Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN

CLINICAL STUDY
DEPARTEMEN KEPERAWATAN ANAK

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA IBU HAMIL

OLEH:
Rian Issac Arfendo Padana
( 1614314201039 )

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MAHARANI MALANG
NOVEMBER 2020
LEMBAR PERSETUJUAN
LAPORAN

CLINICAL STUDY
DEPARTEMEN KEPERAWATAN ANAK

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA IBU HAMIL

Laporan Clinical Study ini telah disetujui oleh


Pembimbing Institusi
Hari/Tanggal: Selasa/ 15 Desember 2020

Pembimbing Institusi

( Ns. Risna Yekti Mumpuni, M. Kep .)


NIK. 07314315080

2
DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan..........................................................................................................i
Daftar Isi............................................................................................................................ii
Kata Pengantar..................................................................................................................iii
BAB I..................................................................................................................................2
Pendahuluan......................................................................................................................2
1.1 Latar Belakang................................................................................................2
1.2 Tujuan...............................................................................................................3
1.3 Manfaat.............................................................................................................3
BAB II.................................................................................................................................4
Tinjauan Pustaka..............................................................................................................4
2.1 Definisi Inkontinensia Urin............................................................................4
2.2 Etiologi Inkontinensia Urin............................................................................5
2.3 Patofisiologi Inkontinensia Urin ...................................................................6
2.4 Klasifikasi Inkontinensia Urin ......................................................................7
2.5 Manifestasi Inkontinensia Urin .....................................................................8
2.6 Penatalaksanaan Inkontinensia Urin ...........................................................9
2.7 Pemeriksaan Penunjang Inkontinensia Urin................................................11
BAB III...............................................................................................................................12
Asuhan Keperawatan........................................................................................................12
3.1 Kasus.................................................................................................................12
3.2 Pathway............................................................................................................13
3.3 Analisis Data....................................................................................................14
3.4 Diagnosa Keperawatan Prioritas...................................................................14
3.5 NOC dan NIC...................................................................................................15
3.6 Implementasi dan Evaluasi.............................................................................18
BAB IV...............................................................................................................................21
Penutup...............................................................................................................................21
4.1 Kesimpulan.......................................................................................................21
4.2 Saran.................................................................................................................21
Daftar Pustaka...................................................................................................................22

3
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan YME yang telah melimpahkan rahmat
dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Laporan
Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan pada” dengan baik dan tidak ada halangan
apapun. Laporan ini ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Anak.
Dalam penyusunan makalah ini tentunya tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak,
sehingga kami mengucapkan terima kasih atas segala bantuan yang telah diberikan. Tidak
lupa kami mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ns. Risna Yekti Mumpuni,S.Kep.,M.Kep. selaku dosen pembimbing clinical study
departemen Keperawatan Anak yang telah berkenan meluangkan waktu untuk
memberikan arahan dan bimbingan dalam penyusunan tugas ini.
2. Kedua orang tua kami yang senantiasa memberi semangat dan dukungan kepada
kami.
3. Dan semua pihak yang telah membantu serta membimbing kami dalam penyusunan
makalah ini.

Kami menyadari bahwa hasil diskusi ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu jika tedapat kekurangan kami memohon maaf dan mengharapkan
kritik dan saran yang akan membangun makalah ini. Akhirnya, semoga tugas ini dapat
berguna bagi kita semua.

