Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH KMB II

Systemic Lupus Erythematosus (SLE)


Dosen Pengampu : Supriadi, SST., M.Kes

Guvika Julnisa
(PO.62.20.1.16.142)

POLTEKKES KEMENKES PALANGKA RAYA


D-IV KEPERAWATAN
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmatnya
saya telah menyelesaikan makalah ini. Makalah ini berisikan tentang KMB II (SLE).
Harapan saya sebagai penyusun yaitu agar para pembaca memahami tentang KMB II
(SLE), dan saya pun mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah membantu saya dalam
menyusun makalah ini menjadi lebih baik lagi.
Terlepas dari semua itu,saya menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik
dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, dengan tangan terbuka saya
menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar saya dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata, semoga makalah yang saya susun ini dapat berguna dan dapat memberi
wawasan yang lebih luas bagi pembaca dan kita semua. Terima kasih.

Hormat saya,

Guvika Julnisa

2
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN DEPAN ........................................................................................................................
KATA PENGANTAR ....................................................................................................................2
DAFTAR ISI...................................................................................................................................3
A. PENDAHULUAN ............................................................................................................. 4
1. Latar Belakang ...............................................................................................................4
2. Rumusan Masalah ..........................................................................................................4
3. Tujuan ............................................................................................................................4
B. PEMBAHASAN .................................................................................................................5
1. Pengertian SLE .................................................................................................................5
2. Etiologi SLE .....................................................................................................................5
3. Patofisiologi SLE .............................................................................................................6
4. Pemeriksaan Diagnostik ...................................................................................................7
5. Manifestasi Klinis ..........................................................................................................10
6. Penatalaksanaan .............................................................................................................13
7. Asuhan Keperawatan SLE .............................................................................................15
C. PENUTUP .........................................................................................................................20
1. Kesimpulan ............................................................................................................................ 20
2. Daftar Pustaka ..............................................................................................................21

3
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah penyakit multisistem yang


disebabkan oleh kerusakan jaringan akibat deposisi immune complex . Terdapat
spektrum manifestasi klinis yang luas dengan remisi dan eksaserbasi. Respons imun
patogenik mungkin berasal dari pencetus lingkungan serta adanya gen tertentu yang
rentan.
Patogenesis SLE sampai sekarang belum dipahami secara tuntas, meski jelas hal
ini berhubungan dengan hilngnya toleransi diri (self tolerance), yang mengakibatkan
terbentuknya autoantibody dan selanjutnya menyebabkan kerusakan jaringan. Lebih jauh
lagi diketahui bahwa kerusakan jaringan itu tidak hanya diperantai oleh immune
complex, tetapi juga oleh sel T, sitokin, kemokin serta molekul radikal oxygen teraktivasi
dan produk-produk dari aktivasi komplemen.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, rumusan masalah dalam
makalah ini adalah bagaimana Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan SLE.

3. Tujuan
a. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan SLE.
b. Untuk mengetahui penyebab SLE.
c. Untuk mengetahui patofisiologi dari SLE.
d. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang bagi klien dengan SLE.
e. Untuk mengetahui manifestasi klinis pada pasien yang mengalami SLE.
f. Untuk mengetahui penatalaksanaan medis pada klien yang mengalami SLE.
g. Untuk mengetahui asuhan keperawatan klien yang mengalami SLE.

4
BAB II
PEMBAHASAN

1. PENGERTIAN SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS

Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah penyakit autoimun ditandai dengan adanya
inflamasi yang tersebar luas di bagian tubuh, selain itu penyakit ini mempengaruhi setiap
organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan
kompleks imun, sehingga dapat mengakibatan kerusakan jaringan.
Lupus eritematosus sistemik (SLE) merupakan penyakit radang multisistem yang
sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau
kronik remisi dan eksaserbasi1. Lupus eritematosus sistemik merupakan prototipe dari
penyakit autoimun sistemik dimana autoantibodi dibentuk melawan sel tubuhnya
sendiri.2 Karakteristik primer peyakit ini berupa kelemahan, nyeri sendi, dan traum
berulang pada pembuluh darah. Lupus eritematosus sistemik melibatkan hampir semua
organ, namun paling sering mengenai kulit, sendi, darah, membran serosa, jantung dan
ginjal.

