vaskulitis dari pembuluh darah usus, begitu pula lupus
enteritis yang melibatkan pembuluh darah mesenterika yang berupa
vaskulitis atau trombosis. Diagnosis ditegakkan pada pemeriksaan
9
arteriografi akan didapatkan kelainan berupa vaskulitis, sehingga selain
keluhan nyeri abdomen juga dapat berupa perdarahan prerektum baik pada
usus besar maupun usus halus dan bila ini terjadi diperlukan investigasi
yang lebih seksama untuk mencegah terjadinya perforasi. (Evalina, 2012)
g. Manifestasi pada hepar
Manifestasi pada hati relatif lebih sering terjadi dibandingkan
pada gastrointestinal, manifestasi pada hati berupa hepatitis kronik
aktif, 13 Poltekkes Kemenkes Yogyakarta hepatitis granulomatosa,
hepatitis kronik persisten dan steatosis. Biasanya diperlihatkan
dengan meningkatnya enzim hati seperti Serum Glutamic
OxaloaceticTransaminase (SGOT), Serum Glutamic Pyruvic
Transaminase (SGPT) dan alkali-fosfatase. Keterlibatan hati ini
dihubungkan dengan anti fosfolipid antibodi yang menyebabkan
trombosis arteri atau vena hepatika yang akhirnya menyebabkan
infark, untuk membedakan kelainan hati karena Systemic Lupus
Erythematosus atau kelainan autoimun yang lain tidaklah mudah
ataupun keduanya sangat sulit, biopsi hati dan adanya antibodi anti P
ribosom mungkin akan terlihat pada hepatitis karena autoimun
dibandingkan dengan hepatitis karena Systemic Lupus Erythematosus
(Judha, 2015).
h. Manifestasi pada hematologi
Sitopenia termasuk di dalamnya anemia, trombositopenia,
limfofenia, leukopenia sering terjadi pada penderita Systemic Lupus
Erythematosus. Anemia pada pasien dengan Systemic Lupus
Erythematosus bervariasi antara anemia penyakit kronik, anemia
hemolitik, kehilangan darah, insufiensi ginjal, infeksi dan mielo
displasia dan anemia aplastik. Terjadinya anemia pada penderita ini
sering disebabkan supresi eritropoesis karena inflamasi yang kronik.
Sangat mungkin terdapat anemia karena proses autoimun, anemia
yang didapat berupa anemia penyakit kronik, defisiensi besi dan
diikuti anemia hemolitik autoimun (Suntoko, 2015).
i. Manifestasi pada paru
10
Pleuritis merupakan manifestasi Systemic Lupus Erythematosus
yang tersering pada paru dari beberapa studi dikatakan berkisar antara
41-56%. Keluhannya berupa nyeri dada baik unilateral atau bilateral
biasanya pada pinggir kostoprenikus baik anterior atau posterior,
seringkali diikuti dengan batuk, sesak napas dan demam serta
umumnya akan berkembang menjadi suatu efusi pleura (Setiati,
2014).
j. Manifestasi pada kardiovaskular
Manifestasi Systemic Lupus Erythematosus pada
kardiovaskular atau jantung dapat mengenai perikardium,
miokardium, sistem kelistrikan jantung, katup jantung dan pembuluh
darahnya. Manisfetasi yang paling sering berupa perikarditis baik
penebalan atau efusi dengan prevalensinya 16-61% kasus dengan
pemeriksaan ekokardiografi dapat terlihat dengan mudah biasanya
jumlah cairan yang minimal ataupun dalam jumlah yang cukup
banyak, bila cairan banyak ditakutkan akan terjadi cardiac 15
Poltekkes Kemenkes Yogyakarta tamponade sehingga diperlukan
pemberian steroid dosis tinggi diikuti dengan perikardial sentesis,
walaupun begitu bila kita mendapatkan cairan hasil perikardial
sentesis dan harus dipikirkan juga apakah karena sebab lain seperti
tuberkulosa, kuman banal atau infeksi jamur (Ghrahani, 2015).
