Anda di halaman 1dari 41

TUGAS KEGAWATDARURATAN TENTANG PEMBERIAN NUTRISI

PADA PASIEN KRITIS

UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH KEGAWATDARURATAN


II

NAMA KELOMPOK:

1. Kiki Dwi Lestari (1520019)


2. Yega Laksintia Gista (1520039)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KEPANJEN

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN

2019
KATA PENGANTAR

Pertama-tama kami mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan YME, atas
berkat dan rahmat-NYA kami dapat menyelesaikan Makalah kegawat daruratan
ini yang berjudul “Pemberian Nutrisi pada Pasien Kritis Berdasarkan Evidence
Based” dapat di buat dan disampaikan tepat pada waktunya.
Adapun penulisan ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas
Keperawatan Gawat Darurat. Kami juga berharap dengan adanya makalah ini
dapat menjadi salah satu sumber literatur atau sumber informasi pengetahuan bagi
pembaca.
Namun kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu, kami memohon maaf jika ada hal-hal yang kurang berkenan dan
kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk menjadikan
ini lebih sempurna. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Penyusun
Daftar Isi

Kata Pengantar .............................................................................................. ......i

Daftar Isi........................................................................................................ .....ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ........................................................................................ .....1


1.2 Rumusan Masalah ................................................................................... .....3
1.3 Tujuan .................................................................................................... .....3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 definisi dari nutrisi....................................................................................4


2.2 Assesment kebutuhan nutrisi pada pasien kritis.......................................4
2.3 tujuan pemberian nutrisi pada pasien kritis..............................................6
2.4 macam-macam nutrisi pada pasien kritis..................................................6
2.5 penentuan kebutuhan nutrisi pada pasien kritis. ......................................9
2.6 Waktu Pemberian Nutrisi pada Pasien Kritis...........................................14
2.7 Pertimbangan Jalur Pemberian Nutrisi Oral, Epiteral dan Parenteral.......18
2.8 Monitoring Dan Evaluasi Pemberian Nutrisi Pada Pasien Kritis..............30
BAB III TINJAUAN KASUS

3.1 Studi Kasus ............................................................................................. .....33

BAB IV KASUS

4.1 Pembahasan Kasus .................................................................................. .....37

BAB V PENUTUP

4.1 Kesimpulan ............................................................................................. .....38


4.2 Saran ...................................................................................................... .....38

Daftar Pustaka ............................................................................................... .....39


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pasien kritis adalah pasien yang secara fisiologis tidak stabil, sehingga
mengalami respon hipermetabolik kompleks terhadap trauma, sakit yang
dialami akan mengubah metabolisme tubuh, hormonal, imunologis dan
homeostasis nutrisi. Pasien dengan sakit kritis yang dirawat di ruang Intensive
Care Unit (ICU) sebagian besar menghadapi kematian, mengalami kegagalan
multi organ, menggunakan ventilator, dan memerlukan support tekhnologi.
Salah satu hal penting yang harus diperhatikan adalah pemenuhan kebutuhan
nutrisi untuk melepas ketergantungan ventilator, mempercepat penyembuhan
dan memperpendek lama rawat. Namun selama ini, hal tersebut tidak banyak
diperhatikan karena yang menjadi fokus perawatan adalah mempertahankan
homeostatis tubuh. Pasien kritis seringkali mengalami stress akibat trauma,
cedera, pembedahan, sepsis dan penyakitnya sehingga mengakibatkan
peningkatan metabolisme dan katabolisme yang berujung pada malnutrisi.
Kondisi malnutrisi dapat meningkatkan kematian dan komplikasi serta
memperlama lama rawat, biaya dan waktu penyembuhan. Hal ini didukung
penelitian dari O Daly (2010) tentang pasien dengan fraktur panggul yang
disertai gangguan malnutrisi energi protein memiliki prevalensi kematian 9,8
% jika dibandingkan dengan pasien dengan fraktur panggul tanpa disertai
gangguan malnutrisi energy protein. Hampir semua pasien kritis mengalami
anoreksia atau ketidakmampuan makan karena penurunan kesadaran,
pemberian sedasi, dan terintubasi. Pasien yang tidak dapat makan atau tidak
boleh makan harus tetap mendapat masukan nutrisi melalui cara enteral
dengan selang nasogastric (NGT) maupun selang oralgastrik (OGT) atau cara
parenteral (intravena) baik itu menggunakan vena central maupun perifer.
Survey yang dilakukan pada tahun 2011 di Inggris menunjukkan bahwa
terjadi perubahan trend dalam peningkatan penggunaan EN di ICU dan
pengurangan penggunaan PN terbukti dari 1286 pasien, 707 pasien
menggunakan EN, 147 menggunakan PN, 274 menggunakan EN dan PN dan
158 belum memperhatikan nutrisi sesuai kebutuhan pasien. Oleh karena itu
support nutrisi yang tepat sangat penting pada pengelolaan pasien sakit kritis
yang dapat diberikan secara enteral (EN), parenteral (PN) atau bersama-sama
enteral dan parenteral sehingga kebutuhan akan zat gizi makro dan zat gizi
mikro dapat terpenuhi. (Setianingsih & Anna, 2014)

Malnutrisi adalah masalah umum yang dijumpai pada kebanyakan pasien y


ang masuk ke rumah sakit.Malnutrisi mencakup kelainan yang disebabkan ole
h defisiensi asupan nutrien, gangguan metabolismenutrien, atau kelebihan nutr
isi. Sebanyak 40% pasiendewasa menderita malnutrisi yang cukup serius yang
dijumpai pada saat mereka tiba di rumah sakit dan dua pertiga dari semua pasi
en mengalami perburukan status nutrisi selama mereka dirawat di rumah sakit.
Untuk pasien kritis yang dirawat di Intensive Care Unit (ICU)sering kali men
erima nutrisi yang tidak adekuat akibatdokter salah memperkirakan kebutuhan
nutrisi dari pasien dan juga akibat keterlambatan memulai pemberian nutrisi. P
asien-pasien yang masuk ke ICU umumnya bervariasi, yaitu pasien elektif pas
ca operasi mayor, pasien emergensi akibat trauma mayor, sepsis atau gagal na
pas. Kebanyakan dari pasien-pasien tersebut ditemukan malnutrisi sebelum di
masukkan ke ICU. Keparahan penyakit dan terapinya dapat mengganggu asup
an makanan normal dalam jangka waktu yang lama. Selanjutnya, lamanya ting
gal di ICUdan kondisi kelainan sebelumnya, seperti alkoholisme dan kanker d
apat memperburuk status nutrisi. Respon hipermetabolik komplek terhadap tra
uma akan mengubah metabolisme tubuh, hormonal, imunologisdan homeostas
is nutrisi. Efek cedera atau penyakit berat terhadap metabolisme energi, protei
n, karbohidrat dan lemak akan mempengaruhi kebutuhan nutrisi pada pasien s
akit kritis (Wiryana, 2007).

