Anda di halaman 1dari 41

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK PADA An.

A DENGAN
DIAGNOSA MEDIS TUNANETRA DI SLB NEGERI 1
PALANGKA RAYA

Disusun Oleh :
Maria Lestari Herawati 20231490104045
Natasia Lusiana 20231490104052
Prinawati 20231490104059
Winarti 20231490104083
Tury Wulandari 20231490104077

YAYASAN STIKES EKA HARAP


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI NERS
TAHUN 2023
ii
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat dan anugerah-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan Laporan
Asuhan Keperawatan yang berjudul “Asuhan Keperawatan Anak pada an. A
dengan diagnosa medis Tunanetra di SLB Negeri 1 Palangka Raya”. Laporan
Asuhan Keperawatan ini disusun guna melengkapi tugas Profesi Ners.
Laporan Asuhan Keperawatan ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak.
Oleh karena itu, saya ingin mengucapkan terimakasih kepada :
1. Ibu Maria Adelheid Ensia, S.Pd., M.Kes selaku Ketua STIKes Eka Harap
Palangka Raya.
2. Ibu Meilitha Carolina, Ners, M.Kep selaku Ketua Program Studi Ners
STIKes Eka Harap Palangka Raya.
3. Bapak kepala Sekolah SLB Negeri 1 Palangka Raya yang telah memberikan
ijin dan bimbingan kepada kami untuk melakukan praktek klinik
keperawatan anak di SLB Negeri 1 Palangka Raya.
4. Dwi Agustian Faruk Ibrahim, Ners., M.Kep selaku pembimbing akademik
yang telah banyak memberikan arahan, masukkan, dan bimbingan dalam
penyelesaian asuhan keperawatan ini.
5. Keluarga An. A yang telah memberikan ijin anaknya sebagai pasien
kelolaan dan untuk semua pihak yang telah banyak membantu dalam
pelaksaan kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini.
Saya menyadari bahwa laporan Asuhan Keperawatan ini mungkin terdapat
kesalahan dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu penyusun mengharapkan
saran dan kritik yang membangun dari pembaca dan semoga laporan Asuhan
Keperawatan ini dapat mencapai sasaran yang diharapkan sehingga dapat
bermanfaat bagi kita semua.
Palangka Raya, November 2023

Penyusun

iii
DAFTAR ISI
SAMPUL DEPAN..............................................................................................
LEMBAR PENGESAHAN..............................................................................ii
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI....................................................................................................iv
BAB 1 PENDAHULUAN..............................Error! Bookmark not defined.
1.1. Latar Belakang.............................Error! Bookmark not defined.
1.2. Rumusan Masalah..........................................................................2
1.3. Tujuan Penulisan............................................................................2
1.4. Manfaat Penulisan..........................................................................2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................4
2.1 Definisi Tunanetra..........................................................................4
2.2 Etiologi...........................................................................................4
2.3 Klasifikasi......................................................................................6
2.4 Karaktristik anak tunanetra............................................................9
2.5 Dampak tunanetra.......................Error! Bookmark not defined.1
2.6 WOC pada Tunanetra...................................................................15
2.7 Pemeriksaan Penunjang................................................................16
2.8 Manajemen Asuhan KeperawatanError! Bookmark not defined.6
BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN...........................................................23
3.1 Pengkajian......................................................................................23
3.2 Analisa Data...................................................................................28
3.3 Prioritas Masalah...........................Error! Bookmark not defined.
3.4 Rencana Keperawatan...................................................................30
3.5 Implentasi dan Evaluasi Keperawatan...........................................31
DAFTAR PUSTAKA

iv
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sensori adalah stimulus atatu rangsangan yang datang dari dalam maupun
luar tubuh. Stimulus tersebut masuk kedalam tubuh melaui organ sensori (panca
indera). Stimulus yang sempurna memungkinkan seseorang untuk belajar
berfungsi secara sehat dan berkembang dengan normal. Gangguan penglihatan
adalah kondisi yang ditandai dengan penurunan tajam penglihatan ataupun
menurunnya luas lapangan pandang, yang dapat mengakibatkan kebutaan.
WHO memperkirakan terdapat 45 juta penderita kebutaan di dunia, di
mana sepertigannya berada di Asi Tenggara. Diperkirakan 12 orang menjadi buta
tiap menit di dunia, dan 4 orang diantaranya berasal dari Asia Tenggara,
sedangkan di Indonesia diperkirakan setiap menit ada satu orang menjadi buta.
Sebagian besar orang buta (tunanetra) di Indonesia berada di daerah miskin
dengan kondisi sosial ekonomi lemah. Survey kesehatan indera penglihatan
dan pendengaran tahun, menunjukkan angka kebutaan di Indonesia mencapai
1,5%. Penyebab utama kebutaan adalah katarak (0,78%), glaucoma (0,20%),
kelainan refraksi (0,14%), dan penyakit-penyakit lain yang berhubungan dengan
lanjut usia (0,38%).
Sejak 1984, Upaya Kesehatan Mata atau pencegahan kebutaan (UKM/PK)
sudah diintegrasikan kedalam kegiatan pokok Puskesmas. Sedangkan
program Penanggulangan Kebutaan Katarak Paripurna (PKKP) dimulai sejak
1987 baik melalui Rumah Sakit(RS) maupun Balai Kesehatan Mata Masyarakat
(BKMM). Namun demikian, hasil survei tahun 1993-1996 menunjukkan bahwa
angka kebutaan meningkat dari 1,2% (1982) menjadi 1,5% (1993-1996),
padahal 90% kebutaan dapat ditanggulangi (dicegah atau diobati). Disamping
itu masalah kebutaan, gangguan penglihatan akibat kelainan refraksi dengan
prevalensi sebesar22,1% juga menjadi masalah serius. Sementara 10% dari 66
juta anak usia (5-19 tahun) menderita kelainan refraksi. Sampai saat ini angka
pemakaian kacamata koreksi masih rendah yaitu 12,5% dari prevalensi.
Peran perawat pada anak berkebutuhan khusus adalah meningkatkan status
kesehatan melalui upaya promotif, preventif, dan rehabilitative sederhana.

1
2

Promotif adalah memberi penyuluhan kesehatan tentang upaya kebersihan diri


(personal hygiene) dan penanggulangannya jika terjadi masalah, preventif yaitu
untuk mencegah terjadinya masalah kesehatan dengan merubah kebiasaan sehari-
hari yaitu menjaga kebersihan lingkungan, pola hidup sehat, dan rehabilitasi
yaitu bagaimana perawatan yang benar terhadap penderita masalah kesehatan
yang sering terjadi pada anak berkebutuhan khusus.
1.1 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka rumusan masalah dalam laporan
kasus ini yaitu bagaimana “Asuhan Keperawatan Anak pada an. A dengan
diagnosa medis Tunanetra di SLB Negeri 1 Palangka Raya”.
1.2 Tujuan Penulisan
1.1.1 Tujuan Umum
Tujuan dari penulisan laporan Askep ini adalah untuk memenuhi tugas
keperawatan Anak dan untuk memberikan wawasan kepada mahasiswa/i tentang
Tunanetra pada anak dan tindakan asuhan keperawatan pada anak dengan
Tunanetra di SLB Negeri 1 Palangka Raya.
1.3.2. Tujuan Khusus
1) Mahasiswa mengetahui dan mampu menjelaskan konsep Tunanetra
2) Mahasiswa mampu melakukan pengkajian keperawatan pada anak dengan
diagnosa medis Tunanetra di SLB Negeri 1 Palangka Raya
3) Mahasiswa mampu menetapkan diagnosa keperawatan pada anak dengan
diagnosa medis Tunanetra di SLB Negeri 1 Palangka Raya
4) Mahasiswa mampu menyusun intervensi keperawatan pada anak dengan
diagnosa medis Tunanetra di SLB Negeri 1 Palangka Raya
5) Mahasiswa mampu melaksanakan implementasi keperawatan pada anak
dengan diagnosa medis Tunanetra di SLB Negeri 1 Palangka Raya
6) Mahasiswa mampu melakukan evaluasi keperawatan pada anak dengan
diagnosa medis Tunanetra di SLB Negeri 1 Palangka Raya
1.1. Manfaat Penulisan
1.1.1. Bagi Tenaga Kesehatan
3

