Anda di halaman 1dari 46

LAPORAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN SLE

(SYSTEMIC ERITHEMATOSUS LUPUS)

Yang di bimbing oleh :


Bu Diah Setiani,SST.,Mkes

Disusun oleh :
Ananda luthfi arif al pasiri
Arika hesti agustia priyadi
Devita mawarni
Dewi paramita
Fadila gina
Irma suryani
Indah andriani
Indah suhartini
Karina dwi hardini
Riana armania putri
Shilvi aulia anwar
Syafrudin nur

PROGRAM STUDI D-III KEPERAWATAN TINGKAT 2


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES KALTIM
TAHUN 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-
Nya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ Asuhan Keperawatan Pada Pasien
Sistemik Lupus Eritematosus” dengan sebaik-baiknya.
Dalam penyusunan makalah ini, kami telah mengalami berbagai hal baik suka
maupun duka. Kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini tidak akan selesai
dengan lancar dan tepat waktu tanpa adanya bantuan, dorongan, serta bimbingan dari
berbagai pihak. Sebagai rasa syukur atas terselesainya maklah ini, maka dengan tulus
kami sampaikan terimakasih kepada pihak-pihak yang turut membantu.
Dalam penyusunan makalah ini, kami menyadari masih banyak kekurangan
baik padaa teknik penulisan penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Akhir kata, kami berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan
dan dapat diterapkam dalam, menyelesaikan suatu permasalahan yang berhubungan
dengan judul makalah ini.

Samarinda, 11 mei 2020

Kelompok 4 keperawatan medikal bedah

2
DAFTAR ISI
JUDUL

..................................................................................................................................................1

KATA PENGANTAR................................................................................................................i

DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii

A. LATAR BELAKANG...................................................................................................1

B. RUMUSAN MASALAH...............................................................................................2

C.    TUJUAN........................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................4

A. Definisi..........................................................................................................................4

B. Etiologi..........................................................................................................................5

C. Patofisiologi...................................................................................................................6

D. Manifestasi....................................................................................................................8

E. Klasifikasi....................................................................................................................14

F. Penatalaksanaan Medis................................................................................................15

G. Pemeriksaan Penunjang...............................................................................................15

H. Kompilkasi..................................................................................................................16

I. Pengkajian...................................................................................................................18

J. Diagnosa......................................................................................................................19

K. Perencanaan/Intervensi................................................................................................20

BAB III TINJAUAN KASUS ……………………………………………………………………………………………………..20

A. IDENTITAS KLIEN……………………………………………………………………………………………………..20

B. IDENTITAS PENANGGUNG JAWAB ………………………………………………………………………….20

C. PENGKAJIAN……………………………………………………………………………………………………………21

D. ANALISA DATA………………………………………………………………………………………………………25

E. DIAGNOSA KEPERAWATAN…………………………………………………………………………………..29

3
BAB IV PEMBAHASAN........................................................................................................xli

 BAB V PENUTUP..............................................................................................................42

Kesimpulan..........................................................................................................................42

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................44

4
BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Systemic Erithematosus Lupus (SLE) atau yang biasa dikenal dengan
istilah lupus merupakan suatu penyakit autoimun yang menyebabkan inflamasi
kronik. Penyakit ini terjadi dalam tubuh akibat sistem kekebalan tubuh salah
menyerang jaringan sehat. Penyakit ini juga merupakan penyakit multi sistem
dimana banyak manifestasi klinik yang didapat penderita, sehingga setiap
penderita akan mengalami gejala yang berbeda dengan penderita lainnya
tergantung dari organ apa yang diserang oleh antibody tubuhnya sendiri.
Manifestasi klinik yang paling sering dijumpai adalah skin rash, arthritis, dan
lemah. Pada kasus yang berat, SLE bisa menyebabkan nefritis, masalah neurologi,
anemia, dan trobositopenia.
SLE dapat menyerang siapa saja tidak memandang ras apapun. Hanya saja
penyakit ini angka kejadiannya didominasi oleh prempuan dimana perbandingan
antara prempuan dan laki-laki adalah 10:1. SLE menyerang prempuan pada usia
produksi ,puncak insidennya usia antara 15-40. Di Indonesia sendiri jumlah
penderita SLE secara tepat belum diketahui tetapi diperkirakan sama dengan
jumlah pendirita SLE diamerika yaitu 1.500.000 orang ( yayasan lupus
Indonesia )
Pengobatan pada penderita SLE ditujukan untuk mengatasi gejala dan
induksi remisi serta mempertahankan remisi selama mungkin pada perkembangan
penyakit. Karena manifestasi klinis yang sangat bervariasi maka pengobatan
didasarkan pada manifestasi yang muncul pada masing-masing individu. Obat-obat
yang umum digunakan pada terapi farmakologis penderita SLE yaitu NSAID
( Non-Steroid Anti-Inflammatory Drugs),obat-obat antimalarial, kortikosteroid,
dan obat-obat antikanker (imunosupresan) selain itu terdapat obat-obat yang lain
seperti terapi hormone,immunoglobulin intravena, UV A-1 fototerapi, monoclonal
antibody, dan transplasi sumsum tulang yang masih menjadi penelitian para
ilmuwan.
B. RUMUSAN MASALAH
a) Apa definisi SLE ?
b) Bagaimana etiologi SLE?
c) Bagaimana patofisologi dari SLE?
d) Apa manifestasi klinis dari SLE ?
e) Apa klasifikasi dari SLE?
f) Bagaimana pemeriksaan penunjang dari SLE?
g) Bagaimana evaluasi dari SLE?
h) Bagaimana penatalaksanaan dari SLE?
i) Bagiaman komplikasi dari SLE
j) Bagaimana Asuhan Keperawatan dari SLE

C.    TUJUAN
a) Tujuan Umum
Mahasiswa mampu sebagai calon perawat yang professional diharapkan
mengerti dan memahami penyakit imunologi SLE, serta mampu
memberikan asuhan keperwatan yang tepat.
b) Tujuan Khusus
Mengetahui anatomi,definisi,etiologi,klasifikasi,manifestasi klinis
pemeriksaan diagnostic, penatalaksaan, komplikasi dan asuhan
keperawatan yang tepat.
BAB II PEMBAHASAN