Malnutrisi sering dikaitkan dengan peningkatan morbiditas, mortalitas


akibat perburukan pertahanan tubuh, ketergantungan dengan ventilator, tinggi
angka infeksi dan penyembuhan luka yang lama,sehingga menyebabkan lama
rawat pasien memanjang dan peningkatan biaya perawatan. Malnutrisi juga di
kaitkan dengan meningkatnya jumlah pasien yang dirawat kembali. Pentingny
a nutrisi terutama pada perawatan pasien-pasien kritis mengharuskan para kli
nisi mengetahui informasi yang benar tentang faktor-faktor yang mempengar
uhi manajemen pemberian nutrisi dan pengaruh pemberian nutrisi yang adeku
at terhadap outcome penderita kritis yang dirawat di ICU.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa definisi dari nutrisi?
2. Bagaimana Assesment kebutuhan nutrisi pada pasien kritis?
3. Apa saja tujuan pemberian nutrisi pada pasien kritis?
4. Apa saja macam-macam nutrisi pada pasien kritis?
5. Bagaimana penentuan kebutuhan nutrisi pada pasien kritis?
6. Kapan Waktu Pemberian Nutrisi pada Pasien Kritis?
7. Apa saja Pertimbangan Jalur Pemberian Nutrisi Oral, Epiteral Dan
Parenteral?
8. Apa saja Monitoring Dan Evaluasi Pemberian Nutrisi Pada Pasien Kritis?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi dari nutrisi.
2. Untuk mengetahui Assesment kebutuhan nutrisi pada pasien kritis.
3. Untuk mengetahui tujuan pemberian nutrisi pada pasien kritis.
4. Untuk mengetahui Apa saja macam-macam nutrisi pada pasien kritis.
5. Untuk mengetahui penentuan kebutuhan nutrisi pada pasien kritis.
6. Untuk mengetahui Waktu Pemberian Nutrisi pada Pasien Kritis.
7. Untuk mengetahui Pertimbangan Jalur Pemberian Nutrisi Oral, Epiteral
dan Parenteral.
8. Untuk mengetahui Monitoring Dan Evaluasi Pemberian Nutrisi Pada
Pasien Kritis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Nutrisi


Yang dimaksud zat gizi (nutrien) adalah ikatan ilmia yang diperlukan
tubuh untuk melakukan fungsinya yaitu energy, membangun dan memelihara
jaringan, serta mengatur proses-proses kehidupan (Yuniar, 2014). Nutrisi
merupakan suatu proses organisme menggunakan makanan yang dikonsumsi
secara normal melalui proses degesti, absorbs, transportasi, penyimpanan,
metabolisme, dan pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan untuk
mempertahankan kehidupan, perumbuhan, dan fungsi normal dari organ-
organ, serta menghasilkan energy.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian nutrisi yaitu :
1. Biokimia komposisi nutrisi
2. Proses metabolisme dalam sel
3. Kapan mulai NPE
4. Lama pemberian
5. Cara menghitung kebutuhan
6. Memilih komposisi cairan
7. Membuat skema terapi
8. Monitoring
9. Mencegah atau mengatasi komplikasi