F. Pemeriksaan Penunjang
11
2) Antibodi Deoxyribo Nucleic Acid (DNA) untai ganda (dsDNA)
meningkat
3) Tes C-reactive Protein (CRP) positif
G. Penatalaksanaan
12
b. Dialistis atau transplantasi ginjal
Pasien dengan stadium akhir lupus nefropati, dapat dilakukan
dialisis atau tranplantasi ginjal
c. Penatalaksanaan infeksi
Pengobatan segera bila ada infeksi terutama infeksi bakteri. Setiap
kelainan urin harus dipikirkan kemungkinan pielonefritis.
H. Pathway
13
I. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
1. Anamnesis
a. Penyakit lupus eritematosus sistemik bisa terjadi pada wanita maupun pria,
namun penyakit ini sering diderita oleh wanita, dengan perbandingan wanita
dan pria 8:1
b. Biasanya ditemukan pada ras-ras tertentu seperti negro, cina dan filiphina
c. Lebih sering pada usia 20-4- tahun, yaitu usia produktif
d. Faktor ekonomi dan geografis tidak mempengaruhi distribusi penyakit ini
2. Keluhan Utama
Pada umumnya pasien mengeluh mudah lelah, lemah, nyeri, kaku,
demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra
dari pasien
3. Riwayat Penyakit Dahulu
14
Perlu dikaji tentang riwayat penyakit dahulu,apakah pernah menderita
penyakit ginjal atau manifestasi SLE yang serius, atau penyakit autoimun yang
lain.
4. Riwayat Penyakit Sekarang
a. Perlu dikaji yaitu gejala apa yang pernah dialami pasien (misalnya ruam
malar-fotosensitif, ruam discoid-bintik-bintik eritematosa menimbulkan :
artaralgia/arthritis, demam, kelelahan, nyeri dada pleuritik, pericarditis,
bengkak pada pergelangan kaki, kejang, ulkus dimulut.
b. Mulai kapan keluhan dirasakan.
c. Faktor yang memperberat atau memperingan serangan.
d. Keluhan-keluhan lain menyertai.
5. Riwayat Pengobatan
Kaji apakah pasien mendapat terapi dengan klorpromazin, metildopa,
hidralasin, prokainamid dan isoniazid, Dilantin, penisilamin dan kuinidin.
6. Riwayat Penyakit Keluarga
Perlu dikaji apakah dalam keluarga ada yang pernah mengalami
penyakityang sama atau penyakit autoimun yang lain
7. Pemeriksaan Fisik
Dikaji secara sistematis :
a. B1 (Breath)
Irama dan kecepatan nafas, kesimetrisan pergerakan nafas, penggunaan
otot nafas tambahan, sesak, suara nafas tambahan (rales,ronchi), nyeri saat
inspirasi, produksi sputum, reaksi alergi. Patut dicurigai terjadi pleuritis atau
efusi pleura.
b. B2 (Blood)
Tanda-tanda vital, apakah ada nyeri dada,suara jantung (s1,s2,s3), bunyi
systolic click (ejeksi clik pulmonal dan aorta), bunyi mur-mur. Friction rup
pericardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura. Lesi eritematous
papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukan gangguan vaskuler
terjadi di ujung jari tangan,siku,jari kaki dan permukaan ekstensor lengan
dibawah atau sisi lateral tangan.
15
c. B3 (Brain)
Mengukur tingkat kesadaran (efek dari hipoksia) Glasgow Coma Scale
secara kuantitatif dan respon otak : compos mentis sampai coma (kualitatif),
orientasi pasien. Seiring terjadinya depresi dan psikosis juga serangan kejang-
kejang.
d. B4 (Bladder)
Pengukuran urine tamping (menilai fungsi ginjal), warna urine (menilai
filtrasi glomelorus)
e. B5 (Bowel)
Pola makan, nafsu makan, muntah, diare, berat badan dan tinggi badan,
turgor kulit, nyeri tekan, apakah ada hepatomegaly, pembesaran limpa
B. Diagnosa Keperawatan
16
j. Risiko defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan mencerna
makanan.