Laporan asuhan keperawatan ini dapat sebagai bahan masukan dalam


pelayanan kesehatan dan meningkatkan mutu pelaksanaan serta bahan evaluasi
dan perbaikan asuhan keperawatan.
1.1.2. Bagi Institusi Pendidikan
Laporan asuhan keperawatan ini dapat dijadikan sebagai sumber
informasi, bahan bacaan, dan bahan masukan untuk menambah wawasan bagi
mahasiswa khususnya yang terkait dalam pelaksanaan asuhan keperawatan pada
anak dengan diagnosa medis Tunanetra.
1.1.3. Bagi pasien dan keluarga
Laporan kasus ini dapat menjadi tambahan informasi bagi pasien dan
keluarga tentang bagaimana cara merawat anggota keluarga dengan anak diagnosa
medis Tunanetra.
BAB 2
TINJAUAN TEORI
1.2. Definisi Tunanetra
Tunanetra adalah kondisi yang ditandai dengan penurunan tajam penglihatan
ataupun menurunnya luas lapangan pandang, yang dapat mengakibatkan
kebutaan (Quigley dan Broman, 2006).
Tunanetra adalah Seseorang yang terhambat mobilitas gerak yang
disebabkan oleh hilang/berkurangnya fungsi penglihatan sebagai akibat dari
kelahiran, kecelakaan maupun penyakit (Marjuki, 2009).
Menurut kamus besar bahasa Indonesia pengertian tunanetra ialah tidak
dapat melihat, buta. Sedangkan menurut Direktorat Pembinaan Sekolah Luar
Biasa yang dimaksud dengan tunanetra adalah seseorang yang memiliki
hambatan dalam penglihatan atau tidak berfungsinya indera penglihatan. Karena
adanya hambatan dalam penglihatan serta tidak berfungsinya penglihatan
(Heward & Orlansky, 1988 Cit Akbar 2011).
Anak yang mengalami gangguan penglihatan dapat didefinisikan
sebagai anak yang rusak penglihatannya yang walaupun dibantu dengan
perbaikan, masih mempunyai pengaruh yang merugikan bagi anak yang yang
bersangkutan (Scholl,
1986:p.29). Pengertian ini mencakup anak yang masih memiliki sisa
penglihatan dan yang buta.
1.3. Etiologi
Faktor yang menyebabkan terjadinya masalah penglihatan atau kebutaan
pada pasien Tunanetra adalah sebagai berikut:
2.2.1 Pre-natal
Faktor penyebab ketunanetraan pada masa pre-natal sangat erat
hubungannya dengan masalah keturunan dan pertumbuhan seorang anak dalam
kandungan, antara lain:
a) Keturunan
Ketunanetraan yang disebabkan oleh faktor keturunan terjadi dari hasil
perkawinan bersaudara, sesama tunanetra atau mempunyai orang tua yang
tunanetra. Ketunanetraan akibat faktor keturunan antara lain Retinitis
Pigmentosa, penyakit pada retina yang umumnya merupakan keturunan.

4
5

Penyakit ini sedikit demi sedikit menyebabkan mundur atau memburuknya


retina. Gejala pertama biasanya sukar melihat di malam hari, diikuti dengan
hilangnya penglihatan periferal, dan sedikit saja penglihatan pusat yang
tertinggal.
b) Pertumbuhan seorang anak dalam kandungan
Ketunanetraan yang disebabkan karena proses pertumbuhan dalam
kandungan dapat disebabkan oleh:
1) Gangguan waktu ibu hamil
2) Penyakit menahun seperti TBC, sehingga merusak sel-sel darah
tertentu selama pertumbuhan janin dalam kandungan
3) Infeksi atau luka yang dialami oleh ibu hamil akibat terkena rubella atau
cacar air, dapat menyebabkan kerusakan pada mata, telinga, jantung dan
sistem susunan saraf pusat pada janin yang sedang berkembang
4) Infeksi karena penyakit toxoplasmosis, trachoma dan tumor. Tumor
dapat terjadi pada otak yang berhubungan dengan indera penglihatan
atau pada bola mata itu sendiri
5) Kurangnya vitamin tertentu, dapat menyebabkan gangguan pada mata
sehingga hilangnya fungsi penglihatan.
2.2.2 Post-natal
Penyebab ketunanetraan yang terjadi pada masa post-natal dapat terjadi
sejak atau setelah bayi lahir antara lain:
a. Kerusakan pada mata atau saraf mata pada waktu persalinan, akibat benturan
alat-alat atau benda keras.
b. Pada waktu persalinan, ibu mengalami penyakit gonorrhoe, sehingga
baksil gonorrhoe menular pada bayi, yang pada ahkirnya setelah bayi lahir
mengalami sakit dan berakibat hilangnya daya penglihatan.
c. Mengalami penyakit mata yang menyebabkan ketunanetraan, misalnya:
1) Xeropthalmia; yakni penyakit mata karena kekurangan vitamin A.
2) Trachoma; yaitu penyakit mata karena virus chilimidezoon trachomanis.
3) Catarac; yaitu penyakit mata yang menyerang bola mata sehingga
lensa mata menjadi keruh, akibatnya terlihat dari luar mata menjadi putih.
6

4) Glaucoma; yaitu penyakit mata karena bertambahnya cairan dalam


bola mata, sehingga tekanan pada bola mata meningkat.
5) Diabetik Retinopathy; adalah gangguan pada retina yang disebabkan
karena diabetis. Retina penuh dengan pembuluh- pembuluh darah dan
dapat dipengaruhi oleh kerusakan sistem sirkulasi hingga merusak
penglihatan.
6) Macular Degeneration; adalah kondisi umum yang agak baik, dimana
daerah tengah dari retina secara berangsur memburuk. Anak dengan retina
degenerasi masih memiliki penglihatan perifer akan tetapi kehilangan
kemampuan untuk melihat secara jelas objek-objek di bagian tengah
bidang penglihatan.
7) Retinopathy of prematurity; biasanya anak yang mengalami ini karena
lahirnya terlalu prematur. Pada saat lahir masih memiliki potensi
penglihatan yang normal. Bayi yang dilahirkan prematur biasanya
ditempatkan pada inkubator yang berisi oksigen dengan kadar tinggi,
sehingga pada saat bayi dikeluarkan dari inkubator terjadi perubahan kadar
oksigen yang dapat menyebabkan pertumbuhan pembuluh darah menjadi
tidak normal dan meninggalkan semacam bekas luka pada jaringan mata.
Peristiwa ini sering menimbulkan kerusakan pada selaput jala (retina) dan
tunanetra total.
d. Kerusakan mata yang disebabkan terjadinya kecelakaan, seperti masuknya
benda keras atau tajam, cairan kimia yang berbahaya, kecelakaan dari
kendaraan, dll.
1.4. Klasifikasi
2.3.1 Klasifikasi waktu terjadinya ketunanetraan
Klasifikasi yang dialami oleh anak tunanetra, antara lain : Menurut
Lowenfeld, (1955:p.219), klasifikasi anak tunanetra yang didasarkan pada waktu
terjadinya ketunanetraan, yaitu :
1. Tunanetra sebelum dan sejak lahir; yakni mereka yang sama sekali tidak
memiliki pengalaman penglihatan.
2. Tunanetra setelah lahir atau pada usia kecil; mereka telah memiliki kesan-
kesan serta pengalaman visual tetapi belum kuat dan mudah terlupakan.
7