2.2 Assessment Kebutuhan Nutrisi Pada Pasien Kritis.


Pada penderita sakit kritis ditemukan peningkatan pelepasan mediator-
mediator inflamasi atau sitokin (misalnya IL-1, IL-6, dan TNF) dan
peningkatan produksi “counter regulatory hormone”(misalnya katekolamin,
kortisol, glukagon, hormon pertumbuhan), sehingga menimbulkan efek pada
status metabolik dan nutrisi pasien. Status nutrisi adalah fenomena
multidimensional yang memerlukan beberapa metode dalam penilaian,
termasuk indikator-indikator yang berhubungan dengan nutrisi, asupan nutrisi
dan pemakaian energi, seperti Body Mass Index (BMI), serum albumin,
prealbumin, hemoglobin, magnesium dan fosfor. Pengukuran antropometrik
termasuk ketebalan lapisan kulit (skin fold) permukaan daerah trisep (triceps
skin fold, TSF) dan pengukuran lingkar otot lengan atas (midarm muscle
circumference, MAMC), tidak berguna banyak pada pasien sakit kritis karena
ukuran berat badan cenderung untuk berubah.
Jenis protein yang paling sering diukur adalah albumin serum. Level
albumin yang rendah merefleksikan status nutrisi penderita yang
dihubungkan dengan proses penyakit dan atau proses pemulihan. Pada pasien
kritis terjadi penurunan síntesa albumin, pergeseran distribusi dari ruangan
intravaskular ke interstitial, dan pelepasan hormon yang meningkatkan
dekstruksi metabolisme albumin. Level serum pre-albumin juga dapat
menjadi petunjuk yang lebih cepat adanya suatu stres fisiologik dan sebagai
indikator status nutrisi. Level serum hemoglobin dan trace elements seperti
magnesium dan fosfor merupakan tiga indikator biokimia tambahan.
Hemoglobin digunakan sebagai indikator kapasitas angkut oksigen,
sedangkan magnesium atau fosfor sebagai indikator gangguan pada jantung,
saraf dan neuromuskular. Selain itu Delayed hypersensitivity dan Total
Lymphocyte Count (TLC) adalah dua pengukuran yang dapat digunakan
untuk mengukur fungsi imun sekaligus berfungsi sebagai screening.
Penilaian global subyektif (Subjective global assessment/SGA) juga
merupakan alat penilai status nutrisi, karena mempertimbangkan kebiasaan
makan, kehilangan berat badan yang baru ataupun kronis, gangguan
gastrointestinal, penurunan kapasitas fungsional dan diagnosis yang
dihubungkan dengan asupan yang buruk. Penilaian jaringan lemak subkutan
dan penyimpanannya dalam otot skelet juga merupakan bagian dari SGA, dan
bersama dengan evaluasi edema dan ascites, membantu untuk menegakkan
kemungkinan malnutrisi sebelumnya. Level stres pada pasien sakit kritis juga
harus dinilai karena bisa memperburuk status nutrisi penderita secara
keseluruhan (Yuniar, 2014).
2.3 Tujuan pemberian nutrisi pada pasien kritis.
Tujuan pemberian dukungan nutrisi pada kondisi sakit kritis dan sepsis adalah
:
1. Meminimalkan imbang negatif kalori dan protein dan kehilangan protein
dengan caramenghindari kondisi starvasi.
2. Mempertahankan fungsi jaringan, khususnya hati, sistem imun, sistem
otot, dan otot-ototpernafasan.
3. Memodifikasi perubahan-perubahan metabolik dan fungsi metabolik
dengan menggunakansubstrat khusus.
4. Tujuan dukungan nutrisi bagi pasien sakit kritis (The American Society for
Parenteral and Enteral Nutrition) adalah :
5. Menyediakan dukungan nutrisi yang konsisten dengan kondisi medis
pasien dan ketersediaanrute pemberian nutrisi.
6. Mencegah dan mengatasi defisiensi makronutrian dan mikronutrien.
7. Menyediakan dosis nutrien yang sesuai dengan metabolisme yang telah
ada.
8. Menghindari komplikasi yang berhubungan dengan teknik pemberian
nutrisi.
9. Meningkatkan outcome pasien; mengurangi morbiditas, mortalitas dan
waktu penyembuhan. (Yuniar, 2014)
2.4 Macam-macam nutrisi pada pasien kritis.
1. Karbohidrat
Karbohidrat merupakan sumber energi yang penting. Setiap gram
karbohidrat menghasilkan kurang lebih 4 kalori. Asupan karbohidrat di
dalam diet sebaiknya berkisar 50% –60% dari kebutuhan kalori. Dalam
diet, karbohidrat tersedia dalam 2 bentuk: pertama karbohidrat yang dapat
dicerna, diabsorbsi dan digunakan oleh tubuh (monosakarida seperti
glukosa dan fruktosa;disakarida seperti sukrosa, laktosa dan
maltosa;polisakarida seperti tepung, dekstrin, glikogen) dan yang kedua
karbohidrat yang tidak dapat dicerna seperti serat. Glukosa digunakan oleh
sebagian besar sel tubuh termasuk susunan saraf pusat, saraf tepi dan sel-
sel darah. Glukosa disimpan di hati dan otot skeletal sebagai glikogen.
Cadangan hati terbatas dan habis dalam 24 –36 jam melakukan puasa. Saat
cadangan glikogen hati habis, glukosa diproduksi lewat glukoneogenesis
dari asam amino (terutama alanin), gliserol dan laktat. Oksidasi glukosa
berhubungan dengan produksi CO2 yang lebih tinggi, yang ditunjukkan
oleh RQ (Respiratory Quotient) glukosa lebih besar dari pada asam lemak
rantai panjang. Sebagian besar glukosa didaur ulang setelah mengalami
glikolisis anaerob menjadi laktat kemudian digunakan untuk
glukoneogenesis hati. Kelebihan glukosa pada pasien keadaan
hipermetabolik menyebabkan akumulasi glukosa dihati berupa glikogen
dan lemak. Meskipun turnover glukosa meningkat pada kondisi stres,
metabolisme oksidatif tidak meningkat dalam proporsi yang sama. Oleh
karena itu kecepatan pemberian glukosa pada pasien dewasa maksimal 5
mg/kgbb/menit.
2. Lemak
Komponen lemak dapat diberikan dalam bentuk nutrisi enteral
ataupun parenteral sebagai emulsi lemak. Pemberian lemak dapat
mencapai 30% –50% dari total kebutuhan. Satu gram lemak menghasilkan
9 kalori. Lemak memiliki fungsi antara lain sebagai sumber energi,
membantu absorbsi vitamin yang larut dalam lemak, menyediakan asam
lemak esensial, membantu dan melindungi organ-organ internal,
membantu regulasi suhu tubuh dan melumasi jaringan-jaringan tubuh.
Pemberian kalori dalam bentuk lemak akan memberikan keseimbangan
energi dan menurunkan insiden dan beratnya efek samping akibat
pemberian glukosa dalam jumlah besar. Penting juga bagi kita untuk
memperkirakan komposisi pemberian lemak yang berhubungan dengan
proporsi dari asam lemak jenuh (SFA), asam lemak tidak jenuh tunggal
(MUFA), asam lemak tidak jenuh ganda (PUFA) dan rasio antara asam
lemak esensial omega 6 dan omega 3 dan komponen antioksidan. Selama
hari-hari pertama pemberian emulsi lemak khususnya pada pasien yang
mengalami stres, dianjurkan pemberian infus selambat mungkin, yaitu
untuk pemberian emulsi Long Chain Triglyseride (LCT) kurang dari 0,1
gram/kgbb/jam dan emulsi campuran Medium Chain Triglyseride
(MCT)/Long Chain Triglyseride (LCT) kecepatan pemberiannya kurang
dari 0,15 gram/kgbb/jam. Kadar trigliserida plasma sebaiknya dimonitor
dan kecepatan infus selalu disesuaikan dengan hasil pengukuran.
3. Protein (asam asam amino)
Recommended Dietary Allowance (RDA) untuk protein adalah 0,8
g/kgbb/hari atau kurang lebih 10% dari total kebutuhan kalori. Para ahli
merekomendasikan pemberian 150 kkal untuk setiap gram nitrogen (6,25
gram protein setara dengan 1 gram nitrogen). Kebutuhan ini didasarkan
pada kebutuhan minimal yang dibutuhkan untuk mempertahankan
keseimbangan nitrogen. Dalam sehari kebutuhan nitrogen untuk
kebanyakan populasi pasien di ICU direkomendasikan sebesar 0,15 – 0,2
gram/kgbb/hari. Ini sebanding dengan 1 – 1,25 gram protein/kgbb/hari.
Beratnya gradasi hiperkatabolik yang dialami pasien seperti luka bakar
luas, dapat diberikan nitrogen sampai dengan 0,3 gram/kgbb/hari.
Kepustakaan lain menyebutkan rata-rata kebutuhan protein pada dewasa
muda sebesar 0,75 gram protein/kgbb/hari. Namunbselama sakit kritis
kebutuhan protein meningkat menjadi 1,2 – 1,5 gram/kgbb/hari. Pada
beberapa penyakit tertentu, asupan protein harus dikontrol, misalnya
kegagalan hati akut dan pasien uremia, asupan protein dibatasi sebesar 0,5
gram/kgbb/hari. Kebutuhan protein pada pasien sakit kritis bisa mencapai
1,5 – 2 gram protein/kgbb/hari, seperti pada keadaan kehilangan protein
dari fistula pencernaan, luka bakar, dan inflamasi yang tidak terkontrol.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Elwyn yang hanya menggunakan
dekstrosa 5% nutrisi, menunjukkan bahwa perbedaan kecepatan
kehilangan nitrogen berhubungan dengan tingkat keparahan penyakit.
Disamping itu, keseimbangan nitrogen negatif lebih tinggi 8 kali pada
pasien dengan luka bakar, dan 3 kali lipat pada sepsis berat apabila
dibandingkan dengan individu normal. Data ini dengan jelas
mengindikasikan pertimbangan kondisi penyakit ketika mencoba untuk
mengembalikan keseimbangan nitrogen.
4. Mikronutrien
Pasien sakit kritis membutuhkan vitamin-vitamin A, E, K, B1
(tiamin), B3 (niasin), B6 (piridoksin), vitamin C, asam pantotenat dan
asam folat yang lebih banyak dibandingkan kebutuhan normal sehari-
harinya. Khusus tiamin, asam folat dan vitamin K mudah terjadi defisiensi
pada TPN. Dialisis ginjal bisa menyebabkan kehilangan vitamin-vitamin
yang larut dalam air. Selain defisiensi besi yang sering terjadi pada pasien
sakit kritis dapat juga terjadi defisiensi selenium, zinc, mangan dan copper.
5. Nutrisi tambahan
Nutrisi tambahan adalah beberapa komponen sebagai tambahan
pada larutan nutrisi untuk memodulasi respon metabolik dan sistim imun,
walaupun signifikansinya belum bisa disimpulkan. Komponen tersebut
termasuk growth hormone, glutamine,branched chain amino acids (asam
amino rantai panjang), novel lipids, omega-3fatty acids, arginine,
nucleotides. Namun perlu di waspadai khususnya L-arginine yang sering
disebut sebagai immune-enhancing diets, dapat memperburuk sepsis,
karena L-arginine akan meningkatkan NO yang dapat meningkatkan reaksi
inflamasi, vasodilatasi, gangguan motilitas usus dan gangguan integritas
mukosa, serta gangguan respirasi. (Heyland DK dkk) menyimpulkan
bahwa imunonutrisi dapat menurunkan komplikasi infeksi, tapi tidak
berhubungan dengan mortalitas secara umum. (Wiryana, 2007)

2.5 Penentuan kebutuhan nutrisi pada pasien kritis.

Tunjangan nutrisi yang tepat dan akurat pada pasien sakit kritis dapat
menurunkan angka kematian. Terdapat dua tujuan dasar dari tunjangan nutrisi
yaitu:

1. Mengurangi konsekuensi respon berkepanjangan terhadap jejas yaitu starv


ation dan infrastruktur.

