Oleh:
Kiki Dwi Lestari
1930023
NIM : 1930023
Sebagai salah satu syarat dalam pemenuhan tugas praktik Profesi Ners
Departemen Keperawatan Anak, yang dilaksanaka pada tanggal 11 November –
16 November 2019, yang telah disetujui dan disahkan pada :
Hari :
Tanggal :
Mengetahui,
(.............................................) (.............................................)
BAB 1
PENDAHULUAN
2.1 Definisi
Menurut dokter umum RS Pertamina Balikpapan (RSPB) dr Fajar
Rudy Qimindra (2008) secara lengkap nama dari penyakit “Lupus” ini adalah
“Systemik Lupus Erythematosus (SLE)”. Istilah lupus berasal dari bahasa
latin yang berarti anjing hutan atau serigala. Sedangkan kata Erythematosus
dalam bahasa yunani berarti kemerah-merahan. Pada saat itu diperkirakan,
penyakit kelainan kulit kemerahan di sekitar hidung dan pipi itu disebabkan
oleh gigitan anjing hutan. Sehingga dari sinilah istilah lupus tetap digunakan
untuk penyakit Systemic Lupus Erythematosus. Systemic Lupus
Erythematosus (SLE) merupakan gangguan multisistem autoimun kronis
yang berhubungan dengan beberapa kelainan imunologi dan berbagai
manifestasi klinis (Yuiliasih,2013).
Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus sistemik
(LES) adalah penyakit radang atau inflamasi multisistem yang penyebabnya
diduga karena adanya perubahan sistem imun (Albar, 2003). Systemic lupus
erytematosus (SLE) adalah suatu penyakit autoimun pada jaringan ikat.
Autoimun berarti bahwa system imun menyerang jaringan tubuh sendiri. Pada
SLE ini, system imun terutama menyerang inti sel (Yuiliasih,2013)
2.2 Etiologi
Hingga kini penyebab SLE belum diketahui dengan jelas. Namun
diperkirakan berkaitan erat dengan beberapa faktor, antara lain autoimun,
kelainan genetik, faktor lingkungan, obat-obatan.
a. Autoimun :
Mekanisme primer SLE adalah autoimunitas, suatu proses kompleks
dimana sistem imun pasien menyerang selnya sendiri. Pada SLE, sel-T
menganggap sel tubuhnya sendiri sebagai antigen asing dan berusaha
mengeluarkannya dari tubuh. Diantara kejadian tersebut terjadi stimulasi
limfosit sel B untuk menghasilkan antibodi, suatu molekul yang dibentuk
untuk menyerang antigen spesifik. Ketika antibodi tersebut menyerang
sel tubuhnya sendiri, maka disebut autoantibodi. Sel B menghasilkan
sitokin. Sitokin tertentu disebut interleukin, seperti IL 10 dan IL 6,
memegang peranan penting dalam SLE yaitu dengan mengatur sekresi
autoantibodi oleh sel B (Simon H, 2000).
Pada sebagian besar pasien SLE, antinuklear antibodi (ANA) adalah
antibodi spesifik yang menyerang nukleus dan DNA sel yang sehat.
Terdapat dua tipe ANA, yaitu anti-doule stranded DNA (anti-ds DNA)
yang memegang peranan penting pada proses autoimun dan anti-Sm
antibodies yang hanya spesifik untuk pasien SLE (Simon H, 2000).
Dengan antigen yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang
beredar dalam sirkulasi sehingga pengaturan sistem imun pada SLE
terganggu yaitu berupa gangguan klirens kompleks imun besar yang
larut, gangguan pemrosesan kompleks imun dalam hati, dan penurunan
uptake kompleks imun oleh ginjal. Sehingga menyebabkan terbentuknya
deposit kompleks imun di luar sistem fagosit mononuklear. Kompleks ini
akan mengendap pada berbagai macam organ dan menyebabkan
terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut dan aktivasinya
menghasilkan substansi yang menyebabkan radang. Reaksi radang inilah
yang menyebabkan keluhan pada organ yang bersangkutan (Albar Z,
1996).
Sekitar setengah dari pasien SLE memiliki antibodi antifosfolipid.
Antibodi ini menyerang fosfolipid, suatu kumpulan lemak pada membran
sel. Antifosfolipid meningkatkan resiko menggumpalnya darah, dan
mungkin berperan dalam penyempitan pembuluh darah serta rendahnya
jumlah hitung darah (Simon H, 2000).
