Anda di halaman 1dari 27

Asuhan Keperawatan serta

Patofisiologi masalah pada sistem imun SLE


( Lupus eritematosus sistemik)
Dosen Pembimbing:
Herdy Juniawan, S.Kep.,Ns.,M..Kep

Oleh
Kelompok 3:

Eka Nurdamayanti NIM 1114190633


Rovita Usnul Ado NIM 1114190642

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


STIKES DARUL AZHAR BATULICIN
TAHUN 2021/2022

i
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji bagi Allah yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang. Dialah satu-satunya Dzat yang memberikan perlindungan dunia dan
akhirat kelak. Dialah sesungguhnya Maha pemberi petunjuk yang tiada dapat
menyesatkan.Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah
Swt yang senantiasa memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.

Laporan ini dapat tersusun dengan baik berkat bantuan, bimbingan,


masukan, dan motivasi dari banyak pihak. Pada kesempatan ini, penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. HerdyJuniawan,S.Kep.,Ns.,M..Kep
selaku Dosen pengampu dan dosen pembimbing mata kuliah Keperawatan
Anak II yang telah memberikan masukan dan kesempatan sehingga
penulis dapat menyelesaikan laporan ini dengan baik.
2. Orang tua serta saudara-saudara tercinta atas do’a, motivasi, dan
harapannya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan ini dengan
lancar.
3. Teman-teman yang telah memberikan motivasi dan masukan yang baik
kepada penulis sehingga bisa menyelesaikan laporan ini dengan lancar.
Mudah-mudahan amal baik mereka senantiasa mendapat pahala dan
balasan yang setimpal dari Allah Swt. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
penulis khususnya dan pembaca pada umumnya. Aamin.

Simpang Empat, Oktober 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................i


KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1
1.1 Latar Belakang..................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................2
1.3 Tujuan...............................................................................................2
1.4 Manfaat ............................................................................................2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................4


2.1 Definisi.............................................................................................4
2.2 Etiologi.............................................................................................4
2.3 Patofisiologi.....................................................................................5
2.4 Tanda dan Gejala..............................................................................7
2.5 Penatalaksanaan...............................................................................8
2.6 Komplikasi ....................................................................................10
2.7 Pemeriksaan Diagnostik ................................................................11

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN...............................................................13


3.1 Pengkajian Keperawatan................................................................13
3.2 Analisa Data...................................................................................17
3.3 Diagnosa Keperawatan...................................................................19
3.4 Intervensi Keperawatan..................................................................19
3.5 Implementasi .................................................................................22
3.6 Evaluasi..........................................................................................24

BAB IV PENUTUP..............................................................................................26
4.1 Kesimpulan ......................................................................................26
4.2 Saran ................................................................................................26

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................27

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Sistemik Lupus Eritematous (SLE) merupakan suatu penyakit
autoimun yang menyebabkan inflamasi kronis. Penyakit ini terjadi dalam
tubuh akibat sistem kekebalan tubuh salah menyerang jaringan sehat.
Penyakit ini juga merupakan penyakit multi-sistem dimana banyak
manifestasi klinis yang didapat penderita, sehingga setiap penderita akan
mengalami gejala yang berbeda dengan penderita lainnya tergantung dari
organ apa yang diserang oleh antibody tubuhnya sendiri. Manifestasi klinis
yang paling sering dijumpai adalah skin rash, arthritis, dan lemah. Pada
kasus yang lebih berat, SLE bisa menyebabkan nefritis, masalah neurologi,
anemia, dan trombositopenia. SLE dapat menyerang siapa saja tidak
memandang ras apapun.
Hanya saja penyakit ini angka kejadiannya didominasi oleh
perempuan dimana perbandingan antara perempuan dan laki-laki adalah 10 :
1. SLE menyerang perempuan pada usia produktif, puncak insidennya usia
antara 15-40. Di Indonesia sendiri jumlah penderita SLE secara tepat belum
diketahui tetapi diperkirakan sama dengan jumlah penderita SLE di Amerika
yaitu 1.500.000 orang (Yayasan Lupus Indonesia). Pengobatan pada
penderita SLE ditujukan untuk mengatasi gejala dan induksi remisi serta
mempertahankan remisi selama mungkin pada perkembangan penyakit.
Karena manifestasi klinis yang sangat bervariasi maka pengobatan
didasarkan pada manifestasi yang muncul pada masing-masing individu.
Obat-obat yang umum digunakan pada terapi farmakologis penderita SLE
yaitu NSAID (Non-Steroid Anti-Inflammatory Drugs), obat-obat
antimalaria, kortikosteroid, dan obat-obat antikanker (imunosupresan) selain
itu terdapat obat- obat yang lain seperti terapi hormon, imunoglobulin
intravena, UV A-1 fototerapi, monoklonal antibodi, dan transplantasi

