A DENGAN
DIAGNOSA MEDIS TUNANETRA DI SLB NEGERI 1
PALANGKA RAYA
Disusun Oleh :
Maria Lestari Herawati 20231490104045
Natasia Lusiana 20231490104052
Prinawati 20231490104059
Winarti 20231490104083
Tury Wulandari 20231490104077
Dengan memanjatkan Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat dan anugerah-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan Laporan
Asuhan Keperawatan yang berjudul “Asuhan Keperawatan Anak pada an. A
dengan diagnosa medis Tunanetra di SLB Negeri 1 Palangka Raya”. Laporan
Asuhan Keperawatan ini disusun guna melengkapi tugas Profesi Ners.
Laporan Asuhan Keperawatan ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak.
Oleh karena itu, saya ingin mengucapkan terimakasih kepada :
1. Ibu Maria Adelheid Ensia, S.Pd., M.Kes selaku Ketua STIKes Eka Harap
Palangka Raya.
2. Ibu Meilitha Carolina, Ners, M.Kep selaku Ketua Program Studi Ners
STIKes Eka Harap Palangka Raya.
3. Bapak kepala Sekolah SLB Negeri 1 Palangka Raya yang telah memberikan
ijin dan bimbingan kepada kami untuk melakukan praktek klinik
keperawatan anak di SLB Negeri 1 Palangka Raya.
4. Dwi Agustian Faruk Ibrahim, Ners., M.Kep selaku pembimbing akademik
yang telah banyak memberikan arahan, masukkan, dan bimbingan dalam
penyelesaian asuhan keperawatan ini.
5. Keluarga An. A yang telah memberikan ijin anaknya sebagai pasien
kelolaan dan untuk semua pihak yang telah banyak membantu dalam
pelaksaan kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini.
Saya menyadari bahwa laporan Asuhan Keperawatan ini mungkin terdapat
kesalahan dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu penyusun mengharapkan
saran dan kritik yang membangun dari pembaca dan semoga laporan Asuhan
Keperawatan ini dapat mencapai sasaran yang diharapkan sehingga dapat
bermanfaat bagi kita semua.
Palangka Raya, November 2023
Penyusun
iii
DAFTAR ISI
SAMPUL DEPAN..............................................................................................
LEMBAR PENGESAHAN..............................................................................ii
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI....................................................................................................iv
BAB 1 PENDAHULUAN..............................Error! Bookmark not defined.
1.1. Latar Belakang.............................Error! Bookmark not defined.
1.2. Rumusan Masalah..........................................................................2
1.3. Tujuan Penulisan............................................................................2
1.4. Manfaat Penulisan..........................................................................2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................4
2.1 Definisi Tunanetra..........................................................................4
2.2 Etiologi...........................................................................................4
2.3 Klasifikasi......................................................................................6
2.4 Karaktristik anak tunanetra............................................................9
2.5 Dampak tunanetra.......................Error! Bookmark not defined.1
2.6 WOC pada Tunanetra...................................................................15
2.7 Pemeriksaan Penunjang................................................................16
2.8 Manajemen Asuhan KeperawatanError! Bookmark not defined.6
BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN...........................................................23
3.1 Pengkajian......................................................................................23
3.2 Analisa Data...................................................................................28
3.3 Prioritas Masalah...........................Error! Bookmark not defined.
3.4 Rencana Keperawatan...................................................................30
3.5 Implentasi dan Evaluasi Keperawatan...........................................31
DAFTAR PUSTAKA
iv
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sensori adalah stimulus atatu rangsangan yang datang dari dalam maupun
luar tubuh. Stimulus tersebut masuk kedalam tubuh melaui organ sensori (panca
indera). Stimulus yang sempurna memungkinkan seseorang untuk belajar
berfungsi secara sehat dan berkembang dengan normal. Gangguan penglihatan
adalah kondisi yang ditandai dengan penurunan tajam penglihatan ataupun
menurunnya luas lapangan pandang, yang dapat mengakibatkan kebutaan.