2. Mengatur respon inflamasi, penentuan status nutrisi pada pasien kritis hen
daknya dilakukan berulang ulang untuk menentukan kecukupan nutrisi dan
untuk menentukan tunjangan nutrisi selanjutnya. Pemeriksaan yang berula
ng - ulang ini penting karena 16-20% pasien yang dirawat di ruang Intensif
mengalami defisiensi makronutrien 48jam setelah dirawat. Disamping itu
disfungsi/gagal organ multiple dapat terjadi sesudah trauma, sepsis atau ga
gal nafas yang berhubungan dengan hipermetabolisme yang berlangsung l
ama.

Para klinisi perlu mengetahui bagaimana cara menghitung energi (k


alori), protein,lemak, elektrolit, vitamin, trace- elemen dan air. Berikut ini
beberapa cara menghitung kebutuhan nutrisi.

a. Metabolic Chart- Indirect Calorimetry Resting Energy Expenditur (RE


E). [(konsentrasi O2)(0,39) + (produksi CO2)(1,11)] x 1440.

Rumus ini kurang akurat pada pasien-pasien dengan FiO2 lebih dari 4
0%

b. Rumus Harris & Benedict : [3,4]


 Kebutuhan energi dasar (BMR)

BMR pria = 66.0 + 13.7 x BB + 5 x T – 6.8 x U Kcal/hari


BMR wanita = 655 + 9.6 x BB + 1.7 x T – 4.7 x U Kacl/hari

BB = Berat badan (Kg)

T = Tinggi (cm)

U = Usia (tahun)

 Kebutuhan energi aktual (AEE) [3,4]

AEE = BMR x AF x IF x TF

AF = Activity Factor (faktor aktivitas)

IF = Injury Factor

TF = Termal Factor
Tabel Faktor Koreksi

FAKTOR AKTIFITAS (AF) Koreksi

 Istirahat tidur (bed rest) 1,2

 Mobilisasi 1,3

FAKTOR PEMBEBANAN (IF) Koreksi

 Tanpa komplikasi 1,0

 Paska bedah 1,1

 Patah tulang 1,2

 Sepsis 1,3

 Peritonitis 1,4

 Multi trauma 1,5

 Multi trauma + sepsis 1,6

 Luka bakar 30 – 50% 1,7

 Luka bakar 50 – 70% 1,8

 Luka bakar 70 – 90% 2,0

FAKTOR SUHU (TF) Koreksi

 38OC 1,1

 39OC 1,2

 40OC 1,3

 41OC 1,4
c. Kebutuhan kalori
Untuk menentukan kebutuhan kalori perlu mengatahui gambaran fisiologis
dari keadaan hiperkatabolik. Dalam keadaan hiperkatabolik terjadi
peningkatan produksi panas, peningkatan kebutuhan energi (meningkat 25
– 50%), meningkatnya kecepatan nafas, dan meningkatnya kecepatan
nadi.
Kebutuhan kalori (kcal/kg BB) : 25 – 30 kcal/kg BB
Glukosa merupakan substrat kalori primer, sedangkan kebutuhan lemak
sekitar 15 – 40%. Dalam menentukan kebutuhan kalori harus dihindari
terjadinya hiperglikemia.
d. Kebutuhan nitrogen
Menghitung balance nitrogen dengan menggunakan urea urine 24 jam dan
dalam hubungannya dengan urea darah dan Albumin. Tiap gram nitrogen
yang dihasilkan menggunakan energy sebesar 100-150 kkal. Nitrogen
dibutuhkan pada penderita-penderita dengan :
1. hipermetabolik, stress dan penderita yang mengalami trauma.

2. Penderita yang mengalami ekskresi urea sebesar 85% dari protein tubu
h yang mengalami pemecahan.

3. Idealnya pemberian nitrogen harus :

1) Seminimal mungkin sesuai dengan yang hilang

2) Cukup untuk mempertahankan masa tubuh

3) Nitrogen cukup untuk penyembuhan

4) Cukup adekwat untuk penyembuhan

5) Rata-rata kebutuhan nitrogen 14 - 16 gm/hari (90 – 100 g r protein)


(1 gr nitrogen = 6.25 gr protein = 30 gr jaringan)

Tabel Ringkasan Rekomendasi Kebutuhan Macronutrien Untuk


Pasien ICU

Substrat Nutrisi Jumlah

20 – 25 cc/kg/hari fase kritis


Air
30 – 50 cc/kg/hari fase recovery
20 – 25 kcal/kg/hari fase akut dari sakit kritis
Energi
30 – 50 kcal/kg/hari fase recovery
1,2 – 1,5 g/kg/hari
1.2-2.0g protein/kg (BMI<30kg/m2)
Protein / asam amino
2g/kg ideal weight (BMI 30-40kg/m2)
2.5g/kg ideal weight (BMI >40kg/m2)

Na 1 – 2 mEq / kg / hari

K 1mEq/kg/hari

Glukosa 3-5 g/kg

0.7-1.5g/kg.
Lemak
0.8-1g/kg in sepsis/SIRS.