2. ETIOLOGI SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS

Etiologi dari penyakit ini belum seluruhnya diketahui namun diduga :


a. Faktor genetik : Keluarga dari penderita penyakit SLE mempunyai insidens yang
tinggi untuk penyakit pada jaringan ikat.
b. Faktor obat : terutama hydrallazine yang digunakan secara luas untuk terapi pada
hipertensi.
c. Jenis kelamin : lebih tinggi pada wanita (11,6%) dibanding pria (2,8%).
d. Radiasi sinar ultraviolet : dapat juga sebagai faktor pencetus pada onset SLE atau
penyebab kekambuhan pada perjalanan penyakit ini di mana dapat ditemukan antibodi
terhadap radiasi ultraviolet.
e. Faktor lain yang dapat sebagai pencetus adalah infeksi bakteri, dan stress baik fisik
maupun mental.

5
3. PATOFISIOLOGI SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS

Terjadinya SLE dimulai dengan interaksi antara gen yang rentan serta faktor lingkungan
yang menyebabkan terjadinyaa respons imun yang abnormal. Respon tersebut terdiri dari
pertolongan sel T hiperaktif pada sel B yang hiperaktif pula, dengan aktivasi poliklonal
stimulasi aantigenik spesifik padaa kedua sel tersebut. Pada penderita SLE mekanisme yang
menekan respon hiperaktif seperti itu, mengalami gangguan. Hasil dari respon imun
abnormal tersebut adalah produksi autoantibody dan pembentukan immune complex. Subset
patogen autoantibody dan deposit immune complex dijaringan serta kerusakan awal yang
ditimbulkannya merupakan karakteristik SLE.
Antigen dari luar yang akan di proses makrofag akan menyebabkan berbagai keadaan
seperti : apoptosis,aktivasi atau kematian sel tubuh,sedangkan beberapa antigen tubuh tidak
dikenal(self antigan) contoh: nucleosomes,U1RP,Ro/SS-A.Antigen tersebut diproses seperti
umumnya antigen lain oleh makrofag dan sel B.Peptida ini akan menstimulasi sel T dan akan
diikat sel B pada receptornya sehingga menghasilkan suatu antibody yang merugikan
tubuh.Antibody yang dibentuk peptida ini dan antibody yang terbentuk oleh antigen external
akan merusak target organ (glomerulus,sel endotel,trombosit).Disisi lain antibody juga
berikatan dengan antigennya sehingga terbentuk immune complex yang merusak berbagai
organ bila mengendap.
Perubahan abnormal dalam system imun tersebut dapat mempresentasikan protein
RNA,DNA dan phospolipid dalam system imun tubuh.Beberapa autoantibody dapat meliputi
trombosit dan eritrosit karena antibody tersebut dapat berikatan dengan glycoprotein II dan
III di dinding trombosit dan eritrosit.Pada sisi lain antibody dapat bereaksi dengan antigen
cytoplasmic trombosit dan eritrosit yang menyebabkan proses apoptosis.
Peningkatan immune complex sering ditemukan pada SLE dan ini menyebabkan
kerusakan jaringan bila mengendap.Immune complex juga berkaitan dengan complemen
yang akhirnya menimbulkan hemolisis karena ikatannya pada receptor C3b pada eritrosit.
Kerusakan pada endotel pembuluh darah terjadi akibat deposit immune complex yang
melibatkan berbagai aktivasi complemen ,PMN dan berbagai mediator inflamasi.
Keadaan-keadaan yang terjadi pada cytokine pada penderita SLE adalah
ketidakseimbangan jumlah dari jenis-jenis cytokine.Keadaan ini dapat meningkatkan aktivasi
sel B untuk membentuk antibody.

6
Berbagai keadaaan pada sel T dan sel B yang terjadi pada SLE :
Sel T :
-Lymphopenia
-Penurunan sel T suppressor
-Peningkatan sel T helper
-Penurunan memory dan CD4
-Penurunan aktivasi sel T suppressor
-Peningkatan aktivasi sel T helper
Sel B :
-Aktivasi sel B
-Peningkatan respon terhadap cytokine.
Bagian terpenting dari patogenesis ini ialah terganggunya mekanisme regulasi
yang dalam keadaan normal mencegah autoimunitas.

4. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

1) Pemeriksaan Darah Rutin dan Pemeriksaan Urin


Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada penyakit Lupus Eritematosus
Sistemik ( SLE ) adalah pemeriksaan darah rutin dan pemeriksaan urin. Hasil
pemeriksaan darah pada penderita SLE menunjukkan adanya anemia hemolitik,
trombositopenia, limfopenia, atau leukopenia; erytrocytesedimentation rate (ESR)
meningkat selama penyakit aktif, Coombs test mungkin positif, level IgG mungkin tinggi,
ratio albumin-globulin terbalik, dan serum globulin meningkat. Selain itu, hasil
pemeriksaan urin pada penderita SLE menunjukkan adanya proteinuria, hematuria,
peningkatan kreatinin, dan ditemukannya Cast, heme granular atau sel darah merah pada
urin.
2) Pemeriksaan Autoantibodi
Proses patogenik setiap penyakit tidak terlepas kaitannya dengan berbagai proses
imunologik, baik yang non spesifik atau spesifik. Kaitan tersebut tentunya terlihat lebih
nyata pada penyakit-penyakit autoimun termasuk di dalamnya SLE, Arthritis Reumatoid,
sindroma Sjogren dan sebagainya. Adanya antibodi termasuk autoantibodi sering dipakai

7
dalam upaya membantu penegakkan diagnosis maupun evaluasi perkembangan penyakit
dan terapi yang diberikan.
Pembentukan autoantibodi cukup kompleks dan belum ada satu kajian yang
mampu menjelaskan secara utuh mekanisme patofisiologiknya. Demikian pula halnya
dengan masalah otoimunitas. Pada masalah yang terakhir, dikatakan terdapat kekacauan
dalam sistim toleransi imun dengan sentralnya pada T- helper dan melahirkan banyak
hipotesis, antara lain modifikasi autoantigen, kemiripan atau mimikri molekuler antigenik
terhadap epitop sel-T, cross reactive peptide terhadap epitop sel-B, mekanisme bypass
idiotipik, aktivasi poliklonal dan sebaginya. Mekanisme lain juga dapat dilihat dari sudut
adanya gangguan mekanisme regulasi sel baik dari tingkat thymus sampai ke peripher.
Kekacauan ini semakin besar kesempatan terjadinya sejalan dengan semakin
bertambahnya usia seseorang. Umumnya, autoantibodi itu sendiri tidak segera
menyebabkan penyakit.
Oleh karenanya, lebih baik autoantibodi dipandang sebagai petanda (markers)
proses patologik daripada sebagai agen patologik. Kadarnya yang dapat naik atau turun
dapat berkaitan dengan aktivitas penyakit atau sebagai hasil intervensi terapi. Kompleks
autoantigen dan autoantibodilah yang akan memulai rangkaian penyakit autotoimun.
Hingga saat ini hipotesis yang dianut adalah autoantibodi baru dikatakan memiliki peran
dalam perkembangan suatu penyakit reumatik autoimun apabila ia berperan dalam proses
patologiknya.
a) Antibodi Antinuklear
Antinuklear antibodi (ANA) merupakan suatu kelompok autoantibodi yang
spesifik terhadap asam nukleat dan nukleoprotein, ditemukan pada connective tissue
disease seperti SLE, sklerosis sistemik, Mixed Connective Tissue Disease (MCTD) dan
sindrom sjogren’s primer. ANA pertama kali ditemukan oleh Hargreaves pada tahun
1948 pada sumsum tulang penderita SLE. Dengan perkembangan pemeriksaan
imunodifusi dapat ditemukan spesifisitas ANA yang baru seperti Sm, nuclear
ribocleoprotein (nRNP), Ro/SS-A dan La/SS-B. ANA dapat diperiksa dengan
menggunakan metode imunofluoresensi.

