Anda di halaman 1dari 15

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.,

Lupus Eritematosus Sistemik (SLE – Systemic Lupus Erythematosus) adalah penyakit


dengan berbagai manifestasi serta membutuhkan upaya yang komprehensif, upaya
pencegahan diagnosis hingga penanganan berbagai komplikasi. Karena itulah, diperlukan
pendekatan yang melibatkan semua subspesialisasi dibidang ilmu penyakit dalam. Pada
penyakit ini kita melihat contoh yang paling tegas akan perlunya pendekatan holistik
terhadap penanganan suatu penyakit. Sehubungan dengan Mata Kuliah Terminologi Medis
ini perkenankan saya menyampaikan terima kasih kepada Dosen Pembimbing dengan
Harapan saya tugas ini akan menjadi panduan yang amat bermanfaat bagi tatalaksana
penyakit ini dan memperkaya khasanah ilmu Rekam Medis Indonesia. Semoga karya ini
dapat menjadi acuan bagi semua spesialis penyakit dalam dan professional maupun
pemerhati lupus lainnya dalam pelayanan terhadap pasien-pasien di seluruh negeri tercinta
ini.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Penulis

14
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Dalam istilah kedokteran secara lengkap nama dari penyakit “Lupus” ini
adalah “Systemic Lupus Erythematosus (SLE)”. Istilah Lupus berasal dari bahasa
latin yang berarti anjing hutan atau serigala. Sedangkan kata Erythematosus dalam
bahasa Yunani berarti kemerah-merahan. Pada saat itu diperkirakan, penyakit
kelainan kulit kemerahan di sekitar hidung dan pipi ini disebabkan oleh gigitan
anjing hutan. Karena itulah penyakit ini diberi nama “Lupus”.
Penyakit lupus adalah penyakit baru yang mematikan setara dengan kanker.
Tidak sedikit pengindap penyakit ini tidak tertolong lagi, di dunia terdeteksi
penyandang penyakit lupus mencapai 5 juta orang, dan lebih dari 100 ribu kasus
baru terjadi setiap tahunnya. Penyakit lupus diduga berkaitan dengan sistem
imunologi yang berlebih. Penyakit ini tergolong misterius. Lebih dari 5 juta orang
dalam usia produktif di seluruh dunia telah terdiagnosis menyandang lupus atau
SLE (Systemic Lupus Erythematosus), yaitu penyakit auto imun kronis yang
menimbulkan bermacam-macam manifestasi sesuai dengan target organ atau
sistem yang terkena. Itu sebabnya lupus disebut juga penyakit 1000 wajah.
Penyakit lupus masih sangat awam bagi masyarakat. Penyakit Lupus
biasanya menyerang wanita produktif. Terkadang kita meremehkan rasa nyeri pada
persendian, seluruh organ tubuh terasa sakit atau terjadi kelainan pada kulit, atau
tubuh merasa kelelahan berkepanjangan serta sensitif terhadap sinar matahari.
Semua itu merupakan sebagian dari gejala penyakit Lupus.
Faktor yang diduga sangat berperan terserang penyakit lupus adalah faktor
lingkungan, seperti paparan sinar matahari, stres, beberapa jenis obat, dan virus.
Oleh karena itu, bagi para penderita lupus dianjurkan keluar rumah sebelum pukul
09.00 atau sesudah pukul 16.00. Saat bepergian, penderita memakai sun block atau
sun screen (pelindung kulit dari sengatan sinar matahari) pada bagian kulit yang
akan terpapar. Oleh karena itu, penyakit lupus merupakan penyakit autoimun
sistemik dimana pengaruh utamanya lebih dari satu organ yang ditimbulkan.

14
B. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah dalam penyakit lupus ini antara lain:
1. Apa pengertian dari penyakit lupus?
2. Bagaimana patogenesis pada penyakit lupus?
3. Apa saja penyebabnya seseorang terkena penyakit lupus?
4. Bagaimana pencegahan yang harus dilakukan pada penyakit lupus?
5. Apa saja jenis-jenis penyakit lupus?
6. Bagaimana diagnosis (gejala) yang muncul pada penyakit lupus dan cara
membuktikan diagnosisnya?
7. Bagaimana tata laksana penyakit pada penderita lupus?

