BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Mungkin kita jarang mendengar nama penyakit ini. Systemic Lupus
Erythematosus (SLE) atau Lupus. Nama penyakit ini kurang popular
dibandingkan HIV/AIDS ataupun demam berdarah Dengue. Namun akhir-
akhir ini jumlah penderita penyakit ini mengalami peningkatan. Penderitanya
yang disebut odipus atau odapus (Orang dengan Lupus) mengalami gangguan
yang cukup mempengaruhi kualitas hidup bahkan dapat mengancam
kelangsungan hidupnya. Selain itu, penyakit lupus ini memiliki gejala yang
tidak spesifik, sehingga para penderitanya sering berghanti-ganti dokter karena
diagnosa yang berbeda-beda. Oleh sebab itu, penyakit ini sering disebut
penyakit seribu wajah, karena gejala yang ditunjukkannya menyerupai gejala
penyakit lain.
Penyakit Systemic Lupus Erythematosus adalah suatu penyakit yang
menyerang seluruh organ tubuh mulai dari ujung kaki hingga ujung rambut,
yang disebabkan oleh penurunan kekebalan tubuh manusia, dan lebih dikenal
penyakit sebagai autoimun. Penyakit ini sebenarnya telah dikenal sejak jaman
Yunani kuno oleh Hipokrates, namun pengobatan yang tepat belum diketahui.
Penyakit ini tidak menular, tetapi didapatkan hamper seluruh penderita
Systemic Lupus Erythematosus adalah perempuan (80%-89%). Dalam
penelitian di Amerika Serikat ditemukan pula bahwa penyakit ini lebih banyak
ditemukan pada ras Asia, Indian, Amerika dan Afrika dibandingkan dengan
Ras Kaukasia.
Gejala yang umum ditemukan terbagi atas gejala kulit, gejala sistemik dan
gejala laboratorium. Gejala kulit yang ditemukan terutama ditemukannya
ruam kupu-kupu (Butterfly rash) di kedua pipi dan hidung pada hamper 70%
kasus. Selain itu biasanya penderita Systemic Lupus Erythematosus akan
sangat sensitive terhadap paparan sinar matahari pagi yang mengandung sinar
ultra violet atau pada pemakaian lampu ultra violet. Pada bagian tubuh yang
terpapar sinar matahari dapat pula timbul ruam kulit berbentuk bundar dan
berwarna kemerahan. Selain itu akan timbul sariawan berulang atau sariawan
2
kambuhan, yang kadang kala dipandang sepele oleh penderita. Gejala sistemik
yang timbul akan segera terjadi bila penderita tidak segera diobati dengan baik
dan dalam jangka waktu lama. Gejala sistemik yang mulai terlihat biasanya
dimulai dari radang sendi berulang dan berat sehingga sering disalah artikan
sebagai penyakit Asam Urat atau Rheumatik.
1.3 Tujuan
1. Mengetahui definisi penyakit lupus?
2. Mengetahui bagaimana patofisiologi penyakit lupus?
3. Mengetahui bagaimana etiologi penyakit lupus?
4. Mengetahui apa manifestsi klinis penyakit lupus?
5. Mengetahui bagaimana prognosis penyakit lupus?
6. Mengetahui bagaimana evaluasi diagnostik penyakit lupus?
7. Mengetahui apa saja pemeriksaan penunjang penyakit lupus?
8. Mengetahui bagaimana penatalaksanaan penyakit lupus?
9. Mengetahui bagaimana asuhan keperawatan penyakit lupus?
10. Mengetahui apasaja pemeriksaan labratorium penyakit lupus?
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Autoimunitas adalah respon imun terhadap antigen tubuh sendiri yang disebabkan
oleh mekanisme normal yang gagal berperan untuk mempertahankan self-
tolerance sel B, sel T atau keduanya. Respon imun terlalu aktif menyebabkan
disfungsi imun, menyerang bagian dari tubuh tersebut dan merupakan kegagalan
fungsi system kekebalan tubuh yang membuat badan menyerang jaringannya
sendiri. System imunitas menjaga tubuh melawan pada apa yang terlihatnya
sebagai bahan asing atau berbahaya. Bahan seperti itu termasukmikro-jasad,
parasite (seperti cacing), sel kanker, dan malah pencangkokan organ dan jaringan.