8
ANA digunakan sebagai pemeriksaan penyaring pada connective tissue disease.
Dengan pemeriksaan yang baik, 99% penderita SLE menunjukkan pemeriksaan yang
positif, 68% pada penderita sindrom Sjogrens dan 40% pada penderita skleroderma.ANA
juga pada 10% populasi normal yang berusia > 70 tahun.
b) Antibodi terhadap DNA
Antibodi terhadap DNA (Anti ds-DNA) dapat digolongkan dalam antibody yang
reaktif terhadap DNA natif ( double stranded-DNA). Anti ds-DNA positif dengan kadar
yang tinggi dijumpai pada 73% SLE dan mempunyai arti diagnostik dan prognostik.
Kadar anti ds-DNA yang rendah ditemukan pada sindrom Sjogrens, arthritis reumatoid.
Peningkatan kadar anti ds-DNA menunjukkan peningkatan aktifitas penyakit. Pada
SLE,anti ds-DNA mempunyai korelasi yang kuat dengan nefritis lupus dan aktifitas
penyakit SLE. Pemeriksaan anti ds-DNA dilakukan dengan metode radioimmunoassay,
ELISA dan C.luciliae immunofluoresens.
3) Pemeriksaan Komplemen
Komplemen adalah suatu molekul dari sistem imun yang tidak spesifik.
Komplemen terdapat dalam sirkulasi dalam keadaan tidak aktif. Bila terjadi aktivasi oleh
antigen, kompleks imun dan lain lain, akan menghasilkan berbagai mediator yang aktif
untuk menghancurkan antigen tersebut. Komplemen merupakan salah satu sistem enzim
yang terdiri dari 20 protein plasma dan bekerja secara berantai (self amplifying) seperti
model kaskade pembekuan darah dan fibrinolisis. Pada SLE, kadar C1,C4,C2 dan C3
biasanya rendah, tetapi pada lupus kutaneus normal. Penurunan kadar kompemen
berhubungan dengan derajat beratnya SLE terutama adanya komplikasi ginjal. Observasi
serial pada penderita dengan eksaserbasi, penurunan kadar komplemen terlihat lebih
dahulu dibanding gejala klinis.

9
5. MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis penyakit ini sangat beragam tergantung organ yang terlibat dimana
dapat melibatkan banyak organ dalam tubuh manusia dengan perjalanan klinis yang
kompleks, sangat bervariasi, dapat ditandai oleh serangan akut, periode aktif, kompleks, atau
remisi dan seringkali pada keadaan awal tidak dikenali sebagai SLE. Gejala konstitusi
nonspesifik nyeri sendi, letargi, penurunan berat badan, dan limfadenopati. Gangguan
sistemik (demam dan malaise berat) biasnya sangat nyata pada lupus aktif dan sering
merupakan manifestasi yang dominan. Manifestasi yang paling dikenali pada lupus adalah
ruam muka “kupu-kupu” / malar, yang biasanya timbul setelah paparan sinar matahari.
1) Manifestasi Lupus Serebri
a) Serangan tiba-tiba
b) Psikosis
c) Migren
d) Ansietas / depresi
e) Nyeri kepala
2) Manifestasi Paru
a) Emboli paru: sindrom antifosfolipid (APS) → thrombosis arteri + vena
b) Fibrosis paru
3) Manifestasi Tangan
a) Artralgia / artritis tanpa deformitas 90%
b) Raynaud 60%
4) Manifestasi antifosfolipid Tungkai
a) Neuropati perifer 15%
b) Myositis 5%
5) Manifestasi Mukosa Orogenital + kulit
a) Alopesia
b) Ruam malar – 80%
c) Mulut: ulserasi aftosa
d) Livedo retikularis (antibodi antifosfolipid)