Penetapan Resting Energy Expenditure (REE) harus dilakukan sebelum


memberikan nutrisi. REE adalah pengukuran jumlah energy yang dikeluarkan
untuk mempertahankan kehidupan pada kondisi istirahat dan 12 - 18 jam setel
ah makan. REE sering juga disebut Basal Metabolic Rate (BMR), Basal Ener
gy Requirement (BER), atau Basal Energy Expenditure (BEE). Perkiraan RE
E yang akurat dapat membantu mengurangi komplikasi akibat kelebihan pem
berian nutrisi (overviding) seperti infiltrasi lemak ke hati dan pulmonary com
promise.
2.6 Waktu Pemberian Nutrisi pada Pasien Kritis
Ada empat waktu pemberian nutrisi yang akan dibahas yaitu Early Enteral
Nutrition, Late Enteral Nutrition, Early Parenteral Nutrition dan Late
Parenteral Nutrition. Early Enteral Nutrition (EEN) adalah pemberian nutrisi
enteral yang dimulai sejak pasien masuk ICU hingga 24 jam pertama. Late
Enteral Nutrition (LEN) merupakan pemberian EN pada pasien yang dimulai
setelah 3 hari pasien dirawat di ICU. Pengertian Early Parenteral Nutrition
(EPN) yaitu nutrisi yang diberikan secara parenteral sejak pasien masuk ICU
hingga 24 jam pertama, sedangkan Late Parenteral Nutrition (LPN) diartikan
sebagai proses pemberian nutrisi parenteral yang dimulai setelah pasien
dirawat 8 hari di ICU. Pemberian nutrisi secara awal atau Early EN lebih
baik dibandingkan Late EN. Hal ini terlihat pada kejadian kematian pada
pasien yang diberikan early EN dibandingkan dengan PN jumlahnya hampir
sama yaitu 8:7, sedangkan pemberian Late EN kejadian kematian lebih tinggi
dibandingkan PN yaitu 46 : 30 pasien. Pemberian EEN tinggi protein dapat
mengurangi komplikasi sepsis dan memperpendek penggunaan antibiotic).
Kondisi diatas berbeda dengan waktu pemberian parenteral nutrisi, bahwa
Late PN memiliki keuntungan lebih cepat sembuh dan komplikasi yang
terjadi lebih sedikit dibanding Early PN. Beberapa bukti menunjukkan bahwa
kematian pasien dengan Late PN lebih rendah dibandingkan Early PN yaitu
141: 146. Kondisi hipoglikemia lebih banyak terjadi pada penggunaan Late
PN yaitu 81 berbanding 45. Kejadian infeksi lebih sering terjadi pada Early
PN dibandingkan Late PN (605 : 531) yaitu 26,2 % : 22,8 %, infeksi yang
dapat terjadi antara lain infeksi pernafasan, saluran eliminasi urin, kondisi
luka dan hasil laboratorium darah. Durasi lama rawat ICU <15 hari pada late
PN lebih tinggi dibandingkan Early PN (1159:1060) dan jumlah pasien yang
menjalani terapi perbaikan ginjal pada Late PN lebih sedikit dibandingkan
Early PN (201 : 205) (Casaer, et al., 2011; Kerrie, 2012). Oleh karena itu
sebaiknya pasien kritis segera mendapatkan Early Enteral Nutrisi untuk
meminimalkan resiko komplikasi. Meskipun rute pemberian nutrisi secara
enteral selalu lebih dipilih dibandingkan parenteral, namun nutrisi enteral
tidak selalu tersedia, dan untuk kasus tertentu kurang dapat diandalkan atau
kurang aman. Nutrisi parenteral mungkin lebih efektif pada kasus-kasus
tertentu, asalkan diberikan dengan cara yang benar. (Setianingsih & Anna,
2014)
Dewasa ini telah banyak intensivist yang memberi nutrisi enteral pada
pasien dengan kondisi hemodinamik tidak stabil. Pemberian makanan enteral
secara dini mampu mengurangi angka kematian pasien menjadi lebih rendah.
Inisiasi pemberian nutrisi enteral dalam 48 jam pertama pada pasien dengan
ventilasi mekanis mampu mengurangi tingkat kematian di rumah sakit.
Pemberian nutrisi enteral awal namun kenyataannya pada pasien kondisi
hemodinamik tidak stabil yang ditunjukkan dengan penggunaan vasopressor,
para intensivist cenderung untuk menunda pemberian nutrisi enteral. Alasan
yang lain adalah pada pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil, telah
terjadi pembatasan pengiriman oksigen sehingga dengan meningkatkan
kebutuhan oksigen pencernaan dengan makanan enteral, maka akan dapat
terjadi iskemia usus.Alasan ini didasarkan penelitian pada hewan coba karena
penelitian pada manusia saat itu tidak mendapatkan hasil yang sesuai,
sehingga mereka merekomendasikan bahwa untuk pemberian nutrisi enteral di
awal sakit kritis pada dasarnya empiris.
Pada pasien dengan kondisi kritis, aliran darah menuju gastrointestinal
akan berkurang, sehingga aliran darah usus tetap tertekan meskipun
penggantian cairan dan normalisasi tekanan darah dan curah jantung.
Kejadian penurunan aliran darah dikaitkan dengan cedera iskemik, translokasi
bakteri, dan kegagalan organ multiple. Keyakinan bahwa pasien yang kondisi
hemodinamik tidak stabil yang menerima vasopressor tidak harus diberikan
nutrisi enteral didasarkan pada kekhawatiran bahwa penyerapan nutrisi
meningkatkan kebutuhan oksigen.
Pada pasien yang kondisi hemodinamik tidak stabil, peningkatan
permintaan secara teoritis bisa melebihi pasokan, yang mengarah ke
komplikasi lebih lanjut. Namun pada pemberian nutrisi enteral secara dini
justru dapat meningkatkan aliran darah ke saluran pencernaan. Fenomena ini
disebut sebagai hyperemic postprandial respons. Banyak penelitian telah
dilakukan pada hewan coba untuk mengetahui pengaruh hiperemia
postprandial selama iskemia splanknikus, seperti yang terjadi pada pasien
kritis, terutama yang mendapat pengobatan dengan vasopressor. Nutrisi
enteral terbukti mampu meningkatkan aliran darah splanknik meskipun dapat
meningkatkan konsumsi oksigen gastrointestinal, namun seiring
bertambahnya pengiriman oksigen akan menyebabkan peningkatan aliran
darah menuju gastrointestinal. Selanjutnya, proses fisiologis ini terbukti
dapat menurunkan angka kejadian translokasi bakteri dan meningkatkan
kelangsungan hidup. Dengan demikian, alasan untuk menunda pemberian
nutrisi enteral secara dini pada pasien dalam kondisi hemodinamik tidak
stabil menjadi tidak relevan lagi. (Kresnoadi, 2017)
Early enteral nutrition (early EN) adalah memberikan nutrisi enteral dalam
kurun waktu 24 jam pasien masuk ruang ICU/timbulnya critical
illness. Early EN terbukti dapat mencegah kerusakan yang timbul pada
saluran pencernaan terutama fili-fili usus yang diakibatkan oleh puasa. Hal ini
dapat memberikan keuntungan secara klinis dan telah dibuktikan oleh banyak
penelitian dan review meta-analysis. Early EN terbukti dapat menurunkan
angka mortalitas dan pneumonia serta dapat mempertahankan fungsi imunitas
pada pencernaan. Targetearly EN adalah memberikan formula enteral rata-
rata 32ml/jam kemudian meningkatkan secara bertahap sesuai daya terima
pasien terhadap pemberian makanan enteral.
Berdasarkan kajian meta analysis terhadap beberapa penelitian dengan
disain RCT membuktikan bahwa early feeding pada pasien dapat menurunkan
kejadian komplikasi infeksi dan lama perawatan di ICU. Turunnya kejadian
komplikasi infeksi dikarenakan dengan pemberianearly feeding dapat
mempertahankan dan meningkatakan imunitas tubuh pada kondisi kritis.
Disarankan bahwa pemberian nutrisi enteral pada pasien di ICU dilakukan
dalam waktu 12 jam sejak masuknya pasien, dalam kondisi kritis seperti
apapun. Tidak ada manfaat yang dapat dibuktikan dengan melakukan
penundaan support nutrisi pada pasien. Intake kalori yang disarankan pada
pasien sepsis adalah 25-30 kkal/kgBB/hari dengan asupan protein sebanyak
1,5g/kgBB/hari. Beberapa penelitian eksperimental menyatakan bahwa
memberikan asupan berdasarkanmetabolic expenditure/BMR saja dapat
memperparah kondisi inflamasi dan meningkatkan resiko mortalitas pada
pasien dengan sepsis. Prinsip manajemen nutrisi pada pasien sepsis yang
terbaik adalah: do it early, do it gastrically, do it with immune-enhancingdiet
and do it slowly . Tujuan dari enteral feedingadalah untuk memenuhi
kebutuhan kalori dan zat gizi pasien tanpa menimbulkan efek yang
memperparah kondisi/keluhan pasien. Keputusan untuk enteral
feeding meliputi antara lain:

Rute: gastric vs jejunal à biasanya rute melalui gastric lebih aman karena
mudah menempatkan dan memonitor pipa makanan (simple), rute melalui
jejunal membutuhkan waktu yang lebih banyak dan harus mendapatkan
verifikasi dan panduan secara radiologis (kompleks)Formula enteral:
kebutuhan nutrient spesifik pada pasienJumlah dan frekuensi pemberian
formula: bolus vs continuous à pemberian dengan cara bolus tidak boleh pada
pemberian rute via jejunal

Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa pengosongan lambung


membutuhkan waktu pemanasan atau pemberian makan pada pasien
dengan enteral feeding harus dilakukan secara perlahan dengan jumlah yang
sedikit. Pemberianenteral feeding yang dimulai dengan perlahan dan jumlah
sedikit oleh tenaga medis bertujuan untuk mengevaluasi kegagalan pemberian
makan, namun pada kenyataannya sebelum hasil didapatkan biasanya
kekurangan gizi/wasting yang terjadi pasien sudah menjadi terlalu parah dan
memperburuk kondisi pasien. Oleh karena pertimbangan tersebut, maka
pemberian enteral feeding dengan cara tetesan perlahan sebaiknya diabaikan
karena tidak ada perbedaan outcome pasien yang relevan antara pemberian
makan dengan perlahan dan sedikit-sedikit dibandingkan dengan segera
memberikan makanan sesuai target kebutuhan pasien. Justru dengan
memberikan jumlah asupan makanan segera dan sesuai dengan target
kebutuhan pasien akan menguntungkan bagi kondisi pasien secara umum dan
tenaga medis untuk mengetahui batasan toleransi pemberian feeding enteral
pada pasien dan dengan cepat mengetahui penyesuaian yang harus dilakukan
setelahnya.

2.7 Pertimbangan Jalur Pemberian Nutrisi Oral, Epiteral Dan Parenteral


a. Nutrisi Oral
Nutrisi oral adalah nutrisi yang diberikan lewat mulut kepada penderita
yang masih bisa menelan cukup makanan dan keberhasilannya
memerlukan kerjasama yang baik antara dokter, ahli gizi, penderita dan
keluarga.
Indikasi :
Diberikan pada pasien yang memiliki gangguan mobilitas tetapi masih
sadar
Kontraindikasi :
Tidak dapat diberikan pada pasien koma,CA nasofaring, CA
mandibularis.
b. Nutrisi Enteral
Nutrisi enteral merupakan salah satu terapi tambahan pada pasien-
pasien dengan penyakit kritis dengan fungsi gastrointestinal baik namun
intake oral tidak dapat diberikan. Keuntungan nutrisi enteral adalah
meningkatkan integritas mukosa intestinal absorbs nutrisi, memperbaiki
respon metabolik dan imun, dan komplikasi serta harga lebih kurang
bila dibandingkan dengan nutrisi parentral. Namun, hal-hal tersebut
seringkali bertentangan dengan kondisi pasien-pasien kritis. Misalnya
pada pasien-pasien dengan penurunan sekunder fungsi motilitas
gastrointestinal pada pasien pasca operasi ileus, statis gaster, khususnya
pada kondisi sepsis, trauma, shock, dan gagal organ. Hal itu juga
ditunjukkan pada kondisi dimana terjadi penurunan fungsi peristaltik
misalnya pada pasien dengan penggunaan ventilator mekanik, sedasi,
dan penggunaan antibiotik dan obat-obatan lainnya ( Hasir, et al., 2014)
peranan nutrisi enteral sebagai nutrisi pokok atau suplemen dalam
memperbaiki status nutrisi pasien yang dirawat di bidang ilmu penyakit
dalam atau perawatan intensif. Pemberian secara enteral akan
mempertahankan fungsi pencernaan dan penyerapan saluran makanan
dan juga mempertahankan penghalang imunologik yang ada pada usus,
mencegah organisme dalam usus menyerang tubuh. Walaupun banyak
keuntungan dari nutrisi enteral, pemberian nutrisi nasogastrik bukan
tanpa resiko khususnya pada pasien sakit kritis atau pasien cedera.
Kemungkinan komplikasi akibat ketidaktepatan dalam pemberian
nutrisi enteral diantaranya retensi lambung, aspirasi paru, nausea,
muntah. Kemungkinan penyebabnya adalah karena penundaan
pengosongan lambung, posisi berbaring pasien selama pemberian
nutrisi, peningkatan kecepatan, volume dan konsentrasi. (Munawaroh,
et al., 2012)

Nutrisi enteral/ Enteral Nutrition (EN) adalah nutrisi yang


diberikan pada pasien yang tidak dapat memenuhi kebutuhan nutrisinya
melalui rute oral, formula nutrisi diberikan melalui tube ke dalam
lambung (gastric tube), nasogastrik tube (NGT), atau jejunum dapat
secara manual maupun dengan bantuan pompa mesin (gastrostomy dan
jejunum percutaneous) Teknik pemasangan selang untuk memberikan
nutrisi secara enteral dalam penelitiannya yaitu terdapat beberapa teknik
untuk memasukkan selang nasoenterik melalui nasogastric,
nasoduodenum, atau nasojejunum, namun sebaiknya menggunakan
teknik PEG (Percutaneous Endoscopic Gastrostomy) karena
komplikasinya lebih sedikit. Teknik lain yang dapat digunakan adalah
laparoskopi jejunustomi atau gastrojejunustomy. Akan tetapi, sebagian
besar pasien toleran terhadap pemasangan selang nasoenteric secara
manual. Metode pemberian nutrisi enteral ada 2 yaitu gravity drip
(pemberian menggunakan corong yang disambungkan ke selang
nasogastric dengan kecepatan mengikuti gaya gravitasi) dan
intermittent feeding (pemberian nutrisi secara bertahap yang diatur
kecepatannya menggunakan syringe pump). Metode intermittent
feeding lebih efektif dibandingkan metode gravity drip, hal ini dilihat
dari nilai mean volume residu lambung yang dihasilkan pada
intermittent feeding lebih sedikit dibandingkan gravity drip yaitu 2,47
ml : 6,93 ml. Hal ini dikarenakan kondisi lambung yang penuh akibat
pemberian secara gravity drip akan memperlambat motilitas lambung
dan menyebabkan isi lambung semakin asam sehingga akan
mempengaruhi pembukaan spinkter pylorus. Efek dari serangkaian
kegiatan tersebut adalah terjadinya pengosongan lambung (Munawaroh,
et al., 2012). Volume residu lambung yang dihasilkan dari nutrisi
enteral hingga 500 ml masih dikategorikan normal karena tidak
menimbulkan komplikasi gastrointestinal dan diet volume rasio (diet
yang diberikan) pada pasien yang terpasang ventilator dengan nutrisi
enteral tidak berpengaruh terhadap produksi volume residu lambung .
Nutrisi enteral sebaiknya diberikan pada semua pasien kritis kecuali
pasien mengalami distensi abdomen, perdarahan gastrointestinal, diare
dan muntah. Nutrisi enteral yang diberikan pada pasien dengan
gangguan gastrointestinal dapat menyebabkan ketidakcukupan
pemenuhan nutrisi dan berisiko terjadi malnutrisi. Penelitian lain
mengenai banyaknya penggunaan nutrisi enteral bagi pasien bahwa
terdapat protocol tentang pemberian nutrisi bagi pasien kritis dengan
algoritma jika hemodinamik pasien telah stabil, lakukan penghitungan
kebutuhan nutrisi dengan memilih pemberian nutrisi secara enteral.
Penggunaan nutrisi enteral juga dapat meningkatkan status nutrisi
pasien, pada 48 pasien ICU yang mendapat enteral feeding adekuat
berupa energy selama 7 hari. Status nutrisi pasien-pasien tersebut
meningkat jika dibandingkan dengan pasien yang mendapat enteral
feeding dibawah kebutuhan. Selama perawatan dengan enteral feeding
yang adekuat terdapat penurunan nilai Body Mass Index (BMI),
prealbumin dan Percent Ideal Body Weight (PIBW)
Metode pemberian nutrisi enteral :

