CLINICAL STUDY
DEPARTEMEN KEPERAWATAN MEDICAL BEDAH 2
OLEH:
ITERA TABUNI
NIM: 1614314201022
LEMBAR PERSETUJUAN
LAPORAN
CLINICAL STUDY
DEPARTEMEN KEPERAWATAN MEDICAL BEDAH 2
Pembimbing Institusi
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan YME yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Rencana Asuhan
Keperawatan Dengan Kasus Autoimun SLE” dengan baik dan tidak ada halangan apapun.
Makalah ini ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Medical Bedah 2.
Dalam penyusunan makalah ini tentunya tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak,
sehingga kami mengucapkan terima kasih atas segala bantuan yang telah diberikan. Tidak lupa
kami mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ns.Kurnia Laksana M.,Kep. selaku dosen pembimbing clinical study departemen
Keperawatan Medical Bedah 2. yang telah berkenan meluangkan waktu untuk
memberikan arahan dan bimbingan dalam penyusunan tugas ini.
2. Kedua orang tua kami yang senantiasa memberi semangat dan dukungan kepada kami.
3. Dan semua pihak yang telah membantu serta membimbing kami dalam penyusunan
makalah ini.
Kami menyadari bahwa hasil diskusi ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu jika tedapat kekurangan kami memohon maaf dan mengharapkan
kritik dan saran yang akan membangun makalah ini. Akhirnya, semoga tugas ini dapat berguna
bagi kita semua.
Penyusun
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN..............................................................................................2
KATA PENGANTAR.......................................................................................................3
DAFTAR ISI.....................................................................................................................4
BAB I.................................................................................................................................5
PENDAHULUAN.............................................................................................................5
1.1 Latar Belakang.........................................................................................................5
1.2 Tujuan......................................................................................................................5
1.3Manfaat.....................................................................................................................5
BAB II...............................................................................................................................7
TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................................7
2.1 Definisi ....................................................................................................................7
2.2 Anatomi Fisiologi ...................................................................................................8
2.3 Etiologi...................................................................................................................12
2.4 Faktor-Faktor ........................................................................................................15
2.5 Pathofisiologi ........................................................................................................18
BAB III............................................................................................................................24
RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN.....................................................................24
3.1 Kasus......................................................................................................................24
3.2 Pathway..................................................................................................................25
3.3 Analisa Data...........................................................................................................26
3.4 Prioritas Diagnosa Keperawatan............................................................................28
3.5 Rencana Asuhan Keperawatan..............................................................................29
3.6 Implementasi dan Evaluasi Keperawatan..............................................................38
BAB IV............................................................................................................................44
PENUTUP.......................................................................................................................44
4.1 Kesimpulan............................................................................................................44
4.2 Saran......................................................................................................................44
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................45
BAB I
PENDAHULUAN
1.3. Manfaat
1. Dapat mengetahui dan memahami definisi Autoimun “SLE”
2. Dapat mengetahui dan memahami anatomi fisiologi Autoimun “SLE”
3. Dapat mengetahui dan memahami etiologi Autoimun “SLE”
4. Dapat mengetahui dan memahami faktor-faktor Autoimun “SLE”
5. Dapat mengetahui dan memahami pathofisiologi Autoimun “SLE”
6. Dapat mengetahui dan memahami konsep asuhan keperawatan pada Autoimun“SLE
7. Dapat merencanakan rencana asuhan keperawatan dengan Autoimun “SLE”
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit autoimun multisystem
di mana organ, jaringan, dan sel mengalami kerusakan yang dimediasi oleh
autoantibodi pengikat jaringan dan kompleks imun. Gambaran klinis SLE dapat
berubah, baik dalam hal aktivitas penyakit maupun keterlibatan organ.
Imunopatogenesis SLE kompleks dan sejalan dengan gejala klinis yang beragam.
Tidak ada mekanisme aksi tunggal yang dapat menjelaskan seluruh kasus, dan
kejadian awalyang memicunya masih belumdiketahui. Sesuai dengan teori, pada
kasus ini juga terdapat penglibatan multisystem yaitu system mukokutan (malar
rash), muskoloskeletan (arthritis), hematology (anemia), neurology (serebri) dan
ginjal (nefritis).
2.2. Epidemiologi
Masih belum didapatkan data pasti mengenai prevalensi SLE di Indonesia.