C. TUJUAN
Adapun tujuan dalam pembahasan makalah ini mengenai penyakit lupus antara
lain:
1. Mampu mendeskripsikan pengertian penyakit lupus.
2. Mampu mengetahui patogenesis pada penyakit lupus.
3. Mampu mendeskripsikan penyebab timbulnya penyakit lupus.
4. Mampu menjelaskan cara pencegahan penyakit lupus.
5. Mampu mendeskripsikan jenis-jenis penyakit lupus.
6. Mampu mengetahui diagnosis/gejala-gejala yang ditimbulkan pada penyakit
lupus dan cara membuktikan diagnosisnya.
7. Mampu mendeskripsikan tata laksana penyakit lupus.

14
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. PENGERTIAN
Lupus Eritematous Sistemik (SLE) atau dikenal dengan lupus adalah suatu
penyakit autoimun yang kronik dan menyerang berbagai sistem dalam tubuh.
Tanda dan gejala dari penyakit ini bisa bermacam – macam, bersifat sementara,
dan sulit untuk didiagnosis karena itu angka yang pasti tentang jumlah orang
yang terserang oleh penyakit ini sulit diperoleh. SLE menyerang perempuan kira-
kira delapan kali lebih sering dari pada laki-laki. Penyakit ini seringkali dimulai
pada akhir masa remaja atau awal dewasa. Di Amerika Serikat, penyakit ini
menyerang perempuan Afrika Amerika tiga kali lebih sering daripada perempuan
Kaukasia. Jika penyakit ini baru muncul pada usia di atas 60 tahun, biasanya
akan lebih mudah untuk diatasi (Sylvia & Lorraine, 2005).
Semula SLE digambarkan sebagai suatu gangguan kulit, pada sekitar tahun
1800-an, dan diberi nama lupus karena sifat ruamnya yang berbentuk “kupu-
kupu”, melintasi tonjolan hidung dan meluas pada kedua pipi yang menyerupai
gigitan serigala (lupus adalah kata dalam bahasa Latin yang berarti serigala).
Lupus discoid adalah nama yang sekarang diberikan pada penyakit ini apabila
kelainannya hanya terbatas pada gangguan kulit. SLE adalah salah satu
kelompok penyakit jaringan ikat difusi yang etiologinya tidak diketahui.
Kelompok ini meliputi SLE, scleroderma, polimiositis, artritis rheumatoid, dan
sindrom Sjogren. Gangguan – gangguan ini seringkali memiliki gejala yang
saling tumpang tindih satu dengan yang lainnya dan dapat menjadi semakin slit
untuk ditegakkan secara akurat. (Sylvia & Lorraine, 2005).
Lupus merupakan penyakit autoimun kronis dimana terdapat kelainan
sistem imun yang menyebabkan peradangan pada beberapa organ dan sistem
tubuh. Mekanisme sistem kekebalan tubuh tidak dapat membedakan antara
jaringan tubuh sendiri dan organisme asing (misalnya bakteri, virus) karena

14
autoantibodi (antibodi yang menyerang jaringan tubuh sendiri) diproduksi tubuh
dalam jumlah besar dan terjadi pengendapan kompleks imun (antibodi yang
terikat pada antigen) di dalam jaringan (Underwood, 1999).
SLE merupakan prototipe kelainan autoimun sistemik, ditandai dengan
bermacam-macam antibodi, terutama antibodi antinukleus. Antibodi antinukleus
tidak memasuki sel utuh. Namun, nukleus sel yang rusak bereaksi dengan
antibodi antinukleus, kehilangan pola kromatinnya, dan menjadi badan LE yang
homogen, (badan hematoksilin). Fagositosis badan LE oleh neutrofil atau
makrofag in vitro akan membentuk sel LE smapai kira-kira 70 % penderita SLE.
Selain antibodi antinukleus, penderita SLE juga menunjukkan adanya berbagai
macam autoantibodi antara lain terhadap elemen darah (sel darah merah,
trombosit, leukosit). Juga antara 20%-40% mempunyai antibodi terhadap
fosfolipid (Robbins dkk; 1999).
Terlihat terutama pada wanita, SLE adalah suatu penyakit generalisata yang
mengekspresikan dirinya sebagai vaskulitis yang melibatkan beberapa sistem
organ. Sel sasaran primernya adalah sistem hematopoetik, kulit, sendi dan ginjal.
Organ-organ ini dilibatkan dalam aneka macam cara oleh banyak sekali antibodi.
Antibodi terhadap sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit masing-masing
menyebabkan anemia hemolitik, leukopenia dan trombositopenia (Joseph, 1993).