Autoimunitas adalah kegagalan suatu organisme untuk mengenali bagian
dari dirinya sendiri sebagai bagian dari dirinya, yang membuat respon kekebalan
melawan sel dan jaringan miliknya sendiri. Beberapa penyakit yang dihasilkan
dari kelainan respon kekebalan ini dinamakan penyakit autoimun. Kesalahan yang
menyebabkan sistem kekebalan melawan suatu individu yang seharusnya
dilindunginya bukanlah hal yang baru. Paul Ehrlich pada awal abad ke 20
mengajukan konsep horror autotoxicus, dimana jaringan suatu organisme dimakan
oleh system kekebalannya sendiri. Semua respon autoimun dulunya dipercaya
sebagai hal yang abnormal dan dikaitkan dengan suatu kelainan. Namun saat ini
diketahui bahwa respon autoimun adalah bagian terpisah dari system kekebalan
vertebrata, umumnya untuk mencegah terjadinya penyakit yang disebabkan oleh
toleransi imunologikal terhadap antigen milik sendiri. Setiap penyakit yang
dihasilkan dari respon imun yang menyimpang, kerusakan jaringan atau gangguan
fungsi fisiologis yang ditimbulkan oleh respon autoimun disebut penyakit
autoimun.
Penyakit autoimun adalah penyakit dimana kekebalan yang terbentuk
salah mengidentifikasi benda asing. Dimana sel jaringan atau organ tubuh
manusia justru dianggap sebagai benda asing sehingga dirusak oleh antibody.
Jadi, adanya penyakit autoimun tidak memberikan dampak peningkatan ketahanan
4
tubuh dalam melawan suatu penyakit, tetapi justru terjadi kerusakan tubuh akibat
kekebalan yang terbentuk.
Salah satu penyakit imunologi yaitu penyakit lupus. Lupus adalah penyakit
yang disebabkan oleh system imun yang menyerang sel-sel jaringan organ tubuh
yang sehat dengan kata lain, system imun yang terbentuk berlebihan. Kelainan ini
dikenal dengan autoimunitas. Pada satu kasus penyakit ini bisa membuat kulit
seperti ruam merah yang rasanya terbakar (lupus DLE). Pada kasus lain ketika
system imun yang berlenihan itu menyerang persendian dapat menyebabkan
kelumpuhan (lupus SLE).
SLE ( Sistemics Lupus Erythematosus) adalah penyakit radang
multisystem yang sebabnya belum diketahui. Dengan perjalanan penyakit yang
mungkin akut dan fulminant atau kronik remisi dan eksaserbasi disertai oleh
terdapatnya berbagai macam autoimun dalam tubuh.
SLE atau LES (Lupus Eritematosus Sistemik) adalah penyakit radang
multisistem yang penyebabnya diduga karena adanya perubahan system imun.
2.2 Patofisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang
menyebabkan peningkatan autoimun yang berebihan. Gangguan imunoreglasi ini
ditimbulkan oleh kombinasi Antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana
tebukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan
lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti
hidralazid, prokainamid, isoniazid, klorpromazid dan beberapa preparat
antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam
penyakit SLE akibat senyawa kimia atau obat-obatan.
Patofisiologi penyakit SLE dihipotesiskan sebagai berikut : adanya satu
atau beberapa faktor pemicu yang tepat pada individu yang mempunyai
predisposisi genetic akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap sel
TCD 4+, mengakibatkan hilangnya toleransi sel T terhadap sel-antigen. Sebagai
akibatnya muncullah sel T autoreaktif yang akan menyebabkan induksi serta
ekspansi sel B, baik yang memproduksi autoantibodi maupun yang berupa sel
5
memori. Ujud pemicu ini masih belum jelas. Sebagian dari yang diduga termasuk
didalamnya ialah hormone seks, sinar ultraviolet dan berbagai macam infeksi.
Pada SLE, autoantibodi yang terbentuk ditujukan terhadap antigen yang
terutama terletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein
histon dan non histon. Kebanyakan diantaranya dalam keadaan alamiah terdapat
dalam bentuk agregat protein atau kompleks protein RNA yang disebut partikel
ribonukleoprotein (RNA). Ciri khas autoantigen ini ialah bahwa mereka tidak
tissue-spesific dan merupakan komponen integral semua jenis sel. Antibodi ini
secara bersama-sama disebut ANA (Anti Nuclear Antibody). Dengan antigennya
yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun pada SLE terganggu. Dapat
berupa gangguan klirens kompleks imun besar yang larut, gangguan pemrosesan
kompleks imun dalam hati, dan penurun.