Di AS,angka yang paling dapat dipercaya adalah 0,05 – 0,1% dari populasi,
namun didapatkan angka yang berbeda pada berbagai laporan. Beberapa ras,
seperti kaum kulit hitam, keturunan asli Amerika, dan keturunan Hispanik,
berisiko lebihtinggi terhadap SLE dan dapat mengalami penyakit yang lebih
parah. Prevalensi SLE di seluruh dunia tidak berbeda dengan laporan dari AS;
penyakit ini kelihatannya lebih sering ditemukan di Cina, di Asia Tenggara, dan
di antara keturunan kulit hitam di Karibia namun jarang ditemukan pada
keturunan kulit hitam di Afrika. SLE jarang terjadi pada usia prepubertas namun
sering dimulai pada usia decade kedua hingga keempat; beberapa studi
menunjukkan puncak kedua kasus baru pada sekitar usia 50 tahun. Distribusi jenis
kelamin cukup jelas; SLE berkembang pada wanita usia produktif sekitar sepuluh
kali lipat daripada pria dengan usia yang sama. Pada usia lebih muda, wanita tiga
sampai empat kali lebih sering daripada pria. Pada usia lebih tua, perbandingan
wanita dan pria adalah Sesuai dengan teori yang mengatakan SLE lebih sering
pada jenis kelamin perempuan, kasus ini juga adalah perempuan. Sesuai dengan
studi yang mengatakan puncak kedua SLE pada usia sekitar 50, kasus ini berumur
48 tahun daripada pria.
2.3. Etiologi
SLE disebabkan oleh interaksi antara kerentanan gen (termasuk alel
HLADRB1, IRF5, STAT4, HLA-A1, DR3, dan B8), pengaruh hormonal, dan
factor lingkungan. Interaksi ketiga faktor ini akan menyebabkan terjadinya respon
imunyang abnormal.
a. factor genetic
SLE merupakan penyakit multigen. Gen yang terlibat termasuk alel
HLADRB1,IRF5, STAT4, HLA-A1, DR3, dan B8. Interaksi antara kerentanan
gen,pengaruh hormonal, dan faktor lingkungan, menghasilkan respons imun
abnormal.Respons imun mencakup hiperreaktivitas dan hipersensitivitas limfosit
T dan B dan regulasi antigen dan respons antibodi yang tidak efektif.
Hiperreaktivitas sel T dan B ditandai dengan peningkatan ekspresi molekul
permukaan seperti HLA-D danCD40L, menunjukkan bahwa sel mudah teraktivasi
oleh antigen yang menginduksi sinyal aktivasi pertama dan oleh molekul yang
mengarahkan sel ke aktivasi penuh melalui sinyal kedua. Hasil akhir anomali ini
adalah produksi autoantibodi patogen dan pembentukan kompleks imun yang
mengikat jaringan target, menghasilkan
(1)sekuestrasi dan destruksi Ig-coated circulating cells;
(2)fiksasi dan cleaving protein komplemen, dan
(3) pelepasan kemotaksin, peptida
vasoaktif, dan enzim destruktif ke jaringan. Banyak autoantibodi pada
orang dengan SLE yang ditujukan pada kompleks DNA/protein atau RNA/protein
seperti nukleosom, beberapa jenis RNA nukleus, dan RNA spliceosomal. Selama
apoptosis antigen bermigrasi ke permukaandan fosfolipid membran berubah.
b. Faktor lingkungan
Di antara pencetus aktivitas penyakit lupus, sinar ultraviolet merupakan
factor yang paling dikenal. Mekanisme aksinya dapat mencakup induksi epitop
antigen didermis atau epidermis, pelepasan materi inti oleh sel kulit yang dirusak
oleh cahaya, atau disregulasi sel imun kulit. Berbagai faktor lingkungan lain juga
terlibat dalam lupus. Pengobatan seperti prokainamid, hidralazin, dan minosiklin
dapat menyebabkan lupus eritematosus yang diinduksi obat, penyakit yang mirip
dengan SLE. Mungkin yang paling menarik adalah beberapa obat antirematik
dapat menginduksi penyakit yang tampilan klinis dan serologisnya mirip SLE.
