Anda di halaman 1dari 55

LAPORAN

CLINICAL STUDY
DEPARTEMEN KEPERAWATAN MEDICAL BEDAH 2

RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN DIAGNOSA MEDIS


“AUTOIMUN ”

OLEH:

ITERA TABUNI
NIM: 1614314201022

LEMBAR PERSETUJUAN

LAPORAN
CLINICAL STUDY
DEPARTEMEN KEPERAWATAN MEDICAL BEDAH 2

RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN KASUS


“AUTOIMUN ”

Laporan Clinical Study ini telah disetujui oleh


Pembimbing Institusi
Hari/Tanggal: Januari 2021

Pembimbing Institusi

(NS. Kurnia Laksana M., Kep )


NIK. 07314320108
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan YME yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Rencana Asuhan
Keperawatan Dengan Kasus Autoimun SLE” dengan baik dan tidak ada halangan apapun.
Makalah ini ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Medical Bedah 2.
Dalam penyusunan makalah ini tentunya tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak,
sehingga kami mengucapkan terima kasih atas segala bantuan yang telah diberikan. Tidak lupa
kami mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ns.Kurnia Laksana M.,Kep. selaku dosen pembimbing clinical study departemen
Keperawatan Medical Bedah 2. yang telah berkenan meluangkan waktu untuk
memberikan arahan dan bimbingan dalam penyusunan tugas ini.
2. Kedua orang tua kami yang senantiasa memberi semangat dan dukungan kepada kami.
3. Dan semua pihak yang telah membantu serta membimbing kami dalam penyusunan
makalah ini.

Kami menyadari bahwa hasil diskusi ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu jika tedapat kekurangan kami memohon maaf dan mengharapkan
kritik dan saran yang akan membangun makalah ini. Akhirnya, semoga tugas ini dapat berguna
bagi kita semua.

Malang, Desember 2020

Penyusun
DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN..............................................................................................2
KATA PENGANTAR.......................................................................................................3
DAFTAR ISI.....................................................................................................................4
BAB I.................................................................................................................................5
PENDAHULUAN.............................................................................................................5
1.1 Latar Belakang.........................................................................................................5
1.2 Tujuan......................................................................................................................5
1.3Manfaat.....................................................................................................................5
BAB II...............................................................................................................................7
TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................................7
2.1 Definisi ....................................................................................................................7
2.2 Anatomi Fisiologi ...................................................................................................8
2.3 Etiologi...................................................................................................................12
2.4 Faktor-Faktor ........................................................................................................15
2.5 Pathofisiologi ........................................................................................................18

BAB III............................................................................................................................24
RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN.....................................................................24
3.1 Kasus......................................................................................................................24
3.2 Pathway..................................................................................................................25
3.3 Analisa Data...........................................................................................................26
3.4 Prioritas Diagnosa Keperawatan............................................................................28
3.5 Rencana Asuhan Keperawatan..............................................................................29
3.6 Implementasi dan Evaluasi Keperawatan..............................................................38
BAB IV............................................................................................................................44
PENUTUP.......................................................................................................................44
4.1 Kesimpulan............................................................................................................44
4.2 Saran......................................................................................................................44
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................45
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Sistemik Lupus Eritematous (SLE) merupakan suatu penyakit autoimun
yang menyebabkan inflamasi kronis. Penyakit ini terjadi dalam tubuh akibat
sistem kekebalan tubuh salah menyerang jaringan sehat. Penyakit ini juga
merupakan penyakit multi-sistem dimana banyak manifestasi klinis yang didapat
penderita, sehingga setiap penderita akan mengalami gejala yang berbeda dengan
penderita lainnya tergantung dari organ apa yang diserang oleh antibody tubuhnya
sendiri. Manifestasi klinis yang paling sering dijumpai adalah skin rash, arthritis,
dan lemah. Pada kasus yang lebih berat, SLE bisa menyebabkan nefritis, masalah
neurologi, anemia, dan trombositopenia.
SLE dapat menyerang siapa saja tidak memandang ras apapun. Hanya saja
penyakit ini angka kejadiannya didominasi oleh perempuan dimana perbandingan
antara perempuan dan laki-laki adalah 10 : 1. SLE menyerang perempuan pada
usia produktif, puncak insidennya usia antara 15-40. Di Indonesia sendiri jumlah
penderita SLE secara tepat belum diketahui tetapi diperkirakan sama dengan
jumlah penderita SLE di Amerika yaitu 1.500.000 orang (Yayasan Lupus
Indonesia).
Pengobatan pada penderita SLE ditujukan untuk mengatasi gejala dan
induksi remisi serta mempertahankan remisi selama mungkin pada perkembangan
penyakit. Karena manifestasi klinis yang sangat bervariasi maka pengobatan
didasarkan pada manifestasi yang muncul pada masing-masing individu. Obat-
obat yang umum digunakan pada terapi farmakologis penderita SLE yaitu NSAID
(Non-Steroid Anti-Inflammatory Drugs), obat-obat antimalaria, kortikosteroid,
dan obat-obat antikanker (imunosupresan) selain itu terdapat obatobat yang lain
seperti terapi hormon, imunoglobulin intravena, UV A-1 fototerapi, monoklonal
antibodi, dan transplantasi sumsum tulang yang masih menjadi penelitian para
ilmuwan.
1.2. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi Autoimun “SLE”
2. Untuk mengetahui anatomi fisiologi Autoimun “SLE”
3. Untuk mengetahui etiologi Autoimun “SLE”
4. Untuk mengetahui faktor-faktor Autoimun “SLE”
5. Untuk mengetahui pathofisiologi Autoimun “SLE”
6. Untuk mengetahui konsep asuhan keperawatan pada Autoimun “SLE”
7. Untuk merencanakan rencana asuhan keperawatan dengan kasus Autoimun
“SLE”

1.3. Manfaat
1. Dapat mengetahui dan memahami definisi Autoimun “SLE”
2. Dapat mengetahui dan memahami anatomi fisiologi Autoimun “SLE”
3. Dapat mengetahui dan memahami etiologi Autoimun “SLE”
4. Dapat mengetahui dan memahami faktor-faktor Autoimun “SLE”
5. Dapat mengetahui dan memahami pathofisiologi Autoimun “SLE”
6. Dapat mengetahui dan memahami konsep asuhan keperawatan pada Autoimun“SLE
7. Dapat merencanakan rencana asuhan keperawatan dengan Autoimun “SLE”
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit autoimun multisystem
di mana organ, jaringan, dan sel mengalami kerusakan yang dimediasi oleh
autoantibodi pengikat jaringan dan kompleks imun. Gambaran klinis SLE dapat
berubah, baik dalam hal aktivitas penyakit maupun keterlibatan organ.
Imunopatogenesis SLE kompleks dan sejalan dengan gejala klinis yang beragam.
Tidak ada mekanisme aksi tunggal yang dapat menjelaskan seluruh kasus, dan
kejadian awalyang memicunya masih belumdiketahui. Sesuai dengan teori, pada
kasus ini juga terdapat penglibatan multisystem yaitu system mukokutan (malar
rash), muskoloskeletan (arthritis), hematology (anemia), neurology (serebri) dan
ginjal (nefritis).

2.2. Epidemiologi
Masih belum didapatkan data pasti mengenai prevalensi SLE di Indonesia.
Di AS,angka yang paling dapat dipercaya adalah 0,05 – 0,1% dari populasi,
namun didapatkan angka yang berbeda pada berbagai laporan. Beberapa ras,
seperti kaum kulit hitam, keturunan asli Amerika, dan keturunan Hispanik,
berisiko lebihtinggi terhadap SLE dan dapat mengalami penyakit yang lebih
parah. Prevalensi SLE di seluruh dunia tidak berbeda dengan laporan dari AS;
penyakit ini kelihatannya lebih sering ditemukan di Cina, di Asia Tenggara, dan
di antara keturunan kulit hitam di Karibia namun jarang ditemukan pada
keturunan kulit hitam di Afrika. SLE jarang terjadi pada usia prepubertas namun
sering dimulai pada usia decade kedua hingga keempat; beberapa studi
menunjukkan puncak kedua kasus baru pada sekitar usia 50 tahun. Distribusi jenis
kelamin cukup jelas; SLE berkembang pada wanita usia produktif sekitar sepuluh
kali lipat daripada pria dengan usia yang sama. Pada usia lebih muda, wanita tiga
sampai empat kali lebih sering daripada pria. Pada usia lebih tua, perbandingan
wanita dan pria adalah Sesuai dengan teori yang mengatakan SLE lebih sering
pada jenis kelamin perempuan, kasus ini juga adalah perempuan. Sesuai dengan
studi yang mengatakan puncak kedua SLE pada usia sekitar 50, kasus ini berumur
48 tahun daripada pria.

