Anda di halaman 1dari 71

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK

DENGAN SLE

Nama – nama kelompok B17 :

1. Lilis Tri Indahwati (202308009P)


2. Dyah Ayu Ratnaningrum (2023080015P)
3. Bachrul Ulum (2023080018P)
4. Esti Anggraeni (2023080033P)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KESEHATAN

UNIVERSITAS GRESIK

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan tentang Asuhan Keperawatan Pada Anak
dengan SLE. Tulisan ini dibuat untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan khususnya
pemberian asuhan keperawatan kepada anak.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang
telah membantu sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ini. Tulisan ini diharapkan
dapat bermanfaat dalam pemberian asuhan keperawatan pada anak serta dapat digunakan
sebagai acuan dalam memberikan perawatan.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini jauh dari sempurna. Penulis mengharapkan
masukan dan saran untuk kesempurnaan makalah ini.

Gresik, 29 September 2023


Penulis

2
DAFTAR ISI

A. Konsep Dasar Penyakit


1. Definisi....................................................................................................................4
2. Epidemiologi…......................................................................................................4
3. Etiologi....................................................................................................................5
4. Pathogenesis..........................................................................................................5
5. Klasifikasi..............................................................................................................7
6. Gejala klinis...........................................................................................................9
7. Pemeriksaan fisik................................................................................................10
8. Pemeriksaan diagnostic......................................................................................10
9. Criteria diagnosis................................................................................................11
10. Penatalaksaan medis...........................................................................................14
11. Penatalaksanaan keperawatan..........................................................................16
B. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian keperawatan....................................................................................19
2. Masalah keperawatan........................................................................................19
3. Rencana asuhan keperawatan.........................................................................20

3
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN
SISTEMIK LUPUS ERYTHEMSTOSUS (SLE)

A. Konsep Dasar Penyakit


1. Definisi
Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah radang kronis yang disebabkan oleh
penyakit autoimun (kekebalan tubuh) di mana sistem pertahanan tubuh yang tidak
normal melawan jaringan tubuh sendiri. Antara jaringan tubuh dan organ yang dapat
terkena adalah seperti kulit, jantung, paru-paru, ginjal, sendi, dan sistem saraf.
Lupus eritematosus sistemik (SLE) merupakan suatu penyakit atuoimun yang
kronik dan menyerang berbagai system dalam tubuh. ( Silvia & Lorraine, 2006 )
Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah penyakit radang yang menyerang
banyak sistem dalam tubuh, dengan perjalanan penyakit bisa akut atau kronis, dan
disertai adanya antibodi yang menyerang tubuhnya sendiri
Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah suatu penyakit autoimun multisystem
dengan manifestasi dan sifat yang sangat berubah – ubah, penuakit ini terutama
menyerang kulitr, ginjal, membrane serosa, sendi, dan jantung.(Robins, 2007)
2. Epidemiologi
Penyakit lupus atau systemic lupus erythematosus (SLE) prevalensinya dalam
populasi tertentu kira – kira satu kasus per 2500 orang, penyakit ini cenderung terjadi
pada perempuan (kira – kira 9:1), yang menyerang satu diantara 700 perempuan usia
subur. systemic lupus erythematosus (SLE) lebih sering ditemukan pada ras tertentu
seperti ras kulit hitam, Cina, dan Filipina. Penyakit ini terutama diderita oleh wanita
muda dengan puncak kejadian pada usia 15-40 tahun (selama masa reproduktif)
dengan perbandingan wanita dan laki-laki 5:1)
Di Indonesia, data unutk kasus SLE masih belum ada yang mencakup semua
wilayah Indonesia. Data tahun 2002, berdasarkan data pasien yang datang ke
poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam di RSUP Cipto Mangunkosumo Jakarta,
terdapat 1,4% kasusu dari total seluruh kunjungan pasien. Sedangkan unutuk RS
Hasan Sadikin Bandung, terdapat 10,5% (291pasien) dari total pasien yang
berkunjung ke poliklinik reumatologi pada tahun 2010.

4
3. Penyebab/factor predisposisi
- Factor genetic
- Factor Humoral
- Factor lingkungan
- Kontak dengan sinar matahari
- Infeksi virus/bakteri
- Obat golongan sulva
- Penghentian lehamilan
- Trauma psikis

4. Patogenesis
Lupus ditandai oleh peradangan kronis atau berulang mempengaruhi satu atau lebih
jaringan dalam hubungan dengan beberapa autoantibodi. Beberapa, seperti anti - sel
merah dan antibodi antiplatelet, jelas patogen, sedangkan yang lain mungkin hanya
penanda kerusakan toleransi. Etiologi tetap misteri, tetapi seperti dalam banyak
penyakit kronis, tampaknya mungkin bahwa penyakit ini dipicu oleh agen lingkungan
dalam kecenderungan tiap individu (Malleson, Pete; Tekano, Jenny. 2007).
Faktor Endogen
Banyak autoantibodi (terutama ANAs) diarahkan terhadap antigen intraseluler biasanya
'tak terlihat' untuk sistem kekebalan tubuh. Hal ini menunjukkan autoimunitas yang
berkembang, setidaknya dalam beberapa kasus, sebagai konsekuensi dari kematian sel
yang tidak normal atau disregulasi termasuk kematian sel terprogram (apoptosis).
Dalam mendukung Konsep ini telah menjadi pengakuan bahwa model hewan lupus di
MLR / lpr mencit karena mutasi genetik FAS. Aktivasi FAS menyebabkan apoptosis,
kelainan FAS mencegah apoptosis yang normal menyebabkan proliferasi limfositik
tidak terkendali dan produksi autoantibodi. Sebuah homolog manusia model hewan
adalah sindrom limfoproliferatif autoimun (ALPS), karena mutasi dari FAS, anak-anak
mengembangkan limfadenopati besar dan splenomegali dengan produksi
autoantibody(Malleson, Pete; Tekano, Jenny. 2007).
Faktor Eksogen
Bahkan sedikit yang diketahui tentang pemicu yang bertanggung jawab untuk sebagian
besar bentuk lupus. Obat seperti antikonvulsan dan antibiotik (khususnya minocycline)
dapat menyebabkan lupus. Sinar matahari dapat memicu kedua manifestasi kulit dan
sistemik lupus (dan neonatal lupus). Menelan jumlah yang sangat besar kecambah

5
alfalfa juga dapat menyebabkan lupus, pemicu aktif muncul menjadi L-canvanine.
Peran, jika ada, dari virus dan bakteri dalam memicu lupus tetap jelas meskipun perlu
penelitian yang cukup besar. Tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa infeksi tertentu
adalah penting dalam menyebabkan lupus. Menariknya, ada peningkatan penyakit
rematik pada orang dengan infeksi HIV, dan penyakit autoimun termasuk lupus
tampaknya menjadi lebih umum ketika ada restorasi kompetensi kekebalan dengan
penggunaan obat anti retro virus yang sangat aktif (Malleson, Pete; Tekano, Jenny.
2007).

(King, Jennifer K; Hahn, Bevra H. 2007)

6
5. Klasifikasi
Ada tiga jenis type lupus :
a. Cutaneous Lupus
Tipe ini juga dikenal sebagai Discoid Lupus Tipe lupus ini hanya terbatas pada
kulit dan ditampilkan dalam bentuk ruam yang muncul pada muka, leher, atau
kulit kepala. Ruam ini dapat menjadi lebih jelas terlihat pada daerah kulit yang
terkena sinar ultraviolet (seperti sinar matahari, sinar fluorescent). Meski terdapat
beberapa macam tipe ruam pada lupus, tetapi yang umum terdapat adalah ruam
yang timbul, bersisik dan merah, tetapi tidak gatal.
b. Discoid Lupus
Tipe lupus ini dapatmenyebabkan inflamasi pada beberapa macam organ. Untuk
beberapa orang mungkin saja hal ini hanya terbatas pada gangguan kulit dan
sendi. Tetapi pada orang yang lain, sendi, paru-paru, ginjal, darah ataupun organ
dan/atau jaringan lain yang mungkin terkena. SLE pada sebagian orang dapat
memasuki masa dimana gejalanya tidak muncul (remisi) dan pada saat yang lain
penyakit ini dapat menjadi aktif (flare).
c. Drug-induced lupus
Tipe lupus ini sangat jarang menyerang ginjal atau sistem syaraf. Obat yang
umumnya dapat menyebabkan druginduced lupus adalah jenis hidralazin (untuk
penanganan tekanan darah tinggi) dan pro-kainamid (untuk penanganan detak
jantung yang tidak teratur/tidak normal). Tidak semua orang yang memakan obat
ini akan terkena drug-induced lupus. Hanya 4 persen dari orang yang
mengkonsumsi obat itu yang bakal membentuk antibodi penyebab lupus. Dari 4
persen itu, sedikit sekali yang kemudian menderita lupus. Bila pengobatan
dihentikan, maka gejala lupus ini biasanya akan hilang dengan sendirinya
Dari ketiganya, Discoid Lupus paling sering menyerang. Namun, Systemic Lupus
selalu lebih berat dibandingkan dengan Discoid Lupus, dan dapat menyerang organ
atau sistem tubuh. Pada beberapa orang, cuma kulit dan persendian yang diserang.
Meski begitu, pada orang lain bisa merusak persendian, paru-paru, ginjal, darah,
organ atau jaringan lain.
Terdapat perbedaan antara klasifikasi dan diagnosis SLE. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan kombinasi gambaran klinis dan temuan laboratorium dan mungkin tidak
memenuhi kriteria klasifikasi American College of Rheumatology (ACR) (Tabel 1),
yang didefinisikan dan divalidasi untuk keperluan uji klinis. Penggunaan tabel ini

7
ketat daripada yang dibutuhkan untuk mendiagnosa lupus. Hal ini penting karena
kadang-kadang pengobatan akan tidak tepat akan tertunda menunggu kriteria
klasifikasi yang harus dipenuhi (Malleson, Pete; Tekano, Jenny. 2007).
Diagnosa medis definitif didasarkan pada adanya empat atau lebih gejala tersebut.
Laboratorium tes ini termasuk jumlah sel darah lengkap dengan diferensial, Panel
kimia metabolisme, urinalisis, antinuclear antibodi, anti-DNA antibodi, komplemen 3
(C3), komplemen 4 (C4), imunoglobulin kuantitatif, plasma reagen cepat (RPR),
lupus anticoagulant, dan antiphospholipid antibodi (Lehman, 2002 dalam (Ward,
Susan L and Hisley, Shelton M. 2009).

8
6. Gejala klinis
Gejala klinis yang mungkin muncul pada pasein SLE yaitu:
a. Wanita muda dengan keterlibatan dua organ atau lebih.
b. Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan penurunan berat
badan
c. Muskuloskeletal: artritis, artralgia, myositis
d. Kulit: ruam kupu-kupu (butter• ly atau malar rash), fotosensitivitas, lesi
membrane mukosa, alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria, vaskulitis.
e. Ginjal: hematuria, proteinuria, silinderuria, sindroma nefrotik
f. Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen
g. Paru-paru: pleurisy, hipertensi pulmonal,lesi parenkhim paru.
h. Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis
i. Retikulo-endotel: organomegali (limfadenopati, splenomegali, hepatomegali)
j. Hematologi: anemia, leukopenia, dan trombositopenia
k. Neuropsikiatri: psikosis, kejang, sindroma otak organik, mielitis transversus,
gangguan kognitif neuropati kranial dan perifer.
Kecurigaan terhadap adanya SLE jika terdapat dua atau lebih tanda gejala diatas.

9
7. Pemeriksaan Fisik
 Inspeksi : inspeksi kulit dilakukan untuk menemukan ruam eritematous. Plak
eritematous pada kulit dengan skuama yang melekat dapat terlihat pada kulit
kepala, muka atau leher. Inspeksi kulit kepala dilakukan untuk menemukan gejala
alopesia, dan inspeksi mulut serta tenggorok untuk ulserasi yang mencerminkan
gangguan gastrointestinal. Selain itu juga untuk melihat pembengkakan sendi.
 Auskultasi : dilakukan pada kardiovaskuler untuk mendengar friction rub
perikardium yang dapat menyertai miokarditis dan efusi pleura. Efusi pleura serta
infiltrasi mencerminkan insufisiensi respiratorius dan diperlihatkan oleh suara paru
yang abnormal.
 Palpasi : dilakukan palpasi untuk mengetahui adanya nyeri tekan, dan sendi yang
terasa hangat.

8. Pemeriksaan Diagnostik
 Pemeriksaan lab :
a. Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah bisa menunjukkan adanya antibodi antinuklear, yang terdapat
pada hampir semua penderita lupus. Tetapi antibodi ini juga bisa ditemukan pada
penyakit lain. Karena itu jika menemukan antibodi antinuklear, harus dilakukan
juga pemeriksaan untuk antibodi terhadap DNA rantai ganda. Kadar yang tinggi
dari kedua antibodi ini hampir spesifik untuk lupus, tapi tidak semua penderita
lupus memiliki antibodi ini. Pemeriksaan darah untuk mengukur kadar komplemen
(protein yang berperan dalam sistem kekebalan) dan untuk menemukan antibodi
lainnya, mungkin perlu dilakukan untuk memperkirakan aktivitas dan lamanya
penyakit.

10
b. Analisa air kemih menunjukkan adanya darah atau protein.
 Radiology :
- Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau perikarditis.