3. Tunanetra pada usia sekolah atau pada masa remaja; mereka telah memiliki
kesan-kesan visual dan meninggalkan pengaruh yang mendalam terhadap
proses perkembangan pribadi.
4. Tunanetra pada usia dewasa; pada umumnya mereka yang dengan segala
kesadaran mampu melakukan latihan-latihan penyesuaian diri.
5. Tunanetra dalam usia lanjut; sebagian besar sudah sulit mengikuti latihan-
latihan penyesuaian diri.
6. Tunanetra akibat bawaan (partial sight bawaan)
2.3.2 Klasifikasi kemampuan daya penglihatan
Klasifikasi anak tunanetra berdasarkan kemampuan daya penglihatan
adalah sebagai berikut:
1. Tunanetra ringan (defective vision/low vision); yakni mereka yang
memiliki hambatan dalam penglihatan akan tetapi mereka masih dapat
mengikuti program-program pendidikan dan mampu melakukan
pekerjaan/kegiatan yang menggunakan fungsi penglihatan.
2. Tunanetra setengah berat (partially sighted); yakni mereka yang
kehilangan sebagian daya penglihatan, hanya dengan menggunakan kaca
pembesar mampu mengikuti pendidikan biasa atau mampu membaca
tulisan yang bercetak tebal.
3. Tunanetra berat (totally blind); yakni mereka yang sama sekali tidak
dapat melihat.
2.3.4 Klasifikasi Pemeriksaan Klinis
Menurut WHO, klasifikasi Tunanetra berdasarkan pada pemeriksaan klinis
pada penderitanya, yaitu :
1. Tunanetra yang memiliki ketajaman penglihatan kurang dari 20/200 dan
atau memiliki bidang penglihatan kurang dari 20 derajat.
2. Tunanetra yang masih memiliki ketajaman penglihatan antara 20/70
sampai dengan 20/200 yang dapat lebih baik melalui perbaikan.
2.3.5 Klasifikasi Segi Pendidikan
Menurut Hathaway, klasifikasi penderita tunanetra berdasarkan dari segi
pendidikan, yaitu:
1. Anak yang memiliki ketajaman penglihatan 20/70 atau kurang setelah
memperoleh pelayanan medik.
8

2. Anak yang mempunyai penyimpangan penglihatan dari yang normal dan


menurut ahli mata dapat bermanfaat dengan menyediakan atau memberikan
fasilitas pendidikan yang khusus.
Kirk (1962:p.214) mengutip klasifikasi ketunanetraan, yaitu:
1. Anak yang buta total atau masih memiliki persepsi cahaya sampai dengan
2/2000, ia tidak dapat melihat gerak tangan pada jarak 3 kaki di depan
wajahnya.
2. Anak yang buta dengan ketajaman penglihatan sampai dengan 5/200, ia tidak
dapat menghitung jari pada jarak 3 kaki di depan wajahnya.
3. Anak yang masih dapat diharapkan untuk berjalan sendiri, yaitu yang
memiliki ketajaman penglihatan sampai dengan 10/200, ia tidak dapat
membaca huruf-huruf besar seperti judul berita pada koran.
4. Anak yang mampu membaca huruf-huruf besar pada koran, yaitu yang
memiliki ketajaman penglihatan sampai dengan 20/200, akan tetapi ia tidak
dapat diharapkan untuk membaca huruf 14 point atau tipe yang lebih kecil.
5. Anak yang memiliki penglihatan pada batas ketajaman penglihatan 20/200
atau lebih, akan tetapi ia tidak memiliki penglihatan cukup untuk melakukan
kegiatan-kegiatan yang memerlukan penglihatan dan anak ini tidak dapat
membaca huruf 10 point.
2.3.6 Klasifikasi kelainan mata
Menurut Howard dan Orlansky, klasifikasi didasarkan pada kelainan-
kelainan yang terjadi pada mata, kelainan ini disebabkan karena adanya
kesalahan pembiasan pada mata. Hal ini terjadi bila cahaya tidak terfokus
sehingga tidak jatuh pada retina. Peristiwa ini dapat diperbaiki dengan
memberikan lensa atau lensa kontak. Kelainan-kelainan itu, antara lain :
1. Myopia; adalah penglihatan jarak dekat, bayangan tidak terfokus dan jatuh
di belakang retina. Penglihatan akan menjadi jelas kalau objek didekatkan.
Untuk membantu proses penglihatan pada penderita Myopia digunakan
kacamata koreksi dengan lensa negatif.
2. Hyperopia; adalah penglihatan jarak jauh, bayangan tidak terfokus dan jatuh di
depan retina. Penglihatan akan menjadi jelas jika objek dijauhkan. Untuk membantu
proses penglihatan pada penderita Hyperopia digunakan kacamata koreksi dengan
lensa positif.
9

3. Astigmatisme; adalah penyimpangan atau penglihatan kabur yang disebabkan


karena ketidakberesan pada kornea mata atau pada permukaan lain pada bola
mata sehingga bayangan benda baik pada jarak dekat maupun jauh tidak
terfokus jatuh pada retina. Untuk membantu proses penglihatan pada
penderita astigmatisme digunakan kacamata koreksi dengan lensa silindris.
1.5. Karaktristik anak tunanetra
2.4.1 Fisik (Physical)
Keadaan fisik anak tunanetra tidak berbeda dengan anak sebaya lainnya.
Perbedaan nyata diantara mereka hanya terdapat pada organ penglihatannya.
Gejala tunanetra yang dapat diamati dari segi fisik diantaranya :
1. Mata juling
2. Sering berkedip
3. Menyipitkan mata
4. Kelopak mata merah
5. Mata infeksi
6. Gerakan mata tak beraturan dan cepat
7. Mata selalu berair (mengeluarkan air mata)
8. Pembengkakan pada kulit tempat tumbuh bulu mata.
2.4.2 Perilaku
Ada beberapa gejala tingkah laku yang tampak sebagai petunjuk dalam
mengenal anak yang mengalami gangguan penglihatan secara dini :
1. Menggosok mata secara berlebihan.
2. Menutup atau melindungi mata sebelah, memiringkan kepala atau
mencondongkan kepala ke depan.
3. Sukar membaca atau dalam mengerjakan pekerjaan lain yang sangat
memerlukan penggunaan mata.
4. Berkedip lebih banyak daripada biasanya atau lekas marah apabila
mengerjakan suatu pekerjaan.
5. Membawa bukunya ke dekat mata.
6. Tidak dapat melihat benda-benda yang agak jauh.
7. Menyipitkan mata atau mengkerutkan dahi.
10

8. Tidak tertarik perhatiannya pada objek penglihatan atau pada tugas- tugas
yang memerlukan penglihatan seperti melihat gambar atau membaca
9. Janggal dalam bermain yang memerlukan kerjasama tangan dan mata
10. Menghindar dari tugas-tugas yang memerlukan penglihatan atau
memerlukan penglihatan jarak jauh
11. Penjelasan lainnya berdasarkan adanya beberapa keluhan seperti :
a. Mata gatal, panas atau merasa ingin menggaruk karena gatal.
b. Banyak mengeluh tentang ketidakmampuan dalam melihat.
c. Merasa pusing atau sakit kepala.
d. Kabur atau penglihatan ganda.
2.4.3 Psikis
Secara psikis anak dengan tunanetra dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Mental/intelektual
Intelektual atau kecerdasan anak tunanetra umumnya tidak berbeda jauh
dengan anak normal/awas. Kecenderungan IQ anak tunanetra ada pada
batas atas sampai batas bawah, jadi ada anak yang sangat pintar, cukup
pintar dan ada yang kurang pintar. Intelegensi mereka lengkap yakni
memiliki kemampuan dedikasi, analogi, asosiasi dan sebagainya. Mereka
juga punya emosi negatif dan positif, seperti sedih, gembira, punya rasa
benci, kecewa, gelisah, bahagia dan sebagainya
2. Sosial
Hubungan sosial yang pertama terjadi dengan anak adalah hubungan
dengan ibu, ayah, dan anggota keluarga lain yang ada di lingkungan
keluarga. Kadang kala ada orang tua dan anggota keluarga yang tidak siap
menerima kehadiran anak tunanetra, sehingga muncul ketegangan, gelisah
di antara keluarga. Akibat dari keterbatasan rangsangan visual untuk
menerima perlakuan orang lain terhadap dirinya. Tunanetra mengalami
hambatan dalam perkembangan kepribadian dengan timbulnya beberapa
masalah antara lain:
a. Curiga terhadap orang lain
b. Perasaan mudah tersinggung
c. Ketergantungan yang berlebihan.
11