2.3. Etiologi
SLE disebabkan oleh interaksi antara kerentanan gen (termasuk alel
HLADRB1, IRF5, STAT4, HLA-A1, DR3, dan B8), pengaruh hormonal, dan
factor lingkungan. Interaksi ketiga faktor ini akan menyebabkan terjadinya respon
imunyang abnormal.
a. factor genetic
SLE merupakan penyakit multigen. Gen yang terlibat termasuk alel
HLADRB1,IRF5, STAT4, HLA-A1, DR3, dan B8. Interaksi antara kerentanan
gen,pengaruh hormonal, dan faktor lingkungan, menghasilkan respons imun
abnormal.Respons imun mencakup hiperreaktivitas dan hipersensitivitas limfosit
T dan B dan regulasi antigen dan respons antibodi yang tidak efektif.
Hiperreaktivitas sel T dan B ditandai dengan peningkatan ekspresi molekul
permukaan seperti HLA-D danCD40L, menunjukkan bahwa sel mudah teraktivasi
oleh antigen yang menginduksi sinyal aktivasi pertama dan oleh molekul yang
mengarahkan sel ke aktivasi penuh melalui sinyal kedua. Hasil akhir anomali ini
adalah produksi autoantibodi patogen dan pembentukan kompleks imun yang
mengikat jaringan target, menghasilkan
 (1)sekuestrasi dan destruksi Ig-coated circulating cells;
 (2)fiksasi dan cleaving protein komplemen, dan
 (3) pelepasan kemotaksin, peptida
vasoaktif, dan enzim destruktif ke jaringan. Banyak autoantibodi pada
orang dengan SLE yang ditujukan pada kompleks DNA/protein atau RNA/protein
seperti nukleosom, beberapa jenis RNA nukleus, dan RNA spliceosomal. Selama
apoptosis antigen bermigrasi ke permukaandan fosfolipid membran berubah.
b. Faktor lingkungan
Di antara pencetus aktivitas penyakit lupus, sinar ultraviolet merupakan
factor yang paling dikenal. Mekanisme aksinya dapat mencakup induksi epitop
antigen didermis atau epidermis, pelepasan materi inti oleh sel kulit yang dirusak
oleh cahaya, atau disregulasi sel imun kulit. Berbagai faktor lingkungan lain juga
terlibat dalam lupus. Pengobatan seperti prokainamid, hidralazin, dan minosiklin
dapat menyebabkan lupus eritematosus yang diinduksi obat, penyakit yang mirip
dengan SLE. Mungkin yang paling menarik adalah beberapa obat antirematik
dapat menginduksi penyakit yang tampilan klinis dan serologisnya mirip SLE.
Bahan kimia, khususnya senyawa amino aromatik, dikenal sebagai penyebab
lupus-like syndromes. Sindrom ini lebih mirip dengan lupus yang diinduksi
obatdaripada SLE dan menghilang setelah pajanan berakhir. Laporan mengenai
pengaruh geografis pada lupus masih belum mengkonfirmasi faktor lingkungan
ini. Asam amino esensial L-canavanine dicurigai sebagai penyebab lupus. Pajanan
terhadap asam amino ini menyebabkan manifestasi singkat autoimun pada
manusia,seperti juga telah terbukti pada kera. Keberadaan fitoestrogen diajukan
sebagai penjelasan untuk peningkatan kejadian SLE selama 30 tahun terakhir.
c. Pengaruh Hormonal
Observasi klinis menunjukkan peran hormon seks steroid sebagai
penyebab SLE. Observasi ini mencakup kejadian yang lebih tinggi pada wanita
usia produktif, peningkatan aktivitas SLE selama kehamilan, dan risiko yang
sedikit lebih tinggi pada wanita pascamenopause yang menggunakan
suplementasi estrogen. Walaupun hormon seks steroid dipercaya sebagai
penyebab SLE, namun studi yang dilakukan oleh Petri dkk menunjukkan bahwa
pemberian kontrasepsi hormonal oral tidak meningkatkan risiko terjadinya
peningkatan aktivitas penyakit pada wanita penderita SLE yang penyakitnya
stabil.

2.4. Faktor imun yang berperan pada autoimunitas


a. Sequestered antigen

Adalah antigen sendiri yang karena letak anatominya, tidak


terpajan dengan sel B atau sel T dari sistem imun. Pada sequestered
antigen dilindungi dan tidak ditemukan untuk dikenal sistem imun.
Perubahan anatomik dalam jaringan seperti inflamasi, dapat memajankan
sequestered antigen dengan sistem imun yang tidak terjadi pada keadaan
normal. Contohnya protein lensa intraokular, sperma dan MBP (major
basic protein). Uveitis pasca trauma dan orchitis pasca vasektomi diduga
disebabkan respons autoimun terhadap sequestered antigen. MBP yang
dilepas oleh infeksi dan meningkat akan mengaktifkan sel B dan T yang
imunokompeten dan menimbulkan ensefalomielitis pasca infeksi.
Inflamasi jaringan dapat pula menimbulkan perubahan struktur pada self
antigen dan pembentukan determinan baru yang dapat memacu reaksi
autoimun. Anatomic sequestration yaitu antigen yang tidak terpajan oleh
sistem imun karena letak anatominya (misalkan letak anatominya
tersembunyi). Protein akan keluar ketika sel rusak. Protein ini disebut
protein fisik contoh penyakit yang disebabkan oleh anatomic seguetration
yaitu uveitis (radang saluran lapisan berpigmen pada mata) pasca trauma
dan orchitis (radang testis) pasca vasectomi).

b. Gangguan presentasi
Gangguan dapat terjadi pada presentasi antigen, infeksi yang
meningkatkan respons MHC, kadar sitokin yang rendah dan gangguan
respons terhadap IL-1. Pengawasan beberapa sel autoreaktif diduga
bergantung pada sel Ts atau Tr. Bila terjadi kegagalan sel Ts atau Tr,
maka sel Th dapat dirangsang sehingga menimbulkan autoimunitas.
Respons imun seleksi timus normal nampaknya menghasilkan beberapa
sel Th self reaktif. Kelainan dalam proses ini dapat memproduksi sel Th
self reaktif lebih bayak. Aktivasi sel T reaktif ini terjadi melalui berbagai
cara, baik sebagai aktivasi poliklonal sel B yang menginduksi respons
autoimun yang menghasilkan kerusakan jaringan. Kemungkinan besar
berbagai mekanisme terlibat pada setiap penyakit autoimun. Selular
terhadap mikroba dan antigen asing lainnnya dapat juga menimbulkan
kerusakan jaringan di tempat infeksi atau pajanan antigen.

c. Ekspresi MHC-II yang tidak benar


Sel β pankreas pada penderita dengan IDDM (diabetes melitus tipe
1) mengekspresikan kadar tinggi MHC-I dan MHC-II, sedang subyek
sehat sel β mengekspresikan MHC-I yang lebih sedikit dan tidak
mengekspresikan MHC-II sama sekali. Sama halnya dengan sel kelenjar
tiroid pada penderita Grave mengekspresikan MHC-II pada membran.
Ekspresi MHC-II yang tidak pada tempatnya itu yang biasanya hanya
diekspresikan pada APC dapat mensintesis sel Th terhadap peptida yang
berasal dari sel β atau tiroid dan mengaktifkan sel β atau Tc atau ThI
terhadap self antigen.Aktivasi sel B poliklonalAutoimunitas dapat terjadi
oleh karena aktivasi sel B poliklonal oleh virus (EBV), LPS dan parasit
malaria yang dapat merangsang sel B secara langsung yag menimbulkan
autoimunitas. Antibodi yang dibentuk terdiri atas berbagai autoantibodi.
d. Peran CD4 dn reseptor MHC
Gangguan yang mendasari penyakit autoimun sulit untuk
diidentifikasi. Penelitian pada model hewan menunjukan bahwa CD4
merupakan efektor utama pada penyakit autoimun. Pada tikus EAE
ditimbulkan oleh Th1 CD4 yang spesifik untuk antigen. Penyakit dapat
dipidahkan dari hewan yang satu ke yang lain melalui sel T hewan yang
diimunisasi dengan MBP atau PLP atau sel lain dari klori sel T asal
hewan. Penyakit dapatjuga dicegah oleh antibodi anti CD4. Sel T
mengenal antigen melalui TCR dan MHC serta peptida antigenik. Untuk
seseorang menjadi rentan terhadap autoimunitas harus memiliki MHC dan
TCR yang dapat mengikat antigen sel sendiri.

e. Penyakit autoimun Th1-Th2


Penyakit autoimun organ spesifik terbanyak terjadi melalui sel T
CD4. Ternyata keseimbangan Th1-Th2 dapat mempengaruhi terjadinya
autoimunitas. Th1 menunjukan peran pada autoimunitas. Sedang pada
beberapa penelitian Th2 tidak hanya melindungi terhadap induksi
penyakit, tetapi juga terhadap progres penyakit. Pada EAE sitokin Th1
(IL-2,TNF-α dan IFNγ) ditemukan dalam SSP dengan kadar tertinggi pada
penyakit.
f. Sitokin pada autoimunitas
Beberapa mekanisme kontrol melindungi efek sitokin patogenik,
diantaranya adalah adanya ekspresi sitokin sementara dan reseptornya
serta produksi antagonis sitokin dan inhibitornya. Gangguan
mekanismenya menimbulkan upregulasi atau produksi sitokin yang tidak
benar sehingga tidak menimbulkan effek patofisiologik. Sitokin dapat
menimbulkan translasi berbagai faktor etiologis ke dalam kekuatan
patogenik dan mempertahankan inflamasi fase kronis serta destruksi
jaringan. IL-1 dan TNF telah mendapat banyak perhatian sebagai sitokin
yang menimbulkan kerusakan. Kedua sitokin ini menginduksi ekspresi
sejumlah protease dan dapat mencegah pembentukan matriks ekstraselular
atau merangsang penimbunan matriks yang berlebihan.

