Anda di halaman 1dari 40

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Mungkin kita jarang mendengar nama penyakit ini. Systemic Lupus
Erythematosus (SLE) atau Lupus. Nama penyakit ini kurang popular
dibandingkan HIV/AIDS ataupun demam berdarah Dengue. Namun akhir-
akhir ini jumlah penderita penyakit ini mengalami peningkatan. Penderitanya
yang disebut odipus atau odapus (Orang dengan Lupus) mengalami gangguan
yang cukup mempengaruhi kualitas hidup bahkan dapat mengancam
kelangsungan hidupnya. Selain itu, penyakit lupus ini memiliki gejala yang
tidak spesifik, sehingga para penderitanya sering berghanti-ganti dokter karena
diagnosa yang berbeda-beda. Oleh sebab itu, penyakit ini sering disebut
penyakit seribu wajah, karena gejala yang ditunjukkannya menyerupai gejala
penyakit lain.
Penyakit Systemic Lupus Erythematosus adalah suatu penyakit yang
menyerang seluruh organ tubuh mulai dari ujung kaki hingga ujung rambut,
yang disebabkan oleh penurunan kekebalan tubuh manusia, dan lebih dikenal
penyakit sebagai autoimun. Penyakit ini sebenarnya telah dikenal sejak jaman
Yunani kuno oleh Hipokrates, namun pengobatan yang tepat belum diketahui.
Penyakit ini tidak menular, tetapi didapatkan hamper seluruh penderita
Systemic Lupus Erythematosus adalah perempuan (80%-89%). Dalam
penelitian di Amerika Serikat ditemukan pula bahwa penyakit ini lebih banyak
ditemukan pada ras Asia, Indian, Amerika dan Afrika dibandingkan dengan
Ras Kaukasia.
Gejala yang umum ditemukan terbagi atas gejala kulit, gejala sistemik dan
gejala laboratorium. Gejala kulit yang ditemukan terutama ditemukannya
ruam kupu-kupu (Butterfly rash) di kedua pipi dan hidung pada hamper 70%
kasus. Selain itu biasanya penderita Systemic Lupus Erythematosus akan
sangat sensitive terhadap paparan sinar matahari pagi yang mengandung sinar
ultra violet atau pada pemakaian lampu ultra violet. Pada bagian tubuh yang
terpapar sinar matahari dapat pula timbul ruam kulit berbentuk bundar dan
berwarna kemerahan. Selain itu akan timbul sariawan berulang atau sariawan
2

kambuhan, yang kadang kala dipandang sepele oleh penderita. Gejala sistemik
yang timbul akan segera terjadi bila penderita tidak segera diobati dengan baik
dan dalam jangka waktu lama. Gejala sistemik yang mulai terlihat biasanya
dimulai dari radang sendi berulang dan berat sehingga sering disalah artikan
sebagai penyakit Asam Urat atau Rheumatik.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa definisi penyakit lupus?
2. Bagaimana patofisiologi penyakit lupus?
3. Bagaiman etiologi penyakit lupus?
4. Apa manifestsi klinis penyakit lupus?
5. Bagaimana prognosis penyakit lupus?
6. Bagaimana evaluasi diagnostik penyakit lupus?
7. Apa saja pemeriksaan penunjang penyakit lupus?
8. Bagaimana penatalaksanaan penyakit lupus?
9. Bagaimana asuhan keperawatan penyakit lupus?
10. Apasaja pemeriksaan labratorium penyakit lupus?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui definisi penyakit lupus?
2. Mengetahui bagaimana patofisiologi penyakit lupus?
3. Mengetahui bagaimana etiologi penyakit lupus?
4. Mengetahui apa manifestsi klinis penyakit lupus?
5. Mengetahui bagaimana prognosis penyakit lupus?
6. Mengetahui bagaimana evaluasi diagnostik penyakit lupus?
7. Mengetahui apa saja pemeriksaan penunjang penyakit lupus?
8. Mengetahui bagaimana penatalaksanaan penyakit lupus?
9. Mengetahui bagaimana asuhan keperawatan penyakit lupus?
10. Mengetahui apasaja pemeriksaan labratorium penyakit lupus?
3

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi
Autoimunitas adalah respon imun terhadap antigen tubuh sendiri yang disebabkan
oleh mekanisme normal yang gagal berperan untuk mempertahankan self-
tolerance sel B, sel T atau keduanya. Respon imun terlalu aktif menyebabkan
disfungsi imun, menyerang bagian dari tubuh tersebut dan merupakan kegagalan
fungsi system kekebalan tubuh yang membuat badan menyerang jaringannya
sendiri. System imunitas menjaga tubuh melawan pada apa yang terlihatnya
sebagai bahan asing atau berbahaya. Bahan seperti itu termasukmikro-jasad,
parasite (seperti cacing), sel kanker, dan malah pencangkokan organ dan jaringan.
Autoimunitas adalah kegagalan suatu organisme untuk mengenali bagian
dari dirinya sendiri sebagai bagian dari dirinya, yang membuat respon kekebalan
melawan sel dan jaringan miliknya sendiri. Beberapa penyakit yang dihasilkan
dari kelainan respon kekebalan ini dinamakan penyakit autoimun. Kesalahan yang
menyebabkan sistem kekebalan melawan suatu individu yang seharusnya
dilindunginya bukanlah hal yang baru. Paul Ehrlich pada awal abad ke 20
mengajukan konsep horror autotoxicus, dimana jaringan suatu organisme dimakan
oleh system kekebalannya sendiri. Semua respon autoimun dulunya dipercaya
sebagai hal yang abnormal dan dikaitkan dengan suatu kelainan. Namun saat ini
diketahui bahwa respon autoimun adalah bagian terpisah dari system kekebalan
vertebrata, umumnya untuk mencegah terjadinya penyakit yang disebabkan oleh
toleransi imunologikal terhadap antigen milik sendiri. Setiap penyakit yang
dihasilkan dari respon imun yang menyimpang, kerusakan jaringan atau gangguan
fungsi fisiologis yang ditimbulkan oleh respon autoimun disebut penyakit
autoimun.
Penyakit autoimun adalah penyakit dimana kekebalan yang terbentuk
salah mengidentifikasi benda asing. Dimana sel jaringan atau organ tubuh
manusia justru dianggap sebagai benda asing sehingga dirusak oleh antibody.
Jadi, adanya penyakit autoimun tidak memberikan dampak peningkatan ketahanan
4

tubuh dalam melawan suatu penyakit, tetapi justru terjadi kerusakan tubuh akibat
kekebalan yang terbentuk.
Salah satu penyakit imunologi yaitu penyakit lupus. Lupus adalah penyakit
yang disebabkan oleh system imun yang menyerang sel-sel jaringan organ tubuh
yang sehat dengan kata lain, system imun yang terbentuk berlebihan. Kelainan ini
dikenal dengan autoimunitas. Pada satu kasus penyakit ini bisa membuat kulit
seperti ruam merah yang rasanya terbakar (lupus DLE). Pada kasus lain ketika
system imun yang berlenihan itu menyerang persendian dapat menyebabkan
kelumpuhan (lupus SLE).
SLE ( Sistemics Lupus Erythematosus) adalah penyakit radang
multisystem yang sebabnya belum diketahui. Dengan perjalanan penyakit yang
mungkin akut dan fulminant atau kronik remisi dan eksaserbasi disertai oleh
terdapatnya berbagai macam autoimun dalam tubuh.
SLE atau LES (Lupus Eritematosus Sistemik) adalah penyakit radang
multisistem yang penyebabnya diduga karena adanya perubahan system imun.

2.2 Patofisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang
menyebabkan peningkatan autoimun yang berebihan. Gangguan imunoreglasi ini
ditimbulkan oleh kombinasi Antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana
tebukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan
lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti
hidralazid, prokainamid, isoniazid, klorpromazid dan beberapa preparat
antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam
penyakit SLE akibat senyawa kimia atau obat-obatan.
Patofisiologi penyakit SLE dihipotesiskan sebagai berikut : adanya satu
atau beberapa faktor pemicu yang tepat pada individu yang mempunyai
predisposisi genetic akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap sel
TCD 4+, mengakibatkan hilangnya toleransi sel T terhadap sel-antigen. Sebagai
akibatnya muncullah sel T autoreaktif yang akan menyebabkan induksi serta
ekspansi sel B, baik yang memproduksi autoantibodi maupun yang berupa sel
5

memori. Ujud pemicu ini masih belum jelas. Sebagian dari yang diduga termasuk
didalamnya ialah hormone seks, sinar ultraviolet dan berbagai macam infeksi.
Pada SLE, autoantibodi yang terbentuk ditujukan terhadap antigen yang
terutama terletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein
histon dan non histon. Kebanyakan diantaranya dalam keadaan alamiah terdapat
dalam bentuk agregat protein atau kompleks protein RNA yang disebut partikel
ribonukleoprotein (RNA). Ciri khas autoantigen ini ialah bahwa mereka tidak
tissue-spesific dan merupakan komponen integral semua jenis sel. Antibodi ini
secara bersama-sama disebut ANA (Anti Nuclear Antibody). Dengan antigennya
yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun pada SLE terganggu. Dapat
berupa gangguan klirens kompleks imun besar yang larut, gangguan pemrosesan
kompleks imun dalam hati, dan penurun.
Uptake kompleks imun pada limpa. Gangguan-gangguan ini
memungkinkan terbentuknya deposit kompleks imun di luar system fagosit
mononuklear. Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai macam organ
dengan akibat terjadinya fiksasi komplemen yang menghasilkan substansi
penyebab timbulnya reaksi radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan
timbulnya keluhan atau gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan sepert
ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kult dan sebagainya. Bagian yang penting
dalam patofisiologi ini adalah terganggunya mekanisme regulasi yang dalam
keadaan normal mencegah autoimunitas patologis pada individu yang resisten.