2.4.4 Akademis
Karakteristik Anak Tunanetra dalam Aspek Akademis Tilman & Osborn
(1969) menemukan beberapa perbedaan antara anak tunanetra dan anak awas.
1. Anak tunanetra menyimpan pengalaman-pengalaman khusus seperti halnya
anak awas, namun pengalaman-pengalaman tersebut kurang terintegrasikan.
2. Anak tunanetra mendapatkan angka yang hampir sama dengan anak awas,
dalam hal berhitung, informasi, dan kosakata, tetapi kurang baik dalam hal
pemahaman (comprehention) dan persaman.
3. Kosa kata anak tunanetra cenderung merupakan kata-kata yang definitif.
2.4.5 Low Vision
Beberapa ciri yang tampak pada anak low vision antara lain:
1. Menulis dan membaca dengan jarak yang sangat dekat.
2. Hanya dapat membaca huruf yang berukuran besar.
3. Mata tampak lain; terlihat putih di tengah mata (katarak) atau kornea (bagian
bening di depan mata) terlihat berkabut.
4. Terlihat tidak menatap lurus ke depan.
5. Memicingkan mata atau mengerutkan kening terutama di cahaya terang
atau saat mencoba melihat sesuatu.
6. Lebih sulit melihat pada malam hari daripada siang hari.

7. Pernah menjalani operasi mata dan atau memakai kacamata yang sangat
tebal tetapi masih tidak dapat melihat dengan jelas.
1.6. Dampak tunanetra
Penglihatan merupakan salah satu saluran informasi yang sangat penting
bagi manusia selain pendengaran, pengecap, pembau, dan perabaan. Pengalaman
manusia kira-kira 80 persen dibentuk berdasarkan informasi dari penglihatan. Di
bandingkan dengan indera yang lain indera penglihatan mempunyai
jangkauan yang lebih luas. Pada saat seseorang melihat sebuah mobil maka
ada banyak informasi yang sekaligus diperoleh seperti misalnya warna mobil,
ukuran mobil, bentuk mobel, dan lain-lain termasuk detail bagian-bagiannya.
Informasi semacam itu tidak mudah diperoleh dengan indera selain penglihatan.
Kehilangan indera penglihatan berarti kehilangan saluran informasi visual.
Sebagai akibatnya menyandang kelainan penglihatan akan kekuarangan atau
12

kehilangan informasi yang bersifat visual. Seseorang yang kehilangan atau


mengalami kelainan penglihatan, sebagai kompensasi, harus berupaya untuk
meningkatkan indera lain yang masih berfungsi. Seberapa jauh dampak
kehilangan atau kelainan penglihatan terhadap kemampuan seseorang tergantung
pada banyak faktor misalnya kapan (sebelum atau sesudah lahir, masa balita atau
sesudah lima tahun) terjadinya kelainan, berat ringannya kelainan, jenis
kelainan dan lain-lain. Seseorang yang kehilangan penglihatan sebelum lahir
sering sampai usia lima tahun pengalaman visualnya sangat sedikit atau bahkan
tidak ada sama sekali. Sedangkan yang kehilangan penglihatan setelah usia lima
tahun atau lebih dewasa biasanya masih memiliki pengalaman visual yang lebih
baik tetapi memiliki dampak yang lebih buruk terhadap penerimaan diri
1.6.1. Dampak terhadap Kognisi
Kognisi adalah persepsi individu tentang orang lain dan obyek-obyek
yang diorganisasikannya secara selektif. Respon individu terhadap orang dan
obyek tergantung pada bagaimana orang dan obyek tersebut tampak dalam
dunia kognitifnya ,dan citra atau “peta” dunia setiap orang itu bersifat
individual. Setiap orang mempunyai citra dunianya masing-masing karena citra
tersebut merupakan produk yang ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan fisik
dan sosisalnya, struktur fisiologisnya, keinginan dan tujuannya, dan
pengalaman-pengalaman masa lalunya. Dari keempat faktor yang menentukan
kognisi individu tunanetra menyandang kelainan dalam struktur fisiologisnya,
dan mereka harus menggantikan fungsi indera penglihatan dengan
indera-indera lainnya untuk mempersepsi lingkungannya. Banyak di
antara mereka tidak pernah mempunyai pengalaman visual, sehingga konsepsi
mereka tentang dunia ini mungkin berbeda dari konsepsi orang normal pada
umumnya.
2.5.2 Dampak terhadap Keterampilan Sosial
Orang tua memainkan peranan yang penting dalam perkembangan sosial
anak. Perlakuan orang tua terhadap anaknya yang tunanetra sangat ditentukan
oleh sikapnya terhadap ketunanetraan itu, dan emosi merupakan satu komponen
dari sikap di samping dua komponen lainnya yaitu kognisi dan kecenderungan
tindakan. Ketunanetraan yang terjadi pada seorang anak selalu menimbulkan
13

masalah emosional pada orang tuanya. Ayah dan ibunya akan merasa kecewa,
sedih, malu dan berbagai bentuk emosi lainnya. Mereka mungkin akan merasa
bersalah atau saling menyalahkan, mungkin akan diliputi oleh rasa marah yang
dapat meledak dalam berbagai cara, dan dalam kasus yang ekstrem bahkan dapat
mengakibatkan perceraian. Persoalan seperti ini terjadi pada banyak keluarga
yang mempunyai anak cacat. Pada umumnya orang tua akan mengalami masa
duka akibat kehilangan anaknya yang “normal” itu dalam tiga tahap; tahap
penolakan, tahap penyesalan, dan akhirnya tahap penerimaan, meskipun untuk
orang tua tertentu penerimaan itu mungkin akan tercapai setelah bertahun-tahun.
Proses “dukacita” ini merupakan proses yang umum terjadi pada orang tua anak
penyandang semua jenis kecacatan. Sikap orang tua tersebut akan berpengaruh
terhadap hubungan di antara mereka (ayah dan ibu) dan hubungan mereka
dengan anak itu, dan hubungan tersebut pada gilirannya akan mempengaruhi
perkembangan emosi dan sosial anak
2.5.3 Dampak terhadap Bahasa
Pada umumnya para ahli yakin bahwa kehilangan penglihatan tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap kemampuan memahami dan
menggunakan bahasa, dan secara umum mereka berkesimpulan bahwa tidak
terdapat defisiensi dalam bahasa anak tunanetra. Mereka mengacu pada banyak
studi yang menunjukkan bahwa siswa-siswa tunanetra tidak berbeda dari siswa-
siswa yang normal dalam hasil tes intelegensi verbal. Mereka juga
mengemukakan bahwa berbagai studi yang membandingkan anak-anak
tunanetra dan normal tidak menemukan perbedaan dalam aspek-aspek utama
perkembangan bahasa. Karena persepsi auditif lebih berperan daripada
persepsi visual sebagai media belajar bahasa, maka tidaklah mengherankan
bila berbagai studi telah menemukan bahwa anak tunanetra relatif tidak
terhambat dalam fungsi bahasanya. Banyak anak tunanetra bahkan lebih
termotivasi daripada anak normal untuk menggunakan bahasa karena bahasa
merupakan saluran utama komunikasinya dengan orang lain. Secara konseptual
sama bagi anak tunanetra maupun anak normal, karena makna kata-kata
dipelajarinya melalui konteksnya dan penggunaannya di dalam bahasa.
Sebagaimana halnya dengan semua anak, anak tunanetra belajar kata-kata yang
14

didengarnya meskipun kata-kata itu tidak terkait dengan pengalaman nyata dan
tak ada makna baginya. Kalaupun anak tunanetra mengalami hambatan dalam
perkembangan bahasanya, hal itu bukan semata-mata akibat langsung dari
ketunanetraannya melainkan terkait dengan cara orang lain memperlakukannya.
Ketunanetraan tidak menghambat pemrosesan informasi ataupun pemahaman
kaidah-kaidah bahasa.
2.5.4 Dampak terhadap Orientasi dan Mobilitas
Mungkin kemampuan yang paling terpengaruh oleh ketunanetraan untuk
berhasil dalam penyesuaian social individu tunanetra adalamh kemampuan
mobilitas yaitu keterampilan untuk bergerak secara leluasa di dalam
lingkungannya. Ketrampilan mobilitas ini sangat terkait dengan kemampuan
orientasi, yaitu kemampuan untuk memahami hubungan lokasi antara satu
obyek dengan obyek lainnya di dalam lingkungan. Untuk membentuk mobilitas
itu, alat bantu yang umum dipergunakan oleh orang tuna netra di
Indonesia adalamh tongkat, sedangkan di banyak negara barat penggunaan
anjing penuntun (guide dog) juga populer. Dan penggunaan alat elektronik
untuk membantu orientasi dan mobilitas individu tunanetra masih terus
dikembangkan. Agar anak tuna netra memiliki rasa percaya diri untuk bergerak
secara leluasa di dalam lingkungannya dalam bersosialisasi, mereka harus
memperoleh latihan orientasi dan mobilitas. Program latihan orientasi dan
mobilitas tersebut harus mencakup sejumlah komponen, termasuk kebugaran
fisik, koordinasi motor, postur, keleluasaan gerak, dan latihan untuk
mengembangkan fungsi indera –indera yang masih berfungsi.
15