Malang, 15 Desember 2020

Penyusun

4
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Inkontinensia Urine (UI) merupakan keluhan subjektif individu terhadap masalah
kebocoran (leakage) urine. Pendapat lain mengatakan UI sebagai ketidak mampuan
menahan berkemih yang memberikan dampak gangguan kebersihan dan hubungan social
individu” (NIH, 1988). Kondisi ini menyebabkan masalah ketidaknyamanan dan distress
pada individu. Pada umunya UI diketahui sebagai masalah berkemih pada lansia, namun
sebenarnya masalah ini tidak hanya terbatas pada lansia saja.
Masalah UI juga terdapat pada anak, remaja, dan orang dewasa tergantung pada
etiologi yang menjadi penyebab. Bradway dan Hernly (1988) mengatakan prevalensi
enuresis nocturnal pada anak usia 7 tahun sebesar 10% dan 28% atlet wanita mengalami
UI saat melakukan aktivitas olahraganya. Data lain menunjukkan bahawa UI paling
sering dialami oleh usia pertengahan (middle aged) dan lansia, peningkatan jumlah UI
pada dewasa muda sebesar 10-20% sedang pada dewasa lanjut sebesar 20-30%.
Peningkatan prevalensi terbesar adalah pada lansia yaitu antara 30-50% (Chan dan
Wong, 1999).
UI merupakan masalah yang memberikan efek secara langsung pada pasien keluarga.
Implikasi lain yang dapat dialami individu adalah masalah kesehatan, hubungan sosial,
dan masalah pembiayaan. Menurut Barry dan Weiss (1998), diperkirakan biaya untuk
mengatasi masalah inkontinensia lebih dari 1,5 juta dolar pertahun. Implikasi lain adalah
peningkatan risiko luka dekubitus yang umumnya terjadi pada pasien lansia atau pasien
tirah baring. Masalah yang lebih kompleks adalah adanya gangguan hubungan sosial
seperti harga diri rendah, aktivitas seksual, isolasi sosial dan depresi (Barry and Weiss,
1998).
Kompleksitas masalah pada inkontinensia membutuhkan penanganan yang
komperhensif. Tulisan ini membahas tentang bagaimana peran perawat dalam membantu
klien meningkatkan kualitas hidupnya dan mengatasi masalah inkontinensia urin yang
sebenarnya dapat ditangani dan dapat dikelola (Hocking, 1999).

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
5
Melakukan Asuhan Keperawatan pada ibu Hamil dengan diagnosa Inkontinenesia
urin
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Apa Definisi Inkontinensia Urin?
2. Apa Etiologi Inkontinensia Urin?
3. Apa Patofisiologi Inkontinensia Urin?
4. Apa Klasifikasi Inkontinensia Urin?
5. Apa Manifestasi Klinis Inkontinensia Urin?
6. Apa Penatalaksanaan Inkontinensia Urin?
7. Apa Pemeriksaan Penunjang Inkontinensia Urin?

1.3 Manfaat
1. Untuk mengetahui Definisi Inkontinensia Urin
2. Untuk mengetahui Etiologi Inkontinensia Urin
3. Untuk mengetahui Patofisiologi Inkontinensia Urin
4. Untuk mengetahui Klasifikasi Inkontinensia Urin
5. Untuk mengetahui Manifestasi Klinis Inkontinensia Urin
6. Untuk mengetahui Penatalaksanaan Inkontinensia Urin
7. Untuk mengetahui Pemeriksaan Penunjang Inkontinensia Urin

