Anda di halaman 1dari 29

REFERAT

Systemic Lupus Erytematosus

Pembimbing :

dr. Camelia Khaerun Nissa, Sp.PD

Oleh:

Muhammad Irsyifa Azmi - 2014730062

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


BLUD RUMAH SAKIT SEKARWANGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2019

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-NYA saya dapat

menyelesaikan referat pada stase Ilmu Penyakit Dalam ini khususnya tentang “Lupus

Eritematosus Sistemik” sesuai dengan yang diharapakan. Tujuan penyusun membuat referat

ini untuk melaksanakan salah satu tugas kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit Dalam.

Penyusun ucapkan terima kasih banyak kepada dokter pembimbing dr. Camelia

Khaerun Nissa, Sp.PD dan semua staf yang telah membantu saya yang bersedia meluangkan

waktunya dalam menyelesaikan tugas referat ini dengan baik. Semoga referat ini bermanfaat

bagi kita semua.

Kurang lebihnya penyusun mohon maaf, kebenaran datangnya dari Allah SWT dan

kesalahan datangnya dari diri penyusun sebagai manusia. Mudah – mudahan referat ini dapat

bermanfaat bagi kita semua terutama untuk pembaca sekalian.

Sekarwangi, April 2019

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………i
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………..ii
BAB I
PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 4
BAB II
PEMBAHASAN ...................................................................... Error! Bookmark not defined.
2.1. Definisi ...................................................................... Error! Bookmark not defined.
2.2. Epidemiologi ............................................................. Error! Bookmark not defined.
2.3. Etiologi ...................................................................... Error! Bookmark not defined.
2.4. Patogenesis .................................................................................................................. 5
2.5. Manifestasi Klinis ....................................................................................................... 7
2.7. Kriteria Diagnosis ..................................................... Error! Bookmark not defined.
2.8. Pemeriksaan Penunjang............................................. Error! Bookmark not defined.
2.9. Diagnosis Banding .................................................... Error! Bookmark not defined.
2.10 Derajat SLE ................................................................ Error! Bookmark not defined.
2.10. Penatalaksanaan ......................................................... Error! Bookmark not defined.
2.11. Komplikasi............................................................................................................. 27
2.12. Prognosis ............................................................................................................... 27
BAB III
KESIMPULAN ........................................................................................................................ 25

DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I
PENDAHULUAN

Lupus eritematosus sistemik atau lebih dikenal dengan nama systemic lupus
erythematosus (SLE) merupakan penyakit kronik inflamatif autoimun yang belum diketahui
etiologinya dengan manifestasi klinis beragam serta berbagai perjalanan klinis dan
prognosisnya. Penyakit ini ditandai oleh adanya periode remisi dan episode serangan akut
dengan gambaran klinis yang beragam berkaitan dengan berbagai organ yang terlibat. SLE
merupakan penyakit yang kompleks dan terutama menyerang wanita usia reproduksi. Faktor
genetik, imunologik, dan hormonal serta lingkungan berperan dalam proses patofisiologi.

Prevalensi SLE di Amerika adalah 1:1000 dengan rasio wanita : laki-laki antara

9-14:1. Pada populasi wanita Afrika-Amerika di Amerika Serikat ( 1 dari 250), sebaliknya
prevalensi yang rendah pada kelompok etnis yang sama di Afrika barat. Pada populasi
multietnis di Inggris yang prevalensinya 45-50 per 100.000 wanita. Wanita terkena 10 kali
lebih banyak dibandingkan pria. Puncak onset adalah pada usia 15-40 tahun. Data tahun 2002
di RSUP Cipto mangunkusumo Jakarta, didapatkan 1,4% kasus SLE dari total kunjungan
pasien poliklinik Reumatologi. Belum terdapat data epidemiologi yang mencakup semua
wilayah Indonesia, namun insidensi SLE dilaporkan cukup tinggi di Palembang.

Survival rate SLE berkisar antara 85% dalam 10 tahun pertama dan 65% setelah 20
tahun menderita SLE. Mortalitas akibat penyakit SLE ini 3 kali lebih tinggi dibandingkan
populasi umum. Pada tahun-tahun pertama mortalitas SLE berkaitan dengan aktivitas penyakit
dan infeksi, sedangkan dalam jangka panjang berkaitan dengan penyakit vascular
aterosklerotik.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun yang ditandai
adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh.
Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun, sehingga
mengakibatkan kerusakan jaringan. SLE juga merupakan penyakit inflamasi autoimun
pada jaringan dan kompleks imun sehingga mengakibatkan manifestasi klinis diberbagai
sistem organ.1,4
Pada setiap penderita, peradangan akan mengenai jaringan dan organ yang
berbeda. Beratnya penyakit bervariasi mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit
yang menimbulkan kecacatan.

2.2 Epidemiologi
Dalam 30 tahun terakhir, SLE menjadi salah satu penyakit rematik utama didunia.
Prevalensi SLE diberbagai negara sangat bervariasi dan lebih sering ditemukan pada ras
tertentu seperti Negro, Cina dan Filipina. Faktor ekonomi dan geografi tidak
mempengaruhi distribusi penyakit. Peyakit ini dapat ditemukan pada semua usia, tetapi
paling banyak pada usia 15-40 tahun (masa reproduksi). Frekuensi pada wanita dibanding
dengan pria berkisar antara 9-14:1.1
Beberapa data yang ada di Indonesia diperoleh dari pasien yang dirawat di rumah
sakit. Dari 3 penelitian di Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia/ RS. Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta yang melakukan penelitian
pada periode yang berbeda diperoleh data sebagai berikut : antara tahun 1969-1970
ditemukan 5 kasus SLE ; selama periode 5 tahun (1972-1976) ditemukan 1 kasus SLE dari
setiap 666 kasus yang dirawat (insiden sebesar 15 per 10.000 perawatan); antara tahun
1988-1990 (3 tahun) insiden rata-rata ialah sebesar 37,7 per 10.000 perawatan. 1
Pasien SLE, 90% adalah wanita dengan usia diantara 14 dan 45 tahun. Penyakit ini
tiga kali lebih sering ditemukan pada populasi keturunan Afrika- Amerika. Frekuensi pada
wanita dibanding pada pria berkisar antara (5,5-9) : 1. 1
SLE awalnya digambarkan sebagai suatu gangguan kulit, pada sekitar 1800-an dan
diberi nama lupus karena sifat ruamnya yang berbentuk “kupu-kupu”, melintasi tonjolan

