OLEH :
KELOMPOK 11
1. KHRIS WITDIATI (201601030)
4. M. REVIANSYAH (201601042)
KELAS 2A
AKADEMI KEPERAWATAN
PEMERINTAH KABUPATEN PONOROGO
JL.CiptomangunkusumoNo.82 A Ponorogo
Tahun Ajaran 2016/2017
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini
dengan judul “KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH PENYAKIT SLE (LUPUS)”.
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas kelompok mata kuliah Keperawatan
Medikal Bedah 1.
Dalam menyusun makalah ini kami banyak memperoleh bantuan serta bimbingan
dari berbagai pihak. Oleh karena itu, kami ingin menyampaikan ucapan terimakasih
kepada :
1. Dosen mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah 1 yakni Gandes Widya H S.Kep Ns
yang telah banyak meluangkan waktu guna memberikan bimbingan kepada kami dalam
penyusunan makalah ini.
2. Kedua orang tua kami yang senantiasa memberi dukungan baik secara moril maupun
materil selama proses pembuatan makalah ini.
3. Teman-teman mahasiswa kelas 2A kelompok 11 Program Studi DIII Keperawatan
Pemerintah Kabupaten Ponorogo angkatan 2016/2017 yang selalu memberikan
dukungan dan saran serta berbagi ilmu pengetahuan demi tersusunnya makalah ini.
Makalah ini bukanlah karya yang sempurna karena masih memiliki banyak
kekurangan, baik dalam hal isi maupun sistematika dan teknik penulisannya. Oleh karena
itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun guna sempurnanya
makalah ini. Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat, bagi penulis khususnya dan
bagi pembaca umumnya.
Penyusun
DAFTAR ISI
COVER .......................................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
1. Kesimpulan .....................................................................................................
2. Saran................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) merupakan penyakit autoimun kronis yang
paling sering ditemukan pada perempuan usia produktif yaitu usia 15 – 44 tahun.
Menurut The Lupus Foundation of America, diperkirakan sekitar 1,5 juta penduduk
Amerika menderita lupus dengan rasio perbandingan 9 : 1 antara perempuan dan laki-
laki pada setiap 100.000 penduduk.
Kepala Badan Litbang Kesehatan Kementrian Kesehatan RI, dr. Dr. Trihono, MSc
menyatakan bahwa di Indonesia, orang penderita lupus (ODAPUS) diperkirakan
berjumlah 1,5 juta orang dengan 100.000 ODAPUS baru ditemukan setiap tahunnya.
Berdasarkan data Yayasan Lupus Indonesia, jumlah ODAPUS di Indonesia meningkat
dari tahun 2004 sampai akhir tahun 2007 yaitu tercatat 8018 orang, sementara di RS.
Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 pasien lupus dari total pasien yang berobat ke
Poliklinik Reumatologi selama tahun 2010. Dari data Yayasan Lupus Indonesia,
ternyata di Sumatera Utara juga terdapat sebuah komunitas lupus yang bernama Cinta
Kupu yang didirikan oleh para penderita lupus yang ada di Sumatera Utara.
Bukti ilmiah menyatakan bahwa etiologi utama penyakit SLE belum diketahui.
Meskipun demikian, beberapa faktor seperti genetik, imunologi, hormonal serta
lingkungan diketahui dapat berperan dalam patofisiologi SLE. Pada respons kekebalan
tubuh normal, semua unsur sistem imun bekerja sama untuk memberikan respons
terhadap peradangan yang terjadi di dalam tubuh. Sistem imun berfungsi untuk
menjaga tubuh dari bakteri, virus dan benda asing lain, namun pada ODAPUS, sistem
imun berbalik menyerang jaringan tubuh yang sehat sehingga terjadi inflamasi pada
jaringan dan mengakibatkan kerusakan pada beberapa organ tubuh. Kondisi yang
demikian dapat menimbulkan berbagai macam gejala yang sangat mirip dengan gejala-
gejala yang ditimbulkan oleh penyakit lain, sehingga diagnosa SLE sangat sulit untuk
ditegakkan.
