Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Imunohematologi adalah sebuah ilmu yang mempelajari system ilmu pada darah.
Penyakit pada system imun yang sering kita kenal antara lain: Hipersensitivitas, Autoimun,
HIV/AIDS, dll. Autoimun, seperti dengan namanya adalah keadaan abnormal dimana sistem
imun tubuh menyerang bagian ubuh itu sendiri seperti jaringan atau organ dalam karena
dianggap oleh system imun sebagai benda asing. Salah satu penyakit autoimun adalah
systemic lupus erythematosus atau yang sering dikenal sebagai penyakit lupus.
Penyakit lupus berasal dari bahasa Latin yang berarti “Anjing hutan,” atau “Serigala,”
memiliki ciri yaitu munculnya bercak atau kelainan pada kulit, dimana disekitar pipi dan
hidung akan terlihat kemerah-merahan seperti kupu-kupu. Lupus juga menyerang organ
dalam lainnya seperti ginjal, jantung, dan paru-paru. Oleh karena itu penyakit ini dinamakan
“Sistemik,” karena mengenai hampir seluruh bagian tubuh kita. Jika Lupus hanya mengenai
kulit saja, sedangkan organ lain tidak terkena, maka disebut Lupus Kulit (lupus kutaneus)
yang tidak terlalu berbahaya dibandingkan lupus yang sistemik (Sistemik Lupus /SLE).
Berbeda dengan HIV/AIDS, SLE adalah suatu penyakit yang ditandai dengan
peningkatan sistem kekebalan tubuh sehingga antibodi yang seharusnya ditujukan untuk
melawan bakteri maupun virus yang masuk ke dalam tubuh berbalik merusak organ tubuh itu
sendiri seperti ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit. Karena organ
tubuh yang diserang bisa berbeda antara penderita satu dengan lainnya, maka gejala yang
tampak sering berbeda, misalnya akibat kerusakan di ginjal terjadi bengkak pada kaki dan
perut, anemia berat, dan jumlah trombosit yang sangat rendah (Sukmana, 2004).
Perkembangan penyakit lupus meningkat tajam di Indonesia. Menurut hasil penelitian
Lembaga Konsumen Jakarta (LKJ), pada tahun 2009 saja, di RS Hasan Sadikin Bandung
sudah terdapat 350 orang yang terkena SLE (sistemic lupus erythematosus). Hal ini
disebabkan oleh manifestasi penyakit yang sering terlambat diketahui sehingga berakibat
pada pemberian terapi yang inadekuat, penurunan kualitas pelayanan, dan peningkatan
masalah yang dihadapi oleh penderita SLE. Masalah lain yang timbul adalah belum
terpenuhinya kebutuhan penderita SLE dan keluarganya tentang informasi, pendidikan, dan

1
dukungan yang terkait dengan SLE. Manifestasi klinis dari SLE bermacam-macam meliputi
sistemik, muskuloskeletal, kulit, hematologik, neurologik, kardiopulmonal, ginjal, saluran
cerna, mata, trombosis, dan kematian janin (Hahn, 2005).

1.2 RUMUSAN MASALAH


Bagaimana konsep dasar penyakit dan konsep dasar asuhan keperawatan pada penderita
Systemic Lupus Erithematosus (SLE)?

1.3 TUJUAN
1.3.1 TUJUAN UMUM
Untuk mengetahui konsep dasar penyakit dan konsep dasar asuhan keperawatan pada
penderita Systemic Lupus Erithematosus (SLE).
1.3.2 TUJUAN KHUSUS
1. Untuk mengetahui definisi dari Systemic Lupus Erithematosus (SLE).
2. Untuk mengetahui etiologi dari Systemic Lupus Erithematosus (SLE).
3. Untuk mengetahui klasifikasi dari Systemic Lupus Erithematosus (SLE).
4. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari Systemic Lupus Erithematosus (SLE).
5. Untuk mengetahui patofisiologi dari Systemic Lupus Erithematosus (SLE).
6. Untuk mengetahui woc/pathway dari Systemic Lupus Erithematosus (SLE).
7. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang dari Systemic Lupus Erithematosus
(SLE).
8. Untuk mengetahui komplikasi dari Systemic Lupus Erithematosus (SLE).
9. Untuk mengetahui penatalaksanaan dari Systemic Lupus Erithematosus (SLE).
10. Untuk mengetahui pengkajian dari Systemic Lupus Erithematosus (SLE).
11. Untuk mengetahui diagnosa keperawatan dari Systemic Lupus Erithematosus (SLE).
12. Untuk mengetahui rencana keperawatan dari Systemic Lupus Erithematosus (SLE).
13. Untuk mengetahui implementasi keperawatan dari Systemic Lupus Erithematosus
(SLE).
14. Untuk mengetahui evaluasi dari Systemic Lupus Erithematosus (SLE).