2.4. Mekanisme Terjadinya Autoimunitas

Usaha perlindungan terhadap pejamu berjalan efektif jika semua tipe komponen
ada dan berfungsi sepenuhnya, dan masing – masing berfungsi dengan
semestinya. Kegagalan dalam memberikan respon bisa terjadi jika ada satu
subkelompok sel , reseptor, atau factor yang disekresi menghilang. Ada beberapa
factor yang imun yang berperan seperti, genetic, sequested antigen, gangguan
presentasi, dan kehilangan toleransi. Toleransi adalah Suatu keadaan saat
seseorang tidak mampu mengembangkan suatu repons imun melawan suatu
antigen yang spesifik. Toleransi diri secara khusus menunjukan kurangnya
responsivitas imun terhadap antigen jaringannya sendiri. toleransi-diri semacam
itu diperlukan jika jaringan kita dapat hidup secara harmonis dengan pasukan
limfosit yang merusak. Mekanisme terjadinya autoimun adalah pada saat ada salah satu
factor diatas yang tidak terpenuhi, toleransi diri respon imun akan hilang

kemudian sel – sel system imun tidak dapat mengenali sel – sel tubuh sendiri.
Sehingga sel tubuh sendiri di anggap sebagai antigen. Sel – sel system imun
berproliferasi kemudian menuju jaringan yang cedera dan menyerang jaringan
tersebut.

 Faktogenetik
Penyakit autoimun multipel dapat berada dalam satu keluarga dan autoimun yang
bersifat subklinis lebih umum terdapat dalam anggota keluarga dibandingkan
penyakit yang nyata. Peran genetik dalam penyakit autoimun hampir selalu
melibatkan gen multipel, meskipun dapat pula hanya melibatkan gen tunggal.
Beberapa defek gen tunggal ini melibatkan defek pada apoptosis atau kerusakan
anergi dan sesuai dengan mekanisme toleransi perifer dan kerusakannya.
Hubungan antara gen dengan autoimunitas juga melibatkan varian atau alel dari
MHC.Beberapa peneliti menemukan adanya hubungan antara penyakit LES
dengan gen Human Leukocyte Antigen (HLA) seperti DR2, DR3 dari Major
Histocompatibility Complex (MHC) kelas II. Individu dengan gen HLA DR2 dan
DR3 mempunyai risiko relatif menderita penyakit LES 2-3 kali lebih besar
daripada yang mempunyai gen HLA DR4 dan HLA DR5. Peneliti lain
menemukan bahwa penderita penyakit LES yang mempunyai epitop antigen
HLA-DR2 cenderung membentuk autoantibodi anti-dsDNA, sedangkan penderita
yang mempunyai epitop HLA-DR3 cenderung membentuk autoantibodi
anti-Ro/SS-A dan anti-La/SS-B. Penderita penyakit LES dengan epitop-epitop
HLA-DR4 dan HLA-DR5 memproduksi autoantibodi anti-Sm dan anti-RNP.
 Kelas – kelas HLA
HLA dikelompokkam\n menjadi tiga kelas MHC molekul
a) HLA kelas I yaitu glikoprotein yang ditemukan pada membran kebanyakan
sel-sel berinti.
1) Jenis HLA dikodekan oleh tiga gen : A, B, dan C
2) HLA ini terhubung dengan sel-sel sitotoksik (Tc) melalui CD8 dan
memaparkan epitop peptida kepada reseptor Tc spesifik dan dapat
mengikat beberapa epitop yang berbeda. .
3) Dua rantai membentuk struktur molekular kelas 1, yaitu rantai alfa,
memiliki tiga tempat, suatu segmen transmembran dan satu ekor
sitoplasma, sedangkan mikroglobulin beta dua adalah suatu protein yang
tidak bervariasi.
4) Tempat perlekatan peptida, yang ditemukan antara alfa satu dan alfa dua,
mengikat peptida yang mengandung 8 sampai 10 asam amino
b) HLA kelas II adalah glikoprotein yang ditemukan pada sel-sel dendritik,
makrofag, sel-sel T teraktivasi, dan sel-sel B
1) HLA II Dikodekan oleh tiga gen : DP, DQ dan DR
2) HLA ini terhubung kepada sel Th melalui CD$ dan memaparkan
epitop peptida kepada reseptor Tc spesifik dan dapat mengikat
beberapa epitop yang berbeda.
3) Dua rantai, yaitu rantai alfa dan beta, masing-masing memiliki dua
tempat, ditambah suatu segmen transmembran dan satu ekor
sitoplasma.
4) Tempat perlekatan peptida, yang dibentuk oleh alfa satu dan beta
satu,dan mengikat polipeptida yang mengandung 13 sampai 18 asam
amino.
c) Mengendalikan protein serum tertentu, termasuk beberapa komponen
komplemen dan TNF. Molekul kelas III dikodekan oleh tiga gen, C4,
C2, dan BF.
d) Poliformisme
1) Banyak alel kelas I dan kelas II ada pada setiap lokus pada kromosom 6
dan menjadi rintangan dalam transplantasi organ.
2) Haplotip dari kedua sel induk yang diturunkan dan dipaparkan sama
dominannya (kodominan).
 Pengendalian TCR (genetik reseptor antigen sel T)

1. TCR merupakan suatu dimer dari rantai alfa dan beta (kira-kira 95 %) atau
gamma dan lambda (kira-kira 5 %)
2. Tidak memberikan respons terhadap antigen terlarut

Lokus kerentanan untuk
penyakit autoimun. Lokus kromosom terkait dengan beberapa
penyakit autoimun yang akan di tampilkan. Lokasi gen
kandidat kepentingan kekebalan yang diindikasikan sebagai oval di sebelah
kiri kromosom. Ini oval adalah kode warnauntuk
menunjukkan penyakit yang gen terkait. SLE, lupus eritematosus sistemik; AITD,
penyakit tiroid autoimun, RA, rheumatoid arthritis; T1D, diabetes tipe
1. (Dimodifikasi dari Yamada R dan K Ymamoto temuan terbaru tentang gen
yang terkait dengan penyakit inflamasi.. Mutasi Penelitian 573:136-
151, Copyright 2005 dengan izin dari Elsevier.)

2.5. Klasifikasi Penyakit Autoimun

Penyakit auotimun merupakan sekelompok penyakit yang biasanya kurang jelas


patogenesisnya dan dengan suatu manifestasi fenomena autoimunitas. Biasanya
dikelompokkan menjadi 2 kategori yaitu: kelainan yang mekibatkan sejumlah system
tubuh (kelainan multisystem) atau Penyakit autoimun sistemik dan kelainan yang hanya
melibatkan sebuah organ saja (khas organ).

A. Pembagian penyakit autoimun menurut organ


Penyakit autoimun dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu yang organ spesifik
dan yang non organ spesifik.
I. Penyakit autoimun organ spesifik
Contoh alat tubuh yang menjadi sasaran penyakit autoimun adalah kelenjar tiroid,
kelenjar adrenal, lambung dan pancreas. Pada penyakit- penyakit tersebut,
dibentuk antibody terhadap jaringan alat tubuh. Adanya antibody yang tumpang
tindih (overlapping), misalnya antibody terhadap kelenjar tiroid dan antibody
terhadap lambung sering ditemukan pada satu penderita. Kedua antibody tersebut
jarang ditemukan bersamaan dengan antibody yang non- organ spesifik seperti
antibody terhadap komponen nucleus dan nukleuprotein.
II. Penyakit autoimun non- organ spesifik
Penyakit autoimun yang non- organ spesifik terjadi karena dibentuknya antibody
terhadap autoantigen yang tersebar luas di dalam tubuh, misalnya DNA.
Pada penyakit autoimun yang non- organ spesifik, sering juga dibentuk kompleks
imun yang dapat diendapkan pada dinding pembuluh darah, kulit, sendi dan
ginjal,serta menimbulkan kerusakan pada alat tersebut. Tempat endapan kompleks
imun di dalam ginjal bergantung pada ukuran kompleks yang ada di dalam
sirkulasi.
Perbedaan antara penyakit autoimun organ spesifik dengan yang non organ
spesifik

Organ Spesifik Non- organ spesifik


Antigen Terdapat di dalam alat tubuh tertentu Tersebar di seluruh
tubuh
Kerusakan Antigen dalam alat tubuh Penimbunan
kompleks sistemik
terutama dalam
ginjal, sendi, dan
kulit
Tumpang tindih Dengan antibody organ spesifik dan Dengan antibody
penyakit lain non-organ spesifik
dan penyakit lain

