Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

SISTEMIK LUPUS ERITEMATOSUS (SLE)


Dosen Pengampu: Mulia Mayangsari, M.Kep., Ns., Sp.Kep.MB

Disusun Oleh:
Kelompok 5
1. WINDA ANNURIL JANNAH (19142010041)
2. PUTRI LIDYA PURWANTO (19142010028)
3. NUR AISYAH (19142010025)
4. RIZAL AMIN (19142010032)
5. AYU AINI (19142010009)
6. DICKY PUTRA S. A (19142010012)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
NGUDIA HUSADA MADURA
2021
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.....................................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN..........................................................................................ii
KATA PENGANTAR..................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................3
1.3 Tujuan...........................................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi SLE................................................................................................4
2.2 Etiologi SLE................................................................................................4
2.3 Klasifikasi SLE............................................................................................5
2.4 Manifestasi Klinis SLE...............................................................................6
2.5 Diagnosa SLE..............................................................................................8
2.6 Pemerikasaan Penunjang.............................................................................9
2.7 Penatalaksanaan...........................................................................................11
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan...................................................................................................15
3.2 Saran.............................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................16

i
LAPORAN PENGESAHAN

Laporan ini sudah di sahkan pada :


Hari/tanggal :
Pukul :
Tempat :

Bangkalan, 08 Maret 2021

Mengetahui,

Dosen pemimbing Mahasiswa S1 Keperawatan

(Mulia Mayangsari, M.Kep., Ns., Sp.Kep.MB) Kelompok 5

ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kita ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-nya
yang memberi kesempatan kepada penyusun sehingga makalah ini dapat tersusun dengan baik
sesuai dengan yang direncakan.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat mengetahui lebih dalam tentang sistemik lupus
eritematosus (sle). Makalah ini masih memiliki banyak kekurangan dari segimanapun, oleh
sebab itu penyusun mengucapkan mohon maaf. Terima kasih yang sebesar-besarnya atas bantuan
teman-teman yang memberi sumber materi, penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada
dosen-dosen pengajar yang telah banyak memberi kesempatan dalam makalah ini.

Demikianlah penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua yang ikut berpartisipasi
dalam penyusunan makalah ini, semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.

Bangkalan, 08 Maret 2021

Penyusun

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah penyakit autoimun yang
ditandai dengan produksi antibody atas komponen inti sel tubuh sendiri yang
berkaitan dengan manifestasi klinik yang sangat luas. SLE merupakan
penyakit sistemikpada satu atau beberapa organ tubuh, ditandai inflamasi luas
pada pembuluh darah dan jaringan ikat, bersifat episodik diselangi episode
remisi. SLE yang dikenal sebagai penyakit “seribu wajah”yaitu memiliki
sebaran gambaran klinis yang luas dan tampilan perjalanan penyakit yang
beragam. Hal ini menyebabkan sering terjadi kekeliruan dalam mengenali
penyakit Lupus, sampai dengan menyebabkan keterlambatan dalam diagnosis
dan penatalaksanaan medis.(Prof. Ariyanto, 2013).
Resiko terkena SLE lebih besar pada perempuan dibandingkan laki-laki
disebabkan karena faktor genetikdan juga pengaruh hormonal. Wanita usia
produktif (15–44 tahun) menghasilkan hormon estrogen lebih banyak
dibanding pria. Estrogen diketahui sebagai hormon yang memperkuat sistem
kekebalan tubuh (immunoenhancing), yang artinya wanita memiliki sistem
kekebalan tubuh yang lebih kuat dibanding dengan pria. Untuk alasan ini,
wanita lebih mudah terserang penyakit autoimun bila dibandingkan dengan
pria.
Penelitian mengenai Lupus di Amerika tahun 2013 didapatkan bahwa
Lupus ditemukan pada perempuankulit berwarna (Afrika Amerika,
Hispanik/Latin, Asia penduduk asli Amerika, Alaska, Hawaii dan kepulauan
Pasifik lainnyasebanyak 2 sampai tiga kali lebih banyak dibandingkan
perempuan ras kaukasoid (Pusdatin, 2017). Timbulnya penyakit ini karena
adanya faktor kepekaan dan faktor pencetus lain yaitu adanya infeksi,
pemakaian obat-obatan, terkena paparan sinar matahari, pemakaian pil KB,
dan stress.
Di Indonesia sendiri jumlah penderita LES secara tepat belum diketahui
tetapi diperkirakan sama atau bahkan lebih besar daripada jumlah penderita