2
1.4 SISTEMATIKA PENULISAN
1.4.1 Bab I. Pendahuluan, berisi pendahuluan yang menjelaskan latar belakang masalah,
rumusan masalah, maksud dan tujuan, sistematika penulisan, metode penulisan.
1.4.2 Bab II. Konsep dasar penyakit, berisi pembahasan yang menjelaskan tentang definisi,
etiologi, klasifikasi, manifestasi klinis, patofisiologi, woc/pathway, pemeriksaan
diagnostic, komplikasi, dan penatalaksanaan dari Systemic Lupus Erithematosus (SLE).
1.4.3 Bab III. Konsep dasar asuhan keperawatan, berisi pembahasan yang menjelaskan
tentang pengkajian, diagnose, intervensi, implementasi, dan evaluasi dari Systemic
Lupus Erithematosus (SLE).
1.4.4 Bab IV. Penutup, berisi kesimpulan, dan saran.

1.5 METODE PENULISAN


Metode yang digunakan dalam penyusunan makalah ini yaitu dengan studi keputusan. Studi
kepustakaan adalah suatu metode pengumpulan data dengan cara mencari, mengumpulkan,
dan mempelajari materi-materi dari buku maupaun dari media informasi lainnya dalam hal
ini yang berkaitan dengan Ilmu Keperawatan Medikal Bedah, Imunnologi, dan Hematologi.

3
BAB II
KONSEP DASAR PENYAKIT

2.1 DEFINISI
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh
banyak faktor (Isenberg and Horsfall, 1998).
SLE (Sistemisc Lupus Erythematosus) adalah penyakti radang multisistem yang
sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau
kronik remisi dan eksaserbasi disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoantibodi dalam
tubuh. (Albar, 2003).
Penyakit lupus merupakan penyakit sistem daya tahan, atau penyakit auto imun,
dimana tubuh pasien lupus membentuk antibodi yang salah arah, merusak organ tubuh
sendiri, seperti ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit. Antibodi
seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri ataupun virus yang masuk ke dalam tubuh.
(Albar, 2003).
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah suatu penyakit yang tidak jelas
etiologinya, yaitu terjadinya kerusakan jaringan dan sel akibat autoantibodi dan kompleks
imun yang ditunjukkan kepada salah satu atau lebih komponen inti sel. Prevalensi penyakit
ini pada wanita usia subur adalah sekitar 1 dari 500. Angka kelangsungan hidup 10 dan 20
tahun masing-masing adalah 75 dan 50 persen, dengan infeksi, kekambuhan lupus, kegagalan
organ ujung (end-organ), dan penyakit kardiovaskular merupakan penyebab utama kematian.
(Kenneth J. Leveno, dkk, 2009)

2.2 ETIOLOGI
1. Faktor Genetik
Studi mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa kelompok gen yang
memiliki korelasi dengan SLE. MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas II
khususnya HLA- DR2 (Human Leukosit Antigen-DR2), telah dikaitkan dengan
timbulnya SLE. HLA –DR2 lebih menunjukkan gejala lupus nefritis yang menonjol,
sedangkan pada HLA-DR3 lebih menunjukkan gejala muskuloskeletal. Selain itu,
kekurangan pada struktur komponen komplemen merupakan salah satu faktor risiko

4
tertinggi yang dapat menimbulkan SLE. Sebanyak 90% orang dengan defisiensi C1q
homozigot akan berisiko menderita SLE. Di Kaukasia telah dilaporkan bahwa defisiensi
varian S dari struktur komplemen reseptor 1, akan berisiko lebih tinggi menderita SLE.
2. Faktor Imunologi
a) Antigen
Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen Presenting Cell)
akan memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita lupus, beberapa reseptor
yang berada di permukaan sel T mengalami perubahan pada struktur maupun
fungsinya sehingga pengalihan informasi normal tidak dapat dikenali. Hal ini
menyebabkan reseptor yang telah berubah di permukaan sel T akan salah mengenali
perintah dari sel T.
b) Kelainan intrinsik sel T dan sel B
Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B akan
teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki reseptor untuk
autoantigen dan memberikan respon autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit
mengalami apoptosis sehingga menyebabkan produksi imunoglobulin dan
autoantibodi menjadi tidak normal.
c) Kelainan antibody
Ada beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE, seperti substrat
antibodi yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen dan memicu limfosit T
untuk memproduksi autoantibodi, sel T mempengaruhi terjadinya peningkatan
produksi autoantibodi, dan kompleks imun lebih mudah mengendap di jaringan.
3. Faktor Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE. Beberapa studi
menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan tingkat estrogen yang tinggi.
Studi lain juga menunjukkan bahwa metabolisme estrogen yang abnormal dapat
dipertimbangkan sebagai faktor resiko terjadinya SLE. Hormon estrogen menambah
resiko SLE, sedangkan androgen mengurangi resiko ini.