B. Pembagian penyakit autoimun menurut mekanisme


Autoantibody meningkat dengan usia dan hal ini tidak selalu disertai
dengan penyakit autoimun. Autoantibody dapat primer, langsung menimbulkan
penyakit (sindrom Goodpasture) atau timbul sekunder akibat kerusakan jaringan
rusak dan melepas self antigen yang dapat menimbulkan respon yang sementara
(misalnya akibat infark jantung).
Penyakit autoimun dapat dibagi menurut mekanisme sebagai berikut:
1. Penyakit autoimun melalui antibody
a. Anemia hemolitik autoimun
Salah satu sebab menurunnya jumlah sel darah merah dalam sirkulasi
ialah destruksi oleh antibody terhadap antigen pada permukaan sel
tersebut. Destruksi dapat terjadi akibat aktivasi komplemen dan hal ini
akan menimbulkan Hb dalam urin (hemoglobinuria). Destruksi sel dapat
pula terjadi melalui opsonisasi oleh antibody dan komponen komplemen
lainnya. Dalam hal ini, sel darah merah yang dilapisi antibody dimakan
makrofag(yang memiliki reseptor Fc dan C3). Antibody yang dapat
menimbulkan anemia hemolitik autoimun dibagi dalam 2 golongan yang
berdasarkan atas sifat fisiknya sebagai berikut:
i. Antibody panas
Antibody panas bereaksi secara optimal pada suhu 370C.
Seseorang dengan anemia hemolitik autoimun dapat diketahui
dengan tes Coombs yang dapat menemukan IgG pada permukaan
sel.
ii. Antibody dingin
Antibody dingin hanya diikat oleh sel darah merah pada suhu di
bawah 370C dan dilepas bila suhu naik di atas 37 0C.bentuk anemia
hemolitik autoimun lain ialah yang dicetuskan oleh obat. Obat
seperti penisilin (hapten) dapat diikat oleh protein pada permukaan
sel darah merah (carrier) dan menimbulkan terbentuknya Ig.
Antibody yang terbentuk bereaksi dengan obat pada permukaan
sel dan menimbulkan lisis atau fagositosis. Dalam hal ini penyakit
membaik bila obat dihentikn.
b. Miastenia gravis
Dalam hal ini yang menjadi sasaran ialah reseptor asetilkolin pada
hubungan neuromuskuler. Reaksi antara reseptor dan Ig akan mencegah
penerimaan impuls saraf yang dalam keadaan normal dialirkn oleh
molekul asetilkolin. Hal ini menimbulkan kelemahan otot yang berat yang
ditandai dengan gejala sulit mengunyah dan napas dan dapat
menimbulkan kematian akibat gagal napas. Timbulnya miastenia gravis
berhubungan dengan timus. Pada umumnya penderita menunjukkan
timoma atau hipertrofi timus dan bila kelenjar timus diangkat, penyakit
kadang- kadang dapat menghilang .
c. Tirotoksikosis
Autoantibody dibentuk terhadap reseptor hormone. Di sini dibentuk
antibody terhadap reseptor thyroid stimuling hormone. Autoantibody
dapat menembus plasenta sehingga ibu dengan tirotoksikosis dapat
melahirkan bayi dengan hiperreaktifitas tiroid. Bila autoantibody pada
bayi tersebut dihancurkan beberapa minggu kemudian; tanda- tanda
hiperreaktivitas tiroid juga akan hilang.
2. Penyakit autoimun melalui kompleks imun
a) Lupus Eritematosus Sistemik (LSE)
Gambaran klinik penyakit SLE sangat beraneka ragam, sehingga lebih
merupakan kumpulan sindrom daripada gambaran klinik penyakit yang
khas. Pada beberapa kasus, manifestasi penyakit tersebut sangat parah,
bahkan dapat menyebabkan kematian walaupun diobati secara intensif,
sedang pada pihak lain gambaran klinik penyakit tersebut dapat sangat
ringan.
b) Arthritis Reumatoid (AR)
Manifestasi pokok pada penyakit RA yaitu adanya radang sendi yang
biasanya mengenai banyak sendi secara bersama- sama atau bergantian.
3. Penyakit autoimun melalui sel T
 Hashimoto thyroiditis
Penyakit kelenjar tiroid yang sering ditemukan pada wanita dewasa tu
adalah goiter (pembesaran kelenjar tiroid) atau hipotiroidsm yang
mengakibatkan rusaknya fungsi kelenjar.
4. Penyakit autoimun melalui komplemen
Oleh sebab yang belum jelas, defisiensi komplemen dapat menimbulkan penyakit
autoimun seperti LES. Disamping itu beberapa alotipe dari komplemen
memudahkan timbulnya autoimunitas.

2.6. Faktor penyebab Penyakit Autoimun

Etiologi dan patogenesis dari penyakit autoimun sebenarnya belum jelas


betul, tetapi formasi dari autoantibodi dan aktifasi sel T berdasarkan suatu
mekanisme yang sama dengan reaksi imun tehadap benda asing. Ketika sistem
imun secara terus menerus memproduksi autoantibodi (AAB) atau sel T aktif
melawan antigen endogen, maka hal ini akan menyebabkan kerusakan jaringan
atau organ (penyakit autoimun).
Beberapa hal dibawah ini merupakan beberapa mekanisme yang dianggap
bertanggung jawab terhadap terjadinya penyakit autoimun:

1.      Predisposisi genetik

yang disebabkan beberapa alel HLA II : pembawa alel HLA II


DR3+DR4 sebagai contoh, 500 kali lebih mungkin menyebabkan diabetes
melitus tipe 1 dibandingkan pembawa DR2 +DR2.

2.      Jalur seksual

terutama pada penyakit autoimun yang dipengaruhi oleh hormonal,


contohnya perbandingan kejadian lupus eritematosus sistemik antara
perempuan dan laki-laki adalah 10:1, dan sebaliknya pada
penyakit ankylosing spondylitis adalah 1 : 3.

3.      Autoantigen

dari daerah yang sesuai (otak, testis, uterus) masuk ke sistemik


(melalui pembuluh darah, tetapi tidak melalui sistem limfatik) dan
berinteraksi dengan  sel T, tetapi hal ini biasanya tidak memicu penyakit
autoimun, karena auto antigen disertai TGF. Ini bertanggung jawab pada
aktifasi sel Th2 (disamping destruksi sel Th1). Tidak satupun dari daerah
ini yang memiliki autoantigen menyebabkan penyakit autoimun,
contohnya protein berbasis myelin dari otak yang menyebabkan multiple
sclerosis, salah satu penyakit autoimun yang banyak dikenal. Dapat dilihat
pada penelitian yang menggunakan binatang bahwa produksi myelin tidak
dapat ditoleransi atau anergi sel T tetapi lebih pada sesuatu immunological
ignorance; dan akan menjadi penghancuran myelin ketika terdapat myelin
spesifik (oleh karena suatu infeksi), hal ini disebabkan oleh inflamasi
karena sel Th1 yang diaktifkan dimana-mana dan kemudian penetrasi ke
otak. Infertilitas yang disebabkan adanya autoantibodi terhadap sperma
sebagai contoh lain. Secara normal embrio atau fetus yang membawa
sejumlah antigen asing yang berasal dari bapak ditoleransi dengan baik,
melalui proses anergi dari limfosit ibu yang diinduksi
plasenta. Ketidakmampuan plasenta mentolerir hal ini maka akan
menyebabkan aborsi.

4.      Infeksi sangat mungkin menyebabkan penyakit autoimun.

Contohnya, sel T spesifik untuk myelin teraktifasi oleh kehadiran


bakteria. Patogen ini mungkin menyebabkan sinyal kostimulasi. Sebagai
tambahan, antibodi yang melawan beberapa antigen tertentu atau sel T
yang bereaksi silang dengan autoantigen, seperti antibodi untuk
melawan Streptococcus dengan autoantigen di hati (endokarditis), sendi
(arthritis rheumatoid), dan ginjal (glomerulonefritis)

5. Kesalahan regulasi
pada sistem imun yang sebabnya tidak diketahui, kemungkinan
karena tidak adanya sel yang mengandung CD8 yang membunuh sel yang
mengandung CD4. Mekanisme imun dari penyakit autoimun yang
berhubungan dengan reaksi hipersensitivitas tipe II-V. Salah satu yang
dapat menjelaskan adalah kejadian penyakit autoimun yang sistemik
contohnya lupus eritematosus sistemik (reaksi tipe III) yang merupakan
penyakit autoimun spesifik organ dan spesifik jaringan. Contoh dari reaksi
tipe II adalah anemia hemolitik autoimun dan sindrom Goodpasture;
arthritis rheumatoid, multiple sclerosis dan diabetes melitus tipe I (dimana
sel T-CD8 yang merusak sel B pankreas) adalah contoh reaksi tipe IV.
Sedangkan contohnya reaksi tipe V terdapat pada aktifasi reseptor hormon
(penyakit Grave) atau blok pada reseptor hormon (myasthenia gravis).