k. Nyeri Akut berhubungan dengan Agen Pencendera Fiologis dan ditandai
dengan Tampak meringis, Gelisah dan Sulit Tidur.
l. Intoleransi Aktivitas berhubungan dengan Tirah baring dan ditandai
dengan Tekanan darah berubah >20% dari kondisi istirahat.
m. Risiko Infeksi berhubungan dengan Ketidakadekuatan pertahanan tubuh
sekunder : Leukopenia
17
c. Latih teknik relasasi
Terapi Relaksasi
Tindakan
Observasi
a. Identifikasi penurunan
tingkat energi,
ketidakmampuan
berkosentrasi, atau gejala
lain yang mengganggu
kemampuan kognitif
b. Periksa ketegangan otot,
frekuensi nadi, tekanan
darah dan suhu sebelum
dan sesudah latihan
Terapeutik
a. Ciptakan lingkungan tenang
dan tanpa gangguan dengan
pencahayaan dan suhu
ruang nyaman
b. Gunakan pakaian longgar
c. Gunakan nada suara lembut
dengan irama lambat dan
berirama
Edukasi
a. Jelaskan tujuan, manfaat,
batasan, dan jenis relaksasi
yang tersedia
b. Anjurkan mengambil posisi
nyaman
c. Demonstrasikan dan latih
teknik relaksasi
18
kesehatan
b. Ajarkan perilaku hidup
bersih dan sehat
19
. Mobalitas Fisik dilakukan intervensi Tindakan
berhubungan dengan keperawatan selama 3 Observasi
Penurunan kendali jam maka Mobalitas a. Identifikasi adanya
otot dan ditandai fisik meningkat, kelelahan otot bantu napas
dengan Kekuatan dengan kriteria hasil : b. Identifikasi efek perubahan
Otot Menurun dan Kekuatan otot posisi terhadap status
Sendi Kaku. (5) pernapasan
Nyeri (1) c. Monitor status respirasi dan
Kecemasan (1) oksigenasi
Kaku sendi (1) d. Pertahankan kepatenan
Kelemahan jalan napas
fisik (1) e. Berikan oksigenasi sesuai
kebutuhan
Edukasi
a. Ajarkan melakukan teknik
relaksasi napas dalam
Dukungan Mobilasi
Tindakan
Observasi
a. Identifikasi adanya nyeri
atau keluhan fisik lainnya
b. Identifikasi toleransi fisik
melakukan pergerakan
c. Monitor frekuensi jantung
dan tekanan darah sebelum
memulai mobilisasi
d. Monitor kondisi umum
selama melakukan
mobilisasi
Terapeutik
a. Atur Fasilitasi aktivitas
mobilisasi dengan alat
bantu (mis. agar tempat
tidur)
b. Libatkan keluarga untuk
membantu pasien dalam
meningkatkan pergerakan
Edukasi
a. Jelaskan tujuan dan
prosedur mobilisasi
b. Ajarkan mobilisasi
sederhana yang harus
dilakukan (mis. duduk di
tempat tidur, duduk di sis
20
tempat tidur, pindah dari
tempat tidur ke kursi)
4 Risiko Jatuh Setelah Pencegahan Jatuh
. berhubungan dengan dilakukan intervensi Tindakan
Kekuatan Otot keperawatan selama 1 Observasi
Menurun. jam maka Tingkat a. Identifikasi faktor risiko
Jatuh menurun, jatuh
dengan kriteria hasil : b. Identifikasi faktor
Jatuh dari lingkungan yang
tempat tidur meningkatkan risio jatuh
(1) Terapeutik
Jatuh saat a. Atur tempat tidur mekanis
berdiri (1) pada posisi terendah
Jatuh saat b. Gunakan alat bantu berjalan
membungkuk Edukasi
(1) a. Anjurkan memanggil
perawat jika membutuhkan
bantuan untuk berpindah
b. Anjurkan menggunakan
alas kaki yang tidak lici
c. Anjurkan berkosentrasi
untuk menjaga
keseimbangan tubuh
Dukungan Mobilisasi
Tindakan
Observasi
a. Identifikasi ada nyeri atau
keluhan fisik lainnya