1
sumsum tulang yang masih menjadi penelitian para ilmuwan (Pons-Estel,
2015)
Data YLI menunjukkan bahwa jumlah penderita penyakit Lupus di
Indonesia meningkat dari 12.700 jiwa pada 2012 menjadi 13.300 jiwa per
April 2013. Disamping itu, paling tidak lebih dari lima juta orang di seluruh
dunia terkena penyakit Lupus, dimana penyakit itu menyerang sebagian
besar
wanita pada usia produktif.

Selain karena jumlah penderita Lupus yang semakin meningkat, menurut


Ketua Yayasan Lupus Indonesia Tiara Savitri, masyarakat memang perlu
mewaspadai Lupus karena penyakit ini sulit untuk didiagnosa. "Pengenalan
dini pada penyakit ini sangat sulit sebab tidak ada gejala khusus pada orang-
orang yang terkena Lupus," Tiara Savitri, 2014
1.2. Rumusan Masalah

Bagaimana patofisiologi masalah pada sistem imun dan asuhan


keperawatan pada anak SLE (Sistemik Lupus Eritematous)

1.3. Tujuan
1.1.1. Umum
Untuk mengetahui patofis kelainan pada anak yang mengalami SLE.
1.1.2. Khusus
1. Untuk mengetahui definisi SLF
2. Untuk mengetahui epidemologi SLE
3. Untuk mengetahui Patogenesia SLE
4. Untuk mengetahui klasifikasi SLE
5. Untuk mengetahui gejala klinis SLE
6. Untuk mengetahui pemeriksaan fisik SLE
7. Untuk mengetahui dampak SLE untuk anak dan keluarga

2
8. Untuk mengetahui penatalaksanaan prawat SLE
9. Untuk mengetahui pemeriksaan SLE

1.2. Manfaat
1. Penulis
Semoga dengan pembuatan makalah ini penulis dapat menambah
wawasan dan pengalaman tentang materi patofis kelainan pada anak
yang mengalami SLE.

2. Institusi
Sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun program pembelajaran
serta menentukan metode dan media pembelajaran yang tepat.
3. Masyarakat
Semoga dengan ada nya penyusunan makalah ini masyarakat dapat
memahami tentang patofis kelainan pada anak yang mengalami SLE.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah radang kronis yang
disebabkan oleh penyakit autoimun (kekebalan tubuh) di mana sistem
pertahanan tubuh yang tidak normal melawan jaringan tubuh sendiri.
Antara jaringan tubuh dan organ yang dapat terkena adalah seperti kulit,
jantung, paru-paru, ginjal, sendi, dan sistem saraf. Lupus eritematosus
sistemik (SLE) merupakan suatu penyakit atuoimun yang kronik dan
menyerang berbagai system dalam tubuh. ( Silvia & Lorraine, 2016 )
Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah penyakit radang yang
menyerang banyak sistem dalam tubuh, dengan perjalanan penyakit bisa
akut atau kronis, dan disertai adanya antibodi yang menyerang tubuhnya
sendiri Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah suatu penyakit
autoimun multisystem dengan manifestasi dan sifat yang sangat berubah –

3
ubah, penuakit ini terutama menyerang kulitr, ginjal, membrane serosa,
sendi, dan jantung.(Robins, 2017)
2.2 Epidemiologi
Penyakit lupus atau systemic lupus erythematosus (SLE) prevalensinya
dalam populasi tertentu kira – kira satu kasus per 2500 orang, penyakit ini
cenderung terjadi pada perempuan (kira – kira 9:1), yang menyerang satu
diantara 700 perempuan usia subur. systemic lupus erythematosus (SLE)
lebih sering ditemukan pada ras tertentu seperti ras kulit hitam, Cina, dan
Filipina. Penyakit ini terutama diderita oleh wanita muda dengan puncak
kejadian pada usia 15-40 tahun (selama masa reproduktif) dengan
perbandingan wanita dan laki-laki 5:1) Di Indonesia, data unutk kasus SLE
masih belum ada yang mencakup semua wilayah Indonesia. Data tahun
2012, berdasarkan data pasien yang datang ke poliklinik Reumatologi
Penyakit Dalam di RSUP Cipto Mangunkosumo Jakarta, terdapat 1,4%
kasusu dari total seluruh kunjungan pasien. Sedangkan unutuk RS Hasan
Sadikin Bandung, terdapat 10,5% (291pasien) dari total pasien yang
berkunjung ke poliklinik reumatologi pada tahun 2015.

