Anda di halaman 1dari 38

Asuhan Keperawatan Pada Pasien Sistemic Lupus Erythematosus (SLE)

KELOMPOK 11

DIANA FEBIYOLA
MUTIARA AINI AFNA
WIDYA HENITA

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN

STIKES PAYUNG NEGERI PEKANBARU

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala hidayah-Nya sehingga
dapat menyelesaikan makalah berjudul Asuhan Keperawatan Pada pasien dengan SLE.
(Sistemic Lupus Erythematosus). Guna memenuhi tugas kelompok mata kuliah
Keperawatan Medikal Bedah 2. Dalam proses penyusunan makalah, banyak menemui
hambatan dan kesulitan.Penulisan makalah ini dapat diselesaikan karena dukungan dari
berbagai pihak tanpa melampaui batas waktu yang ditentukan.Penulis meminta pembaca
untuk memberikan saran serta kritik yang dapat membangun,untuk penyempurnaan makalah
selanjutnya.

Pekanbaru, 09 Juni 2021

Kelompok 1
DAFTAR ISI
HALAMAN COVER
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang

B. Rumusan masalah

C. Tujuan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Defenisi SLE

B. Anatomi SLE

C. Etiologi SLE

D. Klasifikasi SLE

E. Patofisiologi & WOC SLE

F. Komplikasi SLE

G. Penataksaan medis dan keperawatan

H. Pemeriksaan penunjang

I. Asuhan keperawatan SLE ( pengkajian, diagnosa keperawatan yang


mungkin muncul rencana intervensi keperawatan )
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan

B. Saran

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang

Penyakit Systemic Lupus Erithematosus (SLE) merupakan penyakit yang


menyebabkan peradangan atau inflamasi multisistem yang disebabkan banyak faktor dan
dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem
imun dan produksi autoantibody yang berlebihan. Lupus hingga saat ini menyerang paling
sedikit sekitar 5 juta orang di dunia. Di Amerika hingga saat ini tercatat 1,5 juta orang
menderita penyakit lupus (Lupus Foundation of America, 2015). Penderita lupus di
Indonesia pada tahun 1998 tercatat 586 kasus, ternyata setelah tahun 2005 telah
mencapai 6.578 penderita. Penderita yang meninggal mencapai sekitar 100 orang. Pada
tahun 2008, tercatat 8.693 penderita lupus dan 43 orang meninggal. Kemudian, sampai
dengan April 2009, tercatat 8.891 penderita lupus dan 15 meninggal (Djoerban 2007, dalam
Judha, dkk, 2015). Peningkatan kasus lupus kini signifikan. Mulai Januari 2015, pasien
lupus yang datang berobat ke RSUD dr. Moewardi mencapai 15-20 orang per hari.
Peningkatan tajam dibanding tahun- tahun sebelumnya yang hanya 1-3 pasien. Meningkat
signifikan, terutama mulai Januari 2015 (Ciptati, dalam RRI Post, 2015). Menurut Hasdianah,
dkk (2014), terdapat banyak faktor yang berpengaruh terhadap berkembangnya penyakit
autoimun (multi faktor). Penyakit autoimun merupakan penyakit yang timbul akibat patahnya
toleransi kekebalan diri. Lupus merupakan salah satu penyakit autoimun. Faktor-faktor yang
bersifat predisposisi dan ikut berkontribusi menimbulkan penyakit autoimun antara lain,
faktor genetik, kelamin (gender), infeksi, sifat autoantigen, obat-obatan, serta faktor umur.
Menurut Judha, dkk (2015), faktor yang meningkatkan risiko penyakit lupus yakni jenis
kelamin, wanita usia produktif lebih berisiko terkena penyakit ini. Lupus paling umum
terdiagnosis pada mereka yang berusia diantara 15-40 tahun. Ras Afrika, Hispanics dan Asia
lebih berisiko terkena lupus. Paparan sinar matahari juga menjadi faktor risiko lupus. Jenis
kelamin, usia, ras, paparan sinar matahari, konsumsi obat tertentu, infeksi virus Epstein-
Barr, paparan zat kimia seperti rokok juga menjadi faktor risiko penyakit lupus. Sudiono
(2014), memaparkan bahwa seiring dengan peningkatan usia, kemungkinan terjadi kerusakan
respon imun semakin tinggi. Sehingga, kerentanan terhadap infeksi semakin
meningkat juga. Peningkatan usia juga berpengaruh terhadap respon vaksin dalam tubuh.
Respon vaksin menjadi tidak mencukupi dan kadar kelainan autoimun juga meningkat.
Penyakit SLE menyerang penderita usia produkti yaitu 15-64 tahun. Meskipun begitu,
penyakit ini dapat terjadi pada semua orang tanpa membedakan usia dan jenis kelamin.
Prevalensi SLE berbeda-beda untuk tiap etnis yaitu etnis Afrika-Amerika mempunyai
prevalensi sebesar 1 kasus per 2000 populasi, Cina sebesar 1 dalam 1000 populasi, 12
kasus Per 100.000 populasi terjadi di Inggris, 39 kasus dalam 100.000 populasi terdapat di
Swedia. Di New Zealand, terjadi perbedaan prevalensi antara etnis Polynesian
sebanyak 50 kasus per 100.000 populasi dengan orang kulit putih sebesar 14,6 kasus dalam
100.000 populasi (Hasdianah, dkk, 2014). Sebesar 20% penderita lupus akan mempunyai
saudara yang akan menderita lupus. Sekitar 5% anak yang lahir dari individu yang terkena
lupus, akan menderita penyakit lupus, apabila kembar identik maka salah satu dari bayi
kembar tersebut akan menderita lupus. Sebesar 10% penderita lupus, mengalami
kelainan pada lebih dari satu jaringan tubuh. Kelainan jaringan tersebut dikenal dengan
istilah “overlap syndrom” atau “mixed connective tissue disease” (Lupus Foundation of
America, 2015). Penelitian Komalig, dkk (2008), menyatakan bahwa perempuan
lebih banyak menderita lupus (94,5%), kelompok umur terbanyak pada usia 25-34 tahun
(45%), suku terbanyak yang sakit lupus berasal dari suku Jawa (33,7%), penderita lupus
paling banyak tidak bekerja (32,2%), penderita lupus paling banyak tamat akademi/perguruan
tinggi (58,4%), penyakit ISPA lebih banyak ditemukan pada penderita lupus sebelum sakit,
jenis obat yang sering dikonsumsi sebelum sakit yakni golongan ampisilin/amoksilin
(63,1%), penderita lupus tidak merokok (88,1%), menggunakan kontrasepsi (44%),
melakukan aktivitas sehari-hari di luar rumah (22,2%), sering mengalami stres (85,6%),
pelayanan kesehatan yang paling banyak yakni rumah sakit (62,8%), dan paling
banyak responden tidak mengenal istilah LES sebelum sakit (58,9%). Penelitian
Washio, dkk (2006), diperoleh hasil bahwa perokok dan mantan perokok lebih berisiko
terkena SLE daripada orang yang bukan perokok (p< 0,001).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis mengkaji tentang