A. Definisi
Lupus merupakan sistemik (SLE) adalah suatu penyakit inflamasi autoimun
pada jaringan penyembuhan yang dapat mencukup ruam kulit, nyeri sendi, dan
keletihan. Penyakit ini lebih sering terjadi pada prempuan dari pada pria
dengan faktor 10:1. Androgen mengurangi gejala SLE dan estrogen
memperburuk keadaan tersebut. Gejala memburuk selama fase luteal siklus
menstruasi, namun tidak dipengaruhi pada derajat yang besar oleh kehamilan
( Elizabeth 2009).
Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit vaskuler kolagen (suatu
penyakit autoimun). Ini berarti tubuh manusia menghasilkan antibody terhadap
organ tubuhnya sendiri,yang dapat merusak organ tersebut dan fungsinya.
Lupus dapat menyerang banyak bagian tubuh termasuk sendi,ginjal,paru-paru
seta jantung (Glade,1999).
SLE (systemic lupus erythematosus) adalah sejenis rema jaringan yang
bercirikan nyeri sendi (arthralgia),demam,malaise umum dan erythema dengan
pola berbentuk kupu-kupu khas dipipi muka. Darah mengandung antibody
beredar terhadap IgG dan imunokompleks,yakni kompleks antigen-antibodi-
komplemen yang dapat mengendap dan mengakibatkan radang pembuluh
darah (vaskulitis) dan radang ginjal. Sama dengan rematik,SLE juga
merupakan penyakit auroimun,tetapi jauh lebih jarang terjadi dan terutama
timbul pada prempuan. Sebabnya tidak diketahui,penanganannya dengan
kortikosteroida atau secara alternative dengan sediaan enzim (papain 200mg +
pangkreatin 100mg + vitamin E 10mg) 2 dd 1 kapsul (tan&kirana,2007)
Suatu peradangan kronis jaringan ikat mengenai sendi,ginjal,selaput serosa
permukaan dan dinding pembuluh darah yang belum jelas penyebabnya.
Peradangan kronis ini mengenai prempuan muda dan anak-anak 90% penderita
[penyakit SLE adalah prempuan.
Obat yang digunakan pada SLE mencakup agens sitotoksik,seperti
siklofosfamida. Konseling prakehamilan dapat membantu menemukan terapi
yang aman digunakan baik pada kehamilan maupun menyusui.
B. Etiologi
Antibody anti RO dan anti LA dapat menyebabkan sindrom lupus neonates
dengan melinitasi plaseta. Sindrom ini dapat bermanifestasi sebagai lesi kulit
atau blok jatung congenital.
Faktor genetic mempunyai peranan yang sangat penting dalam kerentanan
dan ekspresi penyakit SLE. Sekitar 20-30% pada pasien SLE mempunyai
kerabatdekat yang menderita SLE. Penelitian terakhir menunjukan bahwa
banyak gen yang berperan antara lain haptolip MHC terutama HLA-DR2 dan
HLA-DR3, komponen komplemen yang berperan pada fase awal reaksi
peningkatan komplomen yaitu : Crg, Cir, Cis, C3, C4 dan C2 serta gen-gen
yang mengode reseptor drl T, immunoglobulin dan sitokin (Albar 2003).
Faktor lingkungan yang menyebabkan timbulnya SLE yaitu sinar UV yang
mengubah struktur DNA didaerah yang terpapar sehingga menyebabkan
perubahan sistem imun didaerah tersebut serta menginduksi apoptosis dari sel
keratonosit. SLE juga dapat diinduksi oleh obat tertentu khususnya pada
asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat
menyadi lambat, obat banyak terakumulas ditubuh sehingga memberikan
kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon
sebagai benda asing tersebut (Herfindal et al,2000). Makanan seperti wijen
(alfafa sprouts) yang mengandung asam aino L-cannavine dapat mengurangi
respon dari sel limfosit T dan B sehingga dapat menyebabkan SLE (Delafuente
2002). Selain intu infeksi virus dan bakteri juga menyebabkan peningkatan
antibody entiviral sehingga mengaktivasi sel B limfosit yang akan memicu
terjadinya SLE (Herfindal et al,2000).
Observasi klinis menunjukan pernan hormone seks steroid sebagai
penyebab SLE. Observasi ini mencakup kejadian yang lebih tinggi pada wanita
usia produktif,peningkatan aktivitas SLE selama kehamilan, dan resiko yang
sedikit lebih tinggi padaa wanita pascamenoupause yang menggunakan
suplementasi estrogen. Walapun hormone seks steroid dipercaya sebagai
penyebab SLE,namun studi yang dilakukan oleh petri dkk menunjukan bahwa
pemberian kontrasepsi hormonal oral tidak meningkatkan risiko terjadinya
peningkatan aktivitas penyakit pada wanita penfderita SLE yang penyakitnya
stabil.
C. Patofisiologi
Faktor Lingkungan
Faktor Genetik Faktor Imunologi Faktor Hormonal

SLE

(Systemic Lupus Evythomatasus)

Gejala & gambaran menurut ACR

(American Collage Of Rheumatology 1997)

Sistemik Kulit Oral Laboratorium


Xerostomin

Arthritis Lesi Ulserasi


Butterfly Gangguan
Serositis rash Lesi Diskoid darah

Ganggua Discoid Lesi Mirip Gangguan


n ginjal rash lichen imun
plamus
Ganggua Fotosensi Antibody
n saraf tivitas kandidiasis antinuklir
(ANA)

Kerusakan organ pada SLE didasari oleh reaksi imunologi. Proses diawali
dengan faktor pencetus yang ada dilingkungan, dapat pula infeksi, sinar
ultraviolet atau bahan kimia. Cetusan ini menimbulkan abnormalitas respon
imun didalam tubuh yaitu :
1. Sel T dan B menjadi autoreaktif
2. Pembentukan silokin yang berlebihan
3. Hilangnya regulator control pada sistem imun anatara lain :
a. Hilangnya kemampuan membersihkan antigen dikompleks imun
maupun sitokin didalam tubuh
b. Menurunnya kemampuan mengendalikan apoptosis
c. Hilangnya toleransi imun sel T mengenali molekul tubuh sebagai
antigen karena adanya mimikri molekul
Akibat proses tersebut, maka terbentuk berbagai macam antibody didalam
tubuh yang disebut sebagai autoantibodi. Selanjutnya antibody 2 yang
membentuk kompleks imun tersebut terdeposisi pada jaringan / organ yang
akhirnya menimbulkan gejala inflamasi atau kerusakan jaringan.
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunnya regulasi kekebalan yang
menyebabkan peningkatan autoimun yang berlebihan. Gangguan
imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetika,
hormonal (sebagaimana terbukti oleh penyakit yang biasannya terjadi selama
usia prodiktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-
obatan tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan
beberapa preparat antikonvulsan disamping makanan seperti kecambah alfa-
alfa turut terlihat dalam penyakit SLE akibat senyawa kimia atau obat-obatan.
Pathway SLE