2.3 Patogenesis
Lupus ditandai oleh peradangan kronis atau berulang mempengaruhi
satu atau lebih jaringan dalam hubungan dengan beberapa autoantibodi.
Beberapa, seperti anti - sel merah dan antibodi antiplatelet, jelas patogen,
sedangkan yang lain mungkin hanya penanda kerusakan toleransi. Etiologi
tetap misteri, tetapi seperti dalam banyak penyakit kronis, tampaknya
mungkin bahwa penyakit ini dipicu oleh agen lingkungan dalam
kecenderungan tiap individu (Malleson, Pete; Tekano, Jenny. 2017).
1. Faktor Endogen
Banyak autoantibodi (terutama ANAs) diarahkan terhadap antigen
intraseluler biasanya 'tak terlihat' untuk sistem kekebalan tubuh. Hal ini
menunjukkan autoimunitas yang berkembang, setidaknya dalam beberapa
kasus, sebagai konsekuensi dari kematian sel yang tidak normal atau

4
disregulasi termasuk kematian sel terprogram (apoptosis). Dalam
mendukung Konsep ini telah menjadi pengakuan bahwa model hewan
lupus di MLR / lpr mencit karena mutasi genetik FAS. Aktivasi FAS
menyebabkan apoptosis, kelainan FAS mencegah apoptosis yang normal
menyebabkan proliferasi limfositik tidak terkendali dan produksi
autoantibodi. Sebuah homolog manusia model hewan adalah sindrom
limfoproliferatif autoimun (ALPS), karena mutasi dari FAS, anak-anak
mengembangkan limfadenopati besar dan splenomegali dengan produksi
autoantibody(Malleson, Pete; Tekano, Jenny. 2017)
2. Faktor Eksogen Bahkan sedikit yang diketahui tentang pemicu yang
bertanggung jawab untuk sebagian besar bentuk lupus. Obat seperti
antikonvulsan dan antibiotik (khususnya minocycline) dapat menyebabkan
lupus. Sinar matahari dapat memicu kedua manifestasi kulit dan sistemik
lupus (dan neonatal lupus). Menelan jumlah yang sangat besar kecambah
alfalfa juga dapat menyebabkan lupus, pemicu aktif muncul menjadi L-
canvanine. Peran, jika ada, dari virus dan bakteri dalam memicu lupus
tetap jelas meskipun perlu penelitian yang cukup besar. Tidak ada bukti
yang meyakinkan bahwa infeksi tertentu adalah penting dalam
menyebabkan lupus. Menariknya, ada peningkatan penyakit rematik pada
orang dengan infeksi HIV, dan penyakit autoimun termasuk lupus
tampaknya menjadi lebih umum ketika ada restorasi kompetensi kekebalan
dengan penggunaan obat anti retro virus yang sangat aktif (Malleson, Pete;
Tekano, Jenny. 2017).

5
2.4 Klasifikasi
Ada tiga jenis type lupus :
1. Cutaneous Lupus Tipe ini juga dikenal sebagai Discoid Lupus Tipe
lupus ini hanya terbatas pada kulit dan ditampilkan dalam bentuk ruam
yang muncul pada muka, leher, atau kulit kepala. Ruam ini dapat
menjadi lebih jelas terlihat pada daerah kulit yang terkena sinar
ultraviolet (seperti sinar matahari, sinar fluorescent). Meski terdapat
beberapa macam tipe ruam pada lupus, tetapi yang umum terdapat
adalah ruam yang timbul, bersisik dan merah, tetapi tidak gatal.