WHO memperkirakan terdapat 45 juta penderita kebutaan di dunia, di
mana sepertigannya berada di Asi Tenggara. Diperkirakan 12 orang menjadi buta
tiap menit di dunia, dan 4 orang diantaranya berasal dari Asia Tenggara,
sedangkan di Indonesia diperkirakan setiap menit ada satu orang menjadi buta.
Sebagian besar orang buta (tunanetra) di Indonesia berada di daerah miskin
dengan kondisi sosial ekonomi lemah. Survey kesehatan indera penglihatan
dan pendengaran tahun, menunjukkan angka kebutaan di Indonesia mencapai
1,5%. Penyebab utama kebutaan adalah katarak (0,78%), glaucoma (0,20%),
kelainan refraksi (0,14%), dan penyakit-penyakit lain yang berhubungan dengan
lanjut usia (0,38%).
Sejak 1984, Upaya Kesehatan Mata atau pencegahan kebutaan (UKM/PK)
sudah diintegrasikan kedalam kegiatan pokok Puskesmas. Sedangkan
program Penanggulangan Kebutaan Katarak Paripurna (PKKP) dimulai sejak
1987 baik melalui Rumah Sakit(RS) maupun Balai Kesehatan Mata Masyarakat
(BKMM). Namun demikian, hasil survei tahun 1993-1996 menunjukkan bahwa
angka kebutaan meningkat dari 1,2% (1982) menjadi 1,5% (1993-1996),
padahal 90% kebutaan dapat ditanggulangi (dicegah atau diobati). Disamping
itu masalah kebutaan, gangguan penglihatan akibat kelainan refraksi dengan
prevalensi sebesar22,1% juga menjadi masalah serius. Sementara 10% dari 66
juta anak usia (5-19 tahun) menderita kelainan refraksi. Sampai saat ini angka
pemakaian kacamata koreksi masih rendah yaitu 12,5% dari prevalensi.
Peran perawat pada anak berkebutuhan khusus adalah meningkatkan status
kesehatan melalui upaya promotif, preventif, dan rehabilitative sederhana.
1
2
4
5
3. Tunanetra pada usia sekolah atau pada masa remaja; mereka telah memiliki
kesan-kesan visual dan meninggalkan pengaruh yang mendalam terhadap
proses perkembangan pribadi.
4. Tunanetra pada usia dewasa; pada umumnya mereka yang dengan segala
kesadaran mampu melakukan latihan-latihan penyesuaian diri.
5. Tunanetra dalam usia lanjut; sebagian besar sudah sulit mengikuti latihan-
latihan penyesuaian diri.
6. Tunanetra akibat bawaan (partial sight bawaan)
2.3.2 Klasifikasi kemampuan daya penglihatan
Klasifikasi anak tunanetra berdasarkan kemampuan daya penglihatan
adalah sebagai berikut:
1. Tunanetra ringan (defective vision/low vision); yakni mereka yang
memiliki hambatan dalam penglihatan akan tetapi mereka masih dapat
mengikuti program-program pendidikan dan mampu melakukan
pekerjaan/kegiatan yang menggunakan fungsi penglihatan.
2. Tunanetra setengah berat (partially sighted); yakni mereka yang
kehilangan sebagian daya penglihatan, hanya dengan menggunakan kaca
pembesar mampu mengikuti pendidikan biasa atau mampu membaca
tulisan yang bercetak tebal.
3. Tunanetra berat (totally blind); yakni mereka yang sama sekali tidak
dapat melihat.
2.3.4 Klasifikasi Pemeriksaan Klinis
Menurut WHO, klasifikasi Tunanetra berdasarkan pada pemeriksaan klinis
pada penderitanya, yaitu :
1. Tunanetra yang memiliki ketajaman penglihatan kurang dari 20/200 dan
atau memiliki bidang penglihatan kurang dari 20 derajat.