SLE dapat berdampak pada beberapa organ, seperti ginjal, muskuloskeletal, saraf,
kulit, kardiovaskular, termasuk rongga mulut. Manifestasi yang timbul pada beberapa
organ tersebut dapat terjadi secara rekuren dan dapat mengganggu kualitas hidup para
ODAPUS. Biesecker dkk (1982) melakukan penelitian untuk melihat manifestasi SLE
pada beberapa organ tubuh dan menemukan bahwa kelainan pada sendi adalah
manifestasi yang paling sering dijumpai pada pasien SLE. Selain itu depresi, anorexia
dan kelainan pada kulit juga dilaporkan dijumpai pada pasien SLE. Albilia dkk (2007)
melaporkan bahwa 30% dari pasien SLE mengalami komplikasi pada ginjal dan 40%
dapat mengalami lesi pada rongga mulut.
B. Rumusan masalah
Rumusan masalah merupakan suatu acuan berdasarkan pada latar belakang masalah
diatas sehingga penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Apakah Definisi Penyakit SLE
2. Bagaimana Etiologi Penyakit SLE
3. Bagaimana Patofisiologi Penyakit SLE
4. Bagaimana Manifestasi Penyakit SLE
5. Bagaimana Pemeriksaan Diagnostik Penyakit SLE
6. Bagaimana Penatalaksanaan Penyakit SLE
7. Bagaimana Pencegahan Penyakit SLE
8. Bagaimana Konsep Asuhan Keperawatan penyakit SLE
C. Tujuan makalah
1. Untuk mengetahui Definisi Penyakit SLE
2. Untuk mengetahui Etiologi penyakit SLE
3. Untuk mengetahui Patofisiologi penyakit SLE
4. Untuk mengetahui Manifestasi penyakit SLE
5. Untuk mengetahui Pemeriksaan Diagnostik penyakit SLE
6. Untuk mengetahui Penatalaksanaan penyakit SLE
7. Untuk mengetahui Pencegahan penyakit SLE
8. Untuk mengetahui Bagaimana Konsep Asuhan Keperawatan penyakit SLE
D. Manfaat makalah
1. Sebagai bahan pembelajaran dalam mata kuliah Keperawayan Medikal Bedah 1
2. Sebagai bahan referensi bagi mahasiswa dan pihak-pihak lain yang akan melakukan
penyusunan makalah dengan topic yang sama
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian SLE
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah suatu penyakit autoimun pada
jaringan ikat. Autoimun berarti bahwa sistem imun menyerang jaringan tubuh sendiri.
Pada SLE ini, sistem imun terutama menyerang inti sel (Matt, 2003). Menurut dokter
umum Rumah Sakit Pertamina Balikpapan (RSPB) dr Fajar Rudy Qimindra (2008) ,
Lupus atau SLE berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan. Istilah ini mulai
dikenal sejak abad ke-10. Sedang eritematosus berarti merah. Ini untuk
menggambarkan ruam merah pada kulit yang menyerupai gigitan anjing hutan di
sekitar hidung dan pipi. Sehingga dari sinilah istilah lupus tetap digunakan untuk
penyakit Systemic Lupus Erythematosus.
Gejala awalnya sering memberikan keluhan rasa nyeri di persendian. Tak hanya
itu, seluruh organ pun tubuh terasa sakit bahkan terjadi kelainan pada kulit, serta tak
jarang tubuh menjadi lelah berkepanjangan dan sensitif terhadap sinar matahari.