Uptake kompleks imun pada limpa. Gangguan-gangguan ini
memungkinkan terbentuknya deposit kompleks imun di luar system fagosit
mononuklear. Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai macam organ
dengan akibat terjadinya fiksasi komplemen yang menghasilkan substansi
penyebab timbulnya reaksi radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan
timbulnya keluhan atau gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan sepert
ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kult dan sebagainya. Bagian yang penting
dalam patofisiologi ini adalah terganggunya mekanisme regulasi yang dalam
keadaan normal mencegah autoimunitas patologis pada individu yang resisten.
2.3 Etiologi
Hingga kini faktor yang merangsangkan system pertahanan diri untuk
menjadi tidak normal belum diketahui. Ada kemungkinan factor genetic, kuman,
virus, sinar ultraviolet, dan obat-obatan tertentu memainkan peran. Penyakit
system lupus erythematosus (SLE) ini kerap ditemui di kalangan kaum wanita. Ini
menunjukkan bahwa hormone yang terdapat pada wanita mempunyai peranan
besar, walaupun perkaitan Antara Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) dan
hormone wanita saat ini masih dalam kajian.
2.4 Manifestasi Klinis
6
Jumlah dan jenis antibody pada lupus lebih besar dibandingkan dengan
penyakit lain, dan antibody ini (bersama dengan faktor lainnya yang tidak
diketahui) menentukan gejala mana yang akan berkembang. Karena itu, gejala dan
beratnya penyakit, bervariasi pada setiap penderita. Perjalanan penyakit ini
bervarisi, mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit berat.
Gejala pada setiap penderita berlainan, serta ditandai oleh masa bebas gejala
(remisi) dan masa kekambuhan (eksaserbasi). Pada awal penyakit, lupus hanya
menyerang satu organ, tetapi dikemudian hari akan melibatkan organ lainnya.
1. System musculoskeletal
Arthralgia, artritis (synovitis), pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa
nyeri ketika bergerak dan rasa kaku pada pagi hari.
2. System integument (kulit)
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang
melintang pangkal hidung serta pipi dan ulkus oral dapat mengenai
mukosa pipi atau palatum durum.
3. System kardiak
Pericarditis merupakan manifetasi kardiak.
4. System pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
5. System vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler.
Beritematous serta purpura diujung jari kaki, tangan, siku, permukaan
ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
6. System perkemihan
Glomerulus renal yang biasanya terkena.
7. System saraf
Spectrum gangguan system saraf pusat sangat luas dan mencakup seluruh
bentyk penyakit neurologik, sering terjadi depresi dan psikosis.
2.5 Prognosis
Karena perjalanan lupus tak dapat diramalkan, maka prognosisnya sangat
bervariasi. Penyakit ini cenderung menjadi kronis dan kambuhan, seringkali
dengan periode bebas gejala yang dapat berakhir dalam hitungan tahun. Flare
7
jarang terjadi setelah menopous. Prognosis penyakit ini semakin membaik dengan
bermakna dalam dua dekade terakhir ini. Biasanya jika inflamasi awal
dikendalikan, prognosis jangka panjangnya adalah baik. Jika gejala lupus
disebabkan oleh penggunaan suatu obat akan menyembuhkan lupus, walaupun
penyembuhan dapat memakan waktu berbulan-bulan.
2.8 Penatalaksanaan
1. Kortikosteroid (prednisone 1-2 mg/kg per hari samapi dengan 6 bulan
postpartum) (metilprednisolon 1000 mg per 24 jam dengan pulse steroid
selama 3 hari, jika membaik dilakukan tapering off).
2. AINS (Aspirin 80 mg/hr sampai 2 minggu sebelum TP).
3. Imunosupresan (Azethiprine 2-3 mg/kg per oral).
4. Siklofospamid, diberikan pada kasus yang mengancam jiwa 700-1000
mg/m luas permukaan tubuh, bersama dengan steroid selama 3 bulan
setiap 3 minggu.
10
2.9Pathway
gangguan imunoregulasi
protein
kerusakan atritis hb ↓ efusi pleura
integritas urin
kulit
kerusakan
sintesa suplai
↓ protein zat-zat O2 ↓
O2 dan
intoleran ketidakefek tubuh tubuh
nutrien ↓
si tifan pola
nafas nekrosi
nutrisi s
ATP ↓ pertumbuha kurang
n dan dari resti
perkembang kebutu kematia
keletihan an han n
11
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
1. Identitas
a. Penyakit Lupus bisa terjadi pada wanita maupun pria, namun penyakit
ini sering diderita oleh wanita, dengan perbandingan wanita dan pria
8 : 1.
b. Biasa ditemukan pada ras-ras tertentu seperti Negro, Cina, dan
Filiphina.
c. Lebih sering pada usia 20-40 tahun, yaitu pada usia produktif.
d. Faktor ekonomi dan geografis tidak mempengaruhi distribusi penyakit
ini
1) Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik
difokuskan pada gejala sekarang dan gejala yang pernah dialami seperti
keluhan mudah lelah, lemah, nyeri, kaku, demam/panas, anoreksia dan
efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra diri pasien.
2) Kulit
Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.
3) Kardiovaskuler
Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura.
Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis
menunjukkan gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari
kaki dan permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tanga.
4) Sistem muskuloskeletal
Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa
kaku pada pagi hari.
5) Sistem integumen
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang
melintang pangkal hidung serta pipi.
Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
6) Sistem pernafasan
12
Perlu dikaji apakah dalam keluarga ada yang pernah mengalami penyakit
yang sama atau penyakit autoimun yang lain.
7. Pemeriksaan Fisik
Dikaji secara sistematis
B1 ( Breath )
Irama dan kecepatan nafas, kesimetrisan pergerakan nafas, penggunaan
otot nafas tambahan, sesak, suara nafas tambahan (rales, ronchii), nyeri
saat inspirasi, produksi sputum, reaksi alergi.Patut dicurigai terjadi
pleuritis atau efusi pleura. .
B2 ( Blood )
Tanda-tanda vital, apakah ada nyeri dada, suara jantung ( S1,S2,S3),
bunyi systolic click ( ejeksi click pulmonal dan aorta ), bunyi mur-
mur.Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi
pleura.
Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis
menunjukkan gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari
kaki dan permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan
B3 ( Brain )
Mengukur tingkat kesadaran( efek dari hipoksia ) Glasgow Coma Scale
secara kuantitatif dan respon otak ; compos mentis sampai coma
(kualitatif), orientasi klien.Sering terjadi depresi dan psikosis, juga
serangan kejang-kejang
B4 ( Bladder )
Pengukuran urine tampung ( menilai fungsi ginjal ), warna urine
(menilai filtrasi glomelorus),
B5 ( Bowel )
Pola makan, nafsu makan, muntah, diare, berat badan dan tinggi badan.,
turgor kulit. Nyeri perut, nyeri tekan, apakah ada hepatomegali,
pembesaran limpa.
3.3 Intervensi
berfungsi
dan penguatan
Monitor respon fisik, emosi,
sosial dan spiritual
20
BAB IV
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
2. Beri tahu kepada pasien bahwa dalam pemeriksaan ini darah akan di
ambil. Jelaskan kepada pasien bahwa pasiem mungkin mengalami
perasaan tidak nyaman akibat pungsi dan tornikuet.
3. Beri tahu kepada klien sebelum di lakukan tes untuk menghindari
olahraga yang berlebihan, kurang lebih 24 jam sebelum pemeriksaan
di lakukan. Serta beri tahu untuk menghindari mengkonsumsi
makanan yang berat sebelum uji di lakukan.
4. Beri tahu kepada petugas laboratorium dan dokter mengenai obat-obat
yang di gunakan klien yang mungkin mempengaruhi hasil
pemeriksaan.
3.1.4.2 Pemeriksaan
1. Lakukan vena pungsi dan kumpulkan sampel darah dalam tabung
berukuran 3 sampai 4,5 mL yang berisi EDTA (tabung berwarna
lavender).
2. Cegah terjadinya hemolisis. Jangan pasang torniquet terlalu lama.
3. Pastikan perdarahan subdermal telah berhenti sebelum melepaskan
penekanan.
26
Urine pada penderita lupus dapat mengalami kenaikan kandungan protein dan sel
darah merah. Kondisi ini menandakan bahwa lupus menyerang ke ginjal.
Pemeriksaan urinalisis ( rutin)
4.1.5.1 Pengertian
Urinalisis adalah anafilaksis fisik,kimia, dan mikroskopik terhadap
urine. Uji urine rutin dilakukan pertama kali pada tahun 1821. Saat ini
digunakan berbagai strip reagen untuk melakukan skrining kimia
dengan cepat.
Urinalisis berguna untuk mendiagnosis penyakit ginjal atau infeksi
saluran kemih, dan untuk mendeteksi adanya penyakit metabolic yang
tidak berhunungan dengan ginjal. Warna, tampilan, bau urine
diperiksa serta pH, protein, keton glukosa, dan bilirubin diperiksa
dengan strip reagen. Berat jenis diukur dengan urinometer, dan
pemeriksaan mikroskopik sedimentasi urine dilakukan untuk
mendetekai sel darah merahatau sel darah putihdi dalam urine,
sedimen, Kristal, dan bacteria.
3. Beri tahu kepada pasien bahwa dalam pemeriksaan ini sampel darah
yang akan diambil. Jelaskan kepada pasien bahwa ia mungkin
mengalami perasaan tidak nyaman akibat pungsi atau tusukan jarum
dan tornikuet.
4.1.7.2 Immunoglobulin
1. Pengertian
Imunoglobulin merupakan protein yang dapat berfungsi
sebagai antibodi spesifik dalam respons terhadap perangsangan
antigen. Ia berperan sebagai aspek humoral imunitas. Deviasi
dari presentase imunoglobulin normal khas pada banyak
kelainan imun. Antara lain, kanker, kelainan hati, artritis
reumatoid, dan lupus erimatosus sistemik.
Imunoelektroforesis mengenal imunoglobulin (Ig) G, IgA,
dan IgM dalam sampel serum. Kadarnya masing-masing
diukur dengan imunodifusi radial atau nefelometri. Beberapa
laboratorium mendeteksi imunoglobulin dengan
imunofluoresens dan rasioimunoassay.
2. Pemeriksaan
2.1 Lakukan pungsi vena dan kumpulkan sampel darah dalam
tabung berukuran 7 ml yang berisi EDTA.
2.2 Lakukan penekanan langsung pada lokasi pungsi sampai
perdarahan berhenti.
4. Perawatan pascauji
4.1 Jika terjadi hematom pada lokasi vena pungsi, berikan
kompres hangat.
4.2 Perintahkan pasien bahwa ia dapat melanjutkan kembali
diet dan obat-obatan yang terputus sebelum uji.
4.3 Nasihati pasien dengan kadar imunoglobulin yang rendah
abnormal (terutama IgG atau IgM) untuk melindungi diri
terhadap infeksi bakteri. Saat merawat pasien demikian,
awasi tanda-tanda infeksi seperti demam, kedinginan,
ruam, dan ulkus kulit.
4.4 Nasihati pasien dengan kadar imunoglobulin yang tinggi
abnormal dan gejala gomopati monoklonal untuk
melaporkan nyeri tulang dan nyeri tekan. Pasien demikian
memiliki banyak sel plasma yang menghasilkan antibodi
dalam sumsum tulang yang menghambat pembentukan
komponen darah lainnya. Awasi tanda-tanda
hiperkalsemia, gagal ginjal, dan fraktur patogolik spontan.
4.1.8.1 Komplemen C3
Komplemen C3 merupakan komponen yang berjumlah paling
banyak dalam sistem komplemen (sebuah kelompok yang terdiri atas
11 protein). Sistem komplemen memiliki peranan yang penting dalam
sistem imunologi, dan kompnen komplemen akan teraktivasi jika
antibodi IgG dan IgM beriaktan dengan antigen spesifiknya.
Sistem komplemen total dan C3 akan berkurang pada SLE,
glumorulonefritis, dan penolakan transplantasi ginjal akut. Setelah
awitan proses inflamasi akut atau kronis atau setelah destruksi
jaringan akut (nekrosis), komplemen total sementara akan meningkat.
Komplemen C3 dan C4 pada sistem komplemen merupakan
komponen sistem yang paling dikenal, sementara komponen lainnya
(C1, C2, dan C5-C9) masih dalam kajian dan penelitian yang
mendalam.
1. Tujuan
1.1 Untuk membantu dalam pendeteksian penyakit inflamasi akut
(misal., artritis reumatoid) dan masalah kesehatan lain
(peningkatan kadar), SLE, dan glomerulonefritis (penurunan
kadar).
1.2 Untuk membandingkan temuan uji dengan data laboratorium
lainnya guna memastikan masalah kesehatan yang terjadi.
2. Nilai Rujukkan
35
4.1.8.2 Komplemen C4
36
1. Nilai Rujukkan
Dewasa :15-45mg/dl
Anak : Uji biasanya tidak dilakukan.
penekanan.
3.5 Tidak perlu pembatasan makanan dan cairan.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Lupus merupakan penyakit autoimun kronis dimana terdapat
kelainan system imun yang menyebabkan peradangan pada beberapa organ
dan system tubuh. Mekanisme system kekebalan tubuh tidak dapat
membedakan antara jaringan tubuh sendiri dan organismeasing (misalnya
bakteri, virus) karena autoantibodi (antibody yang menyerang jaringan
tubuh sendiri) diproduksi tubuh dalam jumlah besar dan terjadi
pengendapan kompleks imun (antibody yang terkait pada antigen) di dalam
jaringan. SLE atau lupus menyerang perempuan kira-kira delapan kali lebih
sering daripada laki-laki.