1
LESdi Amerika yaitu 1.500.000 orang(Yayasan LES Indonesia, 2012),
sedangkan berdasardata dari riset kesehatan dasar tahun 2013 (RISKESDAS)
Kementrian Kesehatan Indonesia prevalensi LES dari populasi penduduk
belum didapatkan data. Data YLI menunjukkan bahwa jumlah penderita
penyakit LES di Indonesia meningkat dari 12.700 jiwa pada 2012 menjadi
13.300 jiwa per April 2013. Setiap tahun ditemukan lebih dari 100.000
penderita baru. Belum terdapat data epidemiologi LES yang mencakup semua
wilayah Indonesia.

Studi juga menunjukkan bahwa orang yang terdiagnosis penyakit


kronis sebagaimana halnya dengan LES memiliki tingkat gangguan
emosional yang lebih tinggidaripada orang yang sehat (Bachen, Chesney, &
Criswell, 2009). Pasien LES memiliki cara pandang terhadap dampak dari
penyakit mereka pada fisik mereka, emosional, fungsi sosial, dan kualitas
kesehatan yang berhubungan dengan kualitas hidup secara keseluruhan yang
memandang dirinya lebih rendah pada pasien dengan LES dibandingkan
dengan populasi umum (Barnado et al., 2012). Sebagian besar pasien LES
melaporkan bahwa mereka dihadapkan dengan tantangan masalah emosional
dan gejala psikologis seperti emosinegatif termasuk gangguan depresi,
kecemasan, dan gangguan mood (Beckerman & Auerbach, 2012). Salah satu
hal penting yang menyebabkan timbulnya gangguan kecemasan dan depresi
adalah SLE pada sebagian orang dapat memasuki masa dimana gejalanya
tidak aktif (remisi) dan pada saat lainnya penyakit ini dapat menjadi aktif
(flare) yang unpredictable.
Berbagai problema emosional pada pasien LES perlu strategi
pengembangan dukungan terhadap pasien (Sudiyanto, 2012). Strategi
pengembangan dukungan ini penting untuk memberikan dukungan
psikososial kepada pasien LES oleh keluarga mereka karena merawat pasien
dengan penyakit kronis seperti LES merupakan masalah yang kompleks yang
sering dipengaruhi oleh faktor psikosomatik dan biofisik (Deter, 2012), selain
itu juga agar pasien memiliki perasaan otonomi dalam kehidupan dengan
kemampuan mengelola penyakit (Ben, 2011). Tujuannya adalah untuk

2
menguatkan daya tahan mental, dan meningkatkan adaptasi lingkungan
sehingga pasien dapat beradaptasi dengan baik terhadap suatu masalah yang
dihadapi dan untuk mendapatkan suatu kenyamanan hidup terhadap gangguan
psikisnya (Sudiyanto, 2012).
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud SLE itu ?
2. Apa etiologi dari SLE ?
3. Apa saja klasifikasi dari SLE ?
4. Apa manifestasi dari SLE ?
5. Apa saja diagnosis yang muncul pada SLE ?
6. Apa saja pemeriksaan penunjang untuk SLE ?
7. Apa saja penatalaksanaan pada SLE ?
1.3 Tujuan
Untuk mengetahui konsep pada SLE dan dapat memahaminya.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit reumatik autoimun
yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap
organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi
auto antibodi dan kompleks imun sehingga mengakibatkan kerusakan
jaringan (Isbagio dkk, 2009).