5
hidung dan meluas pada kedua pipi yang menyerupai gigitan serigala ( lupus adalah katta
dalam bahasa latin yang berarti serigala).2

2.3 Etiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan
peningkatan autoantibody yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh
kombinasi antara factor - faktor genetik, hormonal dan lingkungan (cahaya matahari, luka
bakar termal). Sampai saat ini penyebab SLE belum diketahui, diduga faktor genetik,
infeksi dan lingkungan ikut berperan pada patofisiologi SLE. Sistem imun tubuh
kehilangan kemampuan untuk membedakan antigen dari sel dan jaringan tubuh sendiri.
Penyimpangan reaksi imunologi ini akan menghasilkan antibodi secara terus menerus.
Antibody ini juga berperan dalam pembentukan kompleks imun sehingga mencetuskan
penyakit inflamasi imun sistemik dengan kerusakkan multiorgan. Dalam keadaan normal,
sistem kekebalan berfungsi mengendalikan pertahanan tubuh dalam melawan infeksi. Pada
lupus dan penyakit autoimun lainnya, sistem pertahanan tubuh ini berbalik melawan tubuh,
dimana antibodi yang dihasilkan menyerang sel tubuhnya sendiri. Antibodi ini menyerang
sel darah, organ dan jaringan tubuh, sehingga terjadi penyakit menahun. 1,2,3
Faktor-faktor yang berperan :

a. Faktor Genetik
Kejadian SLE lebih tinggi pada kembar monozigotik (25%) dibanding dengan
kembar dizigotik (3%), peningkatan frekuensi SLE pada keluarga penderita SLE
dibanding dengan kontrol sehat dan peningkatan prevalensi SLE pada kelompok
etnik tertentu, menguatkan dugaan bahwa faktor genetik berperan dalam
patogenesis SLE.1

6
Elemen genetik yang paling banyak diteliti kontribusinya terhadap SLE pada
manusia adalah gen dari kompleks Histokompatibilitas Mayor (MHC). Penelitian
populasi menunjukkan bahwa kepekaan terhadap SLE melibatkan polimorfisme
dari gen HLA (human leucocyte antigen) kelas II. HLA berhubungan dengan
adanya antibody tertentu seperti anti-Sm (small nuclear ribonuclearm protein),
anti-Ro, anti-La, anti-nRNP (nuclear ribonuclear protein) dan anti-DNA. Gen HLA
kelas III, khususnya yang mengkode komponen komplemen C2 dan C4,
memberikan resiko SLE pada kelompok etnik tertentu. Selain itu SLE berhubungan
dengan pewarisan defisiensi C1q, C1r/s dan C2. Penurunan aktivitas komplemen
meningkatkan kepekaan terhadap antigen diri sendiri maupun antigen asing. Jika
beban antigen melebihi kapasitas pembersih dari sistem imun, maka autoimunitas
mungkin terjadi.
b. Faktor Homoral
SLE penyakit yang lebih banyak menyerang perempuan 1,2 . Metabolisme estrogen
yang abnormal telah ditunjukkan pada kedua jenis kelamin, dimana peningkatan
hidroksilasi 16a dari estrone mengakibatkan peningkatan yang bermakna
konsentrasi 16a hidroksiestron. Metabolit 16 a lebih kuat dan merupakan feminising
estrogen. Perempuan dengan SLE juga mempunyai konsentrasi androgen plasma
yang rendah, termasuk testosteron, dehidrotestosteron, dehidroepiandosteron
(DHEA) dan dehidroepianrosteron (DHEAS). Abnormalitas ini mungkin
disebabkan oleh peningkatan oksidasi testosteron pada C-17 atau peningkatan
aktivitas aromatase jaringan. Konsentrasi androgen berkorelasi negatif dengan
aktivitas penyakit. Konsentrasi testosteron plasma yang rendah dan meningkatnya
konsentrasi luteinising hormone (LH) ditemukan pada penderita SLE laki-laki. Jadi
estrogen yang berlebihan dengan aktivitas hormone androgen yang tidak adekuat
pada laki-laki maupun perempuan, mungkin bertanggung jawab terhadap
perubahan respon imun. Konsentrasi progesteron didapatkan lebih rendah pada
penderita SLE perempuan dibandingkan dengan kontrol sehat.
Prolactin (PRL) adalah hormon terutama berasal dari kelenjar hipofise anterior,
diketahui menstimulasi respon imun selular dan humoral, yang diduga berperan
dalam patogenesis SLE. Fungsi PRL menyerupai sitokin, yang mempunyai
aktivitas endokrin , paraktin dan autokrin. PRL diketahui menstimulasi sel T, sel
naturl killer, makrofag, neutrofil, sel hemopoietik CD34+ dan sel dendritik
presentasi antigen.

7
c. Faktor Lingkungan
Agen infeksi virus Epstein-Barr (EBV) mungkin menginduksi respon spesifik
melalui kemiripan molekular (molecular mimicry) dan gangguan terhadap regulasi
imun. Diet mempengaruhi produksi mediator inflamasi , toksin/obat-obatan
memodifikasi respon selular dan imunogenitas dari self antigen dan agen
fisik/kimia seperti sinar ultraviolet (UV) dapat memnyebabkan inflamasi, memicu
apoptosis sel dan menyebabkan kerusakan jaringan.