10
6) Manifestasi Ginjal
a) Gagal ginjal stadium akhir < 5%
7) Manifestasi Kehamilan
a) Keguguran (trimester ke2) pada APS
b) Antibody anti Ro → lupus neonatorum (sembuh dengan sendirinya)
8) Manifestasi Susunan Saraf
Keterlibatan Neuropsikiatri SLE sangat bervariasi, dapat berupa migrain,
neuropati perifer, sampai kejang dan psikosis. Kelainan tromboembolik dengan antibodi
anti-fosfolipid dapat merupakan penyebab terbanyak kelainan serebrovaskular pada SLE.
Neuropati perifer, terutama tipe sensorik ditemukan pada 10% kasus. Ketelibatan saraf
otak, jarang ditemukan.Kelainan psikiatrik sering ditemukan, mulai dari anxietas, depresi
sampai psikosis. Kelainan psikiatrik juga dapat dipicu oleh terapi steroid. Analisis cairan
serebrospinal seringkali tidak memberikan gambaran yang spesifik, kecuali untuk
menyingkirkan kemungkinan infeksi. Elektroensefalografi (EEG) juga tidak memberikan
gambaran yang spesifik. CT scan otak kadang-kadang diperlukan untuk membedakan
adanya infark atau perdarahan.
9) Manifestasi Neuropsikiatrik
SLE sangat bervariasi, dapat berupa migrain, neuropati perifer, sampai kejang dan
psikosis. Keterlibatan neuropsikiatrik akibat SLE sulit ditegakkan karena gambaran klinis
yang begitu luas. Kelainan ini dikelompokkan sebagai manifestasi neurologik dan
psikiatrik. Diagnosis lebih banyak didasarkan pada temuan klinis dengan menyingkirkan
kemungkinan lain seperti sepsis, uremia, dan hipertensi berat.
Kelainan tromboembolik dengan antibodi anti-fosfolipid dapat merupakan
penyebab terbanyak kelainan serebrovaskular pada SLE. Neuropati perifer, terutama tipe
sensorik ditemukan pada 10% kasus. Kelainan psikiatrik sering ditemukan, mulai dari
anxietas, depresi sampai psikosis. Kelainan psikiatrik juga dapat dipicu oleh terapi
steroid. Analisis cairan serebrospinal seringkali tidak memberikan gambaran yang
spesifik, kecuali untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi. Elektroensefalografi (EEG)
juga tidak memberikan gambaran yang spesifik. CT scan otak kadang- kadang diperlukan
untuk membedakan adanya infark atau perdarahan.

11
10) Manifestasi pada Mata
Didapatkan pada 20% penderita SLE yang dapat mengenai palpebra, kornea,
retina dan saraf optik. Gambaran kelainan mata yang dapat ditemukan antara lain :
a. Palpebra
Kelainan palpebra inferior dapat merupakan bagian dari erupsi kulit yang
tak jarang mengenai pipi dan hidung.
b. Konjungtiva
Sindroma mata kering (konjungtivitis Sicca) dan konjungtivitis
nonspesifik umum terjadi pada SLE namun jarang membahayakan
penglihatan.Pada permulaannya konjungtiva menunjukkan sedikit sekret yang
mukoid disusul dengan hiperemia yang intensif dan edema membran mukosa.
Reaksi ini dapat lokal atau difus. Reaksi konjungtiva yang berat dapat
menyebabkan pengerutan konjungtiva.
c. Sklera
Pada sklera dapat ditemukan skleritis anterior yang difus atau noduler
yang makin lama makin sering kambuh dan setiap kali kambuh keadaan
bertambah berat. Dengan bekembangnya penyakit, skleritis berubah menjadi
skleritis nekrotik yang melanjut dari temapat SLEi semula ke segala jurusan
sampai dihentikan dengan pengobatan.
d. Uvea
Terjadi kelainan akibat radang sklera. Jarang menimbulkan sinekia.
e. Retina
Dapat menimbulkan retinopati pada kira-kira 25% penderita. Retinopati
merupakan kelainan pada retina yang tidak disebabkan oleh proses peradangan.
Keterlibatan retina pada SLE merupakan manifestasi terbanyak kedua setelah
keratokonjungtivitis sicca (KCS). 88% penderita retinopati SLE memiliki
penyakit sistemik yang aktif dan penurunan angka kesembuhan yang signifikan.
Oleh karena itu, monitoring ketat dan pengobatan yang aggresif pada pasien-
pasien dengan retinopati SLE sangatlah penting.