D. Manifestasi
Gambaran klinis SLE sangat bervariasi, baik dalam keterlibatan organ pada
suatu waktu maupun keparahan manifestasi penyakit pada organ tersebut.
Sebagai tambahan,perjalanan penyakit berbeda antarpasien. Keparahan dapat
bervariasi dari ringan ke sedang sehingga parah atau bahkan membahayakan
hidup. Karena perbedaan multisystem dari manifestasi kliniksnya,lupus telah
menggantikan sifilis sebagai great imitator.
Kebanyakan pasien dengan SLE memiliki penyakit ringan samapai sedang
dengan gejala kronis,diselingi oleh peningkatan aktivitas penyakit secara
terhadap atau tiba-tiba. Pada sebagian kecil pasien dikarakteristikkan dengan
peningkatan aktivitas penyakit dan remisi klinik sempurna. Pada keadaan yang
sangat jarang,pasien mengalami episode aktif SLE singkat diikuti dengan
remisi lambat.
Gambaran klinis SLE menjadi rumit karena dua hal. Pertama,walapun SLE
dapat menyebabkan berbagai tanda dan gejala, tidak semua tanda dan gejala
pada pasien dengan SLE disebabkan oleh penyakit infeksi virus, dapat
menyerupai SLE. Kedua, efek samping pengobatan,khususnya penggunaan
glukokortikoid jangka panjang, harus dibedakan dengan tanda dan gejala.
1. Manifestasi Konstitusional
Demam muncul pada sebagian besar pasien dengan SLE aktif,namun
penyebab infeksius tetap harus dipikirkan,terutama pada pasien dengan
terapi imunosupresi. Penurunan berat badan dapat timbul awal
penyakit,dimana peningkatan berat badan, khusus pada pasien yang diterapi
dengan glukokortikoid, dapat menjadi lebih jelas lebih jelas pada tahap
selanjutnya. Kelelahan dan malaise merupakan salah satu gejala yang
paling umum dan seringkali merupakan gejala yang memperberat penyakit.
Penyebab pasti gejala-gejala ini belum jelas. Aktivitas penyakit, efek
samping pengobatan, gangguan neuroendokrinologis, dan faktor psikogenik
terlibat dalam timbulnya gejala konstitusional. Pada kasus ini dijumpai
gejala demam namun gejala ini mungkin juga disebabkan oleh infeksi
pneumonia. Penurunan berat badan juga ditemukan pada pasien. Sesuai
dengan teori yang mengatakan kelelahan dan malaise merupakan salah satu
gejala yang paling umum yang memperberat penyakit,gejala ini turut
ditemukan kasus ini.
2. Manifestasi Mukokutan
Fotosensitivitas dapat dikenali dengan pembentukan ruam, eksaserbasi
ruam yang telah ada sbelumnya, reaksi terhadap sinar matahari yang
berlebihan (exaggerated sunburn), atau gejala sepereti gatal atau parastesisi
setelah terpajan sinar matahari atau sumber cahaya buatan. Zfotosensitivitas
sering ditemukan dan dapat terjadi pada semua kelompok ras dan etnis,
walapun belum ada studi mengenai prevalensinya dipopulasi umum. Ruam
berbentuk kupu-kupu yang khas, yaitu ruam kemerahan di area malar pipi
dan persambungan hidung yang membagi lipatan nasolabial, lebih dikenal
sebagai malar rash atau butterfly ras. Ruam ini dapat ditemukan pada 20-
25% pasien. Gejala ini dapat meningkat dan sangat meradang, bertahan
selams berminggu-minggu atau berbulan-bulan. Gejala ini hilang tanpa
jaringan parut. Plak eritematosa dengan adherent scale dan telangiektasis
umumnya terdapat diwajah,leher dan kulit kepala. Lupus kutis akut dalam
bentuk eritema inflamasi yang jelas dapat dipicu oleh pacaran sinar
ultraviolet. Lesi lupus subakut dan kronik lebih sering ditemukan di kulit
yang terpapar sinar matahari dalam waktu lama (lengan depan, daerah V
dileher ) tanpa pacaran sinar matahari dalam waktu dekat. Lesi kulit lainnya
termasuk livedo riticularis, eritema periungual, eritema palmaris,
nodulpalmaris, vesikel atau bula, urtikaria akut atau kronik, panniculitis,
purpuravaskulitis, dan ulkus vaskulitis. Alopesia dapat timbul akibatlesi
pada kulit kepala, namun biasanya muncul pada puncak SLE. Alopesia
bersifat reversible, kecuali jika terdapat lesi discoid kepala. Ulkus oral dan
nasal cukup sering terjadi dan harus dibedakab dari infers virus maupun
jamur. Mata dan mulut kering (sindrom Sicca) dapat disebabkan oleh
inflamasi autoimun pada kelenjar lakrimal dan saliva, yang mungkin
tumpang tindih dengan sindrom sjogren. Umumnya mata dan mulut kering
merupakan efek samping pengobatan. Pada kasus ini ditemukan manifestasi
mukokutan. Sesuai dengan teori, pada pasien ini ditemukan fotosensitivitas,
yaitu eksaserbasi ruam dengan pajanan pada sinar matahari. Pada kasus ini
juga ditemukan ruam berbentuk kupu-kupu (malar rash atau butterfly rash)
pada bagian pipi dan hidung pasien. Alopesia juga ditemukan pada pasien
ini yang mengeluh rambutnya yang sering rontok waktu menyikat rambut.
3. Manifestasi Muskuloskeletal
Artritis SLE biasanya meradang dan mucul bersamaan dengan sinovitis dan
nyeri, bersifat nonerosif dan nondeforming. Manifestasi yang jarang adalah
deformitas jaccoud yang menyerupai artritis rheumatoid namun berkurang
dan tidak terbukti secara radiologis menyebabkan desttruksi kartilago dan
tulang. Kelemahan otot biasanya merupakan akibat terapi glukokortikoid
atau antimalaris, namun myositis dengan peningkatan enzim otot jarang
ditemukan dan biasannya merupakan gejala yang tumpah tindih.
Tenosinovitis dan bursitis jarang ditemukan. Ruput tendon dapat
merupakan komplikasi terapi glukokortikoid. Ostenekrosis
(nekrosisavaskuler) dapat disebabkan oleh penyakit maupun efek
pengobatan gukokortikoid, biasanya terjadi pada kaput femoralis, kaput
hormonal, lempemg tibia dan talus. Artralgia dan myalgia merupakan
gejala lain yang sering ditemukan, dapat disebabakanoleh penyakit, efek
samping pengobatan, glucocorticoid withdrawal syndrome, endokrinopati
dan faktor psikogenik. Pada kasus ini, ditemukan nyeri pada sendi yaitu
nyeri pada sendi jari pada kedua tangan yang tidak disertai dengan
gangguan pergerakkan. Ini sesuai dengan manifetasi muskuloskletal yang
ditemukan pada pasien SLE yaitu non erosive dan non deforming arthritis.
4. Manifestasi Kardiovaskular
Perikarditis meruapakan gejala khas dengan nyeri substernal posisional dan
terkadang dapat ditemukan rub. Ekokardiografi dapat menunjukkan efusi
atau dalam kasus kronik penebalan dan fibrosis pericardium. Tamponade
atau hemodinamik konstriktif jarang ditemukan, namun dapat diinduksi
oleh karbamazepin. Miokarditis jarang terjadi, namun harus dicurigai pada
pasien dengan SLE aktif dan gejala dada tidak khas, perubahan ECG
minimal, aritmia atau perubahan hemodinamik. Miokarditis dapat
mengakibatkan kardiomiopati dilatasi dengan tanda gagal jantung kiri.
Endokarditid trombotik nonifeksi (Libman-sacks) jarang dan seringkali
tidak menimbulkan gejala, namun dapat menimbulkan disfungsi katup
mitral atau katup aorta atau embilisasi. Arterisklerosis premature dengan
angina pektrois dan infark miokardium merupakan sumber mortalitas dan
morbilitas jangka panjang yang paling serius. Penyakit sendiri,
hiperkoagulasi, terapi glukokortikoid kronik,menopause premature, serta
faktor diet dan gaya hidup dapat menyebabkan arterosklerosis. Fenomena
Raynaud, vasospasme yang diindikasi dingin pada jari.sering ditemukan
pada SLE. Penyempitan arteri ireversibel ditangan dan kaki sering tumpang
tindih dengan scleroderma. Gambaran patologis yang sama pada sirkulasi
paru dapat menyebabkan hipertensi pulmonal, komplikasi yang jarang
namun seringkali fatal. Sebagian besar cedera vascular trombotik pada
pasien SLE dimediasi oleh antibody antifosfolipid (aPL), ditemukan pada
sekitar 30% pasien SLE. aPL dapat menyebabkan thrombosis arteri dan
vena spontan pada semua ukuran pembuluh darah. Keadaan hiperkoagulasi
lain, seperti defisiensi protein C dan protein S, faktor V Leiden dan
antitrombin III dapat menyebabkan terjadinya trombisis, namun defisiensi
faktor-faktor ini lebih dihubungkan dengan terjadinya thrombosis vena
dibandingkan trpmbosis arteri.
5. Manifestasi Paru
Pleurisy sering ditemukan pada SLE nyeri dada khas pleuritik, rub, dan
efusi dengan bukti radiografi dapat ditemukan pada sebagian pasien, namun
sebagian lain mungkin hanya berupa gejala tanpa temuan obyektif. Infeksi
parenkim paru pneumonitis atau alveolitis dan dibuktikan dengan batuk,
hemoptysis, serta infiltrate paru jarang terjadi namun dapat membahayakan
hidup. Perdarahan alveolus difus dapat timbul atau tanpa pneumonitis akut
dan memilik angka mortalitas yang sangat tinggi. Pneumonitas lupus
kronik dengan perubahan fibrotic dan paru mirip dengan fibrosis paru
idiopatik, dengan perjalanan yang progresif dan prognosis yang buruk.
Penyakit paru restriktif juga dapat diakibatkan oleh perubahan pleuritik
jangka panjang, miopati atau fibrosis otot pernapasan, termasuk diafragma
dan bahkan neuropati nervus frenikus. Emboli paru rekuren disebabkan
oleh antibody antifosfilipid harus disingkirkan pada pasien dengan gejala
paru yang tidak dapat dijelaskan.
6. Manifestasi Ginjal
Nefritis lupus muncul pada sebagian pasien dengan SLE. Spektrum
keterlibatan patologis dapat bervariasi dari proliferasi mesangial yang sama
sekali tidak menimbulkan gejala sampai glumerulonefritis
membranoproliferatif difus agresif yang menuju gagal ginjal. Gambaran
klinis ditandai dengan temuan minimalis, termasuk proteinuria ringan dan
hematuria mikroskopik, sindrom nefrotik, dengan proteinuria berat,
hipoalbuminemia, edema perifer, hipertrigliseridemia, dan hiperkoagulasi
atau sindrom nefritik dengan hipertensi, sedimen eritrosit atau Kristal
eritrosit pada sediaan sedimen urin dan penurunan laju filtrasi glomerulus
progresif dengan peningkatan kreatinin serum dan uremia. Pada kasus ini
ditemukan kelainan ginjal yang disuspek nefritis karena ditemukan
kelainan ginjal yang disuspek nefritis karena ditemukan proteinuria
25,00mg/dL dan leucocyte pada urin 25,00 leu/πL
7. Manifestasi Neurologis dan Psikiatrik
Keterlibatan sistem saraf pusat (SSP) terjadi pada 5-15% pasien dan
terkadang merujuk pada SLE neuropsikiartrik atau serebritis lupus. Pasien
dapat memiliki manifestasi obyektif seperti meningitis asepsis atau
meningoensefalitis, kejang, khorea, ataksia, stroke dan myelitis tramsversa.
Pada pasien seperti ini diagnosis dapat didukung oleh temuan abnormal
pada analisis cairan serebrospinal, seperti peningkatan kadar protein,
pleiositosi, dan /atau autoantibodi karakteristik, pada CT scan atau MRI,
dapat ditemukan lesi inflamasi pada substansia alba dan grisea atau bahkan
pada biopsy leptomeningeal dengan bukti inflamasi. Gambaran alternatis
lupus SSP adalah gangguan psikiatrik mayor yaitu psikosis. Pada kasus ini
cairan serebrospinal dan pencitraan menujukkan hasil normal dan diagnosis
banding dari penysakit psikogenik primer dan/atau reaksi obat sangat sulit
untuk ditentukan. Masalah ini adalah gangguan kognitif dan kepribadian
ringan. Sakit kepala sering ditemukan dengan intesitas yang beragam. Sakit
kepala lupus yang berat dan menyerupai migren yang hanya responsive
terhadap glikokortikoid merupakan kasus yang jarang. Neuropati kranial
dan perifer dapat terjadi dan dapat menggambarkan vaskulitis pembuluh
darah kecil atau infark pada pasien ini disuspek lupus serbri karena
penurunankesadaran.
8. Manifestasi Gastrointestinal
Gejala gastrointestinal nonspesifik, termasuk nyeri perut difus dan mual,
kas untuk pasien SLE. Peritonitis steril dengan asites jarang namun
merupakan komplikasi abdomen yang serius. Banyak gejala gastrointestinal
atas berhubungan dengan terapi yaitu NSAID dan atau gastropati terkait
glukokortikoid. Duodenitis dapat menimbulkan gejala. Pada kasus jarang,
vaskulitis usus dapat menimbulkan kegawatan bedah akut. Terkadang
pankreatitis dapat merupakam gejala penyakit atau merupakan efek
pengobatan. Peningkatan enzim hati terkafdang dihubungkan dengan
hepatiris noninfeksi pada SLE, yang tidak dapat dibedakan dengan hepatitis
autoimun melalui gambar histologis. Peningkatan enzim hati juga dapat
disebabkan oleh penggunaan NSAID, azatrioprin atau metotreksat dan
penggunaan jangka panjang glukokortikoid yang dapst menyebablkan
perlemakan hati dengan peningkatan transaminase ringan.
9. Manifestasi Hematologi
Splenomegali dan limafadenopati difus sering merupakan temuan yang
sering namun nonspesifik pada SLE aktif. Anemia merupakan temuan khas,
dapat disebabkan oleh hemolysis dengan hasil tes coombs positif, kadar
haptoglobin rendah dan kadar laktat dehydrogenase tinggi atau dengan
mielosupresi. Mekanisme tidak langsung mencakup penurunan sintesis
eritropoietin dan mielosupresi uremikum pada pasien nefritis lupus. Hal ini
dapat diperberat dengan perdarahan ringan kronik dan ketidask cukupan
asupan makanan. Leukopenia dan limfopenia sangat sering terjadi namun
jarang mencapai kadar kritis. Studi oleh Ng dkk menghungkan limfopenia
dengan peningkatan risiko terjadinya infeksi pada pasien SLE. Leukositosis
dapat sdisebabkan oleh glukokortikoid. Trombisitopenia ringan (100000-
150000/πL) dapat disebabkan oleh antibody antifosfolipid.
Trombositopenia autoimun berat (kurang dari 50000/πL), disebabkan oleh
antibody antiplatelet dapat mempersulit diagnosis SLE dan awalnya
mungkindidiagnosis sebagai purpura trombositopenik idiopatik. Pada kasus
ini ditemukan kelainan atau manifestasi hematologi sesuai dengan
gambaran yang sering ditemukan pada pasien SLE. Pada kasus ini,
ditemukan gejala anemia dengan nilai haemoglobin yang rendah.
10. Manifestasi Mata
Eksudat dan infarks retina (baan sitoid) relative jarang dan merupakan
temuan nonspesifik. Konjungtivitas dan episkleritis terkadang dapat
ditemukan pada penyakit aktif. Mata kering dapat menunjukan tumpang
tindih dengan sindrom sjogren. Kebutaan singkat atau permanen dapat
disebabkan oleh neuritis optic atau oklusi arteri atau vena retina.