Batasan penyakit ini adalah penyakit autoimun, sistemik, kronik, yang ditandai
dengan berbagai macam antibodi tubuh yang membentuk komplek imun, sehingga
menimbulkan reaksi peradangan di seluruh tubuh. Autoimun maksudnya, tubuh
penderita lupus membentuk daya tahan tubuh (antibodi) tetapi salah arah, dengan
merusak organ tubuh sendiri, seperti ginjal, hati, sendi, sel darah dan lain-lain. Padahal
antibodi seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri atau virus yang masuk tubuh.
Sedangkan sistemik memiliki arti bahwa penyakit ini menyerang hampir seluruh organ
tubuh. Sementara kronis, maksudnya adalah sakit lupus ini bisa berkepanjangan,
kadang ada periode tenang lalu tiba-tiba kambuh lagi.
Penyakit lupus lebih banyak menyerang wanita usia 15-45 tahun dengan
perbandingan mengenai perempuan antara 10-15 kali lebih sering dari pria. Artinya,
penyakit ini sering mengenai wanita usia produktif tetapi jarang menyerang laki-laki
dan usia lanjut. Sebetulnya terdapat tiga jenis penyakit lupus, yaitu lupus diskoid, lupus
terinduksi obat dan lupus sistemik atau SLE ini.
B. Etiologi SLE
Etiologi utama SLE sampai saat ini belum diketahui, namun beberapa faktor
predisposisi dapat berperan dalam patogenesis terjadinya penyakit ini. Diantara
beberapa faktor predisposisi tersebut, sampai saat ini belum diketahui faktor yang
paling dominan berperan dalam timbulnya penyakit ini.15 Berikut ini beberapa faktor
predisposisi yang berperan dalam timbulnya penyakit SLE:
1. Faktor Genetik
Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga
timbul produk autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik untuk
menderita SLE telah ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak kembar.
Sekitar 2-5% anak kembar dizigot berisiko menderita SLE, sementara pada
kembar monozigot, risiko terjadinya SLE adalah 58%. Risiko terjadinya SLE
pada individu yang memiliki saudara dengan penyakit ini adalah 20 kali lebih
tinggi dibandingkan pada populasi umum.15,1 Studi mengenai genome telah
mengidentifikasi beberapa kelompok gen yangmemiliki korelasi dengan SLE.
MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas II khususnya HLA- DR2
(Human Leukosit Antigen-DR2), telah dikaitkan dengan timbulnya SLE.
Selain itu, kekurangan pada struktur komponen komplemen merupakan salah
satu faktor risiko tertinggi yang dapat menimbulkan SLE. Sebanyak 90%
orang dengan defisiensi C1q homozigot akan berisiko menderita SLE. Di
Kaukasia telah dilaporkan bahwa defisiensi varian S dari struktur komplemen
reseptor 1, akan berisiko lebih tinggi menderita SLE.
2. Faktor Imunologi
Pada LE terdapat beberapa kelainan pada unsur-unsur sistem imun, yaitu :
a. Antigen
Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen
Presenting Cell) akan memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada
penderita lupus, beberapa reseptor yang berada di permukaan sel T
mengalami perubahan pada struktur maupun fungsinya sehingga
pengalihan informasi normal tidak dapat dikenali. Hal ini menyebabkan
reseptor yang telah berubah di permukaan sel T akan salah mengenali
perintah dari sel T.16
b. Kelainan intrinsik sel T dan sel B
Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B
akan teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki
reseptor untuk autoantigen dan memberikan respon autoimun. Sel T dan
sel B juga akan sulit mengalami apoptosis sehingga menyebabkan
produksi imunoglobulin dan autoantibodi menjadi tidak normal.
c. Kelainan antibody
Ada beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE, seperti
substrat antibodi yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen dan
memicu limfosit T untuk memproduksi autoantibodi, sel T mempengaruhi
terjadinya peningkatan produksi autoantibodi, dan kompleks imun lebih
mudah mengendap di jaringan.
3. Faktor Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE. Beberapa studi
menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan tingkat estrogen
yang tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa metabolisme estrogen yang
abnormal dapat dipertimbangkan sebagai faktor resiko terjadinya SLE.
4. Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang bereaksi
dalam tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor lingkungan tersebut
terdiri dari:
a. Infeksi virus dan bakteri
Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam timbulnya
SLE. Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus (EBV),
bakteri Streptococcus dan Clebsiella.
b. Paparan sinar ultra violet
Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga
terapi menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau
bertambah berat. Hal ini menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan sitokin
dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut secara
sistemik melalui peredaran pembuluh darah.
c. Stres
Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang sudah memiliki
kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan respon imun tubuh
akan terganggu ketika seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak
akan mencetuskan SLE pada seseorang yang sistem autoantibodinya tidak
ada gangguan sejak awal.
d. Obat-obatan
Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat
menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE). Jenis obat
yang dapat menyebabkan DILE diantaranya kloropromazin, metildopa,
hidralasin, prokainamid, dan isoniazid.
C. Patofisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang
menyebabkan peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini
ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal ( sebagaimana
terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan
lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti
hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan
di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE
akibat senyawa kimia atau obat-obatan, pada SLE peningkatan produksi autoantibodi
diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supersor yang abnormal sehingga timbul
penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi
antigen yang selanjutnya serangan antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang
kembali.
E. Pemeriksaan Diagnostik
1. Ana Test
2. Anti ribosomal P
3. Anti Kardiopilin
4. Coombstest
5. Pemeriksaan Darah lengkap
6. Urinalisasi
F. Penatalaksanaan SLE
Sampai saat ini sle belum dapat disembuhkan dengan sempurna namun
pengobatan yang tepat dapat menekan gejala klinis dan komplikasi yang mungkin
terjadi . Terapi SLE sebaiknya dilakukan secara bersamaan dan berkesinambungan
agar tujuan terapi dapat tercapai. Berikut pilar terapi SLE :
1. Edukasi dan Konseling Informasi yang benar dan dukungan dari orang sekitar
sangat dibutuhkan oleh pasien SLE dengan tujuan agar para pasien dapat hidup
mandiri. Beberapa hal perlu diketahui oleh pasien SLE, antara lain perubahan fisik
yang akan dialami, perjalanan penyakit, cara mencegah dan mengurangi
kekambuhan seperti melindungi kulit dari paparan sinar matahari secara langsung,
memperhatikan jika terjadi infeksi, dan perlunya pengaturan diet agar tidak
kelebihan berat badan, displidemia atau terjadinya osteoporosis.
2. Program Rehabilitasi Secara garis besar pelaksanaan program rehabilitasi yang
dilakukan oleh pasien SLE, antara lain: istirahat yang cukup, sering melakukan
terapi fisik, terapi dengan modalitas, kemudian melakukan latihan ortotik, dan
lain-lain.
3. Terapi Medikasi Jenis obat-obatan yang digunakan untuk terapi SLE terdiri dari
NSAID ( Non Steroid Anti-Inflamation Drugs), antimalaria, steroid,
imunosupresan dan obat terapi lain sesuai manifestasi klinis yang dialami.
a. NSAID ( Non Steroid Anti-Inflamation Drugs)
NSAID dapat digunakan untuk mengendalikan gejala SLE pada tingkatan
yang ringan, seperti menurunkan inflamasi dan rasa sakit pada otot, sendi dan
jaringan lain.
Contoh obat : aspirin, ibuprofen, baproxen dan sulindac. Obat-obatan
tersebut dapat menimbulkan efek samping, yaitu pada saluran pencernaan
seperti mual, muntah, diare dan perdarahan lambung.
b. Kortikosteroid
Penggunaan dosis steroid yang tepat merupakan kunci utama dalam
pengendalian lupus. Dosis yang diberikan dapat terlalu rendah atau tinggi
sesuai tingkat keparahan penyakit untuk pengendalian penyakit. Penggunaan
kortikosteroid dapat dilakukan secara oral, injeksi pada sendi, dan intravena.