5
4. Faktor Lingkungan
a) Infeksi virus dan bakteri
Pasien SLE cenderung mudah mendapat infeksi dan kadang-kadang penyakit
ini kambuh setelah infeksi. Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan
dalam timbulnya SLE. Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus (EBV),
bakteri Streptococcus dan Clebsiella.
b) Paparan sinar ultra violet
Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga terapi
menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau bertambah berat. Hal ini
menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi
inflamasi di tempat tersebut secara sistemik melalui peredaran pembuluh darah. Sinar
Ultra violet mengurangi supresi imun sehingga terapi menjadi kurang efektif,
sehingga SLE kambuh atau bertambah berat. Ini disebabkan sel kulit mengeluarkan
sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut maupun secara
sistemik melalui peredaran pebuluh darah.
c) Stress
Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang sudah memiliki
kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan respon imun tubuh akan
terganggu ketika seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak akan
mencetuskan SLE pada seseorang yang sistem autoantibodinya tidak ada gangguan
sejak awal. Stres berat dapat mencetuskan SLE pada pasien yang sudah memiliki
kecendrungan akan penyakit ini.
d) Obat-obatan
Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat
menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE). Jenis obat yang dapat
menyebabkan DILE diantaranya kloropromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid,
dan isoniazid.

6
2.3 KLASIFIKASI
Penyakit Lupus dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu discoid lupus, systemic
lupus erythematosus, dan lupus yang diinduksi oleh obat.
1. Discoid Lupus, dikenal sebagai Cutaneus Lupus, yaitu penyakit lupus yang menyerang
kulit. Lesi berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas eritema yang
meninggi, skuama, sumbatan folikuler, dan telangiektasia. Lesi ini timbul di kulit kepala,
telinga, wajah, lengan, punggung, dan dada. Penyakit ini dapat menimbulkan kecacatan
karena lesi ini memperlihatkan atrofi dan jaringan parut di bagian tengahnya serta
hilangnya apendiks kulit secara menetap (Hahn, 2005).
2. Systemic Lupus Erythematosus adalah penyakit lupus yang menyerang kebanyakan
sistem di dalam tubuh, seperti kulit, sendi, darah, paru-paru, ginjal, hati otak dan sistem
saraf. SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh
banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan
disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi autoantibodi yang
berlebihan (Albar, 2003). Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai macam
ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid dapat menyebabkan
kerusakan jaringan (Albar, 2003) melalui mekanime pengaktivan komplemen (Epstein,
1998).
3. Lupus yang diinduksi oleh obat. Lupus yang disebabkan oleh induksi obat tertentu
khususnya pada asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan
asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan
kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda
asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk
menyerang benda asing tersebut. Gejala-gejalanya biasanya menghilang setelah
pemakaian obat dihentikan (Herfindal et al., 2000).

2.4 MANIFESTASI KLINIS (HAHN, 2005)


1. Sistem Muskuloskeletal
Artralgia, artritis (sinovitis), pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika
bergerak, rasa kaku pada pagi hari.

7
2. Sistem integument
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal
hidung serta pipi. Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
3. Sistem kardiak
Perikarditis merupakan manifestasi kardiak.
4. Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
5. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan
purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi
lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
6. Sistem perkemihan
Glomerulus renal yang biasanya terkena.
7. Sistem saraf
Spektrum gangguan sistem saraf pusat sangat luas dan mencakup seluruh bentuk penyakit
neurologik, sering terjadi depresi dan psikosis.

2.5 PATOFISIOLOGI
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan
peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh
kombinasi antara lain: faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan
penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari,
luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid,
klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah
alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan.
Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-
supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan
jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang antibodi
tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.