E. Klasifikasi
Subcommitte for systemic lupus erythematosus criteria of the America
rheumatism association diagnostic and therapeutic criteria committw tahun
1982 merevisi kreteria untuk klasifikasi SLE.
Subcommitte ini mengajukan diagnosis SLE jika terdapat empat diantra 11
kriteria berikut beruntun atau secara stimultan, selama sati interval observasi :
1. Ruam dibagian malar wajah
2. Ruam berbentuk discoid
3. Fotosensitivitas
4. Ulkus dimulut
5. Setositosis (pleuritis, pericarditis)
6. Gangguan ginjal
7. Gangguan neurologis ( kejang atau psikosis )
8. Arthritis
9. Gangguan hematologis (anemia hemolitik,leucopenia,trombositopenia)
10. Gangguan imunologi
11. Antibody nuclear
R leonard mengusulkan jembatan keledai berikut untuk mengingat kriteria
diagnosis SLE. A Rash Points MD. Arthritis renal disease ( penyakit ginjal),
ANA serositis, Hematologi disrders, photosensitivita, oral ulcers ( ulkus
dimulut) immunological disorder,neurologic disorder, Malar rash,Discoid rash
Ann Rheum Dis 2001.

F. Penatalaksanaan Medis
Pengobatan termasuk penatalaksanaan penyakit akut dan kronik :
1. Mencegah penurunana progresif fungsi organ, mengurangi kemungkinan
penyakit akut, meminimalkan penyakit yang berhubungan dengan
kecacatan dan mencegah komplikasi dari terapi yang diberikan.
2. Gunakan obat-obatan antinflamasi nonsteroid (NSAID) dengan
kortikosteroid untuk meminimalkan kebutuhan kortikosteroid.
3. Gunakan krortikosteroid topical untuk manifestasi kutan aktif.
4. Gunakan pemberian bolus IV sebagai alternative untuk penggunaan dosis
oral tinggil tradisional.
5. Atasi manifestasi kutan, mukuloskeletal dan sistemik ringan dengan obat-
obat antimalarial.
6. Preparat imunosupresif (percobaan) diberikan untuk bentuk SLE yang
serius

G. Pemeriksaan Penunjang
SLE merupakan suatu penyakit autoimun pada jaringan ikat yang
menujukan berbagai manifestasi,paling sering berupa artitis. Dapat juga timbul
manifestasi dikulit, ginjal dan neorologis. Penyakit ini ditandai dengan adanya
periode aktivitas (ruam) dan remisi. SLE ditegakan atas dasar gambaran klinis
disertai dengan penanda serologis, khususnya beberapa autoantibodi yang
paling sering digunakan adalah antinukelar antibody ( ANA, terapi antibody ini
juga dapat ditemukan pada wanita yang tidak menderita SLE. Antibody yang
kurang spesifik adalah antibouble standed DNA antibody (anti DNA),
pengukuran bermanfaat untuk menilai ruam pada lupus. Anti-Ro, anti-La dan
antibody antifosfolipidpenting untuk diukur karena meningkatkan resiko pada
kehamilan. Penatalaksanaan SLE harus dilaksanakan secara multidisiplin.
Priode aktifitas penyakit dapat sulit untuk didiagnosa. Keterlibatan ginjal
sering kali disalah artikan dengan pre-eklamsia, tetapi temuan adanya
peningkatan antibody anti DNA serta penurunan tingkat komplemen membantu
mengarahkan pada ruam.
Antibody fosfolipid dapat timbul tanpa SLE tetapi menandakan resiko
keguguran. Temuan pemeriksaan laboratorium :
1. Tes flulorensi untuk menentukan antinuclear antibody (ANA), positif
dengan titer
tinggi pada 98% penderita SLE.
2. Pemeriksaan DMA double standed tinggi,spesifik untuk menentukan SLE
3. Bila titel antibobel strandar tinggi, spesifik untuk diagnose SLE
4. Tes sifilis bias positif palsu pada pemeriksaan SLE.
5. Pemeriksaan zat antifosfolipid antigen (seperti antikardolipin antibody)
berhubungan dengan menentukan adanya thrombosis pada pembuluh arteri,
vena atau pada abortus spontan, bayi meninggal dalam kandungan dan
trombositopeni.
Pemeriksaan laboratorium ini diperiksa pada penderita SLE atau lupus
meliputi darah lengkap, laju sedimentasi darah, antibodyantinuklir (ANA),
anti-AND, SLE, CRP, analyses urin, komplemen 3 dan 4 pada pemeriksaan
diagnosis yang dilakukan adalah biopsy.

