Anda di halaman 1dari 15

LSE

Disusun Oleh:

1. KINTAN ALDHIA DENINTA


2. LESTARI SEPTIE RIZKI
3. RISMA FITRIANTI
4. RIA KRISDIANA
5. HUSNA DAYANTI
6. OKI SUSIRA
7. LELA MELANI
8. MAGFIRA FARIN MAULANI

DOSEN PENGAMPUH:
Nekka Juliani, S.Kep

POLTEKKES KEMENKES PANGKALPINANG


TAHUN AKADEMIK 2018/2019

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur tiada tara kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Pengasih karena telah
memberikan kemampuan dan waktu kepada kami untuk menyelesaikan penulisan makalah
tentang LSE ini. kami berharap makalah ini dapat dimanfaatkan untuk salah sumber belajar
bagi Mahasiswa. Apa yang disajikan dalam paper ini hanyalah merupakan garis besar materi
kuliah Untuk memperluas dan memperdalam wawasan dalam bidang ini diharapkan
mahasiswa membaca berbagai refensi yang relevan, terutama buku-buku dijadikan acuan
dalam penulisan paper ini kami menyadari bahwa banyak kelemahan yang terdapat pada
paper ini, baik yang menyangkut isi, pengungkapan, maupun sistematika penulisan. Untuk itu
saran serta kritik yang konstruktif senantiasa kami harapkan.

Pangkalpinang, 1 April 2019

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................ii

DAFTAR ISI............................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang...............................................................................1
B.Tujuan Masalah..............................................................................1
C.Manfaat Penulisan..........................................................................1

2
BAB II PEMBAHASAN

A.Pengertian LSE ..............................................................................2


B.Patofisiologi....................................................................................2
C.Manifestasi klinis............................................................................3
D.Pathway.…………..........................................................................8

BAB III PENUTUP

Kesimpulan..........................................................................................13
Saran………………………………………………………………....13

DAFTAR PUSTAKA

BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Penyakit Systemic Lupus Erithematosus (SLE) merupakan penyakit yang


menyebabkan peradangan atau inflamasi multisistem yang disebabkan banyak faktor
dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa
peningkatan sistem imun dan produksi auto antibody yang berlebihan. Lupus
hingga saat ini menyerang paling sedikit sekitar 5 juta orang di dunia. Di Amerika

3
hingga saat ini tercatat 1,5 juta orang menderita penyakit lupus. Penderita lupus
di Indonesia pada tahun 1998 tercatat 586 kasus, ternyata setelah tahun 2005 telah
mencapai 6.578 penderita. Penderita yang meninggal mencapai sekitar 100 orang.
Pada tahun 2008, tercatat 8.693 penderita lupus dan 43 orang meninggal.
Kemudian, sampai dengan April 2009, tercatat 8.891 penderita lupus dan 15
meninggal Peningkatan kasus lupus kini signifikan. terdapat banyak faktor
yang berpengaruh terhadap berkembangnya penyakit autoimun. Penyakit
autoimun merupakan penyakit yang timbul akibat patahnya toleransi kekebalan diri.
Lupus merupakan salah satu penyakit autoimun. Faktor-faktor yang bersifat
predisposisi dan ikut berkontribusi menimbulkan penyakit autoimun antara
lain, faktor genetik, infeksi, sifat autoantigen, obat-obatan, serta faktor umur.
faktor yang meningkatkan risiko penyakit lupus yakni jenis kelamin, wanita
usia produktif lebih berisiko terkena penyakit ini. Lupus paling umum
terdiagnosis pada mereka yang berusia diantara 15-40 tahun. Maka untuk
mempelajari lebih lanjut tentang penyakit lupus dengan ini kami menyelesaikan
makalah dengan judul LSE.

B. Rumusan masalah
1. Apa itu penyakit lupus ?
2. Bagaimana bisa terjadi penyakit lupus ?
C. Tujuan masalah
1. Untuk mengetahui penyakit lupus.
2. Untuk mengetahui Bagaimana bisa terjadi penyakit lupus.