8
9
10
2.7 PEMERIKSAAN DIAGNOSTIC
1. Pemeriksaan Laboratorium
a) Tes Anti ds-DNA
Batas normal : 70 – 200 IU/mL
Negatif : < 70 IU/mL
Positif : > 200 IU/mL
Antibodi ini ditemukan pada 65% – 80% penderita dengan SLE aktif dan
jarang pada penderita dengan penyakit lain. Jumlah yang tinggi merupakan spesifik
untuk SLE sedangkan kadar rendah sampai sedang dapat ditemukan pada penderita
dengan penyakit reumatik yang lain, hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan
sirosis bilier. Jumlah antibodi ini dapat turun dengan pengobatan yang tepat dan
dapat meningkat pada penyebaran penyakit terutama lupus glomerulonefritis.
Jumlahnya mendekati negatif pada penyakit SLE yang tenang (dorman).
Antibodi anti-DNA merupakan subtipe dari Antibodi antinukleus (ANA). Ada
dua tipe dari antibodi anti-DNA yaitu yang menyerang double-stranded DNA (anti
ds-DNA) dan yang menyerang single-stranded DNA (anti ss-DNA). Anti ss-DNA
kurang sensitif dan spesifik untuk SLE tapi positif untuk penyakit autoimun yang
lain. Kompleks antibodi-antigen pada penyakit autoimun tidak hanya untuk diagnosis
saja tetapi merupakan konstributor yang besar dalam perjalanan penyakit tersebut.
Kompleks tersebut akan menginduksi sistem komplemen yang dapat menyebabkan
terjadinya inflamasi baik lokal maupun sistemik (Pagana and Pagana, 2002).
b) Tes Antinuclear antibodies (ANA)
Harga normal : nol
ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimun yang lain. ANA
adalah sekelompok antibodi protein yang bereaksi menyerang inti dari suatu sel.
ANA cukup sensitif untuk mendeteksi adanya SLE, hasil yang positif terjadi pada
95% penderita SLE. Tetapi ANA tidak spesifik untuk SLE saja karena ANA juga
berkaitan dengan penyakit reumatik yang lain. Jumlah ANA yang tinggi berkaitan
dengan kemunculan penyakit dan keaktifan penyakit tersebut.Setelah pemberian
terapi maka penyakit tidak lagi aktif sehingga jumlah ANA diperkirakan menurun.
Jika hasil tes negatif maka pasien belum tentu negatif terhadap SLE karena harus

11
dipertimbangkan juga data klinik dan tes laboratorium yang lain, tetapi jika hasil tes
positif maka sebaiknya dilakukan tes serologi yang lain untuk menunjang diagnosa
bahwa pasien tersebut menderita SLE. ANA dapat meliputi anti-Smith (anti-Sm),
anti-RNP (anti-ribonukleoprotein), dan anti-SSA (Ro) atau anti-SSB (La) (Pagana
and Pagana, 2002).
2. Tes Laboratorium lain
Tes laboratorium lainnya yang digunakan untuk menunjang diagnosa serta untuk
monitoring terapi pada penyakit SLE antara lain adalah antiribosomal P, antikardiolipin,
lupus antikoagulan, Coombs test, anti-histon, marker reaksi inflamasi (Erythrocyte
Sedimentation Rate/ESR atau C-Reactive Protein/CRP), kadar komplemen (C3 dan C4),
Complete Blood Count (CBC), urinalisis, serum kreatinin, tes fungsi hepar, kreatinin
kinase (Pagana and Pagana, 2002).
3. Pemeriksaan Penunjang
a) Ruam kulit atau lesi yang khas.
b) Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau perikarditis.
c) Pemeriksaan dada dengan bantuan stetoskop menunjukkan adanya gesekan pleura
atau jantung.
d) Analisa air kemih menunjukkan adanya darah atau protein lebih dari 0,5 mg/hari atau
+++.
e) Hitung jenis darah menunjukkan adanya penurunan beberapa jenis sel darah.
f) Biopsi ginjal.
g) Pemeriksaan saraf.