H. Kompilkasi
1. Ginjal
Sebagaian besar penderita menunjukan adanya penimbunan protein
didalam sel-sel tetapi hanya 50% yang menderita nefritis lupus (peradangan
ginjal yang menetap) pada akhirnya bias terjadi gagal ginjal sehingga
penderita perlu mengalami dialysis atau pencangkokan ginjal.
2. Sistem saraf
Kelainan saraf ditemukan pada 25% penderita lupus. Komplikasi yang
paling sering ditemukan adalah dispungsi mental yang sifatnya ringan,
tetapi kelainan bias terjadi pada bagaiamanapun dari otak, korda spinalis,
maupun sistem saraf. Kejang, pesikosa, sindroma otak organic dan sekitar
kepala merupakan beberapa kelainan sistem saraf yang bias terjadi.
3. Penggumplan darah
Kelainan darah ditemukan pada 85% penderita lupus bisa terbentuk bekuan
darah didalam vena maupun arteri, yang bisa menyebabkan stroke dan
emboli paru. Jumlah thrombosis berkurang dan tubuh membentuk antibody
yang melawan faktor pembekuan darah yang bisa menyebabkan perdarahan
yang berarti.
4. Kardiovaskuler
Perdangan berbagai bagian jantung seperti pericarditis, endocarditis
maupun miokarditis. Nyeri dada dan aritmia bisa terjadi sebagai akibat
keadaan tersebut.
5. Paru-paru
Pada lupus bisa terjadi pleuritis (peradangan selaput paru) dan efusi pleura
(penimbunan cairan antara paru dan pembungkusnya). Akibat dari keadaan
tersebut timbul nyeri dada dan sesak napas.
6. Otot dan kerangka tubuh
Hampir semua penderita lupus mengalami nyeri persendian dan
kebanyakan menderita arthritis. Persendian yang sering terkena adalah
persendian pada jaringan tangan, pergelangan tangan dan lutut. Kematian
jaringan pada tulang panggul dan bahu sering merupakan penyebab dari
nyeri didaerah tersebut.
7. Kulit
Pada 50% penderita ditemukan ruam kupu-kupu ditulang pipi dan pangkal
hidung. Ruam ini biasanya akan semakin memburuk jika terkena sinar
matahari.
I. Pengkajian
1.   Anamnesis
a. Penyakit lupus eritematosus sistemik bisa terjadi pada wanita maupun
pria, namun penyakit ini sering diderita oleh wanita, dengan
perbandingan wanita dan pria 8:1
b. Biasanya ditemukan pada ras-ras tertentu seperti negro, cina dan
filiphina
c. Lebih sering pada usia 20-4- tahun, yaitu usia produktif
d. Faktor ekonomi dan geografis tidak mempengaruhi distribusi penyakit
ini
2. Keluhan Utama
Pada umumnya pasien mengeluh mudah lelah, lemah, nyeri, kaku,
demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta
citra dari pasien
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu dikaji tentang riwayat penyakit dahulu,apakah pernah menderita
penyakit ginjal atau manifestasi SLE yang serius, atau penyakit autoimun
yang lain.
4. Riwayat Penyakit Sekarang
a. Perlu dikaji yaitu gejala apa yang pernah dialami pasien (misalnya ruam
malar-fotosensitif, ruam discoid-bintik-bintik eritematosa menimbulkan
: artaralgia/arthritis, demam, kelelahan, nyeri dada pleuritik,
pericarditis, bengkak pada pergelangan kaki, kejang, ulkus dimulut.
b. Mulai kapan keluhan dirasakan.
c. Faktor yang memperberat atau memperingan serangan.
d. Keluhan-keluhan lain menyertai.
5. Riwayat Pengobatan
Kaji apakah pasien mendapat terapi dengan klorpromazin, metildopa,
hidralasin, prokainamid dan isoniazid, Dilantin, penisilamin dan kuinidin.
6. Riwayat Penyakit Keluarga
Perlu dikaji apakah dalam keluarga ada yang pernah mengalami
penyakityang sama atau penyakit autoimun yang lain
7. Pemeriksaan Fisik
Dikaji secara sistematis :
a. B1 (Breath)
Irama dan kecepatan nafas, kesimetrisan pergerakan nafas, penggunaan
otot nafas tambahan, sesak, suara nafas tambahan (rales,ronchi), nyeri
saat inspirasi, produksi sputum, reaksi alergi. Patut dicurigai terjadi
pleuritis atau efusi pleura.
b. B2 (Blood)
Tanda-tanda vital, apakah ada nyeri dada,suara jantung (s1,s2,s3), bunyi
systolic click (ejeksi clik pulmonal dan aorta), bunyi mur-mur. Friction
rup pericardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura. Lesi
eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukan
gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan,siku,jari kaki dan
permukaan ekstensor lengan dibawah atau sisi lateral tangan.
c. B3 (Brain)
Mengukur tingkat kesadaran (efek dari hipoksia) Glasgow Coma Scale
secara kuantitatif dan respon otak : compos mentis sampai coma
(kualitatif), orientasi pasien. Seiring terjadinya depresi dan psikosis juga
serangan kejang-kejang.
d. B4 (Bladder)
Pengukuran urine tamping (menilai fungsi ginjal), warna urine (menilai
filtrasi glomelorus)
e. B5 (Bowel)
Pola makan, nafsu makan, muntah, diare, berat badan dan tinggi badan,
turgor kulit, nyeri tekan, apakah ada hepatomegaly, pembesaran limpa

J. Diagnosa
1. Nyeri kronis berhubungan dengan ketidak mampuan fisik-psikososial
kronis (metastase kanker, injuri neurologis, arthritis).
2. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan inflamasi
3. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan ketidak mampuan untuk memasukkan nutrisi karena gangguan pada
mukosa mulut
4. Kelelahan berhubungan dengan kondisi fisik yang buruk karena suatu
penyakit
5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan deficit imunologi

K. Perencanaan/Intervensi

No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan (NIC)


. ( NOC)
1. Nyeri kronis berhubungan dengan 1. Comfort level Pain management
ketidak mampuan fisik-psikososial 2. Pain control 1. Monitor kepuasan pasien
kronis (metastase kanker, injuri 3. Pain level terhadap manajemen
neurologis, arthritis). Tujuan : Setelah dilakukan nyeri
tindakan keperawatan selama 24 2. Tingkat istirahat dan tidur
jam nyeri kronis pasien yang adekuat
berkurang dengan kriteria hasil: 3. Kelola antianalgesik
1. Tidak ada gangguan 4. Jelaskan pada pasien
tidur penyebab nyeri
2. Tidak ada gangguan 5. Lakukan tehnik
konsetrasi nonfarmakologis
3. Tidak ada gangguan ( relaksasi masase
hubungan intrerpersonal punggung)
4. Tidak ada ekspresi
menahan nyeri dan
ungkapan secara verbal
5. Tidak ada tegangan otot
Thermoregulasi
Tujuan : Setelah dilakukan
tindakan selama 24 jam pasien
Peningkatan suhu tubuhmenunjukan kriteria hasil :
2 berhubungan dengan inflasi 1. Suhu tubuh dalam batas 1. Monitor suhu sesering
normal mungkin
2. Nadi dan RR dalam 2. Monitor TD, nadi dan RR
rentang normal 3. Monitor WBC,Hb dan Hct
3. Tidak ada perubahan 4. Monitor intake dan output
warna kulit dan tidak ada 5. Berikan antipiretik sesuai
pusing, pasien merasa advis dokter
nyaman 6. Selimuti pasien
7. Berikan cairan intravena
8. Kompres pasien pada
lipat paha dan aksila
9. Tingkatkan sirkulasi udara
10. Tingkatkan intake cairan
dan nutrisi
11. Monitor hidrasi seperti
turgor kulit, kelembaban
mukosa
a. Nutritional status :
adequacty of nutrient 1. Kaji adanya alergi
b. Nutritional status : Food makanan
and fluid intake 2. Kolaborasi dengan ahli
c. Weght control gizi untuk menentukan
Ketidak seimbangan nutrisiTujuan : Setelah dilakukan jumlah kalori dan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuhtindakan keperawatan Selama yang dibutuhkan pasien
3.
berhubungan dengan ketidak2x24 jam nutrisi kurang teratasi 3. Ajarkan pasien
mampuan untuk memasukkandengan indicator : bagaimana membuat
nutrisi karena gangguan pada 1. Albumin serum catatatan makanan harian
mukosa mulut 2. Prealbumin serum 4. Monitor adanya
3. Hematokrit penurunan BB dan gula
4. Hemoglobin darah
5. Total iron binding 5. Monitor lingkungan
capacity selama makan
6. Jumlah limfosit 6. Jadwalkan pengobatan
dan tindakan tidak selama
jam makan
7. Monitor turgor kulit
8. Monitor kekeringa, rambut
kusam, total protein, Hb
dan kadar Hct
9. Monitor mual dan muntah
10. Monitor pucat,
kemerahan, dan
kekeringan jaringan
kojungtiva
11. Monitor intake nutrisi
12. Informasikan pada pasien
dan keluarga tentang
manfaat nutrisi
13. Kolaborasi dengan dokter
tentang kebutuhan
suplemen makanan
seperti NGT/TPN
sehingga intake cairan
yang adekuat dapat
dipertahankan.
14. Atur posisi semifowler
tinggi selama makan
15. Kelola pemberian
antiemetic
16. Anjurkan banyak minum
17. Pertahankan terapi IV line
18. Catat adanya edema,
hiperemik, hipertonik,
papilla lidah dan cavitas
oral