LES adalah suatu penyakit multisystem yang berkaitan dengan sejumlah


kelainan imunologik, termasuk pembentukan auto antibodi, hipergama
globulinemia, kelainan sel T penekan, penurunan kadar komplemen serum,
dan peningkatan kadar kompleks imun dalam darah (Harrison, 2012).

Lupus adalah penyakit sistemik yang menampilkan spektrum yang luas


dari manifestasi klinis dan imunologi. Penyakit ini disebabkan oleh satu set
komplek sinteraksi antaragen, hormondan lingkungan, yang mengakibatkan
kelainan utama dari system kekebalan tubuh (KoromaA, 2012).

LES adalah penyakit sistemik yang menyerang system jaringan ikat dan
vascular dengan karakteristik adanya antinuclear antibody (Siregar, 2013).

2.2 Etiologi
Penyebab dari ;upus tidak diketahui, tetapi diduga melibatkan factor
lingkungan dan keturunan. Dalam keadaan normal, sistem kekebalan
berfungsi mengendalikan pertahanan tubuh dalam melawan infeksi.

Pada lupus dan penyakit autoimun lainnya, sistem pertahanan tubuh ini
berbalik melawan tubuh, dimana antibody yang dihasilkan menyerang sel
tubuhnya sendiri. Antibody ini menyerang sel darah, organ dan jaringan
tubuh, sehingga terjadi penyakit manahun. Mekanisme maupun penyebab dari
penyakit autoimun ini belum sepenuhnya dimengerti.

4
Beberapa factor lingkungan yang dapat memicu timbulnya lupus :

1. Infeksi
2. Antibiotik (terutama golongan sulfa dan penisilin)
3. Sinar ultraviolet
4. Stres yang berlebihan
5. Obat-obatan tertentu
6. Hormon

Meskipun lupus diketahui merupakan penyakit keturunan, tetapi gen


penyebabnya tidak diketahui. Penemuan terakhir menyebutkan tentang gen
dari kromosom 1. Hanya 10% dari penderita yang memiliki kerabat (orang
tua ataupun saudara kandung) yang telah maupun akan menderita lupus.
Statistic menunjukkan bahwa hanya sekitar 5% anak dari penderita lupus
yang akan menderita penyakit ini.

Lupus seringkali disebut sebagai penyakit wanita walaupun juga bisa


diderita pria. Lupus bisa menyerang usia berapapun, baik pada pria maupun
wanita, meskipun 10-15 kali lebih sering ditemukan pada wanita.

Faktor hormonal mungkin bisa menjelaskan mengapa lupus lebih sering


menyerang wanita. Meningkatnya gejala penyakit ini pada masa sebelum
menstruasi dan/atau selama kehamilan mendukung keyakinan bahwa
hormone (terutama estrogen) mungkin berperan dalam timbulnya penyakit
ini. Meskipun demikian, penyebab yang pasti dari lebih tingginya angka
kejadian pada wanita dan pada masa pra-menstruasi, masih belum diketahui.

Kadang-kadang obat jantung tertentu (hidralazin, prokainamid dan beta-


bloker) dapat menyebabkan sindroma mirip lupus, yang akan menghilang bila
pemakaian obat dihentikan.

2.3 Klasifikasi
Klasifikasi lupus eritematosus menurut Myers SA and Mary HE, (2001)
lupus eritematosus dibagi kedalam 4 bagian besar, yaitu: pertama Chronic
Cutaneous Lupus Erythematosus (CCLE) Dibagi lagi ke dalam 2 subtipe