2.8 KOMPLIKASI
Lupus mungkin terlihat sebagai penyakit yang bisa terjadi pada kulit. Namun jika
tidak segera ditangani, penyakit ini bisa menjadi momok bagi kehidupan penderita. Berikut
ini adalah beberapa komplikasi yang bisa terjadi jika penyakit ini tidak segera ditangani
dengan cepat dan tepat.
1. Penyakit ginjal
Jika terjadi pembengkakan pada kaki atau pergelangan kaki setelah penderita divonis
mengidap, maka itu adalah tanda bahwa ekskresi cairan pada tubuh penderita sudah tidak

12
normal. Ada yang salah pada ginjal, pada kasus yang lebih parah, gejalanya sampai urin
bercampur darah hingga pasien mengalami gagal ginjal.
2. Penyakit jantung
Komplikasi jantung yang paling umum terjadi pada penderita adalah terjadinya infeksi
pada selaput pembungkus jantung, penebalan pembuluh darah, dan melemahnya oto-oto
jantung.
3. Penyakit paru
Satu dari tiga orang penderita akan mengalami infeksi pada selaput pembungkus paru-
paru. Jika ini terjadi maka pasien akan merasakan sakit saat bernafas hingga batuk
berdarah.
4. Gangguan peredarah darah
Untuk penyakit yang satu ini pada penderita, biasanya tidak ditemukan gejala yang dapat
dideteksi secara langsung. Gangguannya anatara lain, seperti terganggunya distribusi
oksigen dalam darah atau berkurangnya produksi sel darah putih, dan anemia
5. Gangguan saraf dan mental
Banyak dari penderita yang mengalami susah konsentrasi, cepat lupa, sakit kepala yang
sangat parah, khawatir berlebihan, dan selalu gelisah. Hal ini dikarenakan penyakit lupus
lama-kelamaan akan melemahkan kerja saraf dan menyebabkan stress pada pasien.

2.9 PENATALAKSANAAN
Penderita SLE tidak dapat sembuh sempurna (sangat jarang didapatkan remisi yang
sempurna). Terapi terdiri dari terapi suportif yaitu diet tinggi kalori tinggi protein dan
pemberian vitamin. Beberapa prinsip dasar tindakan pencegahan eksaserbasi pada SLE,
yaitu:
a) Monitoring teratur
b) Penghematan energi dengan istirahat terjadwal dan tidur cukup
c) Fotoproteksi dengan menghindari kontak sinar matahari atau dengan pemberian sun
screen lotion untuk mengurangi kontak dengan sinar matahari
d) Atasi infeksi dengan terapi pencegahan pemberian vaksin dan antibiotik yang adekuat.
e) Rencanakan kehamilan/hindari kehamilan.

13
obat – obatan yang biasa digunakan pada SLE adalah sebagai berikut:
1. Nonsteroid anti inflamatori drugs (NSAIDS). NSAIDS berguna karena kemampuanya
sebagai analgesic, antipiretik dan inflamasi. Obat ini berguna untuk mengatasi SLE
dengan demam dan arthralgia/arthiritis. Aspirin adalah salah satu yang paling banyak
diteliti kegunaannya. Ibuferon idometasin cukup efektif untuk mengobati SLE dengan
arthiritisdan pleuritis, dalam kombinasi dengan steroid dan antimanalria. Keterbatasan
obat ini adalah efek samping yang lebih sedikit, diharapkan dapat mengatasi hal ini,
saying belum ada penelitian mengenai efektifitasnya pada SLE. Efek samping dari
OAINS adalah: reaksi hipersensivitas, gangguan renal, retensi cairan, meningitis aseptik.
2. Korticosteroid, cara kerja steroid pada SLE adalah melalui mekanisme antiinflamasi dan
amunosuprefh dari berbagai jenis steroid yang paling sering digunakan adalah pprednison
dan multipred nisinosolon. Pada SLE yang ringan yang tidak dapat dikontrol oleh NSAID
dan antimalaria, diberikan prednison 2,5 mg samapai 5 mg. Dosis ini ditingkatkan 20% 1
sampai 2 minggu tergantung dari respon klinis. Pada SLE yang akut dan yang
mengancam jiwa langsung diberikan steroid, NSAID dan antimalariatidak efektif pada
keadaan itu. Manifestasi serius SLE yang membaik de ngan steroid antara lain: vaskulitis,
dermatitis berat miocarditis, lupus pneumonitis, glomerulonefritis, anemia haomolitik,
neufropati perifer dan kasus lupus.Pada SLE aktif dan berat, terdapat beberapa regment
pembenan steroid:
a) Regmen I : daily oral short acting (predmison, prednisolon, multiprednisolon) dosis:
1-2mg/kgBB/hari dimulai dari dosis terbagi, lalu diturunkan secara bertahap sesuai
dengan perbaikan klinis dan laboratories. Regimen ini sangat cepat mengontrol
penyakit ini, 5-10 hari untuk manifestasi hamatologis atau saraf atau vaskulitis, 3-10
minggu untuk glumerulonefritis
b) Regimen II : methyprednisolon intravena, dosis : 500-1000mg/hari, selama 3-5
minggu atau 30 mg/kgBB/hari selama 3 hari. Regimen mungkin sangat cepat
mengontrol penyakit lebih cepat dari pada terapi oral setiap hari, tetapi efek yang
hanyan bersifat sementara, sehingga tidak digunakan untuk terapi SLE jangka lama
c) Regimen III : Kombinasi regimen 1 dan 2 obat sitoksit ezayhioprine cyclophos
phamide.