2.3 Etiologi
Hingga kini faktor yang merangsangkan system pertahanan diri untuk
menjadi tidak normal belum diketahui. Ada kemungkinan factor genetic, kuman,
virus, sinar ultraviolet, dan obat-obatan tertentu memainkan peran. Penyakit
system lupus erythematosus (SLE) ini kerap ditemui di kalangan kaum wanita. Ini
menunjukkan bahwa hormone yang terdapat pada wanita mempunyai peranan
besar, walaupun perkaitan Antara Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) dan
hormone wanita saat ini masih dalam kajian.
2.4 Manifestasi Klinis
6

Jumlah dan jenis antibody pada lupus lebih besar dibandingkan dengan
penyakit lain, dan antibody ini (bersama dengan faktor lainnya yang tidak
diketahui) menentukan gejala mana yang akan berkembang. Karena itu, gejala dan
beratnya penyakit, bervariasi pada setiap penderita. Perjalanan penyakit ini
bervarisi, mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit berat.
Gejala pada setiap penderita berlainan, serta ditandai oleh masa bebas gejala
(remisi) dan masa kekambuhan (eksaserbasi). Pada awal penyakit, lupus hanya
menyerang satu organ, tetapi dikemudian hari akan melibatkan organ lainnya.
1. System musculoskeletal
Arthralgia, artritis (synovitis), pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa
nyeri ketika bergerak dan rasa kaku pada pagi hari.
2. System integument (kulit)
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang
melintang pangkal hidung serta pipi dan ulkus oral dapat mengenai
mukosa pipi atau palatum durum.
3. System kardiak
Pericarditis merupakan manifetasi kardiak.
4. System pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
5. System vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler.
Beritematous serta purpura diujung jari kaki, tangan, siku, permukaan
ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
6. System perkemihan
Glomerulus renal yang biasanya terkena.
7. System saraf
Spectrum gangguan system saraf pusat sangat luas dan mencakup seluruh
bentyk penyakit neurologik, sering terjadi depresi dan psikosis.
2.5 Prognosis
Karena perjalanan lupus tak dapat diramalkan, maka prognosisnya sangat
bervariasi. Penyakit ini cenderung menjadi kronis dan kambuhan, seringkali
dengan periode bebas gejala yang dapat berakhir dalam hitungan tahun. Flare
7

jarang terjadi setelah menopous. Prognosis penyakit ini semakin membaik dengan
bermakna dalam dua dekade terakhir ini. Biasanya jika inflamasi awal
dikendalikan, prognosis jangka panjangnya adalah baik. Jika gejala lupus
disebabkan oleh penggunaan suatu obat akan menyembuhkan lupus, walaupun
penyembuhan dapat memakan waktu berbulan-bulan.

2.6 Evaluasi Diagnostik


Pemeriksaan untuk menentukan adanya penyakit ini bervariasi, diantaranya
2.6.1 Pemeriksaan Laboratorium
1. Tes Anti ds-DNA
Batas normal : 70-200 IU/mL, Negatif : < 70 IU/mL, Positif : > 200
IU/m. Antobodi ini ditemukan pada 65%-80% penderita dengan SLE
aktif dan jarang pada penderita yang dengan penyakit lain. Jumlah
yang tinggi merupakan spesifik untuk SLE sedangkan kadar rendah
sampai sedang dapat ditemukan pada penderita dengan penyakit
reumatik yang lain, hepatitis kronik, infeksi mononucleosis, dan
sirosis bilier. Jumlah antibody ini dapat turun dengan pengobatan yang
tepat dan dapat meningkat pada penyebaran penyakit terutama lupus
glomerulonephritis. Jumlahnya mendekati negative pada penyakit
SLE yang tenang (dorman). Antibody anti-DNA merupakan subtype
dari antibody antinukleus (ANA). Ada dua tipe dari antibody anti-
DNA yaitu yang menyerang double-stranded DNA (anti ds-DNA) dan
yang menyerang single-stranded DNA (anti ss-DNA). Anti ss-DNA
kurang sensitive dan spesifik untuk SLE tapi posistif untuk penyakit
autoimun yang lain. Kompleks antibody-antigen pada penyakit
autoimun tidak hanya untuk diagnosis saja tetapi merupakan
konstributor yang besar dalam perjalanan penyakit tersebut. Kompleks
tersebut akan menginduksi system komplemen yang dapat
menyebabkan terjadinya inflamasi baik local maupun sistemik
(Pagana and Pagana,2002)

2. Tes Antinuclear Antibodies (ANA)


8

Harga normal : nol ANA digunakan untuk diagnose SLE dan


penyakit autoimun yang lain. ANA adalah sekelompok antibody
protein yang bereaksi menyerang inti dari suatu sel. ANA cukup
sensitive untuk mendeteksi adanya SLE, hasil yang positif terjadi pada
95%penderita SLE. Tetapi ANA tidak spesifik untuk SLE saja karena
ANA juga berkaitan dengan penyakit reumatik yang lain. Jumlah
ANA yang tinggi berkaitan dengan kemunculan penyakit dan
keaktifan penyakit tersebut. Setelah pemberian terapi maka penyakit
tidak lagi aktif sehingga jumlah ANA diperkirakan menurn. Jika hasil
tes negative, maka pasien belum tentu negative SLE karena harus
dipertimbangkan juga data klinik dan teslaboratorium yang lain.
Tetapi jika hasil tes posistif, maka sebaiknya dilakukan tes serologi
yang lain untuk menunjang diagnose bahwa pasien tersebut menderita
SLE. ANA dapat meliputi anti-Smith (anti-Sm), anti RNP (Anti-
Ribonukleoprotein), dan anti-SSA (Ro) atau anti-SSB (La) (Pagana
and Pagana,2002)

2.6.2 Tes Laboratorium Lain


Tes laboratorium lainnya yang digunakan untukmenunjang diagnose
serta untuk montoring terapi pada penyakit SLE Antara lain adalah
antiribosomal P, antikardiolipin, lupus antikoagulan, coombs test,
anti-histon, marker reaksi inflamasi, kadar komplemen (C3 dan C4),
Complete Blood Count (CBC), urinalisis, serum kreatinin, tes fungsi
hepar, kreatinin kinase (Pagana and Pagana, 2002)

2.7 Pemeriksaan Penunjang


1. Ruam kulit atau lesi yang khas.
2. Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau pericarditis.
3. Pemeriksaan dada dengan bantuan stetoskop menunjukkan adanya gesekan
pleura atau jantung.
4. Analisa air kemih menunjukkan adanya darah atau protein lebih dari 0,5
mg/hari.
9

5. Hitung jenis darah menunjukkan adanya penurunan beberapa jenis sel


darah.
6. Biopsi ginjal.
7. Pemeriksaan saraf.