Contoh : Metilprednisolon. Kesalahan yang sering terjadi adalah pemberian
dosis yang tinggi, namun tidak disertai kontrol dan dalam waktu yang
lama.14,24 Beberapa efek samping dari mengonsumsi kortikosteroid terdiri
dari meningkatkan berat badan, penipisan kulit, osteoporosis, meningkatnya
resiko infeksi virus dan jamur, perdarahan gastrointestinal, memperberat
hipertensi dan moon face.
c. Antimalaria
Antimalaria yang dapat digunakan untuk terapi SLE terdiri dari
hydroxychloroquinon dan kloroquin. Hydroxychloroquinon lebih sering
digunakan dibanding kloroquin karena resiko efek samping pada mata lebih
rendah. Obat antimalaria efektif untuk SLE dengan gejala fatique, kulit, dan
sendi. Baik untuk mengurangi ruam tanpa meningkatkan penipisan pembuluh
darah. Toksisitas pada mata berhubungan dengan dosis harian dan kumulatif,
sehingga selama dosis tidak melebihi, resiko tersebut sangat kecil. Pasien
dianjurkan untuk memeriksakan ketajaman visual setiap enam bulan untuk
identifikasi dini kelainan mata selama pengobatan.
d. Immunosupresan
Obat Immunosupresan merupakan obat yang berfungsi untuk menekan
sistem imun tubuh. Ada beberapa jenis obat immunosupresan yang biasa
dikonsumsi pasien SLE seperti azathioprine (imuran), mycophenolate mofetil
(MMF), methotrexate, cyclosporine, cyclophosphamide, dan Rituximab.
G. Pencegahan SLE
1. Hindari sinar matahari berlebihan
2. Makan makanan yang sehat
3. Hindari infeksi, misalnya infeksi luka tatto
4. Bagi remaja perempuan sangat dianjurkan untuk tidak mengkonsumsi obat-obatan
yang mengandung hormon estrogen.
H. Asuhan Keperawatan Penyakit SLE
1. Pengkajian
a. Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan
pada gejala sekarang dan gejala yang pernah dialami seperti keluhan mudah
lelah, lemah, nyeri, kaku, demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut
terhadap gaya hidup serta citra diri pasien.
b. Kulit, Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.
c. Kardiovaskuler
Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura.
Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan
gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan
ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tanga.
d. Sistem Muskuloskeletal
Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku
pada pagi hari.
e. Sistem integumen
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang
melintang pangkal hidung serta pipi. Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi
atau palatum durum.
f. Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
g. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler,
eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan
ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
h. Sistem Renal
Edema dan hematuria.
i. Sistem saraf
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korea
ataupun manifestasi SSP lainnya.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah cara mengidentifikasi, memfokuskan, dan
mengatasi kebutuhan spesifik pasien serta respons terhadap masalah aktual dan
risiko tinggi. Label diagnosa keperawatan memberi format untuk
mengekspresikan bagian identifikasi masalah dari proses keperawatan.
a. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan proses penyakit
b. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
c. Nyeri kronik berhubungan dengan imflamasi / kerusakan jaringan.
3. Tujuan dan Kriteria Hasil
a. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan proses penyakit
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan pasien
dapat menunjukkan perilaku/teknik untuk meningkatkan penyembuhan,
mencegah komplikasi dengan criteria :
a. Menjaga kebersihan di daerah lesi
b. Memakai alat pelindung kulit yang dapat menyebabkan iritasi atau
infeksi berulang.
b. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan pasien
dapat :
a. mempertahankan berat badan antar 0,9-1,35 kg dari berat sebelum
sakit.
b. Menunjukkan nilai laboratorium dalam batas normal (Hb meningkat)
c. Melaporkan perbaikan tingkat energy
d. Melaporkan kebersihan mulut dan timbulnya nafsu makan
c. Nyeri kronik berhubungan dengan inflamasi/kerusakan jaringan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan pasien
dapat :
a. Mengungkapkan keluhan hilangnya/berkurangnya nyeri
b. Menunjukkan posisi/ekspresi wajah rileks
c. Dapat beristirahat dan mendapatkan pola tidur yang adekuat.