2.4 PATOFISIOLOGI 4,5,6,


SLE merupakan penyakit yang bersifat genetik4. Pada penderita SLE terdapat 10-20%
yang memiliki kerabat dekat dengan SLE, pada saudara kembar identik SLE terdapat 24-
69% yang juga menderita penyakit yang sama. Angka ini lebih tinggi dibandingkan saudara
kembar yang tidak identik yaitu 2-9%. Berdasarkan penelitian terdapat banyak gen yang
berperan dalam patogenesis penyakit ini, misalnya C1q, C2, C4, HLA-D2, 3, 8, IL-10, dan
MCP-1. Gen-gen tersebut berperan dalam mengkode sistem imun. Pada individu yang
rentan menjadi SLE terdapat gen yang dalam jumlah kecil dapat berkembang menjadi
pencetus respon imun abnormal. Akumulasi dari respon imun tersebut akhirnya
bermanifestasi menjadi SLE4,5.
Defisiensi homozigot komponen komplemen (C1q, r, s, C2, C4) merupakan
predisposisi kuat menjadi SLE, namun hal ini jarang terjadi. Gen tersebut meningkatkan
resiko SLE hanya 1,5-3 kali, namun terdapat gen yang lain ikut meningkatkan kerentanan
menjadi SLE.4
Patogenesis SLE dimulai karena adanya satu atau beberapa faktor pencetus pada
individu yang memiliki predisposisi genetik yang menghasilkan abnormalitas terhadap sel
T CD4+. Faktor pencetus yang diduga adalah hormon seks, sinar UV, dan infeksi. Hal ini
menyebabkan sel T kehilangan toleransi terhadap self antigen dan muncul sel T autoreaktif
yang menginduksi serta ekspansi sel B. Sel B yang diinduksi memproduksi autoantibodi
yang ditujukan terhadap antigen yang terutama terletak di nukleoplasma meliputi DNA,
protein histon, dan non histon.
Respon imun melawan autoantigen yang merupakan antigen nuclear endogen.
Autoantigen dikeluarkan oleh sel apoptosis dan kemudian dipresentasikan oleh sel
dendritik kepada sel T. Aktivasi sel T ini menginduksi sel B untuk memproduksi antibodi
yang kemudian merangsang pengeluaran sitokin seperti IL10 dan IL23. Peningkatan

8
apoptosis sel juga menstimulasi produksi IFNalfa dan merangsang autoimun melalui
aktivasi APC (antigen presenting cell).
Antibodi ini disebut ANA (anti nuclear antibody) dengan antigen yang spesifik
membentuk kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi. Kompleks imun dibersihkan
oleh reseptor komplemen dan Fc. Kegagalan dalam clearance kompleks imun yang
menyebabkan deposit dan kerusakan jaringan organ. Hal ini kemungkinan terjadi deposit
kompleks imun di luar system fagosit mononuclear.
Kompleks imun ini mengendap di berbagai macam organ dan menimbulkan fiksasi
komplemen pada organ tersebut. Akibatnya timbul reaksi radang dan menimbulkan
keluhan atau gejala pada organ yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus
koroideus, kulit, dan sebagainya. Selain memproduksi sitokin inflamasi, kerusakan
jaringan juga memodulasi kaskade koagulasi.
Organ target umumnya adalah ginjal, kulit, paru, otak dan jantung. Di ginjal,
kompleks imun berakumulasi awal di subendotelial dan mesangial kemudian berdeposit di
membran basal dan subepitelial.

9
Pada ginjal, kompleks imun berakumulasi di pertama kali di area subendotheal
dan mesangeal, diikuti dengan oengendapan di membran basal dan subepitel. Anti-DNA
dan anti nukleosom antibodi berkontribusi untuk terjadinya lupus nefritis. Kompleks imun
juga dapat berakumulasi di kulit dan sistem saraf pusat.5
Pada kulit, keratinosit yang terpapar oleh sinar ultraviolet menjadi apoptosis dan
mengeluarkan material nuklear, yang dapat menstiulasi sistem imun. Pembersihan material
nuklear iikuti oleh kematian keratinosit and sel lain yang dimediasi oleh serum amiloid P,
c-Mer kinase, IgM, C1q, dan Dnase.5
Beberapa faktor yang menyebabkan atherosklerosis adalah peningkatan
frekuensi, termasuk antibodi terhadap lipoprotein, hipertensi, dan metabolik sindrom. Sel
endotel dapat menjadi rusak karena kompleks imun, dan molekul inflamasi. Peningkatan
jumlah sel endotel ditemukan pada darah pasien dengan SLE5.

2.5 Manifestasi Klinis


Saat awitan pertama pada SLE mungkin hanya mengenai satu sistem organ
(manifestasi tambahan muncul kemudian) atau multisistemik . Gambaran klinis
keterlibatan sendi atau muskuloskeletal dijumpai pada 90% kasus SLE, walaupun artritis
sebagai manifestasi awal hanya dijumpai pada 55% kasus. 1,7
- Gejala Konstitusional
a. Kelelahan
Kelelahan merupakan keluhan umum yang dijumpai pada SLE dan biasanya
mendahului berbagai manifestasi klinis. Kelelahan ini agak sulit dinilai karena
berbagai kondisi lain yang dapat meyebabkan kelelahan seperti adanya anemia,
meningkatnya beban kerja, konflik kejiwaan serta pemakaian obat seperti
prednison. Kelelahan dapat diukur dengan menggunakan Profil of Mood States
(POMS) dan tes toleransi latihan. Apabila kelelahan disebabkan oleh penyakit SLE
maka diperlukan pemeriksaan penunjang lain, yaitu kadar C3 serum yang rendah.
Kelelahan akibat penyakit ini memberikan respon terhadap pemberian steroid.
b. Penurunan Berat Badan
Keluhan ini dijumpai pada sebagian penderita SLE dan terjadi dalam beberapa
bulan sebelum diagnosis ditegakkan. Penurunan berat badan ini dapat disebabkan
oleh menurunnya nafsu makan atau diakibatkan gejala gastrointestial.
c. Demam

10
Demam sebagai salah satu gejala konstitusional sulit dibedakan dari sebab lain
seperti infeksi, karena suhu tubuh dapat lebih dari 40⁰C tanpa adanya bukti infeksi
lain seperti leukositosis. Demam akibat SLE biasanya tidak disertai mengigil.
d. Lain-lain
Gejala lain yang sering dijumpai pada SLE dapat terjadi sebelum atau seiring
dengan aktivitas penyakitnya seperti rambut rontok, hilangnya nafsu makan,
pembesaran kelenjar getah bening, bengkak, sakit kepala, mual dan muntah.