2. Tunanetra yang masih memiliki ketajaman penglihatan antara 20/70
sampai dengan 20/200 yang dapat lebih baik melalui perbaikan.
2.3.5 Klasifikasi Segi Pendidikan
Menurut Hathaway, klasifikasi penderita tunanetra berdasarkan dari segi
pendidikan, yaitu:
1. Anak yang memiliki ketajaman penglihatan 20/70 atau kurang setelah
memperoleh pelayanan medik.
8
8. Tidak tertarik perhatiannya pada objek penglihatan atau pada tugas- tugas
yang memerlukan penglihatan seperti melihat gambar atau membaca
9. Janggal dalam bermain yang memerlukan kerjasama tangan dan mata
10. Menghindar dari tugas-tugas yang memerlukan penglihatan atau
memerlukan penglihatan jarak jauh
11. Penjelasan lainnya berdasarkan adanya beberapa keluhan seperti :
a. Mata gatal, panas atau merasa ingin menggaruk karena gatal.
b. Banyak mengeluh tentang ketidakmampuan dalam melihat.
c. Merasa pusing atau sakit kepala.
d. Kabur atau penglihatan ganda.
2.4.3 Psikis
Secara psikis anak dengan tunanetra dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Mental/intelektual
Intelektual atau kecerdasan anak tunanetra umumnya tidak berbeda jauh
dengan anak normal/awas. Kecenderungan IQ anak tunanetra ada pada
batas atas sampai batas bawah, jadi ada anak yang sangat pintar, cukup
pintar dan ada yang kurang pintar. Intelegensi mereka lengkap yakni
memiliki kemampuan dedikasi, analogi, asosiasi dan sebagainya. Mereka
juga punya emosi negatif dan positif, seperti sedih, gembira, punya rasa
benci, kecewa, gelisah, bahagia dan sebagainya
2. Sosial
Hubungan sosial yang pertama terjadi dengan anak adalah hubungan
dengan ibu, ayah, dan anggota keluarga lain yang ada di lingkungan
keluarga. Kadang kala ada orang tua dan anggota keluarga yang tidak siap
menerima kehadiran anak tunanetra, sehingga muncul ketegangan, gelisah
di antara keluarga. Akibat dari keterbatasan rangsangan visual untuk
menerima perlakuan orang lain terhadap dirinya. Tunanetra mengalami
hambatan dalam perkembangan kepribadian dengan timbulnya beberapa
masalah antara lain:
a. Curiga terhadap orang lain
b. Perasaan mudah tersinggung
c. Ketergantungan yang berlebihan.
11
2.4.4 Akademis
Karakteristik Anak Tunanetra dalam Aspek Akademis Tilman & Osborn
(1969) menemukan beberapa perbedaan antara anak tunanetra dan anak awas.
1. Anak tunanetra menyimpan pengalaman-pengalaman khusus seperti halnya
anak awas, namun pengalaman-pengalaman tersebut kurang terintegrasikan.
2. Anak tunanetra mendapatkan angka yang hampir sama dengan anak awas,
dalam hal berhitung, informasi, dan kosakata, tetapi kurang baik dalam hal
pemahaman (comprehention) dan persaman.
3. Kosa kata anak tunanetra cenderung merupakan kata-kata yang definitif.
2.4.5 Low Vision
Beberapa ciri yang tampak pada anak low vision antara lain:
1. Menulis dan membaca dengan jarak yang sangat dekat.
2. Hanya dapat membaca huruf yang berukuran besar.
3. Mata tampak lain; terlihat putih di tengah mata (katarak) atau kornea (bagian
bening di depan mata) terlihat berkabut.
4. Terlihat tidak menatap lurus ke depan.
5. Memicingkan mata atau mengerutkan kening terutama di cahaya terang
atau saat mencoba melihat sesuatu.