6
2. Discoid Lupus Tipe lupus ini dapatmenyebabkan inflamasi pada
beberapa macam organ. Untuk beberapa orang mungkin saja hal ini
hanya terbatas pada gangguan kulit dan sendi. Tetapi pada orang yang
lain, sendi, paru-paru, ginjal, darah ataupun organ dan/atau jaringan lain
yang mungkin terkena. SLE pada sebagian orang dapat memasuki masa
dimana gejalanya tidak muncul (remisi) dan pada saat yang lain
penyakit ini dapat menjadi aktif (flare).
3. Drug-induced lupus Tipe lupus ini sangat jarang menyerang ginjal atau
sistem syaraf. Obat yang umumnya dapat menyebabkan druginduced
lupus adalah jenis hidralazin (untuk penanganan tekanan darah tinggi)
dan pro-kainamid (untuk penanganan detak jantung yang tidak
teratur/tidak normal). Tidak semua orang yang memakan obat ini akan
terkena drug-induced lupus. Hanya 4 persen dari orang yang
mengkonsumsi obat itu yang bakal membentuk antibodi penyebab
lupus. Dari 4 persen itu, sedikit sekali yang kemudian menderita lupus.
Bila pengobatan dihentikan, maka gejala lupus ini biasanya akan hilang
dengan sendirinya.
Dari ketiganya, Discoid Lupus paling sering menyerang. Namun,
Systemic Lupus selalu lebih berat dibandingkan dengan Discoid Lupus,
dan dapat menyerang organ atau sistem tubuh. Pada beberapa orang, cuma
kulit dan persendian yang diserang. Meski begitu, pada orang lain bisa
merusak persendian, paru-paru, ginjal, darah, organ atau jaringan lain.
2.5 Gejala kelinis
Gejala klinis yang mungkin muncul pada pasein SLE yaitu:
a. Wanita muda dengan keterlibatan dua organ atau lebih.
b. Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan
penurunan berat badan
c. Muskuloskeletal: artritis, artralgia, myositis
d. Kulit: ruam kupu-kupu (butter• ly atau malar rash), fotosensitivitas,
lesi membrane mukosa, alopesia, fenomena Raynaud, purpura,
urtikaria, vaskulitis.

7
e. Ginjal: hematuria, proteinuria, silinderuria, sindroma nefrotik
f. Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen
g. Paru-paru: pleurisy, hipertensi pulmonal,lesi parenkhim paru.
h. Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis
i. Retikulo-endotel: organomegali (limfadenopati, splenomegali,
hepatomegali)
j. Hematologi: anemia, leukopenia, dan trombositopenia
k. Neuropsikiatri: psikosis, kejang, sindroma otak organik, mielitis
transversus, gangguan kognitif neuropati kranial dan perifer.

8
2.6

Pemeriksaan Fisik
a. inspeksi : inspeksi kulit dilakukan untuk menemukan ruam eritematous.
Plak eritematous pada kulit dengan skuama yang melekat dapat terlihat
pada kulit kepala, muka atau leher. Inspeksi kulit kepala dilakukan untuk
menemukan gejala alopesia, dan inspeksi mulut serta tenggorok untuk
ulserasi yang mencerminkan gangguan gastrointestinal. Selain itu juga
untuk melihat pembengkakan sendi.
b. Auskultasi : dilakukan pada kardiovaskuler untuk mendengar friction rub
perikardium yang dapat menyertai miokarditis dan efusi pleura. Efusi
pleura serta infiltrasi mencerminkan insufisiensi respiratorius dan
diperlihatkan oleh suara paru yang abnormal.
c. Palpasi : dilakukan palpasi untuk mengetahui adanya nyeri tekan, dan
sendi
yang terasa hangat.
2.7 Dampak SLE untuk anak dan Keluarga

9
ketika diagnosis ditegakkan, kemampuan sumber daya keluarga dan
dukungan sangat diperlukan. Pendidikan sering merupakan langkah
pertama dalam membantu keluarga merasa bahwa mereka memiliki
kontrol. Hal ini penting untuk diingat untuk tidak terlalu membebani
keluarga pada beberapa kunjungan pertama setelah diagnosis. Perawat
dapat memainkan peran kunci dalam membantu mereka dengan belajar
tentang penyakit dengan sering telepon tindak lanjut dan kunjungan.
Informasi tertulis dan review dari penyakit dan efek samping pengobatan
yang sering diperlukan(Malleson, Pete; Tekano, Jenny. 2017).
Remaja sering memberikan tantangan yang unik karena mereka dapat
menggunakan penyangkalan sebagai mekanisme koping. Hal ini tidak
selalu mekanisme buruk, tetapi bisa membuat frustasi bagi anggota
keluarga. Sbagian besar anak mampu bersekolah penuh waktu. Banyak
yang memilih untuk tidak memberitahu temanteman atau guru tentang
penyakit mereka. Seringkali remaja akan melanjutkan semua kegiatan
mereka sebelumnya karena mereka tidak ingin berbeda dari yang
lain(Malleson, Pete; Tekano, Jenny. 2017).
Seringkali kronisitas SLE tidak sepenuhnya dipahami oleh keluarga
atau anak hingga memasuki tahun kedua atau ketiga setelah diagnosis. Saat
ini, meskipun penyakit ini mungkin terkontrol baik dengan obat dan hanya
sedikit obat yang diperlukan, dukungan dan pendidikan yang lebih lanjut
diperlukan. Ketidakpastian SLE, di mana seorang anak dapat berjalan
dengan baik selama beberapa tahun dan kemudian memiliki flare dari
penyakit mereka, sangat menegangkan. Hal ini kembali memperkuat
kronisitas SLE dan keluarga mungkin memiliki waktu yang lebih sulit
menghadapi flare penyakit daripada di diagnosis asli. Sebuah hubungan
saling percaya dengan tim perawatan medis sangat penting dengan
komunikasi terbuka dan jujur dengan baik anak dan orang tua(Malleson,
Pete; Tekano, Jenny. 2017).
Anak-anak dengan SLE dan keluarga mereka memerlukan tim
kesehatan profesional untuk membantu mereka melalui sampai dewasa.