1. Manifestasi muskulosekeletal
Hampir semua pasien SLE mengalami artralgia dan mialgia, sebagian besar
mengalami artritis intermiten. Nyeri sering melebihi temuan fisis yang berupa
pembengkakan fusiform sendi (paling sering mengenai sendi antarfalang proksimal
(AFP) dan metakarpofalang (MKF) pada tangan, pergelangan tangan dan lutut ),
pembengkakan difus tanga dan kaki, dan tendosinovitis. Deformitas sendi jarang terjadi
dengan 10% pasien mengalami deformitas leher angsa (swan neck) jari tangan dan
pergeseran ulnar pada sendi MKF. Erosi jarang terjadi, dapat ditemukan nodus
subkutis. Miopati dapat bersifat inflamatorik (selama masa penyakit aktif) atau
sekunder akibat pengobatan (hipokalemia, miopati glukokortikoid, miopati
hidroksiklorokuin). Nekrosis iskemik tulang sering merupakan penyebab nyeri
panggul, lutut atau bahu pada pasien yang mendapat glukokortikoid.1,7 Hal yang paling
perlu diperhatikan adalah kemungkinan adanya koinsidensi penyakit autoimun lain
seperti Artritis reumatoid, polymyositis, skleroderma atau manifestasi klinis penyakit-
penyakit tersebut merupakan bagian gejala SLE.

11
2. Manifestasi Kulit
Ruam kulit merupakan manifestasi SLE pada kulit yang telah lama dikenal oleh
para ahli. Sejak era Rogerius, Paracelsus, Hebra sebelum abad 19 manifestasi kulit
seperti seborea kongestifa, herpes esthimones dan sebagainya telah diperdebatkan
sebagai suatu lesi kulit pada SLE. Lesi muko-kutaneus yang tampak sebagai bagian
SLE dapat berupa reaksi fotosensitifitas, diskoid LE (DLE), subacute cutaneous lupus
erythematosus (SCLE) ,lupus profundus/ paniculitis, alopecia, lesi vaskular berupa
eritema periungual, livedo reticularis, telengiectasis, fenomena raynud’s atau vaskulitis
atau bercak yang menonjol berwarna putih perak dan dapat pula berupa bercak eritema
pada palatum mole dan durum, bercak atrofis, eritema atau depigmentasi pada bibir.
Ruam malar ( kupu-kupu) adalah ruam eritematosa persisten, datar atau meninggi,
dipipi dan pangkal hidung, sering meluas kedagu dan teliga. Ruam ini bersifat
fotosensitif. Tidak terjadi jaringan parut, dapat timbul telangiektasis. Ruam
makulopapula yang lebih difus, terutama dibagian tubuh terpajan matahari, juga sering
ditemukan dan biasanya mengisyaratkan munculnya penyakit. Hilangnya rambut
kepala biasanya terbatas tetapi dapat ekstensif, rambut sering tumbuh kembali pada lesi
SLE tetapi tidak pada lesi lupus diskoid (LED). LED terjadi pada 20% pasien SLE dan
juga dapat juga menyebabkan kecacatan, karena lesi memperlihatkan atrofi dan
jaringan parut dibagian tengahnya, dengan hilangnya apendiks kulit secara menetap.

3. Manifestasi Paru
Berbagai manifestasi klinis pada paru-paru dapat terjadi baik berupa radang interstitial
parenkim paru (pneumonitis), emboli paru, hipertensi pulmonum, perdarahan paru, atau
shrinking lung syndrom.
Pneumonitis lupus dapat terjadi secara akut atau berlanjut menjadi kronik. Pada
keadaan akut perlu dibedakan dengan pneumonia bakterial dan apabila terjadi keraguan
dapat dilakukan tindakan invasive seperti bilas bronkoalveolar. Biasanya penderita
akan merasa sesak, batuk kering, dan dijumpai rhonki dibasal. Keadaan ini terjadi
sebagai akibat deposisi kompleks imun pada alveolus atau pembuluh darah paru, baik

12
disertai vaskulitis atau tidak. Pneumonitis lupus ini memberikan respons yang baik
dengan pemberian steroid. Manifestasi paru yang jarang terjadi namun mempunyai
angka mortalitas angka mortalitas yang tinggi adalah sindroma distress pernafasan dan
perdarahan intraalveolar masif.
Hemoptisis merupakan keadaan yang serius apabila merupakan bagian dari perdarahan
paru akibat SLE ini dan memerlukan penanganan yang tepat, dimana tidak hanya
penggunaan steroid namuntindakan pengobatan lain seperti lasmafaresis atau
pemberian sitostatiska.
4. Manifestasi Kardiologis
Perikardium, miokardium, endokardium ataupun pembuluh darah koroner dapat terlibat
pada penderita SLE, walaupun yang paling banyak terkena adalah perikardium. Efusi
dapat terjadi dan kadang-kadang temponade.
Perikarditis harus dicurigai apabila dijumpai adanya keluhan nyer sub-sternal, friction
rub, gambaran silhouete sign foto dada, ataupun melalui gambaran EKG,
Echocardiografi. Apabila dijumpai adanya ritmia atau gangguan konduksi,
kardiomegali bahkan takikardi yang tidak jelas penyebabnya, maka kecurigaan adanya
miokarditis perlu dibuktikan lebih lanjut. Penyakit jantung koroner dapat pula dijumpai
pada penderita SLE dan bermanifestasi sebagai angina pectoris, infark miokard atau
gagal jantung kongestif. Usia muda dengan gejala penyakit yang panjang serta
penggunaan steroid jangka panjang.
Valvulitis, gangguan konduksi serta hipertensi menyerupai komplikasi lain yang juga
sering dijumpai pada penderita SLE . vegetasi pada katup jantung merupakan
akumulasi pada kompleks imun, sel mononuklear, jaringan nekrosis, jaringan parut,
hematoxyin bodies , fibrin dan trombus trombosit. Manifestasi yang sering dijumpai
adalah bising jantung sistolik dan diastolik.1,5,7
5. Manifestasi Renal
Keterlibatan ginjal dijumpai pada 40-75% penderita yang sebagian besar terjadi setelah
5 tahun menderita SLE. Rasio wanita : pria dengan kelainan ini 10 : 1 dengan puncak
insiden antara 20-30 tahun. Gejala atau tanda keterlibatan renal pada umumnya tidak
tampak sebelum terjadi kegagalan ginjal atau sindroma nefrotik. Pemeriksaan terhadap
protein urine >500 mg/24 jam atau +3 semi kwantatif, adanya cetakan granular,
hemoglobin, tubuler, eritrosit tu gabungan serta pyuria (>5/LBP) tanpa bukti adanya
infeksi serta peningkatan serum kadar kreatinin menunjukkan adanya keterlibatan pada
penderita SLE.