8. Diagnosis/kriteria diagnosis
Berdasarkan kriteria American College of Rheumatology (ACR) 1982, diagnosis SLE
dapat ditegakkan secara pasti jika dijumpai empat kriteria atau lebih dari 11 kriteria,
yaitu:
Kriteria Batasan
Ruam malar Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah
malar dan cenderung tidak melibatkan lipat nasilabial
Ruam discoid Plak eritema menonjol dengan kerato• k dan sumbatan
folikular. Pada SLE lanjut dapat ditemukan parut atrofik
Fotosensitivitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap
sinar matahari, baik dari anamnesis pasien atau yang
dilihat oleh dokter pemeriksa
Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnta tidak terasa nyeri
dan dapat terlihat oleh pemeriksa
Artritis Atritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi
perifer, ditandai oleh nyeri tekan, bengkak atau efusia
Serosis
- Pleuritis a. riwayat penyakit pleuritik berdasarkan anamnesa atau
- perikarditis terdapat efusi pleura
b. dapat dilihat pada rekaman EKG atau pericardial
friction rub atau terdapat efusi pleura
Gangguan renal a. Proteinuria menetap >0,5 gram/hari atau >3+ bila tidak
dilakukan pemeriksaan kuantitatif
b. Silinder seluler: dapat berupa silinder eritrosit,
hemoglobin, granular, tubular, atau campuran
Gangguan neurologi a. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau
gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis,
atau ketidakseimbangan elektrolit)
b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau

11
gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis,
atau ketidakseimbangan elektrolit)
Gangguan hematologik a. Anemia hemolitik dengan retikulus
b. Lekopenia <4000/mm3 pada dua kali pemeriksaan
atau lebih, atau
c. Limfopenia <1500/mm3 pada dua kali pemeriksaan
atau lebih, atau
d. Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa disebabkan
obat-obatan
Gangguan imunologik a. Anti-DNA: antibodi terhadap native DNA dengan titer
yang abnormal, atau
b. Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen
nukluear Sm, atau
c. Temuan positif terhadap antibodi antifosfolipid yang
didasarkan atas:
- Kadar serum antibodi antikordiolipin abnormal baik
IgG atau IgM
- Tes lupus antikoagulan positif menggunakan
metode standar, atau
- Hasil tes serologi positif palsu terhadap sifilis
sekurang-kurangnya selama 6 bulan dan
dikonfirmasi dengan test imobilisasi Treponema
pallidum atau tes fluoresensi absropsi antibodi
treponema
Antibodi antinuklear Titer abnormal dari antibodi antinuklear berdasarkan
positif (ANA) pemeriksaan imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat
pada kurun waktu perjalanan penyakit tanpa keterlibatan
obat yang diketahui berhubungan dnegan sindrom lupus
yang diinduksi obat

9. Therapy/tindakan penanganan
Pilar pengobatan yang untuk penderita SLE sebaiknya dilakukan secara
berkesinambungan. Pilar pengobatan yang bisa dilakukan:

12
a. Edukasi dan konseling
Pasien dan keluarga penderita SLE memerlukan informasi yang benar dan
dukungan dari seluruh keluarga dan lingkungannya. Pasien memerlukan informasi
tentang aktivitas fisik, mengurangi atau mencegah kekambuhan misalnya dengan
cara melindungi kulit dari sinar matahari dengan menggunakan tabir surya atau
pakaian yang melindungi kulit, serta melakukan latihan secara teratur. Pasien juga
memerlukan informasi tentang pengaturan diet agar tidak mengalami kelebihan
berat badan, osteoporosis, atau dislipidemia. Informasi yang bisa diperlukan
kepada pasein adalah:
- Penjelasan tentang penyakit lupus dan penyebabnya
- Tipe dari penyakit SLE dan karakteristik dari tipe-tipe penyalit SLE
- Masalah terkait dengan fisik, kegunaan istirahta latihan terutama yang terkait
dengan pengobatan steroid seperti osteoporosis, kebutuhan istirahat,
pemakaian alat bantu, pengaturan diet, serta cara mengatasi infeksi
- Masalah psikologis yaitucara pemahaman diri pasien SLE, mengatasi rasa
leleah, stres, emosional, trauma psikis, masalah terkait dengan hubungan
dengan keluarga, serta cara mengatasi nyeri.
- Pemakaian obat mencakup jenis obat, dosis, lama pemberian, dan yang
lainnya. Kebutuahn pemberian vitamin dan mineral.
- Kelompok pendukung bagi penderita SLE
Edukasi juga perlu diberikan untuk mengurangi stigma psikologis akibat adanya
anggota keluarga yang menderita SLE
b. Program rehabilitasi
Pasien SLE memerlukan berbagai latihan untuk mempertahankan kestabilan sendi
karena jika pasien SLE diberikan dalam kondisi immobilitas selama lebih dari 2
minggu dapat mengakibatkan penurunan massa otot hingga 30%. Tujuan, indikasi,
dan teknis pelaksanaan program rehabilirasi melibatkan beberapa hal, yaitu:
- Istirahat
- Terapi fisik
- Terapi dengan modalitas
- Ortotik, dan yang lainnya.
c. Pengobatan medikamentosa
Jenis obat yang dapat digunakan pada pasein SLE adalah:
- OAINS

13
- Kortikosteroid
- Klorokuin
- Hidroksiklorokuin (saat ini belum tersedia di Indonesia)
- Azatioprin
- Siklofosfamid
- Metotreksat
- Siklosporin A
- Mikofenolat mofetil
Jenis obat yang paling umum digunakan adalah kortikosteroid yang dipakai
sebagai antiinflamasi dan imunosupresi. Namun, penggunaan kortikosteroid
menimbulkan efek samping. Cara mengurangi efek samping dari penggunaan
kortikosteroid adalah dengan mengurangi dosis obatnya segera setelah penyakit
terkontrol. Penurunan dosis harus dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari
aktivitas penyakit muncul kembali dan terjadinya defisiensi kortikol yang muncul
akibat penekanan aksis hipotalamus-pituitari-adrenal kronis. Penurunan dosis
yang dilakuakn secara bertahap akan memberikan pemulihan terhadap fungsi
adrenal. Penggunaan sparing agen kortikosteroid dapat diberikan untuk
memudahkan menurunkan dosis kaortokosteroid dan mengobtrol penyakit
dasarnya. Obat yang sering digunakan sebagai sparing agen kortokosteroid adalah
azatioprin, mikofenolat mofenil, siklofosfamid, danmetotrexate.

14
15
10. Penatalaksanaan Keperawatan
Manajemen Keperawatan
Asuhan keperawatan didasarkan pada pengelolaan rasa sakit dan peradangan,
mengatasi gejala, dan mencegah komplikasi. Pengobatan rasa sakit dan peradangan
pada SLE ringan umumnya dicapai dengan nonsteroidal obat anti inflamasi (NSAID).
Obat antimalaria juga digunakan dalam SLE ringan untuk mengontrol gejala radang
sendi, ruam kulit, sariawan, demam, dan kelelahan. Perawat perlu memberitahu orang
tua yang kadang-kadang memakan waktu lama sebelum terapi efek obat antimalaria
yang jelas.
Perawatan SLE membutuhkan penambahan kortikosteroid. Kortikosteroid diberikan
kepada anak ketika anak tidak merespon NSAID atau obat antimalaria. Kortikosteroid
sangat efektif dalam mengurangi peradangan dan gejala, meskipun mereka juga
memiliki efek samping yang serius dari imunosupresi. Selama periode eksaserbasi,
kortikosteroid dapat dimulai dalam dosis tinggi. Setelah gejala di bawah kontrol,
dosisnya adalah meruncing ke terendah tingkat terapeutik. Hal ini penting untuk
memberitahu orang tua bahwa steroid harus perlahan meruncing ketika saatnya untuk
menghentikan obat.
Jenis obat yang paling ampuh yang digunakan untuk mengobati SLE parah termasuk
agen imunosupresif. obat-obat ini digunakan ketika penyakitnya sudah mencapai
keadaan yang serius di mana tanda-tanda parah dan gejala yang hadir. Agen
Imunosupresif juga dapat ditentukan jika ada kebutuhan untuk menghindari
kortikosteroid. Keputusan untuk menggunakan immunosuppressives membutuhkan
pertimbangan serius karena efek samping signifikan, terutama yang berkaitan dengan
imunosupresi umum. Contoh agen imunosupresif digunakan dalam pengobatan SLE
termasuk azathioprine (Imuran), siklofosfamid (Cytoxan), dan methotrexate
(Rheumatrex). Setiap obat memiliki risiko yang unik dan serius seperti depresi
sumsum tulang dan hepatotoksisitas. Perawat harus memperkuat informasi tentang
aksi obat sebagai serta efek samping dengan orangtua sebelum pemberian obat ini
Selain obat-obatan , asuhan keperawatan juga berfokus pada perawatan paliatif dan
memberikan dukungan psikososial . Sekarang penting bahwa mempertahankan gizi
anak yang baik , istirahat dan berolahraga , menghindari matahari , dan mendorong
ekspresi perasaan tentang kondisi tersebut. Meskipun tidak ada yang spesifik, Diet
untuk SLE adalah diet rendah garam.

16
Istirahat dan latihan termasuk periode di mana anak aktif selama remisi dan
beristirahat selama eksaserbasi . Penghindaran dari paparan sinar matahari ditekankan
karena fotosensitif ruam yang terjadi dengan SLE . Penggunaan tabir surya kegiatan
di luar ruangan yang penting , dan perencanaan di bawah naungan atau tinggal di
dalam rumah mungkin diperlukan . Karena kondisi ini mungkin terjadi kesulitan bagi
anak dan keluarga untuk mengatasi dan mengerti, mendorong ekspresi perasaan atau
bergabung dengan kelompok pendukung didorong . orangtua harus memberitahu
guru, pelatih , dan orang lain tentang anak mereka kondisi sehingga mereka dapat
membantu memantau anak dan memperoleh pengobatan yang diperlukan jika
diperlukan . Merupakan perawat tanggung jawab untuk membantu anak dan keluarga
mengidentifikasi kemungkinan pemicu , seperti sinar matahari dan stres emosional,
dan membantu keluarga untuk menemukan cara untuk menghindarinya. (Ward, Susan
L and Hisley, Shelton M. 2009)
Paparan sinar Matahari
Paparan sinar ultraviolet (UV) dapat menyebabkan eksaserbasi ruam lupus dan juga
gejala-gejala sistemik seperti nyeri sendi dan kelelahan. Ada laporan bahwa pasien
yang secara teratur menggunakan tabir surya (SPF 15 atau lebih) telah secara
signifikan lebih rendah keterlibatan ginjal, trombositopenia dan rawat inap, dan
membutuhkan treatment siklofosfamid yang menurun. Semua anak dengan SLE harus
disarankan untuk memakai tabir surya setiap hari untuk semua kulit yang terbuka
(termasuk telinga), tidak hanya pada hari-hari cerah karena awan tidak
menghilangkan paparan sinar UV (Malleson, Pete; Tekano, Jenny. 2007).
Diit dan Latihan
Tidak ada persyaratan khusus diet tetapi karena kortikosteroid- diinduksi berat badan,
makanan tinggi kalori dan garam harus dihindari. Latihan harus didorong. Cukup
banyak anak berpartisipasi di sekolah penuh waktu, kecuali selama periode penyakit
aktif berat. Kegagalan untuk menghadiri sekolah harus diwaspadai tim kesehatan
untuk kemungkinan masalah psikososial. Komunikasi dengan guru sekolah
diserahkan kepada kebijaksanaan keluarga, dengan keterlibatan tim klinis jika diminta
(Malleson, Pete; Tekano, Jenny. 2007).
Fatique dan Tidur
Kelelahan adalah salah satu gejala yang paling umum. Hal ini biasanya akan membaik
sebagaimana perbaikan penyakit. Beberapa orang tua merasa sulit selama ini untuk
memungkinkan anak-anak mereka untuk berpartisipasi dalam kegiatan. Terapis

17
okupasi dan fisik dapat sangat membantu dalam membantu untuk mengembangkan
kegiatan yang lebih baik dan perilaku tidur. Beberapa pola tidur anak-anak bisa
berubah pada awal SLE. Hal ini biasanya berhubungan dengan kortikosteroid.
Beberapa anak menjadi hiperaktif dan murung, dan mengalami kesulitan tidur. Hal ini
dapat ditingkatkan dengan mengambil dosis kortikosteroid sore hari lebih awal.
Beberapa anak pada kortikosteroid dosis tinggi perlu buang air kecil beberapa kali di
malam hari dan bisa sulit untuk jatuh kembali untuk tidur. Keterkaitan dosis dan
kortikosteroid sekali memunculkan sedikit masalah (Malleson, Pete; Tekano, Jenny.
2007).
Dampak SLE untuk anak dan Keluarga
Ketika diagnosis ditegakkan, kemampuan sumber daya keluarga dan dukungan sangat
diperlukan. Pendidikan sering merupakan langkah pertama dalam membantu keluarga
merasa bahwa mereka memiliki kontrol. Hal ini penting untuk diingat untuk tidak
terlalu membebani keluarga pada beberapa kunjungan pertama setelah diagnosis.
Perawat dapat memainkan peran kunci dalam membantu mereka dengan belajar
tentang penyakit dengan sering telepon tindak lanjut dan kunjungan. Informasi tertulis
dan review dari penyakit dan efek samping pengobatan yang sering
diperlukan(Malleson, Pete; Tekano, Jenny. 2007).
Remaja sering memberikan tantangan yang unik karena mereka dapat menggunakan
penyangkalan sebagai mekanisme koping. Hal ini tidak selalu mekanisme buruk,
tetapi bisa membuat frustasi bagi anggota keluarga. Sbagian besar anak mampu
bersekolah penuh waktu. Banyak yang memilih untuk tidak memberitahu teman-
teman atau guru tentang penyakit mereka. Seringkali remaja akan melanjutkan semua
kegiatan mereka sebelumnya karena mereka tidak ingin berbeda dari yang
lain(Malleson, Pete; Tekano, Jenny. 2007).
Seringkali kronisitas SLE tidak sepenuhnya dipahami oleh keluarga atau anak hingga
memasuki tahun kedua atau ketiga setelah diagnosis. Saat ini, meskipun penyakit ini
mungkin terkontrol baik dengan obat dan hanya sedikit obat yang diperlukan,
dukungan dan pendidikan yang lebih lanjut diperlukan. Ketidakpastian SLE, di mana
seorang anak dapat berjalan dengan baik selama beberapa tahun dan kemudian
memiliki flare dari penyakit mereka, sangat menegangkan. Hal ini kembali
memperkuat kronisitas SLE dan keluarga mungkin memiliki waktu yang lebih sulit
menghadapi flare penyakit daripada di diagnosis asli. Sebuah hubungan saling

18
percaya dengan tim perawatan medis sangat penting dengan komunikasi terbuka dan
jujur dengan baik anak dan orang tua(Malleson, Pete; Tekano, Jenny. 2007).
Anak-anak dengan SLE dan keluarga mereka memerlukan tim kesehatan profesional
untuk membantu mereka melalui sampai dewasa. Sebagai anak-anak bertambah tua
adalah penting bahwa tim kesehatan mendorong keluarga untuk memberikan
peningkatan kontrol manajemen penyakit pada anak. Ini transisi dari manajemen
penyakit dari orang tua kepada anak dapat dibantu dengan memiliki transisi yang
klinik remaja spesifik dijalankan bersama oleh anak dewasa dan dokter.
Ketidakpastian lupus dengan flare dan remisi berarti bahwa pemantauan ketat akan
selalu dibutuhkan, tetapi banyak anak beradaptasi dengan tantangan ini dan tidak
membiarkan Penyakit mereka mengganggu berlebihan dengan kehidupan mereka. Hal
ini dapat sangat diperlukan penghargaan untuk mmembantu tumbuh menjadi orang-
orang dewasa yang sehat sukses (Malleson, Pete; Tekano, Jenny. 2007).

19
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian :
Data subyektif :
- Pasien mengeluh terdapat ruam-ruam merah pada wajah yang menyerupai
bentuk kupu-kupu.
- Pasien mengeluh rambut rontok.
- Pasien mengeluh lemas
- Pasien mengeluh bengkak dan nyeri pada sendi.
- Pasien mengeluh sendi merasa kaku pada pagi hari.
- Pasien mengeluh nyeri
Data obyektif :
- Terdapat ruam – ruam merah pada wajah yang menyerupai bentuk kupu-kupu.
- Nyeri tekan pada sendi.
- Rambut pasien terlihat rontok.
- Terdapat luka pada langit-langit mulut pasien.
- Pembengkakan pada sendi.
- Pemeriksaan darah menunjukkan adanya antibodi antinuclear.