10
Sebagai anak-anak bertambah tua adalah penting bahwa tim kesehatan
mendorong keluarga untuk memberikan peningkatan kontrol manajemen
penyakit pada anak. Ini transisi dari manajemen penyakit dari orang tua
kepada anak dapat dibantu dengan memiliki transisi yang klinik remaja
spesifik dijalankan bersama oleh anak dewasa dan dokter. Ketidakpastian
lupus dengan flare dan remisi berarti bahwa pemantauan ketat akan selalu
dibutuhkan, tetapi banyak anak beradaptasi dengan tantangan ini dan tidak
membiarkan Penyakit mereka mengganggu berlebihan dengan kehidupan
mereka. Hal ini dapat sangat diperlukan penghargaan untuk mmembantu
tumbuh menjadi orang-orang dewasa yang sehat sukses (Malleson, Pete;
Tekano, Jenny. 2017).
2.8 Penatalaksanaan Keperawatan
Asuhan keperawatan didasarkan pada pengelolaan rasa sakit dan
peradangan, mengatasi gejala, dan mencegah komplikasi. Pengobatan rasa
sakit dan peradangan pada SLE ringan umumnya dicapai dengan
nonsteroidal obat anti inflamasi (NSAID). Obat antimalaria juga digunakan
dalam SLE ringan untuk mengontrol gejala radang sendi, ruam kulit,
sariawan, demam, dan kelelahan. Perawat perlu memberitahu orang tua
yang kadang-kadang memakan waktu lama sebelum terapi efek obat
antimalaria yang jelas.
Perawatan SLE membutuhkan penambahan kortikosteroid.
Kortikosteroid diberikan kepada anak ketika anak tidak merespon NSAID
atau obat antimalaria. Kortikosteroid sangat efektif dalam mengurangi
peradangan dan gejala, meskipun mereka juga memiliki efek samping yang
serius dari imunosupresi. Selama periode eksaserbasi, kortikosteroid dapat
dimulai dalam dosis tinggi. Setelah gejala di bawah kontrol, dosisnya
adalah meruncing ke terendah tingkat terapeutik. Hal ini penting untuk
memberitahu orang tua bahwa steroid harus perlahan meruncing ketika
saatnya untuk menghentikan obat.
Jenis obat yang paling ampuh yang digunakan untuk mengobati SLE
parah termasuk agen imunosupresif. obat-obat ini digunakan ketika

11
penyakitnya sudah mencapai keadaan yang serius di mana tanda-tanda
parah dan gejala yang hadir. Agen Imunosupresif juga dapat ditentukan jika
ada kebutuhan untuk menghindari kortikosteroid. Keputusan untuk
menggunakan immunosuppressives membutuhkan pertimbangan serius
karena efek samping signifikan, terutama yang berkaitan dengan
imunosupresi umum. Contoh agen imunosupresif digunakan dalam
pengobatan SLE termasuk azathioprine (Imuran), siklofosfamid (Cytoxan),
dan methotrexate (Rheumatrex). Setiap obat memiliki risiko yang unik dan
serius seperti depresi sumsum tulang dan hepatotoksisitas. Perawat harus
memperkuat informasi tentang aksi obat sebagai serta efek samping dengan
orangtua sebelum pemberian obat ini Selain obat-obatan , asuhan
keperawatan juga berfokus pada perawatan paliatif dan memberikan
dukungan psikososial . Sekarang penting bahwa mempertahankan gizi anak
yang baik , istirahat dan berolahraga , menghindari matahari , dan
mendorong ekspresi perasaan tentang kondisi tersebut. Meskipun tidak ada
yang spesifik, Diet untuk SLE adalah diet rendah garamIstirahat dan latihan
termasuk periode di mana anak aktif selama remisi dan beristirahat selama
eksaserbasi .
Penghindaran dari paparan sinar matahari ditekankan karena
fotosensitif ruam yang terjadi dengan SLE . Penggunaan tabir surya
kegiatan di luar ruangan yang penting , dan perencanaan di bawah naungan
atau tinggal di dalam rumah mungkin diperlukan . Karena kondisi ini
mungkin terjadi kesulitan bagi anak dan keluarga untuk mengatasi dan
mengerti, mendorong ekspresi perasaan atau bergabung dengan kelompok
pendukung didorong . orangtua harus memberitahu guru, pelatih , dan
orang lain tentang anak mereka kondisi sehingga mereka dapat membantu
memantau anak dan memperoleh pengobatan yang diperlukan jika
diperlukan . Merupakan perawat tanggung jawab untuk membantu anak dan
keluarga mengidentifikasi kemungkinan pemicu , seperti sinar matahari dan
stres emosional, dan membantu keluarga untuk menemukan cara untuk
menghindarinya. (Ward, Susan L and Hisley, Shelton M. 2019)