2.8 Penatalaksanaan
1. Kortikosteroid (prednisone 1-2 mg/kg per hari samapi dengan 6 bulan
postpartum) (metilprednisolon 1000 mg per 24 jam dengan pulse steroid
selama 3 hari, jika membaik dilakukan tapering off).
2. AINS (Aspirin 80 mg/hr sampai 2 minggu sebelum TP).
3. Imunosupresan (Azethiprine 2-3 mg/kg per oral).
4. Siklofospamid, diberikan pada kasus yang mengancam jiwa 700-1000
mg/m luas permukaan tubuh, bersama dengan steroid selama 3 bulan
setiap 3 minggu.
10

2.9Pathway

genetik, kuman, virus, lingkungan, obat-obatan tertentu

gangguan imunoregulasi

↑antibodi yang berlebihan

↑sel T sepresor yang abnormal

antibodi menyerang organ-organ tubuh (sel,


jaringan)
penumpukan kompleks imun dan kerusakan
jaringan
penyakit SLE

mencetus penyakit inflamasi pada


organ

darah paru- ginjal hati otak


kulit sendi

protein
kerusakan atritis hb ↓ efusi pleura
integritas urin
kulit
kerusakan
sintesa suplai
↓ protein zat-zat O2 ↓
O2 dan
intoleran ketidakefek tubuh tubuh
nutrien ↓
si tifan pola
nafas nekrosi
nutrisi s
ATP ↓ pertumbuha kurang
n dan dari resti
perkembang kebutu kematia
keletihan an han n
11

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
1. Identitas
a. Penyakit Lupus bisa terjadi pada wanita maupun pria, namun penyakit
ini sering diderita oleh wanita, dengan perbandingan wanita dan pria
8 : 1.
b. Biasa ditemukan pada ras-ras tertentu seperti Negro, Cina, dan
Filiphina.
c. Lebih sering pada usia 20-40 tahun, yaitu pada usia produktif.
d. Faktor ekonomi dan geografis tidak mempengaruhi distribusi penyakit
ini
1) Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik
difokuskan pada gejala sekarang dan gejala yang pernah dialami seperti
keluhan mudah lelah, lemah, nyeri, kaku, demam/panas, anoreksia dan
efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra diri pasien.
2) Kulit
Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.
3) Kardiovaskuler
Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura.
Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis
menunjukkan gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari
kaki dan permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tanga.
4) Sistem muskuloskeletal
Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa
kaku pada pagi hari.
5) Sistem integumen
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang
melintang pangkal hidung serta pipi.
Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
6) Sistem pernafasan
12

Pleuritis atau efusi pleura.


7) Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler,
eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta
permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut
nekrosis.
8) Sistem renal
Edema dan hematuria.
9) Sistem saraf
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korea
ataupun manifestasi SSP lainnya.
2. Keluhan Utama
Pada umumnya pasien mengeluh mudah lelah, lemah, nyeri, kaku,
demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup
serta citra diri pasien.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu dikaji tentang riwayat penyakit dahulu, apakah pernah menderita
penyakit ginjal atau manifestasi SLE yang serius, atau penyakit autoimun
yang lain.
4. Riwayat Penyakit Sekarang
a. Perlu dikaji yaitu gejala apa yang pernah dialami pasien (misalnya
ruam malar-fotosensitif, ruam diskoid-bintik-bintik eritematosa
menimbul, Artralgia/arthritis, demam, kelelahan, nyeri dada pleuritik,
perikarditis, bengkak pada pergelangan kaki, kejang, ulkus dimulut.
b. Mulai kapan keluhan dirasakan.
c. Faktor yang memperberat atau memperingan serangan.
d. keluhan-keluhan lain yang menyertai.
5. Riwayat Pengobatan
Kaji apakah pasien mendapat terapi dengan Klorpromazin, metildopa,
hidralasin, prokainamid, dan isoniazid, dilantin, penisilamin, dan
kuinidin.
6. Riwayat Penyakit Keluarga
13

Perlu dikaji apakah dalam keluarga ada yang pernah mengalami penyakit
yang sama atau penyakit autoimun yang lain.
7. Pemeriksaan Fisik
Dikaji secara sistematis
B1 ( Breath )
Irama dan kecepatan nafas, kesimetrisan pergerakan nafas, penggunaan
otot nafas tambahan, sesak, suara nafas tambahan (rales, ronchii), nyeri
saat inspirasi, produksi sputum, reaksi alergi.Patut dicurigai terjadi
pleuritis atau efusi pleura. .
B2 ( Blood )
Tanda-tanda vital, apakah ada nyeri dada, suara jantung ( S1,S2,S3),
bunyi systolic click ( ejeksi click pulmonal dan aorta ), bunyi mur-
mur.Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi
pleura.
Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis
menunjukkan gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari
kaki dan permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan
B3 ( Brain )
Mengukur tingkat kesadaran( efek dari hipoksia ) Glasgow Coma Scale
secara kuantitatif dan respon otak ; compos mentis sampai coma
(kualitatif), orientasi klien.Sering terjadi depresi dan psikosis, juga
serangan kejang-kejang
B4 ( Bladder )
Pengukuran urine tampung ( menilai fungsi ginjal ), warna urine
(menilai filtrasi glomelorus),
B5 ( Bowel )
Pola makan, nafsu makan, muntah, diare, berat badan dan tinggi badan.,
turgor kulit. Nyeri perut, nyeri tekan, apakah ada hepatomegali,
pembesaran limpa.

3.2 Diagnosa Keperawatan


1. kerusakan integritas kulit berhubungan dengan proses penyakit.
14

2. Nyeri berhubungan dengan inflamasi atau kerusakan jaringan.


3. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan pada
penampilan fisik.
4. Resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan kulit, leukopenia,
penurunan hemoglobin
5. Intoleransi aktivitas fisik berhubungan dengan kelemahan atau
keletihan akibat anemia.

3.3 Intervensi

Diagnosa Keperawatan/ Rencana keperawatan


Masalah Kolaborasi
Tujuan dan Kriteria Intervensi
Hasil
Kerusakan integritas NOC : NIC : Pressure Management
kulit berhubungan dengan Tissue Integrity : Skin Anjurkan pasien untuk menggunakan
: and Mucous Membranes pakaian yang longgar
Eksternal : Wound Healing : primer Hindari kerutan pada tempat tidur
- Hipertermia atau dan sekunder Jaga kebersihan kulit agar tetap
hipotermia Setelah dilakukan bersih dan kering
- Substansi kimia tindakan keperawatan Mobilisasi pasien (ubah posisi
- Kelembaban selama….. kerusakan pasien) setiap dua jam sekali
- Faktor mekanik integritas kulit pasien Monitor kulit akan adanya
(misalnya : alat yang teratasi dengan kriteria kemerahan
dapat menimbulkan hasil: Oleskan lotion atau minyak/baby oil
luka, tekanan, restraint)  Integritas kulit yang pada derah yang tertekan
- Immobilitas fisik baik bisa Monitor aktivitas dan mobilisasi
- Radiasi dipertahankan pasien
- Usia yang ekstrim (sensasi, elastisitas, Monitor status nutrisi pasien
- Kelembaban kulit temperatur, hidrasi, Memandikan pasien dengan sabun
- Obat-obatan pigmentasi) dan air hangat
Internal :  Tidak ada luka/lesi Kaji lingkungan dan peralatan yang
- Perubahan status pada kulit menyebabkan tekanan
metabolik  Perfusi jaringan Observasi luka : lokasi, dimensi,
- Tonjolan tulang baik kedalaman luka, karakteristik,warna
- Defisit imunologi  Menunjukkan cairan, granulasi, jaringan nekrotik,
- Berhubungan dengan pemahaman dalam tanda-tanda infeksi lokal, formasi
dengan perkembangan proses perbaikan traktus
- Perubahan sensasi kulit dan mencegah Ajarkan pada keluarga tentang luka
- Perubahan status terjadinya sedera dan perawatan luka
nutrisi (obesitas, berulang Kolaburasi ahli gizi pemberian diae
kekurusan)  Mampu melindungi TKTP, vitamin
- Perubahan status cairan kulit dan Cegah kontaminasi feses dan urin
- Perubahan pigmentasi mempertahankan Lakukan tehnik perawatan luka
15

- Perubahan sirkulasi kelembaban kulit dengan steril


- Perubahan turgor dan perawatan Berikan posisi yang mengurangi
(elastisitas kulit) alami tekanan pada luka
 Menunjukkan
DO: terjadinya proses
- Gangguan pada bagian penyembuhan luka
tubuh
- Kerusakan lapisa kulit
(dermis)
- Gangguan permukaan
kulit (epidermis)

Diagnosa Keperawatan/ Rencana keperawatan


Masalah Kolaborasi
Tujuan dan Kriteria Intervensi
Hasil
Nyeri akut berhubungan NOC : NIC :
dengan:  Pain Level,  Lakukan pengkajian nyeri secara
Agen injuri (biologi,  pain control, komprehensif termasuk lokasi,
kimia, fisik, psikologis),  comfort level karakteristik, durasi, frekuensi,
kerusakan jaringan Setelah dilakukan kualitas dan faktor presipitasi
tinfakan keperawatan  Observasi reaksi nonverbal dari
DS: selama …. Pasien tidak ketidaknyamanan
- Laporan secara verbal mengalami nyeri,  Bantu pasien dan keluarga untuk
DO: dengan kriteria hasil: mencari dan menemukan dukungan
- Posisi untuk menahan  Mampu mengontrol  Kontrol lingkungan yang dapat
nyeri nyeri (tahu penyebab mempengaruhi nyeri seperti suhu
- Tingkah laku berhati- nyeri, mampu ruangan, pencahayaan dan kebisingan
hati menggunakan tehnik  Kurangi faktor presipitasi nyeri
- Gangguan tidur (mata nonfarmakologi untuk  Kaji tipe dan sumber nyeri untuk
sayu, tampak capek, mengurangi nyeri, menentukan intervensi
sulit atau gerakan kacau, mencari bantuan)  Ajarkan tentang teknik non
menyeringai)  Melaporkan bahwa farmakologi: napas dala, relaksasi,
- Terfokus pada diri nyeri berkurang distraksi, kompres hangat/ dingin
sendiri dengan menggunakan  Berikan analgetik untuk mengurangi
- Fokus menyempit manajemen nyeri nyeri: ……...
(penurunan persepsi  Mampu mengenali  Tingkatkan istirahat
waktu, kerusakan proses nyeri (skala, intensitas,  Berikan informasi tentang nyeri
berpikir, penurunan frekuensi dan tanda seperti penyebab nyeri, berapa lama
interaksi dengan orang nyeri) nyeri akan berkurang dan antisipasi
dan lingkungan)  Menyatakan rasa ketidaknyamanan dari prosedur
- Tingkah laku distraksi, nyaman setelah nyeri  Monitor vital sign sebelum dan
contoh : jalan-jalan, berkurang sesudah pemberian analgesik pertama
menemui orang lain  Tanda vital dalam kali
dan/atau aktivitas, rentang normal
aktivitas berulang-  Tidak mengalami
16