14
B. PATOGENESIS
Hubungan antara lupus dan patogenesis masih kontroversial, karena
komponen komplemen dan imunoglobulin, termasuk kompleks penghancur
membran, dapat dijumpai kedua kulit non-lesi dan lesi pada pasien lupus
eritematosus sistemik (Robbins dkk; 1999).
Pada manusia normal, sistem kekebalan tubuh biasanya akan membuat
anti-bodi yang fungsinya melindungi tubuh dari berbagai macam serangan virus,
kuman, bakteri maupun benda asing lainnya (anti-gen). Pada penyakit autoimun
seperti lupus, sistem kekebalan tubuh seperti kehilangan kemampuan melihat
perbedaan antara substansi asing dengan sel maupun jaringan tubuhnya sendiri.
Pada lupus, produksi anti-bodi yang seharusnya normal menjadi berlebihan.
Akibatnya, anti-bodi ini tidak lagi berfungsi untuk menyerang virus, kuman atau
bakteri yang ada di tubuh, tetapi justru menyerang sistem kekebalan sel dan
jaringan tubuhnya sendiri. Anti-bodi seperti ini disebut auto anti-bodi. Ia bereaksi
dengan anti-gen membentuk immune complex/ komplek imun (Joseph, 1993).
Dapat berupa gangguan klirens kompleks imun besar yang larut, gangguan
pemrosesan komplek imun dalam hati dan penurunan uptake kompleks imun
pada limpa. Gangguan-gangguan ini memungkinkan terbentuknya deposit
kompleks imun di luar sistem fagosit mononuklear. Kompleks imun ini akan
mengendap pada berbagai macam organ dengan akibat terjadinya fiksasi
komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen
yang menghasilkan substansi penyebab timbulnya reaksi radang. Reaksi radang
inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan atau gejala pada organ atau tempat
yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit dan
sebagainya (Joseph, 1993).
Patogenesis melibatkan gangguan mendasar dalam pemeliharaan self-
tolerance bersama aktivasi sel B. Hal ini dapat terjadi sekunder terhadap
beberapa faktor:
a. Efek herediter dalam pengaturan proliferasi sel B.
b. Hiperaktivitas sel T helper.
c. Kerusakan pada fungsi sel T supresor (Robbins dkk; 1999).

14
C. PENYEBAB
Faktor yang diduga sangat berperan untuk seseorang terserang penyakit
lupus adalah faktor lingkungan, seperti paparan sinar matahari, stres, beberapa
jenis obat, dan virus. Faktor tersebut dapat dikelompokkan menjadi faktor
kepekaan dan faktor pencetus yaitu adanya infeksi, pemakaian obat-obatan,
terkena paparan sinar matahari, pemakaian pil KB, dan stres. Penyakit ini
kebanyakaan diderita wanita usia produktif sampai usia 50 tahun namun ada juga
pria yang mengalaminya. Oleh karena itu diduga penyakit ini berhubungan
dengan hormon estrogen (Aulawi, 2008).
Pada kehamilan dari perempuan yang menderita lupus, sering diduga
berkaitan dengan kehamilan yang menyebabkan abortus, gangguan
perkembangan janin atau pun bayi meninggal saat lahir. Tetapi hal yang
berkebalikan juga mungkin atau bahkan memperburuk gejala lupus. Sering
dijumpai gejala Lupus muncul sewaktu hamil atau setelah melahirkan. Tubuh
memiliki kekebalan untuk menyerang penyakit dan menjaga tetap sehat. Namun,
dalam penyakit ini kekebalan tubuh justru menyerang organ tubuh yang sehat.
Penyakit Lupus diduga berkaitan dengan sistem imunologi yang berlebih. Dalam
tubuh seseorang terdapat antibodi yang berfungsi menyerang sumber penyakit
yang akan masuk dalam tubuh. Uniknya, penyakit Lupus ini antibodi yang
terbentuk dalam tubuh muncul berlebihan. Hasilnya, antibodi justru menyerang
sel-sel jaringan organ tubuh yang sehat. Kelainan ini disebut autoimunitas .
Antibodi yang berlebihan ini, bisa masuk ke seluruh jaringan dengan dua cara
yaitu :
Pertama, antibodi aneh ini bisa langsung menyerang jaringan sel tubuh, seperti
pada sel-sel darah merah yang menyebabkan selnya akan hancur. Inilah yang
mengakibatkan penderitanya kekurangan sel darah merah atau anemia.
Kedua, antibodi bisa bergabung dengan antigen (zat perangsang pembentukan
antibodi), membentuk ikatan yang disebut kompleks imun. Gabungan antibodi
dan antigen mengalir bersama darah, sampai tersangkut di pembuluh darah
kapiler akan menimbulkan peradangan. Dalam keadaan normal, kompleks ini
akan dibatasi oleh sel-sel radang (fagosit) Tetapi, dalam keadaan abnormal,