Bahan kimia, khususnya senyawa amino aromatik, dikenal sebagai penyebab
lupus-like syndromes. Sindrom ini lebih mirip dengan lupus yang diinduksi
obatdaripada SLE dan menghilang setelah pajanan berakhir. Laporan mengenai
pengaruh geografis pada lupus masih belum mengkonfirmasi faktor lingkungan
ini. Asam amino esensial L-canavanine dicurigai sebagai penyebab lupus. Pajanan
terhadap asam amino ini menyebabkan manifestasi singkat autoimun pada
manusia,seperti juga telah terbukti pada kera. Keberadaan fitoestrogen diajukan
sebagai penjelasan untuk peningkatan kejadian SLE selama 30 tahun terakhir.
c. Pengaruh Hormonal
Observasi klinis menunjukkan peran hormon seks steroid sebagai
penyebab SLE. Observasi ini mencakup kejadian yang lebih tinggi pada wanita
usia produktif, peningkatan aktivitas SLE selama kehamilan, dan risiko yang
sedikit lebih tinggi pada wanita pascamenopause yang menggunakan
suplementasi estrogen. Walaupun hormon seks steroid dipercaya sebagai
penyebab SLE, namun studi yang dilakukan oleh Petri dkk menunjukkan bahwa
pemberian kontrasepsi hormonal oral tidak meningkatkan risiko terjadinya
peningkatan aktivitas penyakit pada wanita penderita SLE yang penyakitnya
stabil.
b. Gangguan presentasi
Gangguan dapat terjadi pada presentasi antigen, infeksi yang
meningkatkan respons MHC, kadar sitokin yang rendah dan gangguan
respons terhadap IL-1. Pengawasan beberapa sel autoreaktif diduga
bergantung pada sel Ts atau Tr. Bila terjadi kegagalan sel Ts atau Tr,
maka sel Th dapat dirangsang sehingga menimbulkan autoimunitas.
Respons imun seleksi timus normal nampaknya menghasilkan beberapa
sel Th self reaktif. Kelainan dalam proses ini dapat memproduksi sel Th
self reaktif lebih bayak. Aktivasi sel T reaktif ini terjadi melalui berbagai
cara, baik sebagai aktivasi poliklonal sel B yang menginduksi respons
autoimun yang menghasilkan kerusakan jaringan. Kemungkinan besar
berbagai mekanisme terlibat pada setiap penyakit autoimun. Selular
terhadap mikroba dan antigen asing lainnnya dapat juga menimbulkan
kerusakan jaringan di tempat infeksi atau pajanan antigen.
Usaha perlindungan terhadap pejamu berjalan efektif jika semua tipe komponen
ada dan berfungsi sepenuhnya, dan masing – masing berfungsi dengan
semestinya. Kegagalan dalam memberikan respon bisa terjadi jika ada satu
subkelompok sel , reseptor, atau factor yang disekresi menghilang. Ada beberapa
factor yang imun yang berperan seperti, genetic, sequested antigen, gangguan
presentasi, dan kehilangan toleransi. Toleransi adalah Suatu keadaan saat
seseorang tidak mampu mengembangkan suatu repons imun melawan suatu
antigen yang spesifik. Toleransi diri secara khusus menunjukan kurangnya
responsivitas imun terhadap antigen jaringannya sendiri. toleransi-diri semacam
itu diperlukan jika jaringan kita dapat hidup secara harmonis dengan pasukan
limfosit yang merusak. Mekanisme terjadinya autoimun adalah pada saat ada salah satu
factor diatas yang tidak terpenuhi, toleransi diri respon imun akan hilang
kemudian sel – sel system imun tidak dapat mengenali sel – sel tubuh sendiri.
Sehingga sel tubuh sendiri di anggap sebagai antigen. Sel – sel system imun
berproliferasi kemudian menuju jaringan yang cedera dan menyerang jaringan
tersebut.
Faktogenetik
Penyakit autoimun multipel dapat berada dalam satu keluarga dan autoimun yang
bersifat subklinis lebih umum terdapat dalam anggota keluarga dibandingkan
penyakit yang nyata. Peran genetik dalam penyakit autoimun hampir selalu
melibatkan gen multipel, meskipun dapat pula hanya melibatkan gen tunggal.
Beberapa defek gen tunggal ini melibatkan defek pada apoptosis atau kerusakan
anergi dan sesuai dengan mekanisme toleransi perifer dan kerusakannya.