6. Lebih sulit melihat pada malam hari daripada siang hari.
7. Pernah menjalani operasi mata dan atau memakai kacamata yang sangat
tebal tetapi masih tidak dapat melihat dengan jelas.
1.6. Dampak tunanetra
Penglihatan merupakan salah satu saluran informasi yang sangat penting
bagi manusia selain pendengaran, pengecap, pembau, dan perabaan. Pengalaman
manusia kira-kira 80 persen dibentuk berdasarkan informasi dari penglihatan. Di
bandingkan dengan indera yang lain indera penglihatan mempunyai
jangkauan yang lebih luas. Pada saat seseorang melihat sebuah mobil maka
ada banyak informasi yang sekaligus diperoleh seperti misalnya warna mobil,
ukuran mobil, bentuk mobel, dan lain-lain termasuk detail bagian-bagiannya.
Informasi semacam itu tidak mudah diperoleh dengan indera selain penglihatan.
Kehilangan indera penglihatan berarti kehilangan saluran informasi visual.
Sebagai akibatnya menyandang kelainan penglihatan akan kekuarangan atau
12
masalah emosional pada orang tuanya. Ayah dan ibunya akan merasa kecewa,
sedih, malu dan berbagai bentuk emosi lainnya. Mereka mungkin akan merasa
bersalah atau saling menyalahkan, mungkin akan diliputi oleh rasa marah yang
dapat meledak dalam berbagai cara, dan dalam kasus yang ekstrem bahkan dapat
mengakibatkan perceraian. Persoalan seperti ini terjadi pada banyak keluarga
yang mempunyai anak cacat. Pada umumnya orang tua akan mengalami masa
duka akibat kehilangan anaknya yang “normal” itu dalam tiga tahap; tahap
penolakan, tahap penyesalan, dan akhirnya tahap penerimaan, meskipun untuk
orang tua tertentu penerimaan itu mungkin akan tercapai setelah bertahun-tahun.
Proses “dukacita” ini merupakan proses yang umum terjadi pada orang tua anak
penyandang semua jenis kecacatan. Sikap orang tua tersebut akan berpengaruh
terhadap hubungan di antara mereka (ayah dan ibu) dan hubungan mereka
dengan anak itu, dan hubungan tersebut pada gilirannya akan mempengaruhi
perkembangan emosi dan sosial anak
2.5.3 Dampak terhadap Bahasa
Pada umumnya para ahli yakin bahwa kehilangan penglihatan tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap kemampuan memahami dan
menggunakan bahasa, dan secara umum mereka berkesimpulan bahwa tidak
terdapat defisiensi dalam bahasa anak tunanetra. Mereka mengacu pada banyak
studi yang menunjukkan bahwa siswa-siswa tunanetra tidak berbeda dari siswa-
siswa yang normal dalam hasil tes intelegensi verbal. Mereka juga
mengemukakan bahwa berbagai studi yang membandingkan anak-anak
tunanetra dan normal tidak menemukan perbedaan dalam aspek-aspek utama
perkembangan bahasa. Karena persepsi auditif lebih berperan daripada
persepsi visual sebagai media belajar bahasa, maka tidaklah mengherankan
bila berbagai studi telah menemukan bahwa anak tunanetra relatif tidak
terhambat dalam fungsi bahasanya. Banyak anak tunanetra bahkan lebih
termotivasi daripada anak normal untuk menggunakan bahasa karena bahasa
merupakan saluran utama komunikasinya dengan orang lain. Secara konseptual
sama bagi anak tunanetra maupun anak normal, karena makna kata-kata
dipelajarinya melalui konteksnya dan penggunaannya di dalam bahasa.
Sebagaimana halnya dengan semua anak, anak tunanetra belajar kata-kata yang
14
didengarnya meskipun kata-kata itu tidak terkait dengan pengalaman nyata dan
tak ada makna baginya. Kalaupun anak tunanetra mengalami hambatan dalam
perkembangan bahasanya, hal itu bukan semata-mata akibat langsung dari
ketunanetraannya melainkan terkait dengan cara orang lain memperlakukannya.