2. Masalah Keperawatan
- Nyeri akut
- Fatigue
- Risiko infeksi
- Gangguan citra tubuh
- Risiko injuri
- Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

20
3. Rencana Asuhan Keperawatan
Diagnose NOC NIC
Nyeri akut Pain control Pain management
Factor yang berhubungan: Indicator Aktivitas
Agen injuri fisik - Mengenali onset nyeri - Melakukan pengkajian
- Menjelaskan nyeri termasuk lokasi,
factor penyebab karateristik, onset/durasi,
- Melaporkan perubahan nyeri frekuensi, kualitas atau
- Melaporkan gejala keparahan nyeri, dan
yang tidak terkontrol factor pencetus nyeri
- Menggunakan sumber - Observasi tanda nonverbal
daya yang tersedia untuk dari ketidaknyamanan,
mengurangi nyeri terutama pada pasien yang
- Mengenali gejala nyeri yang tidak bisa berkomunikasi
berhubungan dengan secara efektif
penyakit - Gunakan strategi
- Melaporkan nyeri terkontrol komunikasi terapeutik
untuk mengetahui
pengalama nyeri pasien
dan respon pasien
terhadap nyeri
- Kaji pengetahuan dan
kepercayaan pasien
tentang nyeri
- Tentukan dampak dari
nyeri terhadap kualitas
hidup (tidur, selera makan,
aktivitas, dll)
- Evaluasi keefektifan
manajemen nyeri yang
pernah diberikan
sebelumnya
- Control factor lingkungan

21
yang dapat mempengaruhi
ketidaknyamanan pasien
- Kolaborasi dengan pasien,
anggota keluarga, dan
tenaga kesehatan lain
untuk implementasi
manajemen nyeri
nonfarmakologi
- Dukung pasien untuk
menggunakan pengobatan
nyeri yang adekuat
Fatigue Fatigue level Energy Management
Karakteristik : Indicator Aktivitas:
Factor yang berhubungan : - Kelelahan - Kaji status fisik pasien
anemia - Kualitas tidur untuk kelelahan dengan
- Kualitas istirahat memperhatikan umur dan
- Hematocrit perkembangan
- Dorong pasien untuk
mengungkapkan perasaan
tentang keterbatasan
- Gunakan instrument yang
valid untuk mengukur
kelelahan
- Tentukan aktivitas yang
boleh dilakukan dan
seberapa berat aktivitasnya
- Monitor asupan nutrisi
untuk mendukung sumber
energy yang adekuat
- Konsultasi dengan ahli gizi
tentang peningkatan asupan
energy
- Bantu pasien untuk

22
beristirahat sesuai jadwal
- Dorong pasien untuk tidur
siang
- Bantu pasien melakukan
aktivitas fisik reguler
Risiko infeksi Infection severity Infection Control
Factor risiko : Indicator : Aktivitas:
Imunosupresi - Demam - Pertahankan teknik isolasi
- Nyeri jika diperlukan
- Limpadenopati - Batasi jumlah pengunjung
- Penurunan jumlah sel - Ajarkan kepada tenaga
darah putih kesehatan untuk
Risk control meningkatkan cuci tangan
- Ajarkan pasien dan
pengunjung untuk cuci
tangan
- Cuci tangan sebelum dan
sesudah melakukan
perawatan kepada pasien
- Lakukan perawatan aseptic
pada IV line
- Tingkatkan asupan nutrisi
yang adekuat
- Dorong pasien untuk
istirahat
- Ajarkan pada pasien dan
keluarga cara untuk
mencegah infeksi
Gangguan citra tubuh Body image Body image enhancement
Karakteristik: Indicator: Aktivitas:
- Perilaku menghindari - Gambaran internal diri - Tentukan harapan pasien
salah satu bagian tubuh - Keserasian anatara tentang citra tubuhnya
- Respon nonverbal realitas tubuh, ideal tubuh, berdasarkan tingkat
dan

23
24
terhadap perubahan pada penampilan tubuh perkembangan
tubuh - Kepuasan - Bantu pasien
terhadap mendiskusikan penyebab
penampilan tubuh penyakit dan penyebab
- Perilaku menggunakan terjadinya perubahan pada
strategi untuk meningkatkan tubuh
fungsi tubuh - Bantu pasien menetapkan
batasan perubahan actual
pada tubuhnya
- Gunakan anticipatori
guidance untuk
menyiapkan pasien untuk
perubahan yang dapat
diprediksi pada tubuhnya
- Bantu pasien menentukan
pengaruh dari kelompok
sebaya dalam
mempresentasikan citra
tubuh
- Bantu pasien
mendiskusikan perubahan
yang disebabkan karena
masa pubertas
- Identifikasi kelompok
dukungan unutk pasien
- Monitor frekuensi
pernyataan pasien tentang
kritik terhadap dirinya
- Gunakan latihan pengakuan
diri dengan kelompok
sebaya
Risiko Injuri Risk control Risk identification
Factor Risiko: Indicator: Aktivitas:

25
Disfungsi autoimun - Mencari informasi tentang - Review riwayat kesehatan
risiko pada kesehatannya pasien
- Identifikasi factor risiko - Review data yang berasal
- Mengakuir factor dari pengkajian risiko
risiko personal - Tentukan sumber daya
- Monitor factor yang tersedia seperti
risiko lingkungan tingkat pendidikan,
- Melakukan strategi psikologis, finansial, dan
untuk control risiko dukungan keluarga
- Identifikasi sumber-sumber
ynag dapat meningkatkan
risiko
- Identifikasi factor risiko
biologis, lingkungan, dan
perilaku serta hubungan
antara factor risiko
- Tentukan rencana untuk
mengurangi risiko
- Diskusikan dan rencanakan
aktivitas mengurangi risiko
dengan berkolaborasi
dengan pasein dan keluarga
- Implementasikan rencana
aktivitas mengurangi risiko
Ketidakseimbangan NOC:  Kaji adanya alergi makanan
nutrisi kurang dari a. Nutritional status: Adequacy  Kolaborasi dengan ahli gizi
kebutuhan tubuh of nutrient untuk menentukan jumlah
Berhubungan dengan : b. Nutritional Status : food kalori dan nutrisi yang
Ketidakmampuan untuk and Fluid Intake dibutuhkan pasien
memasukkan atau c. Weight Control  Yakinkan diet yang dimakan
mencerna nutrisi oleh Setelah dilakukan tindakan mengandung tinggi serat
karena faktor biologis, keperawatan selama….nutrisi untuk mencegah konstipasi
psikologis atau ekonomi. kurang teratasi dengan  Ajarkan pasien bagaimana

26
DS: indikator: membuat catatan makanan
- Nyeri abdomen  Albumin serum harian.
- Muntah  Pre albumin serum  Monitor adanya penurunan
- Kejang perut  Hematokrit BB dan gula darah
- Rasa penuh tiba-tiba  Hemoglobin  Monitor lingkungan selama
setelah makan  Total iron binding capacity makan
DO:  Jumlah limfosit  Jadwalkan pengobatan dan
- Diare tindakan tidak selama jam
- Rontok rambut yang makan
berlebih  Monitor turgor kulit
- Kurang nafsu makan  Monitor kekeringan, rambut
- Bising usus berlebih kusam, total protein, Hb dan
- Konjungtiva pucat kadar Ht
- Denyut nadi lemah  Monitor mual dan muntah
 Monitor pucat, kemerahan,
dan kekeringan jaringan
konjungtiva
 Monitor intake nuntrisi
 Informasikan pada klien dan
keluarga tentang manfaat
nutrisi
 Kolaborasi dengan dokter
tentang kebutuhan suplemen
makanan seperti NGT/ TPN
sehingga intake cairan yang
adekuat dapat
dipertahankan.
 Atur posisi semi fowler atau
fowler tinggi selama makan
 Kelola pemberan anti
emetik:.....
 Anjurkan banyak minum
 Pertahankan terapi IV line

27
 Catat adanya edema,
hiperemik, hipertonik papila
lidah dan cavitas oval

28
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek G.M., Howard B.K, Dochterman J.M. (2008). Nursing Interventions Classifivation
(NIC) fifth edition. St. Louis: Mosby Elseiver.

Burn, Catherine E, et all. (2004). Pediatric Primary Care : A Handbook for Nurse
Practitioner. USA : Saunders

Herdman, T. Heather. (2012). NANDA International Nursing Diagnoses: Definitions &


Classification 2012-2014. UK: Wiley‐Blacwell, A John Wiley & Sons Ltd

Kasjmir, Yoga dkk. (2011). Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia Untuk


Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik. Perhimpunan
Reumatologi Indonesia

King, Jennifer K; Hahn, Bevra H. (2007). Systemic lupus erythematosus: modern strategies
for management – a moving target. Best Practice & Research Clinical
Rheumatology Vol. 21, No. 6, pp. 971–987, 2007 doi:10.1016/j.berh.2007.09.002
available online at http://www.sciencedirect.com

Malleson, Pete; Tekano, Jenny. (2007). Diagnosis And Management Of Systemic Lupus
Erythematosus In Children. Paediatrics And Child Health 18:2. Published By
Elsevier Ltd. Symposium: Bone & Connective Tissue.

Moorhead, S., Johnson, M., Maas, ML., Swansosn, E. (2008). Nursing Outcomes
Classification (NOC) Fourth edition. St. Louis: Mosby Elseiver.

Sutarna, Agus, dkk. (2008). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Wong (Wong’s Essentials of
Pediatric Nursing). ED.6. Jakarta: EGC

Ward, Susan L and Hisley, Shelton M. (2009). Maternal-child nursing care: optimizing
outcomes for mothers, children, and Families. United States of America : F.A. Davis
Company

29
BAB I
A. Latar Belakang
PENDAHULUAN

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit hasil dari regulasi sistem
imun yang terganggu, yang menyebabkan autoantibodi diproduksi berlebihan, yang pada
kondisi normal di produksi dan digunakan untuk melindungi tubuh dari benda asing (virus,
bakteri, alergen, dan lain - lain) namun pada kondisi Systemic Lupus Erythematosus, antibodi
tersebut kehilangan kemampuan untuk membedakan antara benda asing dan jaringan tubuh
sendiri (Fatmawati, 2018). Systemic Lupus Erythematosus merupakan suatu penyakit yang
terjadi karena adanya penurunan sistem kekebalan tubuh dan menyerang seluruh organ tubuh
manusia mulai dari ujung kaki hingga ujung rambut. Keluhan yang disampaikan oleh pasien
dapat berupa kelelahan, penurunan berat badan, demam, manifestasi muskuloskeletal, kulit,
paru, jantung, ginjal, gastrointestinal, neuropsikiatri, dan hemilimfatik. Demam sebagai gejala
yang dapat merujuk adanya infeksi pada tubuh, suhu tubuh dapat lebih dari 400C (Alamanda,
2018).
World Health Organization (WHO) mencatat jumlah penderita Systemic Lupus
Erythematosus di dunia hingga saat ini mencapai lima juta orang, dan setiap tahunnnya
ditemukan lebih dari 100 ribu kasus baru. Menurut data Sistem Informasi Rumah Sakit
(SIRS) online, pada tahun 2016 terdapat 858 rumah sakit yang melaporkan datanya diketahui
terdapat 2.166 pasien rawat inap yang di diagnosis penyakit Systemic Lupus Erythematosus
dengan 550 (25%) pasien diantaranya meninggal dunia. Penyakit Systemic Lupus
Erythematosus pada pasien rawat inap rumah sakit meningkat sejak tahun 2014-2016. Jumlah
kasus tahun 2016 meningkat hampir dua kali lipat sejak tahun 2014, yaitu sebanyak 1.169
kasus. Sebagian penderita Systemic Lupus Erythematosus adalah perempuan dari kelompok
usia produktif (15-50 tahun), meski begitu penyakit ini juga dapat menyerang laki-laki, anak-
anak dan remaja. Pada tahun 2016, Perhimpunan Systemic Lupus Erythematosus Indonesia
(PESLI) mendapatkan rata-rata insiden Systemic Lupus Erythematosus dari data 8 rumah
sakit adalah sebesar 10,5% (Kemenkes RI, 2017).

30
2

Insidens Systemic Lupus Erythematosus pada anak secara umum


mengalami peningkatan, sekitar 15-17%. Penyakit ini jarang terjadi pada usia
di bawah 5 tahun, perempuan lebih sering terkena dibandingkan laki-laki.
Kasus ini paling sering didapatkan pada anak perempuan usia antara 9 sampai
15 tahun. Rasio perempuan dan laki-laki adalah 2:1 sebelum pubertas dan
setelah pubertas menjadi 9:1. Penyakit Systemic Lupus Erythematosus
mengalami peningkatan di Yogyakarta dengan rata-rata 5-6 pasien per tahun
dengan survival pada tahun kelima sebesar 65% (Evalina, 2012). Menurut
penelitian Sari (2021) bahwa Systemic Lupus Erythematosus dapat menyerang
siapa saja, tetapi 15% sampai 20% dari semua kasus melibatkan anak-anak dan
remaja, terutama anak perempuan antara usia 12 sampai 16 tahun. Jumlah
kejadian kasus ini pada anak- anak dilaporkan 0,3-0,9 per 100.000 dengan
prevalensi 3,3 hingga 24 per
100.000 anak tergantung pada wilayah demografi dan etnis.
Data klinik penyakit dalam dan rematik di RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta menunjukkan saat ini jumlah penderita penyakit Systemic Lupus
Erythematosus yang terdeteksi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
mencapai 2.000 orang. Dalam tiga bulan terakhir, rumah sakit tersebut merawat
sekitar 15-20 penderita rawat inap dan mayoritas lainnya rawat jalan. Sebanyak
85% menyerang perempuan usia 10-18 tahun (Wardhana, 2015). Berdasarkan
catatan registrasi di bangsal Padmanaba Timur RSUP Dr. Sardjito terdapat 48
pasien anak dengan penderita Systemic Lupus Erythematosus sejak 1 Januari
2022 sampai dengan 9 Mei 2022.
Berbagai efek dapat timbul pada pasien Systemic Lupus
Erythematosus, baik efek secara fisik maupun efek secara psikologis. Pada
penderita jaringan di dalam tubuh dianggap benda asing. Rangsangan dari
jaringan tersebut akan bereaksi dengan sistem imunitas dan akan membentuk
antibodi yang berlebihan, dimana antibodi yang berfungsi sebagai pertahanan
tubuh terhadap penyakit, masuk kedalam tubuh justru akan menyerang sel-sel
jaringan organ tubuh yang sehat dan berbagai jaringan organ tubuh seperti
jaringan kulit, otot, tulang, ginjal, sistem saraf, kardiovaskular, paru-paru dan
hati (Fatmawati, 2018).
Berbagai upaya dilakukan untuk pengobatan Systemic Lupus
Erythematosus tetapi pengobatan ini hanya memiliki tujuan adalah untuk
3

mengurangi gejala penyakit, mencegah terjadinya inflamasi, kerusakan


jaringan, memperbaiki kualitas hidup pasien, memonitor tanda dan gejala
penyakit, menghindari penyebaran penyakit, memberikan edukasi kepada
pasien tentang tanda dan gejala serta efek samping dari terapi obat yang
diberikan. Banyaknya variasi dalam manifestasi klinik setiap individu maka
pengobatan yang dilakukan juga sangat individual tergantung dari manifestasi
klinik yang muncul (Alamanda, 2018).
Peran perawat sangat dibutuhkan dalam memberikan asuhan
keperawatan pada pasien dengan Systemic Lupus Erythematosus antara lain
memberikan informasi mengenai penyakit Systemic Lupus Erythematosus,
menganjurkan melakukan aktivitas fisik yang cukup, cara mengurangi atau
mencegah kekambuhan dengan melindungi kulit dari paparan sinar matahari,
memakai tabir surya, payung dan topi. Selain itu, perawat juga membantu
pasien melewati kondisi stress dengan cara mengembangkan mekanisme
koping yang efektif, menganjurkan istirahat yang cukup, mengkonsumsi nutrisi
yang menandung kalsium dan vitamin D. Pasien harus rutin kontrol sesuai
jadwal dan mengkonsumsi obat sesuai dengan anjuran dokter sehingga pasien
dapat mencapai derajat kesehatan yang optimal (Anggraini, 2016).
Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis tertarik untuk menulis
tugas akhir profesi ners dengan judul “Asuhan Keperawatan pada Pasien Anak
dengan Systemic Lupus Erythematosus di Ruang Padmanaba Timur RSUP Dr.
Sardjito Yogyakarta”.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Memberikan asuhan keperawatan pada pasien An. F dengan Systemic Lupus
Erythematosus di ruang Padmanaba Timur RSUP Dr. Sardjito.
2. Tujuan Khusus
a. Melakukan pengkajian keperawatan pada pasien An. F dengan Lupus
Eritematosus Sistemik di ruang Padmanaba Timur RSUP Dr. Sardjito.
b. Menentukan diagnosis keperawatan pada pasien An. F dengan Lupus
Eritematosus Sistemik di ruang Padmanaba Timur RSUP Dr. Sardjito.
4