2.6 WOC pada Tunanetra

WOC (Web Of Cautioun)

Trauma Mata

Tunanetra

B1 (Breathing) B2 (Blood) B3 (Brain) B4 (Bladder) B5 (Bowel) B6 (Bone)

Irama Jantung Tidak dapat


Suara nafas Vesikuler Penglihatan kabur Keterbatasan Penglihatan
teratur merawat diri kabur
menyiapkan
Tidak terdapat nyeri
makanan
Pola nafas teratur Penglihatan (-) Keterbatasan
dada Kebersihan kurang bergerak/
Penurunan berjalan
Tidak terpasang Bunyi jantung Gangguan nafsu makan
alat bantu nafas lub dup (normal) Defisit
Penglihatan Perawatan diri
Resiko Cidera
(D.0109) hal 240
Intake Menurun (D.0136) hal
294
Gangguan
Persepsi Sensori
Defisit Nutrisi
(D.0085) hal 190 (D.0019) hal 56

Gangguan Mobilitas
Fisik (D.0054) hal
124
16

2.7 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang yang sering dilakukan adalah :
1. Tonometri (dengan schiøtz pneumatic atau tonometer aplanasi)
mengukur tekanan intraokuler dan memberikan nilai dasar untuk perujukan.
Rentang tekanan intraokuler normal berkisar dari 8 sampai 21mmHg.
Akan tetapi, pasien yang IOPnya menurun dari rentang normal dapat
mengalami tanda dan gejala glaucoma dan pasien yang mempunyai tekanan
tinggi mungkin tidak menunjukkan efek klinis.
2. Pemeriksaan slit lamp memperlihatkan efek glaucoma pada stuktur mata
anterior, meliputi kornea, iris dan lensa.
3. Gonioskopi menentukan sudut ruang anterior mata
4. Oftalmoskopi mempermudah visualisasi fundus.
5. Perimetrik atau pemeriksaan lapang pandang menentukan keluasaan
kehilangan penglihatan perifer
6. Fotografi fundus memantau dan mencatat perubahan pada discus optikus.
7. Pemeriksaan ketajaman penglihatan memastikan derajat kehilangan
penglihatan.
2.8 Manajemen Asuhan Keperawatan
2.8.1 Pengkajian Keperawatan
1. Anamnesa
Pada anamnesa berisi tentang kapan dilakukannya pengkajian, identitas
pasien, identitas penanggung jawab (ayah dan ibu), keluhan utama, riwayat
kesehatan sekaranng, riwayat kesehatan lalu (riwayat prenatal, riwayat natal,
riwayat post natal, penyakit sebelumnya, dan immunisasi), riwayat kesehatan
keluarga, dan genogram (3 generasi).
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksan keadaan umum, TTV,
pemeriksaan kepla dan wajah (ubun-ubun, rambutkepala, mata, telinga
hidung, mulut, gigi), leher tenggorokkan, dada, punggung, abdomen,
ekstremitas (atas dan bawah).
3. Riwayat pertumbuhan dan pekermbangan
17

Pengkajian dengan mengamati status gizi, kemandirian dalam bergaul,


motoric halus, kasar, kognitif, bahasa, dan psikososial.
4. Pola aktivitas sehari-hari
Pengkajian pola aktivitas sehari-hari antara lain pola kebiasaan (nutrisi,
eliminasi, istirahat tidur, dan personal hygiene). Perubahan aktivitas
biasanya / hobi sehubungan dengan gangguan penglihatan.
5. Makanan / Cairan : Frekuensi, kebiasaan makan dan jenis makanan, adanya
mual, muntah.
6. Neurosensori : Gangguan penglihatan (kabur/tidak jelas), sinar terang
menyebabkan silau dengan kehilangan bertahap penglihatan perifer,
kesulitan memfokuskan kerja dengan dekat/merasa di ruang gelap (katarak).
Penglihatan berawan/kabur, tampak lingkaran cahaya/pelangi sekitar sinar,
kehilangan penglihatan perifer, fotofobia(glaukoma akut). Perubahan
kacamata/pengobatan tidak memperbaiki penglihatan
a. Pupil menyempit dan merah/mata keras dengan kornea berawan.
b. Peningkatan penyebab katarak mata
7. Nyeri / Kenyamanan : Ketidaknyamanan ringan/mata berair, nyeri tiba-
tiba/berat menetap atau tekanan pada dan sekitar mata, sakit kepala.
8. Penyuluhan / Pembelajaran
a. Riwayat keluarga glaukoma, DM, gangguan sistem vaskuler.
b. Riwayat stres, alergi, gangguan vasomotor (contoh: peningkatan tekanan
vena), ketidakseimbangan endokrin. Terpajan pada radiasi,
steroid/toksisitas fenotiazin
2.8.2 Diagnosa keperawatan
DX 1: Gangguan persepsi sensori: penglihatan berhubungan dengan gangguan
penerimaan sensori dari organ penerima
DX 2: Kurang Pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi
mengenai penyakit
DX 3: Resiko jatuh berhubungan dengan keterbatasan lapang pandang
DX 4: Resiko Cedera berhubungan dengan keterbatasan lapang pandang.
18

2.8.3 Intervensi keperawatan


DIAGNOSA KRITERIA HASIL INTERVENSI
1. Gangguan persepsi sensori setelah dilakukan asuhan keperawatanPencapaian Komunikasi: Defisit Penglihatan
penglihatan berhubungan diharapkan perilaku kompensasi1. Kaji reaksi pasien terhadap penurunan penglihatan
dengan gangguang
penglihatan (vision kompensation 2. Ajak pasien ntuk menentukan tujuan dan belajar melihat
penerimaan dari organ
sensori bihavior) meningkat dengan kriteria dengan cara yang lain
1. Memakai kaca mata atau lensa 3. Deskripsikan lingkungan disekitar pasien
dengan benar 4. Jangan memindahkan sesuatu di ruangan pasien tanpa
2. Memakai huruf braile memberi informasi pada pasien
3. Memakai penyinaran/ cahaya yang 5. Bacakan surat atau koran atau info lainnya
sesuai 6. Sediakan huruf braile
7. Informasikan letak benda-benda yang sering diperlukan
pasien
Manajemen Lingkungan:
1. Ciptakan lingkungan yang aman bagi pasien
2. Pindahkan benda-benda berbahaya dari lingkungan
pasien
3. Pasang side rail
4. Sediakan tempat tidur yang rendah
5. Tempatkan benda +benda pada tempat yang dapat
dijangkau pasien.
2. Kurang Pengetahuan Setelah dilakukan asuhan Pengajaran proses penyakit (Teaching : disease Process)
berhubungan dengan keperawatan diharapkan pengetahuan 1. Berikan penilaian tentang tingkat pengetahuan pasien
kurangnya informasi tentang penyakit (Knowledge : tentang proses penyakit yang spesifika
mengenai penyakit disease process dan perilaku 2. Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan bagaimana hal
19