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Inkontinensia Urin


6
Inkontinensia urin merupakan pengeluaran urin yang tidak terkendali pada waktu
yang tidak dikehendaki dan tidak melihat jumlah maupun frekuensinya, keadaan ini
dapat menyebabkan masalah fisik, emosional, sosial dan kebersihan (Kurniasari, 2016).
Proses berkemih yang normal adalah suatu proses dinamik yang secara fisiologik
berlangsung dibawah kontrol dan koordinasi sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi di
daerah sacrum. Sensasi pertama ingin berkemih biasanya timbul pada saat volume
kandung kemih mencapai 150–350 ml. Umumnya kandung kemih dapat menampung
urin sampai kurang lebih 500 ml tanpa terjadi kebocoran. Frekuensi berkemih yang
normal adalah tiap 3 jam sekali atau tidak lebih dari 8 kali sehari (Wahab, 2016).
Menurut penelitian Junita, (2013) rata-rata lansia yang mengalami inkontinensia urin
akan berkemih sebanyak 12 kali selama 24 jam. Perubahan sistem perkemihan lansia
terjadi pada ginjal, ginjal mengalami pengecilan dan nefron menjadi atrofi. Aliran ginjal
menurun hingga 50%, fungsi tubulus berkurang mengakibatkan BUN (Blood Urea
Nitrogen) meningkat hingga 21 mg%, berat jenis urine menurun, serta nilai ambang
ginjal terhadap glukosa meningkat. Pada kandung kemih, otot-otot melemah, sehingga
kapasitasnya menurun hingga 200 ml yang menyebabkan frekuensi berkemih meningkat
(Rosidawati dkk, 2011).
Inkontinensia urin merupakan masalah yang meluas dan merugikan. Masalah ini
merupakan salah satu faktor utama yang membuat banyak keluarga menempatkan lansia
di panti jompo untuk mendapatkan perawatan yang layak (Agoes, 2010).
Beberapa kondisi yang sering menyertai inkontinensia urin antara lain kelainan kulit,
gangguan tidur, dampak psikososial dan ekonomi, seperti depresi, mudah marah,
terisolasi, hilang percaya diri, pembatasan aktivitas sosial, dan besarnya biaya rawatan
(Juananda, 2017).
2.2 Etiologi Inkontinensia Urin
Menurut Soeparman & Wapadji Sarwono, (2001) dalam Aspiani, (2014) faktor
penyebab inkontinensia urin antara lain :
2.2.1 Poliuria
Poliuria merupakan kelainan frekuensi buang air kecil karena kelebihan
produksi urin. Pada poliuria volume urin dalam 24 jam meningkat melebihi
batas normal karena gangguan fungsi ginjal dalam mengonsentrasi urin.
2.2.2 Nokturia
Kondisi sering berkemih pada malam hari disebut dengan nokturia.
Nokturia merupakan salah satu indikasi adanya prolaps kandung kemih.
7
2.2.3 Faktor Usia
Inkontinensia urin lebih banyak ditemukan pada usia >50 tahun karena
terjadinya penurunan tonus otot pada saluran kemih.
2.2.4 Penurunan Produksi Esterogen (pada wanita)
Penurunan produksi estrogen dapat menyebabkan atropi jaringan uretra
sehingga uretra menjadi kaku dan tidak elastis.
2.2.5 Operasi Pengangkatan Rahim
Pada wanita, kandung kemih dan rahim didukung oleh beberapa otot yang
sama. Ketika rahim diangkat, otot-otot dasar panggul tersebut dapat
mengalami kerusakan, sehingga memicu inkontinensia
2.2.6 Frekuensi Melahirkan
Melahirkan dapat mengakibatkan penurunan otot-otot dasar panggul.
2.2.7 Merokok
Merokok dapat menyebabkan kandung kemih terlalu aktif karena efek
nikotin pada dinding kandung kemih.

2.2.8 Konsumsi Alkohol dan Kafein


Mengonsumsi alkohol dan kafein dapat menyebabkan inkontinensia urin
karena keduanya bersifat diuretik sehingga dapat meningkatkan frekuensi
berkemih.
2.2.9 Obesitas
Berat badan yang berlebih meningkatkan resiko terkena inkontinensia urin
karena meningkatnya tekanan intra abdomen dan kandung kemih. Tekanan
intra abdomen menyebabkan panjang uretra menjadi lebih pendek dan
melemahnya tonus otot.
2.2.10 Infeksi Saluran Perkemihan
Gejala pada orang yang mengalami infeksi saluran kemih biasanya adalah
peningkatan frekuensi berkemih. Frekuensi berkemih yang semakin banyak
akan menyebabkan melemahnya otot pada kandung kemih sehingga dapat
terjadi inkontinensia urin.