Ketunanetraan tidak menghambat pemrosesan informasi ataupun pemahaman
kaidah-kaidah bahasa.
2.5.4 Dampak terhadap Orientasi dan Mobilitas
Mungkin kemampuan yang paling terpengaruh oleh ketunanetraan untuk
berhasil dalam penyesuaian social individu tunanetra adalamh kemampuan
mobilitas yaitu keterampilan untuk bergerak secara leluasa di dalam
lingkungannya. Ketrampilan mobilitas ini sangat terkait dengan kemampuan
orientasi, yaitu kemampuan untuk memahami hubungan lokasi antara satu
obyek dengan obyek lainnya di dalam lingkungan. Untuk membentuk mobilitas
itu, alat bantu yang umum dipergunakan oleh orang tuna netra di
Indonesia adalamh tongkat, sedangkan di banyak negara barat penggunaan
anjing penuntun (guide dog) juga populer. Dan penggunaan alat elektronik
untuk membantu orientasi dan mobilitas individu tunanetra masih terus
dikembangkan. Agar anak tuna netra memiliki rasa percaya diri untuk bergerak
secara leluasa di dalam lingkungannya dalam bersosialisasi, mereka harus
memperoleh latihan orientasi dan mobilitas. Program latihan orientasi dan
mobilitas tersebut harus mencakup sejumlah komponen, termasuk kebugaran
fisik, koordinasi motor, postur, keleluasaan gerak, dan latihan untuk
mengembangkan fungsi indera –indera yang masih berfungsi.
15
Trauma Mata
Tunanetra
Gangguan Mobilitas
Fisik (D.0054) hal
124
16
3. Resiko Jatuh berhubungan setelah dilakukan asuhan keperawatan Pengelolaan lingkungan( manajemen lingkungan)
dengan keterbatasan diharapkan kontrol resiko (risk 1. Sediakan lingkungan yang aman untuk pasien
lapangan pandang
kontrol) dengan kriteria hasil : 2. Identifikasi kebutuhan keamanan pasien, sesuai dengan
1. Klien terbebas dari cidera kondisi fisik dan fungsi kognitif pasien dan riwayat
2. Klien mampu menjelaskan penyakit terdahulu pasien
cara/metode untuk mencegah cidera3. Menghindarkan lingkungan yang berbahaya (misalnya
3. Klien mampu menjelaskan factor memindahkan perabotan).
resiko dari lingkungan/peril aku 4. Memasang side rail tempat tidur
personal 5. Menyediakan tempat tidur yang nyaman dan bersih
4. Mampu memodifikasi gaya hidup 6. Menempatkan saklar lampu ditempat yang mudah
untuk mencegah cidera dijangkau pasien
5. Menggunakan fasilitas kesehatan 7. Membatasi pengunjung
yang ada 8. Memberikan penerangan yang cukup
6. Mampu mengenali perubahan 9. Menganjurkan keluarga untuk menemani pasien
status kesehatan 10. Mengontrol lingkungan dari kebisingan
11. Memindahkan barang-barang yang dapat
membahayakan
12. Berikan penjelasan pada pasien dan keluarga atau
pengunjung adanya perubahan status kesehatan dan
penyebab penyakit.
4. Resiko cedera berhubungan Setelah dilakukan asuhan keperawatan Pengelolaan lingkungan( manajemen lingkungan)
dengan keterbatasan diharapkan kontrol resiko (risk 1. Sediakan lingkungan yang aman untuk pasien
lapangan pandang
kontrol) dengan kriteria hasil : 2. Identifikasi kebutuhan keamanan pasien, sesuai dengan