“Bagaimana Asuhan Keperawatan pada pasien SLE ?
C. Tujuan

1. Tujuan umum

Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan Pada Pasien SLE

2. Tujuan khusus

1. Untuk mendeskripsikan definisi SLE

2. Untuk mendeskripsikan anatomi fisiologi

3. Untuk mendeskripsikan etiologi

4. Untuk mendeskripsikan manifestasi klinis

5. Untuk mendeskripsikan patolofisiologi

6. Untuk mendeskripsikan komplikasi

7. Untuk mendeskripsikan tentang penatalaksanan medis

8. Untuk mendeskripsikan tentang pemeriksaan penunjang

9. Untuk mendeskripsikan tentang ASKE


BAB II
PEMBAHASAN

A. Defi
nisi

Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah radang kronis yang disebabkan oleh penyakit
autoimun (kekebalan tubuh) di mana sistem pertahanan tubuh yang tidak normal melawan
jaringan tubuh sendiri. Antara jaringan tubuh dan organ yang dapat terkena adalah seperti
kulit, jantung, paru-paru, ginjal, sendi, dan sistem saraf.
Lupus eritematosus sistemik (SLE) merupakan suatu penyakit atuoimun yang kronik dan
menyerang berbagai system dalam tubuh. ( Silvia & Lorraine, 2006 )
Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah penyakit radang yang menyerang banyak
sistem dalam tubuh, dengan perjalanan penyakit bisa akut atau kronis, dan disertai adanya
antibodi yang menyerang tubuhnya sendiri
Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah suatu penyakit autoimun multisystem dengan
manifestasi dan sifat yang sangat berubah – ubah, penuakit ini terutama menyerang kulitr,
ginjal, membrane serosa, sendi, dan jantung.(Robins, 2007).
B. Anatomi fisiologi SLE

Sistem Imun (bahasa Inggris: immune system) adalah sistem pertahanan manusia
sebagai perlindungan terhadap infeksi dari makromolekul asing atau serangan organisme,
termasuk virus, bakteri, protozoa dan parasit. Sistem imun terdiri dari ratusan mekanisme
dan proses yang berbeda yang semuanya siap bertindak begitu tubuh kita diserang oleh
berbagai bibit penyakit seperti virus, bakteri, mikroba, parasit dan polutan. Sebagai contoh
adalah cytokines yang mengarahkan sel-sel imun ke tempat infeksi, untuk melakukan
proses penyembuhan. Organ –Organ dalam Sistem Imun (Organ Limfoid) :
Berdasarkan fungsinya : a) Organ Limfoid Primer : organ yang terlibat dalam sintesis/
produksi sel imun, yaitu kelenjar timus dan susmsum tulang.

C. Etilogi

Penyakit lupus atau systemic lupus erythematosus (SLE) prevalensinya dalam populasi
tertentu kira – kira satu kasus per 2500 orang, penyakit ini cenderung terjadi pada
perempuan (kira – kira 9:1), yang menyerang satu diantara 700 perempuan usia subur.
systemic lupus erythematosus (SLE) lebih sering ditemukan pada ras tertentu seperti ras
kulit hitam, Cina, dan Filipina. Penyakit ini terutama diderita oleh wanita muda dengan
puncak kejadian pada usia 15-40 tahun (selama masa reproduktif) dengan perbandingan
wanita dan laki-laki 5:1)
Di Indonesia, data unutk kasus SLE masih belum ada yang mencakup semua
wilayah Indonesia. Data tahun 2002, berdasarkan data pasien yang datang ke poliklinik
Reumatologi Penyakit Dalam di RSUP Cipto Mangunkosumo Jakarta, terdapat 1,4%
kasusu dari total seluruh kunjungan pasien. Sedangkan unutuk RS Hasan Sadikin
Bandung, terdapat 10,5% (291pasien) dari total pasien yang berkunjung ke poliklinik
reumatologi pada tahun 2010.
a. Penyebab/factor predisposisi