BAB 2

PEMBAHASAN

A. Pengertian
Lupus Eritematosus Sistemik adalah suatu penyakit autoimun menahun yang
menimbulkan peradangan dan bisa menyerang berbagai organ tubuh, termasuk kulit,
persendian, dan organ dalam. Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit
autoimun yang terjadi karena produksi antibody terhadap komponen inti sel tubuh
sendiri yang berkaitan degan manifestasi klinik yang sangat luas pada pembuluh
darah dan jaringan ikat, bersifat episodic diselangi episode remisi. Lupus adalah suatu
penyakit autoimun yang kronik dan menyerang berbagai sistem dalam tubuh. Tanda

4
dan gejala dari penyakit ini bisa bermacam-macam, bersifat sementara dan sulit
didiagnosis.Lupus adalah penyakit radang multi sistem yang sebabnya belum
diketahui dengan perjalanan peyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik
remisi dan eksaserbasi, disertai oleh terdapatnya berbagai macam auto antibodi dalam
tubuh.

B. Patofisiologi
Patofiologi penyakit SLE dihipotesiskan sebagai berikut :
Adanya satu atau beberapa faktor pemicu yang tepat pada individu yang
mempunyai predisposisi genetik akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal
terhadap sel T CD4+, mengakibatkan hilangnya toleransi sel T terhadap self-antigen.
Sebagai akibatnya muncullah sel T autoreaktif yang akan menyebabkan induksi serta
ekspansi sel B, baik yang memproduksi autoantibodi maupun yang berupa sel
memori. wujud pemicu ini masih belum jelas. Sebagian dari yang diduga termasuk
didalamnya ialah hormon seks, sinar ultraviolet dan berbagai macam infeksi. Pada
SLE, autoantibodi yang terbentuk ditujukan terhadap antigen yang terutama terletak
pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein histon dan non histon.
Kebanyakan diantaranya dalam keadaan alamiah terdapat dalam bentuk agregat
protein dan atau kompleks protein RNA yang disebut partikel ribonukleoprotein
(RNA). Ciri khas autoantigen ini ialah bahwa mereka tidak tissue-spesific dan
merupakan komponen integral semua jenis sel. Antibodi ini secara bersama-sama
disebut ANA (anti-nuclear antibody). Dengan antigennya yang spesifik, ANA
membentuk kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi. Telah ditunjukkan bahwa
penanganan kompleks imun pada SLE terganggu. Dapat berupa gangguan klirens
kompleks imun besar yang larut, gangguan pemprosesan kompleks imun dalam hati,
dan penurun uptake kompleks imun pada limpa. Gangguan-gangguan ini
memungkinkan terbentuknya deposit kompleks imun di luar sistem fagosit
mononuklear. Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai maca organ dengan
akibat terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan
aktivasi komplemen yang menghasilkan substansi penyebab timbulnya reaksi radang.
Reaksi radang inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan atau gejala pada organ
atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit
dan sebagainya.Bagian yang penting dalam patofisiologi ini ialah terganggunya
mekanisme regulasi yang dalam keadaan normal mencegah autoimunitas patologis
pada individu yang resisten.
5
Epidemologi LSE :
Prevalensi Lupus diberbagai Negara sangat bervariasi antara 2.9/100.000
-400/100.000. dalam 30 tahun terakhir, LES telah menjadi salah satu penyakit
reumatik utama di dunia. LES lebih sering ditemukan pada ras tertentu seperti
bangsa Negro, Cina dan mungkin juga Filipina. Faktor ekonomi dan geografi
tidak mempengaruhi distribusi penyakit. LES dapat ditemukan pada semua usia,
namun paling banyak pada usia 15- 40 tahun (masa reproduksi). Frekuensi pada
wanita dibandingkan dengan pria yaitu berkisar (5,5-9) : 1. Pada LES yang
disebabkan obat, rasio ini lebih rendah, yaitu 3:2.

C. Manifestasi Klinis:
Manifestasi Konstitusional :
Kelelahan merupakan manifestasi umum yang di jumpai pada penderita LES
dan biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya..Kelelahan ini agak sulit
dinilai karena banyak kondisi lain yang dapat menyebabkan kelelahan seperti
anemia, meningkatnya beban kerja, konflik kejiwaan, serta pemakaian obat seperti
prednison. Apabila kelelahan disebabkan oleh aktifitas penyakit LES, diperlukan
pemeriksaan penunjang lain yaitu kadar C3 serum yang rendah. Kelelahan
akibat penyakit ini memberikan respons terhadap pemberian steroid atau
latihan.1Penurunan berat badan dijumpai pada sebagian penderita LES dan
terjadi dalam beberapa bulan sebelum diagnosis ditegakkan. Penurunan berat
badan ini dapat disebabkan oleh menurunnya nafsu makan atau diakibatkan
gejala gastrointestinal. Demam sebagai salah satu gejala konstitusional LES sulit
dibedakan dari sebab lain seperti infeksi karena suhu tubuh lebih dari 40°C
tanpa adanya bukti infeksi lain seperti leukositosis. Demam akibat LES biasanya
tidak disertai menggigil.