13
6. Manifestasi Gastrointestinal
Manifestasi gastrointestinal tidak spesifik pada pasien SLE , karena dapat merupakan
cerminan keterlibatan berbagai organ pada penyakit ini atau sebagai akibat pengobatan.
Disfagia merupakan keluhan yang menonjol pada saat penderita dalam keadaan
tertekan dan sifatnya episodik, walaupuntidak dapat dibuktikan adanya kelainan pada
esofagus tersebut, kecuali gangguan motilitas.
Keluhan dispepsia yang dijumpai pada 50% pasien SLE, lebih banyak dijumpai pada
mereka yang memakai glukokortikoid. Pankreatitis akut dapat timbul dan menjadi
parah akibat SLE aktif atau akibat terapi glukokortikoid dan azatioprin. Peningkatan
kadar amilase dapat mencerminkan pankreatitis, peradangan kelenjar liur, atau
makroamilasemia.
Hepatomegali juga merupakan pembesaran organ yang dapat dijumpai pada pasien
SLE, disertai peningkatan serum SGOT/SGPT ataupun fosfatase alkali dan LDH.
7. Manifestasi Neuropsikiatri
Keterlibatan susunan saraf pusat dapat bermanifestasi sebagai epilepsi, hemiparesis,
lesi saraf kranial, lesi batang otak, meningitis aseptik atau myelitis transversal.
Pembuktian adanya keterlibatan saraf pusat tidak terlalu banyak membantu proses
penegakkan diagnosis SLE. Dapat dijumpai kelainan EEG namun tidak spesifik pada
cairan serebrospinal dapat ditemukan kmpleks imun, kadar C4 rendah, peningkatan
IgG, IgA dan atau IgM, peningkatan jumlah sel, peningkatan kadar protein atau
penurunan kadar glukosa.
8. Manifestasi Hemi-limfatik
Limfadenopati baik menyeluruh ataupun terlokalisir sering dijumpai pada penderita
SLE. Kelenjar getah bening yang paling sering terkena adalah aksila dan servikal,
dengan karakteristik tidak nyeri tekan, lunak dan ukuran bervariasi sampai 3-4 cm.
Organ limfoid lain yang sering dijumpai pula pada penderita SLE adalah splenomegali
yang biasanya disertai oleh pembesaran hati. Kerusakan lien berupa infark atau
berkaitan dengan adanya lupus antikoagulan.
9. Hematologi
Anemia pada penyakit kronik terjadi pada sebagian pasien saat lupusnya aktif. Pada
sebagian pasien yang uji Coombsnya positif terjadi hemolisis. Hemolisis ini biasanya
berespon terhadap glukokortikoid dosis tinggi.
Leukopenia sering ditemukan tetapi jarang menyebabkan infeksi rekuren dan tidak
memerluka terapi. Trombositopeni ringan sering terjadi, trombositopenia berat disertai

14
perdarahan dan purpura terjadi pada 5% dan harus di terapi dengan glukokortikoid dosis
tinggi. Perbaikan jangka pendek dapat dicapai dengan pemberian globulin gamma
intravena. Bila hitung trombosit tidak dapat mencapai kadar yang memuaskan dalam 2
minggu, harus dipertimbangkan splenektomi.

2.6 Diagnosis
Diagnosis SLE dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dn laboratorium.
Kriteria diagnostik SLE tahun 1997 dari American College of Rheumatology.

Kriteria Definisi

1. Ruam malar Eritema menetap, rata atau meninggi, di atas eminensia malar, yang
cenderung mengenai lipatan nasolabial

2. Ruam diskoid Makula eritematosa yang meninggi dengan skala keratotik adheren dan
sumbatan folikel (jaringan parut atrofik dapat terjadi pada lesi lama)

3. Fotosensitif Ruam kulit akibat reaksi sinar matahari yang tidak biasa, berdasarkan
anamnesis pasien atau pengamatan dokter

4. Ulserasi oral Ulserasi oral atau nasofaring, biasanya tidak nyeri, yang diamati oleh
dokter

5. Radang sendi Arthritis non-erosive yang melibatkan ≥2 sendi perifer, yang ditandai
oleh nyeri, bengkak, atau efusi

6. Serositis (A) Pleuritis: Pastikan riwayat berhubunga dengan nyeri pleuritik atau
bunyi menggosok oleh dokter atau adanya bukti efusi pleura
ATAU

(B) Perikarditis: Terdokumentasi dari EKG atau bunyi menggosok atau


bukti efusi perikardial

7. Gangguan ginjal (A) Persistent proteinuria >0,5 g/hari atau >3+ jika tidak dilakukan
kuantisasi
ATAU

15
(B) Cellular cast: Mungkin sel darah merah, hemoglobin, granular,
tubular, atau campuran

8. Gangguan saraf (A) Kejang: Tanpa adanya konsumsi obat-obatan atau kekacauan
metabolik misalnya, uremia, ketoasidosis, dan ketidakseimbangan
elektrolit
ATAU

(B) Psikosis: Tanpa adanya konsumsi obat-obatan atau kekacauan


metabolik misalnya, uremia, ketoasidosis, dan ketidakseimbangan
elektrolit

9. Gangguan darah (A) Hemolytic anemia: Dengan retikulositosis


ATAU

(B) Leukopenia: <4000/mm3 pada ≥ 2 kali pemeriksaan


ATAU

(C) Limfopenia: <1500/mm3 pada ≥ 2 kali pemeriksaan


ATAU

(D) Trombositopenia: <100.000/mm3 tanpa adanya obat-obatan

10. Gangguan imun (A) Anti-DNA: Antibodi untuk DNA asli dalam titer abnormal
ATAU

(B) Anti-Sm: Adanya antibodi terhadap antigen Sm nuklear


ATAU

(C) Temuan positif antibodi antifosfolipid berdasarkan: (1) tingkat IgG


serum abnormal atau antibodi IgM anticardiolipin, (2) hasil tes positif
untuk antikoagulan lupus dengan menggunakan metode standar, atau
(3) sero-positif palsu untuk tes sifilis positif paling tidak selama 6 bulan
dan dikonfirmasi dengan imobilisasi Treponema pallidum atau tes
penyerapan fluorensens terhadap antibodi treponemal

16
11. Ab antinuklear Suatu titer antibodi antinuclear yang abnormal berdasarkan pemeriksaan
immunofluorescence pada setiap titik waktu dan tidak ada obat yang
diketahui terkait dengan sindroma lupus yang diinduksi obat

Seseorang dapat didiagnosis dengan SLE jika ada 4 atau lebih dari 11 kriteria di atas,
secara serial atau bersamaan, selama interval pengamatan.

Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis LES memiliki sensitifitas 85% dan
spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA positif, maka sangat
mungkin LES dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif,
maka kemungkinan bukan LES. Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi klinis lain
tidak ada, maka belum tentu LES, dan observasi jangka panjang diperlukan.
Kecurigaan akan penyakit SLE bila dijumpai 2 atau lebih keterlibatan organ sebagaimana
terantum dibawah ini, yaitu :
1. Gender wanita pada usia rentang reproduksi
2. Gejala konstitusional : kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan penurunan berat
badan.
3. Muskuloskeletal : artritis, artralgia, miositis.
4. Kulit : ruam kupu-kupu (butterfly atau malar rash), fotosensitivitas, SLE
membranamukosa, alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria, vaskulitis.
5. Ginjal : hematuria proteinuria, sindroma nefrotik.
6. Gastrointestinal : mual, muntah, nyeri abdomen.
7. Paru-paru : pleurysi, hipertensi pulmonal, SLEi parenkim paru
8. Jantung : perikarditis, endokarditis, miokarditis.
9. Retikulo-endotel : organomegali (limfadenopati, splenomegali, hepatomegali).
10. Hematologi : anemia, leukopenia, dan trombositopenia.
11. Neuropsikiatri : psikosis, kejang, sindroma otakorganik, mielitis transversal, neuropati
kranial dan perifer.

2.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG8


1. Hemoglobin, leukosit, hitung jenis sel, laju endap darah
2. Urin rutin dan mikroskopik, protein kwantitatif 24 jam, dan bila diperlukan kreatinin
urin

17
3. Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, profil lipid)
4. PT, APTT pada sindroma antifosfolipid
5. Serologi ANA, anti-dsDNA, komplemen (C3,C4)
6. Foto polos thorax
7. Pemeriksaan tambahan lainnya tergantung dari manifestasi SLE. Waktu pemeriksaan
untuk monitoring dilakukan tergantung kondisi klinis pasien.
Hasil dari pemeriksaan darah rutin menunjukkan adanya anemia hemolitik,
trombositopenia, limfopenia, leukopenia. Coombs test mungkin positif. Level IgG
mungkin tinggi, rasio albumin-globulin dapat terbalik, dan serum globulin meningkat.
Hasil pemeriksaan urin menunjukkan adanya proteinuria, hematuria, peningkatan
kreatinin, dan ditemukan Cast, heme granular atau eritrosit dalam urin.

Pemeriksaan yang diperlukan untuk awal diagnosis dan tidak diperlukan untuk
monitoring adalah serologi ANA. Antinuclear antibody (ANA) merupakan sekelompok
autoantibody spesifik terhadap asam nukleat dan nucleoprotein.
Pada penderita SLE tes ANA positif sebesar 95-100%. Tes ANA merupakan tes yang
spesifik namun tidak spesifik karena hasil tes ANA dapat juga positif pada beberapa
penyakit lainnya seperti infeksi kronis, penyakit autoimun yang lain, keganasan atau pada
orang normal. Tes ANA dikerjakan hanya jika terdapat kecurigaan terhadap SLE.
Beberapa tes lain yang menunjang diagnosis SLE setelah tes ANA positif adalah
pemeriksaan profil ANA/ENA yaitu tes anti-dsDNA, Sm, nRNP,Ro (SSA), La (SSB), Scl-
70 dan anti-Jo. Antibodi anti-dsDNA dengan titer yang tinggi sangat spesifik untuk SLE
(spesifitasnya hampir 100%) dan jarang ditemukan pada penyakit lain. Titer anti-dsDNA
yang tinggi hampir pasti menunjukkan diagnosis SLE dibandingkan dengan titer yang

18
rendah. Jika titernya sangat rendah mungkin dapat terjadi pada pasien yang bukan SLE.
Meskipun anti-Sm didapatkan pada 15% -30% pasien SLE, tes ini jarang dijumpai pada
penyakit lain atau orang normal. Tes anti-Sm relatif spesi ik untuk SLE, dan dapat
digunakan untuk diagnosis SLE. Titer anti-Sm yang tinggi lebih spesi ik untuk SLE. Seperti
anti-dsDNA, anti-Sm yang negatif tidak menyingkirkan diagnosis

2.8 DIAGNOSIS BANDING


a. Undifferentiated connective tissue disease
b. Purpura trombositopenik idiopatik
c. Lupus imbas obat
d. Arthritis rheumatoid dini
e. Vaskulitis

2.9. Derajat Penyakit SLE 9


Derajat Berat Ringannya Penyakit SLE

Seringkali terjadi kebingungan dalam proses pengelolaan SLE, terutama menyangkut


obat yang akan diberikan, berapa dosis, lama pemberian dan pemantauan efek samping
obat yang diberikan pada pasien. Salah satu upaya yang dilakukan untuk memperkecil
berbagai kemungkinan kesalahan adalah dengan ditetapkannya gambaran tingkat

19
keparahan SLE. Penyakit SLE dapat dikategorikan ringan atau berat sampai mengancam
nyawa.9

Kriteria untuk dikatakan SLE ringan adalah :

• Secara klinis tenang


• Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa
• Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung, gastrointestinal, susunan
saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit.
Contoh SLE dengan manifestasi arthritis dan kulit.

Penyakit SLE dengan tingkat keparahan sedang manakala ditemukan:

• Nefritis ringan sampai sedang ( Lupus nefritis kelas I dan II)


• Trombositopenia (trombosit 20-50x103/mm3)
• Serositis mayor
Penyakit SLE berat atau mengancam nyawa apabila ditemukan keadaan
sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu :

• Jantung: endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri koronaria, miokarditis,


tamponade jantung, hipertensi maligna.
• Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli paru, infark
paru, ibrosis interstisial, shrinking lung.
• Gastrointestinal: pankreatitis, vaskulitis mesenterika.
• Ginjal: nefritis proliferatif dan atau membranous.
• Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister).
• Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati transversa,
mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindroma demielinasi.
• Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit <1.000/mm3), trombositopenia <
20.000/mm3, purpura trombotik trombositopenia, trombosis vena atau arteri.