4. Intervensi dan Rasional
Intervensi keperawatan adalah preskripsi untuk perilaku spesifik yang
diharapkan dari pasien dan atau tindakan yang harus dilakukan oleh perawat.
tindakan atau intervensi keperawatan dipilih untuk membantu pasien dalam
mencapai hasil pasien yang diharapkan dan tujuan pemulangan. Intervensi
mempunyai maksud mengindividualkan perawatan dengan memenuhi kebutuhan
spesifik pasien serta harus menyertakan kekuatan – kekuatan pasien yang telah
diidentivikasi bila memungkinkan. Intervensi keperawatan harus spesifik dan
dinyatakan dengan jelas, dimulai dengan kata kerja aksi.
PENUTUP
1. Kesimpulan
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah suatu penyakit autoimun pada
jaringan ikat. Autoimun berarti bahwa sistem imun menyerang jaringan tubuh sendiri.
Pada SLE ini, sistem imun terutama menyerang inti sel (Matt, 2003). Menurut dokter
umum Rumah Sakit Pertamina Balikpapan (RSPB) dr Fajar Rudy Qimindra (2008) ,
Lupus atau SLE berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan. Istilah ini mulai
dikenal sejak abad ke-10. Sedang eritematosus berarti merah. Ini untuk
menggambarkan ruam merah pada kulit yang menyerupai gigitan anjing hutan di
sekitar hidung dan pipi. Sehingga dari sinilah istilah lupus tetap digunakan untuk
penyakit Systemic Lupus Erythematosus.
Etiologi utama SLE sampai saat ini belum diketahui, namun beberapa faktor
predisposisi dapat berperan dalam patogenesis terjadinya penyakit LSE yaitu Faktor
Genetik , Faktor Imunologi, Faktor Hormonal, Faktor Lingkungan.
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang
menyebabkan peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini
ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal ( sebagaimana
terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan
lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal).
Pada awal perjalanannya, penyakit LSE ditandai dengan gejala klinis yang tak
spesifik, antara lain lemah, kelelahan yang sangat, lesu berkepanjangan, panas,
demam, mual, nafsu makan menurun, dan berat badan turun. Gejala awal yang tidak
khas ini mirip dengan beberapa penyakit yang lain. Oleh karena gejala penyakit ini
sangat luas dan tidak khas pada awalnya, maka tidak sembarangan untuk mengatakan
seseorang terkena penyakit lupus. Akibat gejalanya mirip dengan gejala penyakit
lainnya, maka lupus dijuluki sebagai penyakit peniru.
Pemeriksaan Diagnostik penyakit SLE antara lain Ana Test, Anti ribosomal P,
Anti Kardiopilin, Coombstest, Pemeriksaan Darah lengkap, Urinalisasi.
Penatalaksanaan SLE antara lain Edukasi dan Konseling Informasi, Program
Rehabilitasi, Terapi Medikasi. Pencegahan SLE antara lain Hindari sinar matahari
berlebihan, Makan makanan yang sehat, Hindari infeksi, misalnya infeksi luka tatto,
Bagi remaja perempuan sangat dianjurkan untuk tidak mengkonsumsi obat-obatan
yang mengandung hormon estrogen.
2. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Review Terhadap Jurnal Systemic Lupus Erythematosus, Oleh Rahman dan Isenberg. 2008.
NEJM)
Rahman, Anisur and David A. Isenberg. 2008, Systemic Lupus Erythematosus. Mechanism
of Disease. The New England Journal of Medicine. Volume 358:929-939. February 28, 2008.
Downloaded from www.nejm.org by EVI ROVIATI on December 17, 2008