Manifestasi Kulit :
Kelainan kulit dapat berupa fotosensitifitas, diskoid LE (DLE), Subacute
Cutaneous Lupus Erythematosus (SCLE), lupus profundus atau paniculitis, alopecia.
Selain itu dapat pula berupa lesi vaskuler berupa eritema periungual, livedo
reticularis, telangiektasia, fenomena Raynaud’s atau vaskulitis atau bercak yang
menonjol bewarna putih perak dan dapat pula ditemukan bercak eritema pada
palatum mole dan durum, bercak atrofis, eritema atau depigmentasi pada bibir.

Manifestasi Muskuloskeletal :

6
Lebih dari 90% penderita LES mengalami keluhan muskuloskeletal.
Keluhan dapat berupa nyeri otot (mialgia), nyeri sendi (artralgia) atau merupakan
suatu artritis dimana tampak jelas bukti inflamasi sendi. Keluhan ini sering
dianggap sebagai manifestasi artritis reumatoid karena keterlibatan sendi yang
banyak dan simetris. Namun pada umumnya pada LES tidak meyebabkan
kelainan deformitas.Pada 50% kasus dapat ditemukan kaku pagi, tendinitis juga sering
terjadi dengan akibat subluksasi sendi tanpa erosi sendi. Gejala lain yang dapat
ditemukan berupa osteonekrosis yang didapatkan pada 5-10% kasus dan
biasanya berhubungan dengan terapi steroid. Miositis timbul pada penderita LES
lebih dari 5% kasus. Miopati juga dapat ditemukan, biasanya berhubungan
dengan terapi steroid dan kloroquin. Osteoporosis sering didapatkan dan
berhubungan dengan aktifitas penyakit dan penggunaan steroid.

Manifestasi Paru :
Manifestasi klinis pada paru dapat terjadi, diantaranya adalah pneumonitis, emboli
paru, hipertensi pulmonum, perdarahan paru, dan shrinking lung syndrome.
Pneumonitis lupus dapat terjadi akut atau berlanjut menjadi kronik. Biasanya
penderita akan merasa sesak, batuk kering, dan dijumpai ronki di basal. Keadaan ini
terjadi sebagai akibat deposisi kompleks imun pada alveolus atau pembuluh
darah paru, baik disertai vaskulitis atau tidak. Pneumonitis lupus ini
memberikan respons yang baik terhadap steroid. Hemoptisis merupakan keadaan
yang sering apabila merupakan bagian dari perdarahan paru akibat LES ini dan
memerlukan penanganan tidak hanya pemberian steroid namun juga tindakan
lasmafaresis atau pemberian sitostatika.

Manifestasi Kardiovaskular :
Kelainan kardiovaskular pada LES antara lain penyakit perikardial, dapat
berupa perikarditis ringan, efusi perikardial sampai penebalan perikardial.
Miokarditis dapat ditemukan pada 15% kasus, ditandai oleh takikardia, aritmia,
interval PR yang memanjang, kardiomegali sampai gagal jantung. Perikarditis harus
dicurigai apabila dijumpai adanya keluhan nyeri substernal, friction rub,
gambaran silhouette sign pada foto dada ataupun EKG,
Echokardiografi.Endokarditis Libman-Sachs, seringkali tidak terdiagnosis dalam
klinik, tapi data autopsi mendapatkan 50% LES disertai endokarditis Libman-
Sachs. Adanya vegetasi katup yang disertai demam harus dicurigai kemungkinan
endokarditis bakterialis. Wanita dengan LES memiliki risiko penyakit jantung
7
koroner 5-6% lebih tinggi dibandingkan wanita normal. Pada wanita yang berumur
35-44 tahun, risiko ini meningkat sampai 50%.