Antibodi tersebut termasuk lupus antikoagulan (LAC) dan antibodi
antikardiolipin (ACAs). Mungkin berupa golongan IgG, IgM, IgA yang
berdiri sendiri-sendiri ataupun kombinasi. Sekalipun dapat ditemukan
pada orang normal, namun mereka juga dihubungkan dengan sindrom
antibodi antifosfolipid, dengan gambaran berupa trombosis arteri
dan/atau vena berulang, trombositopenia, kehilangan janin-terutama
kelahiran mati, pada pertengahan kedua kehamilan. Sindrom ini dapat
terjadi sendirian atau bersamaan dengan SLE atau gangguan autoimun
lainnya (Lehman TJA, 2004).
b. Genetik
Faktor genetik memegang peranan penting dalam kerentanan dan
ekspresi penyakit. Sekitar 10-20% pasien SLE memiliki kerabat dekat
yang juga menderita SLE (Albar Z, 1996). Saudara kembar identik
sekitar 25-70% (setiap pasien memiliki manifestasi klinik yang
berbeda)sedangkan non-identik 2-9% (Albar Z, 1996). Jika seorang ibu
menderita SLE maka kemungkinan anak perempuannya untuk menderita
penyakit yang sama adalah 1:40 sedangkan anak laki-laki 1:25 (Lamont
DW, 2001). Penelitian terakhir menunjukkan adanya peran dari gen-gen
yang mengkode unsur-unsur sistem imun. Kaitan dengan haptolip MHC
tertentu, terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3 serta komplemen (C1q , C1r ,
C1s , C4 dan C2) telah terbukti (Albar Z, 1996).
Suatu penelitian menemukan adanya kelainan pada 4 gen yang
mengatur apoptosis, suatu proses alami pengrusakan sel. Penelitian lain
menyebutkan bahwa terdapat beberapa kelainan gen pada pasien SLE
yang mendorong dibentuknya kompleks imun dan menyebabkan
kerusakan ginjal (Simon H, 2000).
c. Faktor lingkungan
Satu atau lebih faktor eksternal dapat memicu terjadinya respon
autoimun pada seseorang dengan kerentanan genetik. Pemicu SLE
termasuk, flu, kelelahan, stres, kontrasepsi oral, bahan kimia, sinar
matahari dan beberapa obat-obatan (Simon H, 2000).
Virus. Pemicu yang paling sering menyebabkan gangguan pada sel
T adalah virus. Beberapa penelitian menyebutkan adanya hubungan
antara virus Epstein-Barr, cytomegalovirus dan parvovirus-B19 dengan
SLE. Penelitian lain menyebutkan adanya perbedaan tipe khusus SLE
bagian tiap-tiap virus, misalnya cytomegalovirus yang mempengaruhi
pembuluh darah dan menyebabkan fenomena Raynaud (kelainan darah),
tapi tidak banyak mempengaruhi ginjal (Simon H, 2000)..
Sinar matahari. Sinar ultraviolet (UV) sangat penting sebagai
pemicu tejadinya SLE. Ketika mengenai kulit, UV dapat mengubah
struktur DNA dari sel di bawah kulit dan sistem imun menganggap
perubahan tersebut sebagai antigen asing dan memberikan respon
autoimun (Simon H, 2000).
Drug-Induced Lupus. Terjadi setelah pasien menggunakan obat-
obatan tertentu dan mempunyai gejala yang sama dengan SLE.
Karakteristik sindrom ini adalah radang pleuroperikardial, demam, ruam
dan artritis. Jarang terjadi nefritis dan gangguan SSP. Jika obat-obatan
tersebut dihentikan, maka dapat terjadi perbaikan manifestasi klinik dan
dan hasil laboratoium (Lamont DW, 2001)
Hormon. Secara umum estrogen meningkatkan produksi antibodi
dan menimbulkan flare sementara testosteron mengurangi produksi
antibodi. Sitokin berhubungan langsung dengan hormon sex. Wanita
dengan SLE biasanya memiliki hormon androgen yang rendah, dan
beberapa pria yang menderita SLE memiliki level androgen yang
abnormal (Simon H, 2000) Penelitian lain menyebutkan bahwa hormon
prolaktin dapat merangsang respon imun (Albar Z, 2000).
2.3 Patofisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang
menyebabkan peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan
imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik,
hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi
selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, stress, infeksi ).
Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin
dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah
alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-
obatan.
Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi
akibat fungsi sel T-supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan
kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen
yang selanjutnya serangan antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang
kembali.