14
kompleks ini tidak dapat dibatasi dengan baik. Sel-sel radang tersebet bertambah
banyak sambil mengeluarkan enzim, yang menimbulkan peradangan di sekitar
kompleks. Hasilnya, proses peradangan akan berkepanjangan dan akan merusak
organ tubuh dan mengganggu fungsinya. Selanjutnya, hal ini akan terlihat
sebagai gejala penyakit. Kalau hal ini terjadi, maka dalam jangka panjang fungsi
organ tubuh akan terganggu (Joseph, 1993).

Telah diketahui secara luas bahwa penyebab lupus dapat dikategorikan


dalam 3 faktor yaitu: genetik, hormonal dan lingkungan. Namun sampai saat ini
masih menjadi perdebatan faktor mana yang menjadi penyebab utama sehingga
masih menjadi fokus utama penelitian.
1. Genetik
Tidak diragukan bahwa lupus terkait dengan faktor genetik. Orang yang
mempunyai riwayat keluarga dengan lupus memiliki 3-10% risiko menderita
penyakit tidak terbatas hanya Lupus, tapi juga penyakit auoimun lainnya
seperti arthritis reomathoid atau Sjorgen’s Syndrome. Pada kembar identik,
risiko lupus meningkat menjadi 25% pada saudara kembar dari pasien yang
menyandang lupus (Djoerban, 2002).
2. Hormon
Penyandang lupus wanita:pria adalah 9:1. Dan sebagian besar penyandang
wanita adalah mereka dalam usia produktif. Hal ini diduga disebabkan oleh
faktor hormonal. Estrogen terbukti sebagai hormon yang mempengaruhi
aktifnya lupus dalam penelitian hewan baik secara invitro maupun invivo.
Sehingga harus benar-benar dipertimbangkan pemberian terapi hormon dan
alat kontrasepsi yang mengandung estrogen pada Odapus (Djoerban, 2002).
3. Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan diduga berperan kuat mencetuskan lupus,
diantaranya adalah: infeksi, zat kimia, racun, rokok dan sinar matahari.

14
a. Infeksi
Beberapa infeksi diduga menyebabkan lupus, salah satu penyebab terkuat
adalah EBV (Epstein-Barr Virus), virus penyebab demam kelenjar
(mononucleosis). Sebagian besar odapus tercatat pernah terinfeksi virus ini
dalam riwayat penyakitnya. Hal ini dapat dibuktikan bahwa system imun
mulai terganggu saat berusaha menyerang EBV juga menyerang sel
tubuhnya sendiri. Sehingga proses tersebut diduga kuat berhubungan
dengan penyebab lupus.

b. Zat kimia dan racun


Beberapa penelitian membuktikan bahwa paparan terhadap zat kimia
dan racun termasuk pekerjaan yang berhubungan silika.
c. Merokok
Akhir-akhir ini, merokok telah terbukti berhubungan dengan
munculnya lupus. Merokok juga meningkatkan risiko penyakit autoimun
lainnya seperti arthritis reumathoid dan multiple sclerosis.
d. Sinar matahari
Paparan terhadap ultraviolet telah terbukti dapat menyebabkan
perburukan manifestasi lupus. Yaitu menyebabkan timbulnya ruam kulit
dan munculnya gejala lupus pada organ lainnnya. Menghindari sinar
matahari dan menggunaka tabir surya (sun block) adalah hal yang tidak
mudah namun mutlak harus dilakukan oleh odapus karena sangat
bermanfaat (Djoerban, 2002).