Manifestasi Ginjal :
Keterlibatan ginjal dijumpai pada 40-75% penderita yang sebagian besar
terjadi setelah 5 tahun menderita LES. Rasio wanita : pria dengan kelainan ini
adalah
10 : 1, dengan puncak insidensi antara usia 20-30 tahun. Gejala atau tanda
keterlibatan ginjal pada umumnya tidak tampak sebelum terjadi kegagalan ginjal
atau sindroma nefrotik.1Penilainan keterlibatan ginjal pada pasien LES harus
dilakukan dengan menilai ada atau tidaknya hipertensi, urinalisis untuk melihat
proteinuria dan silinderuria, ureum dan kreatinin, proteinuria kuantitatif, dan
klirens kreatinin. Secara histologik, WHO membagi nefritis lupus atas 5
kelas. Pasien SLE dengan hematuria mikroskopik atau proteinuria dengan
penurunan GFR harus dipertimbangkan untuk biopsi ginjal.
Manifestasi Gastrointestinal :
Manifestasi gastrointestinal tidak spesifik pada penderita LES, karena dapat
merupakan cerminan keterlibatan berbagai organ pada penyakit LES atau
sebagai akibat pengobatan. Disfagia merupakam keluhan yang biasanya menonjol
walaupun tidak didapatkan adanya kelainan pada esophagus tersebut kecuali
gangguan motilitas. Dispepsia dijumpai lebih kurang 50% penderita LES,
lebih banyak dijumpai pada mereka yang memakai glukokortikoid serta
didapatkan adanya ulkus. Nyeri abdominal dikatakan berkaitan dengan inflamasi
pada peritoneum. Selain itu dapat pula didapatkan vaskulitis, pankreatitis, dan
hepatomegali. Hepatomegali merupakan pembesaran organ yang banyak dijumpai
pada LES, disertai dengan peningkatan serum SGOT/SGPT ataupun fosfatase alkali
dan LDH.

Manifestasi Hemopoetik :
Terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang disertai dengan
anemia normositik normokrom yang terjadi akibat anemia akibat penyakit kronik,
penyakit ginjal kronik, gastritis erosif dengan perdarahandan anemia hemolitik
autoimun.12.1.4.9 Manifestasi Neuropsikiatrik Keterlibatan neuropsikiatrik akibat
LES sulit ditegakkan karena gambaran klinis yang begitu luas. Kelainan ini
dikelompokkan sebagai manifestasi neurologik dan psikiatrik. Diagnosis lebih
banyak didasarkan pada temuan klinis dengan menyingkirkan kemungkinan lain
seperti sepsis, uremia, dan hipertensi berat.Manifestasi neuropsikiatri LES sangat
8
bervariasi, dapat berupa migrain, neuropati perifer, sampai kejang dan psikosis.
Kelainan tromboembolik dengan antibodi anti-fosfolipid dapat merupakan
penyebab terbanyak kelainan serebrovaskular pada LES. Neuropati perifer,
terutama tipe sensorik ditemukan pada 10% kasus. Kelainan psikiatrik sering
ditemukan, mulai dari anxietas, depresi sampai psikosis. Kelainan psikiatrik juga
dapat dipicu oleh terapi steroid. Analisis cairan serebrospinal seringkali tidak
memberikan gambaran yang spesifik, kecuali untuk menyingkirkan kemungkinan
infeksi. Elektroensefalografi (EEG) juga tidak memberikan gambaran yang
spesifik. CT scan otak kadang-kadang diperlukan untuk membedakan adanya infark
atau perdarahan.

Pemeriksaan Penunjang :
Hemoglobin, lekosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED) Urin rutin dan
mikroskopik, protein kwantitatif 24 jam, dan bila diperlukan kreatinin urin )
Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, profil lipid )PT, aPTT pada sindroma anti
fos folipid) Serologi ANA, anti-ds DNA, komplemen (C3,C4) Foto polos thorax-
Pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis, tidak diperlukan untuk monitoring-Setiap 3-
6 bulan bila stabil Setiap 3-6 bulan pada pasien dengan penyakit ginjal aktif.Tes
imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis SLE adalah
tesANA generik. Tes ANA dikerjakan atau diperiksa hanya pada pasien dengan
tanda dan gejala mengarah pada LES. Pada penderita LES ditemukan tes ANA
yang positif sebesar 95-100%, akan tetapi hasil tes ANA dapat positif pada beberapa
penyakit lain yang mempunyai gambaran klinis menyerupai LES misalnya
infeksi kronis (tuberkulosis), penyakit autoimun (misalnya Mixed connective
tissue disease (MCTD), artritis reumatoid, tiroiditis autoimun), keganasan atau
pada orang normal. Jika hasil tes ANA negatif, pengulangan segera tes ANA tidak
diperlukan, tetapi perjalanan penyakit reumatik sistemik termasuk LES seringkali
dinamis dan berubah, mungkin diperlukan pengulangan tes ANA pada waktu yang
akan datang terutama jika di dapatkan gambaran klinis yang mencurigakan. Bila
tes ANA dengan menggunakan sel Hep-2 sebagai substrat, negatif, dengan gambaran
klinis tidak sesuai LES umumnya diagnosis LES dapat disingkirkan.Beberapa tes lain
yang perlu dikerjakan setelah tes ANA positif adalah tes antibodi terhadap antigen
nuklear spesifik, termasuk anti-dsDNA, Sm, nRNP, Ro(SSA), La (SSB),Scl-70
dan anti-Jo. Pemeriksaan ini dikenal sebagai profil ANA/ENA. Antibodi anti-
9
dsDNA merupakan tes spesifik untuk LES, jarang didapatkan pada penyakit lain
dan spesifitasnya hampir 100%. Titer anti-dsDNA yang tinggi hampir pasti
menunjukkan diagnosis SLE dibandingkan dengan titer yang rendah. Jika titernya
sangat rendah mungkin dapat terjadi pada pasien yang bukan LSE.