12
2.9 Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan lab :

a. Pemeriksaan darah Pemeriksaan darah bisa menunjukkan adanya


antibodi antinuklear, yang terdapat pada hampir semua penderita
lupus. Tetapi antibodi ini juga bisa ditemukan pada penyakit lain.
Karena itu jika menemukan antibodi antinuklear, harus dilakukan juga
pemeriksaan untuk antibodi terhadap DNA rantai ganda. Kadar yang
tinggi dari kedua antibodi ini hampir spesifik untuk lupus, tapi tidak
semua penderita lupus memiliki antibodi ini. Pemeriksaan darah
untuk mengukur kadar komplemen (protein yang berperan dalam
sistem kekebalan) dan untuk menemukan antibodi lainnya, mungkin
perlu dilakukan untuk memperkirakan aktivitas dan lamanya
penyakit.

b. Analisa air kemih menunjukkan adanya darah atau protein.

2. Radiology :

a. Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau perikarditis.

13
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

KASUS

Seorang perempuan bernama An Y tahun datang ke UGD dengan


keluhan merasa tidak nyaman dengan kulit memerah pada daerah pipi
dan leher, awalnya kecil namun setelah satu minggu ukuran tersebut
bertambah lebar, demam, nyeri, dan terasa kaku seluruh persendian
terutama pagi hari dan kurang nafsu makan. Pada pemeriksaan fisik
diperoleh ruam pada pipi dengan batas tegas, peradangan pada siku,
lesi pada daerah leher, malaise. Klien mengatakan terdapat bberapa
sariawan pada mukosa mulut. Klien ketika bertemu dengan orang lain
selalu menunduk dan menutupi wajahnya dengan masker. Tekanan

darah 110/80 mmHg, RR 20x/menit, nadi 90x/menit, suhu 38,5 ,


Hb 11gr/dl, WBC 15.000/mm3.

a. Pengkajian
1) Identitas klien
Nama : An. Y
Usia : 10 tahun
Alamat : Tanah Bumbu
Pendidikan : sd
Agama : Islam

2) Keluhan utama
Klien mengeluhkan nyeri pada sendi serta kekakuan kaki dan
tangan, saat beraktivitas klien merasa mudah lelah, klien merasa
demam. Pipi dan leher memerah serta nyeri pada bagian yang
memerah.

14
3) Riwayat penyakit sekarang
Klien datang ke UGD dengan keluhan merasa tidak nyaman
dengan kulit memerah pada daerah pipi dan leher, awalnya
lebarnya kecil namun setelah satu minggu lebarnya bertambah
besar, demam, nyeri dan terasa kaku seluruh persendian utamanya
pada pagi hari dan berkurang nafsu makan karena ada sariawan.

4) Riwayat penyakit dahulu


Tidak ada

5) Riwayat penyakit keluarga


Tidak ada

6) Pemeriksaan fisik
a) TTV
TD : 110/80 mmHg
RR : 20x/menit

S : 38,5
N : 90x/menit

b) Pemeriksaan fisik per sistem


B1 (Breath)
RR 20x/menit, napas dalam terlihat seperti menahan nyeri

B2 (Blood)

TD 110/80 mmHg

Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi


papuler, eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan,

15
siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral
tangan dan berlanjut nekrosis.

B3 (Brain)

Gangguan psikologis

B4 (Bladder)
Tidak ada

B5 (Bowel)

Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.

B6 (Bone)

Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika


bergerak, rasa kaku pada pagi hari. Lesi akut pada kulit yang
terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal
hidung serta pipi.