14
D. PENCEGAHAN
Dalam melakukan pencegahan ada berbagai masalah yang dihadapi
pengidap lupus. Masalah pertama adalah seringnya penyakit pasien terlambat
diketahui dan diobati dengan benar karena cukup banyak dokter yang tidak
mengetahui atau kurang waspada tentang gejala penyakit lupus dan dampak lupus
terhadap kesehatan. Di Indonesia, rendahnya kompetensi dokter untuk
mendiagnosis penyakit secara dini dan mengobati penyakit lupus dengan tepat
tercermin dari pendeknya survival 10 tahun yang masih sekitar 50 persen,
dibandingkan dengan negara maju, yang 80 persen (Djoerban, 2002).
Biasanya paramedis akan melakukan pemeriksaan ANA (Anti Nuclear
Antibodi) bisa positif, di laboratorium dan patologi. Bila sudah diketahui
diagnosanya lupus, maka pihak medis akan memberikan pengobatan berupa terapi,
theraphy sintomatik (penghilangan gejala), kortikortiroid (antipenurun kekebalan
tubuh), serta menekan daya tahan tubuh berlebihan, dengan pemberian obat
demam dan penghilang rasa sakit. Hanya saja, untuk terapi yang dilakukan
berbeda-beda dengan setiap penderita. Penyembuhannya pun bisa memakan waktu
berbulan-bulan, itupun dengan catatan penderita rajin memeriksakan diri. Bahkan
tak jarang, terkadang diagnosa baru didapat justru setelah penderita meninggal.
Atau penyakit lupusnya tiba-tiba sembuh sendiri. Karena itulah, fokus pengobatan
dokter adalah dengan melakukan pencegahan dengan meminimalisir meluasnya
penyakit sehingga tidak menyerang organ vital tubuh lainnya. Oleh karena itu,
untuk melakukan upaya preventif terhadap penyakit lupus perlu ditingkatkan
pelayanan kesehatan di Indonesia, baik oleh pemerintah maupun semua pihak
yang terkait dengan pelayanan kesehatan. Selain itu, peningkatan kompetensi
petugas-petugas pelayan kesehatan juga harus di tingkatkan agar tidak terjadi
kesalahan-kesalahan yang akan membahayakan jiwa pasien (Djoerban, 2002).
Pengembangan metode pengobatan yang lebih baik dan efisien juga perlu
dilakukan. Pasien juga harus diberi penyuluhan tentang apa itu lupus, apa
bahayanya dan bagaimana gejalanya agar pasien bisa turut berperan aktif dalam
upaya pencegahan penyakit lupus. Masalah berikutnya adalah belum terpenuhinya
kebutuhan pasien lupus dan keluarganya tentang informasi, pendidikan, dan

14
dukungan yang terkait dengan lupus. Dirasakan penting sekali meningkatkan
kewaspadaan masyarakat tentang dampak buruk penyakit lupus terhadap
kesehatan. Masalah lupus tidak hanya berdampak buruk pada kesehatan pasien,
namun juga mempunyai dampak psikologi dan sosial yang cukup berat untuk
pasien maupun keluarganya. Dalam hal ini peran sarjana kesehatan masyarakat
selaku tenaga kesehatan yang berorientasi pada upaya preventif dan promotif
sangat diperlukan. Masyarakat harus secara intensif diberi penyuluhan tentang apa
itu lupus, gejala yang ditimbulkan, dampak yang ditimbulkan,serta bagaimana cara
pencegahannya. Kebersihan dan kesehatan lingkungan juga harus diperhatikan
karena, seperti yang telah dijelaskan dalam subbab “penyebab” bahwa faktor yang
diduga menyebabkan lupus ada berberapa macam diantaranya faktor lingkungan
(Djoerban, 2002).