c. Menyusun intervensi keperawatan pada pasien An. F dengan Lupus


Eritematosus Sistemik di ruang Padmanaba Timur RSUP Dr. Sardjito.
d. Melakukan implementasi keperawatan pada pasien An. F dengan Lupus
Eritematosus Sistemik di ruang Padmanaba Timur RSUP Dr. Sardjito.
e. Melakukan evaluasi keperawatan pada pasien An. F dengan Lupus
Eritematosus Sistemik di ruang Padmanaba Timur RSUP Dr. Sardjito.
f. Melakukan dokumentasi keperawatan pada pasien An. F dengan Lupus
Eritematosus Sistemik di ruang Padmanaba Timur RSUP Dr. Sardjito.
g. Mengidentifikasi faktor pendukung dan faktor penghambat pada asuhan
keperawatan pasien An. F dengan Lupus Eritematosus Sistemik di ruang
Padmanaba Timur RSUP Dr. Sardjito.
C. Manfaat
1. Teoritis
Menambah keluasan ilmu dan teknologi terapan bidang keperawatan
mengenai asuhan keperawatan pada pasien anak dengan Systemic Lupus
Erythematosus.
2. Praktis
a. Bagi Pasien/Keluarga
Dapat menambah pengetahuan pasien dan keluarga tentang gambaran
penyakit Systemic Lupus Erythematosus serta perawatan yang tepat
sesuai dengan kondisi pasien.
b. Bagi Perawat Ruangan Padmanaba Timur
Dapat memberikan informasi dan sebagai bahan pertimbangan bagi
perawat dan tenaga kesehatan dalam melakukan asuhan keperawatan
pada pasien anak dengan Systemic Lupus Erythematosus.
c. Bagi Institusi Poltekkes Yogyakarta
Dapat dijadikan sebagai bahan masukan perpustakaan untuk
pembelajaran bagi kemajuan pendidikan terutama yang berkaitan tentang
asuhan keperawatan pada pasien anak dengan Systemic Lupus
Erythematosus.
5

d. Bagi Peneliti Selanjutnya


Dapat menambah wawasan bagi peneliti lain tentang hasil penelitian
asuhan keperawatan pada pasien anak dengan Systemic Lupus
Erythematosus dan dapat dikembangkan untuk penelitian selanjutnya.
D. Ruang Lingkup
Penelitian ini termasuk dalam lingkup Keperawatan Anak. Materi yang dibahas
adalah asuhan keperawatan pada pasien anak dengan Systemic Lupus
Erythematosus.
6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Systemic Lupus Erythematosus (SLE)


1. Definisi
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit hasil dari
regulasi sistem imun yang terganggu, yang menyebabkan autoantibodi
diproduksi berlebihan, yang pada kondisi normal di produksi dan digunakan
untuk melindungi tubuh dari benda asing (virus, bakteri, alergen, dan lain -
lain) namun pada kondisi ini antibodi tersebut kehilangan kemampuan untuk
membedakan antara benda asing dan jaringan tubuh sendiri (Fatmawati,
2018).
Menurut Laeli (2016) Systemic Lupus Erythematosus merupakan
penyakit autoimun yang bukan disebabkan oleh virus, kuman atau bakteri.
Faktor hormon, lingkungan dan genetik adalah sebagai pemicu penyakit
lupus. Keterbatasan fisik yang mudah lelah, sensitif terhadap perubahan
suhu, kekakuan sendi, nyeri tulang belakang dan pembuluh darah yang
mudah pecah sering dialami oleh penderita lupus. Penderita dapat
mengalami rasa letih yang berlebihan, penampilan fisik yang berubah
karena efek dan pengobatan yang bisa menyebabkan kebotakan, muncul
ruam pada wajah dan pembengkakan pada kaki.
2. Etiologi
Menurut (Hikmah, 2018) penyebab Systemic Lupus Erythematosus dibagi
menjadi 2 faktor, yaitu :
a. Faktor Genetik
Jumlah, usia, dan usia anggota keluarga yang menderita penyakit
autoimun menentukan frekuensi autoimun pada keluarga tersebut.
Pengaruh riwayat keluarga terhadap terjadinya penyakit ini pada
individu tergolong rendah, yaitu 3-18%. Faktor genetik dapat
mempengaruhi keparahan penyakit dan hubungan familial ini ditemukan
lebih besar pada kelaurga dengan kondisi sosial ekonomi yang tinggi.
7

b. Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan yang dapat memicu terjadinya Systemic
Lupus Erythematosus antara lain:
1) Hormon
Hormon estrogen dapat merangsang sistem imun tubuh dan penyakit
ini sering terjadi pada perempuan terutama saat usia reproduktif
dimana terdapat kadar estrogen yang tinggi.
2) Obat-obatan
Beberapa obat dapat menyebabkan terjadinya gangguan sistem imun
melalui mekanisme molecular mimicry, yaitu molekul obat memiliki
struktur yang sama dengan molekul di dalam tubuh sehingga
menyebabkan gangguan toleransi imun.
3) Infeksi
Infeksi dapat memicu respon imun dan pelepasan isi sel yang rusak
akibat infeksi dan dapat meningkatkan respon imun sehingga
menyebabkan penyakit autoimun.
4) Paparan sinar ultraviolet
Adanya paparan sinar ultraviolet dapat menyebabkan kerusakan dan
kematian sel kulit serta berkaitan dengan fotosensitivitas pada
penderita.
3. Patofisiologi
Menurut Wijaya (2019) patogenesis Systemic Lupus Erythematosus
bersifat multifaktorial yang merupakan interaksi dari faktor genetik,
faktor lingkungan dan faktor hormonal yang menghasilkan respon
imun yang abnormal. Pada pasien ini cenderung terjadi gangguan sistem
imun. Abnormalitas pada sel T meliputi respon abnormal pada autoantigen,
gangguan toleransi sistem imun dan gangguan transduksi signal pada T cell
receptor. Gangguan pada fungsi sel B berupa terbentuknya autoantibodi
dan modulasi sel T untuk mensekresi sitokin. Autoantibodi yang paling
penting antara lain anti-dsDNA, anti-Ro, anti-Sm, antibodi antifosfolipid
dan antibodi antinuklear. Pada pasien Systemic Lupus Erythematosus juga
terjadi peningkatan produksi sitokin proinflamasi, antara lain Interleukin-
8

2 (IL-2), Interferon gamma (IFN-γ), Interferon alpha (IFN-α), Interleukin-4


(IL-4), Interleukin-6 (IL-6), Interleukin-10 (IL-10), Tumor Necrosis Factor
Alpha (TNF-α), dan Transforming Growth Factor Beta (TGF-β) dimana
semua sitokin proinflamasi ini semua disekresi oleh sel T Helper-1 (TH1).
Pada pasien Systemic Lupus Erythematosus juga terjadi gangguan aktivitas
fagositosis, gangguan fiksasi komplemen, peningkatan apoptosis yang
dapat mengakibatkan terjadinya inflamasi jaringan dan kerusakan organ.
Pada orang yang sehat, kompleks imun dibersihkan oleh Fragmen
crystallizable (Fc) dan Complement Receptor (CR). Kegagalan pembersihan
kompleks imun menyebabkan deposisi. Kerusakan jaringan dimulai dengan
adanya sel inflamasi, intermediet oksigen reaktif, produksi sitokin pro-
inflamasi dan modulasi kaskade koagulasi.
4. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis menurut (Suntoko, 2015).sebagai berikut:
Manifestasi klinis penyakit ini sangat beragam dan seringkali pada
keadaan awal tidak dikenali sebagai Systemic Lupus Erythematosus. Hal ini
dapat terjadi karena manifestasi klinis penyakit ini seringkali tidak terjadi
secara bersamaan. Seseorang dapat saja selama beberapa lama mengeluhkan
nyeri sendi yang berpindah-pindah tanpa adanya keluhan lain. Kemudian
diikuti oleh manifestasi klinis lainnya seperti fotosensitivitas dan sebagainya
yang pada akhirnya akan memenuhi kriteria penyakit ini.
a. Manifestasi Konstitusional
Pada kelainan autoimun yang bersifat sistemik biasanya dijumpai
kelainan konstitusional seperti cepat lelah, nafsu makan menurun, demam
dan menurunnya berat badan. Hal ini merupakan gejala awal atau bahkan
merupakan komplikasi dari penyakitnya. Kelelahan merupakan keluhan
yang umum dijumpai pada penderita dan biasanya mendahului berbagai
manifestasi klinis lainnya. Kelelahan ini agak sulit dinilai karena banyak
kondisi lain yang dapat menyebabkan kelelahan seperti adanya anemia,
meningkatnya beban kerja, konflik kejiwaan serta pemakaian obat seperti
prednison. Kelelahan akibat penyakit ini memberikan respon terhadap
pemberian steroid atau latihan (Evalina, 2012).
9

Penurunan berat badan dijumpai pada sebagian penderita Systemic


Lupus Erythematosus dan terjadi dalam beberapa bulan sebelum
diagnosis ditegakkan. Demam sebagai salah satu gejala konstitusional
sulit dibedakan dari sebab lain seperti infeksi karena suhu tubuh dapat
lebih dari 400C tanpa adanya bukti infeksi lain seperti leukositosis.
Demam akibat penyakit ini biasanya tidak disertai menggigil. Gejala-
gejala lain yang sering dijumpai pada penderita dapat terjadi sebelum
ataupun seiring dengan aktivitas penyakitnya seperti rambut rontok,
hilangnya nafsu makan, bengkak, sakit kepala, mual dan muntah (Isbagio
dkk, 2013).
b. Manifestasi pada kulit
Manifestasi pada kulit merupakan yang paling umum pada kelainan
Systemic Lupus Erythematosus, kejadiannya berkisar antara 80-90% dari
kasus. Dari kriteria diagnosis terdapat empat diantaranya merupakan
kelainan pada kulit seperti fotosensitivitas, ruam malar, lesi diskoid serta
lesi mukokutan (lesi pada mulut). Kelainan pada kulit dapat dibagi
menjadi kelainan yang bersifat spesifik dan non spesifik, sedangkan
spesifik lesi dibagi menjadi tiga bagian yang pertama kelainan yang
bersifat akut, kedua kelainan yang bersifat sub-akut dan terakhir
skelainan yang bersifat kronik (Ghrahani, 2015).
Ruam “kupu-kupu” atau malar klasik sering menjadi gejala awal
lupus dan terjadi kekambuhan setelah pajanan matahari. Eritema yang
menetap, rata atau menonjol, pada daerah malar dan cenderung tidak
melibatkan lipat nasolabial. Pada kelainan yang bersifat akut timbul rash
atau ruam setelah terpapar sinar matahari dan rash akan berkurang
sampai menghilang setelah paparan sinar matahari dihindari. Kelainan
kulit yang paling ringan berupa fotosensitivitas dimana dapat dirasakan
pada kulit yang terpapar sinar matahari secara langsung dirasakan oleh
penderita sendiri seperti rasa “terbakar”(Ghrahani, 2015).
Pada lesi yang bersifat sub akut atau sering dikenal juga dengan
istilah SCLE (Sub acute Cutaneous Lupus Erythematosus) biasanya lesi
bersifat simetrik, superfisial dan tidak mengalami jaringan parut dan
umumnya yang terkena pada daerah bahu, bagian ekstensor ektremitas
atas (lengan
10

bawah), leher, dada sebelah atas dan punggung belakang. Lesi ini
umumnya bentuknya kecil, kemerahan dan berbentuk papula atau plak
yang sedikit menebal kadang-kadang berbentuk papula squamosa atau
bentuk cincin polisiklik dan menjadi besar berkelompok dengan
hiperpigmentasi. Hal yang membedakan antara lesi sub akut dan kronik
pada lesi sub akut tidak terjadi jaringan parut (scarring) (Suntoko, 2015).
Pada lesi yang bersifat kronik lesinya mempunyai ciri-ciri khusus
yaitu, plak yang sering kali berwarna kemerahan, seolah-olah kulit
menebal dan disertai dilatasi folikel rambut. Kelainan pada kulit yang
kronik ini umumnya terjadi di daerah yang terpapar dengan sinar
matahari secara langsung seperti pada muka, leher, kulit kepala dan
belakang telinga
dan punggung atas (Suntoko, 2015).
c. Manifestasi pada muskuloskeletal
Terlibatnya sendi baik atralgia atau artritis, keduanya sering timbul
pada awal penyakit dan merupakan gejala klinik yang tersering pada
penderita dengan Systemic Lupus Erythematosus aktif. Artritis sendi pada
penderita umumnya poli artritis mirip dengan artritis reumatoid yang
mana daerah yang sering terkena pada sendi-sendi kecil pada tangan dan
lutut. Sendi yang terkena dapat mengalami pembengkakan atau sinovitis.
Artritis pada penyakit ini walaupun sudah berlangsung cukup lama tidak
mengalami erosi dan destruksi sendi. Seringkali pada penderita Systemic
Lupus Erythematosus berat yang mengenai sendi tangan dikenal sebagai
Jaccoud artropati dengan gambaran kliniknya mirip dengan artritis
reumatoid seperti adanya swan neck-deformity, hal ini terjadi bukan
karena kerusakan sendi tetapi karena peradangan pada kapsul sendi
dan tendon serta liga men sendi yang mengalami kekenduran jaringan
ikat sendi (laxity) akibatnya kedudukan sendi menjadi tidak stabil, bila
prosesnya masih awal dapat pulih kembali bila penyakit ini mendapat
pengobatan yang adekuat, sedangkan bila terlambat pengobatannya
seringkali sudah terjadi fibrosis maka akan menimbulkan kecacatan yang
menetap (Nugraha, 2021).
11