Hubungan antara gen dengan autoimunitas juga melibatkan varian atau alel dari
MHC.Beberapa peneliti menemukan adanya hubungan antara penyakit LES
dengan gen Human Leukocyte Antigen (HLA) seperti DR2, DR3 dari Major
Histocompatibility Complex (MHC) kelas II. Individu dengan gen HLA DR2 dan
DR3 mempunyai risiko relatif menderita penyakit LES 2-3 kali lebih besar
daripada yang mempunyai gen HLA DR4 dan HLA DR5. Peneliti lain
menemukan bahwa penderita penyakit LES yang mempunyai epitop antigen
HLA-DR2 cenderung membentuk autoantibodi anti-dsDNA, sedangkan penderita
yang mempunyai epitop HLA-DR3 cenderung membentuk autoantibodi
anti-Ro/SS-A dan anti-La/SS-B. Penderita penyakit LES dengan epitop-epitop
HLA-DR4 dan HLA-DR5 memproduksi autoantibodi anti-Sm dan anti-RNP.
Kelas – kelas HLA
HLA dikelompokkam\n menjadi tiga kelas MHC molekul
a) HLA kelas I yaitu glikoprotein yang ditemukan pada membran kebanyakan
sel-sel berinti.
1) Jenis HLA dikodekan oleh tiga gen : A, B, dan C
2) HLA ini terhubung dengan sel-sel sitotoksik (Tc) melalui CD8 dan
memaparkan epitop peptida kepada reseptor Tc spesifik dan dapat
mengikat beberapa epitop yang berbeda. .
3) Dua rantai membentuk struktur molekular kelas 1, yaitu rantai alfa,
memiliki tiga tempat, suatu segmen transmembran dan satu ekor
sitoplasma, sedangkan mikroglobulin beta dua adalah suatu protein yang
tidak bervariasi.
4) Tempat perlekatan peptida, yang ditemukan antara alfa satu dan alfa dua,
mengikat peptida yang mengandung 8 sampai 10 asam amino
b) HLA kelas II adalah glikoprotein yang ditemukan pada sel-sel dendritik,
makrofag, sel-sel T teraktivasi, dan sel-sel B
1) HLA II Dikodekan oleh tiga gen : DP, DQ dan DR
2) HLA ini terhubung kepada sel Th melalui CD$ dan memaparkan
epitop peptida kepada reseptor Tc spesifik dan dapat mengikat
beberapa epitop yang berbeda.
3) Dua rantai, yaitu rantai alfa dan beta, masing-masing memiliki dua
tempat, ditambah suatu segmen transmembran dan satu ekor
sitoplasma.
4) Tempat perlekatan peptida, yang dibentuk oleh alfa satu dan beta
satu,dan mengikat polipeptida yang mengandung 13 sampai 18 asam
amino.
c) Mengendalikan protein serum tertentu, termasuk beberapa komponen
komplemen dan TNF. Molekul kelas III dikodekan oleh tiga gen, C4,
C2, dan BF.
d) Poliformisme
1) Banyak alel kelas I dan kelas II ada pada setiap lokus pada kromosom 6
dan menjadi rintangan dalam transplantasi organ.
2) Haplotip dari kedua sel induk yang diturunkan dan dipaparkan sama
dominannya (kodominan).
Pengendalian TCR (genetik reseptor antigen sel T)
1. TCR merupakan suatu dimer dari rantai alfa dan beta (kira-kira 95 %) atau
gamma dan lambda (kira-kira 5 %)
2. Tidak memberikan respons terhadap antigen terlarut
Lokus kerentanan untuk
penyakit autoimun. Lokus kromosom terkait dengan beberapa
penyakit autoimun yang akan di tampilkan. Lokasi gen
kandidat kepentingan kekebalan yang diindikasikan sebagai oval di sebelah
kiri kromosom. Ini oval adalah kode warnauntuk
menunjukkan penyakit yang gen terkait. SLE, lupus eritematosus sistemik; AITD,
penyakit tiroid autoimun, RA, rheumatoid arthritis; T1D, diabetes tipe
1. (Dimodifikasi dari Yamada R dan K Ymamoto temuan terbaru tentang gen
yang terkait dengan penyakit inflamasi.. Mutasi Penelitian 573:136-
151, Copyright 2005 dengan izin dari Elsevier.)