 Factor genetic

 Factor Humoral

 Factor lingkungan

 Kontak dengan sinar matahari

 Infeksi virus/bakteri

 Obat golongan sulva

 Penghentian lehamilan

 Trauma psikis

b. Patogenesis

Lupus ditandai oleh peradangan kronis atau berulang mempengaruhi satu atau lebih
jaringan dalam hubungan dengan beberapa autoantibodi. Beberapa, seperti anti - sel merah
dan antibodi antiplatelet, jelas patogen, sedangkan yang lain mungkin hanya penanda
kerusakan toleransi. Etiologi tetap misteri, tetapi seperti dalam banyak penyakit kronis,
tampaknya mungkin bahwa penyakit ini dipicu oleh agen lingkungan dalam kecenderungan
tiap individu (Malleson, Pete; Tekano, Jenny. 2007).

 Faktor Endogen

Banyak autoantibodi (terutama ANAs) diarahkan terhadap antigen intraseluler biasanya


'tak terlihat' untuk sistem kekebalan tubuh. Hal ini menunjukkan autoimunitas yang
berkembang, setidaknya dalam beberapa kasus, sebagai konsekuensi dari kematian sel
yang tidak normal atau disregulasi termasuk kematian sel terprogram (apoptosis). Dalam
mendukung Konsep ini telah menjadi pengakuan bahwa model hewan lupus di MLR / lpr
mencit karena mutasi genetik FAS. Aktivasi FAS menyebabkan apoptosis, kelainan
FAS mencegah apoptosis yang normal menyebabkan proliferasi limfositik tidak terkendali
dan produksi autoantibodi. Sebuah homolog manusia model hewan adalah sindrom
limfoproliferatif autoimun (ALPS), karena mutasi dari FAS, anak
-anak mengembangkan limfadenopati besar dan splenomegali dengan produksi
autoantibody(Malleson, Pete; Tekano, Jenny. 2007).
 Faktor Eksogen

Bahkan sedikit yang diketahui tentang pemicu yang bertanggung jawab untuk sebagian
besar bentuk lupus. Obat seperti antikonvulsan dan antibiotik (khususnya minocycline) dapat
menyebabkan lupus. Sinar matahari dapat memicu kedua manifestasi kulit dan sistemik
lupus (dan neonatal lupus).
Menelan jumlah yang sangat besar kecambah alfalfa juga dapat menyebabkan lupus,
pemicu aktif muncul menjadi L-canvanine. Peran, jika ada, dari virus dan bakteri dalam
memicu lupus tetap jelas meskipun perlu penelitian yang cukup besar. Tidak ada bukti yang
meyakinkan bahwa infeksi tertentu adalah penting dalam menyebabkan lupus.
Menariknya, ada peningkatan penyakit rematik pada orang dengan infeksi HIV, dan
penyakit autoimun termasuk lupus tampaknya menjadi lebih umum ketika ada restorasi
kompetensi kekebalan dengan penggunaan obat anti retro virus yang sangat aktif
(Malleson, Pete; Tekano, Jenny. 2007).

D. Klasifikasi

KlasifikasiPenyakit Lupus yang diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu

:a.Discoid Lupus, yang juga dikenal sebagai Cutaneus Lupus, yaitu penyakit
Lupus yang menyerang kulit. b.Systemics Lupus, penyakit Lupus yang menyerang
kebanyakan system di dalam tubuh, seperti kulit, sendi, darah, paru-paru, ginjal, hati, otak,
dan sistem saraf. Selanjutnya kita singkat dengan SLE (Systemics Lupus
Erythematosus). c.Drug-Induced (Lupus obat) ,penyakit Lupus yang timbul setelah
penggunaan obat tertentu. Gejala-gejalanya biasanya menghilang setelah pemakaian obat
dihentikan

E. Manifestasi klinis

Manifestasi Klinis Pada awal penyakit, lupus hanya menyerang satu organ, tetapi di
kemudian hari akan melibatkan organ lainnya.

1. Sistem MuskuloskeletalArtralgia, artritis (sinovitis), pembengkakan


sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari.

2. Sistem IntegumenLesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk
kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi.Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi
atau palatum durum.

3. Sistem KardiakPerikarditis merupakan manifestasi kardiak.


4. Sistem Pernafasan Pleuritis atau efusi pleura.

5. Sistem Vaskuler Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler,
eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan
bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.