Kerusakan organ pada SLE didasari pada reaksi imunologi. Reaksi ini
menimbulkan abnormalitas respons imun didalam tubuh, yaitu :
a. Sel T dan sel B menjadi otoreaktif
b. Pembentukan sitokin yang berlebihan
c. Hilangnya regulasi control pada system imun yaitu :
1) Hilangnya kemampuan membersihkan antigen dikompleks
imun maupun sitokin dalam tubuh
2) Menurunnya kemampuan mengendalikan apoptosis
3) Hilangnya toleransi imun : sel T mengenali molekul tubuh
sebagai antigen karena adanya mimikri molekuler
Akibat proses tersebut, maka terbentuk berbagai macam antibody
di dalam tubuh yang disebut sebagai autoantibody. Selanjutnya
antibody-antibodi yang tersebut membentuk kompleks imun.
Kompleks imun tersebut terdeposisi pada jaringan atau organ yang
akhirnya menimbulkan gejala inflamasi atau kerusakan jaringan.
2.4 Pathway
Genetic Lingkungan ( cahaya matahari,infeksi stress) Hormonal Obat-obatan
Ketidakefektif
an perfusi
jaringan
perifer
2.5 Manifestasi klinik
Perjalanan penyakit SLE sangat berfariasi. Penyakit dapat timbul
mendadak disertai dengan tanda-tanda terkenanya berbagai system tubuh.
Dapat juga menahun dengan gejala pada satu system yang lambat laun diikuti
oleh gejala terkenanya system imun.
Pada tipe menahun terdapat remisi dan eksaserbsi. Remisinya
mungkin berlangsunhg=langsung bertahun-tahun. Onset penyakit dapat
spontan atau didahului oleh factor presipitasi seperti kontak dengan sinar
matahari, infeksi virus atau bakteri dan obat. Setiap serangana biasanya
disertai gejala umum yang jelas seperti demam, nafsu makan berkurang,
kelemahan, berat badan menurun, dan iritabilitasi. Yang paling menonjol
ialah demam, kadang-kadang disertai menggigil.
a. Gejala Muskuloskeletal
Gejala yang paling sering pada SLE adalah gejala
musculoskeletal berupa arthritis (93%). Yang paling sering terkena
ialah sendi interfalangeal proksimal, peradangan tangan,
metakarpofalangeal, siku dan pergelangan kaki, selain
pembengkakan dan nyeri mungkin juga terdapat efusi sendi.
Arthritis biasanya simetris, tanpa menyebabkan deformitas,
konfraktur atau ankilosis. Adakala terdapat nodul rheumatoid.
Nekrosis vaskuler dapat terjadi pada berbagai tempat, dan
ditemukan pada pasien yang mendapatkan pengobatan dengan
steroid dosis tinggi. Tempat yang paling sering terkena ialah kaput
femoris.
b. Gejala integument
Kelainan kulit, rambut atau selaput lendir ditemukan pada
85% kasus SLE. Lesi kulit yang paling sering ditemukan pada SLE
ialah lesi kulit akut, subakut, discoid dan livido retikulkaris. Ruam
kulit yang dianggap khas dan banyak menolong dalam
mengarahkan diagnosis SLE ilah ruam kulit berbentuk kupu-kupu (
butterfly rash ) berupa eritema yang sedikit edematus pada hidung
dan kedua pipi. Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat
sembuh tanpa bekas. Pada bagian tubuh yabg terkena sinar
matahari dapat timbul ruam kulit yang terjadi karena
hipersensitivitas . lesi ini termasuk lesi kulit akut. Lesi kulit
subakut yang khas berbentuk anular .
Lesi discoid berkembang melalui 3 tahap yaitu eritema,
hyperkeratosis, dan atrofil. Biasanya tampak sebagai bercak
eritematosa yang meninggi, tertutup sisik keratin disertai adanya
penyumbatan folikel. Kalau sudah berlangsung lama akan
berbentuk sikatriks.
c. Kardiovaskuler
Kelainan jantung dapat berupa perikarditis ringan sampai berat (
efusi kerikard), iskemia miokard dan endokarditis verukosa (
libman sacks)
d. Paru
Efusi pleura unilateral ringan lebih sering terjadi dari pada
yang bilateral. Mungkin ditemukan sel LE ( lamp dalam cairan
pleura ) biasanya efusi menghilang dengan pemberian terapi yang
adekuat. Diagnosis pneumonitis penyakit SLE baru dapat
ditegakkan jika factor-faktor lain seperti infeksi virus, jamur,
tuberculosis dan sebagainya telah disingkirkan.
e. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi
papuler, eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku
serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan
dan berlanjut nekrosis.
f. Darah
Kelainan darah bisa ditemukan pada 85% penderita lupus. Bisa
terbentuk bekuan darah di dalam vena maupun arteri, yang bisa
menyebabkan stroke dan emboli paru. Jumlah trombosit berkurang
dan tubuh membentuk antibodi yang melawan faktor pembekuan
darah, yang bisa menyebabkan perdarahan yang berarti. Seringkali
terjadi anemia akibat penyakit menahun.