1. Predisposisi genetik
2. Jalur seksual
3. Autoantigen
5. Kesalahan regulasi
pada sistem imun yang sebabnya tidak diketahui, kemungkinan
karena tidak adanya sel yang mengandung CD8 yang membunuh sel yang
mengandung CD4. Mekanisme imun dari penyakit autoimun yang
berhubungan dengan reaksi hipersensitivitas tipe II-V. Salah satu yang
dapat menjelaskan adalah kejadian penyakit autoimun yang sistemik
contohnya lupus eritematosus sistemik (reaksi tipe III) yang merupakan
penyakit autoimun spesifik organ dan spesifik jaringan. Contoh dari reaksi
tipe II adalah anemia hemolitik autoimun dan sindrom Goodpasture;
arthritis rheumatoid, multiple sclerosis dan diabetes melitus tipe I (dimana
sel T-CD8 yang merusak sel B pankreas) adalah contoh reaksi tipe IV.
Sedangkan contohnya reaksi tipe V terdapat pada aktifasi reseptor hormon
(penyakit Grave) atau blok pada reseptor hormon (myasthenia gravis).
2.7. Patofisiologi
Gambaran klinis SLE sangat bervariasi, baik dalam keterlibatan organ pada suatu
waktu maupun keparahan manifestasi penyakit pada organ tersebut. Sebagai tambahan,
perjalanan penyakit berbeda antarpasien. Keparahan dapat bervariasi dari ringan ke
sedang hingga parah atau bahkan membahayakan hidup. Karena perbedaan multisistem
dari manifestasi klinisnya, lupus telah menggantikan sifilis sebagai great imitator .
Kebanyakan pasien dengan SLE memiliki penyakit ringan sampai sedang dengan gejala
kronis, diselingi oleh peningkatan aktivitas penyakit secara bertahap atau tiba-tiba. Pada
sebagian kecil pasien dikarakteristikkan dengan peningkatan aktivitas penyakit dan
remisi klinis sempurna. Pada keadaan yang sangat jarang, pasien mengalami episode aktif
SLE singkat diikuti dengan remisi lambat. Gambaran klinis SLE menjadi rumit karena
dua hal. Pertama, walaupun SLE dapat menyebabkan berbagai gejala dan tanda, tidak
semua gejala dan tanda pada pasien dengan SLE disebabkan oleh penyakit tersebut.
Banyak penyakit, khususnya penyakit infeksi virus, dapat menyerupai SLE. Kedua, efek
samping pengobatan, khususnya penggunaan glukokortikoid jangka panjang, harus
dibedakan dengan gejala dan tanda SLE.
2.8.Penatalaksanaan
Tidak ada pengobatan yang permanen untuk SLE. Tujuan dari terapi adalah
mengurangi gejala dan melindungi organ dengan mengurangi peradangan dan atau
tingkat aktifitas autoimun di tubuh. Banyak pasien dengan gejala yang ringan tidak
membutuhkan pengobatan atau hanya obat-obatan anti inflamasi yang intermitten. Pasien
dengan sakit yang lebih serius yang meliputi kerusakan organ dalam membutuhkan
kortikosteroid dosis tinggi yang dikombinasikan dengan obat-obatan lain yang menekan
sistem imunitas. Pasien dengan SLE lebih membutuhkan istirahat selama penyakitnya
aktif. Penelitian melaporkan bahwa kualitas tidur yang buruk adalah faktor yang
signifikan dalam menyebabkan kelelahan pada pasien dengan SLE. Hal ini memperkuat
pentingnya bagi pasien dan dokter untuk meningkatkan kualitas tidur. Selama periode ini,
latihan tetap penting untuk menjaga tekanan otot dan luas gerakan dari persendian.
2.8. Pengobatan
Terapi Farmakologi.
Penyakit yang ringan atau remitten bisa dibiarkan tanpa pengobatan. Bila diperlukan,
NSAID dan anti malaria bisa digunakan. NSAID membantu mengurangi peradangan dan
nyeri pada otot, sendi, dan jaringan lainnya. Contoh NSAID adalah aspirin, ibuprofen,
naproxen, dan sulindac. Pada beberapa keadaan tidak disarankan pemberian agen selektif
COX-2 karena dapat meningkatkan resiko kardiovaskular. Karena respon individual tiap
pasien bervariasi, penting untuk mencoba NSAID yang berbeda untuk menemukan yang
paling efektif dengan efek samping paling kecil. Efek samping yang paling sering adalah
tidak enak perut, nyeri abdomen, ulkus, dan bisa perdarahan ulkus. NSAID biasanya
diberikan bersamaan dengan makanan untuk mengurangi efek samping.