2.7. Patofisiologi

Atas dasar yang belum jelas, pasien SLE membentuk imunoglobolin


terhadap beberapa komponen badan misalnya DNA. Hal ini merupakan tanda
utama dari SLE. Kadang-kadang akan dibentuk Ig terhadap denatureted, single
stranded DNA atau neoleohiston. Diduga Ig tersebut membentuk kompleks DNA
yang berasal dari degenerasi sel normal. Sensitivitas pasien SLE terhadap sinar
ultraviolet diduga berdasarkan hal ini. Agregat kompleks imun akan disaring di
ginjal dan mengendap di membran basal glomerulus. Kompleks lainnya mungkin
mengaktifkan komplemen, dan menarik granulosit dan menimbulkan reaksi
inflamasi sebagai glomerulonefritis. Kerusakan ginjal menimbulkan proteinuri
dan kadang-kadang perdarahan. Derajat gejala penyakit dapat berubah-ubah
sesuai dengan kadar komples imun.Imunisasi binatang dengan kapsel bakteri
Klebsiella dapat menimbulkan Ig yang beraksi silang dengan DNA. Jadi mungkin
sekali SLE ditimbulkan oleh mikroorganisme yang umum terdapat dalam
lingkungan.
Autoimun “SLE”
3.7. Manifestasi Klinis

Gambaran klinis SLE sangat bervariasi, baik dalam keterlibatan organ pada suatu
waktu maupun keparahan manifestasi penyakit pada organ tersebut. Sebagai tambahan,
perjalanan penyakit berbeda antarpasien. Keparahan dapat bervariasi dari ringan ke
sedang hingga parah atau bahkan membahayakan hidup. Karena perbedaan multisistem
dari manifestasi klinisnya, lupus telah menggantikan sifilis sebagai great imitator .
Kebanyakan pasien dengan SLE memiliki penyakit ringan sampai sedang dengan gejala
kronis, diselingi oleh peningkatan aktivitas penyakit secara bertahap atau tiba-tiba. Pada
sebagian kecil pasien dikarakteristikkan dengan peningkatan aktivitas penyakit dan
remisi klinis sempurna. Pada keadaan yang sangat jarang, pasien mengalami episode aktif
SLE singkat diikuti dengan remisi lambat. Gambaran klinis SLE menjadi rumit karena
dua hal. Pertama, walaupun SLE dapat menyebabkan berbagai gejala dan tanda, tidak
semua gejala dan tanda pada pasien dengan SLE disebabkan oleh penyakit tersebut.
Banyak penyakit, khususnya penyakit infeksi virus, dapat menyerupai SLE. Kedua, efek
samping pengobatan, khususnya penggunaan glukokortikoid jangka panjang, harus
dibedakan dengan gejala dan tanda SLE.

2.8.Penatalaksanaan
Tidak ada pengobatan yang permanen untuk SLE. Tujuan dari terapi adalah
mengurangi gejala dan melindungi organ dengan mengurangi peradangan dan atau
tingkat aktifitas autoimun di tubuh. Banyak pasien dengan gejala yang ringan tidak
membutuhkan pengobatan atau hanya obat-obatan anti inflamasi yang intermitten. Pasien
dengan sakit yang lebih serius yang meliputi kerusakan organ dalam membutuhkan
kortikosteroid dosis tinggi yang dikombinasikan dengan obat-obatan lain yang menekan
sistem imunitas. Pasien dengan SLE lebih membutuhkan istirahat selama penyakitnya
aktif. Penelitian melaporkan bahwa kualitas tidur yang buruk adalah faktor yang
signifikan dalam menyebabkan kelelahan pada pasien dengan SLE. Hal ini memperkuat
pentingnya bagi pasien dan dokter untuk meningkatkan kualitas tidur. Selama periode ini,
latihan tetap penting untuk menjaga tekanan otot dan luas gerakan dari persendian.
2.8. Pengobatan
 Terapi Farmakologi.
Penyakit yang ringan atau remitten bisa dibiarkan tanpa pengobatan. Bila diperlukan,
NSAID dan anti malaria bisa digunakan. NSAID membantu mengurangi peradangan dan
nyeri pada otot, sendi, dan jaringan lainnya. Contoh NSAID adalah aspirin, ibuprofen,
naproxen, dan sulindac. Pada beberapa keadaan tidak disarankan pemberian agen selektif
COX-2 karena dapat meningkatkan resiko kardiovaskular. Karena respon individual tiap
pasien bervariasi, penting untuk mencoba NSAID yang berbeda untuk menemukan yang
paling efektif dengan efek samping paling kecil. Efek samping yang paling sering adalah
tidak enak perut, nyeri abdomen, ulkus, dan bisa perdarahan ulkus. NSAID biasanya
diberikan bersamaan dengan makanan untuk mengurangi efek samping.
Kadangkadang,obat yang mencegah ulser bisa diberikan bersamaan, seperti misoprostol.
 Terapi non farmakologi
Menghindari sinar matahari atau menutupinya dengan pakaian yang melindungi
dari sinar matahari bisa efektif mencegah masalah yang disebabkan fotosensitif.Penurunan
berat badan juga disarankan pada pasien yang obesitas dan kelebihanberat badan untuk
mengurangi beberapa efek dari penyakit ini, khususnya ketikaada masalah dengan
persendian.Pada pasien ini diberikan terapi dengan kortikosteroid sesuai teori.
Kortikosteroid yang diguna dalam kasus ini adalah methylprednisolone. Selain itu pasien
juga dinasehatkan agar melindungi dirinya daripada cahaya matahari.
BAB III

RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN

3.1. Kasus

PENGKAJIAN

Tgl pengkajian: 8 Januari 2021

I. Data umum klien


Nama : Ny S

Reg : 90865098

Usia : 28 th

Jenis kelamin : Wanita

Alamat : Malang

Status perkawinan : menikah

Agama : Islam

Suku : Jawa

Pendidikan : SMU

Pekerjaan :-

MRS : 8 Januari 2021

Dx Medis : autoimun “SLE”

II. Keluhan utama


Saat MRS : sesak napas

Saat pengkajian : sesak napas

III. Riwayat penyakit sekarang


Pasien mengeluh sejak 1 minggu yang lalu klien sesak napas, batuk disertai dahak
berwarna putih, perutnya membesar, serta kakinya bengkak, , dan mengeluh wajahnya
terasa seperti terbakar jika terkena sinar matahari (membentuk ruam di wajah menyerupai
kupu-kupu) dan matanya silau melihat cahaya matahari.

IV. Riwayat penyakit dahulu


sekitar 1 tahun yang lalu mengalami pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri
ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari, pasien mengatakan bahwa klien tidak pernah
menderita penyakit seperti Asma, TBC, Typus, DB, Hepatitis, DM maupun penyakit
lainnya. Meskipun sakit, klien hanya menderita batuk pilek.

V. Riwayat penyakit keluarga


Pasien mengatakan tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama dengan
dirinya ataupun penyakit lain seperti Asam Urat, Gagal Ginjal, Reamatoid artritis maupun
penyakit lainnya.

VI. Pola pemenuhan ADL


 Nutrisi dan cairan

SMRS MRS

Klien biasanya makan 2-3 x/hr dengan Diet bubur halus TKTP 3x/hari.
porsi 1 piring. Menu yang biasa klien
makan terdiri dari nasi, sayur, lauk(tahu Klien mengeluh perutnya terasa mual-mual
tempe, ayam dan ikan laut) kadang-kadang sehingga klien hanya makan sedikit ± 3
klien minum susu. sdm

Minum air putih ± 5-6 gelas/hr Klien minum air putih 5-6 gelas/hr dan susu
1-2x/hr (1/4 -1/2gls tiap kali minum)

 Pola tidur dan istirahat

SMRS MRS

Klien biasanya tidur malam selama 6-7 Selama di RS klien erring tidur biasanya
jam. Jika tidak ada kegiatan kadang-kadang pagi hari jam 09.00-11.00 sore 14.00-16.00
klien tidur siang selama 1-2 jam dan malam hari 21.00-05.00. saat tidur klien
sering terbangun karena kaget (lingkungan
yang ramai dan terasa sumpek)

 Eliminasi

SMRS MRS

BAK : spontan, lancer, 4-6x/hr, lampias BAK : spontan, lancer 4-6x/hr, lampias

BAB : biasanya 1x/hr kadang-kadang BAB : 2 hari sekali, kadang-kadang sampai


1x/2hr, 4 hr

Konsistensi lunak sekali, konsistensi lunak

 Aktivitas

SMRS MRS

Keseharian klien sibuk sebagai seorang Klien sering tidur, aktivitas klien hanya
pelajar SMU. Waktu klien dihabiskan untuk tidur miring kiri dan kanan
belajar dan mengerjakan tugas sekolah.
Klien mempunyai kebiasaan tidur dilantai
jika capek

VII. Aspek psokososial


1. Pola pikir dan persepsi
Hal yang dipirkan klien sat ini adalah ingin segera sembuh dan pulang untuk berkumpul
dengan keluarganya

2. Suasanan hati
Klien sering terlihat murung tapi jika diajak bicara klien sering diam.

3. Pertahanan koping
Dalam mengambil keputusan (misal: tindakan medis) dilakukan sendiri

4. Sistem nilai dan kepercayaan


Selama di RS, klien memasrahkan diri pada tuhan YME sambil berdoa mengharap
kesembuhan. Selama dirawat klien tidak menjalankan sholat 5 waktu, klien hanya
berdoa.