Rasa sakit pada otot pada penderita ini dikenal sebagai mialgia bila
pada pemeriksaan enzim creatine phosphokinase dalam batas normal,
sedangkan miositis bila terjadi kenaikan enzim, hal ini seringkali sulit
dibedakan dengan kelainan otot karena fibromialgia yang disebabkan
karena depresi, yang mana perlu kita ketahui seringkali penderita juga
menderita kelainan itu pada 22% kasus. Pada fibromialgia kelainan nyeri
pada daerah-daerah tertentu yang bersifat simetrik (Nugraha, 2021).
d. Manifestasi pada ginjal
Nefritis lupus atau komplikasi pada ginjal merupakan salah satu
komplikasi yang serius pada penderita Systemic Lupus Erythematosus
sebab akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas penderita. Pada saat
ini harapan hidup selama 15 tahun penderita Systemic Lupus
Erythematosus dengan nefritis berkisar 80%, sedangkan di tahun 60an
harapan hidupnya selama 5 tahun hanya 50%, walaupun kita sudah
mengalami kemajuan yang berarti dalam memberikan terapi akan tetapi
insidensi terjadinya progresifitas gagal ginjal masih cukup tinggi hal ini
karena seringkali kita mengalami kesulitan mengidentifikasi penderita
Systemic Lupus Erythematosus yang mengenai ginjal secara klinik,
karena seringkali komplikasi nefritis lupus terjadi secara diam-diam dan
gejala dini sering tidak terdeteksi. Hal paling mencolok keterlibatan
ginjal pada penderita yakni berupa adanya protein uria atau silinder
eritrosit atau granular pada pemeriksaan sedimen urin, bahkan pada
keadaan yang lebih ringan dijumpai hematuri-piuria tanpa gejala,
sedangkan pada keadaan yang lanjut dapat terjadi kenaikan serum ureum-
kreatinin dan hipertensi (Judha,2015).
e. Manifestasi pada neuro psikiatrik
Diagnosis neuro-psikiatrik pada Systemic Lupus Erythematosus
tidaklah mudah komite adhoc The American Collage of Rheumatology
menyatakan sindrom ini meliputi 50% langsung berhubungan dengan
penyakitnya sedangkan sisanya berhubungan atau memiliki asosiasi
dengan penyakit ini. Manifestasi yang tersering ialah sakit kepala,
gangguan psikiatrik dan gangguan kognitif. Sindrom ini bisa berdiri
12

sendiri atau bersamaan dengan manifestasi neuro psikiatrik yang lain


(Azizah, 2013).
Kelainan neurologik pada Systemic Lupus Erythematosu dibagi
menjadi 2 bagian, pertama kelainan pada susunan saraf pusat, kedua
kelainan pada susunan saraf perifer. Kelainan pada susunan saraf pusat
dapat berupa nyeri kepala yang tidak mau hilang-hilang dan tidak
responsif dengan analgesia narkotik, kejang-kejang fokal atau general,
biasanya berhubungan dengan penyakitnya yang dalam keadaan aktif,
gejala yang lain yang jarang misalnya cerebrovaskular accident,
meningitis dan aseptik. Sedangkan, kelainan pada susunan saraf perifer
terutama terlibatnya saraf kranial baik motorik atau sensorik pada mata
dan nervus trigeminal misalnya pasien dengan keluhan gangguan
penglihatan, buta, oedema papil, nisgtagmus, hilang pendengaran, vertigo
atau facial palsy serta paralisis mirip dengan sindrom guilain-barre atau
miastenia garvis. Adapun gangguan psikiatrik pada penderita dapat
berupa perubahan prilaku, psikosis, insomnia, delirum dan depresi
(Azizah, 2013).
f. Manifestasi pada gastrointestinal
Komplikasi gastrointestinal bisa berupa kelainan pada esofagus,
vaskulitis mesenterika, radang pada usus, pankreatitis, hepatitis dan
peritonitis. Kelainan disfagia termasuk komplikasi yang jarang. Kelainan
yang sering didapat berupa nyeri abdomen karena vaskulitis dari
pembuluh darah usus, begitu pula lupus enteritis yang melibatkan
pembuluh darah mesenterika yang berupa vaskulitis atau trombosis.
Diagnosis ditegakkan pada pemeriksaan arteriografi akan didapatkan
kelainan berupa vaskulitis, sehingga selain keluhan nyeri abdomen juga
dapat berupa perdarahan pre- rektum baik pada usus besar maupun usus
halus dan bila ini terjadi diperlukan investigasi yang lebih seksama untuk
mencegah terjadinya perforasi (Evalina, 2012).
g. Manifestasi pada hepar
Manifestasi pada hati relatif lebih sering terjadi dibandingkan pada
gastrointestinal, manifestasi pada hati berupa hepatitis kronik aktif,
13

hepatitis granulomatosa, hepatitis kronik persisten dan steatosis. Biasanya


diperlihatkan dengan meningkatnya enzim hati seperti Serum Glutamic
OxaloaceticTransaminase (SGOT), Serum Glutamic Pyruvic
Transaminase (SGPT) dan alkali-fosfatase. Keterlibatan hati ini
dihubungkan dengan anti fosfolipid antibodi yang menyebabkan
trombosis arteri atau vena hepatika yang akhirnya menyebabkan infark,
untuk membedakan kelainan hati karena Systemic Lupus Erythematosus
atau kelainan autoimun yang lain tidaklah mudah ataupun keduanya
sangat sulit, biopsi hati dan adanya antibodi anti P ribosom mungkin akan
terlihat pada hepatitis karena autoimun dibandingkan dengan hepatitis
karena Systemic Lupus Erythematosus (Judha, 2015).
h. Manifestasi pada hematologi
Sitopenia termasuk di dalamnya anemia, trombositopenia,
limfofenia, leukopenia sering terjadi pada penderita Systemic Lupus
Erythematosus. Anemia pada pasien dengan Systemic Lupus
Erythematosus bervariasi antara anemia penyakit kronik, anemia
hemolitik, kehilangan darah, insufiensi ginjal, infeksi dan mielo displasia
dan anemia aplastik. Terjadinya anemia pada penderita ini sering
disebabkan supresi eritropoesis karena inflamasi yang kronik. Sangat
mungkin terdapat anemia karena proses autoimun, anemia yang didapat
berupa anemia penyakit kronik, defisiensi besi dan diikuti anemia
hemolitik autoimun (Suntoko, 2015).
Leukopenia yang mana leukosit <4.500/ml dilaporkan terjadi kurang
lebih 50% kasus penderita Systemic Lupus Erythematosus dengan
aktivitas penyakitnya yang meningkat, sedang limfositofenia (limfosit <
1.500/ul) terjadi kurang lebih 20% dari kasus. Pada penderita dengan
leukopeni produksi sumsum tulang umumnya normal, jadi terjadi
neutropeni pada penderita dengan Systemic Lupus Erythematosu yang
aktif karena pemakaian imunosupresif atau adanya autoantibodi yang
menghambat Granulosit Growth Coloning Forming Unit di sumsum
tulang. Trombositopenia (trombosit <100.000/ul) karena sistem imun
merusak
14

trombosit yang beredar di darah di samping itu dapat juga karena supresi
produksi trombosit di sumsum tulang (Suntoko, 2015).
i. Manifestasi pada paru
Pleuritis merupakan manifestasi Systemic Lupus Erythematosus yang
tersering pada paru dari beberapa studi dikatakan berkisar antara 41-56%.
Keluhannya berupa nyeri dada baik unilateral atau bilateral biasanya
pada pinggir kostoprenikus baik anterior atau posterior, seringkali diikuti
dengan batuk, sesak napas dan demam serta umumnya akan berkembang
menjadi suatu efusi pleura (Setiati, 2014).
Manifestasi Systemic Lupus Erythematosus pada paru sangat
bervariasi dari pleuritis lupus, pneumonitis, perdarahan paru, emboli paru
dan hipertensi pulmonal. Manifestasi pada pleura berkisar antara 30 -
60% dari kasus, keluhan awal berupa nyeri pleuritik atau nyeri dada
tanpa kelainan radiologik yang nyata, pada keadaan berat dapat
ditemukan suatu efusi pleura yang jelas baik dari pemeriksaan fisik atau
rongen foto dada. Bila adanya efusi pleura sebaiknya dilakukan
torakosentesis untuk menyingkirkan sebab lain seperti infeksi. Pada
pemeriksaan efusi pleura akan ditemukan eksudat dengan kadar glukosa
yang tinggi, laktat dehidrogenasi yang rendah dan antibodi terhadap
antibodi anti nuclear (ANA) dan antibodi double stranded DNA (ds
DNA) sering positif. Pada pneumonitis Systemic Lupus Erythematosus
keadaan umumnya lebih berat yang mana keluhan sistemik pada organ
lain juga nyata misalnya pasien mengeluh demam tinggi, sesak, batuk,
nyeri dada dan hemoptisis (Setiati, 2014).
j. Manifestasi pada kardiovaskular
Manifestasi Systemic Lupus Erythematosus pada kardiovaskular atau
jantung dapat mengenai perikardium, miokardium, sistem kelistrikan
jantung, katup jantung dan pembuluh darahnya. Manisfetasi yang paling
sering berupa perikarditis baik penebalan atau efusi dengan prevalensinya
16-61% kasus dengan pemeriksaan ekokardiografi dapat terlihat dengan
mudah biasanya jumlah cairan yang minimal ataupun dalam jumlah yang
cukup banyak, bila cairan banyak ditakutkan akan terjadi cardiac
15

tamponade sehingga diperlukan pemberian steroid dosis tinggi diikuti


dengan perikardial sentesis, walaupun begitu bila kita mendapatkan
cairan hasil perikardial sentesis dan harus dipikirkan juga apakah karena
sebab lain seperti tuberkulosa, kuman banal atau infeksi jamur (Ghrahani,
2015).
5. Pemeriksaan Penunjang menurut Roviati (2012):
a. Pemeriksaan Darah :
1) Leukopenia/limfopeni
2) Anemia
3) Trombositopenia
4) Laju Endap Darah (LED) meningkat
b. Imunologi :
1) Antibodi Anti Nuclear (ANA)
2) Antibodi Deoxyribo Nucleic Acid (DNA) untai ganda (dsDNA)
meningkat
3) Tes C-reactive Protein (CRP) positif
c. Fungsi Ginjal :
1) Kreatinin serum meningkat
2) Penurunan Gromerular Filtration Rate (GFR)
3) Protein uri (>0,5 gram per 24 jam)
4) Ditemukan sel darah merah dan atau sedimen granular
d. Kelainan pembekuan yang berhubungan dengan antikoagulasi lupus :
Activated Partial Thromboplastin Time (APPT) memanjang yang tidak
memperbaiki pada pemberian plasma normal
e. Tes Vital :
Adanya Imunoglobulin (Ig M) pada persambungan dermoepidermal pada
kulit yang terlibat dan yang tidak terlibat.
6. Penatalaksanaan Medis
Menurut Hockenberry dalam Azizah (2013) Systemic Lupus Erythematosus
adalah penyakit seumur hidup, karenanya pemantauan harus dilakukan
selamanya. Tujuan pengobatan pada penderita adalah mengontrol
manifestasi penyakit, sehingga anak dapat memiliki kualitas hidup yang
baik
16

tanpa eksaserbasi berat, sekaligus mencegah kerusakan organ serius yang


dapat menyebabkan kematian. Tatalaksana primer meliputi:
a. Mengurangi inflamasi dan meminimalisir komplikasi. Adapun obat-
obatan yang dibutuhkan seperti:
1) Antiinflamasi non steroid (NSAIDs), untuk mengobati simptomatik
artralgia nyeri sendi.
2) Antimalaria, diberikan untuk penderita. Pemakaian jangka panjang
memerlukan evaluasi retina setiap 6 bulan
3) Obat imunosupresan/sitostatika, imunosupresan diberikan pada
Systemic Lupus Erythematosus dengan keterlibatan sistem saraf
pusat, nefritis difus dan membranosa, anemia hemolitik akut dan
kasus yang resisten terhadap pemberian kortikosteroid.
4) Obat antihipertensi, cara mengatasi hipertensi pada nefritis lupus
dengan agresif
5) Kalsium, semua pasien Systemic Lupus Erythematosus yang
mengalami artritis serta mendapat terapi prednison berisiko untuk
mengalami mosteopenia, karenanya memerlukan suplementasi
kalsium.
6) Kortikosteroid, dosis rendah untuk mengatasi gejala klinis seperti
demam, dermatitis, efusi pleura. Kortikosteroid diberikan selama 4
minggu minimal sebelum dilakukan penyapihan, dosis tinggi untuk
mengatasi krisis lupus, gejala nefritis, sistem saraf pusat dan anemia
hemolitik.
b. Dialisis atau transplantasi ginjal
Pasien dengan stadium akhir lupus nefropati, dapat dilakukan dialisis
atau transplantasi ginjal
c. Penatalaksanaan infeksi
Pengobatan segera bila ada infeksi terutama infeksi bakteri. Setiap
kelainan urin harus dipikirkan kemungkinan pielonefritis.
7. Penatalaksanaan Keperawatan
Asuhan keperawatan berfokus pada perawatan paliatif dan memberikan
dukungan psikososial. Penting mempertahankan gizi anak yang baik,
17

istirahat dan berolahraga, menghindari matahari dan mendorong ekspresi


perasaan tentang kondisi tersebut (Roviati, 2012).
a. Istirahat dan latihan
Termasuk periode dimana anak aktif selama remisi dan beristirahat
selama eksaserbasi. Penghindaran dari paparan sinar matahari
ditekankan karena fotosensitivitas ruam yang terjadi dengan Systemic
Lupus Erythematosus. Penggunaan tabir surya kegiatan di luar ruangan
sangat penting. Kondisi ini mungkin terjadi kesulitan bagi anak dan
keluarga untuk mengatasi dan mengerti, mendorong ekspresi perasaan
atau bergabung dengan kelompok pendukung didorong. Orangtua harus
memberitahu guru, pelatih dan orang lain tentang kondisi anak mereka
sehingga mereka dapat membantu memantau anak dan memperoleh
pengobatan yang diperlukan. Perawat mempunyai tanggungjawab untuk
membantu anak dan keluarga mengidentifikasi kemungkinan pemicu,
seperti sinar matahari, stres emosional dan membantu keluarga untuk
menemukan cara untuk menghindarinya (Hikmah, 2018).
b. Paparan sinar Matahari
Paparan sinar ultraviolet dapat menyebabkan eksaserbasi ruam lupus
dan juga gejala-gejala sistemik seperti nyeri sendi dan kelelahan. Ada
laporan bahwa pasien yang secara teratur menggunakan tabir surya
yang mengandung Sun Protection Factor (SPF) telah secara signifikan
lebih rendah keterlibatan ginjal, trombositopenia dan rawat inap, dan
membutuhkan treatment siklofosfamid yang menurun. Semua anak
dengan Systemic Lupus Erythematosus harus disarankan untuk memakai
tabir surya setiap hari untuk semua kulit yang terbuka (termasuk
telinga), tidak hanya pada hari-hari cerah karena awan tidak
menghilangkan paparan sinar ultraviolet (Alamanda, 2018).
c. Diit dan Latihan
Tidak ada persyaratan khusus diet tetapi karena kortikosteroid-
diinduksi berat badan, makanan tinggi kalori dan garam harus dihindari.
Latihan harus didorong. Cukup banyak anak berpartisipasi di sekolah
penuh waktu, kecuali selama periode penyakit aktif berat. Kegagalan
untuk
18

menghadiri sekolah harus diwaspadai tim kesehatan untuk


kemungkinan masalah psikososial. Komunikasi dengan guru sekolah
diserahkan kepada kebijaksanaan keluarga, dengan keterlibatan tim
klinis jika diminta (Hikmah, 2018).
d. Fatique dan Tidur
Kelelahan adalah salah satu gejala yang paling umum. Hal ini biasanya
akan membaik sebagaimana perbaikan penyakit. Beberapa orang tua
merasa sulit selama ini untuk memungkinkan anak-anak mereka untuk
berpartisipasi dalam kegiatan. Terapis okupasi dan fisik dapat sangat
membantu dalam membantu untuk mengembangkan kegiatan yang
lebih baik dan perilaku tidur. Beberapa pola tidur anak-anak bisa
berubah pada awal Systemic Lupus Erythematosus. Hal ini biasanya
berhubungan dengan kortikosteroid. Beberapa anak menjadi hiperaktif
dan murung, dan mengalami kesulitan tidur. Hal ini dapat ditingkatkan
dengan mengambil dosis kortikosteroid sore hari lebih awal. Beberapa
anak pada kortikosteroid dosis tinggi perlu buang air kecil beberapa kali
di malam hari dan bisa sulit untuk jatuh kembali untuk tidur.
Keterkaitan dosis dan kortikosteroid sekali memunculkan sedikit
masalah (Fatmawati, 2018).
B. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Pada tahap ini dilakukan pengumpulan data melalui wawancara, observasi,
pemeriksaan fisik pada sasaran yang dituju, selain itu pengumpulan data
dapat diperoleh dari pasien, keluarga, tenaga kesehatan, catatan medis,
medical recod dan literature (Nurarif, 2015). Hal-hal yang dibagi pada
pasien antara lain:
a. Identitas : nama, umur, agama, pendidikan, alamat, diagnosis
b. Status kesehatan :
1) Keluhan utama
Biasanya klien dengan penyakit Systemic Lupus Erythematosus datang
ke RS dengan keluhan nyeri dan kaku pada seluruh badan, kulit
kering, bersisik dan mengelupas pada beberapa bagian kulit, rasa sakit
biasanya dirasakan sejak 3 bulan yang lalu, pasien juga merasa lemah
(Anggraini, 2016)
19