Kadangkadang,obat yang mencegah ulser bisa diberikan bersamaan, seperti misoprostol.
Terapi non farmakologi
Menghindari sinar matahari atau menutupinya dengan pakaian yang melindungi
dari sinar matahari bisa efektif mencegah masalah yang disebabkan fotosensitif.Penurunan
berat badan juga disarankan pada pasien yang obesitas dan kelebihanberat badan untuk
mengurangi beberapa efek dari penyakit ini, khususnya ketikaada masalah dengan
persendian.Pada pasien ini diberikan terapi dengan kortikosteroid sesuai teori.
Kortikosteroid yang diguna dalam kasus ini adalah methylprednisolone. Selain itu pasien
juga dinasehatkan agar melindungi dirinya daripada cahaya matahari.
BAB III
3.1. Kasus
PENGKAJIAN
Reg : 90865098
Usia : 28 th
Alamat : Malang
Agama : Islam
Suku : Jawa
Pendidikan : SMU
Pekerjaan :-
SMRS MRS
Klien biasanya makan 2-3 x/hr dengan Diet bubur halus TKTP 3x/hari.
porsi 1 piring. Menu yang biasa klien
makan terdiri dari nasi, sayur, lauk(tahu Klien mengeluh perutnya terasa mual-mual
tempe, ayam dan ikan laut) kadang-kadang sehingga klien hanya makan sedikit ± 3
klien minum susu. sdm
Minum air putih ± 5-6 gelas/hr Klien minum air putih 5-6 gelas/hr dan susu
1-2x/hr (1/4 -1/2gls tiap kali minum)
SMRS MRS
Klien biasanya tidur malam selama 6-7 Selama di RS klien erring tidur biasanya
jam. Jika tidak ada kegiatan kadang-kadang pagi hari jam 09.00-11.00 sore 14.00-16.00
klien tidur siang selama 1-2 jam dan malam hari 21.00-05.00. saat tidur klien
sering terbangun karena kaget (lingkungan
yang ramai dan terasa sumpek)
Eliminasi
SMRS MRS
BAK : spontan, lancer, 4-6x/hr, lampias BAK : spontan, lancer 4-6x/hr, lampias
Aktivitas
SMRS MRS
Keseharian klien sibuk sebagai seorang Klien sering tidur, aktivitas klien hanya
pelajar SMU. Waktu klien dihabiskan untuk tidur miring kiri dan kanan
belajar dan mengerjakan tugas sekolah.
Klien mempunyai kebiasaan tidur dilantai
jika capek
2. Suasanan hati
Klien sering terlihat murung tapi jika diajak bicara klien sering diam.
3. Pertahanan koping
Dalam mengambil keputusan (misal: tindakan medis) dilakukan sendiri
2. Head to toe
Kepala dan leher : bentuk bulat, rambut hitam panjang dan terlihat sedikit kotor,
JVD –
Hidung : PCH –
Dada/thorax :
Inspeksi
Bentuk dada simetris, pergerakan dinding dada simetris, tampak penggunaan otot-
otot Bantu pernapasan RIC + RSS + RR: 30x/mnt
Auskultasi
Paru: Rh Wh -
-
+
+ +
Jantung: BJ I dan II Normal, murmur- HR 84x/mnt
Palpasi
Nyeri tekan -, massa abnormal -, krepitasi -
Perkusi
Sonor
Abdomen :
Inspeksi
Bentuk N, jejas -, asites+
Auskultasi
BU + 9x/mnt
Palpasi
Supel
Perkusi
dullness
Ekstremitas :Edema
- -
+ +
Kekuatan otot
5 5
5 5