5
Discoid Lupus Erythematosus (DLE) dibagi kembali dalam tiga subtipe yang
jarang terjadi, palmar-palmar lupus erythematosus, oral discoid lupus
erythematosus dan lupus erythematosus panniculitis dan subtype kedua dari
CCLE adalah Hypertrophic Lupus Erythematosus (HLE). Kedua Subacute
Cutaneous Lupus Erythematosus (SCLE) memiliki subtipe yang jarang terjadi
yaitu: Neonatal lupus Erythematosus (NLE). Ketiga Systemic Lupus
Erythematosus (SLE) dan yang terakhir Drug-Induced Lupus
Erythematosus(DILE). Sedangkan Menurut European Assosiation of Oral
Medicine, (2005) lupus eritematosus diklasifikasikan menjadi 9 jenis :Discoid
Lupus Erythematosus (DLE), Systemic Lupus Erythematosus(SLE), Bullous
form, Neonatal form (NLE), Acute Cutaneous form (ACLE), Subacute
Cutaneous form (SCLE), Chronic Cutaneous form (CCLE), Childhood onset
(CSLE) dan Drug Induced (DILE).
2.4 Manifestasi Klinis
Jumlah dan jenis antibody pada lupus, lebih besar dibanndingkan dengan
pada penyakit lain, dan antibody ini (bersama dengan faktor lainnya yang
tidak diketahui) menentukan gejala mana yang akan berkembang. Karena itu,
gejala dan beratnya penyakit, bervariasi pada setiap penderita.
Perjalanan penyakit ini bervariasi, mulai dari penyakit yang ringan
sampai penyakit yang berat. Gejala pada setiap penderita berlainan, serta
ditandai oleh masa bebas gejala (remisi) dan masa kekambuhan (eksaserbasi).
Pada awal penyakit, lupus hanya menyerang satu organ, tetapi di kemudian
hari akan melibatkan organ lainnya.
a. Otot dan kerangka tubuh
Hampir semua penderita lupus mengalami nyeri persendian dan
kebanyakan menderita artritis. Persendian yang sering terkena adalah
pensendian jari tangan dan lutut.
Kematian jaringan pada tulang panggul dan bahu sering merupakan
penyebab dari nyeri di daerah tersebut.
b. Kulit

6
Pada 50% penderita ditemukan ruam kupu-kupu pada tulang pipi dan
pangkal hidung. Ruam ini biasanya akan semakin memburuk jika
terkena sinar matahari. Ruam yang lebih tersebar bisa timbul
dibagian tubuh lain yang terpapar oleh sinar matahari.
c. Ginjal
Sebagian besar penderita menunjukkan adanya penimbunan protein
di dalam sel-sel ginjal, tetapi hanya 50% yang menderita nefritis
lupus peradangan ginjal yang menetap). Pada akhirnya bisa terjadi
gagal ginjal sehingga penderita perlu menjalani dialisa atau
pencangkokkan ginjal.
d. Sistem Saraf
Kelainan saraf ditemukan pada 25% penderita lupus. Yang paling
sering ditemukan adalah disfungsi mental yang sifatnya ringan, tetapi
kelainan bisa terjadi pada bagian manapun dari otak, korda spinalis
maupun sistem saraf. Kejang, psikosa, sindroma otak organik dan
sakit kepala merupakan beberapa kelainan sistem saraf yang bisa
terjadi.
e. Darah
Kelainan darah bisa ditemukan pada 85% penderita lupus, bisa
terbentuk bekuan darah di dalam vena maupun arteri, yang bisa
menyebabkan stroke dan emboli paru.
Jumlah trombosit berkurang dan tubuh membentuk antibody yang
melawan faktor pembekuan darah, yang bisa menyebabkan
perdarahan yang berarti. Seringkali terjadi anemia akibat penyakit
menahun.
f. Jantung
Peradangan berbagai bagian jantung bisa terjadi, seperti pericarditis,
endocarditis maupun miokarditis. Nyeri dada dan aritmia bisa terjadi
sebagai akibat dari keadaan tersebut.