ulang) gangguan tidur


- Respon autonom
(seperti diaphoresis,
perubahan tekanan
darah, perubahan nafas,
nadi dan dilatasi pupil)
- Perubahan autonomic
dalam tonus otot
(mungkin dalam rentang
dari lemah ke kaku)
- Tingkah laku ekspresif
(contoh : gelisah,
merintih, menangis,
waspada, iritabel, nafas
panjang/berkeluh kesah)
- Perubahan dalam nafsu
makan dan minum

Diagnosa Keperawatan/ Rencana keperawatan


Masalah Kolaborasi
Tujuan dan Kriteria Intervensi
Hasil
Gangguan body image NOC: NIC :
berhubungan dengan:  Body image Body image enhancement
Biofisika (penyakit kronis),  Self esteem - Kaji secara verbal dan nonverbal
kognitif/persepsi (nyeri Setelah dilakukan respon klien terhadap tubuhnya
kronis), kultural/spiritual, tindakan keperawatan - Monitor frekuensi mengkritik
penyakit, krisis situasional, selama …. gangguan dirinya
trauma/injury, pengobatan body image - Jelaskan tentang pengobatan,
(pembedahan, kemoterapi, pasien teratasi perawatan, kemajuan dan
radiasi) dengan kriteria hasil: prognosis penyakit
DS:  Body image - Dorong klien mengungkapkan
- Depersonalisasi bagian positif perasaannya
tubuh  Mampu - Identifikasi arti pengurangan
- Perasaan negatif tentang mengidentifikasi melalui pemakaian alat bantu
tubuh kekuatan personal - Fasilitasi kontak dengan individu
- Secara verbal  Mendiskripsikan lain dalam kelompok kecil
menyatakan perubahan secara faktual
gaya hidup perubahan fungsi
DO : tubuh
- Perubahan aktual  Mempertahankan
struktur dan fungsi interaksi sosial
tubuh
- Kehilangan bagian
tubuh
- Bagian tubuh tidak
17

berfungsi

Diagnosa Keperawatan/ Rencana keperawatan


Masalah Kolaborasi
Tujuan dan Kriteria Intervensi
Hasil
Risiko infeksi NOC : NIC :
 Immune Status  Pertahankan teknik aseptif
Faktor-faktor risiko :  Knowledge :  Batasi pengunjung bila perlu
- Prosedur Infasif Infection control  Cuci tangan setiap sebelum dan
- Kerusakan jaringan dan  Risk control sesudah tindakan keperawatan
peningkatan paparan Setelah dilakukan  Gunakan baju, sarung tangan
lingkungan tindakan keperawatan sebagai alat pelindung
- Malnutrisi selama…… pasien  Ganti letak IV perifer dan dressing
- Peningkatan paparan tidak mengalami sesuai dengan petunjuk umum
lingkungan patogen infeksi dengan kriteria  Gunakan kateter intermiten untuk
- Imonusupresi hasil: menurunkan infeksi kandung
- Tidak adekuat  Klien bebas dari kencing
pertahanan sekunder tanda dan gejala  Tingkatkan intake nutrisi
(penurunan Hb, infeksi  Berikan terapi
Leukopenia, penekanan  Menunjukkan antibiotik:.................................
respon inflamasi) kemampuan untuk  Monitor tanda dan gejala infeksi
- Penyakit kronik mencegah sistemik dan lokal
- Imunosupresi timbulnya infeksi  Pertahankan teknik isolasi k/p
- Malnutrisi  Jumlah leukosit  Inspeksi kulit dan membran
- Pertahan primer tidak dalam batas normal mukosa terhadap kemerahan,
adekuat (kerusakan  Menunjukkan panas, drainase
kulit, trauma jaringan, perilaku hidup sehat  Monitor adanya luka
gangguan peristaltik)  Status imun,  Dorong masukan cairan
gastrointestinal,  Dorong istirahat
genitourinaria
 Ajarkan pasien dan keluarga tanda
dalam batas normal
dan gejala infeksi
 Kaji suhu badan pada pasien
neutropenia setiap 4 jam

Diagnosa Keperawatan/ Rencana keperawatan


18

Masalah Kolaborasi Tujuan dan Kriteria Intervensi


Hasil
Intoleransi aktivitas NOC : NIC :
Berhubungan dengan :  Self Care : ADLs  Observasi adanya pembatasan
 Tirah Baring atau  Toleransi aktivitas klien dalam melakukan aktivitas
imobilisasi  Konservasi eneergi  Kaji adanya faktor yang
 Kelemahan Setelah dilakukan menyebabkan kelelahan
menyeluruh tindakan keperawatan  Monitor nutrisi dan sumber
 Ketidakseimbangan selama …. Pasien energi yang adekuat
bertoleransi terhadap
antara suplei oksigen  Monitor pasien akan adanya
dengan kebutuhan aktivitas dengan Kriteria kelelahan fisik dan emosi secara
Gaya hidup yang Hasil : berlebihan
 Berpartisipasi dalam  Monitor respon kardivaskuler
dipertahankan. aktivitas fisik tanpa terhadap aktivitas (takikardi,
DS: disertai peningkatan disritmia, sesak nafas, diaporesis,
 Melaporkan secara tekanan darah, nadi pucat, perubahan hemodinamik)
verbal adanya dan RR  Monitor pola tidur dan lamanya
kelelahan atau  Mampu melakukan tidur/istirahat pasien
kelemahan. aktivitas sehari hari  Kolaborasikan dengan Tenaga
 Adanya dyspneu atau (ADLs) secara Rehabilitasi Medik dalam
ketidaknyamanan mandiri merencanakan progran terapi
saat beraktivitas.  Keseimbangan yang tepat.
DO : aktivitas dan istirahat  Bantu klien untuk
mengidentifikasi aktivitas yang
 Respon abnormal mampu dilakukan
dari tekanan darah  Bantu untuk memilih aktivitas
atau nadi terhadap konsisten yang sesuai dengan
aktifitas kemampuan fisik, psikologi dan
sosial
 Perubahan ECG :
 Bantu untuk mengidentifikasi dan
aritmia, iskemia
mendapatkan sumber yang
diperlukan untuk aktivitas yang
diinginkan
 Bantu untuk mendpatkan alat
bantuan aktivitas seperti kursi
roda, krek
 Bantu untuk mengidentifikasi
aktivitas yang disukai
 Bantu klien untuk membuat
jadwal latihan diwaktu luang
 Bantu pasien/keluarga untuk
mengidentifikasi kekurangan
dalam beraktivitas
 Sediakan penguatan positif bagi
yang aktif beraktivitas
 Bantu pasien untuk
mengembangkan motivasi diri
19

dan penguatan
 Monitor respon fisik, emosi,
sosial dan spiritual
20

BAB IV
PEMERIKSAAN LABORATORIUM

3.1 Penghitungan Sel Darah Lengkap (Complete Blood Count).


Penderita lupus dapat mengalami anemia sehingga dapat diketahui melalui
pemeriksaan sel darah lengkap. Selain terjadinya anemia, penderita lupus juga
dapat mengalami kekurangan sel darah putih atau trombosit.
3.1.1 Pemeriksaan Hematokrit
3.1.1.1 Pengertian
Hematokrit (HT) adalah volume (Dalam milimeter) sel darah
merah, yang di temukan di dalam 100 ml (1 dl) darah , di hitung
dalam persentase . Tujuan dilakukannya uji ini adalah mengukur
konsentrasi SDM (eritrosit ) di dalam darah. Kadar hematokrit yang
rendah sering di temukan pada kasus anemia dan leukimia dan
peningkatan kadar di temukan pada dehidrasi (Suatu peningkatan
relatif ) dan pada polisitemia. Selain itu tes hematokrit
mendiagnosis atau mengetahui penyakit yang diderita pasien, di
samping itu juga dapat membantu menentukan seberapa baik
tubuh merespon pengobatan yang telah diberikan. Pemeriksaan
penunjang ini dapat dipesan untuk berbagai alasan, tapi yang paling
sering digunakan untuk menguji : anemia Leukemia (Ciri-Ciri
Leukemia) dehidrasi kekurangan nutrisi dan lain lain.
2.1.1.2 Nilai Normal Pemeriksaan Hematokrit
Anak 36 – 40 % atau 0,36- 0,40 (satuan si)
Pria Dewasa 42 – 52% atau 0,42- 0,52 (satuan si)
Wanita Dewasa 36 – 48 % atau 0,36 – 0,48(satuan si)

Nilai hematokrit dikatakan tidak normal apabila < 15 % dan > 60


%
2.1.1.3 Faktor yang mempengaruhi nilai normal pemeriksaan hematokrit.
21

1. Tidak mengisi tabung dengan tepat menggunakan anti koagulan


yang tepat atau mencampur sampel dan anti koagulan secara
adekuat.
2. Hemolisis akibat perlakuan yang kasar pada sampel atau
pengambilan darah melalui jarum pungsi berukuran kecil.
3. Hemodilusi akibat pengambilan darah dari lengan di atas lokasi
infus IV.