2.3 Patofisiologi Inkontinensia Urin


8
Inkontinensia urin dapat terjadi karena beberapa penyebab, antara lain:
2.3.1 Perubahan Terkait Usia pada Sistem Perkemihan
Menurut Stanley M & Beare G Patricia, (2006) dalam Aspiani, (2014)
kapasitas kandung kemih (vesiko urinaria) yang normal sekitar 300-600 ml.
Dengan sensasi atau keinginan berkemih di antara 150-350 ml. Berkemih
dapat ditunda 1-2 jam sejak keinginan berkemih dirasakan. Keinginan
berkemih terjadi pada otot detrusor yang kontraksi dan sfingter internal serta
sfingter eksternal relaksasi, yang membuka uretra. Pada orang dewasa muda
hampir semua urin dikeluarkan saat berkemih, sedangkan pada lansia tidak
semua urin dikeluarkan. Pada lansia terdpat residu urin 50 ml atau kurang
dianggap adekuat. Jumlah residu lebih dari 100 ml mengindikasikan retensi
urin. Perubahan lain pada proses penuaan adalah terjadinya kontraksi kandung
kemih tanpa disadari. Pada seorang wanita lanjut usia terjadinya penurunan
hormon estrogen mengakibatkan atropi pada jaringan uretra dan efek dari
melahirkan menyebabkan lemahnya otot-otot dasar panggul.
2.3.2 Fungsi Otak Besar yang Terganggu dan Mengakibatkan Kontraksi
Kandung Kemih
Menurut Aspiani, (2014) adanya hambatan pengeluaran urin karena
pelebaran kandung kemih, urin terlalu banyak dalam kandung kemih sehingga
melebihi kapasitas normal kandung kemih. Fungsi sfingter yang terganggu
mengakibatkan kandung kemih mengalami kebocoran ketika bersin atau
batuk.

2.4 Klasifikasi Inkontinensia Urin


Menurut Cameron (2013), inkontinensia urin dapat dibedakan menjadi:
2.5.1 Inkontinensia urge
Keadaan otot detrusor kandung kemih yang tidak stabil, di mana otot ini
bereaksi secara berlebihan. Inkontinensia urin ini ditandai dengan
ketidakmampuan menunda berkemih setelah sensasi berkemih muncul,
manifestasinya dapat berupa perasaan ingin berkemih yang mendadak (urge),
berkemih berulang kali (frekuensi) dan keinginan berkemih di malam hari
(nokturia).
2.5.2 Inkontinensia stress

9
Inkontinensia urin ini terjadi apabila urin dengan secara tidak terkontrol
keluar akibat peningkatan tekanan di dalam perut, melemahnya otot dasar
panggul, operasi dan penurunan estrogen. Pada gejalanya antara lain keluarnya
urin sewaktu batuk, mengedan, tertawa, bersin, berlari, atau hal yang lain yang
meningkatkan tekanan pada rongga perut.
2.5.3 Inkontinensia overflow
Pada keadaan ini urin mengalir keluar dengan akibat isinya yang sudah
terlalu banyak di dalam kandung kemih, pada umumnya akibat otot detrusor
kandung kemih yang lemah. Biasanya hal ini bisa dijumpai pada gangguan
saraf akibat dari penyakit diabetes, cedera pada sumsum tulang belakang, dan
saluran kemih yang tersumbut. Gejalanya berupa rasanya tidak puas setelah
berkemih (merasa urin masih tersisa di dalam kandung kemih), urin yang
keluar sedikit dan pancarannya lemah.
2.5.4 Inkontinensia refleks
Hal ini terjadi karena kondisi sistem saraf pusat yang terganggu, seperti
demensia. Dalam hal ini rasa ingin berkemih dan berhenti berkemih tidak ada.
2.5.5 Inkontinensia fungsional
Dapat terjadi akibat penurunan yang berat dari fungsi fisik dan kognitif
sehingga pasien tidak dapat mencapai ke toilet pada saat yang tepat. Hal ini
terjadi pada demensia berat, gangguan neurologi, gangguan mobilitas dan
psikologi.