2) Alasan MRS
Pasien masuk rumah sakit dikarenakan muncul gejala nyeri dan
kaku seluruh badan, kulit kering dan bersisik, kulit mengelupas pada
beberapa bagian kulit, dan semakin parah apabila terpapar sinar
matahari (Alamanda, 2018).
3) Riwayat penyakit sekarang
Biasanya pada pasien yang menderita Systemic Lupus Erythematosus
pada saat dikaji keluhan yang dirasakan seperti nyeri dan kaku seluruh
badan, kulit menegelupas dibeberapa bagian, pasien lemas
(Fatmawati, 2018).
c. Riwayat kesehatan terdahulu
1) Riwayat penyakit sebelumnya.
Biasanya pada penderita Systemic Lupus Erythematosus mengalami
penyakit nyeri terutama pada persendian. Pasien merasa panas seluruh
badan badan selama 1 bulan, dan pasien merasakan kulitnya kering/
bersisik, pecah-pecah rambut rontok dan semakin parah apabila
terpapar sinar matahari (Alamanda, 2018).
2) Riwayat penyakit keluarga
Pada penyakit Systemic Lupus Erythematosus ini belum diketahui
secara pasti penyebab penyakitnya tetapi faktor genetik juga sering
dikaitkan dengan penderita (Alamanda, 2018).
3) Riwayat pengobatan
Pada penderita Systemic Lupus Erythematosus sebelum mengalami
penyakit ini biasanya sering mengkonsumsi obat asam urat seperti
Allopurinol 100 mg yang diminum setiap hari selama 1 tahun
(Fatmawati, 2018).
d. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien menurut Hikmah (2018):
1) Keadaan umum
a) Kesadaran
Pada pasien Systemic Lupus Erythematosus kesadarannya
composmentis bahkan bisa sampai terjadi penurunan kesadaran.
20

b) Tanda-tanda vital
Biasanya pada penderita Systemic Lupus Erythematosus ini
ditemukan peningkatan suhu dannadi diatas rentang normal.
2) Pemeriksaan head to toe
a) Kepala
Terdapat ruam (malar) pada pipi yang tampak kemerah – merahan,
terdapat butterfly rash pada wajah terutama pipi dan sekitar hidung,
telinga, dagu, daerah pada leher
b) Mata
Pada pemeriksaan mata di dapatkan hasil mata tampak pucat
(anemis)
c) Telinga
Melakukan inspeksi dan palpasi struktur telinga luar, melakukan
inspeksi struktur telinga tengah dengan ostoskop dan menguji
telinga dalam dengan mengukur ketajaman pendengaran.
d) Hidung
Mengobservasi bentuk, ukuran, warna kulit, dan adanya deformitas
atau inflamasi. Jika ada pembengkakan, perawat melakukan palpasi
dengan hati-hati.
e) Mulut
Mengobservasi bentuk, ukuran, warna kulit, dan adanya
deformitas atau inflamasi. Melakukan palpasi ada nyeri tekan
terhadap pasien pada bagian mulut & bibirnya. Pada pasien
biasanya akan terjadi sariawan dan bibir pecah – pecah.
f) Leher
Memulai dengan leher dalam posisi anatomik biasa dengan sedikit
hiperekstensi. Inspeksi kesimetrisan bilateral dari otot leher untuk
menguji fungsi otot sternokleidomastoideus. Periksa adanya
pembesaran kelenjar tiroid
g) Payudara
Mengenali adanya abnormalitas dengan tampilan payudara pasien.
Melakukan palpasi untuk menentukan adanya nyeri tekan,
21

konsistensi dan ukuran besarnya payudara


h) Genetalia
Melakukan inspeksi karakteristik warna kulit sekitar genetalia
adanya gangguan serta nyeri tekan hingga benjolan lain yang
didapatkan saat sakit
i) Dada
Inspeksi adanya luka/parut sekaligus bekas luka dan kesimetrisan
dinding dada, perkusi biasanya peranannya menurun sesudah ada
foto rontgen toraks sekaligus dapat dilakukan dengan cara
sederhana untuk menentukan letak jantung dengan ketukan
j) Muskuloskeletal
Sistem otot dikaji dengan memperhatikan kemampuan megubah
posisi, kekuatan otot pasien serta kelemahan yang dialami.Sendi
dilakuakn dengan tes ROM yang menentukan gerakan sendi
normal/tidak. ROM dibagi menjadi 2 yaitu pasif dan aktif
k) Abdomen
Pemeriksaan abdomen pasien harus rileks. Otot abdomen yang
mengencang akan menyembunyikan keakuratan palpasi dan
auskultasi. Perawat meminta pasien untuk berkemih sebelum
pemeriksaan dimulai. Inspeksi dilakukan dengan cara melihat
kondisi abdomen secara keseluarahan yang nampak
3) Pemeriksaan Sistemik
Menurut Hidayat dalam Judha (2015) data yang ditemukan pada
pasien Systemic Lupus Erythematosus adalah :
a) Sistem Muskuloskeletal
Artalgia, artritis, pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri
ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari.
b) Sistem Integumen
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu
yang melintang pangkal serta pipi.
c) Sistem Kardiaovaskuler
Pericarditis merupakan manifestasi kardiak.
22

d) Sistem Pernafasan
Pleuritis atau efusi
pleura.
e) Sistem Vaskuler
Inflamasi pada arteriole, dan purpura di ujung jari kaki, tangan,
siku, serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral
tangan dan berlanjur nekrosis.
f) Sistem Perkemihan
Biasanya yang terkena glomerulus renal.
g) Sistem saraf
Spektum gangguan sistim saraf pusat sangat luas dan mencakup
seluruh bentuk penyakit neurologi, sering terjadi depresi dan
psikosis.
h) Sistem Gastrointestinal
Asites dan nyeri
2. Diagnosis Keperawatan
Diagnosis keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenairespons
klien terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya
baik yang berlangsung aktual maupun potensial. Diagnosis keperawatan
bertujuan untuk mengidentifikasi respons klien individu, keluarga dan
komunitas terhadap situasi yang berkaitan dengan kesehatan (SDKI, 2017).
Diagnosis Keperawatan yang muncul pada pasien Systemic Lupus
Erythematosus antara lain:
a. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas
struktur tulang
b. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis
c. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan struktur/bentuk
tubuh
d. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan perubahan pigmentasi,
e. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan irama jantung
f. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan depresi pusat pernafasan
g. Hipervolemia berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi
h. Risiko cidera berhubungan dengan terpapar patogen
23

i. Risiko defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan mencerna


makanan
j. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan tirah baring
k. Risiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasif
l. Risiko jatuh berhubungan dengan gangguan keseimbangan
m. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar informasi
n. Ansietas berhubungan dengan kurang terpapar informasi
3. Intervensi Keperawatan
Intervensi atau perencanaan keperawatan adalah bagian dari fase
pengorganisasian dalam proses keperawatan sebagai pedoman untuk
mengarahkan tindakan keperawatan dalam usaha membantu, meringankan,
memecahkan masalah atau untuk memenuhi kebutuhan klien. Proses
perencanaan keperawatan meliputi penetapan tujuan perawatan, penetapan
kriteria hasil, pemilihan intervensi yang tepat, dan rasionalisasi dari
intervensi dan mendokumentasikan rencana perawatan. Dalam menetapkan
kriteria hasil, mengguanakan prinsip SMART (Smeltzer, 2014) :
a. S : Spesific (tujuan harus spesifik dan tidak menimbulkan arti ganda)
b. M : Measurable (tujuan keperawatan harus dapat diukur khususnya
tentang perilaku klien dapat di lihat, didengar, diraba, dirasakan dan
dibau)
c. A : Achivable (tujuan harus dapat dicapai)
d. R : Realistic (tujuan harus masuk akal dan dapat di pertanggungjawabkan
secara ilmiah)
e. T : Time (tujuan harus tercapai dalam jangka waktu yang ditentukan)
Intervensi Keperawatan yang muncul pada pasien Systemic Lupus
Erythematosus antara lain:
24

Tabel 2.1 Intervensi Keperawatan (SLKI dan SIKI)


Diagnosis Keperawatan Tujuan (SLKI) Intervensi dan Tindakan (SIKI)
Gangguan mobilitas Mobilitas Fisik (L.05042) Dukungan Mobilisasi (I.05173)
Setelah dilakukan asuhan Observasi :
fisik berhubungan
keperawatan selama 3x24 jam, 1. Identifiksi adanya keluhan fisik
dengan kerusakan mobilitas fisik meningkat 2. Identifikasi toleransi fisik melakukan
dengan kriteria hasil: pergerakan Terapeutik :
integritas struktur
1.Pergerakan ekstermitas 3. Fasilitasi melakukan pergerakan
tulang meningkat 4. Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam meningkatkan
2.Kaku sendi menurun pergerakan
3.Kelemahan fisik menurun Edukasi :
5. Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi
6. Anjurkan melakukan mobilisasi dini
Nyeri akut berhubungan Tingkat nyeri (L.08066) Manajemen Nyeri (I.082338)
Setelah dilakukan asuhan Observasi:
dengan agen pencedera
keperawatan, tingkat nyeri 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan
fisiologis menurun dengan kriteria hasil: intensitas nyeri (PQRST)
1.Keluhan nyeri menurun dari 2. Identifikasi respon nyeri
skala 5 menjadi 1 Terapeutik:
2. Ekspresi wajah meringis 3. Ajarkan teknik non-farmakologi untuk mengurangi nyeri (teknik
menurun relaksasi nafas dalam)
3. Kesulitan tidur menurun Edukasi:
4.Frekuensi nadi membaik 4. Jelaskan informasi pada klien dan keluarga terkait penyebab,
dalam rentang (60-100 periode dan pemicu nyeri
x/menit) 5. Jelaskan strategi meredakan
nyeri Kolaborasi :
6. Kolaborasi dengan dokter terkait pemberian analgetik
25

Gangguan citra tubuh Citra Tubuh (L.09067) Promosi Citra Tubuh (I.09305)
Setelah dilakukan asuhan Observasi:
berhubungan dengan
keperawatan, citra tubuh 1. Identifikasi perubahan citra tubuh
perubahan meningkat dengan kriteria 2. Identifikasi harapan citra tubuh berdasarkan tahap
hasil: perkembangan Terapeutik:
struktur/bentuk tubuh
1. Verbalisasi perasaan negatif 3. Diskusikan perubahan tubuh dan fungsinya
tentang perubahan tubuh 4. Diskusikan stress yang mempengaruhi citra
menurun tubuh Edukasi:
2. Verbalisasi ke khawatiran 5. Jelaskan pada keluarga tentang perawatan perubahan citra tubuh
pada penolakan/reaksi 6. Anjurkan mengungkapkan gambaran diri terhadap citra tubuh
orang
lain menurun
Gangguan integritas Integritas kulit dan jaringan Perawatan integritas kulit (I.11353)
(L.14125) Observasi:
kulit berhubungan
Setelah dilakukan asuhan 1. Identifikasi gangguan integritas
dengan perubahan keperawatan, integritas kulit kulit Terapeutik:
dan jaringan meningkat dengan 2. Ubah posisi 2 jam tirah baring
pigmentasi
kriteria hasil: 3. Lakukan pemijatan pada area penonjolan
1. Elasitas meningkat tulang Edukasi:
2. Nyeri menurun 4. Anjurkan menggunakan pelembab
3. Kemerahan menurun 5. Anjurkan meningkatan asuran sayur dan buah
Penurunan curah Curah Jantung (L.02008) Perawatan Jantung (I.02075)
Setelah dilakukan asuhan Observasi:
jantung berhubungan
keperawatan, curah jantung 1. Identifikasi tanda dan gejala primer penurunan curah jantung
dengan perubahan meningkat dengan kriteria 2. Monitor tekanan
hasil: darah Terapeutik :
irama jantung
1. Kekuatan nadi perifer 3. Posisikan pasien semi fowler/fowler
meningkat 4. Berikan diet jantung yang sesuai
2. Palpitasi menurun Edukasi :
26

3. Brakikardi menurun 5. Anjurkan beraktivitas sesuai toleransi


4. Takikardi menurun 6. Anjurkan berhenti merokok
Kolaborasi
7. Kolaborasi pemberian antiaritmia
Pola nafas tidak efektif Pola napas (L.01004) Manajmen Jalan Napas (I.01011)
Setelah dilakukan asuhan Observasi:
berhubungan dengan
keperawatan, pola napas 1. Monitor pola napas
depresi pusat membaik dengan kriteria hasil: 2. Monitor bunyi
1. Kapasitas vital meningkat napas Terapeutik:
pernafasan
2. Dispnea menurun 3. Posisikan semi fowler/ fowler
3. Frekuensi napas dalam Edukasi:
rentang normal (16-20 4. Ajarkan fisioterapi dada
x/menit) 5. Ajarkan teknik napas dalam
Kolaborasi:
6. Kolaborasi pemberian bronkodilator, jika perlu
Hipervolemia Keseimbangan Cairan Manajemen Hipervolemia (I.03114)
(L.03020) Observasi:
berhubungan dengan
Setelah dilakukan asuhan 1. Periksa tanda dan gejala hipervolemia
gangguan mekanisme keperawatan, keseimbangan 2. Identifikasi penyebab hipervolemia
cairan meningkat dengan 3. Monitor intake dan output
regulasi
kriteria hasil: Terapeutik:
1. Haluaran urine meningkat 4. Tinggikan kepala tempat tidur 30-400
2. Kelembatan membran Edukasi:
mukosa menngkat 5. Ajarkan cara mengukur dan mencatat asupan dan haluaran cairan
3. Edema menurun 6. Ajarkan cara membatasi cairan
4. Turgor kulit membaik Kolaborasi:
7. Kolaborasi pemberian diuretik
27