2.1.1.4 Prosedur sebelum Pemeriksaan hematokrit


1. Jelaskan kepada klien bahwa pemeriksaan ini di gunakan untuk
mendeteksi anemia dan keadaan tidak norml pada darah lainnya.
2. Beri tahu kepada pasien bila suatu sempel darah akan di ambil pada
pemeriksaan . Jelaskan kapan dan siapa yang akan melakukan
pungsi vena.
3. Jika pasien seorang anak kecil beritahukan padanya (jika telah
cukup umur) dan orang tuanya bahwa sedikit darah akan di ambil
dari jari atau daun telinga.
4. Jelaskan kepada pasien bahwa pasien mungkin mengalami perasaan
tidak nyaman akibat pungsi dan tornikuet.
5. Beritahukan kepada klien bahwa pasien tidak perlu membatasi
konsumsi makanan dan cairan.

2.1.1.5 Prosedur setelah pemeriksaan


1. Lakukan penusukan jari dengan menggunakan tabung kapiler
yang berisi heparin yang di beri tanda pita merah pada batas anti
koagulan.
2. Sebagai alternatif Lakukan pungsi vena dan kumpulkan sampel
darah dalam tabung berukuran 3 sampai 5 ml yang telah
disediakan.
3. Pastikan pendarahan sub dermal telah berhenti sebelum
melepaskan penekanan.
4. Jika terjadi hematom pada lokasi pungsi berikan kompres hangat.
22

5. Kirim sampel ke laboratorium segera.

3.1.2 Pemeriksaan Hemoglobin


3.1.2.1 Pengertian
Hemoglobin adalah zat protein yang di temukan dalam sel
darah merah, yang memberi warna merah pada darah Kadar
hemoglobin yang tinggi abnormal terjadi karena keadaan
hemokontraksi akibat dari dehidrasi. Kadar hemoglobin yang
rendah berkaitan dengan berbagai masalah klinis. Pemeriksaan
Hemoglobin adalah Mengukur kadar hemoglobin berdasarkan
warna yang terjadi akibat perubahan Hb yang menjadi asam
hematin oleh adanya HCL 0,1 N. Tes hemoglobin adalah suatu tes
darah yang digunakan untuk menentukan berapa banyak
hemoglobin pasien dalam tubuh-nya. Tes. Tingkat hemoglobin
yang berbeda dari norma dapat merupakan indikasi dari berbagai
masalah kesehatan, dan tes ini dapat menjadi alat diagnostik yang
sangat berguna.

3.1.2.2 Nilai Normal Pemeriksaan


Wanita 12-16 gr/dL
Pria 14-18 gr/dL
Anak 10-16 gr/dL
Bayi Baru Lahir 12-24gr/dL

3.1.2.3 Faktor yang Mempengaruhi Hasil Pemeriksaan


1. Kecukupan Besi dalam tubuh.
2. Metabolisme Besi dalam tubuh.
3. Segi asupan makan

3.1.2.4 Prosedur Sebelum Pemeriksaan


1. Jelaskan kepada pasien bahwa uji ini di gunakan untuk menentukan
berapa jumlah hemoglobin yang ada di dalam tubuh pasien.
23

2. Beri tahu kepada pasien bahwa dalam pemeriksaan ini darah akan di
ambil. Jelaskan kepada pasien bahwa pasiem mungkin mengalami
perasaan tidak nyaman akibat pungsi dan tornikuet.
3. Beri tahu kepada klien sebelum di lakukan tes untuk menghindari
olahraga yang berlebihan, kurang lebih 24 jam sebelum pemeriksaan
di lakukan. Serta beri tahu untuk menghindari mengkonsumsi
makanan yang berat sebelum uji di lakukan.
4. Beri tahu kepada petugas laboratorium dan dokter mengenai obat-obat
yang di gunakan klien yang mungkin mempengaruhi hasil
pemeriksaan.

3.1.2.5 Prosedur Setelah Pemeriksaan Hemoglobin


1. Lakukan pungsi vena dan kumpulkan sampel darah dalam tabung
berukuran 3 sampai 5 ml yang telah disediakan.
2. Jika terjadi hematom pada lokasi pungsi berikan kompres hangat .
3. Pastikan pendarahan telah berhenti sebelum melepaskan penekanan.
4. Informasikan kepada klien bahwa ia dapat melanjutkan diet , obat
obatan dan aktivitas yang terputus sebelum uji.

3.1.3 Pemeriksaan sel darah putih total (SDP)


3.1.3.1 Pengertian
SDP (leukosit) dibagi menjadi 2 kelompok , leukosit polimorfonuklear
(neutrofil, eosinofil dan basofil) dan leukosit mononuklear (monosit dan
limfosit). Leukosit adalah bagian dari sistem pertahanan tubuh; leukosit
akan segera bereaksi terhadap benda asing yang masuk dan membuat
mekanisme pertahanan. Peningkatan jumlah leukosit disebut leukositosis
dan penurunan jumlah leukosit disebut leukopenia.

3.1.3.2 Nilai dasar pemeriksaan


Dewasa : SDP total 4.500-10.000 µL.
Anak : bayi baru lahir 9.000-30.000 µL.
2 tahun :6.000-17.000 µL
24

3.1.3.3 Faktor yang mempengaruhi pemeriksaan


1. Peningkatan dan penurunan jumlah sel darah putih.
2. Konsumsi obat-obatan.
3. Faktor bawaan atau keturunan.

3.1.3.4 Prosedur sebelum pemeriksaan


1. Jelaskan kepada pasien bahwa uji ini mengevaluasi sistem imun dan
seringkali memerlukan uji tambahan untuk diagnosis.
2. Beri tahu kepada klien uji ini akan di ulangi untuk memantau
responnya terhadap terapi bila perlu.
3. Beri tahu kepada pasien bahwa dalam pemeriksaan ini sampel darah
yang akan diambil. Jelaskan kepada pasien bahwa ia mungkin
mengalami perasaan tidak nyaman akibat tusukan jarum dan
tornikuet.

3.1.3.5 Prosedur sesudah pemeriksaan


1. Lakukan pungsi vena dan Ambil 5 sampai 7 ml darah vena dan
masukkan ke dalam tabung bertutup jingga muda. Hindari hemolisis.
2. Amati tanda tanda adanya infeksi pada pungsi vena dan laporkan
jika ada perubahan kepada dokter segera.
3. Tekan tempat pungsi vena sampai pendarahan berhenti.
4. Pastikan pendarahan telah berhenti sebelum melepaskan penekanan.
5. Tidak perlu pembatasan makanan dan cairan.

3.1.4 Indeks Sel Darah Merah (MCV, MCH, MCHC, RDW)


3.1.4.1 Pengertian
Indeks sel darah merah meliputi hitung SDM, ukuran SDM (MCV:
mean corpuscular volume [volume korpuskular rerata]), berat (MCH:
mean corpuscular hemoglobin [hemoglobin korpuskular rerata]),
konsentrasi hemoglobin (MCHC: mean corpuscular hemoglobin
concentration [konsentrasi hemoglobin korpuskular rerata]), dan
25

perbedaan ukuran (RDW: RBC distribution width [luas distribusi SDM]).