kesehatan (health ini berhubungan dengan anatomi dan fisiologi, dengan


behavior) meningkat dengan kriteria cara yang tepat
hasil : 3. Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada
penyakit, dengan cara yang tepat
1. Pasien dan keluarga menyatakan
pemahaman tentang penyakit, 4. Gambarkan proses penyakit, dengan cara yang tepat
kondisi, prognosis dan program 5. Identifikasi kemungkinan penyebab, dengna cara yang
pengobatan. tepat
2. Pasien dan keluarga mampu 6. Sediakan informasi pada pasien tentang kondisi,
melaksanakan prosedur yang dengan cara yang tepat
dijelaskan secara benar 7. Hindari harapan yang kosong
3. Pasien dan keluarga mampu 8. Sediakan bagi keluarga atau SO informasi tentang
menjelaskan kembali apa
kemajuan pasien dengan cara yang tepat
yang dijelaskan perawat/tim 9. Diskusikan perubahan gaya hidup yang mungkin
kesehatan lainnya diperlukan untuk mencegah komplikasi di masa yang akan
datang dan atau proses pengontrolan penyakit
10. Diskusikan pilihan terapi atau penanganan
11. Dukung pasien untuk mengeksplorasi atau
mendapatkan second opinion dengan cara yang tepat
atau diindikasikan
12. Eksplorasi kemungkinan sumber atau dukungan,
dengan cara yang tepat
13. Rujuk pasien pada grup atau agensi di komunitas
lokal, dengan cara yang tepat
14. Instruksikan pasien mengenai tanda dan gejala untuk
melaporkan pada pemberi perawatan kesehatan,
20

dengan cara yang tepat.

3. Resiko Jatuh berhubungan setelah dilakukan asuhan keperawatan Pengelolaan lingkungan( manajemen lingkungan)
dengan keterbatasan diharapkan kontrol resiko (risk 1. Sediakan lingkungan yang aman untuk pasien
lapangan pandang
kontrol) dengan kriteria hasil : 2. Identifikasi kebutuhan keamanan pasien, sesuai dengan
1. Klien terbebas dari cidera kondisi fisik dan fungsi kognitif pasien dan riwayat
2. Klien mampu menjelaskan penyakit terdahulu pasien
cara/metode untuk mencegah cidera3. Menghindarkan lingkungan yang berbahaya (misalnya
3. Klien mampu menjelaskan factor memindahkan perabotan).
resiko dari lingkungan/peril aku 4. Memasang side rail tempat tidur
personal 5. Menyediakan tempat tidur yang nyaman dan bersih
4. Mampu memodifikasi gaya hidup 6. Menempatkan saklar lampu ditempat yang mudah
untuk mencegah cidera dijangkau pasien
5. Menggunakan fasilitas kesehatan 7. Membatasi pengunjung
yang ada 8. Memberikan penerangan yang cukup
6. Mampu mengenali perubahan 9. Menganjurkan keluarga untuk menemani pasien
status kesehatan 10. Mengontrol lingkungan dari kebisingan
11. Memindahkan barang-barang yang dapat
membahayakan
12. Berikan penjelasan pada pasien dan keluarga atau
pengunjung adanya perubahan status kesehatan dan
penyebab penyakit.
4. Resiko cedera berhubungan Setelah dilakukan asuhan keperawatan Pengelolaan lingkungan( manajemen lingkungan)
dengan keterbatasan diharapkan kontrol resiko (risk 1. Sediakan lingkungan yang aman untuk pasien
lapangan pandang
kontrol) dengan kriteria hasil : 2. Identifikasi kebutuhan keamanan pasien, sesuai dengan
21

1. Klien terbebas dari cidera kondisi fisik dan fungsi kognitif pasien dan riwayat
2. Klien mampu menjelaskan cara, penyakit terdahulu pasien
untuk mencegah cedera 3. Menghindarkan lingkungan yang berbahaya (misalnya
3. Klien mampu menjelaskan factor memindahkan perabotan).
resiko dari lingkungan/perilaku 4. Memasang side rail tempat tidur
personal 5. Menyediakan tempat tidur yang nyaman dan bersih
4. Mampu memodifikasi gaya hidup 6. Menempatkan saklar lampu ditempat yang mudah
untukmencegah cidera dijangkau pasien
5. Menggunakan fasilitas kesehatan 7. Membatasi pengunjung
yang ada 8. Memberikan penerangan yang cukup
9. Menganjurkan keluarga untuk menemani pasien
10. Mengontrol lingkungan dari kebisingan
11. Memindahkan barang-barang yang dapat
membahayakan
12. Berikan penjelasan pada pasien dan keluarga atau
pengunjung adanya perubahan status kesehatan dan
penyebab penyakit.
2.8.4 Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah pelakasaan tindakan yang harus dilaksanakan
berdasarkan diagnosis perawat. Pelaksaan tindakan keperawatan dapat
dilaksanakan oleh sebagian perawat, perwata secara mandiri atau bekerja sama
dengan tim kesehatan luar. Dalam hal ini perwat adalah pelaksana asuhan
keperawatan yaitu memberikan pelayanan keperwatan dengan tindakan
keperawatan menggunakan proses keperawatan.
2.8.5 Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses perawatan untuk mengukur
keberhasilan dari rencana perawatan dalam memenuhi kebutuhan klien Bila
masalah tidak dipecahkan atau timbul masalah baru, maka perawat harus berusaha
untuk mengurangi atau mengatasi beban masalah dengan meninjau kembali
rencana perawatan dengan menyesuaikan kembali terhadap keadaan masalah yang
ada.

22
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN

Nama : Tury Wulandari


NIM : 20231490104076
Ruang Praktek : SLB Negeri 1 Palangka Raya
Tanggal Praktek : Kamis, 23 November 2023
Tanggal & Jam Pengkajian : 23 November 2023 Pukul : 09.30 WIB
3.1 PENGKAJIAN KEPERAWATAN
3.1.1 Anamnesa
Berdasarkan pengkajian yang dilakukan pada hari Kamis, Tanggal 23
November 2023 Pukul : 09.30 WIB didapatkan data sebagai berikut:
3.1.1.1 Identitas pasien
Nama Klien : An. A
TTL : Palangka Raya, 13 Oktober 2015 (8 thn 1 bln 10
hr)
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Suku : Jawa
Pendidikan : SLB kelas 2
Alamat : Jln. Sepakat
Diagnosa medis : Tunanetra
3.1.1.2 Identitas penanggung jawab
Nama Klien : Ny. F
TTL : Palangka Raya, 15 Februari 1981
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Suku : Jawa
Pendidikan : S1
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Jln. Sepakat
Hubungan keluarga : Ibu klien

23
24

3.1.1.3 Keluhan utama


Ibu klien mengatakan klien mengalami masalah penglihatan sejak bayi,
klien sudah mampu mandi dan memasang baju sendiri dengan bantuan minimal.
3.1.1.4 Riwayat kesehatan
a. Riwayat kesehatan sekarang
Ibu klien mengatakan anaknya mengalami masalah penglihatan atau kelainan
pada mata sejak lahir. Klien lahir prematur (7 bulan) dikarenakan ibu klien
mengalami keracunan kehamilan.
b. Riwayat kesehatan lalu
1) Riwayat prenatal : Prematur , usia kelahiran 28-29 minggu dan
selama mengandung ibu rutin memeriksakan kandungan kebidan dan
dokter karena ibu menderita tekanan darah tinggi.
2) Riwayat natal : Umur kehamilan 28-29 minggu, persalian secara
SC (Sectio Caesarea) , ditolong oleh bidan, keadaan bayi prematur
dengan berat badan lahir 2000 gram
3) Riwayat postnatal : ibu klien mengatakan setelah melahirkan tali pusat
dirawat oleh bidan, ibu klien mengatakan bayi dirawat diinkubator, ibu
klien mengatakan memberikan ASI kepada bayi
4) Penyakit sebelumnya: ibu klien mengatakan anaknya tidak pernah
diopname di Rumah Sakit sampai sekarang hanya kadang- kadang
mengalami batuk dan pilek.
5) Imunisasi