2.10 PENATALAKSANAAN8,9
I. Edukasi / Konseling

Pada dasarnya pasien SLE memerlukan informasi yang benar dan dukungan dari
sekitarnya dengan maksud agar dapat hidup mandiri. Perlu dijelaskan akan perjalanan

20
penyakit dan kompleksitasnya. Pasien memerlukan pengetahuan akan masalah aktivitas
fisik, mengurangi atau mencegah kekambuhan antara lain melindungi kulit dari paparan
sinar matahari (ultra violet) dengan memakai tabir surya, payung atau topi; melakukan
latihan secara teratur. Pasien harus memperhatikan bila mengalami infeksi. Perlu
pengaturan diet agar tidak kelebihan berat badan, osteoporosis atau terjadi dislipidemia.
Diperlukan informasi akan pengawasan berbagai fungsi organ, baik berkaitan dengan
aktivitas penyakit ataupun akibat pemakaian obat-obatan. Butir-butir edukasi pada
pasien SLE adalah :8

• Penjelasan tentang apa itu lupus dan penyebabnya.


• Tipe dari penyakit SLE dan perangai dari masing-masing tipe tersebut.
• Masalah yang terkait dengan fisik: kegunaan latihan terutama yang terkait dengan
pemakaian steroid seperti osteoporosis, istirahat, pemakaian alat bantu maupun diet,
mengatasi infeksi secepatnya maupun pemakaian kontrasepsi.
• Pengenalan masalah aspek psikologis: bagaimana pemahaman diri pasien SLE,
mengatasi rasa lelah, stres emosional, trauma psikis, masalah terkait dengan keluarga
atau tempat kerja dan pekerjaan itu sendiri, mengatasi rasa nyeri.
• Pemakaian obat mencakup jenis, dosis, lama pemberian dan sebagainya. Perlu
tidaknya suplementasi mineral dan vitamin. Obat-obatan yang dipakai jangka panjang
contohnya obat tuberkulosis dan beberapa jenis lainnya termasuk antibiotik.
• Dimana pasien dapat memperoleh informasi tentang SLE, adakah kelompok
pendukung, yayasan yang bergerak dalam pemasyarakatan SLE dan sebagainya.

II. Program Rehabilitasi

Terdapat berbagai modalitas yang dapat diberikan pada pasien dengan SLE
tergantung maksud dan tujuan dari program ini. Salah satu hal penting adalah
pemahaman akan turunnya masa otot hingga 30% apabila pasien dengan SLE dibiarkan
dalam kondisi immobilitas selama lebih dari 2 minggu. Disampingitu penurunan
kekuatan otot akan terjadi sekitar 1-5% per hari dalam kondisi imobilitas. Berbagai
latihan diperlukan untuk mempertahankan kestabilan sendi. Modalitas latihan fisik
seperti pemberian panas atau dingin diperlukan untuk mengurangi rasa nyeri,
menghilangkan kekakuan atau spasme otot. Demikian pula modalitaslainnya seperti

21
transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) memberikan manfaat yang cukup
besar pada pasien dengan nyeri atau kekakuan otot.8

Secara garis besar, maka tujuan, indikasi dan tekhnis pelaksanaan program
rehabilitasi yang melibatkan beberapa maksud di bawah ini, yaitu:

a. Istirahat

b. Terapi fisik

c. Terapi dengan modalitas

d. Ortotik

III. Terapi Medikamentosa

Berikut ini adalah jenis, dosis obat yang dipakai pada SLE serta pemantauannya,
selanjutnya dapat dilihat pada tabel. 1

22
23
Kortikosteroid

Kortikosteroid (KS) digunakan sebagai pengobatan utama pada pasien dengan SLE.
Meski dihubungkan dengan munculnya banyak laporan efek samping, KS tetap merupakan
obat yang banyak dipakai sebagai antiinflamasi dan imunosupresi. Dosis KS yang
digunakan juga bervariasi. Untuk meminimalkan masalah interpretasi dari pembagian ini
maka dilakukanlah standarisasi berdasarkan patofisiologi dan farmakokinetiknya. Steroid
yang paling banyak dipakai atau merupakan lini pertama pengobatan SLE,dapat diberikan
dengan berbagai dosis sesuai dengan keperluan dan kondisi pasien tersebut. Hal ini tidak
hanya berdampak pada efektivitasnya, namun juga berkaitan dengan efek samping
kumulatif. Terminologi berdasarkan dosis pemberian:8,9

 Dosis rendah : < 7.5 mg prednison atau setara perhari


 Dosis sedang : >7.5 mg, tetapi < 30 mg prednison atau setara perhari
 Dosis tinggi : >30 mg, tetapi < 100 mg prednison atau setara perhari
 Dosis sangat tinggi : >100 mg prednison atau setara perhari

24
 Terapi pulse : >250 mg prednison atau setara perhari untuk 1 hari atau beberapa
hari

Indikasi Pemberian Kortikosteroid

Pembagian dosis KS membantu kita dalam menatalaksana kasus rematik. Dosis rendah
sampai sedang digunakan pada SLE yang relatif tenang. Dosis sedang sampai tinggi
berguna untuk SLE yang aktif. Dosis sangat tinggi dan terapi pulse diberikan untuk krisis
akut yang berat seperti pada vaskulitis luas, nephritis lupus, lupus cerebral. 8,9

Terapi Berdasarkan Ringan Beratnya Akitivitas8,9

• Pengobatan SLE Ringan


 Penghilang nyeri seperti paracetamol 3 x 500 mg, bila diperlukan.
 Obat antinflamasi non steroidal (OAINS), sesuai panduan diagnosis dan
pengelolaan nyeri dan inflamasi.
 Glukokortikoid topikal untuk mengatasi ruam (gunakan preparat dengan potensi
ringan)
 Klorokuin basa 3,5-4,0 mg/kg BB/hari (150-300 mg/hari) (1 tablet klorokuin 250
mg mengandung 150 mg klorokuin basa) catatan periksa mata pada saat awal akan
pemberian dan dilanjutkan setiap 3 bulan, sementara hidroksiklorokuin dosis 5-
6,5 mg/kg BB/ hari (200-400 mg/hari) dan periksa mata setiap 6-12 bulan.
 Kortikosteroid dosis rendah seperti prednison < 10 mg / hari atau yang setara.
 Tabir surya: Gunakan tabir surya topikal dengan sun protection factor sekurang-
kurangnya 15 (SPF 15)
• Pengobatan SLE Sedang
Pilar penatalaksanaan SLE sedang sama seperti pada SLE ringan kecuali pada
pengobatan. Pada SLE sedang diperlukan beberapa rejimen obat-obatan tertentu serta
mengikuti protokol pengobatan yang telah ada. Misal pada serosistis yang refrakter: 20
mg / hari prednison atau yang setara. Lihat algoritme terapi SLE.