b. Identifikasi toleransi fisik
melakukan pergerakan
c. Monitor kondisi umum
selama melakukan
mobilisasi
Terapeutik
a. Fasilitasi aktivitas
mobilisasi dengan alat
bantu
b. Fasilitasi melakukan
pergerakan
c. Libatkan keluarga untuk
membantu pasien dalam
meningkatkan pergerakan
Edukasi
a. Jelaskan tujuan dan
prosedur mobilisasi
21
b. Anjurkan melakukan
mobilisasi dini
c. Ajarkan mobilisasi
sederhana yang harus
dilakukan
22
Kolaborasi
a. Kolaborasi dengan ahli gizi
tentang target berat badan,
kebutuham kalori dan
pilihan makanan
23
gambaran diri terhadap citra
tubuh
c. Anjurkan menggunakan
alat bantu (mis. pakaian,
wig, kosmetik)
d. Latih fungsi tubuh yang
dirniliki
Pemantauan Respirasi
Tindakan
Observasi
a. Monitor frekuensi, irama,
kedalaman dan upaya napas
b. Monitor pola napas (seperti
bradipnea, takipnoa,
hiperventilasi, Kussmaul,
Cheyne-Stokes, Biot,
ataksik)
c. Monitor kemampuan batuk
efektif
d. Monitor adanya produksi
sputum
e. Monitor adanya sumbalan
Jalan napas
24
Terapeutik
a. Alur interval pemantauan
respirasi sosuai kondisi
pasien
b. Dokumentasikan hasil
pemantauan
Edukasi
a. Jelaskan tujuan dan
prosedur pemantauan
b. Informasikan hasil
pemantauan
25
Kejadian c. Identifikasi kesesuaian alas
cedera kaki atau stoking elastis
menurun (5) pada ekstremitas bawah
Ketegangan Terapeutik
otot menurun a. Sediakan pencahayaan yang
(5) memadai
Gangguan b. Gunakan lampu tidur
mobilitas selama jam tidur
menurun (5) c. Sosialisasikan pasien dan
keluarga dengan
lingkungan rang rawal (mis.
penggunsan telepon, tempat
tidur, penerangan rangan
dan lokasi kamar mandi)
d. Pastikan barang-barang
pribadi mudah dijangkau
e. Perlahankan posisi tempat
tidur di posisi terendah saat
digunakan
f. Pastikan roda tempat tidur
atau kursi roda dalam
kondisi terkunci
g. Gunakan pengaman tempat
tidur sesual dengan
kebijakan tasilitas
pelayanan kesehatan
Edukasi
a. Jelaskan alasan intervensi
pencegahan jatuh ke pasien
dan keluarga
1 Risiko defisit nutrisi Setelah Manajemen Gangguan Makan
0 dilakukan intervensi Tindakan
berhubungan dengan
keperawatan selama 3 Observasi
ketidakmampuan jam maka Status a. Monitor asupan dan
Nutrisi membaik, keluarya makanan dan
mencerna makanan.
dengan kriteria hasil : cairan serta kebutuhan
Nyeri kalori
abdomen Terapeutik
menurun (5) a. Timbang berat badan secara
Berat badan rutin
membaik (5) b. Diskusikan perilaku makan
Nafsu makan dan jumlah aktivitas fisik
membaik (5) (termasuk olahraga) yang
sesuai
Edukasi
a. Anjurkan membuat catatan
harian tentang perasaan dan
situasi pemicu pengeluaran
26
makanan (mis. pengeluaran
yang disengaja, muntah,
aktivitas berlebihan)
b. Ajarkan pengaturan diet
yang tepat
c. Ajarkan keterampilan
koping untuk penyelesaian
masalah perilaku makan
Kolaborasi
a. Kolaborasi dengan ahli gizi
tentarg target berat badan,
kebutuhan kalori dan pilhan
makanan
27
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
28
29
DAFTAR PUSTAKA
Judha, M., & Setiawan, D. I. (2015). Apa dan Bagaimana Penyakit Lupus ? (Sistemik
Lupus Eritematosus). Yogyakarta: Gosyen Publising.
30