12
a. Akibat SLE murni : pada retina ditemukan gambaran cotton wool
patches yang merupakan gejala utama yang dapat timbul pada masa toksis,
perdarahan superfisial, eksudat putih abu-abu dan edema papil.
b. Akibat hipertensi yang berlangsung lama : karena SLE menyebabkan
nefropati yang kemudian dapat menyebabkan hipertensi, maka pada penderita
SLE yang lanjut dapat ditemukan gambaran fundus hipertensi.
Retinopati dapat membaik sejalan dengan keberhasilan penanganan
penyakit sistemiknya. Bagaimanapun, penderita tetap harus dimonitor secara
seksama mengenai tanda-tanda eksaserbasi saat gejala sistemik tidak ada.
Pemberian kortikosteroid sistemik diindikasikan pada nyeri hebat optalmoplegia.

6. PENATALAKSANAAN

Lupus adalah penyakit seumur hidup, karenanya pemantauan harus dilakukan selamanya.
Tujuan pengobatan SLE adalah mengontrol manifestasi penyakit, sehingga anak dapat
memiliki kualitas hidup yang baik tanpa eksaserbasi berat, sekaligus mencegah kerusakan
organ serius yang dapat menyebabkan kematian (Hockenberry & Wilson, 2009). Tatalaksana
primer pada SLE meliputi:
A. Mengurangi inflamasi dan meminimalisir komplikasi Adapun obat-obatan yang
dibutuhkan seperti:
1. Antiinflamasi non steroid (NSAIDs), untuk mengobati simptomatik artralgia nyeri
sendi.
2. Antimalaria, Diberikan untuk lupus diskoid. Pemakaian jangka panjang
memerlukan evaluasi retina setiap 6 bulan.
3. Kortikosteroid, Dosis rendah, untuk mengatasi gejala klinis seperti demam,
dermatitis, efusi pleura. Diberikan selama 4 minggu minimal sebelum dilakukan
penyapihan. Dosis tinggi, untuk mengatasi krisis lupus, gejala nefritis, SSP, dan
anemi hemolitik.
4. Obat imunosupresan/sitostatika, Imunosupresan diberikan pada SLE dengan
keterlibatan SSP, nefritis difus dan membranosa, anemia hemolitik akut, dan
kasus yang resisten terhadap pemberian kortikosteroid.

13
5. Obat antihipertensi, Atasi hipertensi pada nefritis lupus dengan agresif
6. Kalsium, Semua pasien SLE yang mengalami artritis serta mendapat terapi
prednison berisiko untuk mengalami mosteopenia, karenanya memerlukan
suplementasi kalsium.
B. Dialisis atau transplantasi ginjal Pasien dengan stadium akhir lupus nefropati, dapat
dilakukan dialisis atau transplantasi ginjal
C. Diet Restriksi diet ditentukan oleh terapi yang diberikan. Sebagian besar pasien
memerlukan kortikosteroid, dan saat itu diet yang diperbolehkan adalah yang
mengandung cukup kalsium, rendah lemak, dan rendah garam. Pasien disarankan
berhati-hati dengan suplemen makanan dan obat tradisional.
D. Aktivitas Pasien lupus sebaiknya tetap beraktivitas normal. Olah raga diperlukan
untuk mempertahankan densitas tulang dan berat badan normal. Tetapi tidak boleh
berlebihan karena lelah dan stress sering dihubungkan dengan kekambuhan. Pasien
disarankan untuk menghindari sinar matahari, bila terpaksa harus terpapar matahari
harus menggunakan krim pelindung matahari (waterproof sunblock) setiap 2 jam.
Lampu fluorescence juga dapat meningkatkan timbulnya SLEi kulit pada pasien SLE.
E. Penatalaksanaan infeksi Pengobatan segera bila ada infeksi terutama infeksi bakteri.
Setiap kelainan urin harus dipikirkan kemungkinan pielonefritis.

14
7. ASUHAN KEPERAWATAN INFEKSI SALURAN KEMIH
A. Pengkajian

1. Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan pada gejala
sekarang dan gejala yang pernah dialami seperti keluhan mudah lelah, lemah, nyeri,
kaku, demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra
diri pasien.
2. Kulit
Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.
3. Kardiovaskuler
Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura. SLE
eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan gangguan vaskuler
terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor lengan bawah atau
sisi lateral tanga.
4. Sistem Muskuloskeletal
Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada
pagi hari.
5. Sistem integumen
SLE akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang
pangkal hidung serta pipi. Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum
6. Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
7. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan SLEi papuler, eritematous
dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau
sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
8. Sistem Renal
Edema dan hematuria.
9. Sistem saraf
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korea ataupun
manifestasi SSP lainnya.