1. Monitor respon
kardiorespirasi terhadap
aktivitas (takikardi,
disritmai, dyspnea,
diaphoresis, pucat,
1. Activity tolerance tekanan hemodinamik dan
2. Energy conservation jumlah respirasi)
3. Nutritional status energy 2. Monitor dan catat pola
Tujuan : Setelah dilakukan dan jumlah tidur pasien
tindakan keperawatan selama 3. Monitor lokasi ketidak
4 Kelelahan berhubungan dengan2x24 jam kelelahan pasien nyamanan atau nyeri
kondisi fisik yang buruk karenateratasi dengan kriteria hasil : selama bergerak dan
suatu penyakit 1. Kemampuan aktivitas aktivitas
adekuat 4. Monitor intake nutrisi
2. Mempertahankan nutria 5. Monitor pemberian dan
adekuat efek samping obat depresi
3. Keseimbangan aktivitas 6. Kolaborasi dengan ahli
dan istirahat gizi tentang cara
4. Menggunakan teknik meningkatkan intake
energy konservasi makanan tinggi energy
5. Mempertahankan 7. Monitor pemberian dan
interaksi social efek samping obat depresi
6. Mengidentifikasi faktor 8. Instruksikan pada pasien
fisik dan psikologis yang untuk mencatat tanda dan
menyebabkan kelelahan gejala kelelahan
7. Mempertahankan 9. Jelas pada pasien
kemampuan untuk hubungan kelelahan
konsentrasi dengan proses penyakit
10. Dorong pasien dan
keluarga
mengekspresikan
perasaannya
11. Catat aktivitas yang dapat
meningkatkan relaksasi
12. Tingkatkan pembatasan
bedrest dan aktivitas
13. Batasi stimulasi
lingkungan untuk
memfasilitasi relaksasi
1. Anjurkan pasien untuk
menggunakan pakaian
yang longgar
2. Hindari kerutan pada
tempat tidur
3. Jaga kebersih dan kering
4. Monitor kulit akan adanya
kemerahan
5. Mobilasasi pasien ( ubah
1. Tissue integrity : Skin posisi pasien) setiap dua
and mucous membrane jam sekali
2. Wound healing primer 6. Oleskan lotion atau
dan sekunder minyak pada daerah yang
Tujuan : Setelah dilakukan tertekan
5
tindakan keperawatan selama 2x 7. Monitor status nutrisi
24 jam kerusakan integritaskulit pasien
Kerusakan integritas kulitberkurang dengan kriteria hasil : 8. Monitor status nutrisi
berhubungan dengan deficit 1. Intergritas kulit yang baik pasien
imunologi bisa dipertahankan 9. Memandikan pasien
(sensai, elastisitas, dengan sabun dan air
temperature, hidrasi, hangat
pigmentasi) 10. Kaji lingkungan dan
2. Tidak ada luka/lesi pada peralatan yang
kulit menyebabkan tekanan
3. Perfusi jaringan baik 11. Obsevasi luka : lokas,
4. Menujukkan pemahaman dimensi, kedalaman luka,
dalam proses perbaikan karakteristik, warna
kulit dan mencegah cairan, granulasi, jaringan
terjadinya cedera nekrotik, tanda infeksi
berulang local, formasi traktus
5. Mampu melindungi kulit 12. Ajarkan pada keluarga
dan mempertahankan tentang luka dan
kelembaban kulit dan perawatan luka
perawatan alami 13. Kolaborasi ahli gizi
6. Menunjukkan terjadi pemberian diet TKT,
proses penyembuhan vitamin, cegah
luka kontaminasi feses dan
urin
14. Lakukan teknik perawatan
luka dengan steril
15. Berikan tekanan pada
luka

BAB III TINJAUAN KASUS


ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN. D DENGAN SLE

DI RS INDONESIA MAJU

Kasus

Seorang prempuan bernama Ny.S usia 35 tahun datang ke UGD dengan keluhan
merasa tidak nyaman dengan kulit memerah pada daerah pipi dan leher, awalnya
kecil namun setelah satu minggu ukuran tersebut bertambah lebar, demam, nyeri
dan terasa kaku seluruh persendian terutama pagi hari dan kurang nafsu makan.
Pada pemeriksaan fisik diperolah ruam pada pipi dengan batas tegas, peradangan
pada siku, lesi pada daerah leher, malaise. Pasien mengatakan terdapat sariawan
pada mukosa mulut. Pasien ketika bertemu dengan orang lain selalu menunduk dan
menutupi wajahnya dengan masker. Tekanan darah 110/80mmHg, RR 20x/mnt,
Nadi 90x/mnt Suhu 38,5 ºC, Hb 11 gr/dl, WBC 15.000/mm

A. IDENTITAS KLIEN
Nama : Ny. S

Umur : 35 thn

Jenis kelamin : Prempuan

Alamat : Jl.TB.Simatupang No.71

Status : Menikah

Agama : Islam

Suku : Jawa

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : IRT

Tanggal masuk RS : 01-01-2019

Tanggal pengkajian : 02-01-2019

DX Medis : SLE

B. IDENTITAS PENANGGUNG JAWAB


Nama : Tn. D
Umur : 36 thn

Jenis kelamin : Laki-laki

Alamat : Jl.TB.Simatupang No.71

Pendidikan : S 1 tehnik mesin

Pekerjaan : Karyawan swasta

C. PENGKAJIAN
1. Keluhan utama : 
Pasien menggeluh nyeri pada sendi serta kekakuan kaki dan tangan, saat
beraktivitas pasien merasa mudah lelah, pasien merasa demam. Pipi dan
leher memerah serta nyeri pada bagian yang memerah

2. Riwayat penyakit sekarang :


Pasien datang ke UGD dengan keluhan merasa tidak nyaman dengan
kulit memerah pada daerah pipi dan leher, awalnya lebarnya kecil
namun setelah satu minggu lebarnya bertambah besar, demam, nyeri
dan terasa kaku seluruh persendian utamanya pada pagi hari dan
berkurang nafsu makan karena sariawan.