D. Pathway

10
Penyebab Lupus :

A. Faktor Genetik

Diduga terdapat hubungan antara pengaruh faktor genetik dan lupus karena seringkali
ditemukan adanya anggota keluarga penderita yang juga merupakan penderita lupus.

B. Hormon

Sembilan dari sepuluh penderita lupus adalah wanita. Wanita menghasilkan hormon estrogen
lebih banyak dibanding pria. Estrogen diketahui sebagai hormon yang memperkuat sistem
kekebalan tubuh (immunoenhancing), yang artinya wanita memiliki sistem kekebalan tubuh
yang lebih kuat dibanding dengan pria. Untuk alasan ini, wanita lebih mudah terserang
penyakit autoimun bila dibandingkan dengan pria. Perubahan hormon saat masa pubertas atau
kehamilan juga dapat memicu timbulnya lupus. Tingginya kadar estrogen saat hamil diduga
memicu lupus.

C. Lingkungan

Berbagai macam faktor lingkungan yang diduga dapat memicu timbulnya lupus antara lain
infeksi bakteri dan virus (salah satunya virus Epstein Barr), stres, paparan sinar matahari
(ultraviolet), merokok, serta beberapa zat kimia seperti merkuri dan silika.

D. Akibat Virus Epstein-barr (EBV)

virus Epstein-Barr (EBV) juga dianggap berkaitan dengan SLE. Tetapi yang menjadi masalah
adalah infeksi virus ini jarang menunjukkan gejala. Jika ada pun, gejalanya berupa penyakit
demam kelenjar.

E. Rokok

merokok dapat menyerang sistem kekebalan tubuh. Apabila tubuh memiliki gen-gen yang
menjadi penyebab penyakit lupus, maka merokok akan jadi pemicunya. Seperti yang telah

11
diketahui, dalam rokok terdapat banyak sekali senyawa-senyawa berbahaya yang dapat
meracuni tubuh. Racun masuk dalam tubuh saat menghisap rokok dan membuat tubuh
semakin lemah kekebalannya. Sirkulasi racun dalam tubuh akibat rokok ini membangkitkan
autoimun lupus, dan bila terjadi berulang kali maka akan bereaksi pada zat racun yang
dibawa oleh rokok. Merokok juga akan membuat penyakit lupus semakin parah karena
komplikasi. Yang paling sering terjadi adalah komplikasi pada jaringan sistem pernapasan,
yang menjadi lemah akibat lupus. Akibat merokok, penderita lupus bisa terserang pneumonia
dan bronchitis. Resiko ini juga bisa dialami oleh perokok pasif. Orang yang menderita lupus
dalam jangka panjang dapat terserang penyakit jantung. Dengan merokok (atau sering
menghirup asap rokok) maka resiko terserang penyakit jantung pun menjadi semakin besar.
Untuk menghindari hal ini terjadi, segera berhenti merokok agar resiko terserang penyakit
lupus jadi berkurang dan konsultasikan pada dokter untuk rekomendasi mendalam tentang
mencegah penyakit lupus.