15
B. Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.


2. Keletihan berhubungan dengan peningkatan aktivitas penyakit, rasa nyeri, depresi.
3. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan fungsi barier kulit,
penumpukan kompleks imun.

C. Intervensi Keperawatan

1. Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.


Tujuan : perbaikan dalam tingkat kennyamanan
Intervensi :
a) Laksanakan sejumlah tindakan yang memberikan kenyamanan (kompres
panas /dingin, masase, perubahan posisi, istirahat; kasur busa, bantal penyangga,
bidai, teknik relaksasi, aktivitas yang mengalihkan perhatian)
b) Berikan preparat antiinflamasi, analgesik seperti yang dianjurkan.
c) Sesuaikan jadwal pengobatan untuk memenuhi kebutuhan pasien terhadap
penatalaksanaan nyeri.
d) Dorong pasien untuk mengutarakan perasaannya tentang rasa nyeri serta
sifat kronik penyakitnya.
e) Jelaskan patofisiologik nyeri dan membantu pasien untuk menyadari bahwa
rasa nyeri sering membawanya kepada metode terapi yang belum terbukti
manfaatnya.
f) Bantu dalam mengenali nyeri kehidupan seseorang yang membawa pasien
untuk memakai metode terapi yang belum terbukti manfaatnya.
g) Lakukan penilaian terhadap perubahan subjektif pada rasa nyeri.
2. Keletihan berhubungan dengan peningkatan aktivitas penyakit, rasa nyeri, depresi.
Tujuan : mengikutsertakan tindakan sebagai bagian dari aktivitas hidup sehari-
hari yang
diperlukan.Intervensi :

16
a) Beri penjelasan tentang keletihan :
- Hubungan antara aktivitas penyakit dan keletihan
- Menjelaskan tindakan untuk memberikan kenyamanan sementara
melaksanakannya
- Mengembangkan dan mempertahankan tindakan rutin unutk tidur
(mandi air hangat dan teknik relaksasi yang memudahkan tidur)
- Menjelaskan pentingnya istirahat untuk mengurangi stres sistemik,
artikuler dan emosional
- Menjelaskan cara mengggunakan teknik-teknik untuk menghemat
tenaga
b) Kenali faktor-faktor fisik dan emosional yang menyebabkan kelelahan.
c) Fasilitasi pengembangan jadwal aktivitas/istirahat yang tepat.
d) Dorong kepatuhan pasien terhadap program terapinya.
e) Rujuk dan dorong program kondisioning.
f) Dorong nutrisi adekuat termasuk sumber zat besi dari makanan dan
suplemen.
3. Gangguan citra tubuh berhubungqan dengan perubahan dan ketergantungan fisik serta
psikologis yang diakibatkan penyakit kronik.
Tujuan : mencapai rekonsiliasi antara konsep diri dan erubahan fisik serta
psikologik yang ditimbulkan penyakit
Intervensi :
a) Bantu pasien untuk mengenali unsur-unsur pengendalian gejala penyakit
dan penanganannya.
b) Dorong verbalisasi perasaan, persepsi dan rasa takut
c) Membantu menilai situasi sekarang dan menganli masahnya.
d) Membantu menganli mekanisme koping pada masa lalu.
e) Membantu mengenali mekanisme koping yang efektif.