Masalah lain adalah kurangnya prioritas di bidang penelitian medik untuk


menemukan obat-obat penyakit lupus yang baru, yang aman dan efektif,
dibandingkan dengan penelitian penyakit-penyakit lain, yang sebanding besaran
masalahnya. Upaya preventif yang harus dilakukan adalah berusaha
mengembangkan penelitian-penelitian mengenai penyakit lupus mengingat bahaya
dan dampak negatif yang bisa ditimbulkan oleh penyakit ini.
Hal yang harus dilakukan penderita lupus (odipus) agar penyakit lupusnya tidak
kambuh adalah :
1. Menghindari stress
2. Menjaga agar tidak langsung terkena sinar matahari
3. mengurangi beban kerja yang berlebihan
4. menghindari pemakaian obat tertentu (Djoerban, 2002).
Odipus dapat memeriksakaan diri pada dokter-dokter pemerhati penyakit
ini, dokter spesialis penyakit dalam konsultasi hematologi, rheumatology, ginjal,
hipertensi, alergi imunologi, jika lupus dapat tertanggulangi, berobat dengan
teratur, minum obat teratur yang di berikan oleh dokter (yang biasanya diminum
seumur hidup), odipus akan dapat hidup layaknya orang normal.

14
E. JENIS-JENIS PENYAKIT LUPUS
1. Lupus Eritematosis Diskoid (DLE)
Paling sering menyerang dan merupakan lupus kulit dengan manifestasi
beberapa jenis kelainan kulit. Kelainan biasanya berlokalisasi simetrik di muka
(terutama hidung, pipi), telinga atau leher. Penyakit yang terbatas pada lesi kulit
yang makroskopik dan mikroskopik menyerupai SLE. Hanya 35% penderita
mengalami antibodi antinukleus positip. Berbeda dengan SLE, hanya lesi kulit
yang menunjukkan deposit Ig-komplemen pada membran basal. Setelah
beberapa tahun, 5%-10% penderita bermanifestasi sistemik. Diskoid Lupus
tidak serius dan jarang sekali melibatkan organ-organ lain (Robbins dkk; 1999).
2. Lupus Eritematosus Sistemik (SLE)
SLE merupakan penyakit demam sistemik, kronik, berulang dengan gejala
yang berhubungan dengan semua jaringan, terutama sendi, kulit, dan membran
serosa. Dapat menimbulkan komplikasi seperti lupus otak, lupus paru-paru,
lupus pembuluh darah jari-jari tangan atau kaki, lupus kulit, lupus ginjal, lupus
jantung, lupus darah, lupus otot, lupus retina, lupus sendi, dan lain-lain
(Robbins dkk; 1999).
3. Lupus Eritematosus yang disebabkan obat
Obat-obatan seperti hidralazin (obat hipertensi), prokainamid (untuk
mengobati detak jantung yang tidak teratur), isoniazid, dan D-penisilamin
sering menyebabkan ANA positip, kurang sering menyebabkan sindrom seperti
LE. Pada sindrom seperti LE, meskipun melibatkan banyak organ, penyakit
ginjal dan susunan saraf pusat jarang terjadi. Penyakit mempunyai hubungan
dengan HLA-DR4. Penyakit ini timbul akibat efek samping obat dan akan
sembuh sendiri dengan memberhentikan obat terkait (Robbins dkk; 1999).

14
BAB IV
KESIMPULAN

Lupus merupakan penyakit autoimun kronis dimana terdapat kelainan sistem


imun yang menyebabkan peradangan pada beberapa organ dan sistem tubuh.
Mekanisme sistem kekebalan tubuh tidak dapat membedakan antara jaringan tubuh
sendiri dan organisme asing (misalnya bakteri, virus) karena autoantibodi (antibodi
yang menyerang jaringan tubuh sendiri) diproduksi tubuh dalam jumlah besar dan
terjadi pengendapan kompleks imun (antibodi yang terikat pada antigen) di dalam
jaringan. SLE atau lupus menyerang perempuan kira-kira delapan kali lebih sering
daripada laki-laki.
Hubungan antara lupus dan patogenesis masih kontroversial, karena komponen
komplemen dan imunoglobulin, termasuk kompleks penghancur membran, dapat
dijumpai kedua kulit non-lesi dan lesi pada pasien lupus eritematosus sistemik.
Patogenesis melibatkan gangguan mendasar dalam pemeliharaan self-tolerance
bersama aktivasi sel B. Hal ini dapat terjadi sekunder terhadap beberapa faktor antara
lain: efek herediter dalam pengaturan proliferasi sel B, hiperaktivitas sel T helper, dan
kerusakan pada fungsi sel T supresor.
Penyebab lupus dapat dikategorikan dalam 3 faktor yaitu: genetik, hormonal
dan lingkungan. Beberapa faktor lingkungan diduga berperan kuat mencetuskan
lupus, diantaranya adalah: infeksi, zat kimia, racun, rokok dan sinar matahari.
Dalam upaya melakukan preventif terhadap penyakit lupus perlu ditingkatkan
pelayanan kesehatan di Indonesia, baik oleh pemerintah maupun semua pihak yang
terkait dengan pelayanan kesehatan. Pasien juga harus diberi penyuluhan tentang apa
itu lupus, apa bahayanya dan bagaimana gejalanya agar pasien bisa turut berperan
aktif dalam upaya pencegahan penyakit lupus.
Adapun jenis-jenis penyakit lupus antara lain: Lupus Eritematosis Diskoid
(DLE), Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) dan Lupus Eritematosus yang disebabkan
oleh obat.