Cianosis -, akral hangat,
S = 38 °C
N = 90x/mnt
RR = 30x/mnt
Urinalisis Elektrolit
Protein esbach: 1290,8 mg/ dl Na ; 150 mmol/ L (136-145)
K : 5,5 mmol/ L ( 3,5- 5,0)
CL : 104 mmol/ L (98-106)
Faalhati Hematologi
Albumin : 2,01 g/dl (3,5-5,5) Hb : 8 g /dL (11,7-15,5)
Eritrosit : 2,90 106/ mm3 (4,20-4,87)
Leukosit : 9,35 103/ mm3(4,5-11,0)
Hematocrit :24, 90 % (38-44)
Trombosit : 100 103/ mm3 (150-450)
Faalginjal TesKepekaan antibiotika
Ureum : 84,80 mg/dl (20-40) Sensitive kuat
Kreatinin ; 2,5 mg/ dl (< 1,2) Erythromycin
Cotrimoxazole
Gentamicin
3.2. Pathway
3.3. Analisa Data
Efusi pleura
Suptum berlebihan
Ketidakefektian
bersihan jalan napas
2 DS: Kelebihan Volume Kuman/virus
Pasien mengeluh sejak 1 minggu Cairan
yang lalu klien mengatakan perutnya
membesar, serta kakinya bengkak Gangguan
imunerelogi
DO:
Abdomen : Antibody berlebihan
Inspeksi
Bentuk N, jejas -, asites+
Auskultasi Sel T sepresor yang
BU + 9x/mnt abnormal
Palpasi
Supel
Perkusi Antibody menyerang
Dullness organ2 tubuh
Pemeriksaan TTV :
TD = 130/70mmHg
S = 38 °C Penumpukan komplek
imun dan
penumpukan jaringan
Penyakit SLE
autoimun
Terjadi kerusakan
sintesa yang di
perlukan tubuh
perpindahan cairan ke
ekstraseluler
kelebihan volume
cairan
3 DS: Resiko Kerusakan Kuman/virus
Pasien mengeluh sejak 1 minggu Integritas Kulit
yang lalu klien mengeluh
wajahnya terasa seperti terbakar Gangguan imunerelogi
jika terkena sinar matahari
(membentuk ruam di wajah Antibody berlebihan
menyerupai kupu-kupu)
Penyakit SLE
autoimun
Menyerang kulit
Kerusakan integritas
kulit
Antibody menyerang
organ2 tubuh
Penumpukan komplek
imun dan penumpukan
jaringan
Penyakit SLE
autoimun
Hb menurun
suplai o2 menurun
5 5 Antibody menyerang
organ2 tubuh
Penumpukan komplek
imun dan
penumpukan jaringan
Penyakit SLE
autoimun
Menyerang sendi
atritis
edema/pembengkakan
Intoleransi aktivitas
DO: Gangguan
Klien mengeluh perutnya terasa imunerelogi
mual-mual sehingga klien hanya
makan sedikit ± 3 sdm Antibody berlebihan
BB = SMRS: 55Kg MRS:
40Kg
TB= 155 Sel T sepresor yang
abnormal
Antibody menyerang
organ2 tubuh
Penumpukan komplek
imun dan
penumpukan jaringan
Penyakit SLE
autoimun
Menyerang lambung
Peningkatan cairan
peritonium
Lambung terasa
penuh
Mual
Penumpukan komplek
imun dan
penumpukan jaringan
Penyakit SLE
autoimun
Penigkatan amoniak
dalam darah
kemuduran mental,
delirium, binggung
kecemasan
ketidakefektifan
koping
sebagaimana mestinya. P:
Mengintruksikan pasien dan atau Intervensi dilanjutkan
keluarga untuk melakukan suksion Melakukan tindakan cuci
jalan nafas, sebagaimana mestinya tangan.
Menggunakan alat pelindung
diri (sarung tangan, masker sesuai
dengan kebutuhan).