2.5 Manifestasi Klinis Inkontinensia Urin


Menurut Aspiani ( 2014) ada beberapa manifestasi klinis inkontinensia urin, antara lain :
2.6.1. Inkontinensia urge
Gejala dari inkontinensia urge adalah tingginya frekuensi berkemih (lebih
sering dari 2 jam sekali). Spasme kandung kemih atau kontraktur berkemih
dalam jumlah sedikit (kurang dari 100 ml) atau dalam jumlah besar (lebih dari
500 ml).
2.6.2. Inkontinensia stress
Gejalanya yaitu keluarnya urin pada saat tekanan intra abdomen meningkat
dan seringnya berkemih.
2.6.3. Inkontinensia overflow

10
Gejala dari inkontinensia jenis ini adalah keluhan keluarnya urin sedikit
dan tanpa sensasi bahwa kandung kemih sudah penuh, distensi kandung
kemih.
2.6.4. Inkontinensia refleks
Orang yang mengalami inkontinensia refleks biasanya tidak menyadari
bahwa kandung kemihnya sudah terisi, kurangnya sensasi ingin berkemih, dan
kontraksi spasme kandung kemih yang tidak dapat dicegah.
2.6.5. Inkontinensia fungsional
Mendesaknya keinginan berkemih sehingga urin keluar sebelum mencapai
toilet merupakan gejala dari inkontinensia urin fungsional.
2.6 Penatalaksanaan Inkontinensia Urin
Penatalaksanaan inkontinensia urin menurut Aspiani (2014) yaitu dengan mengurangi
faktor risiko, mempertahankan homeostatis, mengontrol inkontinensia urin, modifikasi
lingkungan, medikasi, latihan otot pelvis, dan pembedahan. Dari beberapa hal tersebut,
dapat dilakukan sebagai berikut :
2.8.1. Pemanfaatan kartu catatan berkemih
Yang dicatat dalam kartu catatan yaitu waktu berkemih, jumlah urin yang
keluar baik secara normal maupun karena tak tertahan. Banyaknya minuman
yang diminum, jenis minuman yang diminum, dan waktu minumnya juga
dicatat dalam catatan tersebut.
2.8.2. Terapi non farmakologi
Terapi ini dilakukan dengan cara mengoreksi penyebab timbulnya
inkontinensia urin, seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik,
dan hiperglikemi. Cara yang dapat dilakukan adalah :
a. Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu
berkemih) dilakukan dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga
waktu berkemih 6-7x/hari. Lansia diharapkan mampu menahan
keinginan berkemih sampai waktu yang ditentukan. Pada tahap awal,
diharapkan lansia mampu menahan keinginan berkemih satu jam,
kemudian meningkat 2- 3 jam.
b. Promited voiding yaitu mengajari lansia mengenali kondisi berkemih.
Hal ini bertujuan untuk membiasakan lansia berkemih sesuai dengan
kebiasaannya. Apabila lansia ingin berkemih diharapkan lansia