14
Diagnosis SLE harus memenuhi 4 dari 11 gejala spesifik yang ditetapkan
seperti Malar Rash/Butterfly Rash, Discoid Rash, Fotosensitif, Luka di mulut dan
lidah seperti sariawan (oral ulcers), Nyeri pada sendi-sendi, Gejala pada paru-paru
dan jantung berupa selaput pembungkusnya terisi cairan, gangguan pada ginjal.
Gangguan pada otak atau sistem saraf mulai dari depresi, kejang, stroke, dan lain-
lain. Kelainan pada sistem darah di mana jumlah sel darah putih dan trombosit
berkurang. Dan biasanya terjadi juga anemia. Tes ANA (Antinuclear Antibody),
sebagai pertanda aktifnya lupus bila ditemukan dalam darah pasien, dan gangguan
sistem kekebalan tubuh. Cara diagnosis Lupus atau SLE (Lupus Eritematosus
Sistemik) dengan Uji Imunologik.
Penatalaksanaan lupus dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu ringan, sedang, dan
berat, sesuai dengan berat ringannya gejala yang muncul. Lupus ringan, gejala
tersebut cukup dikontrol oleh analgesik dan mengurangi paparan sinar matahari
dengan menggunakan tabir surya, dan Hidroksikloroquin. Lupus sedang, terapi
steroid biasanya sudah dibutuhkan, Hidroksikloroquin sudah memadai sebagai
tambahan steroid, tapi kadang obat imunosuppressan juga dibutuhkan seperti:
Azathioprine, dan Methotrexate. Lupus berat, steroid sangat dibutuhkan dalam tahap
ini dengan tambahan obat immunosupresan. Pengobatan tambahan yang digunakan
untuk lupus berat meliputi immunoglobulin intravena, plasma exchange, dan antibodi
monoclonal (agen biologi) terutama rituximab. Pada pengobatan Lupus digunakan
dua kategori obat yaitu Kortikosteroid dan Nonkortikosteroid.

SARAN
 Perawat bisa mengenal dengan cepat ciri-ciri dari Lupus Erimatosus Sistemik.
 Perawat bisa menangani pasien dengan penyakit Lupus Erimatosus Sistemik
dengan cepat, teliti dan terampil.
 Perawat dapat bekerjasama dengan baik dengan tim kesehatan lain maupun
pasien dalam tahap pengobatan.

14
DAFTAR PUSTAKA

Aulawi, Dede Farhan 2008, Mengenal Penyakit Lupus, Diakses 2 Mei 2014
(http://www.panduankesehatan.com).
Djoerban, Zubairi, Prof.dr.Sp.Pd.KHOM 2002, Systemic Lupus Erythematosus,
Yayasan Lupus Indonesia, Jakarta.
Joseph A. Bellanti, M.D. 1993, Imunologi III, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Michelle Petri, M.D., M.P.H. 1998, Treatment of Systemic Lupus Erythematosus,
Johns Hopkins University School of Medicine, Baltimore, Maryland.
Robbins, S.L, Cotran R.S & Kumar, V 1999, Dasar Patologi Penyakit, EGC, Jakarta.
Sjaiffoellah, Noer 1996, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Balai Penerbit FKUI,
Jakarta.
Sylvia, A.P & Lorraine, M.W 2005, Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit, EGC, Jakarta.
Underwood, J.C.E 1999, Patologi Umum dan Sistematik, EGC, Jakarta.
Wallace, J.D 2007, The Lupus Book: Panduan Lengkap Bagi Penderita Lupus dan
Keluarganya, B first, Jakarta.

14

Anda mungkin juga menyukai