g. Paru-paru

7
Pada lupus bisa terjadi pleuritis (peradangan selaput paru) dan efusi
pleura (penimbunan cairan antara paru dan pembungkusnya). Akibat
dari keadaan tersebut sering timbul nyeri dada dan sesak nafas.
Gejala dari penyakit Lupus:
a. Demam
b. Lelah
c. Merasa tidak enak badan
d. Penurunan berat badan
e. Ruam kulit
f. Ruam kupu-kupu
g. Ruam kulit yang diperburuk oleh sinar matahari
h. Sensitive terhadap sinar matahari
i. Pembengkakan dan nyeri persendian
j. Pembengkakan kelenjar
k. Nyeri otot
l. Mual dan muntah
m. Nyeri dada pleuritik
n. Kejang
o. Psikosa.
Gejala lainnya yang mungkin ditemukan:
a. Hematuria (air kemih mengandung darah)
b. batuk darah
c. mimisan
d. gangguan menelan
e. bercak kulit
f. bintik merah di kulit
g. perubahan warna jari tangan bila ditekan
h. mati rasa dan kesemutan
i. luka di mulut
j. kerontokan rambut
k. nyeri perut

8
l. gangguan penglihatan.
2.5 Diagnosa
Diagnosis lupus ditegakkan berdasarkan ditemukannya 4 dari 11 gejala
lupus yang khas, yaitu:
1. Ruam kupu-kupu pada wajah (pipi dan pangkal hidung).
2. Ruam pada kulit.
3. Luka pada mulut ( biasanya tidak menimbulkan nyeri).
4. Cairan di sekitar paru-paru, jantung, dan organ lainnya.
5. Artritis (artritis non-erosif yang melibatkan2 atau beberapa sendi
perifer,dimana tulang di sekitar persendian tidak mengalami
kerusakan).
6. Kelainan fungsi ginjal
- Kadar protein dalam air kemih >0,5 mg/hari atau +++
- Adanya elemen abnormal dalam air kemih yang berasal dari sel
darah merah/putih maupun sel tubulus ginjal.
7. Fotosensitivitas ( peka terhadap sinar matahari, menyebabkan
pembentukan atau semakin memburuknya ruam kulit).
8. Kelainan fungsi saraf atau otak ( kejang atau psikosa).
9. Hasil pemeriksaan darah positif untuk antibody anti nuclear.
10. Kelainan imunologis ( hasil positif pada tes anti-DNA rantai ganda,
tes anti-Sm, tes antibody antifosfolipid; hasil positif palsu untuk tes
sifilis).
11. Kelainan darah
- Anemia hemolitik atau
- Leukopenia ( jumlah leukosit <4000).
2.6 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang minimal yang diperlukan untuk diagnosis dan
monitoring yang direkomendasikan oleh,Perhimpunan Reumatologi
Indonesia (2011):
a. Hemoglobin,lekosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED) khusus
pemeriksaan LED dlakukan setiap 3-6 bulan bila stabil.