11
memberitahukan petugas. Teknik ini dilakukan pada lansia dengan
gangguan fungsi kognitif
c. Melakukan latihan otot dasar panggul atau latihan kegel. Latihan kegel
ini bertujuan untuk mengencangkan otot-otot dasar panggul dan
mengembalikan fungsi kandung kemih sepenuhnya serta mencegah
prolaps urin jangka panjang
2.8.3. Terapi farmakologi
Obat yang dapat diberikan pada inkontinensia dorongan (urge) yaitu
antikolenergik atau obat yang bekerja dengan memblokir neurotransmitter,
yang disebut asetilkolin yang membawa sinyal otak untuk mengendalikan otot.
Ada beberapa contoh obat antikolenergik antara lain oxybutinin, propanteline,
dyclomine, flsavoxate, dan imipramine. Pada inkontinensia tipe stress
diberikan obat alfa adregenic yaitu obat untuk melemaskan otot. Contoh dari
obat tersebut yaitu pseudosephedrine yang berfungsi untuk meningkatkan
retensi urethra. Pada sfingter yang mengalami relaksasi diberikan obat
kolinergik agonis yang bekerja untuk meningkatkan fungsi neurotransmitter
asetilkolin baik langsung maupun tidak langsung. Obat kolinergik ini antara
lain bethanechol atau alfakolinergik antagonis seperti prazosin untuk
menstimulasi kontraksi.
2.8.4. Terapi pembedahan
Terapi ini bisa dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urge,
bila terapi non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Pada
inkontinensia overflow biasanya dilakukan pembedahan untuk mencegah
retensi urin. Terapi ini biasanya dilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum,
hiperplasia prostat, dan prolaps pelvis.
2.8.5. Modalitas lain
Terapi modalitas ini dilakukan bersama dengan proses terapi dan
pengobatan masalah inkontinensia urin, caranya dengan menggunakan
beberapa alat bantu bagi lansia antara lain pampers, kateter, dan alat bantu
toilet seperti urinal dan bedpan.
2.7 Pemeriksaan Penunjang
Menurut Artinawati (2014) terdapat beberapa pemeriksaan penunjang untuk masalah
inkontinensia urin, antara lain :
2.9.1. Urinalis
12
Spesimen urin yang bersih diperiksa untuk mengetahui penyebab
inkontinensia urin seperti hematuria, piuria, bakteriuria, glukosuria, dan
proteinuria
2.9.2. Pemeriksaan darah
Dalam pemeriksaan ini akan dilihat elektrolit, ureum, kreatinin, glukosa,
dan kalsium serum untuk menentukan fungsi ginjal dan kondisi yang
menyebabkan poliuria.
2.9.3. Tes laboratorium tambahan
Tes ini meliputi kultur urin, blood urea nitrogen, kreatinin, kalsium,
glukosa, dan sitologi.
2.9.4. Tes diagnostik lanjutan
a. Tes urodinamik untuk mengetahui anatomi dan fungsi saluran
kemih bagian bawah
b. Tes tekanan uretra untuk mengukur tekanan di dalam uretra
saat istirahat dan saat dinamis
c. Imaging tes untuk saluran kemih bagian atas dan bawah
2.9.5. Catatan berkemih (voiding record)
Catatan berkemih ini dilakukan selama 1-3 hari untuk mengetahui pola
berkemih. Catatan ini digunakan untuk mencatat waktu dan jumlah urin
saat mengalami inkontinensia urin dan tidak inkontinensia urin, serta
gejala yang berhubungan dengan inkontinensia urin.

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Kasus
Identitas Klien Nama:NY Usia:35 thn Alasan kunjungan ke rumah sakit: datang ke
Poliklinik KIA Puskesmas Polehan tanggal 27 Februari 2019 untuk kontrol kehamilan
pasien mengatakan sering BAK terutama malam hari sehingga mengganggu tidur.
Keluhan utama saat ini : pasien mengatakan sering BAK terutama malam hari sehingga
mengganggu tidur. Pasien mengatakan selama kehamilan tidak boleh makan
menggunakan piring ukuran besar karena dikhawatirkan ukuran plasenta akan besar.
13
Palpasi Leopold I : TFU 30 cm, teraba bulat lebar dan tidak melenting TFU: TFU 30
cm .berisi teraba bulat lebar dan tidak melenting. Leopod II: teraba datar memanjang di
bagian abdomen kanan, dan teraba bagian-bagian kecil di abdomen kiri. Leopold III :
presentasi teraba keras bulat melenting dan tidak bisa digoyangkan. Leopold IV : Tangan
konvergen.

3.2 Pathway
Perubahan pada ibu
hamil

Perubahan fisiologis

Sistem perkemihan

Penekanan VU

Peningkatan frekuensi
BAK
14

Kencing di malam hari Gangguan Ekiminasi Urin


3.3 Analisa Data
No Data Masalah Etiologi
1. DS: pasien mengatakan sering BAK pada Inkontinensia urin dorongan Perubahan fisiologis
malam hari
DO: sistem perkemihan

Pasien kencing ± 2 kali/jam


peningkatan frekuensi BAK

gangguan eliminasi urin

inkontinensia Urin
2. DS: pasien mengatakan tidur terganggu di Gangguan pola tidur Peningkatan frekuensi BAK
malam hari karena sering terbangun untuk
kencing
kencing di malam hari