6. Sistem Perkemihan Glomerulus renal yang biasanya terkena.

7. Sistem Saraf Spektrum gangguan sistem saraf pusat sangat luas dan mencakup
seluruh bentuk penyakit neurologik, sering terjadi depresi dan psikosis.Tapi secara
umum,tanda gejala lupus antara lain
:a.Lelahb.Demamc.Hilang bb atau meningkat bbd.Ruam yang berbentuksepertikupu-kupu
yang menutupi wajah dan hidunge.Radang pada mulutf.Rambut rontok

F. Patofisiologi Dan WOC


Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan
peningkatan autoantibody yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh
kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan
penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduksi) dan lingkungan (cahaya matahari,
luka bakar termal). Obat-obatan tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid,
klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan disamping makanan seperti
kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE akibat senyawa kimia atau obat-obatan.
Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T
supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan
jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya terjadi serangan antibodi
tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.Kerusaan organ pada SLE didasari pada
reaksi imunologi. Reaksi ini menimbulkan abnormalitas respons imun didalam tubuh
yaitu :1.Sel T dan sel B menjadi otoreaktif2.Pembentukan sitokin yang
berlebihan3.Hilangnya regulasi kontrol pada sistem imun, antara lain:a.Hilangnya
kemampuan membersihkan antigen di kompleks imun maupun sitokin dalam
tubuhb.Menurunnya kemampuan mengendalikan apoptosisc.Hilangnya toleransi imun : sel T
mengenali molekul
tubuh sebagai antigen karena adanya mimikri molekuler.Akibat proses tersebut, maka
terbentuk berbagai macam antibodi di dalam tubuh yang disebut sebagai autoantibodi.
Selanjutnya antibodi-antibodi yang tersebut membentuk kompleks imun. Kompleks imun
tersebut terdeposisi pada jaringan/organ yang akhirnya menimbulkan gejala inflamasi atau
kerusakan jaringan.
G.Komplikasi

Lupus mungkin terlihat sebagai penyakit yang biasa terjadi pada kulit. Namun
jika tidak segera ditangani, lupus bisa menjadi momok bagi kehidupan Anda.
Berikut ini adalah beberapa komplikasi yang bisa terjadi jika penyakit lupus tidak ditangani
dengan cepat dan tepat:
1. Penyakit ginjalJika terjadi pembengkakan pada kaki atau pergelangan kaki
setelah Anda divonis mengidap lupus, maka itu adalah tanda bahwa eksresi cairan pada
tubuh Anda sudah tidak normal. Ada yang salah pada ginjal Anda. Pada kasus yang lebih
parah, gejalanya sampai urin bercampur darah hingga pasien mengalami gagal ginjal.
2. Penyakit jantungKomplikasi jantung yang paling umum terjadi pada
penderita lupus adalah terjadinya infeksi pada selaput pembungkus jantung, penebalan
pembuluh darah, dan melemahnya otot-otot jantung.
3. Penyakit paru-paru1 dari 3 orang penderita lupus akan mengalamiinfeksi
pada selaput pembungkus paru-paru. Jika ini terjadi maka pasien akan merasakan sakit saat
bernapas hingga batuk berdarah
4. Gangguan peredaran darah darahUntuk penyakit yang satu ini pada
penderita lupus, biasanya tidak ditemukan gejala yang dapat dideteksi secara langsung.
Gangguannya antara lain seperti terganggunya distribusi oksigen dalam darah atau
berkurangnya produksi sel darah putih, dan anemia.
5. Gangguan saraf dan mentaBanyak dari penderita lupus yang mengalami
susah konsentrasi, cepat lupa, sakit kepala yang sangat parah, khawatir berlebihan, dan
selalu gelisah. Hal ini dikarenakan penyakit lupus lama-kelamaan akan melemahkan kerja
saraf dan menyebabkan stres pada pasien

H.Penatalaksanan medis dan keperawatan

1. Penatalaksanaan keperawatana

Pemantauan aktivitas penyakit dilakukan dengan menggunakan instrument yang valid, seperti
hitung nyeri tekan dan bengkak sendi (Thompson & Kirwan, 1995) dan kuesioner
pengkajian kesehatan (Fries et al, 1980). Hal ini member indikasi yang berguna mengenai
pemburukan
atau kekambuhan gejala. Edukasi sangat penting pada semua penyakit jangka panjang. Pasien
yang menyadari hubungan antara stres dan serangan aktivitaspenyakit akan mampu
mengoptimalkan prospek kesehatan mereka. Advice tentang keseimbangan antara
aktivitas dan periode istirahat, pentingnya latihan, dan mengetahui tanda
peringatan serangan, seperti peningkatan keletihan, nyeri, ruam, demam, sakit kepala,atau
pusing, penting dalam membantu pasien mengembangkan strategi koping dan menjamin
masalah diperhatikan dengan baik.c)Dukungan psikologis merupakan kebutuhan utama
bagi pasien SLE. Perawat dapat memberi dukungan dan dorongan serta, setelah pelatihan,
dapat menggunakan ketrampilan konseling ahli. Pemberdayaan pasien, keluarga, dan
pemberi asuhan memungkinkan kepatuhan dan kendali personal yang lebih baik terhadap
gaya hidup dan penatalaksanaan regimen bagi mereka (Anisa Tri U., 2012).
2. Penatalaksanaan medis
Terapi dengan obat bagi penderita SLE mencakup pemberian obat-obat:
1)Antiradang nonstreroid (AINS)
AINS dipakai untuk mengatasi arthritis dan artralgia. Aspirin saat ini lebih jarang
dipakai karena memiliki insiden hepatotoksik tertinggi, dan sebagian penderita
SLE juga mengalami gangguan pada hati. Penderita LES juga memiliki risiko tinggi
terhadap efek samping obat-obatan AINS pada kulit, hati, dan ginjal sehingga pemberian
harus dipantau secara seksama.
2)Kortikosteroid
3)Antimalaria
Pemberian antimalaria kadang-kadang dapat efektif apabila AINS tidak dapat
mengendalikan gejala-gejala LES. Biasanya antimalaria mula-mula diberikan dengan
dosis tinggi untuk memperoleh keadaan remisi. Bersihnya lesi kulit merupakan
parameter untuk memantaupemakaian dosis.
4)Imunosupresif
Pemberian imunosupresif (siklofosfamid atau azatioprin) dapat dilakukan untuk
menekan aktivitas autoimun LES. Obat-obatan ini biasanya dipakai ketika:a)Diagnosis
pasti sudah ditegakkan, b). Adanya gejala-gejala berat yang mengancam jiwa,
c)Kegagalan tindakan-tidakan pengobatan lainnya, misalnya bila pemberian steroid tidak
memberikan respon atau bila dosis steroid harus diturunkan karena adanya efek
samping, d)Tidak adanya infeksi, kehamilan dan neoplasma (Sylvia dan Lorraine,
1995).
I. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan PenunjangPemeriksaan laboratorium dapat memberikan
a. Penegakkan atau menyingkirkan suatu diagnosis;
b. Untuk mengikuti perkembangan penyakit, terutama untuk menandai terjadinya
suatu serangan atau sedang berkembang pada suatu organ;
c. Untuk mengidentifikasi efek samping dari suatu pengobatan