2.6 Pemeriksaan penunjang
Diagnosis SLE dibuat berdasarkan pada riwayat sakit yang lengkap
dan hasil pemeriksaan darah. Gejala yang klasik mencakup demam, keletihan
secara penurunan berat badan dan kemungkinan pula arthritis, pleuritis dan
perikarditis. Tidak ada 1 terlaboratorium megungkapkan anemia yang sedang
hingga berat, trombositopenia, leukositosis atau leucopenia dan antibody
antinukleus yang positif. Tes imunologi diagnostik lainnya mungkin tetapi
tidak memastikan diagnostic
a. Pemeriksaan Darah Rutin dan Pemeriksaan Urin
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada penyakit Lupus
Eritematosus Sistemik ( SLE ) adalah pemeriksaan darah rutin dan
pemeriksaan urin. Hasil pemeriksaan darah pada penderita SLE
menunjukkan adanya anemia hemolitik, trombositopenia, limfopenia, atau
leukopenia; erytrocytesedimentation rate (ESR) meningkat selama
penyakit aktif, Coombs test mungkin positif, level IgG mungkin tinggi,
ratio albumin-globulin terbalik, dan serum globulin meningkat. Selain itu,
hasil pemeriksaan urin pada penderita SLE menunjukkan adanya
proteinuria, hematuria, peningkatan kreatinin, dan ditemukannya Cast,
heme granular atau sel darah merah pada urin
b. Anti ds DNA
Batas normal : 70 – 200 iu/mL
Negatif : < 70 iu/mL
Positif : > 200 iu/Ml
Antibodi ini ditemukan pada 65-80% penderita denga SLE aktif dan
jarang pada penderita dengan penyakit lain. Jumblah yang tinggi
merupakan spesifik untuk SLE sedangkan kadar rendah sampai sedang
dapat ditemukan pada penderita dengan penyakit reumatik dan lain-lain,
hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan sirosis bilier. Jumlah
antibodi ini dapat turun dengan pengobatan yang tepat dan dapat
meningkat pada penyebaran penyakit terutama Lupus glomerulonetritis.
Jumlahnya mendekati negativ pada penyakit SLE yang tenang. Antibodi
anti-DNA merupakan subtype dari antibody antinukleus (ANA). Ada dua
tipe dari antibody anti DNA yaitu yang menyerang double stranded DNA
( anti ds-DNA ) dan yang menyerang single stranded DNA ( anti ss-DNA
). Anti ss-DNA kurang sensitive dan spesifik untuk SLE tapi positif
untuk penyakit autoimun yang lain. Kompleks antibody-antigen pada
penyakit autoimun tidak hanya untuk diagnosis saja tetapi merupakan
konstributor yang besar dalam perjalanan penyakit tersebut. Kompleks
tersebut akan menginduksi system komplemen yang dapat menyebabkan
terjadinya inflamasi baik local maupun sistemik ( Pagana and
Pagana,2002 )
c. Antinuklear antibodies ( ANA )
normal : nol
ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimun yang lain.
ANA adalah sekelompok antibody protein yang beraksi menyerang inti
dari suatu sel. Ana cukup sensitif untuk mendektisi adanya SLE , hasil
yang positif terjadi pada 95% penderita SLE tetapi ANA tidak spesifik
untuk SLE saja karena ANA juga berkaitan dengan kemunculan penyakit
dan keaktifan penyakit tersebut. Setelah pemberian terapi maka penyakit
tidak lagi aktif sehingga jumblah ANA diperkirakan menurun. Jika hasil
test negativ, maka pasien belum tentu negativ terhadap SLE karena harus
dipertimbangkan juga data klinis dan test laboratorium yang lain, jika
hasil test positif maka sebaiknya dilakukan test serologi yang lain untuk
menunjang diagnose bahwa pasien tersebut menderita SLE. ANA dapat
meliputi anti-Smith ( anti-Sm ), anti-RNP (anti-ribonukleoprotein), dan
anti –SSA (Ro) atau anti-SSB (La) ( Pagana and Pagana,2002 )
2.7 Penatalaksanaan
Berikut adalah pilar terapi gen SLE menurut Perhimpunan Reumatologi
Indonesia (2011 : 10-11) :
a. Edukasi dan Konseling
Informasi yang benar dan dukungan dari orang sekitar sangat
dibutuhkan oleh pasien SLE dengan tujuan agar para pasien dapat
hidup mandiri. Beberapa hal perlu diketahui oleh pasien SLE, antara
lain perubahan fisik yang akan dialami, perjalanan penyakit, cara
mencegah dan mengurangi kekambuhan seperti melindungi kulit
dari paparan sinar matahari secara langsung, memperhatikan jika
terjadi infeksi, dan perlunya pengaturan diet agar tidak kelebihan
berat badan, displidemia atau terjadinya osteoporosis.