7) Pemeriksaan penunjang
a) Tes fluorensi untuk menentukan antinuclear antobodi (ANA),
positif dengan titer tinggi pada 98% penderita SLE
b) Pemeriksaan DMA double stranded lebih spesifik untuk
menentukan SLE
c) Bila titer antidobel stranded tinggi, spesifik untuk diagnose
SLE
d) Tes sifilis bisa positif paslu pada pemeriksaan SLE
e) Pemeriksaan zat antifosfolipid antigen (seperti antikardiolipin
antibody) berhubungan untuk mennetukan adanya thrombosis
pada pembuluh arteri atau pembuluh vena atau pada abortus
spontan, bayi meninggal dalam kandungan, dan
trombositopeni.

16
b. Analisis data

Data Etiologi Masalah


Keperawatan
Ds: Genetic, lingkungan, Nyeri
Nyeri pada sendi hormone, obat
dan bagian yang tertentu
mengalami ↓
kemerahan Produksi autoimun
Do: berlebih
Klien terlihat ↓
menahan nyeri Autoimun
TD 110/80 menyerang organ
mmHg tubuh
RR 20x/menit ↓

S 38,5 SLE

N 90x/menit ↓
Kerusakan jaringan

Nyeri kronis
Ds: Genetic, lingkungan, Peningkatan suhu
Klien hormone, obat tubuh
mengeluhkan tertentu
demam ↓
Do: Produksi autoimun
TD 110/80 berlebih
mmHg ↓
RR 20x/menit Autoimun

17
S 38,5 menyerang organ

N 90x/menit tubuh

terjadi reaksi
inflamasi

peningkatan suhu
tubuh
Ds: Genetic, lingkungan, Gangguan mobilitas
Nyeri pada sendi hormone, obat fisik
dan bagian yang tertentu
mengalami ↓
kemerahan Produksi autoimun
Do: berlebih
Klien terlihat ↓
menahan nyeri Autoimun
TD 110/80 menyerang organ
mmHg tubuh
RR 20x/menit ↓

S 38,5 SLE

N 90x/menit ↓
arthritis

gangguan mobilitas
fisik

c. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri kronis berhubungan dengan ketidakmampuan fisik-
psikososial kronis (metastase kanker, injuri neurologis, arthritis)
2. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan inflamasi

18
3. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri kronis pada
sendi

d. Intervensi

Dx: nyeri kronis berhubungan dengan ketidakmampuan fisik-


psikososial kronis (metastase kanker, injuri neurologis, arthritis)
Ds:
Kelelahan
Do:
1. Gangguan aktivitas
2. Anoreksia
3. Menahan napas
NOC NIC
1. Comfort level Pain management
2. Pain control 1. Monitor kapuasan pasien
3. Pain level terhadap manajemen nyeri
Setalh dilakukan tindakan 2. Tingkatkan istirahat dan
keperawatan selama 24jam nyeri tisur yang adekuat
kronis pasien berkurang dengan 3. Kelola antianalgesik
kriteria hasil: 4. Jelaskna pada klien
1. Tidak ada gangguan tidur penyebab nyeri
2. Tidak ada gangguan 5. Lakukan tehnik
konsetrasi nonfarmakologis
3. Tiadak ada gangguan (relaksasi, masase
hubungan interpersonal punggung)
4. Tidak ada ekspresi
menahan nyeri dan
ungkapan secara verbal
5. Tidak ada tegangan otot

Dx: peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan inflamasi

19
Ds:
Suhu tubuh meningkat
Do:
1. Kenaikan suhu tubuh diatas rentang normal
2. Kulit kemerahan
3. Pertambahan RR
4. Kulit terasa panas
NOC NIC
Thermoregulasi 1. Monitor suhu seseirng
Setelah dilakuakn tindakan mungkin
keperawatan selama 24 jam 2. Monitor warna dan suhu
pasien menunjukkan: kulit
Suhu tubuh dalam batas normal 3. Monitor TD, nadi dan RR
dengan kriteria hasil: 4. Monitor WBC, Hb, dan

1. Suhu 36-37 Hct

2. Nadi dan RR dalam 5. Monitor intake dan output

renatang normal 6. Berikan antipiretik sesuai

3. Tidak ada perubahan advis dokter

warna kulit dan tidak ada 7. Selimuti klien

pusing, klien merasa 8. Berikan cairan intravena

nyaman 9. Kompres klien pada lipat


paha dan aksila
10. Tingkatkan sirkulasi
udara
11. Tingkatkan sirkulasi
udara
12. Tingkatkan intake cairan
dan nutrisi
13. monitor hidrasi seperti
turgor kulit, kelembaban
mukosa