VIII. Pemeriksaan fisik


1. Keadaan umum: lemah, status kesadaran CM GCS 4 5 6

2. Head to toe

Kepala dan leher : bentuk bulat, rambut hitam panjang dan terlihat sedikit kotor,
JVD –

Wajah : Grimace - kulit wajah tampak kemerahan seperti kupu2

Telinga : simetris (tidak ada keluhan)

Mata : simetris, konjungtiva anemis -/- sclera ickterus -/-,silau jika


terkena cahaya

Hidung : PCH –

Mulut : membrane mukosa cukup lembab

Dada/thorax :

Inspeksi
Bentuk dada simetris, pergerakan dinding dada simetris, tampak penggunaan otot-
otot Bantu pernapasan RIC + RSS + RR: 30x/mnt

Auskultasi
Paru: Rh Wh  -  

   -

 +  

+ +

 
Jantung: BJ I dan II Normal, murmur- HR 84x/mnt

Palpasi
Nyeri tekan -, massa abnormal -, krepitasi -
Perkusi
Sonor

Abdomen :

Inspeksi
Bentuk N, jejas -, asites+

Auskultasi
BU + 9x/mnt

Palpasi
Supel

Perkusi
dullness

Punggung : Bentuk Normal, jejas –

Genetalia : tidak terpasang DC

Integumen : turgor<2dtk, CRT ≤ 3 dtk, kulit cukup lembab, LSC tipis

Ekstremitas :Edema    
- -

   
+ +
Kekuatan otot    
5 5

 
5 5
Cianosis -, akral hangat,

Pemeriksaan TTV : TD = 130/70mmHg

S = 38 °C

N = 90x/mnt

RR = 30x/mnt

BB = SMRS: 55Kg MRS: 40Kg


TB= 155

IX. Pemeriksaan penunjang


Pemeriksaan Laboratorium (8 Januari 2021)

 Urinalisis  Elektrolit
Protein esbach: 1290,8 mg/ dl Na ; 150 mmol/ L (136-145)
K : 5,5 mmol/ L ( 3,5- 5,0)
CL : 104 mmol/ L (98-106)
 Faalhati  Hematologi
Albumin : 2,01 g/dl (3,5-5,5) Hb : 8 g /dL (11,7-15,5)
Eritrosit : 2,90 106/ mm3 (4,20-4,87)
Leukosit : 9,35 103/ mm3(4,5-11,0)
Hematocrit :24, 90 % (38-44)
Trombosit : 100 103/ mm3 (150-450)
 Faalginjal  TesKepekaan antibiotika
Ureum : 84,80 mg/dl (20-40) Sensitive kuat
Kreatinin ; 2,5 mg/ dl (< 1,2)  Erythromycin
 Cotrimoxazole
 Gentamicin
3.2. Pathway
3.3. Analisa Data

NO Analisa Data Masalah Etiologi


1 DS: Ketidakefektifan Kuman/virus
 Pasien mengeluh sejak 1 bersihan jalan napas
minggu yang lalu klien sesak
napas, batuk disertai dahak Gangguan
berwarna putih imunerelogi
DO:
 RR = 30x/mnt Antibody berlebihan
Dada/thorax :
 Inspeksi
Bentuk dada simetris, pergerakan Sel T sepresor yang
dinding dada simetris, tampak abnormal
penggunaan otot-otot Bantu
pernapasan RIC + RSS + RR:
Antibody menyerang
30x/mnt
organ2 tubuh
 Auskultasi
Paru: Rh Wh  -  
Jantung: BJ I dan II Penumpukan komplek
Normal, murmur- HR    -
imun dan
84x/mnt penumpukan jaringan
 +  
 Palpasi
Nyeri tekan -, massa  
abnormal -, krepitasi - Penyakit SLE
 Perkusi + + autoimun
Sonor
 Keadaan umum: lemah,  
status kesadaran CM Menyerang paru-paru
GCS 4 5 6

Efusi pleura

Suptum berlebihan

Ketidakefektian
bersihan jalan napas
2 DS: Kelebihan Volume Kuman/virus
Pasien mengeluh sejak 1 minggu Cairan
yang lalu klien mengatakan perutnya
membesar, serta kakinya bengkak Gangguan
imunerelogi
DO:
Abdomen : Antibody berlebihan
Inspeksi
Bentuk N, jejas -, asites+
Auskultasi Sel T sepresor yang
BU + 9x/mnt abnormal
Palpasi
Supel
Perkusi Antibody menyerang
Dullness organ2 tubuh
Pemeriksaan TTV :
TD = 130/70mmHg
S = 38 °C Penumpukan komplek
imun dan
penumpukan jaringan

Penyakit SLE
autoimun

Terjadi kerusakan
sintesa yang di
perlukan tubuh

perpindahan cairan ke
ekstraseluler

kelebihan volume
cairan
3 DS: Resiko Kerusakan Kuman/virus
 Pasien mengeluh sejak 1 minggu Integritas Kulit
yang lalu klien mengeluh
wajahnya terasa seperti terbakar Gangguan imunerelogi
jika terkena sinar matahari
(membentuk ruam di wajah Antibody berlebihan
menyerupai kupu-kupu)

DO: Sel T sepresor yang


 Wajah : Grimace - kulit abnormal
wajah tampak kemerahan seperti
kupu2
Antibody menyerang
 Integumen :
organ2 tubuh
turgor<2dtk, CRT ≤ 3 dtk, kulit
cukup lembab, LSC tipis
Penumpukan komplek
imun dan penumpukan
jaringan

Penyakit SLE
autoimun

Menyerang kulit

Kerusakan integritas
kulit

4 DS: Resiko Mata Kering Kuman/virus


 Pasien mengeluh sejak 1 minggu
yang lalu klien dan matanya silau Gangguan imunerelogi
melihat cahaya matahari.
Antibody berlebihan
DO:
 Mata : simetris, konjungtiva Sel T sepresor yang
anemis -/- sclera ickterus -/-,silau abnormal
jika terkena cahaya

Antibody menyerang
organ2 tubuh

Penumpukan komplek
imun dan penumpukan
jaringan

Penyakit SLE
autoimun

Hb menurun

suplai o2 menurun

mata tidak dapat


merespon cahaya

Resiko mata kering

5 DS: Intoleransi Aktivitas Kuman/virus


Pasien mengeluh sejak 1 minggu yang
lalu klien serta kakinya bengkak, ,
Gangguan
imunerelogi
DO:
Ekstremitas Antibody berlebihan
:Edema  +  +

Sel T sepresor yang


   
Kekutan Otot abnormal
5 5

 
5 5 Antibody menyerang
organ2 tubuh

Penumpukan komplek
imun dan
penumpukan jaringan

Penyakit SLE
autoimun

Menyerang sendi

atritis

edema/pembengkakan

Intoleransi aktivitas

6 DS: Mual Kuman/virus

DO: Gangguan
 Klien mengeluh perutnya terasa imunerelogi
mual-mual sehingga klien hanya
makan sedikit ± 3 sdm Antibody berlebihan
 BB = SMRS: 55Kg MRS:
40Kg
 TB= 155 Sel T sepresor yang
abnormal

Antibody menyerang
organ2 tubuh

Penumpukan komplek
imun dan
penumpukan jaringan

Penyakit SLE
autoimun

Menyerang lambung

Peningkatan cairan
peritonium

Lambung terasa
penuh

Mual

7 DS: Ketidakefektifan Lingkungan ,virus,ku


Koping man
DO:
Aspek psokososial
Gangguan
1. Pola pikir dan persepsi
imunerelogi
Hal yang dipirkan klien sat ini
Antibody berlebihan
adalah ingin segera sembuh dan
pulang untuk berkumpul dengan
Sel T sepresor yang
keluarganya abnormal
2. Suasanan hati
Klien sering terlihat murung tapi
Antibody menyerang
jika diajak bicara klien sering organ2 tubuh
diam.

Penumpukan komplek
imun dan
penumpukan jaringan

Penyakit SLE
autoimun

Penigkatan amoniak
dalam darah

kemuduran mental,
delirium, binggung

kecemasan

ketidakefektifan
koping

3.3. Prioritas Masalah Keperawatan

1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas ( Domain 11, Keamanan /perlindungan, Kelas 2


cedera fisik, Kode: 00031)

2. Kelebihan Volume Cairan ( Domain 2, Nutrisi, Kelas 5 hidrasi, Kode: 00026)

3. Resiko Kerusakan Integritas Kulit ( Domain 11 Keamanan /perlindungan, Kelas 2


cedera fisik,Kode:00047
4. Resiko Mata Kering (Domain 11 Keamanan /perlindungan, Kelas 2 cedera
fisik,Kode:00219)

5. Intoleransi Aktivitas (Domain 4 Aktivitas dan istirahat, Kelas 4 respon kardiovaskular


pulmonal, kode : 00092)