b. Program Rehabilitasi
Secara garis besar pelaksanaan program rehabilitasi yang dilakukan
oleh pasien SLE, antara lain: istirahat yang cukup, sering
melakukan terapi fisik, terapi dengan modalitas, kemudian
melakukan latihan ortotik, dan lain-lain. (Perhimpunan Reumatologi
Indonesia, 2011 : 10-11)
c. Terapi Medikasi
Ada kemajuan besar dalam terapi SLE pada dekade terakhir ini.
Terapi gen adalah cara yang efisien dan menguntungkan dengan
memberikan imunomodulator dan mediator anti-inflamasi, yang
meliputi alami atau rekayasa genetika inhibitor sitokin inflamasi
(anticytokines), atau sitokin anti-inflamasi kuat seperti TGF β. Oleh
karena itu adanya kebutuhan besar untuk menemukan lebih banyak
perawatan effective, jika memungkinkan dengan efek samping yang
rendah. Dengan perkembangan yang sedang berlangsung, berikut
adalah beberapa macam terapi gen yang dilakukan pada penyakit
lupus erythematosus :
1) NSAID (Non Steroid Anti-Inflamasi Drugs)
NSAIDs (obat anti inflamasi non steroid) merupakan
pengobatan yang efektif untuk mengendalikan gejala pada
tingkatan ringan, tapi harus digunakan secara hati-hati karena
sering menimbulkan efek samping peningkatan tekanan darah dan
merusak fungsi ginjal. Bahkan beberapa jenis NSAID dapat
meningkatkan resiko serangan jantung dan stroke. Obat tersebut
dapat juga mengganggu ovulasi dan jika digunakan dalam
kehamilan (setelah 20 minggu), dapat mengganggu fungsi ginjal
janin. (Syamsi dhuha, 2012 : 5-6)
2) Kortikosteroid
Syamsi dhuha (2012 : 6) menyatakan bahwa penggunaan dosis
steroid yang tepat merupakan kunci utama dalam pengendalian
lupus. Dosis yang diberikan dapat terlalu rendah untuk
pengendalian penyakit, namun kesalahan yang sering terjadi
adalah pemberian dosis terlalu tinggi dalam waktu terlalu lama.
Osteoporosis yang disebabkan oleh steroid adalah masalah yang
umumnya terjadi pada Odapus. Sehingga dibutuhkan
penatalaksanaan osteoprotektif seperti pemeriksaan serial
kepadatan tulang dan obat-obat osteoprotektif yang efektif seperti
kalsium dan bifosfonat. Terapi hormon tidak lagi digunakan
untuk pencegahan atau pengobatan osteoporosis karena
meningkatkan risiko kanker payudara dan penyakit jantung.
Bifosfonat tidak baik digunakan selama kehamilan dan dianjurkan
bahwa kehamilan harus ditunda selama enam bulan setelah
penghentian bifosfonat. Peningkatan risiko terserang infeksi
merupakan perhatian utama dalam terapi steroid, terutama pada
mereka yang juga mengkonsumsi obat imunosupresan. Steroid
juga dapat memperburuk hipertensi, memprovokasi diabetes dan
memiliki efek buruk pada profil lipid yang mungkin berkontribusi
pada meningkatnya kematian akibat penyakit jantung. Steroid
dosis tinggi meningkatkan risiko pendarahan gastrointestinal dan
terjadi pada pada dosis yang lebih rendah jika digunakan bersama
NSAID. Osteonekrosis (nekrosis avaskular) juga cukup umum
pada lupus dan tampaknya terkait terutama dengan penggunaan
steroid oral dosis tinggi atau metilprednisolon intravena.