Risiko cidera Tingkat Cidera (L.14136) Pencegahan Cidera (I.14537)


Setelah dilakukan asuhan
berhubungan dengan Observasi:
keperawatan, tingkat cidera
1. Identifikasi lingkungan yang berpotensi menyebabkan cidera
terpapar patogen membaik dengan kriteria hasil:
2. Identifikasi obat yang berpotensi menyebabkan
1. Toleransi aktivitas
cidera Terapeutik:
meningkat
3. Sediakan pencahayaan yang memadai
2. Kejadian cidera menurun
4. Pastikan bel panggilan mudah
3. Ketegangan otot menurun
dijangkau Edukasi:
4. Gangguan mobilitas
5. Jelaskan alasan intervensi pencegahan jatuh
menurun
6. Anjurkan berganti posisi secara perlahan
Risiko defisit
nutrisi Status Nutrisi (L.03030) Manajemen Nutrisi (I.03119)
Setelah dilakukan asuhan Observasi:
berhubungan dengan
keperawatan, status nutrisi 1. Identifikasi status nutrisi
ketidakmampuan membaik dengan kriteria hasil: 2. Identifikasi alergi dan intoleransi
1. Porsi makan yang makanan Terapeutik:
mencerna makanan
dihabiskan meningkat 3. Anjurkan makan sedikit tetapi
2. Nafsu makan membaik sering Edukasi:
3. Membran mukosa membaik 4. Edukasi pentingnya nutrisi untuk kebutuhan
tubuh Kolaborasi:
5. Kolaborasi dengan ahli gizi terkait nutrisi yang diperlukan, jika perlu
Intoleransi aktivitas Toleransi Aktivitas (L.05047) Manajemen Energi (I.05178)
Setelah dilakukan asuhan Observasi:
berhubungan dengan
keperawatan, toleransi aktivitas 1. Monitor kelelahan fisik dan mental
tirah baring meningkat dengan kriteria 2. Monitor pola tidur dan jam
hasil: tidur Terapeutik:
1. Frekuensi nadi meningkat 3. Lakukan latihan gerak
2. Keluhan lelah menurun pasif/aktif Edukasi:
4. Anjurkan tirah baring
28

5. Anjurkan melakukan aktivitas


bertahap Kolaborasi:
6. Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan asupan
makanan
Risiko infeksi Tingkat Infeksi (L.14137) Pencegahan Infeksi (I.14539)
Setelah dilakukan asuhan Observasi :
berhubungan dengan
keperawatan tingkat infeksi 1. Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan
efek prosedur invasif menurun dengan kriteria hasil: sistemik Terapeutik :
1. Tidak terdapat kemerahan 2. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan
pada tusukan infus lingkungan pasien
2. Bengkak pada daerah 3. Pertahankan teknik aseptik pada pasien
tusukan infus menurun Edukasi :
4. Jelaskan tanda dan gejala infeksi kepada pasien dan keluarga
5. Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar kepada pasien dan
keluarga
Kolaborasi :
6. Kolaborasi pemberian antibiotik
Risiko jatuh Tingkat Jatuh (L.14138) Pencegahan Jatuh (I.14540)
Setelah dilakukan asuhan Observasi :
berhubungan dengan
keperawatan tingkat jatuh 1. Identifikasi risiko jatuh
gangguan menurun dengan kriteria hasil: 2. Hitung risiko jatuh dengan menggunakan skala humpty dumpty
1. Jatuh dari tempat tidur Terapeutik :
keseimbangan
menurun 3. Pastikan roda tempat tidur dan kursi roda selalu dalam kondisi
2. Jatuh saat berdiri menurun terkunci
4. Atur tempat tidur mekanis pada posisi
terendah Edukasi :
5. Anjurkan memanggil perawat jika membutuhkan bantuan
6. Libatkan keluarga untuk selalu mendampingi pasien
29

Defisit pengetahuan Tingkat Pengetahuan Edukasi Kesehatan (I.12383)


(L.12111) Observasi:
berhubungan dengan
Setelah dilakukan asuhan 1. Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima informasi
kurang terpapar keperawatan tingkat 2. Identifikasi faktor yang dapat menngkatkan dan menurunkan
pengetahuan meningkat dengan motivasi perilaku
informasi
kriteria hasil: Terapeutik:
1. Perilaku sesuai anjuran 3. Sediakan materi
meningkat 4. Jadwalkan pendidikan
2. Verbalisasi minat dalam Edukasi:
belajar meningkat 5. Jelaskan faktor risiko yang dapat mempngaruhi kesehatan
3. Pertanyaan tentang masalah 6. Ajarkan perilaku hidup bersih dan sehat
yang dihadapi menurun
Ansietas berhubungan Tingkat Ansietas (L.09093) Reduksi Ansietas (I.09314)
Setelah dilakukan asuhan Observasi:
dengan kurang terpapar
keperawatan tingkat ansietas 1. Identifikasi saat tingkat ansietas berubah
informasi menurun dengan kriteria hasil: 2. Monitor tanda-tanda ansietas
1. Verbalisasi kebingunan Terapeutik:
menurun 3. Dengarkan dengan penuh perhatian
2. Perilaku gelisah menurun 4. Ciptakan lingkungan
3. Perilaku tegang menurun terapeutik Edukasi:
4. Anoreksia menurun 5. Jelaskan prosedur , termasuk sensasi yang mungkin dialami
5. Frekuensi nadi menurun 6. Latih teknik
relaksasi Kolaborasi:
7. Kolaborasi pemberian obat ansietas
30

4. Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan
yang spesifik. Tahap pelaksanaan dimulai setelah rencana tindakan disusun
dan ditunjukkan pada perawat untuk membuat klien dalam mencapai tujuan
yang diharapkan oleh karena itu rencan tindakan yang spesifik dilaksanakan
untuk memodifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi masalah kesehatan
klien. Tujuan dari pelaksaan adalah membantu klien dalam mencapai tujuan
yang telah ditetapkan yang mencakup peningkatan kesehatan, pencegahan
penyakit dan pemulihan. Jenis-jenis tindakan pada tahap pelaksanaan
implementasi adalah mandiri (independent) yaitu tindakan yang dilakukan
oleh perawat untuk membantu pasien dalam mengatasi masalahnya, saling
ketergantungan (interdependent) yaitu tindakan keperawatan atas dasar kerja
sama tim keperawatan dengan tim kesehatan lainnya seperti: dokter,
fisioterapi dan rujukan/ketergantungan (dependent) yaitu tindakan
keperawatan atas dasar rujukan dan profesi lainnya diantaranya dokter,
psikiatri, ahli gizi, dan lainnya (Nursalam,2017).
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan
yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan
dan pelaksanaan yang sudah berasil di capai. Melalui evaluasi
memungkinkan perawat untuk memonitor yang terjadi selama tahap
pengkajian, analisa data, perencanaan dan pelaksanaan tindakan. Evaluasi
adalah tahap akhir dari proses keperawatan yang menyediakan nilai
informasi mengenai pengaruh intervensi yang telah direncanakan dan
merupakan perbandingan dari hasil yang diamati dengan kriteria hasil yang
telah dibuat pada tahap perencanaan (Nursalam, 2017). Evaluasi dapat
dilakukan dengan menggunakan pendekatan SOAP yaitu:
a. S (subjective) yaitu pernyataan atau keluhan dari pasen
b. O (objective) yaitu data yang diobservasi oleh perawat atau keluarga.
c. A (analisys) yaitu kesimpulan dari objektif dan subjektif
d. P (planning) yaitu rencana tindakan yang akan dilakuakan berdasarkan
analisis.
31

C. Web Of Causation (WOC) : Systemic Lupus Erythematosus (SLE)


Gambar 2.1 Gambar WOC

Faktor genetik/ lingkungan Peningkatan


(hormon, obat-obatan, Sistem regulasi Fungsi sel T – Autoantibodi (dalam kompleks imun
infeksi, paparan sinar kekebalan tubuh Supressor aliran darah) (ikatan antigen-
terganggu

Prognosis penyakit buruk


Pasien cemas dan gelisah Menyerang sel-selorgan
jaringan organ tubuh normal
Ansiet Kerusakan jaringan dari berbagai
Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
as

Luaran : Kurang informasi mengenai penyakit SLE


Pasien
Tingkat ansietas bertanya-tanya
(L.09093) tentang Luaran : Intergitas kulit dan jaringan (L.014125)Perikarditis
Integumen
penyakit SLE Cardiac
Merangsang nosiseptor
Intervensi :
1. Reduksi Ansietas dan cara Adanya lesi akut dan ruam Penumpukan cairan efusi pada perikardium
Muskoloskeletal
(I.09134) pengobatannya
2. Terapi Relaksasi
Defisit Pengetahuan Inflamasi pada sendi dan otot
Hipotalamus Intervensi :
(I.09326)
(D.0111) Gangguan Integritas Kulit 1. Perawatan Intergitas Kulit (I.11353)
(D.0129) Penebalan perikrdium
Saraf efferent
Intervensi : Kerusakan tendon
1. Edukasi Luaran :
Kesehat Tingkat Pengetahuan Luaran : Citra Tubuh (L.09067)
an (L.12111) Gerakan terbatas dan aktivitas menurun
Persepsi nyeri Perubahan bentuk tubuh Penurunan Curah Jantung (D.0008)

Luaran :
Intervensi : Mobilitas Fisik (L.05042)
Gangguan Mobilitas FisikRisiko
(D.0054)
Jatuh (D.0143)
1. Dukung Gangguan Citra Tubuh (D.0083)
Intervensi : Luaran :
an Curah Jantung (L.02008)
1. Promosi Citra Tubuh (I.09305)
Ambula
si Intervensi :
Luaran : Intervensi :
(I.06171 Pencegahan Jatuh (I.14540)
Tingkat Jatuh (L.14138) 1. Perawatan Jantung (I.02075)
) Promosi Latihan Fisik (I.05183)
32

Lanjutan Web Of Causation (WOC) : Systemic Lupus Erythematosus (SLE)

Paru-paru Ginjal Sistem saraf pusat Gastrointestinal Hematologi

Pleuritis Radang glomerulus Radang sistem saraf pusat Inflamasi jaringan Hb

Penurunan suplay O2 dan nutrient


Penumpukan GFR
cairan pada Gangguan sel
Mual Merangsa
neuron dan
dan ng
Retensi Na dan air
Efusi pleura Gangguan penghantaran impuls
Asupan nutrisi kurang Anemia Leukopenia
Tekanan kapiler Hipotalamus
Ekspansi Risiko Infeksi (D.0142)
dada tidak Saraf efferent Kelelahan dan tirah baring
Kejang Risiko Defisit Nutrisi (D.0032)
Volume interstisial
Pola Nafas Pasien tidak mampu mengendalikan dirinya
Tidak Efektif Persepsi nyeri
Edema Luaran : Tingkat Infeksi (L.14137)
Luaran : Status Nutrisi (L.03030) Intoleransi Aktivitas (D.0056)

Luaran Hipervolemia (D.0022) Nyeri Akut (D.0077)


: Pola
Nafas Risiko Intervensi :
Luaran : Intervensi : Luaran : Toleransi1.Aktivitas (L.05047)
Pencegahan Infeksi (I.14539)
Cedera
Keseimbangan Manajemen Gangguan Makan (I.03111)
Intervensi : Cairan (L.03020) Manajemen Nutrisi Respirasi
Luaran (I.03119)
: Tingkat Nyeri (L.08066)
1. Manajemen
Jalan Nafas Luaran :
(I.10011) Tingkat
Intervensi : Cedera
2. Pemantauan 1. Manajemen Intervensi :
Intervensi : 1. Manajemen Energi (I.05178)
Hipervolem
1. Manajemen Nyeri (I.08238)
Sumber: Yuliasih (2020), ia (I.03114) Intervensi :
SDKI (2017), SLKI (2018), 1. Pencegahan
SIKI (2018) Suntoko (2015) Cedera
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan

Setelah melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien An. F dengan dengan


diagnosis medis Systemic Lupus Erythematosus (SLE) di Ruang Padmanaba
Timur, RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta maka dapat diambil kesimpulan :
1. Asuhan Keperawatan pada An. F dengan diagnosis medis Systemic Lupus
Erythematosus (SLE) dilakukan selama 3 hari dari tanggal 9 Mei 2022 – 11
Mei 2022 di ruang Padmanaba Timur RSUP Dr. Sardjito. Proses asuhan
keperawatan yang dilakukan mulai dari pengkajian, menentuka diagnosis
keperawatan yang berpedoman menggunakan SDKI, menentukan intervensi
keperawatan yang berpedoman menggunakan SLKI dan SIKI,
melaksanakan implementasi keperawatan sesuai dengan intervensi yang
ditetapkan dan melakukan evaluasi keperawatan.
2. Pengkajian pada An. F dengan metode wawancara, observasi, pemeriksaan
fisik, dan studi dokumen. Selama proses pengakjian pasien dan keluarga
kooperatif. Data pengkajian yang didapatkan yaitu An. F mengeluh nyeri
pada perut terutama di uluh hati, kedua tangan dan kaki bengkak, badan
terasa lemas dan kedua kaki mengalami kekakuan sendi. Terdapat ruam
kemerahan pada siku kiri dan punggung atas, pasien terpasang infus di
tangan kanan dan Hemodialysis Catheter pada paha kanan. Di dapatkan skor
nilai jatuh 13 (risiko tinggi) dengan menggunakan skala humpty dumpty.
3. Diagnosis keperawatan yang didapatkan pada An. F ada empat yaitu nyeri
akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis (inflamasi),
hipervolemia berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi ginjal,
intoleransi aktivitas berhubungan dengan tirah baring: kedua kaki edema,
gangguan intergitas kulit berhubungan dengan perubahan pigmentasi, risiko
infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasif dan risiko jatuh
berhubungan dengan gangguan keseimbangan. Dalam menentukan
diagnosis keperawatan penulis menggunakan pedoman SDKI (2017) dan
menyesuaikan dengan kondisi pasien.