Istilah lain untuk indeks SDM adalah indeks eritrosit serta indeks
korpuskular. Untuk mengidentifikasi jenis anemia, pemberi layanan
kesehatan memerlukan data uji indeks SDM berikut ini.
1. MCV: MCV mengindikasikan ukuran SDM: mikrositik (ukuran
kecil), normositik (ukuran normal), makrositik (ukuran besar).
Penurunan MCV, atau mikrosit, dapat menjadi indikasi terjadinya
anemia defisiensi zat besi dan talasemia. Kadar MCV dapat dihitung
jika hitung SDM dan hematokrit (Ht) diketahui.
Ht ×10
MCV =
Hitung SDM
MCH: MCH mengindikasikan berat hemoglobin di dalam SDM, tanpa
memerhatikan ukurannya. Pada anemia makrositik nilai MCH
meningkat, dan pada anemia hipokromik, nilainya menurun.
Hb×10
MCH =
Hitung SDM
MCHC: MCHC mengindikasikan konsentrasi hemoglobin per unit
volume SDM. Penurunan nilai MCHC dapat mengindikasikan adanya
anemia hipokromik.
MCH × 100 Hb×100
MCH = atau MCHC=
MCV Ht
RDW: RDW adalah perbedaan ukuran (luas) dari SDM. Nilai RDW
berguna untuk memperkirakan terjadinya anemia dini, sebelum nilai
MCV berubah dan sebelum terjadi tanda dan gejala.

3.1.4.2 Pemeriksaan
1. Lakukan vena pungsi dan kumpulkan sampel darah dalam tabung
berukuran 3 sampai 4,5 mL yang berisi EDTA (tabung berwarna
lavender).
2. Cegah terjadinya hemolisis. Jangan pasang torniquet terlalu lama.
3. Pastikan perdarahan subdermal telah berhenti sebelum melepaskan
penekanan.
26

3.1.4.3 Nilai normal


No. Uji Dewasa BBL Anak
1 MCV (µm3 80–98 96–108 82–92
[konvensional] atau fl
[satuan SI])
2 MCH (pg 27–31 32–34 27–31
[konvensional dan
satuan SI])
3 MCHC (% atau g/dl 32%–36% 32%–33% 32%–33%
[konvensional] atau 0,32–0,36 0,32–0,33 0,32–0,36
satuan SI)
4 RDW (coulter S) 11,5–14,5
Tabel 2.2 Nilai Normal Indeks Sel Darah Merah

3.1.4.4 Persiapan sebelum perawatan


1. Jelaskan kepada pasien bahwa uji ini digunakan uktuk membantu
menentukan adanya anemia pada pasien.
2. Beri tahukan kepada pasien bahwa sampel darah akan diambil.
Jelaskan kapan dan siapa yang akan melakukan vena pungsi.
3. Beri tahukan kepada pasien bahwa ia mungkin mengalami perasaan
sedikit tidak nyaman akibat pungsi dan torniquet.

3.1.4.5 Perawatan pascauji


1. Jika terjadi hematom pada lokasi vena punsi, berikan kompres hangat.
Jika hematom yang terjadi besar, pantau denyut nadi di bagian distal
dari lokasi prebotomi.
2. Faktor-faktor yang memengaruhi nilai normal
MCV dan MCHC yang rendah menunjukkan adanya anemia
mikrositik, hipokromik yang disebabkan oleh anemia defisiensi besi,
anemia responsif terhadap piridoksin, atau talasemia. MCV yang
tinggi memberi kesan adanya anemia makrositik yang disebabkan oleh
anemia megaloblastik, defisiensi asam folat atau vitamin B12,
27

gangguan sintesis asam deoksiribonukleat turunan, atau


retikulositosis. Karena MCV mencerminkan volume rata-rata dari
banyak sel, nilainya dalam kisaran normal dapat meliputi SDM dalam
berbagai ukuran, dari mikrositik sampai makrositik.

3.1.5 Analisis urine

Urine pada penderita lupus dapat mengalami kenaikan kandungan protein dan sel
darah merah. Kondisi ini menandakan bahwa lupus menyerang ke ginjal.
Pemeriksaan urinalisis ( rutin)
4.1.5.1 Pengertian
Urinalisis adalah anafilaksis fisik,kimia, dan mikroskopik terhadap
urine. Uji urine rutin dilakukan pertama kali pada tahun 1821. Saat ini
digunakan berbagai strip reagen untuk melakukan skrining kimia
dengan cepat.
Urinalisis berguna untuk mendiagnosis penyakit ginjal atau infeksi
saluran kemih, dan untuk mendeteksi adanya penyakit metabolic yang
tidak berhunungan dengan ginjal. Warna, tampilan, bau urine
diperiksa serta pH, protein, keton glukosa, dan bilirubin diperiksa
dengan strip reagen. Berat jenis diukur dengan urinometer, dan
pemeriksaan mikroskopik sedimentasi urine dilakukan untuk
mendetekai sel darah merahatau sel darah putihdi dalam urine,
sedimen, Kristal, dan bacteria.

4.1.5.2 Nilai Normal Pemeriksaan


Dewasa Anak
Warna Kuning muda sampai sawo Kuning muda
sampai kuning tua
Tampilan Jernih Jernih
Bau Berbau khas Berbau khas
Ph 4,5 – 8,0 4,5 – 8
Berat Jenis 1,005 – 1,030 (1,015- 1,024, 1,005 – 1,030
28

asupan cairan normal)


Protein (2-8mg/dl uji strip reagen -
negatif)
Glukosa Negative Negative
Keton Negative Negative
Darah Negative Negative
Pemeriksaan Mikroskopik
SDM 1-2 per daya kekuatan rendah Jarang
SDP 3-4 0-4
Sedimen Jarang menimbulkan hialin Jarang

4.1.5.3 Faktor yang mempengaruhi pemeriksaan


1. Spesimen urine yang telah dibiarkan selama 1 jam atau lebih ,tanpa
perlu didinginkan.
2. Obat dan makanan.
3. Feses atau kertas toilet di dalam urine.

4.1.5.4 Prosedur sebelum pemeriksaan


1. Jelaskan kepada klien tentang prosedur penampungan urine. Beri tahu
klien yang sedang dihospitalisasi bahwa pengambilan spesimen urine
di pagi hari perlu dilakukan sebelum makan pagi.
2. Jelaskan kepada klien yang berada dirumah untuk meletakkan
spesimen urine segar pagi hari di dalam lemari pendingin.namun
demikian spesimen urine tersebut harus dibawa ke laboratorium dalam
waktu 1 jam.
3. Jelaskan kepada klien tentang prosedur pengambilan urine porsi
tengah .prosedur ini dapat dilakukan jika kultur urine diperlukan untuk
uji urinalis.

4.1.5.5 Prosedur sesudah pemeriksaan


1. Ambil spesimen urine segar kira-kira 50 ml atau lebih dengan
menggunakan wadah kering dan bersih dan bawa segera ke
29

laboratorium dalam waktu 30 menit . Spesimen urine di pagi hari


sebaiknya diambil sebelum makan pagi. Spesimen urine tersebut harus
didinginkan selama 6 sampai 8 jam.
2. Spesimen urine porsi bersih /tengah dapat diambil jika SDP terdapat
di dalam urine atau jika dicurigai terdapat bakteri.
3. Tidak terdapat pembatasan asupan makanan atau cairan ,kecuali jika
urinalis harus dilakukan di pagi hari.

4.1.6 Pemeriksaan ANA (antinuclear antibody)

Pemeriksaan ini digunakan untuk memeriksa keberadaan sel


antibodi tertentu dalam darah dimana kebanyakan pengidap SLE
memilikinya. Sekitar 98% penderita lupus memiliki hasil positif jika
dilakukan tes ANA sehingga ini merupakan metode yang paling sensitif
dalam memastikan diagnosis.
4.1.6.1 Pengertian
Pemeriksaan ANA serum merupakan satu pemeriksan skrining untuk
mendiagnosa sistemik lupus eristomatus (SLE) dan penyakit-penyakit
kolagen lainnya. Jumlah ANA dapat juga positif pada skloderma,
atritis reumotoid, sirosis , leukimia, dan maligna.

4.1.6.2 Nilai dasar pemeriksaan


Dewasa : negatif ( kurang dari 20 unit )

4.1.6.3 Faktor yang mempengaruhi pemeriksaan


1. Obat-obatan tertentu yang mempengaruhi hasil pengujian.
2. Proses penuaan dapat menyebabkan peningkatan kadar ANA.

4.1.6.4 Prosedur sebelum pemeriksaan


1. Jelaskan kepada pasien bahwa uji ini mengevaluasi sistem imun dan
seringkali memerlukan uji tambahan untuk diagnosis.
2. Beri tahu kepada klien uji ini akan di ulangi untuk memantau
responnya terhadap terapi bila perlu.
30

3. Beri tahu kepada pasien bahwa dalam pemeriksaan ini sampel darah
yang akan diambil. Jelaskan kepada pasien bahwa ia mungkin
mengalami perasaan tidak nyaman akibat pungsi atau tusukan jarum
dan tornikuet.