DO:
 Pasien tampak lelah di pagi hari gangguan pola tidur
 Mata pasien sembab

3.4 Diagnoasa Keperawatan Prioritas


1. Inkontinensia urin dorongan (Domain 3, Kelas 1, Kode 00019)
2. Gangguan pola tidur (Domain 4, Kelas 1, Kode 00198)

15
3.5 NOC dan NIC
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
1. Inkontinensia urin dorongan Kontinensia Urine (0502) Latihan Otot Pelvis (0560)
Definisi: pengeluaran urin Skala target dipertahankan pada 3 Aktivas-aktivitas:
involunter yang terjadi segera ditingkatkan ke 5 1. Instruksikan pasien untuk
setelah suatu rasa dorongan Indikator 1 2 3 4 5 menahan otot-otot sekitar
kuat untuk berkemih 050201 mengenal keinginan 1 2 3 4 5 uretra dan anus, kemudian
untuk berkemih
050203 respon berkemih 1 2 3 4 5 relaksasi, seolah-olah ingin
sudah tepat waktu menahan buang air kecil
050209 mengosongkan 1 2 3 4 5
kantung kemih sepenuhnya atau buang air besar
050222 jaga area perinial 1 2 3 4 5 2. Instruksikan pasien untuk
bersih dan kering
tidak mengkontraksikan
perut, pangkal paha dan
pinggul, menahan nafasa
atau mengejan selama
latihan
3. Instruksikan pasien untuk
mengidentifikasi letak
levator ani dan otot-otot
urogenital dengan

16
meletakkan jari di vagina
dan menekannya
4. Informasikan kepada klien
bahwa latihan ini akan
efektif jika dilakukan selama
6-12 minggu
5. Berikan umpan balik positif
selama latihan dilakukan
6. Sediakan informasi
mengenai latihan otot pelvis
ini dalam bentuk tulisan
mengenai langkah-langkah
pelaksanaannya
2. Gangguan pola tidur Tidur (0004) Peningkatan Tidur (1850)
Definisi: interupsi jumlah Skala target dipertahankan pada 3 Aktivitas-aktivitas:
waktu dan kualitas tidur ditingkatkan ke 5 1. Monitor/catat pola tidur
akibat faktor eksternal Indikator 1 2 3 4 5 pasien dan jumlah jam tidur
000403 pola tidur 1 2 3 4 5 2. Monitor pola tidur pasien
000404 kualitas tidur 1 2 3 4 5
000405 efisiensi tidur 1 2 3 4 5 dan catat kondisi fisik
000406 tidur yang terputus 1 2 3 4 5 (frekuensi BAK)
000423 buang air kecil di 1 2 3 4 5

17
malam hari 3. Sesuaikan lingkungan
(misalnya cahaya,
kebisingan, suhu, kasur dan
tempat tidur) untuk
meningkatkan tidur
4. Anjurkan untuk tidur siang ,
jika diindikasikan untuk
memenuhi kebutuhan tidur
5. Ajarkan pasien dan keluarga
mengenal faktor yang
berkontribusi terjadinya
gangguan pola tidur
Manajemen Lingkungan (6480)
Aktivitas-aktivitas:
1. Sediakan tempat tidur dan
lingkungna yang bersih dan
nyaman
2. Sesuaikan suhu lingkungan
dengan kebutuhan pasien
3. Kendalikan atau cegah

18
kebisingan yang tidak di
inginkan
4. Berikan musik pilihan
5. Manipulasi cahanya untuk
manfaat terapeutik