14
d) Setelah kelainan klinis menjadi tenang dosis diturunkan dengan kecepatan 2,5-5
mg/minggu sampai dicapai maintenance dose.
3. Antimalaria, efektifitas antimalaria terhadap SLE yang mengenai kulit dan sendi telah
lama diketahui dan obat ini telah dianggap sebagai obat pilihan pertama untuk cara
mengganggu pemoresan antigen dimakrofag dan sel pengaji antigen yang lain dengan
peningkatan PH di dalam vakuolalisosomal. Juga menghamabat dan mengabsorbsi sinar
UV, bebera penelitian melaporkan bahwa antimalaria dapat menurunkan kolestrol total,
HDL, LDL. Pada penderita SLE yang menerima steroidmaupun yang tidak. Terdapat 3
obat antimalaria yang tersedia, hidroksikolokulin. Dosis 200-400mg/hari, klorokuin dan
efek sampingnya lebih ringan. Efek samping antimalaria yang paling sering adalah efek
pada saluran pencernaan, kembung, mual dan muntah. Efek samping lain adalah
timbulnya ruam, toksisitas retin dan neurologis
4. Methoreksat adalah antagonis folat yang jika diberikan dalam dosis untuk penyakit
rematik efek imunosupresifinyalebih lemah dari pada obat alkilating atau zat hioprin .
methorekxate dosis rendah mingguan 7,5-15mg, efektif sebagai “steroid spring agent”
dan dapat diterima baik oleh penderita, terutama pada manifestasi klinis dan
muskluskletal.
Efek samping yang paling seringdipakai adalah: lekopenia, ulkus oral, toksisitas
gastrointestinal dan hepaktotoksitas. Untuk pemantauan efek samping diperlukan
pemeriksaan darah lengkap, tes fungsi ginjal dan hepar pada penderita dengan efek samping
gastrointestinal, pemberian asam folat 5mg tiap minggu akan mengurangi efek tersebut.

15
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 PENGKAJIAN
1. Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan pada gejala
sekarang dan gejala yang pernah dialami seperti keluhan mudah lelah, lemah, nyeri, kaku,
demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra diri
pasien.
2. Kulit
Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.
3. Kardiovaskuler
Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura.
Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan gangguan
vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor lengan
bawah atau sisi lateral tanga.
4. Sistem Muskuloskeletal
Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada pagi
hari.
5. Sistem integument
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal
hidung serta pipi. Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
6. Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
7. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan
purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi
lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
8. Sistem Renal
Edema dan hematuria.

16
9. Sistem saraf
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korea ataupun
manifestasi SSP lainnya.

3.2 DIAGNOSA
1. Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.
2. Keletihan berhubungan dengan peningkatan aktivitas penyakit, rasa nyeri, depresi.
3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan rentang gerak, kelemahan otot,
rasa nyeri pada saat bergerak, keterbatasan daya tahan fisik.
4. Gangguan citra tubuh berhubungqan dengan perubahan dan ketergantungan fisaik serta
psikologis yang diakibatkan penyakit kronik.
5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi barier kulit,
penumpukan kompleks imun.

3.3 RENCANA TINDAKAN


No Dx. Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi (NIC)
. (NOC)
1. Nyeri berhubungan Setelah dilakukan tindakan 1) Laksanakan sejumlah
dengan inflamasi keperawatan 3x24 jam tindakan yang
dan kerusakan diharapkan Nyeri memberikan
jaringan. berhubungan dengan kenyamanan (kompres
inflamasi dan kerusakan panas /dingin; masase,
jaringan dapat teratasi perubahan posisi,
dengan kriteria: istirahat; kasur busa,
1. Nyeri berkurang bantal penyangga,
sampai hilang bidai; teknik relaksasi,
2. Inflamasi berkurang aktivitas yang
3. Tidak terjadi kerusakan mengalihkan perhatian)
jaringan 2) Berikan preparat
antiinflamasi, analgesik
seperti yang dianjurkan.
3) Sesuaikan jadwal
pengobatan untuk
memenuhi kebutuhan
pasien terhadap
penatalaksanaan nyeri.
4) Dorong pasien untuk
mengutarakan
perasaannya tentang