21
1. Klien terbebas dari cidera kondisi fisik dan fungsi kognitif pasien dan riwayat
2. Klien mampu menjelaskan cara, penyakit terdahulu pasien
untuk mencegah cedera 3. Menghindarkan lingkungan yang berbahaya (misalnya
3. Klien mampu menjelaskan factor memindahkan perabotan).
resiko dari lingkungan/perilaku 4. Memasang side rail tempat tidur
personal 5. Menyediakan tempat tidur yang nyaman dan bersih
4. Mampu memodifikasi gaya hidup 6. Menempatkan saklar lampu ditempat yang mudah
untukmencegah cidera dijangkau pasien
5. Menggunakan fasilitas kesehatan 7. Membatasi pengunjung
yang ada 8. Memberikan penerangan yang cukup
9. Menganjurkan keluarga untuk menemani pasien
10. Mengontrol lingkungan dari kebisingan
11. Memindahkan barang-barang yang dapat
membahayakan
12. Berikan penjelasan pada pasien dan keluarga atau
pengunjung adanya perubahan status kesehatan dan
penyebab penyakit.
2.8.4 Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah pelakasaan tindakan yang harus dilaksanakan
berdasarkan diagnosis perawat. Pelaksaan tindakan keperawatan dapat
dilaksanakan oleh sebagian perawat, perwata secara mandiri atau bekerja sama
dengan tim kesehatan luar. Dalam hal ini perwat adalah pelaksana asuhan
keperawatan yaitu memberikan pelayanan keperwatan dengan tindakan
keperawatan menggunakan proses keperawatan.
2.8.5 Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses perawatan untuk mengukur
keberhasilan dari rencana perawatan dalam memenuhi kebutuhan klien Bila
masalah tidak dipecahkan atau timbul masalah baru, maka perawat harus berusaha
untuk mengurangi atau mengatasi beban masalah dengan meninjau kembali
rencana perawatan dengan menyesuaikan kembali terhadap keadaan masalah yang
ada.
22
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
23
24
Keterangan :
: Laki-laki
: Perempuan
: Pasien
: Laki-laki / Perempuan Meninggal
: Satu Rumah
: Hubungan keluarga
e. Telinga
Bentuk telinga simetris, pasien menoleh ketika dipanggil dan dapat mengenali
suara dengan baik, tidak ada kelainan pada daun telinga.
f. Hidung
Bentuk hidung simetris, tidak terdapat sekret, peradangan tidak ada, pasien
dapat membaui makanan yang dibawa pasien dari rumah.
g. Mulut
Bibir: utuh, sianosis tidak ada, keadaan mukosa mulut lembab.
h. Gigi
Gigi tampak bersih dan sehat, semua, jumlah gigi 20 buah
3.1.2.4 Leher dan tengorokan
Leher bentuk simetris, reflek menelan baik, pembesaran tonsil tidak ada,
pembesaran vena jugularis tidak ada, benjolan tidak ada, peradangan tidak
ada pembesaran kelenjar getah bening tidak ada
3.1.2.5 Dada
Bentuk simetris, retraksi dada tidak ada, bunyi nafas vesikuler, pola nafas
normal (eupneu), tipe pernafasan perut dada, bunyi jantung lup-dup, iktus
kordis tidak nampak, nyeri dada tidak ada.
3.1.2.6 Punggung
Punggung bentuk simetris, peradangan tidak ada, benjolan tidak ada.
3.1.2.7 Abdomen
Abdomen bentuk simetris, asites tidak ada, massa tidak ada, hepatomegali
tidak ada, spenomegali tidak ada.
3.1.2.8 Ektremitas
Pergerakan ekstremitas bebas, hipertropi tidak ada, oedem tidak ada,
sianosis tidak ada, clubbing finger tidak ada, keadaan kulit bersih, turgor
baik, pruritus tidak ada.
3.1.2.9 Genetalia
Tidak dikaji
3.1.3 Riwayat Pertumbuhan dan Perkembanagan
3.1.3.1 Gizi
Status gizi baik. IMT: 21,21 (normal)
27
Tury Wulandari
29