2 Kelebihan Volume Menetukan jumlah dan jenis S:
Cairan intake cairan serta kebiasaan Pasien mengeluh sejak 1 minggu
eliminasi yang lalu klien mengatakan perutnya
Menentukan factor-factor risiko membesar, serta kakinya bengkak
yang mungkin menyebabkan
ketidakseimbangan cairan O:
( Misalnya fungsi hati) Abdomen :
Menentukan apakah pasien Inspeksi
mengalami kehausan atau gejala Bentuk N, jejas -, asites+
perubahan cairan ( misalnya Auskultasi
pusing, mual) BU + 9x/mnt
Memonitor nilai kadar serum dan Palpasi
Supel
elektrolit
Perkusi
Memonitor kadar serum albumin
Dullnes
dan protein total
Memonitor tanda-tanda gejala A:
asites Masalah teratasi sebagian
Memberikan cairan dengan tepat
P:
Intervensi dilanjutkan
Menetukan jumlah dan jenis intake
cairan serta kebiasaan eliminasi
Menentukan factor-factor risiko
yang mungkin menyebabkan
ketidakseimbangan cairan
( Misalnya fungsi hati)
3 Resiko Kerusakan Memeriksa kulit dan S:
Integritas Kulit selaput lender terkait Pasien mengeluh sejak 1 minggu yang lalu
b.d gangguan dengan adanya klien mengeluh wajahnya terasa seperti
tugor kulit kemerahan, keangatan terbakar jika terkena sinar matahari
ekstrim, edema atau (membentuk ruam di wajah menyerupai kupu-
drainase. kupu)
Mengamati warna, O:
kehangatan, bengkak, Wajah : Grimace - kulit wajah tampak
pulsasi, tekstur, kemerahan seperti kupu2
edema, dan ulserasi Integumen : turgor<2dtk, CRT ≤ 3
pada eksrtemitas. dtk, kulit cukup lembab, LSC tipis
Memonitor warna dan A:
suhu kulit Masalah teratasi sebagian
Mendokumentasi
perubahan membra P:
mukosa Intervensi dilanjutkan
Mengajarkan anggota Memeriksa kulit dan selaput lender terkait
keluarga atau pemberi dengan adanya kemerahan, keangatan ekstrim,
asuhan mengenai edema atau drainase.
tanda-tanda kerusakan Mengmati warna, kehangatan, bengkak,
kulit dengan tepat pulsasi, tekstur, edema, dan ulserasi pada
eksrtemitas.
4 Resiko Mata Kering Ikuti prinsip 5 benar S:
pemberian obat. Pasien mengeluh sejak 1 minggu
Catat riwayat medias pasien
yang lalu klien dan matanya silau
dan riwayat alergi.
Sebarkan obat diatas kulit melihat cahaya matahari.
diatas sesuai kebutuhan.
Ajarkan dan monitor teknik O:
pemberian mandiri, sesuai Mata : simetris, konjungtiva
kebutuhan. anemis -/- sclera ickterus -/-,silau
Dokumenasi pemberian obat jika terkena cahaya
dan respon pasien sesuai A:
dengan protokol institusi. Masalah teratasi sebagaian
P:
Intervensi dilanjutkan
Ikuti prinsip 5 benar pemberian
obat.
Catat riwayat medias pasien dan
riwayat alergi.
5 Intoleransi Aktivitas Hargai keyakinan individu S:
imobilitas terkait latihan fisik
Pasien mengeluh sejak 1 minggu
Gali hambatan untuk
yang lalu klien serta kakinya
melakukan latihan bengkak,
Lakukan latihan bersama
O:
individu, jika di perlukan
Ekstremitas
Libatkan keluarga/orang yang :Edema + +
P:
Intervensi dilanjutkan
Hargai keyakinan individu terkait
latihan fisik
Gali hambatan untuk melakukan
latihan
6 Mual b.d rasa Lakukan pengkajian lengkap S:
makanan /minuman terhadap mual, termaksud
yang tidak enak frekuensi, durasi, tingkat O:
keparahan, dan factor-faktor Klien mengeluh perutnya terasa
pencetus mual-mual sehingga klien hanya
Identifikasi factor-faktor yang makan sedikit ± 3 sdm
dapat menyebabkan atau BB = SMRS: 55Kg MRS: 40Kg
mengkontribusikan terhadap
mual( misalnya, obat-obatan A:
dan prosedur) Masalah teratasi sebagian
Tingkatakan istirahat dan tidur
yang cukup untuk P:
memfasilitasi pengurangan intervensi dilanjutkan
mual Monitor efek dari manajemen
Monitor efek dari manajemen mual secara keseluruhan
mual secara keseluruhan Timbang berat badan secara
Timbang berat badan secara teratur.
teratur.
7 Ketidakefektifan Bantu pasien dalam S:
Koping tingkat mengidentifikasi rujuan
persepsi control yang jangka panjang dan pendak O:
tidak adekuat Gunakan pendekatan yang Suasanan hati
tenang dan memberikan Klien sering terlihat murung tapi jika
jaminan
diajak bicara klien sering diam.
Berikan suasana penerimaan
Berikan keterampilan social
yang tepat A:
Dukung keterlibatan keluarga
Masalah teratasi sebagian
dengan cara yang tepat
P:
Intrevensi dilanjutkan
Berikan keterampilan social yang
tepat
Dukung keterlibatan keluarga
dengan cara yang tepat
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
4.2. saran