9
b. Urin rutin dan mikroskopik, protein kwantitatif 24 jam, dan
biladiperlukan kreatinin urin.
c. Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, profil lipid) dilakukan
setiap 3-6 bulan sekali bila stabil.
d. PT, APTT pada sindroma antifosfolipid.
e. Serologi ANA(pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis, tidak
diperlukan untuk monitoring), anti-dsDNA(Setiap 3-6 bulan pada
pasien dengan penyakit ginjal aktif), komplemen †(C3,C4).
f. Fotopolos thorax
ANA, antibodi antinuklear; PT/PTT, protrombin time/partial tromboplastin
time Pemeriksaan tambahan lainnya tergantung dari manifestasi SLE. Waktu
pemeriksaan untuk monitoring dilakukan tergantung kondisi klinis pasien.
Pemeriksaan Serologi pada Lupus Eritematosus Sistemik (LES) meliputi
tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis LES
adalah tes ANA generic (ANA IF dengan Hep 2 Cell). Tes ANA
dikerjakan/diperiksa hanya pada pasien dengan tanda dan gejala mengarah
pada LES (Kasjmir, 2015) pada penderita LES ditemukan tes ANA yang
positif sebesar 95-100%, akan tetapi hasil tes ANA dapat positif pada
beberapa penyakit lain yang mempunyai gambaran klinis menyerupai LES
misalnya infeksi kronis (tuberkulosis), penyakit autoimun (misalnya Mixed
connective tissue disease (MCTD), artritis rematoid, tiroiditis autoimun),
keganasan atau pada orang normal (Kavanaugh dkk, 2000).
Jika hasil tes ANA negatif, pengulangan segera tes ANA tidak
diperlukan, tetapi perjalanan penyakit reumatik sistemik termasuk LES
seringkali dinamis dan berubah, mungkin diperlukan pengulangan tes ANA
pada waktu yang akan datang terutama jika didapatkan gambaran klinis yang
mencurigakan. Beberapa tes lain yang perlu dikerjakan setelah tes ANA
positif adalah tes antibody terhadap antigen nuklear spesifik, termasuk anti-ds
DNA, Sm, nRNP, Ro(SSA), La (SSB), Scl-70 dan anti-Jo. Pemeriksaan ini
dikenal sebagai profil ANA/ENA. Antibodi anti-ds DNA merupakan tes
spesifik untuk LES, jarang didapatkan pada penyakit lain dan spesifitasnya

10
hampir 100%. Titer anti-ds DNA yang tinggi hampir pasti menunjukkan
diagnosis SLE dibandingkan dengan titer yang rendah. Jika titernya sangat
rendah mungkin dapat terjadi pada pasien yang bukan LES (Kavanaugh dkk,
2000 dan Wachjudi, 2006)
Kesimpulannya, pada kondisi klinik adanya anti-dsDNA positif
menunjang diagnosis SLE sementara bila anti ds-DNA negatif tidak
menyingkirkan adanya SLE. Meskipun anti-Sm didapatkan pada 15% -30%
pasien LES, tes ini jarang dijumpai pada penyakit lain atau orang normal. Tes
anti-Sm relatif spesifik untuk LES, dan dapat digunakan untuk diagnosis
LES. Titer anti-Sm yang tinggi lebih spesifik untuk LES. Seperti anti-
dsDNA, anti-Sm yang negatif tidak menyingkirkan diagnosis (Kavanaugh
dkk, 2000 dan Kasjmir, 2015)
Perhimpunan Reumatologi Indonesia (2011) juga menyatakan bahwa test
ANA merupakan test yang sensitif, namun tidak spesifik untuk LES. Test
ANA dikerjakan hanya jika terdapat kecurigaan terhadap LES. Test Anti
dsDNA positif menunjang diagnosis LES, namun jika negatif tidak
menyingkirkan diagnosis LES.
2.7 Penatalaksanaan
Menurut Perhimpunan Reumatologi Indonesia (2011) baik untuk LES
ringan, sedang ataupun berat, diperlukan gabungan strategi pengobatan atau
disebut pilar pengobatan. Pilar pengobatan LES ini seharusnya dilakukan
secara bersamaan dan berkesinambungan agar tujuan pengobatan tercapai.
Tiga faktor penting pilar pengobatan lupus eritematosus sistemik tersebut
adalah edukasi dan konseling, program rehabilitasi dan pengobatan
medikamentosa, seperti yang sudah dijelaskan dibawah ini:

a. Edukasi/konseling Pada dasarnya pasien LES memerlukan informasi


yang benar dan dukungan dari sekitarnya dengan maksud agar dapat
hidup mandiri. Perlu dijelaskan akan perjalanan penyakit dan
kompleksitasnya. Pasien memerlukan pengetahuan akan masalah
aktivitas fisik, mengurangi atau mencegah kekambuhan antara lain
melindungi kulit dari paparan sinar matahari (ultra violet) dengan