Hubungan antara lupus dan pathogenesis masih kontroversial,
karena komponen-komponen dan immunoglobulin, termasuk kompleks
penghancur membrane, dapat dijumpai kedua kaki non-lesi dan lesi pada
pasien lupus eritematosus sistemik. Pathogenesis melibatkan gangguan
mendasar dalam pemeliharaan self-tolerance bersama aktivasi sel B. Hal ini
dapat terjadi sekunder terhadap beberapa faktor antara lain : efek herediter
dalam pengaturan proliferasi sel B, hiperaktivitas sel T helper, dan
kerusakan pada fungsi sel T supresor.
Penyebab lupus dapat dikategorikan dalam 3 faktor yaitu : genetik,
hormonal dan lingkungan. Beberapa factor lingkungan diduga berperan kuat
mencetuskan lupus, diantaranya adalah : infeksi, zat kimia, racun, rokok dan
sinar matahari.
Pemeriksaan laboratorium untuk penyakit lupus diantaranya:
Pemeriksaan hematocrit, dilakukan dengan tujuan untuk mengukur
konsentrasi SDM (eritrosit) di dalam darah. Nilai normal yang diharapkan
dari pemeriksaan ini yaitu anak-anak sebesar 36-40%, pria dewasa sebesar
42-52%, dan pada wanita dewasa sebesar 36-48%.
Pemeriksaan hemoglobin dilakukan untuk mengukur kadar hemoglobin
berdasarkan warna yang yang terjadi akibat perubahan Hb yang menjadi
asam hematin oleh adanya HCL. Nilai normal yang diharapkan dari
39
pemeriksaan ini adalah, pada wanita sebesar 12-16 gr/dL, pada pria sebesar
14-18 gr/dL, pada bayi bar lahir sebesar 12-24 gr/dL.
Pemeriksaan sel darah putih total, dilakukan untuk mengetahui jumlah
leukosit dalam darah, hasil yang diharapkan pada pemeriksaan ini total
4500-10000 μL.
Pemeriksaan indeks sel darah merah (MCP, MCH, MCHC, RDW). Indeks
sel darah merah meliputi hitung SDM, ukuran SDM (MCV: mean
corpuscular volume [volume korpuskular rerata]), berat (MCH: mean
corpuscular hemoglobin [hemoglobin korpuskular rerata]), konsentrasi
hemoglobin (MCHC: mean corpuscular hemoglobin concentration
[konsentrasi hemoglobin korpuskular rerata]), dan perbedaan ukuran (RDW:
RBC distribution width [luas distribusi SDM]).
Pemeriksaan urunalis. Pemeriksaan ini dulakukan dengan tujuan untuk
mendiagnosis penyakit ginjal atau infeksi saluran kemih, dan untuk
mendeteksi adanya penyakit metabolic yang tidak berhubungan dengan
ginjal. Hasil yang diharapkan dari pemeriksaan ini adalah urine berwarna
kuning muda sampai sawo, tampilan urine jernih, urine berbau khas, ph
urine 4,5 – 8,0, berat jenis 1,005 – 1,030 (1,015- 1,024, asupan cairan
normal), protein dalam urine (2-8mg/dl uji strip reagen negatif), glukosa
negative, keton negative, darah negative.
Pemeriksaan ANA. Pemeriksaan ini digunakan untuk memeriksa
keberadaan sel antibody tertentu dalam darah dimana kebanyakan mengidap
SLE memilikinya. Hasil yang diharapan dari pemeriksaan ini adalah
negative (kurang dari 20 unit).
Pemeriksaan Imunologi. Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetaui infeksi
mononukleosis (IM). Infeksi ini disebabkan oleh virus Epstein barr (EBV).
Hasil yang diharapkan dari pemeriksaan ini adalah dewasa : normal titer
<1,28; abnormal titer 1:56.
DAFTAR PUSTAKA
Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Robins, Kumar. 1995. Buku Ajar Patologi. Edisi 4. Jakarta: EGC.
Doenges, Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk
Perencanaan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC.
Kee,joyceleFever. 2007. Pedoman Pemeriksaan Laboratorium dan Diagnostik.
Edisi 6. Jakarta: EGC.