17
rasa nyeri serta sifat
kronik penyakitnya.
5) Jelaskan patofisiologik
nyeri dan membantu
pasien untuk menyadari
bahwa rasa nyeri sering
membawanya kepada
metode terapi yang
belum terbukti
manfaatnya.
6) Bantu dalam mengenali
nyeri kehidupan
seseorang yang
membawa pasien untuk
memakai metode terapi
yang belum terbukti
manfaatnya.
7) Lakukan penilaian
terhadap perubahan
subjektif pada rasa
nyeri.

2. Keletihan Setelah dilakukan tindakan 1) Beri penjelasan tentang


berhubungan dengan keperawatan 3x24 jam keletihan :
peningkatan diharapkan Keletihan a) hubungan antara
aktivitas penyakit, berhubungan dengan aktivitas penyakit
rasa nyeri, depresi. peningkatan aktivitas dan keletihan
penyakit, rasa nyeri, b) menjelaskan
depresi dapat teratasi tindakan untuk
dengan kriteria: memberikan
1. Klien dapat beristirahat kenyamanan
dengan nyaman sementara
2. Stress berkurang melaksanakannya
c) mengembangkan
dan
mempertahankan
tindakan rutin
unutk tidur (mandi
air hangat dan
teknik relaksasi
yang memudahkan
tidur)
d) menjelaskan
pentingnya istirahat
untuk mengurangi
stres sistemik,

18
artikuler dan
emosional
e) menjelaskan cara
mengggunakan
teknik-teknik untuk
menghemat tenaga
f) kenali faktor-faktor
fisik dan emosional
yang menyebabkan
kelelahan.
2) Fasilitasi
pengembangan jadwal
aktivitas/istirahat yang
tepat.
3) Dorong kepatuhan
pasien terhadap
program terapinya.
4) Rujuk dan dorong
program kondisioning.
5) Dorong nutrisi adekuat
termasuk sumber zat
besi dari makanan dan
suplemen.

3. Kerusakan mobilitas Setelah dilakukan tindakan 1) Dorong verbalisasi


fisik berhubungan keperawatan 3x24 jam yang berkenaan dengan
dengan penurunan diharapkan Kerusakan keterbatasan dalam
rentang gerak, mobilitas fisik mobilitas.
kelemahan otot, rasa berhubungan dengan 2) Kaji kebutuhan akan
nyeri pada saat penurunan rentang gerak, konsultasi terapi
bergerak, kelemahan otot, rasa nyeri okupasi/fisioterapi :
keterbatasan daya pada saat bergerak, a) Menekankan
tahan fisik. keterbatasan daya tahan kisaran gherak pada
fisik dapat teratasi dengan sendi yang sakit
kriteria: b) Meningkatkan
1. Rasa nyeri berkurang pemakaian alat
pada saat bergerak Bantu
2. Tidak ada keterbatasan c) Menjelaskan
daya tahan fisik pemakaian alas kaki
yang aman.
d) Menggunakan
postur/pengaturan
posisi tubuh yang
tepat.
3) Bantu pasien mengenali
rintangan dalam

19
lingkungannya.
4) Dorong kemandirian
dalam mobilitas dan
membantu jika
diperlukan.
a) Memberikan waktu
yang cukup untuk
melakukan aktivitas
b) Memberikan
kesempatan
istirahat sesudah
melakukan
aktivitas.
c) Menguatkan
kembali prinsip
perlindungan sendi

4. Gangguan citra Setelah dilakukan tindakan 1) Bantu pasien untuk


tubuh berhubungqan keperawatan 3x24 jam mengenali unsur-unsur
dengan perubahan diharapkan Gangguan citra pengendalian gejala
dan ketergantungan tubuh berhubungqan penyakit dan
fisaik serta dengan perubahan dan penanganannya.
psikologis yang ketergantungan fisaik serta 2) Dorong verbalisasi
diakibatkan penyakit psikologis yang perasaan, persepsi dan
kronik. diakibatkan penyakit rasa takut
kronik dapat teratasi a) Membantu menilai
dengan kriteria: situasi sekarang dan
1. koping stress positif menganli
masahnya.
b) Membantu
menganli
mekanisme koping
pada masa lalu.
c) Membantu
mengenali
mekanisme koping
yang efektif.