3. Riwayat Penyakit dahulu :


Tidak ada

4. Riwayat penyakit keluarga : 


Tidak ada

5. Riwayat pekerjaan/ kebiasaan :


Pasien seorang ibu rumah tangga

6. Riwayat Alergi :
Tidak ada

7. Pengkajian Sistem Tubuh :


a. Sistem Pernapasan
 RR 20x/mnt
 Napas dalam terlihat seperti menahan nyeri
b. Sistem Kardiovaskuler
 TD 110/80 mmHg
 Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi
papuler,eritematous dan purpur di ujung jari kaki, tangan,
siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi
lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
c. Sistem Persyarafan
Gangguan psikologis

d. Sistem Perkemihan
Tidak ada

e. Sistem Pencernaann
Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum

f. Sistem Muskuloskeletal
 Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika
bergerak, rasa kaku pada pagi hari
 Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-
kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi
g. Sistim Endokrin
Tidak ada

h. Sistim sensori persepsi


Tidak ada

i. Sistim integument
SH: 38,5C, demam (+)

j. Sistim imun dan hematologi


 Tes fluorensi untuk menetukan antinuelear antibody (ANA),
positif dengan titer tinggi pada 98% penderita SLE
 Pemeriksaan DMA double stranded lebih spesifik untuk
menentukan SLE
 Bila titer antidobel stranded tinggi, spesifik untuk diagnose
SLE
 Tes sifilis bisa positif palsu pada pemeriksaan SLE
 Pemeriksaan zat antifosfolipid (seperti antikardiolipin
antibody) berhubungan untuk menentukan adanya
thrombosis pada pembuluh arteri atau pembuluh vena atau
pada abortus spontan, bayi meninggal dalam kandungan dan
trombositopeni
 HB 11gr/dl
 WBC 15.000/mm

k. Sistim Reproduksi
Tidak ada masalah disistem reproduksi

8. Pengkajian Fungsional

1. Oksigenasi
RR:20x/mnt
2. Cairan dan Elektrolit
terpasang infus RL 20tpm
3. Nutrisi
Mual (-), muntah (-)
4. Aman dan Nyaman
Kulit memerah pada daerah pipi dan leher
5. Eliminasi
BAK (-), BAB (-)
6. Aktivitas dan Istirahat
Kurang
7. Psikososial
Dapat mengalami ketidak percayaan diri akibat dari penyakitnya

8. Komunikasi
Terganggu karena sariawan pada mukosa mulut
9. Seksual
Tidak ada perubahan
10. Nilai dan Keyakinan
Tidak ada pantangan yang berhubungan dengan nilai dengan
keyakinan pasien
11. Belajar
Tidak ada kelainan
9. Pemeriksaan Penunjang
a. Hasil Laboratorium
Tangga Pemeriksaa Hasil Nilai Interpretas
l n Normal i

01-01- Hb 17,3 gr% 13-16 gr%


2019 WBC 5.000-
15.000/m
10.000/m
m
m

b. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan Rontgen tidak ada kelainan

10. Progam Terapi


Terapi medis tgl 01-01-2019 :

 Injeksi Stabixin 2x1gram


 Injeksi medixon 2x 125 mg
 Omeprazol 2x1 ampul
 Vitamin C 2x1 ampul
D. ANALISA DATA

Hari/Tgl/Jam Data Fokus Etiologi Problem

Kamis/01-01- Ds : Nyeri pada Genetic, lingkungan, Nyeri


sendi dan bagian
19/08.00 hormonal, obat
yang tertentu
mengalami

kemerahan
Produksi autoimun
Do : pasien berlebihan
terlihat menahan

nyeri
Autoimun
TD menyerang organ
110/80mmHg, RR
tubuh
20x/mnt, S ↓
38,5C, N 90x.mnt
SLE

Kerusakan jaringan
Kamis/01-01- ↓
19/11.00 Nyeri kronis

Genetic, lingkungan,
Peningkatan
hormone, obat
suhu tubuh
tertentu

Ds : Pasien
Produkasi autoimun
mengeluhkan
demam berlebih

Do : TD 110/80
Autoimun
mmHg
menyerang orang
RR 20x/mnt
tubuh
S 38,5 C ↓
Terjadi reaksi
N 90x/mnt
inflamasi

Peningkatan suhu
Kamis/01-01- tubuh
19/13.00
Keletihan

Genetic,
lingkungan,hormone,
obat tertentu

Produksi autoimun
Ds : Nyeri pada
berlebih
sendi dan bagian

yang Autoimun
mengalami
menyerang orang
kemerahan,
tubuh
pasien ↓
mengeluh mudah
SLE
lelah

ketika
Menyerang darah
beraktivitas.

Gangguan
HB menurun
integritas
Do : Pasien ↓ kulit
terlihat menahan Suplai oksigen
nyeri menurun
Kamis,01-01- TD ↓
2019/ 15.00 110/80mmHg, RR ATP menurun
20x/mnt, S ↓
38,5C, N 90x/mnt Keletihan

Genetic, lingkungan,
hormone, obat
tertentu

Produksi autoimun
berlebihan

Kamis,01-01- Autoimun
2019 /15.00 menyerang organ
tubuh
Gangguan
↓ mobilitas
SLE fisik

Menyerang kulit

Kerusakan integritas Gangguan
Ds : Nyeri pada citra tubuh
kulit
sendi dan bagian
Genetic, lingkungan,
yangmengala hormone, obat
mi kemerahan
tertentu
Do : TD ↓
110/80mmHg, RR Produksi autoimun
Kamis 01-01- 20x/mnt, S berlebihan
2019, 16.00 38,5C, N 90x/mnt ↓
Kulit kering Autoimun
dan kemerahan menyerang organ
tubuh

SLE

Arthritis

Gangguan mobilitas
fisik

Genetic, lingkungan,
hormone, obat
tertentu

Produksi
autoimun berlebihan
Ds : Nyeri pada ↓
sendi bagian yang
SLE
menglami ↓
kemerahan
Menyerang kulit
Do : Pasien ↓
terlihat menahan
Kerusakan integritas
nyeri
kulit
TD ↓
110/80mmHg,RR
Gangguan citra
20x/mnt, S tubuh ( body image
38,5c, N 90x/mnt

Ds : Pasien
mengatakan malu

terhadap
kemerahan pada
pipi

dan leher

Do : Pasien
menunduk saat
masuk
UGD

TD
110/80mmHg,RR

20x/mnt, S
38,5c, N 90x/mnt

DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Nyeri kronis berhubungan dengan agen pencedera


2. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan inflamasi
Nama : Ny. S Umur : 35 thn No. Dokumen RM :

Ruang : Dahlia Kelas : 1-1 Tanggal : 01-01-2019

INTERVENSI

Hari/Tgl Diagnosa Tujuan Dan Kriteria Hasil Intervensi ( NIC) TTD


/Jam Keperawatan
NOC

Kamis/01 Nyeri kronis Setelah dilakukan tindakan Menejemen nyeri :


-01-19/ berhubungan dengan keperawatan selama 1x24 jam
08.00 agen pencedera nyeri kronis dapat berkurang 1. Lakukan pengkajian nyeri komprehensif yang
meliputi lokasi, karakteristik, onset atau durasi,
dengan kriteria hasil : frekwensi, kualitas, intensitas dan faktor pencetus
2. Berikan informasi mengenai nyeri seperti penyebab
Kontrol nyeri
beberapa lama nyeri dan antisipasi dari ketidak
a. Mengenal kapan nyeri nyamanan nyeri.
terjadi 3. Dorong pasien untuk memonitor nyeri dan
b. Menggambarkan faktor menangani nyerinya dengan tepat
Penyebab 4. Pastikan pemberian analgetik dan atau startegi
c. Menggunakan tindakan nonfarmakologi.
pencegahan atau
pengurangan nyeri tanpa
anlagesik
d. Menggunakan analgesic
yang direkomendasikan
Fever treatment :
Setelah dilakukan tindakan selama
Kamis / Peningkatan suhu 1x 24 jam suhu tubuh normal 1. Monitoring suhu sesering mungkin
01-01-19 tubuh berhubungan dengan NOC : Thermoregulation 2. Monitoring warna dan suhu kulit
Kriteria hasil :
11.00 dengan inflamasi 3. Monitoring WBC,Hb dan Hct
a. Suhu tubuh dalam batas
4. Monitoring intake output
normal
5. Beri kompres pada lipatan paha dan axila
b. Nadi dan RR dalam rentang
6. Kolaborasi pemberian
normal
Antipireutik
c. Tidak ada perubahan warna
Cairan intravena
kulit dan tidak ada pusing,
pasien merasa nyaman
Temperature regulation :
1. Monit
oring suhu berkala
2. Tingk
atkan intake cairan dan nutrisi

Nama : Ny.S Umur : 35 thn No. Dokumen RM :