11
memakai tabir surya, payung atau topi; melakukan latihan secara
teratur (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011). Pasien harus
memperhatikan bila mengalami infeksi, karena infeksi sering terjadi
pada penderita SLE, maka penderita harus selalu diingatkan bila
mengalami demam yang tidak jelas penyebabnya, terutama pada
penderita yang memperoleh kortikosteroid dosis tinggi, obat-obatan
sitotoksik, penderita dengan gagal ginjal, vegetasi katup jantung,
ulkus di kulit dan mukosa (Kasjmir, 2015 dan Wallace, 2007) Perlu
pengaturan diet agar tidak terjadi kelebihan berat badan, osteoporosis
atau terjadi dislipidemia. Diperlukan informasi akan pengawasan
berbagai fungsi organ, baik berkaitan dengan aktivitas penyakit
ataupun akibat pemakaian obat-obatan (Perhimpunan Reumatologi
Indonesia, 2011). Profilaksis antibiotika juga diperlukan dan harus
dipertimbangkan pada penderita SLE yang akan menjalani prosedur
genitourinarius, cabut gigi dan prosedur invasive lainnya. Pengaturan
kehamilan sangat penting pada penderita SLE terutama penderita yang
mendapat obat-obatan kontraindikasi untuk kehamilan seperti anti-
malaria atau siklofosfamid.(Isbagio 2009). Terkait dengan pendekatan
biopsikososial dalam penatalaksanaan SLE, maka setiap pasien SLE
perlu dianalisis adanya masalah neuro-psikologik maupun sosial.
Berdasarkan data penelitian yang dilakukan di RSCM (2010)
ditemukan adanya gangguan fungsi kognitif sebesar 86,49%. Adanya
stigma pada keluarga pasien masih memerlukan pembuktian lebih
lanjut. Namun adanya gangguan • fisik dan kognitif pada pasien SLE
dapat memberikan dampak buruk bagi pasien didalam lingkungan
sosialnya baik ditempat kerja atau dirumah (Perhimpunan
Reumatologi Indonesia, 2011). Seperti yang diungkapkan oleh
Friedman (2010) salah satu fungsi pokok keluarga adalah fungsi
sosialisasi dan fungsi penempatan sosial dimana terjadi proses
perkembangan dan perubahan individu keluarga, tempat anggota
keluarga berinteraksi sosial dan belajar berperan di lingkungan. Secara

12
lebih spesifik keberadaan dukungan social yang adekuat terbukti
menurunkan angka mortalitas, memotivasi untuk sembuh dari sakit,
mencegah penurunan fungsi kognitif, fisik dan kesehatan emosi
(Hernilawati, 2013) Edukasi pada keluarga diarahkan untuk
memangkas dampak stigma psikologik akibat adanya keluarga dengan
SLE, memberikan informasi perlunya dukungan keluarga yang tidak
berlebihan. Hal ini dimaksudkan agar pasien dengan SLE dapat
dimengerti oleh pihak keluarganya dan mampu mandiri dalam
kehidupan kesehariannya (Perhimpunan Reumatologi Indonesia,
2011).
b. Terapi rehabilitasiSalah satu hal penting adalah pemahaman akan
turunnya masa otot hingga 30% apabila pasien dengan LES dibiarkan
dalam kondisi immobilitas selama lebih dari 2 minggu. Disamping itu
penurunan kekuatan otot akan terjadi sekitar 1-5% per hari dalam
kondisi imobilitas. Berbagai latihan diperlukan untuk
mempertahankan kestabilan sendi. Modalitas • fisik seperti pemberian
panas atau dingin diperlukan untuk mengurangi rasa nyeri,
menghilangkan kekakuan atau spasme otot. Demikian pula modalitas
lainnya seperti Transcutaneous Electrical NerveStimulation (TENS)
memberikan manfaat yang cukup besar pada pasien dengan nyeri atau
kekakuan otot. Secara garis besar, maka tujuan, indikasi dan tekhnis
pelaksanaan program rehabilitasi adalah istirahat, terapi fisik
(umumnya bersama dengan fisioterapi), terapi dengan modalitas,
ortotik, dan lain-lain (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011).
c. Terapi medika mentosa/PengobatanBerikut ini adalah jenis, dosis obat
yang banyak dipakai pada penderita LES serta pemantauannya
berdasarkan rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia,
(2011) dan Kasjmi dkk (2015).