4.1.6.5 Prosedur sesudah pemeriksaan


1. Lakukan pungsi vena dan Ambil 5 sampai 7 ml darah vena dan
masukkan ke dalam tabung bertutup merah. Segera dikirim ke
laboratorium, sebab seru harus dipisahkan dari sel.
2. Amati tanda tanda adanya infeksi pada pungsi vena dan laporkan
jika ada perubahan kepada dokter segera.
3. Tekan tempat pungsi vena sampai pendarahan berhenti.
4. Pastikan pendarahan telah berhenti sebelum melepaskan penekanan.
5. Tidak perlu pembatasan makanan dan cairan.
6. Tunda pemberian obat-obat pada klien sebelum pemeriksaan dengan
ijin dokter karena dapat menyebabkan hasil titer positif palsu. Bila
obat-obat tersebut sudah diminum klien.

4.1.7 Pemeriksaan Imunologi

Di antaranya adalah anti-dsDNA antibody, anti-Sm antibody,


antiphospholipid antibody, syphilis, lupus anticoagulant, dan Coombs’ test.
Pemeriksaan imunologi tersebut merupakan salah satu kriteria dalam
penentuan diagnosis SLE.
4.1.7.1 Pemeriksaan Antibodi heterofil ( serum )
1. Pengertian
Pemeriksaan ini dilakuakn untuk mengetaui infeksi
mononukleosis (IM). Infeksi ini disebabkan oleh virus Epstein
barr (EBV).Hemofile dalah kelompok antibodi yang bereaksi
terhadap eritrosit lembu dan kuda jike (titer) positif terjadi
aglutinasi. Titer 1:56 sampai 1:224 merupakan kecurigaan tinggi
adanya infeksi mononukleosis , titer 1:224 atau lebih positif
terhadap infeksi mononekleosis. Meningkatnya titer heterofil
31

terjadi antara 2 minggu pertama, mencapai puncaknya dalam 3


minggu dan tetap tinggi selama 6 minggu.

2. Nilai Normal pemeriksaan


Dewasa : normal titer <1,28; abnormal titer 1:56
Lansia : titer agak lebih tinggi dari orang dewasa
Anak : sama seperti pada dewasa

3. Faktor yang mempengaruhi pemeriksaaan


3.1 Usia dari klien.
3.2 Penyimpanan serum ditempat yang tepat.

4. Prosedur sebelum pemeriksaan


4.1 Jelaskan kepada pasien bahwa uji ini mengevaluasi sistem
imun dan seringkali memerlukan uji tambahan untuk
diagnosis.
4.2 Beri tahu kepada klien uji ini akan di ulangi untuk memantau
responnya terhadap terapi bila perlu.
4.3 Beri tahu kepada pasien bahwa dalam pemeriksaan ini sampel
darah yang akan diambil. Jelaskan kepada pasien mungkin
mengalami perasaan tidak nyaman akibat pungsi atau tusukan
jarum dan toniket.

5. Prosedur sesudah pemeriksaan


5.1 Lakukan pungsi vena dan Ambil 5 sampai 7 ml darah vena dan
masukkan pada tabung bertutup merah.
5.2 Amati tanda tanda adanya infeksi pada pungsi vena dan
laporkan jika ada perubahan kepada dokter segera.
5.3 Tekan tempat pungsi vena sampai pendarahan berhenti.
Pastikan pendarahan telah berhenti sebelum melepaskan
penekanan.
32

4.1.7.2 Immunoglobulin
1. Pengertian
Imunoglobulin merupakan protein yang dapat berfungsi
sebagai antibodi spesifik dalam respons terhadap perangsangan
antigen. Ia berperan sebagai aspek humoral imunitas. Deviasi
dari presentase imunoglobulin normal khas pada banyak
kelainan imun. Antara lain, kanker, kelainan hati, artritis
reumatoid, dan lupus erimatosus sistemik.
Imunoelektroforesis mengenal imunoglobulin (Ig) G, IgA,
dan IgM dalam sampel serum. Kadarnya masing-masing
diukur dengan imunodifusi radial atau nefelometri. Beberapa
laboratorium mendeteksi imunoglobulin dengan
imunofluoresens dan rasioimunoassay.

2. Pemeriksaan
2.1 Lakukan pungsi vena dan kumpulkan sampel darah dalam
tabung berukuran 7 ml yang berisi EDTA.
2.2 Lakukan penekanan langsung pada lokasi pungsi sampai
perdarahan berhenti.

3. Persiapan sebelum pemeriksaan


3.1 Jelaskan kepada pasien bahwa uji ini digunakan untuk
mengukur antibodi.
3.2 Bila perlu, beri tahukan kepada pasien bahwa uji ini
mengevaluasi keefektifan pengobatan.
3.3 Perintahkan kepada pasien untuk berpuasa selama 12
sampai 14 jam sebelum uji. Beri tahukan kepada pasien
bahwa ia boleh meminum air.
3.4 Beri tahukan kepada pasien bahwa suatu sampel darah
akan diambil. Jelaskan kapan dan siapa yang akan
melakukan pungsi vena.
33

3.5 Beri tahukan kepada pasien bahwa ia mungkin mengalami


perasaan sedikit tidak nyaman akibat pungsi dan torniquet.
3.6 Periksa riwayat pasien apakah ia minum obat-obatan yang
dapat mempengaruhi hasil uji.
3.7 Perhatikan bahwa penyalahgunaan alkohol dan narkotik
dapat mempengaruhi hasil.

4. Perawatan pascauji
4.1 Jika terjadi hematom pada lokasi vena pungsi, berikan
kompres hangat.
4.2 Perintahkan pasien bahwa ia dapat melanjutkan kembali
diet dan obat-obatan yang terputus sebelum uji.
4.3 Nasihati pasien dengan kadar imunoglobulin yang rendah
abnormal (terutama IgG atau IgM) untuk melindungi diri
terhadap infeksi bakteri. Saat merawat pasien demikian,
awasi tanda-tanda infeksi seperti demam, kedinginan,
ruam, dan ulkus kulit.
4.4 Nasihati pasien dengan kadar imunoglobulin yang tinggi
abnormal dan gejala gomopati monoklonal untuk
melaporkan nyeri tulang dan nyeri tekan. Pasien demikian
memiliki banyak sel plasma yang menghasilkan antibodi
dalam sumsum tulang yang menghambat pembentukan
komponen darah lainnya. Awasi tanda-tanda
hiperkalsemia, gagal ginjal, dan fraktur patogolik spontan.

5. Faktor-faktor yang memengaruhi nilai normal


Pada hipogamaglobulinemia dan kongenital didapat,
mieloma, dan makro globulinema. Temuan ini memastikan
diagnosis. Pada penyakit hati dan autoimun, leukimia, dan
limfoma. Temuan demikian kurang penting, tetapi dapat
mendukung diagnosis yang didasarkan pada uji-uji lain seperti
34

biopsi dan diferensial sel darah putih, serta pada pemeriksaan


fisik.

4.1.8 Tes komplemen C3 dan C4.


Komplemen adalah senyawa dalam darah yang membentuk
sebagian sistem kekebalan tubuh. Level komplemen dalam darah akan
menurun seiring aktifnya SLE.

4.1.8.1 Komplemen C3
Komplemen C3 merupakan komponen yang berjumlah paling
banyak dalam sistem komplemen (sebuah kelompok yang terdiri atas
11 protein). Sistem komplemen memiliki peranan yang penting dalam
sistem imunologi, dan kompnen komplemen akan teraktivasi jika
antibodi IgG dan IgM beriaktan dengan antigen spesifiknya.
Sistem komplemen total dan C3 akan berkurang pada SLE,
glumorulonefritis, dan penolakan transplantasi ginjal akut. Setelah
awitan proses inflamasi akut atau kronis  atau setelah destruksi
jaringan akut (nekrosis), komplemen total sementara akan meningkat.
Komplemen C3 dan C4 pada sistem komplemen merupakan
komponen sistem yang paling dikenal, sementara komponen lainnya
(C1, C2, dan C5-C9) masih dalam kajian dan penelitian yang
mendalam.

1. Tujuan
1.1 Untuk membantu dalam pendeteksian penyakit inflamasi akut
(misal., artritis reumatoid) dan masalah kesehatan lain
(peningkatan kadar), SLE, dan glomerulonefritis (penurunan
kadar).
1.2 Untuk membandingkan temuan uji dengan data laboratorium
lainnya guna memastikan masalah kesehatan yang terjadi.

2. Nilai Rujukkan
35

Pria : 80 - 180 mg/dl, 0,8 - 1,8 g/l (satuan SI).


Wanita : 76 - 120 mg/dl, 0,76-1,2 g/l (satuan SI).
Anak : Biasanya tidak dilakukan.

3. Prosedur sebelum pemeriksaan


3.1 Jelaskan kepada pasien bahwa uji ini mengevaluasi sistem
imun dan seringkali memerlukan uji tambahan untuk
diagnosis
3.2 Beri tahu kepada klien uji ini akan di ulangi untuk memantau
responnya terhadap terapi bila perlu.
3.3 Beri tahu kepada pasien bahwa dalam pemeriksaan ini
sampel darah yang akan diambil. Jelaskan kepada pasien
mungkin mengalami perasaan tidak nyaman akibat pungsi
atau tusukan jarum dan toniket.