J. ASKEP

a. Pengkajian

1. Identitas
a. Penyakit Lupus Eritematosus Sistemik bisa terjadi pada wanita maupun pria, namun
penyakit ini sering diderita oleh wanita, dengan perbandingan wanita dan pria 8 : 1.
b. Biasa ditemukan pada ras-ras tertentu seperti Negro, Cina, dan Filiphina.
c. Lebih sering pada usia 20-40 tahun, yaitu pada usia produktif.
d. Faktor ekonomi dan geografis tidak mempengaruhi distribusi penyakit ini.
Keluhan Utama: pada umumnya pasien mengeluh mudah lelah, lemah, nyeri, kaku,
demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra diri pasien.

2.Riwayat Penyakit Dahulu


Perlu dikaji tentang riwayat penyakit dahulu, apakah pernah menderita penyakit ginjal
atau manifestasi SLE yang serius, atau penyakit autoimun yang lain.

3. Riwayat Penyakit Sekarang


a. Perlu dikaji yaitu gejala apa yang pernah dialami pasien (misalnya ruam malar-fotosensitif,
ruam diskoid-bintik-bintik eritematosa menimbul, Artralgia/arthritis, demam, kelelahan, nyeri
dada pleuritik, perikarditis, bengkak pada pergelangan kaki, kejang, ulkus dimulut.
b. Mulai kapan keluhan dirasakan.
c. Faktor yang memperberat atau memperingan serangan.
d. keluhan-keluhan lain yang menyertai.

4. Riwayat Pengobatan
Kaji apakah pasien mendapat terapi dengan Klorpromazin, metildopa, hidralasin,
prokainamid, dan isoniazid, dilantin, penisilamin, dan kuinidin.

5.Riwayat Penyakit Keluarga


Perlu dikaji apakah dalam keluarga ada yang pernah mengalami penyakit yang sama atau
penyakit autoimun yang lain.
6. Pemeriksaan Fisik

Ukur suhu dan dokumentasikan adanya demam. Observasi kulit untuk ruam malar (ruam
yang berbentuk seperti kupu-kupu di pipi); lesi diskoid pada wajah, kulit kepala atau leher;
perubahan pada pigmentasi kulit; atau jaringan parut, Dokumentasikan alopesia. Inspeksi
rongga mulut terhadap ulkus / ulserasi yang tidak terasa nyeri dan sendi untuk edema. Ukur
tekanan darah, karena hipertensi dapat terjadi akibat terpengaruhnya ginjal. Auskultasi paru;
suara nafas tambahan dapat ditemukan jika sistem pulmonal terpengaruh. Palpasi sendi,
observasi area nyeri tekan (pada SLE, gangguan abdomen lebih
umum ditemukan pada anak daripada orang dewasa).

DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. kerusakan integritas kulit berhubungan dengan proses penyakit.
b. Nyeri berhubungan dengan inflamasi atau kerusakan jaringan.
c. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan pada penampilan fisik.
d. Resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan kulit, leukopenia, penurunan hemoglobin
e. Intoleransi aktivitas fisik berhubungan dengan kelemahan atau keletihan akibat anemia.
KASUS SLE

Seorang perempuan berusia 38 tahun berobat ke poliklinik kulit dan kelamin dengan keluhan
bercak-bercak kemerahan hampir diseluruh tubuh disertai lemas. sejak 1 tahun yang lalu
pasien mengeluhkan bercak-bercak berwarna ungu kehitaman muncul dibadannya tanpa rasa
gatal maupun nyeri. Bercak semakin lama semakin bertambah banyak dan menyebar di
badan. Pasien mengatakan keluhan membaik tetapi kemudian muncul kembali. Kurang lebih
5 bulan SMRS pasien sering mengeluhkan badannya lemas dan sering di obati sendiri dengan
minum tablet deksametason 0,5 mg sekali sehari dan tablet narium diklofenak 50 mg
diminum sekali sehari. Keluhan membaik akan tetapi muncul kembali. 3 bulan SMRS
berobat ke klinik dan diberikan obat minum dan salep racikan, keluhan di kulit membaik.
1 bulan SMRS pasien mengeluhkan bercak-bercak ungu kehitaman berubah menjadi
kemerahan dan bersisik menyebar ke wajah, lengan, dan tungkai. Kulit menjadi merah saat
terkena sinar matahari. Pasien juga mengatakan rambutnya rontok dan demam. Tekanan
darah 100/70 mmHg, frekuensi napas 20x/menit, frekuensi nadi 100x/menit, suhu 38°C.
Status dermatologis daerah wajah terutama malar, tampak plak eritema sebagian
hipopigmentasi, bentuk ireguler, batas tegas, disertai skuama putih tipis diatasnya, multiple
dan tersebar. Hasil pemeriksaan urine: proteinuria +2, hematuria, leukosit +2, nitrit +2, dan
bakteri 15.657,1. Hasil pemeriksaan EKG: Sinus takikardia dengan HR 100kali/menit. Pasien
mendapatkan terapi metilprednisolon 48 mg/hari dan klorokuin 250 mg/hari, cetirizine tablet
1x1 dan obat topical oleum cocos 2 kali sehari serta salep gentamisin kali sehari di daerah
erosi.
BAB IV
MCP KASUS
3.1 MCP Kasus

ND: Gangguan Integritas Kulit b.d. MD: Systemic Lupus Erythematosus (SLE) ND: Gangguan Citra Tubuh b.d.
perubahan pigmentasi KA: perubahan struktur tubuh
DS: - Butterfly rash DS:
1. Pasien mengeluh bercak-bercak - Fotosensitivitas 1. Pasien mengeluh bercak-bercak
ungu kehitaman berubah menjadi - Ulkus oral kemerahan hamper di seluruh
kemerahan dan bersisik menyebar - Vaskulitis Kutaneus tubuh disertai lemas
ke wajah, lengan, dan tungkai - Trombositopenia, leukopenia, anemia 2. Pasien mengeluhkan bercak-
2. Kulit menjadi merah saat terkena - Antinuclearantibody diatas nilai normal (+) bercak berwarna ungu kehitaman
sinar matahari - Tes komplemen C3 dan C4 hasilnya muncul di badannya
3. Pasien mengatakan rambut rontok menurun DO:
dan demam - Hasil rontgen thorax ditemukan adanya: 1. Status dermatologis daerah wajah
DO: Pleuritis dan perikarditis terutama malar, tampak plak
1. Status dermatologis daerah wajah eritema, sebagian
terutama malar, tampak plak hipopigmentasi, bentuk ireguler,
eritema, sebagian hipopigmentasi, batas tegas, disertai skuama putih
bentuk ireguler, batas tegas, disertai tipis diatasnya, multiple tersebar
skuama putih tipis diatasnya, Terapi:
multiple tersebar
2. Pada badan dan ekstremitas tampak
papula plak erimatosa sebagian
hipopigmentasi, bentuk ireguler,
batas tegas, skuama putih, multiple
dan tersebar
Terapi: klorokuin 250 mg/hari,
cetirizine tablet 1x1 obat topical oleum
cocos 2x1, salep gentamisisn 2x1
3.2 Rencana Intervensi dan Tindakan Keperawatan
No. Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
1. Gangguan Integritas Setelah dilakukan tindakan Intervensi utama:
Kulit b.d. perubahan keperawatan selama 1x24 Perawatan Integritas Kulit
pigmentasi jam diharapkan integritas Tindakan:
kulit meningkat dengan Observasi:
kriteria hasil: 1. Identifikasi penyebab
1. Kerusakan lapisan kulit gangguan integritas
menurun kulit
2. Kemerahan menurun Terapeutik:
3. Pigmentasi abnormal 1. Gunakan produk
menurun berbahan petroleum
4. Suhu kulit membaik atau minyak pada kulit
5. Pertumbuhan rambut kering
membaik 2. Gunakan produk
berbahan ringan/alami
dan hipoalergik pada
kulit sensitive
3. Hindari produk
berbahan dasar alcohol
pada kulit kering
Edukasi:
1. Anjurkan
menggunakan
pelembab (lotion)
2. Anjurkan minum air
yang cukup
3. Anjurkan
meningkatkan asupan
buah dan sayur
4. Anjurkan menghindari
terpapar suhu ekstrem
2. Gangguan Citra Tubuh Setelah dilakukan tindakan Intervensi utama: Promosi
b.d. perubahan struktur keperawatan selama 1x24 Citra Tubuh
tubuh jam diharapkan citra tubuh Tindakan:
meningkat dengan kriteria Observasi:
hasil: 1. Identifikasi harapan
1. Verbalisasi perasaan citra tubuh
negative tentang berdasarkan tahap
perubahan tubuh perkembangan
menurun 2. Monitor frekuensi
2. Respon nonverbal pada pernyataan kritik
perubahan tubuh terhadap diri sendiri
membaik Terapeutik:
1. Diskusikan perubahan
tubuh dan fungsinya
2. Diskusikan perbedaan
penampilan fisik
terhadap harga diri
3. Diskusikan persepsi
pasien dan keluarga
tentang perubahan
citra tubuh
Edukasi:
1. Jelaskan kepada
keluarga tentang
perawatan perubahan
citra tubuh
2. Anjurkan
mengungkapkan
gambaran diri
terhadap citra tubuh
3. Latih peningkatan
penampilan diri
BAB IV

ANALISIS JURNAL

A. Judul Artikel, Penelitian, Tahun Penelitian.

Regulasi Diri Pada Penyakit Kronis—Systemic Lupus Erythematosus: Kajian Literatur.


Atikah Fatmawati. 2018
B. Jenis dan jumlah populasi/sample/responden
Di Indonesia, data jumlah Odapus belum diketahui secara pasti. Survey yang
dilakukan Prof. Handono Kalim, dkk. menunjukkan jumlah Odapus adalah sebesaR
0,5% dari total populasi penduduk yang ada di Malang (Kemenkes RI, 201
C. Jenis tindakan/intervensi/penanganan
Penelusuran literatur melalui database online yaitu CINAHL, ScienceDirect, dan
Proquest. Literatur dibatasi dari tahun 2008–2017 dengan kata kunci “manajemen
diri”, “sistemik lupus erythemathosus”, “kelelahan”, dan “depresi”. Sebanyak 1artikel
didapatkan pada kajian literatur ini.
D. Pembahasan hasil penelitian
Self-Management Skills pada SLE. Banyak yang beranggapan bahwa penyakit SLE
adalah penyakit yang bersifat fatal. Anggapan tersebut terjadi karena adanya
ketidaktepatan dalam hal manajemen penyakit yang dapat datang dari sisi pasien dan
bahkan tenaga kesehatan. Aktivitas harian pasien dapat terganggu karena efek
samping yang mungkin muncul dari pengobatan jangka panjang dan
ketidakmampuan pasien untuk mengatasinya. Peningkatan kelangsungan hidup pada
Odapus perlu untuk dilakukan, karena hal ini dapat menggeser beban pengelolaan
penyakit dari mengobati berbagai gejala yang muncul ke upaya-upaya pencegahan
munculnya gejala tersebut (Drenkard, et al., 2012).
Integrasi self-management pada perawatan pasien dengan SLE mempunyai efek
positif, yaitu hasil klinis yang membaik, mengurangi pengeluaran dana perawatan
kesehatan, dan peningkatan kualitas hidup (Udlis, 2011). Hasil klinis yang membaik
dapat menjadi salah satu indikator keberhasilan dari suatu program selfmanagement
pada penyakit kronis. Konsekuensi lain yaitu berkurangnya pengeluaran pembiayaan
kesehatan. Menurut Bomar (2012), terdapat beberapa kemampuan dan keterampilan
yang harus diintegrasikan dalam self-management pada penyakit SLE ini
diantaranya komunikasi, koping dan stres, aktifitas fisik, pengaturan obat, nutrisi,
dan perawatan kesehatan alternatif. Penyakit SLE dapat menyebabkan gejala
serangan yang mendadak, maka dari itu diperlukan pengetahuan dan kemampuan
pasien dalam pengambilan keputusan yang tepat terkait pemilihan dan penentuan
fasilitas pelayanan kesehatan yang akan digunakannya. Selain fasilitas pelayanan
kesehatan yang bersifat konvensional, perawatan yang bersifat alternative dan
komplementer juga dibutuhkan untuk mengurangi efek negative dari penyakit.
Pilihan perawatannya dapat berupa obat herbal, akupuntur, massage, yoga, dan lain-
lain (Bomar, 2012). ika penderita SLE ingin hamil dianjurkan sekurang-kurangnya
setelah 6 bulan aktivitas penyakitnya terkendali atau dalam keadaan remisi total.
Pada lupus nefritis jangka waktu lebih lama sampai 12 bulan remisi total. Hal ini
dapat mengurangi kekambuhan lupus selama hamil. Pengaruh kehamilan pada SLE
terhadap fetus adalah adanya kemungkinan peningkatan risiko terjadi fetal heart
block (kongenital) sebesar 2%. Kejadian ini berhubungan dengan adanya antibodi
anti Ro/SSA atau anti La/SSB (Kasjmir, et al., 2011). Dalam program self-
management ini, intervensi yang dapat diberikan adalah terkait dengan
psychoeducational. Salah satu penelitian RCT yang dilakukan di Amerika Serikat
menunjukkan bahwa psychoeducational tersebut dapat meningkatkan kemampuan
komunikasi pasangan (p= 0,01), self-efficacy (p= 0,004), status kesehatan mental
(p= 0,03), dan menurunkan skor fatigue (p= 0,02) dibandingkan dengan kelompok
kontrol (Karlson, et al., 2004).

E. Kesimpulan hasil penelitian

Fenomena jumlah penyakit kronis yang terus meningkat membutuhkan suatu


penanganan khusus. Hal ini dalam upaya untuk mengurangi efek negatif yang
mungkin muncul. Salah satunya adalah penerapan program self-management ini
pada pasien dengan penyakit kronis, salah satunya adalah penyakit SLE. Telah
terbukti bahwa program self-management ini memiliki efek dalam mengurangi
kondisi fatiguedan depresi, serta meningkatkan kemampuan koping dan self-
efficacy. Oleh karena itu, self management dapat menjadi suatu intervensi terbaik
untuk pasien. Pengetahuan dan pemahaman perawat terkait program self-
management pada penyakit kronis harus terus dikembangkan dalam lingkup praktik
dan penelitian. Hal ini didukung oleh justifikasi bahwa semakin kekinian konsep
asuhan keperawatan akan berubah menjadi patient and family center care. Peran
serta aktif pasien dan keluarga merupakan suatu komponen penting dalam
kesuksesan suatu program perawatan (JH, AW, TN).
BAB V PENUTUP

F. Simpulan

Definisi Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah radang kronis yang disebabkan oleh
penyakit autoimun (kekebalan tubuh) di mana sistem pertahanan tubuh yang tidak normal
melawan jaringan tubuh sendiri. Antara jaringan tubuh dan organ yang dapat terkena adalah
seperti kulit, jantung, paru- paru, ginjal, sendi, dan sistem saraf. Lupus eritematosus
sistemik (SLE) merupakan suatu penyakit atuoimun yang kronik dan menyerang berbagai
system dalam tubuh. ( Silvia & Lorraine, 2006 ) Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah
penyakit radang yang menyerang banyak sistem dalam tubuh, dengan perjalanan penyakit
bisa akut atau kronis, dan disertai adanya antibodi yang menyerang tubuhnya sendiri
Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah suatu penyakit autoimun multisystem dengan
manifestasi dan sifat yang sangat berubah – ubah, penuakit ini terutama menyerang kulitr,
ginjal, membrane serosa, sendi, dan jantung. Sistem imun terdiri dari ratusan mekanisme
dan proses yang berbeda yang semuanya siap bertindak begitu tubuh kita diserang oleh
berbagai bibit penyakit seperti virus, bakteri, mikroba, parasit dan polutan.Etilogi
Penyakit lupus atau systemic lupus erythematosus (SLE) prevalensinya dalam populasi
tertentu kira – kira satu kasus per 2500 orang, penyakit ini cenderung terjadi pada
perempuan (kira – kira 9:1), yang menyerang satu diantara 700 perempuan usia subur.
Penyakit ini terutama diderita oleh wanita muda dengan puncak kejadian pada usia 15-40
tahun (selama masa reproduktif) dengan perbandingan wanita dan laki-laki 5:1) Di
Indonesia, data unutk kasus SLE masih belum ada yang mencakup semua wilayah Indonesia.
Menariknya, ada peningkatan penyakit rematik pada orang dengan infeksi HIV, dan penyakit
autoimun termasuk lupus tampaknya menjadi lebih umum ketika ada restorasi kompetensi
kekebalan dengan penggunaan obat anti retro virus yang sangat aktif (Malleson, Pete; Tekano,
Jenny. Klasifikasi KlasifikasiPenyakit Lupus yang diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu
:a.Discoid Lupus, yang juga dikenal sebagai Cutaneus Lupus, yaitu penyakit Lupus
yang menyerang kulit. b.Systemics Lupus, penyakit Lupus yang menyerang
kebanyakan system di dalam tubuh, seperti kulit, sendi, darah, paru-paru, ginjal, hati,
otak, dan sistem saraf. Sistem VaskulerInflamasi pada arteriole terminalis yang
menimbulkan lesi papuler, eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta
permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.

G. Saran

Saya sebagai penulis, menyadari bahwa makalah ini banyak sekali kesalahan
dan sangat jauh dari kesempurnaan. Tentunya, penulis akan terus memperbaiki makalah
dengan mengacu pada sumber yang dapat dipertanggungjawabkan nantinya. Oleh karena itu,
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran tentang pembahasan makalah diatas.
Lampiran
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek G.M., Howard B.K, Dochterman J.M. (2008). NursingInterventions


Classifivation(NIC)fifthedition. St. Louis: Mosby Elseiver.

Burn, Catherine E, et all. (2004). Pediatric Primary Care : A Handbook for Nurse
Practitioner.USA : Saunders

Herdman, T. Heather. (2012). NANDAInternationalNursingDiagnoses:Definitions


&Classification2012-2014.UK: Wiley‐Blacwell, A John Wiley & Sons Ltd

Kasjmir, Yoga dkk. (2011). RekomendasiPerhimpunanReumatologiIndonesiaUntuk


Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik
Perhimpunan Reumatologi Indonesia

King, Jennifer K; Hahn, Bevra H. (2007). Systemic lupus erythematosus: modern s


trategies for management – a moving target. Best Practice & Research Clinical
Rheumatology Vol. 21, No. 6, pp. 971–987, 2007
doi:10.1016/j.berh.2007.09.002 available online at
http://www.sciencedirect.com

Malleson, Pete; Tekano, Jenny. (2007). Diagnosis And Management Of Systemic


Lupus Erythematosus In Children. Paediatrics
And Child Health 18:2. Published By Elsevier Ltd. Symposium: Bone &
Connective Tissue.

Moorhead, S., Johnson, M., Maas, ML., Swansosn, E. (2008). Nursing Outcomes
Classification(NOC)Fourthedition.St. Louis: Mosby Elseiver.

Sutarna, Agus, dkk. (2008). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Wong (Wong’s
EssentialsofPediatricNursing).ED.6. Jakarta: EGC

Ward, Susan L and Hisley, Shelton M. (2009). Maternal-childnursingcare:optimizing


outcomesformothers,children,andFamilies.United States of America : F.A.
Davis Compan

Fatmawati, atikah. 2018. REGULASI DIRI PADA PENYAKIT KRONIS—SYSTEMIC LUPUS


ERYTHEMATOSUS: KAJIAN LITERATUR. Volume 21 No.1. Mojokerto : Jurnal Keperawatan
Indonesia. https://media.neliti.com › mediaPDF
REGULASI DIRI PADA PENYAKIT KRONIS—SYSTEMIC ... - Neliti (Diakses tanggal 02 juli 202

Anda mungkin juga menyukai