Jika gejala lupus disebabkan karena obat, maka menghentikan


penggunaan obat bisa menyembuhkannya, walaupun diperlukan waktu
berbulan-bulan.

13
Penyakit yang ringan (ruam, sakit kepala, demam, atritis, pleuritis,
pericarditis) hanya memerlukan sedikit pengobatan, misalnya:

a. Untuk mengatasi artritis dan pleurisy diberikan obat anti peradangan


non-steroid.
b. Untuk mengatasi ruam kulit digunakan krim kortikosteroid.
c. Untuk gejala kulit dan artritis kadang digunakan obat anti malaria
(hydroxycloroquine).
Jika penderita sangat sensitiF terhadap sinar matahari, sebaiknya pada saat
berpergian menggunakan tabir surya, pakaian panjang ataupun kacamata.

Penyakit yang berat atau membahayakan jiwa penderitanya (anemia bemolitik,


penyakit jantung atau paru yang meluas, penyakit ginjal, penyakit sistem saraf
pusat) seringkali perlu ditangani oleh ahlinya. Untuk mengendalikan berbagai
manifestasi dari penyakit yang berat mungkin bisa diberikan kortikosteroid
atau obat sitotoksik (obat yang menghambat pertumbuhan sel) pada penderita
yang tidak memberikan respon yang baik terhadap kortikosteroid atau yang
tergantung kepada kortikosteroid dosis tinggi.

14
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Lupus merupakan penyakit autoimunnekronis dimana terdapat kelainan
sistem imun yang menyebabkan peradangan pada beberapa organ dan sistem
tubuh. Mekanisme sistem kekebalan tubuh tidak dapat membedakan antara
jaringan tubuh sendiri dan organisme asing (misalnya bakteri, virus) karena
autoantibodi (antibodi yang menyerang jaringan tubuh sendiri) diproduksi
tubuh dalam jumlah besar dan terjadi pengendapan kompleks imun (antibodi
yang terikat pada antigen) di dalam jaringan. Dan lupus juga terjadi ketika
tubuh menjadi alergi terhadap dirinya sendiri. Penyakit ini merupakan
kebalikan dari apa yang terjadi pada penyakit kanker maupun AIDS. Pada
lupus, penderitanya memiliki sistem imun yang berlebihan sehingga melawan
jaringan tubuh atau yang disebut penyakit autoimmune (autoberarti dengan
sendirinya)
3.2 Kesimpulan
Dengan memunculkan rasa semangat hidup dalam diri mereka dimana
mereka harus bisamerasa bahagia, bermakna dan justru bukan dikasihani. Hal
ini sesuai dengan fokus psikologi positif yang telah dijelaskan diatas.Merujuk
pada uraian diatas, penelitian ini mencoba mengkaji apakah intervensi
psikologi positifefektif untuk menurunkangejala depresipenderita systemic
lupus erythematosus (SLE).

15
DAFTAR PUSTAKA
Sekar TR. (2011). Wanita dan Penyakit Autoimmune Selama Hidupnya.
SIKLUS Hanggar Kreator. Yogyakarta.

Moorhead, S., Johnson, M., Maas, ML., Swansosn, E. (2008). Nursing


Outcomes Classification (NOC) Fourth edition.St. Louis: Mosby
Elseiver.

Prof. Ariyanto, (2013). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Wong (Wong’s


Essentials of Pediatric Nursing).ED.6. Jakarta: EGC

16
LEMBAR KOSULTASI

NO TANGGAL MATERI TTD

17
18

Anda mungkin juga menyukai