• Pengobatan SLE Berat atau Mengancam Nyawa

25
Pilar pengobatan sama seperti pada SLE ringan kecuali pada penggunaan obat-
obatannya. Pada SLE berat atau yang mengancam nyawa diperlukan obat obatan
sebagaimana tercantum di bawah ini.

Keterangan :
TR : tidak respon
RS : respon sebagian,
RP : respon penuh
OAINS : obat anti inflamasi non steroid,
CYC : siklofosfamid,
NPSLE : neuropsikiatri SLE.
KS : kortikosteroid setara prednison
AZA : azatioprin
MP : metilprednisolon

26
2.11 Komplikasi
Komplikasi neurologis bermanifestasi sebagai perifer dan central berupa psikosis,
epilepsi, sindroma otak organik, periferal dan cranial neuropati, transverse myelitis,
stroke. Depresi dan psikosis dapat juga akibat induksi dari obat kortikosteroid. Perbedaan
antara keduanya dapat diketahui dengan menurunkan atau menaikkan dosis steroid.
Psikosis lupus membaik bila dosis steroid dinaikkan, dan pada psikosis steroid membaik
bila dosisnya diturunkan.

Komplikasi renal berupa glomerulonefritis dan gagal ginjal kronik. Manifestasi


yang paling sering berupa proteinuria. Histopatologi lesi renal bervariasi mulai
glomerulonefritis fokal sampai glomerulonfritis membranoploriferatif difus.
Keterlibatan renal pada SLE mungkin ringan dan asimtomatik sampai progresif dan
mematikan. Karena kasus yang ringan semakin sering dideteksi, insidens yang bermakna
semakin menurun. Ada 2 macam kelainan patologis pada renal berupa nefritis lupus difus
dan nefritis lupus membranosa. Nefritis lupus difus merupakan manifestasi terberat.
Klinis berupa sebagai sindroma nefrotik, hipertensi, gagal ginjal kronik.1

2.12 Prognosis
Beberapa tahun terakhir ini prognosis penderita lupus semakin membaik,
banyak penderita yang menunjukkan penyakit yang ringan. Wanita penderita lupus
yang hamil dapat bertahan dengan aman sampai melahirkan bayi yang normal, tidak
ditemukan penyakit ginjal ataupun jantung yang berat dan penyakitnya dapat
dikendalikan.

Angka harapan hidup 10 tahun meningkat sampai 85%. Prognosis yang paling
buruk ditemukan pada penderita yang mengalami kelainan otak, paru-paru, jantung dan
ginjal yang berat.1

27
BAB III
KESIMPULAN

Sistemik Lupus Erimatosus (SLE) merupakan penyakit autoimun yang ditandai dengan
autoantibodi maupun kompleks imun terhadap komponen-komponen inti sel sehingga terjadi
kerusakan organ dan sel. SLE terutama menyerang wanita dengan perbandingan terhadap pria
9:1. Pada wanita, biasanya terjadi saat usia produktif dengan puncak insiden 15-40 tahun.
Meski demikian, baik pria maupun wanita, segala usia, dan semua etnis beresiko terhadap
penyakit ini1.

SLE biasa menyerang kulit, sendi, darah, dan sistem saraf. Manifestasi klinik penyakit
ini sangat beragam dan biasa muncul secara tidak bersamaan. Akibatnya, jarang terdiagnosa di
awal perjalanan penyakit.

Untuk menurunkan potensi kelainan kardiovaskular, hipertensi, dam kolesterol yang


tinggi harus dicegah dan diterapi secara agresif. Steroid seharusnya digunakan dengan dosis
terendah pada periode yang singkat. Kreatinin serum yang tinggi, hipertensi, sindrom nefrotik,
anemia, dan hipoalbuminemia merupakan faktor prognosis yang buruk.

Penyebab kematian pada penderita biasanya disebabkan karena kerusakan ginjal yang
parah, bronkopneumonia, atau peritonitis spontan yang merupakan komplikasi dari lupus
nephritis yang dapat diterapi dengan kortikosteroid. Selain itu, dapat terjadi juga karena
vaskulitis pada sistem saraf pusat yang muncul dengan kejang, psikosis, dan paralisis pada
penderita.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Isbagio, H., Kasjmir, YI., Setyohadi, dan B., Suarjana, N. 2009. Buku Ajar Penyakit

Dalam. Jilid III. Edisi : V. Jakarta. Pusat Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam

FK UI.

2. Carter, MA. 2006. Patofisiologi. Volume 2. Jilid 6. Jakarta : EGC.

3. Kendall,K, 2013. Muskulusekeletal. Tangerang Selatan: Karisma Publishing

Group.

4. Bertsias G, Cervera R, Boumpas D. 2012. Systemic lupus erythematosus:

pathogenesis and clinical features.

5. George C, Thokos. 2011. Mechanisms of Disease Systemic Lupus Erythematosus.

The New England Journal of Medicine; 365:2110-21

6. Kumar V, Cotran R, Robbins S. 2007. Lupus eritematosus sistemik Buku ajar

patologi Robbins. Edisi 7. Jakarta: EGC.

7. D’Cruz D, Espinoza G, Cervera R. 2010. Systemic lupus erythematosus:

pathogenesis, clinical manifestations, and diagnosis.

8. Kasjmir Y, Handono K, Wijaya LK, Hamijoyo L, Albar Z, Kalim H, et al.

Rekomendasi perhimpunan reumatologi Indonesia untuk diagnosis dan

pengelolaan lupus eritematosus sistemik. Perhimpunan Reumatologi Indonesia;

2011.

9. American College of Rheumatology. The 1982 Revised Criteria for Classification

of Systemic Lupus Erythrmatosus. [Online]. 1997.[cited 2015 January 25].

Available from :

http://www.rheumatology.org/practice/clinical/classification/SLE/sle.asp

29

Anda mungkin juga menyukai