6. Mual (Domain 12 kenyamanan, Kelas 1 Kenyamanan fisik, Kode : 00134)

7. Ketidakefektifan Koping ( Domain 9 Koping/toleransi stress, Kelas 2 Respons koping


Kode: 00069
3.4. Asuhan Keperawatan

No Nanda NOC NIC


1 Ketidakefektifan bersihan Status pernafasan (0415) Penghisapan lender pada jalan
jalan napas Definisi : nafas (3160)
Proses keluar masuknya udara ke paru-paru serta Definisi :
( Domain 11, Keamanan pertukaran karbon dioksida an oksigen di Membuang sekret denan memasukan
/perlindungan, Kelas 2 alveoli. kateter suksion kedalam mulut,
cedera fisik, Kode: 00031) Skala target outcome: di pertahankan pada 2 nosoparim, atau trakea pasien.
ditingkatkan ke 4
Definisi: Aktivitas-aktivitas :
Ketidakmampuan 1 = deviasi berat dari kisaran normal  Lakukan tindakan cuci tangan.
membersihkan sekresi atau 4 = tidak ada deviasi dari kisaran normal.  Gunakan alat pelindung diri
obtruksi dari saluram nafas Indikator 1 2 3 4 5
(sarung tangan, masker sesuai
untuk mempertahankan 041501 Frekuensi 1 2 3 4 5
bersihan jalan nafas. pernafasan dengan kebutuhan).
041502 Irama 1 2 3 4 5
pernafasan  Tentukan perlunya suksion
041504 Suara 1 2 3 4 5 mulut atau trakea.
auskultasi
 Kirimkan sample sekret untuk
nafas
041532 Kepatenan 1 2 3 4 5 tes kultur dan sensitivitas
jalan nafas
sebagaimana mestinya.
1 = sangat berat
5 = tidak ada  Intruksikan pasien dan atau
Indikator 1 2 3 4 5 keluarga untuk melakukan
04151 Penggunaan otot 1 2 3 4 5
0 bantu napas suksion jalan nafas,
04151 Retraksi dinding 1 2 3 4 5 sebagaimana mestinya
1 dada
2 Kelebihan Volume Cairan Keparahan Cairan Berlebihan ( 0603) Monitor Cairan ( 4130)

( Domain 2, Nutrisi, Kelas


Definisi : Definisi:
5 hidrasi, Kode: 00026
Keparahan tanda dan gejala kelebihan cairan Pengumpulan dan analis data data
Definisi : interseluler dan cairan ekstraseluler. pasien dalam pengaturan
Peningkatan retensi cairan
keseimbangan cairan
isotonik
Skala target outcome: di pertahankan pada 2 Aktivitas-aktivitas:
ditingkatkan ke 4  Tentukan jumlah dan jenis
1 = deviasi berat dari kisaran normal intake cairan serta kebiasaan
eliminasi
4 = tidak ada deviasi dari kisaran normal.
 Tentukan factor-factor risiko
Indikator 1 2 3 4 5 yang mungkin menyebabkan
060305 Edema kaki 1 2 3 4 5
ketidakseimbangan cairan
060306 Asites 1 2 3 4 5
( Misalnya fungsi hati)
060317 Peningkatan 1 2 3 4 5  Tentukan apakah pasien
tekanan darah
mengalami kehausan atau
060319 Penurunan urin 1 2 3 4 5
output gejala perubahan cairan
( misalnya pusing, mual)
 Monitor nilai kadar serum
dan elektrolit
 Monitor kadar serum
albumin dan protein total
 Monitor tanda-tanda gejala
asites
 Berikan cairan dengan tepat
3 Resiko Kerusakan Integritas Integritas jaringan: kulit& membra mukosa Pengecekan Kulit (3590)
Kulit b.d gangguan tugor (1101)
kulit Definisi:
Definisi : Pengumpulan dan analisis data
( Domain 11 Keamanan Keutuhan struktur dan fungsi fisiologis kulit dan pasien untuk menjaga kulit dan
/perlindungan, Kelas 2 cedera selaput lender secara normal integritas membra mukosa.
fisik,Kode:00047)
Skala target outcome: di pertahankan pada 2 Aktivitas –aktivitas
Definisi: ditingkatkan ke 4  Periksa kulit dan selaput
Kerusakan pada epidermis dan lender terkait dengan adanya
1 = deviasi berat dari kisaran normal
atau dermis kemerahan, keangatan
4 = tidak ada deviasi dari kisaran normal. ekstrim, edema atau drainase.
Indikator 1 2 3 4 5  Amati warna, kehangatan,
110101 Suhu kulit 1 2 3 4 5 bengkak, pulsasi, tekstur,
110102 Sensesi 1 2 3 4 5 edema, dan ulserasi pada
110111 Perfusi jaringan 1 2 3 4 5 eksrtemitas.
1 = sangat berat  Monitor warna dan suhu kulit
5 = tidak ada  Dokumentasi perubahan
Indikator 1 2 3 4 5 membra mukosa
11010 Pigmentasi 1 2 3 4 5  Ajarkan anggota keluarga
5 abnormal atau pemberi asuhan
11012 Eritema 1 2 3 4 5 mengenai tanda-tanda
1
kerusakan kulit dengan tepat.
4 Resiko Mata Kering Keparahan mata kering (2110) Pemberian obat : mata
(2310)
(Domain 11 Keamanan /perlindungan,
Definisi :
Kelas 2 cedera fisik,Kode:00219). Definisi :
Keparahan tanda dan kejalah kurangnya air Mempersiapkan dan
Definisi : mata. memberika obat pada mata.
Rentan terhadap ketidaknyamanan
mata atau kerusakan kornea dan Aktivitas-aktivitas :
konjungtiva karena penurunan Skala target outcome: di pertahankan pada 2  Ikuti prinsip 5 benar
kuantitas atau kualitas air mata untuk ditingkatkan ke 4 pemberian obat.
melembakan mata, yang dapat  Catat riwayat medias
1 = deviasi berat dari kisaran normal
mengganggu kesehatan.S pasien dan riwayat
4 = tidak ada deviasi dari kisaran normal. alergi.
Indikator 1 2 3 4 5  Sebarkan obat diatas
211003 Kemerahaan 1 2 3 4 5 kulit diatas sesuai
selaput mata
kebutuhan.
211010 Penglihatan 1 2 3 4 5
kabur  Ajarkan dan monitor
211012 Sensitive 1 2 3 4 5 teknik pemberian
terhadap cahaya mandiri, sesuai
kebutuhan.
 Dokumenasi
pemberian obat dan
respon pasien sesuai
dengan protokol
institusi.
5 Intoleransi Aktivitas Toleransi terhadap aktivitas (0005) Peningkatan latihan ( 0200)
imobilitas
Definisi :
Definisi:
(Domain 4 Aktivitas dan Respon fisiologis terpergerakanyang memerlukan
istirahat, Kelas 4 respon energy dan aktivitas sehari-hari. Menfasilitasi aktivitas fisik secara
kardiovaskular pulmonal, teratur untuk meningkatkan atau
kode : 00092) Skala target outcome: di pertahankan pada 2
mempertahankan kesehatan dan
ditingkatkan ke 4
tingkat kebugaran.
Definisi : 1 = deviasi berat dari kisaran normal
Aktivitas-aktivitas:
Ketidakcukupan energy 4 = tidak ada deviasi dari kisaran normal.
 Hargai keyakinan individu
psikologis atau fisiologis Indikator 1 2 3 4 5
untuk mempetahankan atau 00520 Koordinator dari 1 2 3 4 5 terkait latihan fisik
menyelesaikan aktivitas pergerakan
 Gali hambatan untuk
kehidupan sehari-hari yang 000518 ADL 1 2 3 4 5
melakukan latihan
harus atau yang ingin
dilakukan  Lakukan latihan bersama
individu, jika di perlukan
 Libatkan keluarga/orang
yang member perawatan
dalam merencanakan dan
meningkatkan program
latihan
 Monitor respon individu
terhadap program latihan.
6 Mual b.d rasa makanan Keparahan mual & Muntah (2107) Manajemen Mual (1450)
/minuman yang tidak enak
Definisi: Definisi:
(Domain 12 kenyamanan, Kelas 1 Keparahan dari tanda dan gejala mual,terdengar Pencegahan dan penanggulangan
Kenyamanan fisik, Kode : 00134) suara atau muntah dan muntah. mual

Definisi : Skala target outcome: di pertahankan pada 2 Aktivitas –aktivitas:


Suatu fenomena subjectif tentang ditingkatkan ke 4  Lakukan pengkajian
rasaa tidak nyaman pada bagian lengkap terhadap mual,
1 = deviasi berat dari kisaran normal
belakang tenggorakan atau termaksud frekuensi,
lambung, yang dapat atau tidak 4 = tidak ada deviasi dari kisaran normal. durasi, tingkat keparahan,
dapat mengakibatkan muntah Indikator 1 2 3 4 5 dan factor-faktor pencetus
210711 Perubahan 1 2 3 4 5  Identifikasi factor-faktor
pengecapan yang dapat menyebabkan
210713 Kehilangan berat 1 2 3 4 5 atau mengkontribusikan
badan
terhadap mual( misalnya,
210720 Ketidakseimbangan 1 2 3 4 5
electrolit obat-obatan dan prosedur)
 Tingkatakan istirahat dan
tidur yang cukup untuk
memfasilitasi
pengurangan mual
 Monitor efek dari
manajemen mual secara
keseluruhan
 Timbang berat badan
secara teratur.
7 Ketidakefektifan Koping Koping (1320) Peningkatan koping (5230)
tingkat persepsi control
yang tidak adekuat Definisi: Definisi:
Tindakan pribadi untuk mengelola sters yang Fasilitasi usaha kognitif dan perilaku
( Domain 9 membebani kemampuan individu untuk mengelola stessor yang
Koping/toleransi stress, dirasakan, perubahan, atau ancaman
Kelas 2 Respons koping Skala target outcome: di pertahankan pada 2 yang menganggu dalam rangka
Kode: 00069) ditingkatkan ke 4 memenuhi kebuthan hidup dan
peran.’
1 = deviasi berat dari kisaran normal
Definisi:
Ketidakmampuan untuk 4 = tidak ada deviasi dari kisaran normal. Aktivitas –aktivitas:
membentuk penilaian valid Indikator 1 2 3 4 5  Bantu pasien dalam
tentang stressor, ketidak 130201 Mengidentifikasi 1 2 3 4 5 mengidentifikasi rujuan
adekuat pilihan proses pola koping yang jangka panjang dan pendak
efektif
yang dilakukan, dan atau  Gunakan pendekatan yang
130203 Menyatakan 1 2 3 4 5
ketidakmampuan untuk perasaan akan tenang dan memberikan
menggunakan sumber daya control diri jaminan
yang tersedia 1230212 Menggunakan 1 2 3 4 5  Berikan suasana penerimaan
strategis koping  Berikan keterampilan social
yang efektif yang tepat
 Dukung keterlibatan keluarga
dengan cara yang tepat
3.5. Implementasi & Evaluasi

N Nanda Implementasi Evaluasi Paraf


O
1 Ketidakefektifan  Melakukan tindakan cuci tangan. S:
bersihan jalan napas  Menggunakan alat pelindung diri  Pasien mengeluh sejak 1 minggu
yang lalu klien sesak napas, batuk
(sarung tangan, masker sesuai
disertai dahak berwarna putih
dengan kebutuhan).
 Menentukan perlunya suksion O:
 RR = 30x/mnt
mulut atau trakea.
 Mengiirimkan sample sekret A:
untuk tes kultur dan sensitivitas Masalah teratasi sebagaian

sebagaimana mestinya. P:
 Mengintruksikan pasien dan atau Intervensi dilanjutkan
keluarga untuk melakukan suksion  Melakukan tindakan cuci
jalan nafas, sebagaimana mestinya tangan.
 Menggunakan alat pelindung
diri (sarung tangan, masker sesuai
dengan kebutuhan).
2 Kelebihan Volume  Menetukan jumlah dan jenis S:
Cairan intake cairan serta kebiasaan  Pasien mengeluh sejak 1 minggu
eliminasi yang lalu klien mengatakan perutnya
 Menentukan factor-factor risiko membesar, serta kakinya bengkak
yang mungkin menyebabkan
ketidakseimbangan cairan O:
( Misalnya fungsi hati) Abdomen :
 Menentukan apakah pasien Inspeksi
mengalami kehausan atau gejala Bentuk N, jejas -, asites+
perubahan cairan ( misalnya Auskultasi
pusing, mual) BU + 9x/mnt
 Memonitor nilai kadar serum dan Palpasi
Supel
elektrolit
Perkusi
 Memonitor kadar serum albumin
Dullnes
dan protein total
 Memonitor tanda-tanda gejala A:
asites Masalah teratasi sebagian
 Memberikan cairan dengan tepat
P:
Intervensi dilanjutkan
 Menetukan jumlah dan jenis intake
cairan serta kebiasaan eliminasi
 Menentukan factor-factor risiko
yang mungkin menyebabkan
ketidakseimbangan cairan
( Misalnya fungsi hati)
3 Resiko Kerusakan  Memeriksa kulit dan S:
Integritas Kulit selaput lender terkait  Pasien mengeluh sejak 1 minggu yang lalu
b.d gangguan dengan adanya klien mengeluh wajahnya terasa seperti
tugor kulit kemerahan, keangatan terbakar jika terkena sinar matahari
ekstrim, edema atau (membentuk ruam di wajah menyerupai kupu-
drainase. kupu)
 Mengamati warna, O:
kehangatan, bengkak,  Wajah : Grimace - kulit wajah tampak
pulsasi, tekstur, kemerahan seperti kupu2
edema, dan ulserasi  Integumen : turgor<2dtk, CRT ≤ 3
pada eksrtemitas. dtk, kulit cukup lembab, LSC tipis
 Memonitor warna dan A:
suhu kulit Masalah teratasi sebagian
 Mendokumentasi
perubahan membra P:
mukosa Intervensi dilanjutkan
 Mengajarkan anggota  Memeriksa kulit dan selaput lender terkait
keluarga atau pemberi dengan adanya kemerahan, keangatan ekstrim,
asuhan mengenai edema atau drainase.
tanda-tanda kerusakan  Mengmati warna, kehangatan, bengkak,
kulit dengan tepat pulsasi, tekstur, edema, dan ulserasi pada
eksrtemitas.
4 Resiko Mata Kering  Ikuti prinsip 5 benar S:
pemberian obat.  Pasien mengeluh sejak 1 minggu
 Catat riwayat medias pasien
yang lalu klien dan matanya silau
dan riwayat alergi.
 Sebarkan obat diatas kulit melihat cahaya matahari.
diatas sesuai kebutuhan.
 Ajarkan dan monitor teknik O:
pemberian mandiri, sesuai  Mata : simetris, konjungtiva
kebutuhan. anemis -/- sclera ickterus -/-,silau
 Dokumenasi pemberian obat jika terkena cahaya
dan respon pasien sesuai A:
dengan protokol institusi. Masalah teratasi sebagaian

P:
Intervensi dilanjutkan
 Ikuti prinsip 5 benar pemberian
obat.
 Catat riwayat medias pasien dan
riwayat alergi.
5 Intoleransi Aktivitas  Hargai keyakinan individu S:
imobilitas terkait latihan fisik
 Pasien mengeluh sejak 1 minggu
 Gali hambatan untuk
yang lalu klien serta kakinya
melakukan latihan bengkak,
 Lakukan latihan bersama
O:
individu, jika di perlukan
Ekstremitas
 Libatkan keluarga/orang yang :Edema  +  +

member perawatan dalam


merencanakan dan Kekuatan otot
   
5 5
meningkatkan program latihan
 
 Monitor respon individu
5 5
terhadap program latihan.
A:
Masalah teratasi sebagian

P:
Intervensi dilanjutkan
 Hargai keyakinan individu terkait
latihan fisik
 Gali hambatan untuk melakukan
latihan
6 Mual b.d rasa  Lakukan pengkajian lengkap S:
makanan /minuman terhadap mual, termaksud
yang tidak enak frekuensi, durasi, tingkat O:
keparahan, dan factor-faktor  Klien mengeluh perutnya terasa
pencetus mual-mual sehingga klien hanya
 Identifikasi factor-faktor yang makan sedikit ± 3 sdm
dapat menyebabkan atau  BB = SMRS: 55Kg MRS: 40Kg
mengkontribusikan terhadap
mual( misalnya, obat-obatan A:
dan prosedur) Masalah teratasi sebagian
 Tingkatakan istirahat dan tidur
yang cukup untuk P:
memfasilitasi pengurangan intervensi dilanjutkan
mual  Monitor efek dari manajemen
 Monitor efek dari manajemen mual secara keseluruhan
mual secara keseluruhan  Timbang berat badan secara
 Timbang berat badan secara teratur.
teratur.
7 Ketidakefektifan  Bantu pasien dalam S:
Koping tingkat mengidentifikasi rujuan
persepsi control yang jangka panjang dan pendak O:
tidak adekuat  Gunakan pendekatan yang Suasanan hati
tenang dan memberikan Klien sering terlihat murung tapi jika
jaminan
diajak bicara klien sering diam.
 Berikan suasana penerimaan
 Berikan keterampilan social
yang tepat A:
 Dukung keterlibatan keluarga
Masalah teratasi sebagian
dengan cara yang tepat

P:
Intrevensi dilanjutkan
 Berikan keterampilan social yang
tepat
 Dukung keterlibatan keluarga
dengan cara yang tepat
BAB IV
PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit autoimun multisystem


di mana organ, jaringan, dan sel mengalami kerusakan yang dimediasi oleh
autoantibodi pengikat jaringan dan kompleks imun. Gambaran klinis SLE dapat
berubah, baik dalam hal aktivitas penyakit maupun keterlibatan organ.
Imunopatogenesis SLE kompleks dan sejalan dengan gejala klinis yang beragam.
Tidak ada mekanisme aksi tunggal yang dapat menjelaskan seluruh kasus, dan
kejadian awalyang memicunya masih belumdiketahui. Sesuai dengan teori, pada
kasus ini juga terdapat penglibatan multisystem yaitu system mukokutan (malar
rash), muskoloskeletan (arthritis), hematology (anemia), neurology (serebri) dan
ginjal (nefritis).

4.2. saran

Dengan makalah ini, diharapkan mahasiswa dapat mengetahui dan


memahami referensi tentang penyakit autoimun “SLE” serta dapat merencanakan
rencana asuhan keperawatan pada Ny. S dengan kasus autoimun “SLE” dan juga
diharapkan kelak saat menjadi perawat dapat menangani dan menanggulangi
penyakit Autoimun “SLE” pada kliennya.

Anda mungkin juga menyukai