Jenis BCG DPT Polio Campak Hepatitis DT


Usia 1 bln 2,3,4 bln 0,1,2,3 bln 9 bln 0, 2, 3, 4 bln 6 thn

c. Riwayat kesehatan keluarga


Ibu klien mengatakan memiliki penyakit turunan dari keluarga seperti
hipertensi dan penyakit jantung
25

d. Susunan genogram 3 (tiga) generasi

Keterangan :
: Laki-laki
: Perempuan
: Pasien
: Laki-laki / Perempuan Meninggal
: Satu Rumah
: Hubungan keluarga

3.1.2 Pemeriksaan fisik


3.1.2.1 Keadaan umum : Keadaan umum baik, klien tampak tenang,
komunikasi baik dan pakaian tampak bersih dan rapi.
3.1.2.2 Tanda vital
Suhu: 36,2℃, Nadi: 100x/menit, Respirasi: 20x/menit
3.1.2.3 Kepala dan wajah
a. Ubun-ubun
Ubun-ubun sudah menutup
b. Rambut
Warna rambut hitam, tidak rontok, tidak mudah dicabut, dan tidak kusam
c. Kepala
Keadaan kulit kepala bersih, tidak ada lesi, tidak ada peradangan atau
benjolan dan massa tidak ada.
d. Mata
Bentuk mata simetris, konjungtiva merah muda, sclera putih, reflek pipil
medriasi, tidak bisa melihat
26

e. Telinga
Bentuk telinga simetris, pasien menoleh ketika dipanggil dan dapat mengenali
suara dengan baik, tidak ada kelainan pada daun telinga.
f. Hidung
Bentuk hidung simetris, tidak terdapat sekret, peradangan tidak ada, pasien
dapat membaui makanan yang dibawa pasien dari rumah.
g. Mulut
Bibir: utuh, sianosis tidak ada, keadaan mukosa mulut lembab.
h. Gigi
Gigi tampak bersih dan sehat, semua, jumlah gigi 20 buah
3.1.2.4 Leher dan tengorokan
Leher bentuk simetris, reflek menelan baik, pembesaran tonsil tidak ada,
pembesaran vena jugularis tidak ada, benjolan tidak ada, peradangan tidak
ada pembesaran kelenjar getah bening tidak ada
3.1.2.5 Dada
Bentuk simetris, retraksi dada tidak ada, bunyi nafas vesikuler, pola nafas
normal (eupneu), tipe pernafasan perut dada, bunyi jantung lup-dup, iktus
kordis tidak nampak, nyeri dada tidak ada.
3.1.2.6 Punggung
Punggung bentuk simetris, peradangan tidak ada, benjolan tidak ada.
3.1.2.7 Abdomen
Abdomen bentuk simetris, asites tidak ada, massa tidak ada, hepatomegali
tidak ada, spenomegali tidak ada.
3.1.2.8 Ektremitas
Pergerakan ekstremitas bebas, hipertropi tidak ada, oedem tidak ada,
sianosis tidak ada, clubbing finger tidak ada, keadaan kulit bersih, turgor
baik, pruritus tidak ada.
3.1.2.9 Genetalia
Tidak dikaji
3.1.3 Riwayat Pertumbuhan dan Perkembanagan
3.1.3.1 Gizi
Status gizi baik. IMT: 21,21 (normal)
27

Berat badan: 28 kg dengan tinggi badan: 115 cm


3.1.3.2 Kemandirian dalam bergaul: anak tersenyum dan menjawab semua
pertannyaan pada saat pengkajian
3.1.3.3 Motorik halus :Dapat meraba huruf brailer
3.1.3.4 Motorik kasar : Dapat berdiri, berjalan menggunakan tongkat dan
didampingi orang tua, melompat dan bermain
3.1.3.5 Kognitif dan bahasa : Dapat berbicara dengan lancar
3.1.3.6 Psikososial : Anak dapat menjawab pertanyaan saat pengkajian, anak
didampingi oleh ibunya
3.1.4 Pola Aktifitas sehari-hari

No Pola kebiasaan Sebelum sakit Saat sakit


I Nutrisi -
a) Frekuensi 3x sehari, 1 porsi makan
b) Nafsu makan/selera Selera makan baik
c) Jenis makanan Makan Nasi, lauk pauk,
buah dan sayur
2 Eliminasi
1. BAB
Frekuensi 1 x sehari -
Konsistensi Lembek
2. BAK
Frekuensi 6x sehari (±600-700cc)
Warna jernih
3 Istirahat/tidur
1. Siang/ jam ± 2-3 jam -
2. Malam/ jam ± 8-9 jam
4 Personal hygiene
1. Mandi 2-3 x sehari -
2. Oral hygiene 2-3 x sehari
3.1.5 Data penunjang
Tidak ada
3.1.6 Penatalaksanaan medis
Tidak ada
Palangka Raya, 23 November 2023
Mahasiswa,
28

Tury Wulandari
29

3.2 ANALISA DATA


DATA SUBYEKTIF KEMUNGKINAN
MASALAH
DAN DATA OBYEKTIF PENYEBAB
DS : Ibu klien mengatakan Gangguan Penglihatan Resiko Jatuh
klien mengalami masalah (Tidak bisa melihat) (D.0143 hal 306)
penglihatan sejak bayi,
klien sudah mampu mandi
dan memasang baju sendiri Keterbatasan bergerak/berjalan
dengan bantuan minimal (Penggunaan alat bantu
DO : berjalan)
1. Reflek pipil medriasi,
2. Tidak bisa melihat
3. Berjalan menggunakan Lingkungan ( lantai licin)
tongkat dan didampingi
orang tua
Resiko Jatuh
30

1) Resiko Jatuh ditandai dengan gangguan penglihatan, penggunaan alat bantu


berjalan, lingkungan tidak aman (lantai licin) (D.0143 hal 306)

3.3 PRIORITAS MASALAH


31

3.4 Rencana Keperawatan


Diagnosa Keperawatan Tujuan (Kriteria hasil ) Intervensi Rasional
1. Resiko jatuh ditandai Setelah dilakukan asuhan Pencegahan jatuh ( I.14540)
dengan gangguan perawatan 2 x Kunjungan Observasi: 1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang
penglihatan, diharapkan masalah resiko 1. Identifikasi faktor resiko jatuh meningkatkan resiko jatuh
penggunaan alat jatuh menurun dengan 2. Identifikasi faktor lingkungan yang 2. Untuk mengetahui faktor lingkungan yg
bantu berjalan, kriteria hasil (L. 14138) meningkatkan resiko jatuh meningkatkan resiko jatuh
lingkungan tidak 1. Jatuh saat berjalan 3. Monitor kemampuan berpindah posisi 3. Untuk mengetahui kemampuan klien
aman (lantai licin) menurun Terapeutik: secara mandiri dalam berpindah posisi
2. Jatuh saat di kamar 1. Orientasi ruangan sekitar pada klien 4. Memberikan gambaran kepada klien
mandi menurun 2. Gunakan handrail berjalan tentang lingkungan disekitarnya
3. Gunakan alat bantu berjalan sepert tongkat 5. Memampukan pasien berjalan secara
Edukasi: mandiri dengan aman
1. Anjurkan memanggil pendamping, guru 6. Memampukan pasien berjalan secara
dan teman yang dikenal pasien untuk mandiri dengan aman
berpindah 7. Memastikan bantuan segera saat pasien
2. Anjurkan penggunaan alas kaki yang tidak tidak dapat berpindah sendiri
licin. 8. Memudahkan mobilas klien dan
3. Anjurkan berkonsentrasi untuk menjaga menurunkan resiko jatuh
keseimbangan tubuh. 9. Menurunkan resiko jatuh
32

3.5 IMPLEMENTASI DAN EVALUASI KEPERAWATAN


Diagnosa Tanda tangan
Hari Tanggal
Keperawatan Implementasi Evaluasi (SOAP) dan Nama
/jam
perawat
Kamis dan Dx. 1 1. Mengidentifikasi faktor resiko S: Orangtua klien mengatakan anaknya
Jumat, 23-24 Resiko jatuh ditandai jatuh sekarang tidak ada jatuh
November dengan gangguan 2. Mengidentifikasi faktor lingkungan O:
2023 penglihatan, yang meningkatkan resiko jatuh 1) Keadaan umum tenang dan ceria
08.30-10-00 penggunaan alat 3. Memonitor kemampuan berpindah 2) Ibu klien selalu mendampingi
WIB bantu berjalan, posisi klien saat di luar ruangan
lingkungan tidak 4. Mengorientasi ruangan sekitar 3) Klien mampu mengikuti arahan
aman pada klien gerak senam
5. Menganjurkan penggunaan A : Masalah teratasi sebagian Tury Wulandari
handrail berjalan P : Lanjutkan intervensi (2, 4, 5, 6, 8 dan
6. Menganjurkan alat bantu berjalan 9)
sepert tongkat
7. Menganjurkan memanggil
pendamping, guru dan teman yang
dikenal pasien untuk berpindah
8. Menganjurkan penggunaan alas
kaki yang tidak licin.
9. Menganjurkan berkonsentrasi
untuk menjaga keseimbangan
tubuh.
33
DAFTAR PUSTAKA

Behrman, R. E. & Kliegman. R. M. 2010. Nelson Esiensi Pediatri Edisi 4.