4. Prosedur sesudah pemeriksaan


4.1 Lakukan pungsi vena dan Ambil 5 sampai 7 ml darah vena
dan masukkan pada tabung bertutup merah
4.2 Amati tanda tanda adanya infeksi pada pungsi vena dan
laporkan jika ada perubahan kepada dokter segera
4.3 Tekan tempat pungsi vena sampai pendarahan berhenti
4.4 Pastikan pendarahan telah berhenti sebelum melepaskan
penekanan
4.5 Tidak perlu pembatasan makanan dan cairan.

5. Faktor yang Mempengaruhi Temuan Laboratorium


5.1 Suhu yang panas dapat merusak komponen komplemen.
5.2 Komplemen C3 adalah komplemen yang tidak stabil
sehingga nilai serum akan berkurang jika sampel ditinggalkan
selama 1-2 jam pada suhu ruangan.

4.1.8.2 Komplemen C4
36

Komplemen C4 merupakan komponen kedua terbanyak pada


sistem komplemen. Penurunan C4 dan C3 umumnya ditemukan pada
penyakit, seperti SLE, glomeluronefritis,s erta penolakan transplan
ginjal.
Peningkatan kadar C4 serum merupakan indikasi proses inflamasi
akut; namun, seseorang yang sehat mungkin juga mengalami
peningkatan kadar C4. Demikian pula, pada kasus kanker biasanya
meningkat (dengan kaitan terhadap tahap penyakit), tetapi kadar
serum menurun tajam secara signifikan pada fase malignasi terminal.

1. Nilai Rujukkan
Dewasa :15-45mg/dl
Anak : Uji biasanya tidak dilakukan.

2. Prosedur sebelum pemeriksaan


2.1 Jelaskan kepada pasien bahwa uji ini mengevaluasi sistem
imun dan seringkali memerlukan uji tambahan untuk
diagnosis.
2.2 Beri tahu kepada klien uji ini akan di ulangi untuk
memantau responnya terhadap terapi bila perlu.
2.3 Beri tahu kepada pasien bahwa dalam pemeriksaan ini
sampel darah yang akan diambil. Jelaskan kepada pasien
mungkin mengalami perasaan tidak nyaman akibat pungsi
atau tusukan jarum dan toniket.

3. Prosedur sesudah pemeriksaan


3.1 Lakukan pungsi vena dan Ambil 5 sampai 7 ml darah vena
dan masukkan pada tabung bertutup merah.
3.2 Amati tanda tanda adanya infeksi pada pungsi vena dan
laporkan jika ada perubahan kepada dokter segera.
3.3 Tekan tempat pungsi vena sampai pendarahan berhenti.
3.4 Pastikan pendarahan telah berhenti sebelum melepaskan
37

penekanan.
3.5 Tidak perlu pembatasan makanan dan cairan.

4. Faktor yang Mempengaruhi Temuan Laboratorium


4.1 Panas akan menurunkan kadar komplemen C4.
4.2 C4 tidak stabil dan kadar serumnya akan menurun jika
didiamkan dalam suhu kamar selama lebih dari 1 atau 2 jam.
38

BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Lupus merupakan penyakit autoimun kronis dimana terdapat
kelainan system imun yang menyebabkan peradangan pada beberapa organ
dan system tubuh. Mekanisme system kekebalan tubuh tidak dapat
membedakan antara jaringan tubuh sendiri dan organismeasing (misalnya
bakteri, virus) karena autoantibodi (antibody yang menyerang jaringan
tubuh sendiri) diproduksi tubuh dalam jumlah besar dan terjadi
pengendapan kompleks imun (antibody yang terkait pada antigen) di dalam
jaringan. SLE atau lupus menyerang perempuan kira-kira delapan kali lebih
sering daripada laki-laki.
Hubungan antara lupus dan pathogenesis masih kontroversial,
karena komponen-komponen dan immunoglobulin, termasuk kompleks
penghancur membrane, dapat dijumpai kedua kaki non-lesi dan lesi pada
pasien lupus eritematosus sistemik. Pathogenesis melibatkan gangguan
mendasar dalam pemeliharaan self-tolerance bersama aktivasi sel B. Hal ini
dapat terjadi sekunder terhadap beberapa faktor antara lain : efek herediter
dalam pengaturan proliferasi sel B, hiperaktivitas sel T helper, dan
kerusakan pada fungsi sel T supresor.
Penyebab lupus dapat dikategorikan dalam 3 faktor yaitu : genetik,
hormonal dan lingkungan. Beberapa factor lingkungan diduga berperan kuat
mencetuskan lupus, diantaranya adalah : infeksi, zat kimia, racun, rokok dan
sinar matahari.
Pemeriksaan laboratorium untuk penyakit lupus diantaranya:
Pemeriksaan hematocrit, dilakukan dengan tujuan untuk mengukur
konsentrasi SDM (eritrosit) di dalam darah. Nilai normal yang diharapkan
dari pemeriksaan ini yaitu anak-anak sebesar 36-40%, pria dewasa sebesar
42-52%, dan pada wanita dewasa sebesar 36-48%.
Pemeriksaan hemoglobin dilakukan untuk mengukur kadar hemoglobin
berdasarkan warna yang yang terjadi akibat perubahan Hb yang menjadi
asam hematin oleh adanya HCL. Nilai normal yang diharapkan dari
39

pemeriksaan ini adalah, pada wanita sebesar 12-16 gr/dL, pada pria sebesar
14-18 gr/dL, pada bayi bar lahir sebesar 12-24 gr/dL.
Pemeriksaan sel darah putih total, dilakukan untuk mengetahui jumlah
leukosit dalam darah, hasil yang diharapkan pada pemeriksaan ini total
4500-10000 μL.
Pemeriksaan indeks sel darah merah (MCP, MCH, MCHC, RDW). Indeks
sel darah merah meliputi hitung SDM, ukuran SDM (MCV: mean
corpuscular volume [volume korpuskular rerata]), berat (MCH: mean
corpuscular hemoglobin [hemoglobin korpuskular rerata]), konsentrasi
hemoglobin (MCHC: mean corpuscular hemoglobin concentration
[konsentrasi hemoglobin korpuskular rerata]), dan perbedaan ukuran (RDW:
RBC distribution width [luas distribusi SDM]).
Pemeriksaan urunalis. Pemeriksaan ini dulakukan dengan tujuan untuk
mendiagnosis penyakit ginjal atau infeksi saluran kemih, dan untuk
mendeteksi adanya penyakit metabolic yang tidak berhubungan dengan
ginjal. Hasil yang diharapkan dari pemeriksaan ini adalah urine berwarna
kuning muda sampai sawo, tampilan urine jernih, urine berbau khas, ph
urine 4,5 – 8,0, berat jenis 1,005 – 1,030 (1,015- 1,024, asupan cairan
normal), protein dalam urine (2-8mg/dl uji strip reagen negatif), glukosa
negative, keton negative, darah negative.
Pemeriksaan ANA. Pemeriksaan ini digunakan untuk memeriksa
keberadaan sel antibody tertentu dalam darah dimana kebanyakan mengidap
SLE memilikinya. Hasil yang diharapan dari pemeriksaan ini adalah
negative (kurang dari 20 unit).
Pemeriksaan Imunologi. Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetaui infeksi
mononukleosis (IM). Infeksi ini disebabkan oleh virus Epstein barr (EBV).
Hasil yang diharapkan dari pemeriksaan ini adalah dewasa : normal titer
<1,28; abnormal titer 1:56.

Pemeriksaan komplemen C3. Pemeriksaan ini dilakukan untuk membantu


dalam pendeteksian penyakit inflamasi akut (misal, artritis reumatoid) dan
masalah kesehatan lain (peningkatan kadar), SLE, dan glomerulonefritis
40

(penurunan kadar), serta untuk membandingkan temuan uji dengan data


laboratorium lainnya guna memastikan masalah kesehatan yang terjadi.
Hasil yang diharapkan dari pemeriksaan ini adalah Pria: 80 - 180 mg/dl, 0,8
- 1,8 g/l (satuan SI),Wanita : 76 - 120 mg/dl, 0,76-1,2 g/l (satuan SI),Anak :
Biasanya tidak dilakukan.

Pemeriksaan komplemen C4. Hasil yang diharapkan Dewasa :15-45mg/dl ,


Anak : Uji biasanya tidak dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA
Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Robins, Kumar. 1995. Buku Ajar Patologi. Edisi 4. Jakarta: EGC.
Doenges, Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk
Perencanaan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC.
Kee,joyceleFever. 2007. Pedoman Pemeriksaan Laboratorium dan Diagnostik.
Edisi 6. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai