Anda di halaman 1dari 18

2.

1 Definisi Lupus Eritematosus Sistemik

Lupus Eritematous Sistemik (SLE) atau dikenal dengan lupus adalah suatu
penyakit autoimun yang kronik dan menyerang berbagai sistem dalam tubuh.
Tanda dan gejala dari penyakit ini bisa bermacam – macam, bersifat sementara,
dan sulit untuk didiagnosis karena itu angka yang pasti tentang jumlah orang
yang terserang oleh penyakit ini sulit diperoleh. SLE menyerang perempuan kira-
kira delapan kali lebih sering dari pada laki-laki. Penyakit ini seringkali dimulai
pada akhir masa remaja atau awal dewasa. Di Amerika Serikat, penyakit ini
menyerang perempuan Afrika Amerika tiga kali lebih sering daripada perempuan
Kaukasia. Jika penyakit ini baru muncul pada usia di atas 60 tahun, biasanya
akan lebih mudah untuk diatasi (Sylvia & Lorraine, 2005).
Semula SLE digambarkan sebagai suatu gangguan kulit, pada sekitar tahun
1800-an, dan diberi nama lupus karena sifat ruamnya yang berbentuk “kupu-
kupu”, melintasi tonjolan hidung dan meluas pada kedua pipi yang menyerupai
gigitan serigala (lupus adalah kata dalam bahasa Latin yang berarti serigala).
Lupus discoid adalah nama yang sekarang diberikan pada penyakit ini apabila
kelainannya hanya terbatas pada gangguan kulit. SLE adalah salah satu
kelompok penyakit jaringan ikat difusi yang etiologinya tidak diketahui.
Kelompok ini meliputi SLE, scleroderma, polimiositis, artritis rheumatoid, dan
sindrom Sjogren. Gangguan – gangguan ini seringkali memiliki gejala yang
saling tumpang tindih satu dengan yang lainnya dan dapat menjadi semakin slit
untuk ditegakkan secara akurat. (Sylvia & Lorraine, 2005).
Lupus merupakan penyakit autoimun kronis dimana terdapat kelainan
sistem imun yang menyebabkan peradangan pada beberapa organ dan sistem
tubuh. Mekanisme sistem kekebalan tubuh tidak dapat membedakan antara
jaringan tubuh sendiri dan organisme asing (misalnya bakteri, virus) karena

1
autoantibodi (antibodi yang menyerang jaringan tubuh sendiri) diproduksi tubuh
dalam jumlah besar dan terjadi pengendapan kompleks imun (antibodi yang
terikat pada antigen) di dalam jaringan (Underwood, 1999).
SLE merupakan prototipe kelainan autoimun sistemik, ditandai dengan
bermacam-macam antibodi, terutama antibodi antinukleus. Antibodi antinukleus
tidak memasuki sel utuh. Namun, nukleus sel yang rusak bereaksi dengan
antibodi antinukleus, kehilangan pola kromatinnya, dan menjadi badan LE yang
homogen, (badan hematoksilin). Fagositosis badan LE oleh neutrofil atau
makrofag in vitro akan membentuk sel LE smapai kira-kira 70 % penderita SLE.
Selain antibodi antinukleus, penderita SLE juga menunjukkan adanya berbagai
macam autoantibodi antara lain terhadap elemen darah (sel darah merah,
trombosit, leukosit). Juga antara 20%-40% mempunyai antibodi terhadap
fosfolipid (Robbins dkk; 1999).
Terlihat terutama pada wanita, SLE adalah suatu penyakit generalisata yang
mengekspresikan dirinya sebagai vaskulitis yang melibatkan beberapa sistem
organ. Sel sasaran primernya adalah sistem hematopoetik, kulit, sendi dan ginjal.
Organ-organ ini dilibatkan dalam aneka macam cara oleh banyak sekali antibodi.
Antibodi terhadap sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit masing-masing
menyebabkan anemia hemolitik, leukopenia dan trombositopenia (Joseph, 1993).

2.2 gejala Lupus Eritematosus Sistemik


Gejala yang paling sering adalah artritis simetris atau atralgia, yamg
muncul pada 90% dari waktu perjalanan penyakit, seringkali sebagai
manifestasi awal. Sendi-sendi yang paling sering terserang adalah sendi-
sendi proksimal tangan, pergelangan tangan, siku, bahu, lutut dan
pergelangan kaki. Poliartritis SLE berbeda dari artritis reumatoid karena
jarang bersifat erosif atau menimbulkan deforitas. Nodul subkutan juga
jarang ditemukan pada penyakit SLE.

2
Gejala-gejala konstitusional adalah demam, rasa lelah, lemah dan
berkurangnya berat badan yang biasanya timbul pada awal penyakit dan
dapat berulang dalam perjalanan penyakit ini. Keletihan dan rasa lemah bisa
timbul sebagai gejala sekunder dari anemia ringan yang ditimbulkan oleh
SLE.
Manifestasi kulit mencakup ruam eritematosa yang dapat timbul pada
wajah, leher, ekstremitas, atau pada tubuh. Kira-kira 40% dari pasien SLE
memiliki ruam khas berbentuk kupu-kupu. Sinar matahari dapat
memperburuk ruam kulit ini. Dapat timbul alopesia (rambut rontok) yang
kadang-kadang dapat menjadi berat. Rambut biasanya dapat tumbuh kembali
tanpa masalah. Juga dapat terjadi ulserasi pada mukosa mulut dan
nasofaring.
Pleuritis (nyeri dada) dapat timbul akibat proses peradangan kronik dari
SLE. SLE juga dapat menyebabkan karditis yang menyerang miokardium,
endokardium, dan perikardium.
Fenomena Raynaud timbul pada sekitar 40% pasien SLE. Beberapa
kasus dapat sangat berat sehingga dapat terjadi gangren pada jari. Vaskulitis
dapat menyerang semua ukuran arteria dan vena.
Nefritis lupus timbul pada waktu antibodi anti-nuklear (anti-DNA)
melekat pada antigennya (DNA) dan diendapkan pada glomerulus. Biasanya
DNA tidak bersifat antigenik pada orang normal tetapi dapat menjadi
antigenik pada pasien SLE. Komplemen terfiksasi pada kompeks imun ini
dan proses peradangan dimulai. Akibatnya dapat terjadi peradangan ginjal,
kerusakan jaringan dan pembentukan jaringan parut.
Kira-kira 65% dari pasien SLE akan mengalami gangguan pada
ginjalnya. Tetapi hanya 25% yang menjadi berat. Nefritis lupus diketahui
dengan melakukan pemeriksaan adanya protein dan eritrosit (RBC) atau
silinder di dalam air kemih. Untuk mendapatkan suatu diagnosis pasti

3
mungkin perlu di lakukan biopsi ginjal.
SLE dapat menyerang sistem saraf pusat mapun perifer. Gejala-gejala
yang ditimbulkannya meliputi perubahan tingkah laku (depresi, psikosis),
kejang-kejang, gangguan saraf otak dan neuropati perifer. Perubahan-
perubahan pada sistem saraf pusat sering diakibatkan oleh bentuk penyakit
yang ganas dan seringkali bersifat fatal.
Antibodi terhadap untai ganda DNA (dsDNA) dan terhadap kompleks
protein asam ribonuklea (RNA) yang disebut Sm, hanya ditemukan pada
pasien SLE. Gangguan reumatologik lain dapat menyebabkan antibodi anti
nuklear menjadi positif (ANA), namun anti-dsDNA dan anti-sm jarang
ditemukan kecuali pada SLE. (Sylvia A. Price, 2005)
Gejala lupus SLE dapat muncul dan berkembang secara perlahan, yang
artinya mulai dari ringan hingga parah. Meski gejala SLE bervariasi, ada tiga
gejala utama yang umumnya selalu muncu. Yaitu:
1. rasa lelah yang ekstrem. Inilah gejala paling umum pada SLE
yang sering dikeluhkan para penderita. Rasa lelah yang ekstrem
sangan mengganggu dan menghambat aktivitas. Banyak
penderita yang menyetakan bahwa gejala ini merupakan dampak
negatif terbesar dari SLE dalam kehidupan mereka
2. ruam pada kulit. Yang menjadi ciri khas SLE adalah ruam yang
menyebar pada batang hidung dan kedua pipi. Gejala ini dikenal
dengan istilah ruam kupu-kupu (butterfly rash) karena bentuknya
yang mirip sayap kupu-kupu.
3. Nyeri pada persendian. Gejala utama lain pada SLE adalah nyeri
pada persendian. Gejala ini umumnya muncul pada persendian
tangan dan kaki penderitanya yang biasanya memburuk di pagi
hari. Rasa nyeri juga mungkin dapat berpindah debgan cepat dari
sendi satu ke sendi lain. Tetapi SLE umumnya tidak

4
menyebabkan kerusakan atau cacat permanen pada persendian.
Itulah yang membedakan SLE dengan penyakit lain yang juga
menyerang persendian.
2.3 .Penyebab Lupus Eritematosus Sistemik
Faktor yang diduga sangat berperan untuk seseorang terserang penyakit
lupus adalah 5ias5i lingkungan, seperti paparan sinar matahari, 5ias5i, beberapa
jenis obat, dan virus. Faktor tersebut dapat dikelompokkan menjadi 5ias5i
kepekaan dan 5ias5i pencetus yaitu adanya infeksi, pemakaian obat-obatan,
terkena paparan sinar matahari, pemakaian pil KB, dan 5ias5i. Penyakit ini
kebanyakaan diderita wanita usia produktif sampai usia 50 tahun namun ada juga
pria yang mengalaminya. Oleh karena itu diduga penyakit ini berhubungan
dengan 5ias5iv estrogen (Aulawi, 2008).
Pada kehamilan dari perempuan yang menderita lupus, sering diduga
berkaitan dengan kehamilan yang menyebabkan abortus, gangguan
perkembangan janin atau pun bayi meninggal saat lahir. Tetapi hal yang
berkebalikan juga mungkin atau bahkan memperburuk gejala lupus. Sering
dijumpai gejala Lupus muncul sewaktu hamil atau setelah melahirkan. Tubuh
memiliki kekebalan untuk menyerang penyakit dan menjaga tetap sehat. Namun,
dalam penyakit ini kekebalan tubuh justru menyerang organ tubuh yang sehat.
Penyakit Lupus diduga berkaitan dengan 5ias5i imunologi yang berlebih. Dalam
tubuh seseorang terdapat 5ias5ive yang berfungsi menyerang sumber penyakit
yang akan masuk dalam tubuh. Uniknya, penyakit Lupus ini 5ias5ive yang
terbentuk dalam tubuh muncul berlebihan. Hasilnya, 5ias5ive justru menyerang
sel-sel jaringan organ tubuh yang sehat. Kelainan ini disebut autoimunitas .
Antibodi yang berlebihan ini, 5ias masuk ke seluruh jaringan dengan 5ias5ive
yaitu :
Pertama, 5ias5ive aneh ini 5ias langsung menyerang jaringan sel tubuh, seperti
pada sel-sel darah merah yang menyebabkan selnya akan hancur. Inilah yang

5
mengakibatkan penderitanya kekurangan sel darah merah atau anemia.
Kedua, 6ias6ive 6ias bergabung dengan antigen (zat perangsang pembentukan
6ias6ive), membentuk ikatan yang disebut kompleks imun. Gabungan 6ias6ive
dan antigen mengalir bersama darah, sampai tersangkut di pembuluh darah
kapiler akan menimbulkan peradangan. Dalam keadaan normal, kompleks ini
akan dibatasi oleh sel-sel radang (fagosit) Tetapi, dalam keadaan abnormal,
kompleks ini tidak dapat dibatasi dengan baik. Sel-sel radang tersebet bertambah
banyak 6ias6i mengeluarkan enzim, yang menimbulkan peradangan di sekitar
kompleks. Hasilnya, proses peradangan akan berkepanjangan dan akan merusak
organ tubuh dan mengganggu fungsinya. Selanjutnya, hal ini akan terlihat
sebagai gejala penyakit. Kalau hal ini terjadi, maka dalam jangka panjang fungsi
organ tubuh akan terganggu (Joseph, 1993).
Telah diketahui secara luas bahwa penyebab lupus dapat dikategorikan
dalam 3 faktor yaitu: genetik, hormonal dan lingkungan. Namun sampai saat ini
masih menjadi perdebatan faktor mana yang menjadi penyebab utama sehingga
masih menjadi fokus utama penelitian.
Genetik
Tidak diragukan bahwa lupus terkait dengan faktor genetik. Orang yang
mempunyai riwayat keluarga dengan lupus memiliki 3-10% risiko menderita
penyakit tidak terbatas hanya Lupus, tapi juga penyakit auoimun lainnya
seperti arthritis reomathoid atau Sjorgen’s Syndrome. Pada kembar identik,
risiko lupus meningkat menjadi 25% pada saudara kembar dari pasien yang
menyandang lupus (Djoerban, 2002).
2. Hormon
Penyandang lupus wanita:pria adalah 9:1. Dan sebagian besar penyandang
wanita adalah mereka dalam usia produktif. Hal ini diduga disebabkan oleh
faktor hormonal. Estrogen terbukti sebagai hormon yang mempengaruhi
aktifnya lupus dalam penelitian hewan baik secara invitro maupun invivo.

6
Sehingga harus benar-benar dipertimbangkan pemberian terapi hormon dan
alat kontrasepsi yang mengandung estrogen pada Odapus (Djoerban, 2002).
3. Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan diduga berperan kuat mencetuskan lupus,
diantaranya adalah: infeksi, zat kimia, racun, rokok dan sinar matahari.
a. Infeksi
Beberapa infeksi diduga menyebabkan lupus, salah satu penyebab terkuat
adalah EBV (Epstein-Barr Virus), virus penyebab demam kelenjar
(mononucleosis). Sebagian besar odapus tercatat pernah terinfeksi virus ini
dalam riwayat penyakitnya. Hal ini dapat dibuktikan bahwa system imun
mulai terganggu saat berusaha menyerang EBV juga menyerang sel
tubuhnya sendiri. Sehingga proses tersebut diduga kuat berhubungan
dengan penyebab lupus.
b. Zat kimia dan racun
Beberapa penelitian membuktikan bahwa paparan terhadap zat kimia
dan racun termasuk pekerjaan yang berhubungan silika.
c. Merokok
Akhir-akhir ini, merokok telah terbukti berhubungan dengan
munculnya lupus. Merokok juga meningkatkan risiko penyakit autoimun
lainnya seperti arthritis reumathoid dan multiple sclerosis.
d. Sinar matahari
Paparan terhadap ultraviolet telah terbukti dapat menyebabkan
perburukan manifestasi lupus. Yaitu menyebabkan timbulnya ruam kulit
dan munculnya gejala lupus pada organ lainnnya. Menghindari sinar
matahari dan menggunaka tabir surya (sun block) adalah hal yang tidak
mudah namun mutlak harus dilakukan oleh odapus karena sangat
bermanfaat (Djoerban, 2002).
2.4 Mekanisme autoimun penyakit Lupus Eritematosus Sistemik

7
Nefritis lupus disebabkan oleh kompleks imun dalam sirkulasi yang
terperangkap dalam membran basalisis glomerulus (GBM) dan menimbulkan
kerusakan. Mekanismenya serupa dengan mekanisme APSGN, kecuali
bahwa sumber antige adalah DNA tubuh sendiri dan bukan membran plasma
streptokokus. Pada kasus SLE, tubuh membentuk antibodi terhadap DNAnya
sendiri. Gambar klinis dapat berupa glomerulonefritis akut atau sindrom
nefrotik. Meskipun penyebab dasar dianggap sama pada kasus, tapi dapat
terlihat adanya perubahan-perubahan fokal, membranosa, dan proliferatif
pada glomerulus. Perubahan yang paling dini seringkali hanya mengenai
sebagian rumbai glomerulus (lokal) atau hanya mengenai beberapa
glomerulus yang tersebar (fokal). Glomerulonefritis fokal dan lokal
berespons sangat baik terhadap kortikosteroid, dan dapat mengalami remisi
lengkap. Prognosis buruk pada kasus kasus dengan perubahan membranosa
atau proliferatif, dan pasien sering mengalami ESRD dalam waktu 10 tahun.
(Sylvia A. Price 2005).
2.5 penanganan penyakit Lupus Eritematosus Sistemik
Dalam melakukan pencegahan ada berbagai masalah yang dihadapi
pengidap lupus. Masalah pertama adalah seringnya penyakit pasien terlambat
diketahui dan diobati dengan benar karena cukup banyak dokter yang tidak
mengetahui atau kurang waspada tentang gejala penyakit lupus dan dampak lupus
terhadap kesehatan. Di Indonesia, rendahnya kompetensi dokter untuk
mendiagnosis penyakit secara dini dan mengobati penyakit lupus dengan tepat
tercermin dari pendeknya survival 10 tahun yang masih sekitar 50 persen,
dibandingkan dengan negara maju, yang 80 persen (Djoerban, 2002).
Biasanya paramedis akan melakukan pemeriksaan ANA (Anti Nuclear
Antibodi) bisa positif, di laboratorium dan patologi. Bila sudah diketahui
diagnosanya lupus, maka pihak medis akan memberikan pengobatan berupa terapi,
theraphy sintomatik (penghilangan gejala), kortikortiroid (antipenurun kekebalan

8
tubuh), serta menekan daya tahan tubuh berlebihan, dengan pemberian obat
demam dan penghilang rasa sakit. Hanya saja, untuk terapi yang dilakukan
berbeda-beda dengan setiap penderita. Penyembuhannya pun bisa memakan waktu
berbulan-bulan, itupun dengan catatan penderita rajin memeriksakan diri. Bahkan
tak jarang, terkadang diagnosa baru didapat justru setelah penderita meninggal.
Atau penyakit lupusnya tiba-tiba sembuh sendiri. Karena itulah, fokus pengobatan
dokter adalah dengan melakukan pencegahan dengan meminimalisir meluasnya
penyakit sehingga tidak menyerang organ vital tubuh lainnya. Oleh karena itu,
untuk melakukan upaya preventif terhadap penyakit lupus perlu ditingkatkan
pelayanan kesehatan di Indonesia, baik oleh pemerintah maupun semua pihak
yang terkait dengan pelayanan kesehatan. Selain itu, peningkatan kompetensi
petugas-petugas pelayan kesehatan juga harus di tingkatkan agar tidak terjadi
kesalahan-kesalahan yang akan membahayakan jiwa pasien (Djoerban, 2002).
Pengembangan metode pengobatan yang lebih baik dan efisien juga perlu
dilakukan. Pasien juga harus diberi penyuluhan tentang apa itu lupus, apa
bahayanya dan bagaimana gejalanya agar pasien bisa turut berperan aktif dalam
upaya pencegahan penyakit lupus. Masalah berikutnya adalah belum terpenuhinya
kebutuhan pasien lupus dan keluarganya tentang informasi, pendidikan, dan
dukungan yang terkait dengan lupus. Dirasakan penting sekali meningkatkan
kewaspadaan masyarakat tentang dampak buruk penyakit lupus terhadap
kesehatan. Masalah lupus tidak hanya berdampak buruk pada kesehatan pasien,
namun juga mempunyai dampak psikologi dan sosial yang cukup berat untuk
pasien maupun keluarganya. Dalam hal ini peran sarjana kesehatan masyarakat
selaku tenaga kesehatan yang berorientasi pada upaya preventif dan promotif
sangat diperlukan. Masyarakat harus secara intensif diberi penyuluhan tentang apa
itu lupus, gejala yang ditimbulkan, dampak yang ditimbulkan,serta bagaimana cara
pencegahannya. Kebersihan dan kesehatan lingkungan juga harus diperhatikan
karena, seperti yang telah dijelaskan dalam subbab “penyebab” bahwa faktor yang

9
diduga menyebabkan lupus ada berberapa macam diantaranya faktor lingkungan
(Djoerban, 2002).
Masalah lain adalah kurangnya prioritas di bidang penelitian medik untuk
menemukan obat-obat penyakit lupus yang baru, yang aman dan efektif,
dibandingkan dengan penelitian penyakit-penyakit lain, yang sebanding besaran
masalahnya. Upaya preventif yang harus dilakukan adalah berusaha
mengembangkan penelitian-penelitian mengenai penyakit lupus mengingat bahaya
dan dampak negatif yang bisa ditimbulkan oleh penyakit ini.
Hal yang harus dilakukan penderita lupus (odipus) agar penyakit lupusnya tidak
kambuh adalah :
1. Menghindari stress
2. Menjaga agar tidak langsung terkena sinar matahari
3. mengurangi beban kerja yang berlebihan
4. menghindari pemakaian obat tertentu (Djoerban, 2002).
Odipus dapat memeriksakaan diri pada dokter-dokter pemerhati penyakit
ini, dokter spesialis penyakit dalam konsultasi hematologi, rheumatology, ginjal,
hipertensi, alergi imunologi, jika lupus dapat tertanggulangi, berobat dengan
teratur, minum obat teratur yang di berikan oleh dokter (yang biasanya diminum
seumur hidup), odipus akan dapat hidup layaknya orang normal. Dukungan
keluarga juga sangat dibutuhkan, mengingat keluarga adalah orang yang paling
dekat dan yang selalu berinteraksi dengan odipus. Dukungan (social support)
dalam teori ilmu psikologi merupakan salah satu media bertahan dari stress
(coping stress) yang mampu memberi pengaruh besar (Djoerban, 2002).

2.6 diagnosa penyakit Lupus Eritematosus Sistemik


Pasien dengan Lupus Eritematosus Sistemik bisa memiliki gejala yang
sangat bervariasi dan kombinasi keterlibatan organ yang berbeda, tidak ada
pengujian tunggal yang dapat mendiagnosa lupus sistemik. Untuk membantu

10
keakuratan diagnosis lupus eritematosus sistemik, sebelas kriteria diterbitkan
oleh asosiasi reumatik Amerika.. Beberapa pasien yang dicurigai menderita lupus
eritematosus sistemik mungkin tidak pernah memenuhi kriteria yang cukup untuk
diagnosis defenitif. Pasien yang lain mungkin mengumpulkan kriteria yang
cukup hanya dalam beberapa bulan atau tahun setelah observasi. Jika seseorang
memenuhi empat atau lebih kriteria berikut, diagnosis lupus eritematosus
sistemik sangat mungkin. Namun demikian, diagnosis lupus eritematosus
sistemik dapat ditegakkan pada pasien dengan kondisi tertentu dimana hanya
sedikit kriteria yang dapat dipenuhi. Pada pasien-pasien tersebut, kriteria yang
lain dapat berkembang kemudian, tapi pada kebanyakan kasus tidak demikian
(Sjaiffoellah, 1996).
Kira-kira 65% dari pasien SLE akan mengalami gangguan pada ginjalnya.
Tetapi hanya 25% yang menjadi berat. Nefritis lupus diketahui dengan
melakukan pemeriksaan adanya protein dan eritrosit (RBC) atau silinder di
dalam air kemih. Untuk mendapatkan suatu diagnosis pasti mungkin perlu
dilakukan biopsy ginjal. SLE juga dapat menyerang system saraf pusat maupun
perifer. Gejala-gejala yang ditimbulkannya meliputi perubahan tingkah laku
(depresi, psikosis), kejang-kejang, gangguan saraf otak, dan neutropati panifer.
Perubahan-perubahan pada system saraf pusat seringkali diakibatkan oleh bentuk
penyakit yang ganas dan seringkali bersifat fatal. Antibody terhadap untai ganda
DNA (dsDNA) dan terhadap kompleks protein asam ribonukleat (RNA) yang
disebut Sm, hanya ditemukan pada pasien SLE. Gangguan reumatologik lain
dapat menyebabkan antibody antinuclear menjadi positif (ANA), namun anti-
dsDNAdan anti-Sm jarang ditemukan kecuali pada SLE (Sylvia & Lorraine,
2005).
Gejala-gejala penyakit lupus dikenal sebagai Lupus Eritomatosus Sistemik
(LES). Eritomatosus artinya kemerahan, sedangkan sistemik bermakna menyebar
luas keberbagai organ tubuh. Istilahnya disebut LES atau Lupus. Gejala-gejala

11
yang umum dijumpai adalah:
1. Kulit yang mudah gosong akibat sinar matahari serta timbulnya gangguan
pencernaan.
2. Gejala umumnya penderita sering merasa lemah, kelelahan yang berlebihan,
demam dan pegal-pegal. Gejala ini terutama didapatkan pada masa aktif,
sedangkan pada masa remisi (nonaktif) menghilang.
3. Pada kulit, akan muncul ruam merah yang membentang di kedua pipi, mirip
kupu-kupu. Kadang disebut (butterfly rash). Namun ruam merah menyerupai
cakram bisa muncul di kulit seluruh tubuh, menonjol dan kadang-kadang
bersisik. Melihat banyaknya gejala penyakit ini, maka wanita yang sudah
terserang dua atau lebih gejala saja, harus dicurigai mengidap Lupus.
4. Anemia yang diakibatkan oleh sel-sel darah merah yang dihancurkan oleh
penyakit lupus ini.
5. Rambut yang sering rontok dan rasa lelah yang berlebihan (Sjaiffoellah, 1996).
Menurut American College Of Rheumatology 1997, diagnosis SLE harus
memenuhi 4 dari 11 kriteria yang ditetapkan. Adapun penjelasan singkat dari 11
gejala spesifik tersebut, adalah sebagai berikut:
1. Ruam kemerahan pada kedua pipi melalui hidung sehingga seperti ada
bentukan kupu-kupu, istilah kedokterannya Malar Rash/Butterfly Rash.
2. Bercak kemerahan berbentuk bulat pada bagian kulit yang berhubungan
dengan scalling dan penyumbatan folikel rambut (Discoid Rash).
3. Fotosensitif, yaitu timbulnya ruam pada kulit oleh karena sengatan sinar
matahari.
4. Luka di mulut dan lidah seperti sariawan (oral ulcers).
5. Nyeri pada sendi-sendi. Sendi berwarna kemerahan dan bengkak. Gejala ini
dijumpai pada 90 % odapus.
6. Gejala pada paru-paru dan jantung berupa selaput pembungkusnya terisi
cairan.

12
7. Gangguan pada ginjal yaitu terdapatnya protein di dalam urine.
8. Gangguan pada otak atau sistem saraf mulai dari depresi, kejang, stroke, dan
lain-lain.
9. Kelainan pada sistem darah di mana jumlah sel darah putih dan trombosit
berkurang. Dan biasanya terjadi juga anemia.
10. Tes ANA (Antinuclear Antibody), sebagai pertanda aktifnya lupus bila
ditemukan dalam darah pasien.
11. Gangguan sistem kekebalan tubuh (Sylvia & Lorraine, 2005).
Adapun gejala klinis yang sering muncul antara lain:
1. Kulit : Ruam, sariawan, rambut rontok
2. Persendian : Nyeri, kemerahan, bengkak
3. Ginjal : Kelainan urine, gagal ginjal
4. Membran (selaput organ) : Radang selaput paru (pleurisy), selaput jantung
(pericarditis), selaput dinding perut (peritonitis)
5. Darah : Anemia, Leukopenia, Trombositopenia
6. Paru-paru : Batuk, sesak nafas
7. Sistem Saraf : Kejang, psikosa (Djoerban, 2002).

Adapun gejala non spesifik antara lain:


1. Fatigue/lelah, merupakan gejala yang paling sering muncul.
2. Weight Loss/penurunan berat badan.
3. Weight Gain/penambahan berat badan, dapat disebabkan oleh pembengkakan
pada kedua tungkai atau pembersaran perut akibat organ ginjal yang terkena.
4. Fever/demam, indikasi saat lupus menjadi aktif.
5. Swollen Glands/pembengkakan kelenjar (Djoerban, 2002).
Cara diagnosis Lupus atau SLE (Lupus Eritematosus Sistemik)
a. Uji Imunologik
Sel lupus eritematosus (sel LE) adalah leukosit polimorfonuklear yang

13
telah mengingesti bahan-bahan nukleus yang bergabung dengan antibodi
antinuklear. Uji untuk adanya sel-sel ini dapat digunakan untuk membuktikan
diagnosis SLE. Darah perifer atau sumsum tulang diinkubasi pada suhu 37
derajat dan kemudian dicari sel LE. Yang lebih sering, dicari dalam diagnosis
SLE antibodi yang melawan protein atau bahan-bahan nukleus lain. Beberapa
antibodi ditemukan dengan fluoresensi, yang lain ditemukan dengan teknik
presipitasi amonium sulfat (Joseph, 1993).
Antibodi antinuklear (ANA) mempunyai kemampuan bergabung dengan
antigen dan mengikat komplemen. Bila penyakitnya sangat aktif, terutama
bila ginjal terlibat, ada pengurangan komplemen dalam sirkulasi (misalnya
C3) yang mempunyai arti penting baik diagnosit maupun terapeutik karena
kadarnya menjadi normal bila terapi berhasil. Uji untuk ANA sekarang sedang
digunakan untuk menyaring SLE. Kadar komplemen dapat memberi pegangan
yang berguna dalam diagnosis maupun pengelolaan penyakit, terutama dengan
keterlibatan ginjal. Antibodi anti-DNA dan pengikatan DNA merupakan uji
tambahan yang mempunyai spesifitas yang tinggi untuk SLE dan digunakan
secara seri untuk menilai aktivitas penyakit. Di antara antibodi-antibodi ini
ada antibodi terhadap antigen nukleus yang diekstraksi (ENA), seperti antigen
ribonukleoprotein (RNP), antigen Sm, antigen Ro, dan antigen La (Joseph,
1993).
The american Rheumatism Association telah mengembangkan kriteria
untuk memilih SLE. Adanya empat atau lebih dari ke-11 kriteria baik secara
serial maupun simultan cukup untuk menegakkan diagnosis.
1. Ruam di daerah malar
2. Ruam diskoid
3. Fotosensisvitas
4. Ulkus pada mulut
5. Artritis: tidak erosif, pada dua atau lebih sendi-sendi

14
perifer
6. Serositis: pleuritis atau perikarditis
7. Gangguan pada ginjal: proteinuria persisten yang lebih
dari 0,5 g/ hari, atau adanya silinder selular
8. Gangguan neurologik: kejang-kejang atau psikosis
9. Gangguan hematologik: anemia hemolitik, leukopenia,
limfopenia, atau trombositopenia
10. Gangguan imunologik: sel-sel lupus eritematosus (LE)
positif, anti DNA, anti-Sm, atau suatu uji serologik
positif palsu untuk sifilis.
11. Antibodi antinuklear (ANA). (Sylvia A. Price, 2005)

BAB III PENUTUP


3.1 KESIMPULAN
Lupus merupakan penyakit autoimun kronis dimana terdapat kelainan sistem
imun yang menyebabkan peradangan pada beberapa organ dan sistem tubuh.
Mekanisme sistem kekebalan tubuh tidak dapat membedakan antara jaringan tubuh
sendiri dan organisme asing (misalnya bakteri, virus) karena autoantibodi (antibodi
yang menyerang jaringan tubuh sendiri) diproduksi tubuh dalam jumlah besar dan
terjadi pengendapan kompleks imun (antibodi yang terikat pada antigen) di dalam
jaringan. SLE atau lupus menyerang perempuan kira-kira delapan kali lebih sering
daripada laki-laki.
Penyebab lupus dapat dikategorikan dalam 3 faktor yaitu: genetik, hormonal
dan lingkungan. Beberapa faktor lingkungan diduga berperan kuat mencetuskan
lupus, diantaranya adalah: infeksi, zat kimia, racun, rokok dan sinar matahari.
Dalam upaya melakukan preventif terhadap penyakit lupus perlu ditingkatkan

15
pelayanan kesehatan di Indonesia, baik oleh pemerintah maupun semua pihak yang
terkait dengan pelayanan kesehatan. Pasien juga harus diberi penyuluhan tentang apa
itu lupus, apa bahayanya dan bagaimana gejalanya agar pasien bisa turut berperan
aktif dalam upaya pencegahan penyakit lupus.
Diagnosis SLE harus memenuhi 4 dari 11 gejala spesifik yang ditetapkan
seperti Malar Rash/Butterfly Rash, Discoid Rash, Fotosensitif, Luka di mulut dan
lidah seperti sariawan (oral ulcers), Nyeri pada sendi-sendi, Gejala pada paru-paru
dan jantung berupa selaput pembungkusnya terisi cairan, gangguan pada ginjal.
Gangguan pada otak atau sistem saraf mulai dari depresi, kejang, stroke, dan lain-
lain. Kelainan pada sistem darah di mana jumlah sel darah putih dan trombosit
berkurang. Dan biasanya terjadi juga anemia. Tes ANA (Antinuclear Antibody),
sebagai pertanda aktifnya lupus bila ditemukan dalam darah pasien, dan gangguan
sistem kekebalan tubuh. Cara diagnosis Lupus atau SLE (Lupus Eritematosus
Sistemik) dengan Uji Imunologik.
3.2 SARAN
Berdasarkan kesimpulan diatas penulis dapat memberi saran kepada:
1. Bagi penderita:
Mengenali penyakit lupus lebih jauh. Bagi penderita lupus, segala
pengetahuan mengenaipenyakit lupus, meliputi cara pengobatan, cara
menjalani diet sehat, mengetahui metode pengobatan, mengetahui dokter ahli
yang menangani, serta mengetahui kabar terakhir perkembangan tentang
penyakit ini adalah hal yang sangat penting. Tentu saja segala informasi dan
pengetahuan yang anda miliki akan menunjang hal positif yang membantu
anda. Para penderita lupus dapat menggali informasi tersebut melalui banyak
sumber, baik cetak maupun online.
Menjalani pola hidup sehat. Point pertama diet sehat yang dimaksud adalah
meliputi pola makan yang sehat dan seimbang. Mencukupi asupan nutrisi.
Banyak mengonsumsi buah dan sayuran, karbohidrat, protein. menjauhi lemak

16
jenuh, alkohol, rokok, membatasi gula dan sebaginya. Makanan sehat yang
dianjurkan untuk penderita lupus dapat berupa makanan seperti nasi organik,
beras merah, roti/pasta, dan makanan tinggi karbohidrat kompleks lainnya.
Sedangkan makanan yang mengandung lemak lebih baik dibatasi atau
dihindari, misalnya mentega, daging berlemak, minyak goreng dan lain-lain.
Sedangkan lemak yang menyehatkan dapat ditemui pada daging ikan dan buah
alpukat. Selain diet sehat poin kedua yang harus dijalankan penderita lupus
adalah memasukkan rutinitas olahraga ke dalam kehidupannya, menghindari
paparan sinar matahari secara langsung (terutama jika anda sering beraktivitas
diluar rumah). Olahraga yang dianjurkan pada penderita lupus adalah 3-5x
dalam seminggu.
Menghindari stress. Para penderita lupus juga diharapkan agar dapat belajar
untuk memanajemen stress dan depresi mereka. Hal ini bukan saja penting
untuk menunjang kesehatan seseorang, tapi juga kondisi kejiwaan. Untuk
memanajemen stress dapat dilakukan melalui: meditasi, relaksasi otot,
konsultasi dengan psikolog, hingga menjalani kegiatan yang menyenangkan,
seperti melakukan hobi anda, mendengarkan musik, membaca buku, nonton
film dan lain-lain. Selalu trmukan alasan untuk tetap berbahagia.
2. Bagi pembaca agar lebih berhati-hati dalam menjaga kesehatannyaserta
menghindari faktor penyebab timbulnya penyakit lupus dengan cara
monitoring teratur, fotoproteksi dan lain sebagainya.
Akhir kata, semoga saran yang disampaikan dapat bermanfaat bagi pembaca maupun
penderita. Aamiin

17
DAFTAR PUSTAKA

Aulawi, Dede Farhan 2008, Mengenal Penyakit Lupus, Diakses 2 Mei 2014
(http://www.panduankesehatan.com).
Djoerban, Zubairi, Prof.dr.Sp.Pd.KHOM 2002, Systemic Lupus Erythematosus,
Yayasan Lupus Indonesia, Jakarta.
Joseph A. Bellanti, M.D. 1993, Imunologi III, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Michelle Petri, M.D., M.P.H. 1998, Treatment of Systemic Lupus Erythematosus,
Johns Hopkins University School of Medicine, Baltimore, Maryland.
Robbins, S.L, Cotran R.S & Kumar, V 1999, Dasar Patologi Penyakit, EGC, Jakarta.
Sjaiffoellah, Noer 1996, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Balai Penerbit FKUI,
Jakarta.
Sylvia, A.P & Lorraine, M.W 2005, Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit, EGC, Jakarta.
Underwood, J.C.E 1999, Patologi Umum dan Sistematik, EGC, Jakarta.
Wallace, J.D 2007, The Lupus Book: Panduan Lengkap Bagi Penderita Lupus dan
Keluarganya, B first, Jakarta.

18

Anda mungkin juga menyukai