F. Penggunaan Obat-obatan

Penyebab lain dari penyakit lupus adalah karena penggunaan beberapa jenis obat-obatan
seperti:

1. Antiaritma

Obat-obatan golongan ini dipakai untuk menangani gejala gangguan irama jantung (aritmia),
seperti takikardia (detak jantung cepat), brakikardia (detak jantung lambat), dan fibrilasi atrial
(detak jantung tidak normal). Obat antiaritmia yang tergolong berisiko tinggi memicu gejala
lupus adalah prokainamid. Namun, obat ini jarang ditemukan di Indonesia. Obat antiaritmia
yang lebih umum, seperti Quinidine tergolong berisiko sedang, sementara propafenon,
disopyramide, dan amiodaron memiliki risiko yang sangat rendah.

2. Anti Hipertensi

Sejumlah obat yang umum diresepkan untuk mengendalikan hipertensi seperti enalapril,
lisinopril, klonidin, atenolol, labetalol, pindolol, minoxidil, prazosin, metildopa, captopril,
asebutolol termasuk rendah risikonya. Minoxidil juga umum digunakan sebagai obat
penumbuh rambut. Namun begitu, hidralizin digolongkan sebagai obat antihipertensi yang
berisiko tinggi untuk menjadi penyebab lupus. Di Indonesia, hidralazin tersedia dalam bentuk
kombinasi dengan merek Ser-Ap-Es bentuk tablet dengan kandungan reserpin, hidralazin,
dan hidroklortiazid.

12
3. Anti Psikotik

Beberapa obat-obatan antipsikotik resep untuk menangani gejala psikosis dan gangguan
kejiwaan tertentu, seperti klorpromazin, klozapin, ferfenazin, fenelzin, chlorprothixene, dan
lithium karbonat dapat memicu gejala lupus. Namun, golongan antipsikotik tergolong
berisiko rendah.

4. Antibiotik

Antibiotik jenis isoniazid atau INH, minosiklin, asam nalidiksat, streptomycin,


sulfamethoxazole, dan quinine juga bisa menjadi penyebab lupus jika tidak dikonsumsi sesuai
aturan pakai. Namun risikonya termasuk rendah.

5. Anti Konvulsan

Obat-obatan resep untuk mengatasi kejang dan epilepsi, seperti karbamazepin, clobazam,
fenitoin, trimetadion, primidon, etosuksimid, dan asam valproat dapat memicu gejala lupus
selama pemakaian. Namu risikonya rendah.

6. Anti Peradangan

Obat-obatan antiradang seperti D-penisilamin, sulfasalazin, fenilbutazon, mesalam(z)in,


zafirlukast berisiko rendah memicu gejala lupus. Penisilamin adalah obat yang digunakan
untuk mengobati berbagai penyakit, termasuk penawar keracunan timbal, rematik, penyakit
Wilson, dan sistinuria.

7. Agen Biologis

Anti-TNF alfa, seperti infliksimab dan etanersept, dan interferon alfa biasa digunakan untuk
mengobati rematik berisiko rendah untuk memicu lupus.

8. Diuretik

Obat diuretik seperti klortalidon dan hidroklortiazid risikonya sangat rendah untuk
menyebabkan lupus.

9. Penurun Kolesterol

13
Obat penurun kolesterol jenis statin seperti lovastatin, simvastatin, dan atorvastatin tergolong
rendah risikonya untuk memicu gejala lupus.

10. Obat Lainnya

Aminoglutethimide, obat tetes mata timolol, tiklopidin, levadopa, deferipron berisiko rendah
menjadi penyebab lupus.

Gejala penyakit lupus :


1. Nyeri sendi.
2. Sendi bengkak.
3. Mulut atau hidung mengalami luka yang tak kunjung sembuh berhari-hari
hingga berbulan-bulan.
4. Di dalam urin terdapat darah atau bahkan protein (proteinuria)
5. Terdapat ruam-ruam di berbagai permukaan kulit.
6. Rambut rontok.
7. Demam.
8. Kejang-kejang.

14
BAB 3
PENUTUP

Kesimpulan
Kesimpulan kami adalah lupus merupakan penyakit yang disebabkan oleh 3 faktor utama
yakni faktor genetik, hormos, dan lingkungan. Lupus telah ada sejak abad ke-20 dan telah
memakan banyak sekali korban di dunia. Untuk mendiagnosa lupus sendiri terdapat
pemeriksaan awal dan pemeriksaan lanjutan yang lebih intensif.

Saran

Kami menyarankan agar para pembaca untuk lebih membaca buku ataupun sumber-sumber
lainnya mengenai penyakit ini untuk mendapat wawasan-wawasan yang lebih mengenai
penyakit lupus ini.

15

Anda mungkin juga menyukai