3.6 Implementasi dan Evaluasi


No Diagnosa Implementasi Evaluasi Paraf
1. Inkontinensia Urin 1. Menginstruksikan pasien untuk menahan S: pasien mengatakan sering
Dorongan otot-otot sekitar uretra dan anus, BAK pada malam hari
kemudian relaksasi, seolah-olah ingin O: Pasien kencing ± 2
menahan buang air kecil atau buang air kali/jam
besar A:masalah Inkontinensia
2. Menginstruksikan pasien untuk tidak Urin Dorongan teraasi
mengkontraksikan perut, pangkal paha sebagian
dan pinggul, menahan nafasa atau P:intervensi dilanjutkan
mengejan selama latihan nomer 1-6
3. Menginstruksikan pasien untuk
mengidentifikasi letak levator ani dan
otot-otot urogenital dengan meletakkan

19
jari di vagina dan menekannya
4. Menginformasikan kepada klien bahwa
latihan ini akan efektif jika dilakukan
selama 6-12 minggu
5. Memberikan umpan balik positif selama
latihan dilakukan
6. Menyediakan informasi mengenai
latihan otot pelvis ini dalam bentuk
tulisan mengenai langkah-langkah
pelaksanaannya
2. Gangguan Pola Tidur 1. Memonitor/catat pola tidur pasien dan S: pasien mengatakan tidur
jumlah jam tidur terganggu di malam hari
2. Memonitor pola tidur pasien dan catat karena sering terbangun
kondisi fisik (frekuensi BAK) untuk kencing
3. Menyesuaikan lingkungan (misalnya O:
cahaya, kebisingan, suhu, kasur dan Pasien tampak lelah di
pagi hari
tempat tidur) untuk meningkatkan tidur
 Mata pasien sembab
4. Menganjurkan untuk tidur siang , jika A: masalah gangguan Pola
diindikasikan untuk memenuhi Tidur teratasi sebagian
kebutuhan tidur P: intervensi dilanjutkan

20
5. Mengajarkan pasien dan keluarga nomer 1-10
mengenal faktor yang berkontribusi
terjadinya gangguan pola tidur
6. Menyediakan tempat tidur dan
lingkungna yang bersih dan nyaman
7. Menyesuaikan suhu lingkungan dengan
kebutuhan pasien
8. Mengendalikan atau cegah kebisingan
yang tidak di inginkan
9. Memberikan musik pilihan
10. Memanipulasi cahanya untuk manfaat
terapeutik

21
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Inkontinensia urin merupakan pengeluaran urin yang tidak terkendali pada waktu
yang tidak dikehendaki dan tidak melihat jumlah maupun frekuensinya, keadaan ini
dapat menyebabkan masalah fisik, emosional, sosial dan kebersihan (Kurniasari, 2016).
Menurut Soeparman & Wapadji Sarwono, (2001) dalam Aspiani, (2014) faktor
penyebab inkontinensia urin antara lain :
1. Poliuria
2. Nokturia
3. Faktor Usia
4. Penurunan Produksi Esterogen (pada Wanita)
5. Operasi pengangkatan rahim
6. Frekuensi Kehamilan
7. Merokok
8. Konsumsi Alkohol dan Kafein
9. Obesitas
10. Infeksi Saluran Kemih
Menurut Cameron (2013), inkontinensia urin dapat dibedakan menjadi:
1. Inkontinensia urge
2. Inkontinensia stress
3. Inkontinensia overflow
4. Inkontinensia refleks
5. Inkontinensia fungsional
4.2 Saran
Penulis mengharapkan agar mahasiswa dapat mengetahui dan memanfaatkan makalah
ini untuk menambah wawasan dan ilmu tentang penyakit inkontinensia urin

DAFTAR PUSTAKA

22
Barry D, Weiss M D. 1998. Problem oriented diagnosis: Diagnostic evaluation of
urinary incontinence in geriatric patients. American Academy of Family Physicians.

Bradway C, Hernly S, the NICHE faculty. 1998. Urinary incontinence in older adults
admitted to acute care. Geriatric Nursing. 19(2): 98-101.

Chan K M, Yap K B, Wong S F, et al. 1999. Geriatric Medicine for Singapore.


Singapore: Amour Publishing Pte Ltd.

Chin C M. 2001. Clinical handbook on the management of incontinence. 2nd edition.


Society for Continence, Singapore.

23

Anda mungkin juga menyukai