20
Dx: kelelahan berhubungan dengan kondisi fisik yang buruk karena
suatu penyakit
Ds:
1. kelelahan
2. meningkatnya komplain fisik
3. secara verbal menyatakan kurang energi
Do:
1. penurunan kemampuan
2. ketidakmampuan mendapatkan energy sesudah tidur
3. kurang energy
4. ketidakmampuan untuk mempertahankan aktivitas
NOC NIC
1. activity tolerance 1. monitor respon
2. energy conservation kardiorespirasi terhadap
3. nutritional status: energy aktivitas (takikardi, disritmai,
setelah dilakukan tidnakan dispnea, diaphoresis, pucat,
keperawatan selama 2x24 jam tekanan hemodinamik dan
kelelahan pasien teratasi dengan jumlah respirasi)
kriteria hasil: 2. monitor dan catat pola dan
1. kemampuan aktivitas adekuat jumlah tidur klien
2. mempertahankan nutrisi 3. monitor lokasi
adekuat ketidaknyamanan atau nyeri
3. keseimbangan aktivitas dan selama bergerak dan aktivitas
istirahat 4. monitor intake nutrisi
4. menggunakan tehnik energy 5. monitor pemberian dan efek
konservasi samping obat depresi
5. mempertahankan interaksi 6. instruksikan pada klien untuk
sosial memcatat tanda dan gejala
6. mengidentifikasi faktor fisik kelelahan
dan psikologis yang 7. jelaskan pada klien hubungan

21
menyeabbkan kelelahan kelelahan dengan proses
7. mempertahankan kemampuan penyakit
untuk konsentrasi 8. kolaborasi dengan ahli gizi
tentang cara meningkatkan
intake makanan tinggi energy
9. dorong klien dan keluarga
mengekspresikan
perasaannya
10. catat aktivitas yang dapat
meningkatkan kelelahan
11. anjurkan klien melakukan
yang meningkatkan relaksasi
12. tingkatkan pembatasan
bedrest dan aktivitas
13. batasi stimulasi lingkungan
untuk memfasilitasi relaksasi

22
BAB IV

PENUTUP

4.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada pasien
dewasa yang terdiagnosa tegak SLE maka dapat disimpulkan bahwa obat-
obatan untuk terapi SLE yang paling banyak digunakan adalah antiradang
topikal 56%, glukokortikoid metilprednisolon 47%, sitostatika mofetil
mikofenolat 17%, antimalaria klorokuin 9%, dan AINS natrium diklofenak
6% dengan pola pengobatan terbanyak berupa glukokortikoid tunggal 35%.
Ketepatan indikasi pengobatan SLE adalah 100%, ketepatan pasien 100%,
ketepatan obat 53%, dan ketepatan dosis 83%. Metilprednisolon merupakan
jenis obat yang paling besar menjadi penyebab terjadinya ketidaktepatan
obat pada terapi SLE yang diperoleh pasien di Instalasi Rawat Inap Rumah
Sakit Umum X Yogyakarta pada periode Januari-Desember 2011
4.2 Saran
Sebaiknya mahasiswa/i mampu mempelajari dan memahami tentang
patofis kelainan pada sistem imun yang mengalami SLE. Kita akan
mengetahui bagaimana cara menangani atau mempelajari tentang kelainan
pada sistem imun anak. Semoga dengan pembuatan laporan ini dapat
bermanfaat yang akan menjadi informasi untuk kehidupan kita sehari-hari.

23
DAFTAR PUSTAKA

Gloria, M. Bulechek. Dkk. 2013. Nursing Interventions Classification (NIC).


Kidlington: Elsevier

Israr, A.Y., (2010). Tetralogi fallot (TOF). Diunduh pada tanggal 22 September
2017. Diunduh dari http://www.Files-of-DrsMed.tk.

Tiara Savitri,(2014). Data stastitik SLE Diunduh pada tanggal 22 September


2017. Diunduh dari http://www.Files-of-DrsMed.tk

Malleson, Pete; Tekano, Jenny. (2017). Penata laksanaan keperawatan pada


SLE. Diunduh pada tanggal 22 September 2017. Diunduh dari
http://www.Files-of-DrsMed.tk
Supit, Alice I., Kaunang. Erling D. (2012). Tetralogi fallot dan atresia pulmonal.
Diunduh pada tanggal 22 September 2017. Diunduh dari
https://webcache.googleusercontent.com/search?
q=cache:_uQxZEY1waEJ:https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/biomedik/a
rticle/download/1205/975+&cd=8&hl=en&ct=clnk&gl=id

Sue. Moorhead. Dkk. 2013. Nursing Outcame Classification (NOC). Kidlington:


Elsevier

Samik Wahab, (2016). Kardiologi anak Nadas. Yogyakarta : Gadjah Mada


Ununiversity Press.

24

Anda mungkin juga menyukai