17
D. Implementasi Keperawatan
Implementasi merupakan komponen dari proses keperawatan, dimana tindakan
yang diperlukan untuk mencapai tujuan dan hasil yang diperkirakan dari asuhan
keperawatan yang dilakukan dan diselesaikan. Implementasi mencakup : melakukan,
membantu dan mengarahkan kinerja aktivitas sehari – hari, memberikan arahan
keperawatan untuk mencapai tujuan yang berpusat pada klien dan mengevaluasi
kinerja anggota staf dan mencatat serta melakukan pertukaran informasi yang relevan
dengan perawat kesehatan berkelanjutan dari klien. Selain itu juga implementasi
bersifat berkesinambungan dan interaktif dengan komponen lain dari proses
keperawatan. Komponen implementasi dari proses keperawatan mempunyai lima
tahap yaitu : mengkaji ulang klien, menelaah dan memodifikasi rencana asuhan yang
sudah ada, mengidentifikasi area bantuan, mengimplementasikan intervensi
keperawatan dan mengkomunikasikan intervensi perawat menjalankan asuhan
keperawatan dengan menggunakan beberapa metode implementasi mencakup
supervise, konseling, dan evaluasi dari anggota tim perawat kesehatan lainnya.
Setelah implementasi, perawat menuliskan dalam catatan klien deskriptif singkat
dari pengkajian keperawatan. Prosedur spesifik dan respon dari klien terhadap asuhan
keperawatan. Dalam implementasi dari asuhan keperawatan mungkin membutuhkan
pengetahuan tambahan keterampilan keperawatan dan personal.

E. Evaluasi

Evaluasi merupakan proses keperawatan yang mengukur respon klien terhadap


tindakan keperawatan dan kemajuan klien kearah pencapaian tujuan. Perawat
mengevaluasi apakah prilaku atau respon klien mencerminkan suatu kemunduran atau
kemajuan dalam diagnosa keperawatan atau pemeliharaan status yang sehat. Selama
evaluasi perawatan memutuskan apakah langkah proses keperawatan sebelumnya telah
efektif dengan menelaah respon klien dan membandingkannya dengan prilaku yang
disebutkan dalam hasil yang diharapkan. Selama evaluasi perawat secara kontinyu
perawat mengarahkan kembali asuhan keperawatan kearah terbaik untuk memenuhi
kebutuhan klien.

18
Evaluasi positif terjadi ketika hasil yang dinginkan terpenuhi menemukan perawat
untuk menyimpulkan bahwa dosis medikasi dan intervensi keperawatan secara efektif
memenuhi tujuan klien untuk meningkatkan kenyamanan. Evaluasi negative atau tidak di
inginkan menandakan bahwa masalah tidak terpecahkan atau terdapat masalah potensial
yang belum diketahui. Perawat harus menyadari bahwa evaluasi itu dinamis dan berubah
terus tergantung pada diagnosa keperawatan dan kondisi klien. Hal yang lebih utama
evaluasi harus spesifik terhadap klien. Evaluasi yang akurat mengarah pada kesesuaian
revisi dan rencana asuhan yang tidak efektif dan penghentian terapi yang telah
menunjukan keberhasilan.

19
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Penyakit lupus merupakan salah satu penyakit berbahaya selain AIDS dan kanker.
Penyakit ini merupakan salah satu penyakit autoimun, dimana sistem imun terbentuk secara
berlebihan sehingga kelainan ini lebih dikenal dengan nama autoimunitas.
Penyebab penyakit ini belum diketahui secara pasti apa yang menyebabkannya tetapi
diduga yang menjadi penyebabnya adalah factor genetik, infeksi (kuman dan virus) sinar
ultraviolet, obat-obatan tertentu, dan lingkungan. Para ilmuwan menduga penyakit ini ada
kaitannya dengan hormon estrogen.
Manifestasi klinis penyakit ini sangat beragam tergantung organ yang terlibat dimana
dapat melibatkan banyak organ dalam tubuh manusia dengan perjalanan klinis yang kompleks,
sangat bervariasi, dapat ditandai oleh serangan akut, periode aktif, kompleks, atau remisi dan
seringkali pada keadaan awal tidak dikenali sebagai SLE.

20
DAFTAR PUSTAKA

Chang, Esther, dkk. 2009. Patofisiologi Aplikasi Praktik Keperawatan. Jakarta: EGC.

Engram, Barbara. 1998. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal-Bedah Volume 2. Jakarta: EGC.

Doenges, Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan

Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC

Smeltzer, Suzanne C. 2007. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddart edisi

8 volume 3. Jakarta : EGC

Editor : Prof. DR. Adhi Juanda. Anggota Editor : dr. Mochtar hamzah, DR. Siti Aisah. Ilmu

Penyakit Kulit dan Kelamin, Edisi Ketiga. Bagian Penyakit Kulit dan Kelamin FKUI. Jakarta,

1999.

21

Anda mungkin juga menyukai