5. Kerusakan integritas Setelah dilakukan tindakan 1) Lindungi kulit yang


kulit berhubungan keperawatan 3x24 jam sehat terhadap
dengan perubahan diharapkan Kerusakan kemungkinan maserasi
fungsi barier kulit, integritas kulit 2) Hilangkan kelembaban
penumpukan berhubungan dengan dari kulit
kompleks imun. perubahan fungsi barier 3) Jaga dengan cermat
kulit, penumpukan terhadap resiko
kompleks imun dapat terjadinya sedera termal

20
teratasi dengan kriteria: akibat penggunaan
1. Keadaan kulit kompres hangat yang
membaik terlalu panas.
2. Kulit lembab 4) Nasehati pasien untuk
menggunakan kosmetik
dan preparat tabir
surya.
5) Kolaborasi pemberian
NSAID dan
kortikosteroid.

3.4 IMPLEMENTASI
Implementasi adlh proses keperawatan yang mengikuti rumusan dari keperawatan.
Pelaksanaan keperawatan mencakup melakukan,membantu,memberikan askep. Tujuannya
berpusat pada klien, mencatat serta melakukan pertukaran informasi yang relevan, dengan
keperawatan kesehatan berkelanjutan pada klien.
1. Proses atau tahapan
a. Mengkaji ulang klien.Fase ini merupakan komponen yang memberikan mekanisme
bagi perawat yang menentukan apakah tindakan keperawatan yang diusulkan masih
sesuai.
b. Mengklarifikasi rencana yang sudah ada.
c. Mengidentifikasi bidang bantuan berupa tenaga, pengetahuan serta keterampilan.
d. Mengimplementasikan intervensi keperawatan.
2. Dokumentasi
Mencatat semua tindakan yang dilakukan tentang respon pasien, tanggal dan waktu serta
nama dan paraf perawat yang jelas.

3.5 EVALUASI
1. Definisi
Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan dengan cara melakukan
identifikasi sejauh mana tujuan dan rencana keperawatan tercapai atau tidak.

21
2. Jenis evaluasi
a. Evaluasi pormatif
Menyatakan evaluasi yang dilakukan pada saat memberikan intervensi dengan respon
segera (pendokumentasian dan implementasi).
b. Evaluasi sumatif
Merupakan rekapitulasi dari hasil observasi dengan analisis stasus klien pada waktu
tertentu berdasarkan tujuan yang direncanakan pada tahap perencanaan ( dalam
bentuk SOAP ).

22
BAB IV

PENUTUP

4.1 KESIMPULAN
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah suatu penyakit yang tidak jelas
etiologinya, yaitu terjadinya kerusakan jaringan dan sel akibat autoantibodi dan kompleks
imun yang ditunjukkan kepada salah satu atau lebih komponen inti sel. Prevalensi penyakit
ini pada wanita usia subur adalah sekitar 1 dari 500. Angka kelangsungan hidup 10 dan 20
tahun masing-masing adalah 75 dan 50 persen, dengan infeksi, kekambuhan lupus, kegagalan
organ ujung (end-organ), dan penyakit kardiovaskular merupakan penyebab utama kematian.
(Kenneth J. Leveno, dkk, 2009)

4.2 SARAN
1. Bagi penyusun, agar lebih giat lagi dalam mencari referensi-referensi dari sumber rujukan,
karena dengan semakin banyak sumber yang di dapat semakin baik makalah yang dapat
disusun.
2. Bagi Institusi, agar dapat menyediakan sumber-sumber bacaan baru, sehingga dapat
mendukung proses belajar mengajar.
3. Bagi pembaca, agar dapat memberikan masukan yang bersifat membangun demi
kesempurnaan penyusunan makalah ini.

23
DAFTAR PUSTAKA

Albar S. 2003. Lupus eritematosus sistemik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I, edisi Ke-3.
Jakarta: Balai Penerbit FK UI

Leveno, Kenneth J. dkk. 2009. Obstetri Williams. Jakarta : EGC

Herfindal, E.T., 2000. Therapeutics Drug and Disease Management, Seventh. ed. Dick R,
Gourley, Lippincott Williams & Wilkins.

Pagana KD, Pagana TJ. 2002. Mosby’s Manual of Diagnostic and Laboratory Test. St
Louis: Mosby

Nurarif .A.H. dan Kusuma. H. (2015). APLIKASI Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis & NANDA NIC-NOC. Jogjakarta: MediAction.

Bare, S. C. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 volume 1. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran: EGC.

24

Anda mungkin juga menyukai