33
37

4. Intervensi keperawatan dalam memberikan asuhan keperawatan pada An. F


berpedoman menggunakan SIKI (2018) dan luaran keperawatan
berpedoman menggunakan SLKI (2018). Dalam hal ini penulis tetap
menyesuaikan dengan situasi dan konsisi pasien yang ada. Penulis
menetapkan intervensi keperawatan manajemen nyeri untuk diagnosis
keperawatan nyeri akut, manajemen hipervolemia untuk diagnosis
keperawatan hipervolemia, manajemen energi untuk diagnosis keperawatan
intoleransi aktivitas, perawatan intergitas kulit untuk diagnosis keperawatan
gangguan intergitas kulit, pencegahan infeksi untuk diagnosis keperawatan
risiko infeksi dan pencegahan jatuh untuk diagnosis keperawatan risiko
jatuh.
5. Implementasi atau pelaksanaan keperawatan yang dilakukan pada studi
kasus ini sesuai dengan intervensi keperawatan yang telah ditetapkan.
Pelaksanaan asuhan keperawatan ini penulis menerapkan keterampilan yang
sesuai dengan jurnal penelitian dan pendidikan kesehatan untuk
meningkatkan pengetahuan pasien dan keluarga. Pelaksanaan asuhan
keperawatan pada pasien An. F dilakukan secara ketergantungan
(dependent), mandiri (independent) dan kolaboratif untuk mencapai hasil
yang optimal.
6. Evaluasi keperawatan dalam studi kasus ini menggunakan evaluasi hasil
dengan menerapkan SOAP (subjektif, objektif, analisis, palnning). Terdapat
empat diagnosis keperawatan yang sudah teratasi penuh yaitu nyeri akut
berhubungan dengan agen pencedera fisiologis (inflamasi), hipervolemia
berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi ginjal, intoleransi
aktivitas berhubungan dengan tirah baring dan risiko jatuh berhubungan
dengan gangguan keseimbangan. Sedangkan dua diagnosis keperawatan
gangguan intergitas kulit berhubungan dengan perubahan pigmentasi dan
risiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasif teratasi sebagian
hal ini dikarenakan lesi ruam kemerahan masih ada, ekstermitas pasien
mengalami hiperpigmentasi dan saat pulang pasien masih terpasang alat
invasif yaitu Hemodialysis Catheter.
7. Semua tindakan keperawatan yang dilakukan pada studi kasus ini
didokumentasikan dengan benar pada status pasien
37

8. Faktor pendukung dalam studi kasus ini adalah pasien dan keluarga yang
kooperatif, keluarga ikut serta dalam perawatan pasien, pasien dan keluarga
mampu menangkap informasi yang diberikan dengan baik. Selain itu adanya
kerja sama antar tenaga kesehatan seperti dokter, perawat, ahli gizi dan
fisioterapi yang saling melengkapi. Faktor penghambat yaitu keterbatasan
waktu dalam melakukan asuhan keperawatan yang hanya satu shift kerja
dan kurangnya literatur jurnal yang berkaitan dengan kasus.
B. Saran
1. Bagi Pasien/Keluarga
Diharapkan setelah dilakukan asuhan keperawatan dan pendidikan
kesehatan keluarga dapat merawat anaknya untuk mencegah kekambuhan
dan memperberat komplikasi penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
dengan cara mengkonsumsi makanan yang sehat, saat keluar rumah pasien
menggunakan tabir surya yang mengandung Sun Protection Factor (SPF),
mengelola koping stress dengan baik, istirahat yang cukup, beraktivitas
tidak berlebih, mengkonsumsi obat secara teratur dan melakukan kontrol
rutin sesuai dengan jadwal. Selain itu pasien dan keluarga dapat menerapkan
tindakan perawatan seperti teknik nafas dalam dan guided imagery saat
merasakan nyeri, mengurangi konsumsi garam dan tirah baring saat
ekstermitas bawah mengalami pembengkakan, melakukan latihan rentang
gerak baik pasif maumpun aktif untuk mengurangi kekakuan sendi,
menggunakan minyak atau lation untuk mengurangi keluhan kulit kering
dan menerapkan cuci tangan 6 langkah dengan benar di kehidupan sehari-
hari.
2. Bagi Perawat Ruangan Padmanaba Timur
Diharapkan perawat Ruang Padmanaba Timur RSUP Dr. Sardjto dapat
menerapkan tindakan keperawatan pada pasien Systemic Lupus
Erythematosus (SLE) seperti melatih teknik relaksasi nafas dalam dan
teknik distraksi guided imagery saat pasien mengeluh nyeri, menghitung
kebutuhan cairan dan menghitung balance cairan pada pasien yang memiliki
keluhan hipervolemia, melakukan latihan rom pasif maupun aktif pada
pasien yang mengalami kekakuan sendi, memberikan minyak dan
mengubah posisi tidur
37

pada pasien yang megalami gangguan intergitas kulit serta memberikan


pendidikan kesehatan tentang cara cuci tangan 6 langkah dengan benar.
3. Bagi Institusi Poltekkes Yogyakarta
Diharapkan hasil studi kasus ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan
perpustakaan untuk pembelajaran bagi kemajuan pendidikan dan diharapkan
dapat memperbanyak literatur buku dan jurnal untuk menganalisa kasus
terutama yang berkaitan tentang asuhan keperawatan pada pasien anak
dengan Systemic Lupus Erythematosus (SLE) sehingga dapat memperbaiki
kekurangan yang ada pada penelitian ini.
4. Bagi Peneliti Selanjutnya
Diharapkan hasil studi kasus ini dapat menambah refrensi dan wawasan bagi
peneliti lain tentang asuhan keperawatan pada pasien anak dengan Systemic
Lupus Erythematosus (SLE) dan dapat dikembangkan untuk penelitian
selanjutnya dengan tindakan keperawatan yang berbeda.
37

DAFTAR PUSTAKA

Alamanda, T.P, dkk. (2018). Anak Perempuan Berusia 14 Tahun dengan Lupus
Erythematosus Sistemik dengan Nefritis dan Hipertensi Grade 1. Lampung
: Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUP Abdoel Muluk

Anggraini, N. (2016). Systemic Lupus Erythematosus. J Medula Unila , Vol.4, No.


4, 124.

Azizah, Y.(2013). Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat


Perkotaan Pada Pasien Sistemik Lupus Eritematosus Di Ruang Rawat
Anak Lantai Tiga Selatan Rsup Fatmawati Jakarta. Jakarta: Interna
Publishing.

Badrujamaludin A., Melanie R., Nurdiantini N.(2021). Pengaruh Mobilisasi dan


Massage terhadap Pencegahan Risiko Luka Tekan pada Pasien Tirah
Baring. Holistik Jurnal Kesehatan: Volume 15 (4). 610-623

Butarbutar M.E.T, Chaerunisaa A.Y.(2021). Peran Pelembab dalam Mengatasi


Kondisi Kulit Kering. Jurnal Kesehatan. Volume 6 (1).56-69

Carpenito, L.J.(2012).Diagnosis keperawatan:buku saku. Editor: edisi bahasa


Indonesia. Edisi 13.Jakarta : EGC

Dale, M.(2015). Exercise and Lupus: Effects and Guidelines.Saddle back


Memorial Medical Center.

Darma N.A, Saturti T.I, Kurniari P.k.(2020).Karakteristik Manifestasi Klinis


Pasien Sistemik Lupus Eritematosus Di Poliklinik Rematologi Rsup
Sanglah Periode Juni – September 2018. Jurnal Medika Udayana. Vol. 9
(5).29-34

Desmisagli, A.E.(2013). Dukungan Sosial Keluarga dan Spirit Menjadi Sehat


Penderita Lupus Eritematosus Sistemik. Jurnal Kesehatan. Vol.1 (1).15-20

Deswita, Ns., Asterina, & Hikmah, U. (2014). Pengaruh Teknik Relaksasi


Imajinasi Terbimbing (Guided Imagery) Terhadap Pemenuhan
Kebutuhan Tidur Anak Usia Sekolah di Ruang Rawat Inap Anak
RSUD Prof. Dr. Ma. Hanafiah SM Batusangkar. Jurnal Keperawatan.
Vol. 10, No. 1. 110 –117

Dwiutomo R, Pramudo SG, H, R, (2016). Hubungan Tingkat Aktivitas Penyakit


Dengan Kualitas Tidur pada Pasien Lupus Eritematosus Sistemik (Studi
Kasus di RSUP DR, Kariadi, Semarang). Jurnal Kedokteran Diponegoro,
5(4), 1672–1683.
37
41

Evalina, R. (2012). Gambaran Klinis dan Kelainan Imunologis padaAnak dengan


Lupus Eritematosus Sistemik di Rumah Sakit Umum Pusat Adam Malik
Medan. Sari Peidatri. 13(6).

Fatmawati, A.(2018). Regulasi Diri Pada Penyakit Kronis-Systemic Lupus


Erythematosus:Kajian Literatur. Jurnal Keperawatan Indonesia. 21 (1):43-
50.

Febriyanti D.(2017). Pentingnya Peran Keluarga Dalam Pencegahan Pasien


Jatuh Di Rumah Sakit. Jurnal Keperawatan. Vol 2 (1). 1-7

Figueroa G.P and Ojo Omorogieva.(2018).The effectiveness of alcohol-based gel


for hand sanitising in infection control. British Journal of Nursing. Vol.27
(7).382-388

Ghrahani, Reni dkk.(2015). Pola Antibodi Antinuklear Sebagai Faktor Risiko


Keterlibatan Sistem Hematologi Lupus Eritematosus Sistemik pada Anak.
Jurnal Keperawatan 47 (2). 124-128

Hasdianah dkk. (2014). Imunologi Diagnosis dan Tehnik Biologi Molekuler.


Yogyakarta: Nuha Medika

Hikmah, Z.(2018). Bersahabat Dengan Lupus, Kupas Tuntas SLE pada anak.
Jakarta: PT Gramedia.

Hillier MD.(2020). Using Effective Hand Hygiene Practice to Prevent and


Control Inecton. Journal of Nursing. Vol 35 (5).45-50

Isbagio, H., Kasjmir, YI., Setyohadi, B., dan Suarjana, N., (2013). Lupus
Eritematosus Sistemik. Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta :
Internal Publishing

Jafari Hassan dkk.(2020). Can Slow Deep Breathing Reduce Pain? An


Experimental Study Exploring Mechanisms. The Journal of Pain, Vol 00,
No 00 pp 1−13

Judha, M., & Setiawan, D. I. (2015). Apa dan Bagaimana Penyakit Lupus ?
(Sistemik Lupus Eritematosus). Yogyakarta: Gosyen Publising.

Kemenkes RI.(2017).Situasi Lupus di Indoensia. Jakarta: Infodatin

Kyle, Terri., & Carman, Susan. (2014). Buku Ajar Keperawatan Pediatri Edisi 2.
Jakarta : Buku Kedokteran EGC

Laeli, S., A. & Karyono. (2016). Pengalaman Sakit pada Penderita Lupus:
Interpretative Phenomenological Analysis. Jurnal Empati. Vol. 5, No. 3,
Agustus 2016: 566-571
41

Mardella, E. A., Ester, M., Riskiyah, S. Y., & Mulyaningrum, M. (2013). Buku
Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Mubarak, I., Chayatin, N., & Susanto, J. (2015). Standar Asuhan Keperawatan
dan Prosedur Tetap dalam Praktik Keperawatan. Jakarta: salemba
Medika.

Muttaqin, A. (2014). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan


Sistem Kardiovaskular dan Hematologi. Jakarta: Salemba Medika.

Nugraha W.E,Mawuntu A.,Estiasari R.(2021). Lupus Myelitis As The Initial


Manifestation Of Systemic Lupus Erythematosus: A Case Report. Jurnal
Sinaps, Vol. 4 (1). 13- 24

Nurarif, H. K. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa


Medis dan Nanda NIC-NOC. (3, Ed.). Jogjakarta: Mediaction publishing.

Nursalam. (2017). Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan: Pendekatan Praktis.


Cet. 2. Jakarta: Salemba Medika.

Nursalim A.J, Mamuaja E.H, dkk. (2022). Ocular Manifestations in Systemic


Lupus Erythematosus. E-clinic. Vol 10 (1). 56-62

Potter, P.A. & Perry, A.G. (2014). Fundamentals of Nursing: Fundamental


Keperawatan. Edisi 7. Mosby Elsevier

Potter, & Perry, A. G. (2015). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep,


Proses, Dan Praktik, edisi 4. Volume.2. Jakarta: EGC

PPNI, T. P. S. D. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi dan


Indikator Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI.

PPNI, T. P. S. D. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia : Definisi


dan Tindakan Keperawatan. Jakarta: DPP PPNI.

PPNI, T. P. S. D. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Definisi dan


Kriteria Hasil Keperawatan. Jakata: Dewan Pengurus Pusat PPNI.

Proverawati, A. & Rahmawati. (2016). Perilaku Hidup Bersih dan Sehat


(PHBS). Yogyakarta: Nuha Medika.

Rahmatika, Handoyo R.(2021). Peran Latihan Terapeutik pada Pasien Wanita 23


Tahun dengan Lupus Eritematosus Sistemik (LES). Medica Hospitalia.
Vo.8 (2).242-247

Rosita, T & Maria, R. (2014). Mobilisasi dan Timbulnya Luka Tekan pada Pasien
Tirah Baring. Jurnal
41

Roviati, E. (2012). Systemic Lupus Erithematosus (SLE): Kelainan Autoimun


Bawaan Yang Langka Dan Mekanisme Biokimiawinya. Jurnal Scientiae
Educatia.

Santoso J, Widijanti A.(2019). Laporan Kasus Wanita Usia 20 Tahun Dengan


Systemic Lupus Erythematosus (Sle) Dan HbA1c Rendah. Jurnal
Kesehatan. Vol 6 (4). 270-276

Sari M.K, Satria C.D dan Arguni.(2021). Predictors of Infection in Children with
Systemic Lupus Erythematosus: A Single Center Study in Indonesia.
Journal of Nursing. Vol 8(1). 1-9

Setiati Siti, Alwi Idrus, Sudoyo AW, K Simadibrata M, Setiyahadi B, Syam FA, et
al, editor.(2014). Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi keenam: lupus
eritematosus dan sindrom antibodi antifosfolipid. Jakarta: Interna
Publishing.

Smeltzer & Bare. (2014). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : Egc.
Hal : 45-47. EGC

Sumariadi, Simamora dkk. (2014). Efektivitas Penerapanguided Imagery


Terhadap Penurunan Rasa Nyeri Pasien Gastritis. Jurnal Keperawatan
Vol. 3, No. 1. 199-205

Suntoko, Bantar.(2015). Gambaran Klinik dan Diagnosis Lupus Eritematosis


Sistemik. Dalam Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi VI. Jakarta : Internal
Publishing

Triasanti, E.K. (2016). Pemasangan Gelang Kuning (Risiko Jatuh) Sebagai


Implementasi Program Patient Safety Di Ruang Perawatan Kelas III
Melati RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, Indonesia.

Wallace D. (2016). Principles of Therapy, Local Measures, and NSAIDs. In:


Wallace D, Bevra H, editors. Dubois' lupus th erythematosus. 7 ed. New
York: Lippincott Williams and Wilkins: 33–34

Waluyo Joko S, Saka Suminar. (2018) . Pengaruh Teknik Relaksasi Nafas Dalam
Terhadap Perubahan Skala Nyeri Sedang Pada Pasien Gastritis Di Klinik
Mboga, Sukoharjo. Jurnal Keperawatan Intan Husada. Vol 6 (1). 31-45

Warastridewi A.P, Kusmardi, Arisanty R.(2019). Aspek Imunopatologi, Klinis dan


Gambaran Histopatologi Cutaneous Lupus Erythematosus. Pratista
Patologi. Vol.6 (1). 44-57

Wardhana, Seto. (2015). Penderita Lupus di Yogyakarta Capai 2000 orang.


Yogyakarta: temo
41

Wijaya D.S, Putri G.W.P.(2019).Suplementasi Kurkumin Pada Status Gizi Pasien


Sistemik Lupus Erithematosus. Journal of Holistic and Traditional
Medicine. Vol. 3 (3). 301-306
Yuliasih.(2020). Perkembangan Patogenesis Dan Tata Laksana Systemic Lupus
Erythematosus. Surabaya: Universitas Airlangga

Zarah M., Djunawan A. (2022). Pencegahan Risiko Pasien Jatuh di Rawat Inap.
Jurnal Kesehatan.Volume 10 (1).43-49

Anda mungkin juga menyukai