Ruang : Dahlia Kelas : 1-1 Tanggal : 01-01-2019

IMPLEMENTASI KEPERAWATAN

Hari/Tgl/Jam Diagnosa Implementasi Respon TTD


Keperawatan

Kamis/01-01- Nyeri kronis 1. Melakukan pengkajian nyeri komprehensif yang 1. Pasien mampu menunjukan lokasi
19/ 08.00 berhubungan meliputi lokasi, karakteristik, lokasi atau durasi, nyeri pada sendi yang mengalami
dengan agen frekwensi, kualitas, intensitas dan faktor pencetus. kemerahan dengan skala nyeri 8
2. Memberikan informasi mengenai nyeri seperti menurun menjadi skla nyeri 3 atau
pencedera penyebab, berapa lama nyeri dan antisifasi dari ringan dengan pencetus pada saat
ketidak nyamanan nyeri. melakukan aktifitas.
3. Mendorong pasien untuk memonitor nyeri dan 2. Pasien dapat mengetahui
menangani nyerinya dengan tepat. penanganan nyeri dengan
4. Memastikan pemberian analgesik dan atau strategi therapifarmakologi (analgesic) dan
Kamis / 01- nonfarmakologi (teknik relaksasi nafas dalam). nofarmakologi (tehnik relaksasi
01-19 11.00 Peningkatan nafas dalam.
suhu tubuh
berhubungan 1. Memonitoring suhu 1. Suhu 37,8˚C, Akral teraba hangat
dengan 2. Memonitoring intake output 2. Pasien mampu minum air putih
inflamasi 3. Memonitoring hasil laboratorium 600cc sejak jam 11.00 dan BAK 2 kali
4. Beri kompres pada lipatan paha dan axila 3. Pasien dapat mengetahui kompres di
5. Memberikan cairan intravena dan paracetamol drip lipatan paha dan axila dan tampak
terpasang kompresan
4. Cairan intravena diberikan dan
paracetamol drip terpasang melalui
infusan

Nama : Ny.S Umur : 35 thn No. Dokumen RM :

Ruang : Dahlia Kelas : 1.1 Tanggal :

LEMBAR EVALUASI

Hari/Tgl/Jam Diagnosa Keperawatan Evaluasi TTD


Kamis/01-01-19/ Nyeri kronis berhubungan dengan S : Pasien mengatakan nyeri sendi dan kemerahan pada lutut berkurang
08.00 agen pencedera
O : Skala nyeri berkurang dari 8 menjadi 3

Pasien tampak riles ditandai dengan hemodinamik stabil

Pasien dapatmelakukan teknik relaksasi nafas dalam

A : Lanjut intervensi 3 dan 4


Peningkatan suhu tubuh
P : Masalah teratasi sebagian
berhubungan dengan inflamasi
S : Pasien mengatakan masih sedikit pusing dan demam
Kamis/ 01-01-19
O: KU lemah Kesadaran Composmentis Suhu 37,8˚C, akral teraba hangat, terpasang
11.00
infus RL 20 tpm dengan triway paracetamol drip

A : Lanjut intervensi treatment regulation

P : Masalah teratasi sebagian


BAB IV PEMBAHASAN

B. PENGKAJIAN
Dari hasil studi kasus ini untuk tahap pengkajian tidak ditemukan adanya
kesenjangan antara teori dan kasus nyata. Manifestasi klinis pada teori pasien
muncul demam, pembentukan ruam, atritis, pericarditis. Bila dikaitkan dengan
kondisi Ny. S saat pengkajian pada tanggal 01-01-2019 manifestasi klinis yang
ditemukan pasien merasa tidak nyaman dengan kulit memerah pada daerah pipi
dan leher, awalnya kecil namun setelah satu minggu ukuran tersebut bertambah
lebar, demam, nyeri dan terasa kaku seluruh persendian terutama pagi hari.
Sehingga pengkajian pada diagnosis nyeri kronis berhubungan dengan pencedera,
berdasarkan teori mampu diterapkan pada praktek nyata dan dinilai efektif dalam
hasil yang diperoleh.

C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Menurut teori terdapat 5 diagnosa keperawatan pada pasien SLE, sedangkan
dari hasil pengumpulan data yang dilakukan kepada Ny.S tanggal 01-01-2019
ditemukan 2 diagonasa keperawatan yaitu Nyeri kronis berhubungan dengan agen
pencedera dan Peningkatan Suhu tubuh berhubungan dengan inflamasi.

D. INTERVENSI
Dari hasil intervensi yang dilakukan tidak terdapat kesenjangan antara teori
yang dilakukan. Karena intervensi yang diberikan kepada Ny.S disesuaikan
dengan teori Nanda,NIC,NOC.

E. IMPLEMENTASI
Dari hasil yang diperoleh dari implementasi yang dilakukan tidak terdapat
kesenjangan antara teori yang dilakukan. Karena implementasi yang diberikan
kepada Ny.S disesuaikan dengan teori Nanda,NIC,NOC.

F. EVALUASI
Dari tindakan evaluasi yang dilakukan ditemukan adanya kesenjangan anatara
teori dan praktek nyata, kareana evaluasi merupakan hasil akhir dari asuhan
keperawatan dengan mengidentifikasi sejauh mana tujuan rencana keperawatan
tercapai atau tidak selama pasien dirawat. Pada saat evaluasi yang dilakukan
adalah mengevaluasi selama tindakan asuhan keperawatan berlangsung atau
selama pasien dirawat.
BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan
Lupus merupakan sistemik (SLE) adalah suatu penyakit inflamasi autoimun
pada jaringan penyembuhan yang dapat mencukup ruam kulit, nyeri sendi, dan
keletihan. Penyakit ini lebih sering terjadi pada prempuan dari pada pria dengan
faktor 10:1. Androgen mengurangi gejala SLE dan estrogen memperburuk keadaan
tersebut. Gejala memburuk selama fase luteal siklus menstruasi, namun tidak
dipengaruhi pada derajat yang besar oleh kehamilan ( Elizabeth 2009).Lupus
eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit vaskuler kolagen (suatu penyakit
autoimun). Ini berarti tubuh manusia menghasilkan antibody terhadap organ
tubuhnya sendiri,yang dapat merusak organ tersebut dan fungsinya. Lupus dapat
menyerang banyak bagian tubuh termasuk sendi,ginjal,paru-paru seta jantung
(Glade,1999).

B. SARAN : Diharapkan makalah ini dapat bermanfaat kepada mahasiswa.


Dan diharapkan mahasiswa mampu menjadi calon perawat yang professional
mengerti dan memahami penyakit imunologi SLE, serta mampu memberikan
asuhan keperwatan yang tepat.

DAFTAR PUSTAKA
Bulechek G.M., Howard B.K, Dochterman J.M. (2008). Nursing
Interventions Classifivation (NIC) fifth edition. St. Louis: Mosby
Elseiver.

Burn, Catherine E, et all. (2004). Pediatric Primary Care : A Handbook for


Nurse Practitioner. USA : Saunders

Herdman, T. Heather. (2012). NANDA International Nursing


Diagnoses: Definitions & Classification 2012-2014. UK: Wiley‐
Blacwell, A John Wiley & Sons Ltd

Kasjmir, Yoga dkk. (2011). Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi


Indonesia Untuk Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus
Sistemik. Perhimpunan Reumatologi Indonesia

King, Jennifer K; Hahn, Bevra H. (2007). Systemic lupus erythematosus:


modern strategies for management – a moving target. Best Practice
& Research Clinical Rheumatology Vol. 21, No. 6, pp. 971–987,
2007 doi:10.1016/j.berh.2007.09.002 available online at
http://www.sciencedirect.com

Malleson, Pete; Tekano, Jenny. (2007). Diagnosis And Management Of


Systemic Lupus Erythematosus In Children. Paediatrics And Child
Health 18:2. Published By Elsevier Ltd. Symposium: Bone &
Connective Tissue.

Moorhead, S., Johnson, M., Maas, ML., Swansosn, E. (2008). Nursing


Outcomes Classification (NOC) Fourth edition. St. Louis: Mosby
Elseiver.

Sutarna, Agus, dkk. (2008). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Wong


(Wong’s Essentials of Pediatric Nursing). ED.6. Jakarta: EGC

Ward, Susan L and Hisley, Shelton M. (2009). Maternal-child nursing


care: optimizing outcomes for mothers, children, and Families.
United States of America : F.A. Davis Compan
1

Anda mungkin juga menyukai