Jakarta: EGC
Bernstein, Daniel & Shelov, Steven. 2017. Ilmu Kesehatan Anak
untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi Ketiga. Jakarta: EGC Betz, C. L.
& Sowden, L. A. 2009. Buku Saku Keperawatan Pediatri Edisi
5.Jakarta: EGC
Bulechek, Gloria M, dkk. 2016. Nursing Interventions Classification
(NIC), 6th edition. United State Of America: Mosby Elsevier, Inc
Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Barat. 2017. Jumlah
Anak Berkebutuhan Khusus Sumatera Barat Tahun 2017. Padang:
Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Barat
Hidayat, Aziz Alimul A. 2008. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak.
Jakarta: Salemba Medika.
Hull, David & Johnston, D. I. 2008. Dasar- Dasar Pediatri Edisi 3.
Jakarta: EGC
Iswari, Mega & Nurhastuti. 2010. Anatomi Fisiologi dan Neorologi
Dasar (Dasar- dasar Ilmu Faal dan Saraf untuk PLS). Padang: UNP
Press
Liyana, Nina, Muhariati, Metty & Rusilanti. (2014). Jurnal
Kesejahteraan Keluarga dan Pendidikan. Perbandingan pola asuh
belajar anak tunagrahita mampu didik berdasarkan status ekonomi
orang tua. 20 juni 2018. http://scho lar.google.co m.pe/citations?
user=GEdLYt4AAAAJ&hl=es
Moohead, Sue, dkk. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC) 5th
edition. United State Of America: Mosby Elsevier, Inc
Muliana. (2013). Hubungan dukungan keluarga terhadap kemandirian
anak retardasi mental sedang di SLB Negeri tingkat Pembina
Provinsi Sulawesi Selatan Makasar. 20 juni 2018
http://repositori.uin-alauddin.ac.id/3172/1/mulianan.pdf&sa=U&ved
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan
Gangguan Sistem Imunologi. Jakarta: Salemba Medika
Na’imah Tri, Nur’aeni & Septiningsih, Dyah Siti. (2017). Jurnal psikologi
undip. Orientasi happiness pada orang tua yang memiliki anak
tunagrahita ringan. 22 Desember 2017
https://google.co.id/search/client=ucweb-b-
bookmark&q=Jurnal+dampak+retardasi+mental+2017&oq=jurnal
+dampa k+retardasi+mental+2017&aqs=mobile-gws-lite
Notoadmodjo, soekidjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan.
Jakarta: Rineka Cipta
Nursalam, Susilaningrum, R.; & Utami, R. 2008. Asuhan
keperawatan bayi dan anak. Jakarta : Salemba Medika
Padila. 2012. Buku ajar: keperawatan medikal bedah. Yogyakarta: Nuha
Medika
Perendrawati, dkk. 2015. Pengaruh Terapi Sosiodrama Terhadap
Keterampilan Komunikasi Non Verbal Pada Anak Retardasi Mental
Ringan Di SLB X Kota Cirebon. 26
Desember 2017. https://www.google.co.id/search?
client=ucweb-b-bookmark&q=Jurnal+pen
atalaksanaan+keperawatan+retardasi+mental+2015&oq=Jurnal+pena
talaksa naan+keperawatan+retardasi+mental+2015&aqs=mobile-
gws-lite
Perry & Potter 2009. Fundamental keperawatan. Jakarta: Selemba
Medika
Praptono, dkk. 2017. Anak Berkebutuhan Khusus SPIRIT Edisi 1. Jakarta:
Direktorat Pembinaan Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus
Journal of Maternal and Child Health. 2017. Factor Affecting the
Occurrence ofMental Disability in Ponorogo District, East Java. 3
Januari 2018 http://www.thejmch.co m/index.php?
journal=thejmch&page=article&op=do
wnload&path%5B%5D=62path%5B%5D=67
Sari, S. P. (2017). Jempol Mahasiswa Rancangan Program Tingkatkan
MotorikHalus Anak Tunagrahita. 14 Desember
2017.
https://news.okezone.com/read/2017/08/25/65/1762937/jempo l-
mahasiswa- rancang-program-tingkatkan-motorik-halus-anak-
tunagrahita
SDKI. 2016. Definisi dan indikator diagnostik 2016-2017 edisi 1.
Jakarta: Tim Pokja SDKI DPP PPNI Sekolah Luar Biasa Kasih
Ummi Kota Padang. 2017. Data Siswa SLB Kasih Ummi Kota
Padang 2017. Padang: SLB Kasih Ummi
Soetjiningsih, Ranuh Gde. 2016. Tumbuh Kembang Anak Edisi 2.
Jakarta: EGC Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif,
Dan R&D.
Bandung: Alfabeta
Suryani, Eko & Badi’ah, Atik. Katalog Dalam Terbitan. Asuhan
Keperawatan
Anak Sehat & Berkebutuhan Khusus.Yogyakarta: Pustaka Baru Press
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016. Tentang
Penyandang Disabilitas.14 Desember 2017.
ments/2016/05/11/u/u/uu_nomor8_tahun_2016.pdf
Utaminingsih, W. R. 2015. Menjadi Dokter Bagi Anak Anda
Mengenali & Mencegah Sedini Mungkin Serangan Penyakit &
Gangguan
Kesehatan pada Anak. Yogyakarta: Cakrawala ilmu
WHO. 2013. Disability In the South East Asian Region. Geneva: WHO.
Wong, D.L, dkk. 2008. Buku ajar keperawatan pediatrik edisi 6.
Jakarta : EGC Wardani, Retno Hamidah, Azza, Awatiful &
Komarudin. (2015). Jurnal
Keperawatan Fikes Umj. Pengaruh terapi generalis defisit
perawatan diri terhadap kemandirian perawatan diri anak retardasi
mental di SDLB-C TPA Kabupaten Jember. 20 juni 2018.
http://digilib.unmuhjember.ac.id/download.php?id=3372
Wulandari, Dwi, Nelvia & Saputra, Dwi. (2018). Jurnal Keperawatan
Silampari.
Pengaruh permainan puzzle terhadap kemampuan beradaptasi
sosial siswa
retardasi mental. 20 juni
2018
https://journal.ipm2kpe.or.id/index.php/JKS/art icle/download/80/56
Wulandari, Rany Agustin, Soeharto, Setyawati & Setyoadi. (2016).
Jurnal ilmu keperawatan. Pengaruh terapi psikoedukasi keluarga
terhadap harga diri rendah dan beban keluarga dengan anak
retardasi mental. 26 Desember 2017
http://jik.ub.ac.id/index.php/jik/art icle/download/97/130 .
Yuemi, Citra Praha, Mundakir.2015. Terapi Okupasi: Diorama Gambar
Terhadap Kemampuan Motorik Halus pada Anak Retardasi
Mental Ringan.26 Desember 2017.
http://fik.umSurabaya.ac.id/sites/default/files/Art ikel%209_1.pdf

Anda mungkin juga menyukai