Meskipun memiliki banyak efek samping, obat kortikisteroid
tetap merupakan obat yang berperan penting dalam pengendalian
aktifitas penyakit. Karena itu, obat ini tetap digunakan dalam
terapi lupus. Pengaturan dosis yang tepat merupakan kunci
pengobatan yang baik.
3) Antimalaria
Hydroxychloroquine (Plaquenil) lebih sering digunakan
dibanding kloroquin karena risiko efek samping pada mata
diyakini lebih rendah. Toksisitas pada mata berhubungan baik
dengan dosis harian dan kumulatif, Selama dosis tidak melebihi,
resiko tersebut sangat kecil. Pasien dianjurkan untuk memeriksa
ketajaman visual setiap 6 bulan untuk identifikasi dini kelainan
mata selama pengobatan. Dewasa ini pemberian terapi
hydroxychloroquine diajurkan untuk semua kasus lupus dan
diberikan untuk jangka panjang. Obat ini memiliki manfaat untuk
mengurangi kadar kolesterol, efek anti-platelet sederhana dan
dapat mengurangi risiko cedera jaringan yang menetap serta
cukup aman pada kehamilan.
Konsep Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
1. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan utama
a) Nyeri
b) Gatal-gatal
2) Riwayat kesehatan dahulu
a) Riwayat terekspos sinar radiasi UV yang parah
b) Riwayat pemakaian obat-obatan hidralazin,
prokainamid,isoniazid, kontrasepsi oral dll
c) Riwayat terinfeksi virus
d) Terekspos bahan kimia
3) Riwayat kesehatan keluarga
e) Riwayat keluarga dengan penyakit autoimun
f) Riwayat keluarga dengan infeksi berulang
4) Riwayat kesehatan sekarang
Pasien mengatakan:
g) nyeri sendi karena gerakan
h) kekakuan pada sendi
i) kesemutan pada tangan dan kaki
j) sakit kepala
k) Demam
l) merasa letih, lemah
m) limitasi fungsional yang berpengaruh pada gaya hidup,
waktu senggang,pekerjaan
n) keputusasaan dan ketidakberdayaan
o) kesulitan untuk makan
p) nausea, vomitus
q) sesak nafas
r) nyeri dada
s) ancaman pada konsep diri, citra diri
5) Pemeriksaan Fisik
a. Aktivitas dan latihan
Keterbatasan rentang gerak
Deformitas
Kontraktur
b. Nyeri dan kenyamanan
Pembengkakan sendi
Nyeri tekan
Perubahan gaya berjalan/pincang
Gerak otot melindungi yang sakit
c. Kardiovaskuler
Fenomena raynoud
Hipertensi
Edeme
Pericardial friction rub
Aritmia
Murmur
d. Nutrisi dan metabolic
Lesi pada mulut
Penurunan berat badan
e. Pola eliminasi
Peningkatan pengeluaran urin
Konstipasi /diare
B. Diagnosa Keperawatan
1) Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan keletihan otot
pernapasan
2) Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubngan dengan gangguan
aliran arteri atau vena
3) Penurunan curah jantung berhubungan dengan kontraktilitas jantung
4) Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.
5) Resiko infeksi berhubungan dengan gangguan integritas kulit
6) Kerusakkan integritas kulit berhubungan dengan imunodefisiensi
7) Gangguan citra tubuh berhubungan dengan penyakit
C. Perencanaan Keperawatan
1) Ketidakefektifan Pola nafas berhubungan dengan keletihan otot
pernafasan
Tujuan : pola nafas kembali efektif
KH : Frekuensi, irama, kedalaman pernapasan dalam batas
normal, Tidak menggunakan otot-otot bantu pernapasan, Tanda
Tanda vital dalam rentang normal (tekanan darah, nadi,
pernafasan) (TD 120-90/90-60 mmHg, nadi 80-100 x/menit, RR :
18-24 x/menit, suhu 36,5 – 37,5 C)
Intervensi
Intervensi
Monitor kecepatan, ritme, kedalaman,dan usaha
pasien saat bernafas
Monitor suara nafas seperti snoring
Posisikan pasien semi fowler
Berikan HE tentang pengobatan : indikasi , dosis,
frekuensi , dan kemungkinan efek samping.
Kolaborasi dalam pemberian terapi oksigen
Wiley, John dan Sons Ltd. 2009. NANDA International : 2009-2011. United
Kingdom : Markono Print Media.
Smeltzer. Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth. Edisi 8. Volume 3. Jakarta : EGC.