PENDAHULUAN
1
hematologik, neurologik, kardiopulmonal, ginjal, saluran cerna, mata, trombosis, dan
kematian janin.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa Definisi dari SLE?
2. Bagaimanya Etiologi dari SLE?
3. Bagaimana Klasifikasi dari SLE?
4. Apa Manifestasi Klinis dari SLE?
5. Bagaimana Patofisiologi dari SLE?
6. Apa komplikasi dari SLE?
7. Bagaimana Penatalaksanaan Farmakologi dan Non Farmakologi dari SLE?
8. Bagaimana Pencegahan Primer,Sekunder,Tersier dari SLE?
9. Bagaimana Program Pemerintah Terkait Penyakit SLE?
10. Apa Saja Pemeriksaan Pengkajian dari SLE?
11. Apa Diagnosa Keperawatan dari SLE?
12. Apa Saja Intervensi Keperawatan dari SLE?
13. Bagaimana Evaluasi Keperawatan dari SLE?
14. Bagaimana Perencanaan Pulang Keperawatan dari SLE?
1.3 Tujuan
1. Untuk Mengetahui Definisi dari SLE
2. Untuk Mengetahui Etiologi dari SLE
3. Untuk Mengetahui Klasifikasi dari SLE
4. Untuk Mengetahui Manifestasi Klinis dari SLE
5. Untuk Mengetahui Patofisiologi dari SLE
6. Untuk Mengetahui komplikasi dari SLE
7. Untuk Mengetahui Penatalaksanaan Farmakologi dan Non Farmakologi dari SLE
8. Untuk Mengetahui Pencegahan Primer,Sekunder,Tersier dari SLE
9. Untuk Mengetahui Program Pemerintah Terkait Penyakit SLE
10. Untuk Mengetahui Pemeriksaan Pengkajian dari SLE
11. Untuk Mengetahui Keperawatan dari SLE
12. Untuk Mengetahui Intervensi Keperawatan dari SLE
13. Untuk Mengetahui Evaluasi Keperawatan dari SLE
2
14. Untuk Mengetahui Perencanaan Pulang Keperawatan dari SLE
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Pengertian
Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah radang kronis yang disebabkan oleh penyakit
autoimun (kekebalan tubuh) di mana sistem pertahanan tubuh yang tidak normal melawan
jaringan tubuh sendiri. Antara jaringan tubuh dan organ yang dapat terkena adalah seperti
kulit, jantung, paru-paru, ginjal, sendi, dan sistem saraf.
Lupus eritematosus sistemik (SLE) merupakan suatu penyakit atuoimun yang kronik dan
menyerang berbagai system dalam tubuh. ( Silvia & Lorraine, 2006 )
Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah penyakit radang yang menyerang banyak sistem
dalam tubuh, dengan perjalanan penyakit bisa akut atau kronis, dan disertai adanya
antibodi yang menyerang tubuhnya sendiri
B. Etiologi
Penyebab dari SLE belum diketahui dengan pasti. Diduga melibatkan interaksi yang
kompleks dan multifaktorial antara bervariasi genetic dan factor lingkungan.
1. Factor Genetik
Kejadian SLE yang lebih tinggi pada kembar monozigotik (25%) dibandingkan
dengan kembar dizigotik (3%), peningkatan SLE pada keluarga penderita SLE
dibandingkan dengan control sehat dan peningkatan prevalensi SLE pada kelompok etnik
tertentu, menguatkan dugaan bahwa factor genetic berperan dalam pathogenesis SLE.
2. Factor Hormonal
3
SLE merupakan penyakit yang lebih banyak menyerang perempuan. Serangan
pertama kali jarang terjadi pada usia pubertas dan setelah menopause.
3. Autoantibody
Antibody ini ditunjukksn kepada self molekul yang terdapat pada nucleus,
sitiplasma, permukaan sel, dan juga terdapat molekul terlarutbseperti IgG dan factor
koagulasi.
4. Factor Lingkungan
a) Factor fisik/kimia
- Amin aromatic
- Hydrazine
- Obat-obatan (prokainamid, hidralazin, klorpromazin, isoniazid, fenitoin,penisilamin)
b) Factor makanan
- Konsumsi lemak jenuh yang berlebihan
- L-canavanine (kuncup dari alfalfa)
5. Agen infeksi
- Retrovirus
- DNA bakteri/endotoksin
6. Hormone dan estrogen lingkungan (environmental estrogen)
- Terapi sulih (HRT), pil kontrasepsi oral
- Paparan estrogen prenatal
C. Klasifikasi
Ada tiga jenis type lupus :
1. Cutaneous Lupus Tipe ini juga dikenal sebagai Discoid Lupus Tipe lupus ini hanya
terbatas pada kulit dan ditampilkan dalam bentuk ruam yang muncul pada muka, leher,
atau kulit kepala. Ruam ini dapat menjadi lebih jelas terlihat pada daerah kulit yang terkena
sinar ultraviolet (seperti sinar matahari, sinar fluorescent). Meski terdapat beberapa macam
tipe ruam pada lupus, tetapi yang umum terdapat adalah ruam yang timbul, bersisik dan
merah, tetapi tidak gatal.
2. Discoid Lupus Tipe lupus ini dapatmenyebabkan inflamasi pada beberapa macam organ.
Untuk beberapa orang mungkin saja hal ini hanya terbatas pada gangguan kulit dan sendi.
Tetapi pada orang yang lain, sendi, paru-paru, ginjal, darah ataupun organ dan/atau
4
jaringan lain yang mungkin terkena. SLE pada sebagian orang dapat memasuki masa
dimana gejalanya tidak muncul (remisi) dan pada saat yang lain penyakit ini dapat menjadi
aktif (flare).
3. Drug-induced lupus Tipe lupus ini sangat jarang menyerang ginjal atau sistem syaraf. Obat
yang umumnya dapat menyebabkan druginduced lupus adalah jenis hidralazin (untuk
penanganan tekanan darah tinggi) dan pro-kainamid (untuk penanganan detak jantung yang
tidak teratur/tidak normal). Tidak semua orang yang memakan obat ini akan terkena drug-
induced lupus. Hanya 4 persen dari orang yang mengkonsumsi obat itu yang bakal
membentuk antibodi penyebab lupus. Dari 4 persen itu, sedikit sekali yang kemudian
menderita lupus. Bila pengobatan dihentikan, maka gejala lupus ini biasanya akan hilang
dengan sendirinya
Dari ketiganya, Discoid Lupus paling sering menyerang. Namun, Systemic Lupus
selalu lebih berat dibandingkan dengan Discoid Lupus, dan dapat menyerang organ atau
sistem tubuh. Pada beberapa orang, cuma kulit dan persendian yang diserang. Meski
begitu, pada orang lain bisa merusak persendian, paru-paru, ginjal, darah, organ atau
jaringan lain. Terdapat perbedaan antara klasifikasi dan diagnosis SLE. Diagnosis
ditegakkan.
D. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis penyakit ini sangat beragam dan sering kali pada keadaan awal tidak di
kenali sebagai SLE
Menurut American college ada 11 kriteria SLE dan jika terdapat 4 kriteria maka
diagnosis SLE dapat di tegakan
1. Ruam malara
2. Ruam discoid
3. Fotosensitifitas
4. Ulserasi dimulut atau nasofaring
5. Arthritis
6. Serositis: yaitu leuritis atau trikarditis
7. Kelainan ginjal, yaitu proteinuria persisten >0,5 gr/hari, atau adalah silinder sel
8. Kelainan neurologic, yaitu kejang-kejang atau pisikosis
5
9. Kelainan hematologic, yaitu anemia hemolytic atau lekopenia atau limfopenia atau
trombositopenia.
10. Kelainan imunologik yaitu sel SLE positif atau anti DNA positif, atau anti Sm positif atau
tes serologic untuk sifilis yang positif palsu
11. Antibody antinuclear (+)
Kecurigaan akan penyakit SLE bila di jumpai dua atau lebih keterlibatan organ
seperti :
1. Jender wanita pada tentang usia reproduksi
2. Gejala konstitusional : kelelahan, demam, atau tanpa bukti infeksi dan penurunan berat
badan
3. Muskuloskiletal : nyeri otot (mialgia), nyeri sendi atau atralgia, miositis
4. Kulit : ruam kupu-kupu (butterflay atau malar rsh ) fotosensifitas, SLE’membran mukosa,
alpesia, phenomena reynound,pur-pura,urtikaria,paskulitis.
5. Paru-paru : pleurisy, hipertensi pulmonal,SLE parenkim paru
6. Jantung : pericarditis,niokarditis,endokarditis
7. Ginjal : hematuria, protenuria, cetakan, sindrom nefrotik
6
Pada SLE, peningkatan produksi autoantibody diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-
supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan
jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya merangsang antibody
tambahan, dan siklus tersebut berulang kembali.
F. Komplikasi
Penyakit Lupus dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu discoid lupus, Systemic
Lupus Erythematosus, dan lupus yang diinduksi oleh obat.
1. Discoid Lupus
Lesi berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas eritema yang meninggi,
skuama, sumbatan folikuler, dan telangiektasia. Lesi ini timbul di kulit kepala, telinga,
wajah, lengan, punggung, dan dada. Penyakit ini dapat menimbulkan kecacatan karena lesi
ini memperlihatkan atrofi dan jaringan parut di bagian tengahnya serta hilangnya apendiks
kulit secara menetap (Hahn, 2005).
2. Systemic Lupus Erythematosus
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh
banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan
disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi autoantibodi yang
berlebihan (Albar, 2003). Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai macam
ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid dapat menyebabkan kerusakan
jaringan (Albar, 2003) melalui mekanime pengaktivan komplemen (Epstein, 1998).
3. Lupus yang diinduksi oleh obat
Lupus yang disebabkan oleh induksi obat tertentu khususnya pada asetilator lambat
yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak
terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan
protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk
kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut (Herfindal et
al., 2000).
7
G. Penatalaksanaan
1. Farmakologi
Terapi farmakologi untuk SLE ditujukan untuk menekan sistem imun dan mengatasi
inflamasi. Umumnya pengobatan SLE tergantung dari tingkat keparahan dan lamanya
pasien menderita SLE serta manifestasi yang timbul pada setiap pasien.
a) NSAID
Merupakan terapi utama untuk manifestasi SLE yang ringan termasuk salisilat
dan NSAID yang lain (Delafuente, 2002). NSAID memiliki efek antipiretik,
antiinflamasi, dan analgesik (Neal, 2002). NSAID dapat dibedakan menjadi nonselektif
COX inhibitor dan selektif COX-2 inhibitor. Nonselektif COX inhibitor menghambat
enzim COX-1 dan COX-2 serta memblok asam arakidonat. COX-2 muncul ketika
terdapat rangsangan dari mediator inflamasi termasuk interleukin, interferon,
serta tumor necrosing factor sedangkan COX-1 merupakan enzim yang berperan pada
fungsi homeostasis tubuh seperti produksi prostaglandin untuk melindungi lambung
serta keseimbangan hemodinamik dari ginjal. COX-1 terdapat pada mukosa lambung,
sel endotelial vaskular, platelet, dan tubulus collecting renal (Katzung, 2002). Efek
samping penggunaan NSAID adalah perdarahan saluran cerna, ulser, nefrotoksik,
kulit kemerahan, dan alergi lainnya. Celecoxib merupakan inhibitor selektif COX-2
yang memiliki efektivitas seperti inhibitor COX non selektif, tapi kejadian perforasi
lambung dan perdarahan menurun hingga 50% (Neal, 2002).
Terapi pada SLE didasarkan pada kesesuaian obat, toleransi pasien terhadap efek
samping yang timbul, frekuensi pemberian, dan biaya. Pemberian terapi pada pasien
SLE dilakukan selama 1 sampai 2 minggu untuk mengevaluasi efikasi NSAID. Jika
NSAID yang digunakan tidak efektif dan menimbulkan efek samping maka dipilih
NSAID yang lain dengan periode 1 sampai 2 minggu. Penggunaan lebih dari satu
NSAID tidak meningkatkan efikasi tetapi malah meningkatkan efek samping
toksisitasnya sehingga tidak direkomendasikan. Apabila terapi NSAID gagal maka
dapat digunakan imunosupresan seperti kortikosteroid atau antimalaria tergantung dari
manifestasi yang muncul (Herfindal et al., 2000).
8
b) Antimalaria
Antimalaria efektif digunakan untuk manifestasi ringan atau sedang (demam,
atralgia, lemas atau serositis) yang tidak menyebabkan kerusakan organ-organ penting.
Beberapa mekanisme aksi dari obat antimalaria adalah stabilisasi membran lisosom
sehingga menghambat pelepasan enzim lisosom, mengikat DNA, mengganggu serangan
antibodi DNA, penurunan produksi prostaglandin dan leukotrien, penurunan aktivitas
sel T, serta pelepasan IL-1 dan tumor necrosing factor α (TNF- α).
Pemberian antimalaria dilakukan pada 1 sampai 2 minggu awal terapi dan
kebanyakan pasien mengalami regresi eritema lesi kulit pada 2 minggu pertama. Jika
pasien memberikan respon yang baik maka dosis diturunkan menjadi 50% selama
beberapa bulan sampai manifestasi SLE teratasi. Sebelum pengobatan dihentikan
sebaiknya dilakukan tapering dosis dengan memberikan obat malaria dosis rendah dua
atau tiga kali per minggu. Sekitar 90% pasien kambuh setelah 3 tahun penghentian
obat (Herfindal et al., 2000).
c) Kortikosteroid
Penderita dengan manifestasi klinis yang serius dan tidak memberikan respon
terhadap penggunaan obat lain seperti NSAID atau antimalaria diberikan terapi
kortikosteroid. Beberapa pasien yang mengalami lupus eritematosus pada kulit baik
kronik atau subakut lebih menguntungkan jika diberikan kortikosteroid topikal atau
intralesional. Kortikosteroid mempunyai mekanisme kerja sebagai antiinflamasi melalui
hambatan enzim fosfolipase yang mengubah fosfolipid menjadi asam arakidonat
sehingga tidak terbentuk mediator – mediator inflamasi seperti leukotrien, prostasiklin,
prostaglandin, dan tromboksan-A2 serta menghambat melekatnya sel pada endotelial
terjadinya inflamasi dan meningkatkan influks neutrofil sehingga mengurangi jumlah
sel yang bermigrasi ke tempat terjadinya inflamasi. Sedangkan efek imunomodulator
dari kortikosteroid dilakukan dengan mengganggu siklus sel pada tahap aktivasi sel
limfosit, menghambat fungsi dari makrofag jaringan dan APCs lain sehingga
mengurangi kemampuan sel tersebut dalam merespon antigen, membunuh
mikroorganisme, dan memproduksi interleukin-1, TNF-α, metaloproteinase, dan
9
aktivator plasminogen (Katzung, 2002). Tujuan pemberian kortikosteroid pada SLE
adalah untuk antiinflamasi, imunomodulator, menghilangkan gejala, memperbaiki
parameter laboratorium yang abnormal, dan memperbaiki manifestasi klinik yang
timbul. Penderita SLE umumnya menerima kortikosteroid dosis tinggi selama 3 sampai
6 hari (pulse therapy) untuk mempercepat respon terhadap terapi dan menurunkan
potensi efek samping yang timbul pada pemakaian jangka panjang. Yang sering
digunakan adalah metil prednisolon dalam bentuk intravena (10–30 mg/kg BB lebih
dari 30 menit). Terapi ini diikuti dengan pemberian prednison secara oral selama
beberapa minggu.
Penggunaan kortikosteroid secara intravena pada 75% pasien menunjukkan
perbaikan yang berarti dalam beberapa hari meskipun pada awalnya marker yang
menunjukkan penyakit ginjal (serum kreatinin, blood urea nitrogen) memburuk.
Proteinuria membaik pada 4 sampai 10 minggu pemberian glukokortikoid Kadar
komplemen dan antibodi DNA dalam serum menurun dalam 1 sampai 3
minggu. Beberapa manifestasi seperti vaskulitis, serositis, abnormalitas hematologik,
abnormalitas CNS umumnya memberikan respon dalam 5 sampai 19 hari.
d) Siklofosfamid
Digunakan untuk pengobatan penyakit yang berat dan merupakan obat sitotoksik
bahan pengalkilasi. Obat ini bekerja dengan mengganggu proliferasi sel, aktivitas
mitotik, diferensiasi dan fungsi sel. Mereka juga menghambat pembentukan DNA yang
menyebabkan kematian sel B, sel T, dan neutrofil yang berperan dalam inflamasi.
Menekan sel limfosit B dan menyebabkan penekanan secara langsung pembentukan
antibodi (Ig G) sehingga mengurangi reaksi inflamasi. Terapi dosis tinggi dapat
berfungsi sebagai imunosupresan yang meningkatkan resiko terjadinya neutropenia dan
infeksi. Oleh karena itu dilakukan monitoring secara rutin terhadap WBC, hematokrit,
dan platelet count. Yang perlu diperhatikan adalah dosis optimal, interval pemberian,
rute pemberian, durasi pulse therapy, kecepatan kambuh, dan durasi remisi penyakit.
Siklofosfamid juga menurunkan proteinuria, antibodi DNA, serum kreatinin dan
meningkatkan kadar komplemen (C3) sehingga dapat mengatasi lupus nefritis.
Penggunaan siklofosfamid yang dikombinasi dengan steroid dosis tinggi pada penderita
10
lupus nefritis yang refrakter menunjukkan penurunan progesivitas end-stage dari
penyakit ginjal dan mengurangi dosis steroid.
Efek samping lain pada penggunaan siklofosfamid adalah mual, muntah, diare,
dan alopesia. Pengobatan mual dan muntah dapat dilakukan dengan cara pemberian obat
antiemetik. Pemakaian jangka panjang dapat menyebabkan kegagalan ovarian pada
wanita yang produktif dan penurunan produksi sperma (Herfindal et al., 2000).
e) Terapi hormon
Dehidroepiandrosteron(DHEA) merupakan hormon pada pria yang diproduksi
pada saat masih fetus dan berhenti setelah dilahirkan. Hormon ini kembali aktif
diproduksi pada usia 7 tahun, mencapai puncak pada usia 30 tahun, dan menurun seiring
bertambahnya usia. Pasien SLE mempunyai kadar DHEA yang rendah. Pemberian
hormon ini memberikan respon pada penyakit yang ringan saja dan mempunyai efek
samping jerawat dan pertumbuhan rambut (Isenberg and Horsfall, 1998). Secara in
vitro, DHEA mempunyai mekanisme menekan pelepasan IL-1, IL-6, dan TNF-α serta
meningkatkan sekresi IL-2 yang dapat digunakan untuk mengaktivasi sel T
pada murine. Meskipun demikian mekanisme secara in vivo belum diketahui (FDA
Arthritis Advisory Comittee, 2001).
f) Anti infeksi/Anti jamur/Antivirus
Pemberian imunosupresan dapat menurunkan system imun sehingga dapat menye
babkan tubuh mudah terserang infeksi. Infeksi yang umum menyerang adalah virus herp
es zoster, Salmonella, dan Candida (Isenberg andHorsfall, 1998). Untuk herpes zoster
dapat diatasi dengan pemberian antivirus asiklovir atau vidarabin secara oral 800 mg
lima kali sehari selama 5–7 hari.Salmonella dapat diterapi dengan antibiotik golongan
kuinolon, ampisilin, kotrimoksazol, dan kloramfenikol (Katzung, 2002). Sedangkan
golongan penisilin dan sefalosporin tidak digunakan karena menyebabkan rash yang
sensitif sehingga dapat memperparah rash SLE (Isenberg and Horsfall, 1998). Adanya
infeksi dari Candida dapat diatasi dengan pemberian amfoterisin B, flukonazol, dan
itrakonazol (Katzung, 2002).
2. Non Farmakologi
Gejala yang sering muncul pada penderita SLE adalah lemah sehingga diperlukan
keseimbangan antara istirahat dan kerja, dan hindari kerja yang terlalu berlebihan.
11
Penderita SLE sebaiknya menghindari merokok karena hidrasin dalam tembakau diduga
juga merupakan faktor lingkungan yang dapat memicu terjadinya SLE. Tidak ada diet yang
spesifik untuk penderita SLE (Delafuente, 2002). Tetapi penggunaan minyak ikan pada
pasien SLE yang mengandung vitamin E 75 IU and 500 IU/kg diet dapat menurunkan
produksi sitokin proinflamasi seperti IL-4, IL-6, TNF-a, IL-10, dan menurunkan kadar
antibodi anti-DNA (Venkatraman et al., 1999). Penggunaansunblock (SPF 15) dan
menggunakan pakaian tertutup untuk penderita SLE sangat disarankan untuk mengurangi
paparan sinar UV yang terdapat pada sinar matahari ketika akan beraktivitas di luar rumah
(Delafuente, 2002).
H. Pencegahan
1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan upaya agar masyarakat yang berada pada tingkattan
kesehatan optimal tidak menurun pada tingkatan yang lebih buruk dengan cara
melaksanakan pendidikan kesehatan (Mubarak, 2007). Adapun strategi pencegahan primer
diutamakan pada factor lingkungan dan perilaku yang dapat diubah. Peran perawat
mendorong dan memotivasi perubahan gaya hidup yang tidak sehat dirubah kearah
kesehatan yang lebih baik (Canadian Public Health Association, 1990). Perawat berperan
penting dalam pendidikan dan konseling pada masyarakat terutama mengenai gaya hidup
seperti kebutuhan nutrisi yang cukup, latihan fisik, kebutuhan istirahat, mengurangi stress
dan melakukan perawatan terhadap masalah kesehatan (Hitchock,et al.,1999).
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder yang terdiri dari diagnosis dini, dan pembatasan kecacatan
(Bustan, 1997). Penelitian dari The American College of Rheumatology (ACR) (1997)
menetapkan criteria diagnostic SLE adalah ruam malar, ruam discoid,photosensivitas,bisul
atau borok dibagian mulut, arthritis, serositis, gangguan kelenjar ginjal, gangguan
neurologi (psikosa), gangguan hematologi (anemia, leukoponi, lymphopenia thrombositope
ni), gangguanimmunologi, dan antinuclear antibodies (ANA) titer yang tidak normal.
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier adalah melaksanakan program rehabilitasi untuk mengurangi
ketidakmampuan dan meningkatkan efisiensi hidupklien dengan SLE (Mubarok,2007).
Perawatmemberikan toleransi terhadap klien terhadap kegiatanfisik dan mengontrol hal-hal
12
yang berhubungan dengan masalah kesehatan. Klien dilibatkan dalam rencana perawatan
dan jadwal kegiatan harian (Hitchock,et al,.1990). teknik komunikasi terapeutik dan kerja
sama dengan petugas lainnya, keluarga dan masyarakat sangat penting untuk mengurangi
penderitaan kliaen penanganannyadengan mengkaji tingkat kelelahan, kecemasan, depresi,
dan stressor, menganalisis kegiatan fisik yang berhubungan dengan kelelahan dan
merencanakan jadwal kegiatan sehari hari bersama klien (Tan, 1982). Berdasarkan penjelas
an diatas dapat di simpulkan bahwa tindakan keperawatan yang dilakukan perlu
adanyakerja sama dengan klien dalam pengembangan rencana kegiatan sehari hari.
I. Program Pemerintah Terkait Penyakit SLE
1. Deteksi dini penyakit SLE
Deteksi dini dapat dilakukan pada masyarakat berisiko penyakit SLE di pos pembinaan
terpadu (posbindu) PTM menggunakan formulir saluri (periksa lupus sendiri) dan
dipuskesmas atau di sarana pelayanan lainnya bagi masyarakat yang di curigai menderita
penyakit SLE.
2. Saluri ( periksa lupus sendiri )
- Demam lebih dari 38 derajat celcius dengan sebab yang tidak jelas
- Rasa lelah dan lemah berlebihan
- Sensitifmterhadap sinar matahari
- Rambut rontok
- Ruam kemerahan berbentuk kupu-kupu yang sayapnya melintang dari pipi ke pipi
- Ruam kemerahan di kulit
- Sariawan yang tidak kunjung sembuh, terutama diatap rongga mulut
- Nyeri dan bengkak pada persendian terutama di lengan dan tungkai, menyerang lebih dari
2 sendi dalam jangka waktu lama
- Ujung-ujung jari dan kaki menjadi pucat hingga kebiruan saat udara dingin
- Nyeri dada terutama saat berbaring dan menarik nafas
- Kejang atau kelainan saraf lainnya
- Kelainan hasil pemeriksaan laboratorium(atas anjuran dokter)
Anemia : penurunan kadar sel darah merah
Leukositopenis : penurunan sel darah putih
Trombositopenis:penurunan kadar pembekuan darah
13
Hematuria dan proteinuria : darah dan protein pada pemeriksaan urine
Positif ANA dan Anti ds-DNA
2.2 Konsep Dasar Keperawatan
A. Pengkajian
a) Riwayat Kesehatan Klien, meliputi :
- Biografi Klien (nama, alamat, jenis kelamin, status pernikahan, pekerjaan, dan etnis
klien)
- Keluhan utama klien
- Riwayat kesehatan yang lampau (riwayat imunisasi, alergi, penyakit dan pemeriksaan
diagnostic yang pernah dijalani klien)
- Riwayat kesehatan keluarga (penyakit yang diidap anggota keluarga yang lain)
- Profil klien (pengetahuan,lingkungan,factor spiritual, gaya hidup, seksualitas, dan
respon stress dari klien)
b) Pengkajian Keperawatan (bisa dengan metode head to toe atau system by system)
- Inspeksi area kulit terutama bagian wajah/inspeksi adanya butterfly rash
- Palpasi area abdomen, apakah terdapat nyeri abdomen
- Perkusi bagian abdomen untuk mengkaji adanya gas pada GI Tract klien
- Auskultasi dada dan punggung klien untuk memastikan kebersihan jalan nafas klie
- TTV, meliputi suhu tubuh, nadi, kecepatan pernafasan, dan tekanan darah.
c) Rekam medis
B. Diagnosa Keperawatan
- Nyeri akut b.d inflamasi/kerusakan jaringan
- Kerusakan Integritas kulit b.d perubahan fungsi
- Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d factor biologis biologis
14
C. Intervensi
1. Nyeri akut b.d inflamasi/kerusakan jaringan
Diagnosis keperawatan : Nyeri akut b.d inflamasi/kerusakan jaringan
Tujuan : Setelah diberikan askep 1x24 jam inflamasi
berkurang
15
2. Kerusakan Integritas kulit b.d perubahan
Diagnosis keperawatan : Kerusakan Integritas kulit b.d perubahan
fungsi
barier kulit
Tujuan : Pemeliharaan Integritas kulit
INTERVENSI RASIONAL
1. Lindungi kulit yang sehat 1. Mencegah kemungkinan terjadinya
terhadap kemungkinan laserasi. laserasi.
2. Beritahu pasien untuk 2. Mengurangi/ mencegah
penggunaan tabir surya. photosensitivity.
3. Kolaborasi pemberian NSAID 3. NSAID atau kortikosteroid adalah
atau kortikosteroid. anti-inflamasi.
16
3. Ketidak seimbangan nutrisi dari kebutuhan tubuh b.d factor biologis
17
D. Evaluasi
Diagnosis SLE (Sistemik Lupus Eritmatosus) dibuat berdasarkan riwayat sakit yang
lengkap dan hasil pemeriksaan darah. Gejala yang klasik mencakup, demam, keletihan, serta
penurunan berat badan dan kemungkinan pula artritis, pleuritis dan perikarditis. Tidak ada
satu tes laboratorium tunggal yang dapat memastikan diagnosis SLE sebaliknya, pemeriksaan
serum dapat menggungkapkan anemie yang sedang hingga berat, trombositopenia,
leukositosis atau leukemia dan antibodi nukleus yang pofitif. Tes imunologi diagnosis
lainnya kainnya mendukung tetapi tidak bisa memastikan diagnosisi.
E. Perencanaan pulang
18
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan dalam makalah tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa SLE
(Sistemik Lupus Eritematosus) merupakan penyakit multifaktorial yang melibatkan interaksi
kompleks antar faktor genetik, hormonal dan faktor lingkungan, yang semuanya dianggap ikut
memainkan peran untuk menimbulkan aktivitasi hebat sel B, sehingga menghasilkan
pembuatan berbagai autoantibody polispesifik.
Selain itu, pada banyak penderita SLE gambaran klinisnya membingungkan. Tampaknya
semacam penyakit dengan demam yang tidak jelas asalnya, temuan urine yang abnormal atau
penyakit sendi yang menyamar sebagai arthritis rematoid atau demam rheumatic.
B. Saran
Sebaiknya apabila ada salah satu anggota keluarga atau saudara kita terkena penyakit
SLE dan sedang menjalani pengobatan, lebih baik jangan dihentikan. Karena, apabila
dihentikan maka penyakit akan muncul kembali dan kumatlagi. Prognosisnya bertambah baik
akhir-akhir ini, kira-kira 70% penderita akan hidup 10 tahun setelah timbulnya penyakit ini.
Apabila didiagnosis lebih awal dan pengenalan terhadap bentuk penyakit ini ketika masih
ringan.
19
DAFTAR PUSTAKA
http://keperawatan15pky.blogspot.com/2016/10/makalah-asuhan-keperawatan-pada-
klien.html
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/3bd26838561de03985bfae69c574e73
4.pdf
http://ilmukesehatan17.blogspot.com/2016/04/makalah-sle.html
http://wineralways.blogspot.com/2012/05/makalah-sle.html
http://www.p2ptm.kemkes.go.id/kegiatan-p2ptm/pusat-/periksa-lupus-sendiri-saluri-
memahami-program-deteksi-dini-penyakit-lupus-eritematosus-sistemik-les
20