1. Intermiten
2. Bolus
3. Siklik
4. Kontinyu

Maurya I dkk., (2011) dalam penelitiannya terhadap 40 pasien


trauma kepala yang dibagi dalam 2 kelompok yaitu kelompok nutrisi
enteral intermittent dan nutrisi enteral kontinyu, dengan masing-masing
kelompok diberikan nutrisi 30 Kkal/KgBB/24 jam, juga didapatka tidak
ada perbedaan bermakna terhadap kadar GDS pada masing-masing
kelompok. Hasilnya menunjukkan bahwa early jejenul feeding dalam
waktu 36 jam menurunkan lama tinggal di rumah sakit sedangkan
pemberian makanan yang dimulai hari ke 4-5 setelah cedera kepala
tidak mengurangi frekuensi sepsis. Pada kedua penelitian ini ditemukan
bahwa early enternal nutrient secara nyata menurunkan komplikasi
septik.
Pemberian nutrisi secara enteral mempunyai keuntungan lebih
kecilnya kejadian hiperglikemia dan mempunyai efek protein melawan
ulserasi gaster yang kejadiannya meningkat pada pasien dengan cedera
kepala.Penggunaan nutrisi enteral dibandingkan dengan hasil nutrisi
parenteral penting dalam penurunan kejadian komplikasi infeksi pada
penyakit kritis dengan biaya yang lebih murah. Nutrisi enteral harus
menjadi pilihan pertama untuk dukungan nutrisi dalam penyakit
kritis.Pada kasus cedera otak traumatik berat, prognosis yang jelek
sangat berhubungan dengan nutrisi enteral yang diberikan setelah tiga
hari paska cedera dan prognosis lebih buruk lagi pada pasien yang
mendapatkan nutrisi enteral setelah tujuh hari. Ada beberapa teori
mengapa early enteral nutrition mempunyai keuntungan mengurangi
komplikasi septik. Pada binatang, enteral feeding akan mencegah atrofi
saluran cerna dan mempertahankan gut barrier yang mencegah
translokasi bakteri. Bila translokasi bakteri tidak terjadi pada manusia,
kerusakan gut barrier dapat menimbulkan pelepasan sitokin dan
complement, dimulainya systemic inflammatory response syndrome
(SIRS). Enteral feeding juga mempertahankan produksi secretory Ig A
(sIgA), jadi enteral feeding harus dimulai dalam 36-48 jam setelah
cedera. ( Hasir, et al., 2014)

Indikasi
• Pasien dengan malnutrisi berat yang akan menjalani pembedahan
saluran cerna bagian bawah.
• Pasien dengan malnutrisi sedang-berat yang akan menjalani prosedur
mayor elektif saluran cerna bagian atas.
• Asupan makanan yang diperkirakan tidak adekuat selama >5-7 hari
pada pasien malnutrisi, >7-9 hari pada pasien yang tidak malnutrisi.
Kontraindikasi Absolut
• Pasien yang diperbolehkan untuk asupan oral non-restriksi dalam waktu
<7 hari
• Obstruksi usus
• Pankreatitis akut berat
• Perdarahan masif pada saluran cerna bagian atas
• Muntah atau diare berat
• Instabilitas hemodinamik
• Ileus paralitik
Kontraindikasi Relatif
• Edema dinding usus yang signifikan
• Fistula high output (>800 mL/hari)
• Infus nutrisi pada proksimal anastomosis saluran cerna yang baru.
Keuntungan
• Peningkatan berat badan dan retensi nitrogen yang lebih baik
• Mengurangi frekuensi steatosis hepatik
• Mengurangi insiden perdarahan gastrik dan intestinal
• Membantu mempertahankan integritas barier mukosa usus, struktur
mukosa serta fungsi dan pelepasan hormon-hormon trofik usus.
• Mengurangi risiko sepsis

• Beberapa zat gizi tidak dapat diberikan parenteral, seperti: glutamin,


arginin, nukleotida, serat (dan asam lemak rantai pendek yang
dihasilkannya melalui proses degradasi usus), asam lemak, dan mungkin
juga peptida.
• Meningkatkan angka ketahanan hidup
• Biaya lebih ringan
• Erosi lubang hidung
Komplikasi
Komplikasi nutrisi enteral lebih sering terjadi pada pasien yang
membutuhkan perawatan intensif dibandingkan pada pasien yang
sakitnya lebih ringan.

Komplikasi yang berhubungan dengan feeding tubes


Faring (trauma, perdarahan, perforasi ruang retrofaringeal, abses),
perforasi esofagus, pneumomediastinum, pneumothoraks, perdarahan
pulmoner, pneumonitis klinis, efusi pleura, empiema, perforasi
lambung, perforasi usus Kegagalan insersi Rasa tidak enak Sinusitis
Kesalahan memasukkan tube Obstruksi tubeKomplikasi bedah dari
gastrotomi dan yeyunostomi
Aerofagi

Komplikasi yang berhubungan dengan cara pemberian nutrisi enteral


Infeksi nosokomial dari kontaminasi bakteri pada makanan Nausea,
distensi abdomen dan rasa tidak enak Regurgitasi atau muntah Aspirasi
pulmoner Diare Pseudo-obstruksi intestinal Interaksi dengan
pengobatan enteral

Komplikasi yang berhubungan dengan isi makanan


Hiperglikemia
Azotemia
Hiperkarbia
Abnormalitas elektrolit
Defisiensi zat gizi spesifik (pada penggunaan jangka panjang)
c. Nutrisi Parenteral
Nutrisi Parenteral adalah pemberian nutrien dalam bentuk formula
parenteral ke dalam pembuluh darah balik (vena) yang bisa berupa vena
perifer atau vena sentral (cara pemberian ini disebut nutrisi parenteral
total) tanpa melalui saluran pencernaan. Pemberian nutrisi parenteral
total memintas saluran cerna. Nutrisi parenteral diperlukan bagi pasien-
pasien yang menghadapi resiko malnutrisi namun tidak mampu/tidak
boleh mendapatkan kecukupan nutrien jika diberikan lewat mulut atau
saluran cerna, penderita gangguan proses menelan, gangguan
pencernaan dan absopsi.
Nutrisi parenteral perlu dibedakan dengan pemberian cairan infus
yang hanya terdiri atas cairan, elektrolit, dan karbohidrat untuk
mempertahankan hidrasi, keseimbangan elektrolit, serta memberikan
sedikit kalori. Biasanya pemberian nutrisi parenteral total atau
pemberian seluruh nutrien lewat infus dilakukan jika pemberian nutrisi
oral atau enteral merupakan kontraindikasi. Pemberian nutrisi total
parenteral umumnya dilaksanakan lewat vena sentral karena pemberian
nutrisi dalam jumlah besar membawa konsekuensi peningkatan
osmolaritas yang dapat mengakibatkan flebitis (radang vena) jika
larutan nutrien tersebut diberikan lewat vena perifer. Bila hanya
sebagian kebutuhan saja diberikan lewat pembuluh darah, pemberian
nutrisi ini dinamakan nutrisi parenteral parsial. Nutrisi parenteral
parsial dilakukan bila pemberian nutrisi oral atau enteral tidak
mencukupi selama lebih dari 5 atau 7 hari. Nutrisi parenteral bisa
disebut sebagai terapi nutrisi primer atau sebagai terapi nutrisi
suplemental atau suportif.
a) Tujuan
Tujuan pemberian nutrisi parenteral adalah sebagai berikut
1. Menyediakan nutrisi bagi tubuh melalui intravena, karena tidak
memungkinkannya saluran cerna untuk melakukan proses
pencernaan makanan.
2. Total Parenteral Nutrition (TPN) digunakan pada pasien dengan
luka bakar yang berat, pancreatitis¸inflamatory bowel syndrome,
ulcerative colitis, acute renal failure, hepatic failure, cardiac
disease, pembedahan dan cancer.
3. Mencegah lemak subcutan dan otot digunakan oleh tubuh untuk
melakukan katabolisme energi.
4. Mempertahankan kebutuhan nutrisi.
b) Indikasi dan Kontraindikasi
1) Indikasi
a) Ketidakmampuan untuk mencerna dan menyerap makanan
secara memadai. Keadaan ini dapat terjadi pada kasus-kasus
seperti muntah-muntah yang persisten, diare yang berat,
sindrom malabsorpsi berat, beberapa keadaan trauma perut,
ileus yang lama, dan reseksi usus yang luas dan usus harus
diistirahatkan.
b) Usus harus diistirahatkan. Contohnya adalah fistula enteral
serta penyakit inflamasi usus yang akut dan tidak memberikan
respon terhadap terapi lainnya.

Nutrisi parenteral dapat dilakukan sebagai terapi suportif pada pasien


yang bisa makan atau mendapatkan nutrisi lewat sonde (nutrisi enteral)
namun tidak mampu mengkonsumsi cukup kalori serta nutrien lain
guna memenuhi kebutuhan gizinya.

Keadaan berikut ini mungkin memerlukan nutrisi parenteral sebagai


terapi suplemental atau suportif:

a. Prabedah pada pasien yang mengalami emasiasi, deplesi nutrien


yang berat atau kehilangan berat badannya sampai lebih dari 10%
berat badan semula.
b. Pascabedah pada pasien yang tidak mampu makan secara normal
selama lima hari atau lebih.
c. Keadaan Trauma seperti luka bakar atau fraktur multipel dengan
komplikasi lain seperti sepsis yang kebutuhan nutriennya sangat
tinggi.
d. Penyakit kanker, khususnya sebagai terapi penunjang pada terapi
utama kanker yang terdiri atas pembedahan, radioterapi dan
kemoterapi.
e. Malnutrisi protein atau protein kalori atau kalau berat badan tanpa
edema/asites turun sampai 10% lebih di bawah berat badan
idealnya.
f. Penolakan atau ketidakmampuan makan seperti pada keadaan
koma ,anoreksia nervosa, atau kelainan neurologis seperti paralisis
pseudobulbar yang membuat pasien tidak dapat memakan secara
normal.

Pemberian nutrisi parenteral didasarkan atas beberapa dasar fisiologis


yaitu

1. Apabila di dalam aliran darah tidak tercukupi kebutuhan nutrisinya,


kekurangan kalori dan nitrogen dapat terjadi.
2. Apabila terjadi defisiensi nutrisi, proses glukonegenesis akan
berlangsung dalam tubuh untuk mengubah protein menjadi
karbohidrat.
3. Kebutuhan kalori kurang lebih 1500 kalori/hari diperlukan oleh
rata-rata dewasa untuk mencegah protein dalam tubuh untuk
digunakan.
4. Kebutuhan kalori meningkat terjadi pada pasien dengan penyakit
hipermetabolisme, fever, injury, membutuhkan kalori sampai
dengan 10.000 kalori/hari.
5. Proses ini menyediakan kalori yang dibutuhkan dalam konsentrasi
yang langsung ke dalam sistem intravena yang secara cepat
terdifusi menjadi nutrisi yang tepat sesuai toleransi tubuh.
2) Kontraindikasi
Nutrisi parenteral tidak boleh diberikan pada krisis hemodinamik
seperti keadaan syok atau dehidrasi yang belum terkoreksi
(kontraindikasi absolut). Keadaan ini seperti kegagalan pernapasan
yang membutuhkan bantuan respirator merupakan kontraindikasi relatif
mengingat metabolisme glukosa dapat menambah produksi CO₂ yang
memperberat keadaan tersebut.
Macam-macam pemberian jalur parenteral:

1. CENTRAL PARENTERAL NUTRITION (CPN)


Indikasi CPN
Indikasi jalu vena sentral pada pasie yang membutuhkan nutrisi
parenteral:
1. Nutrisi parenteral dalam jangka waktu yang lama
2. jalur vena perifer tidak adekuat
3. memutuhkan nutrisi spesifik tertentu.
4. akses vena sentral telah tersedia. Misalnya pada pasien sakit berat
yang dirawat di ICU dengan monitorin tekanan vena sentral.
5. jalur vena perifer diperkirakan sulit untuk diakses dan
dipertahankan
6. gagal melakukan akses vena perifer
7. membutuhkan volume nutrisi yang besar. Misalnya pada penderita
fistula enterokutaneus dengan output tinggi.
Kontarindikasi CPN
1. Riwatar trombosis pada vena sentral telah mengalami komplikasi
akibat kateterisasi vena sentral. Secara teknis, kanulasi pada vena
sentral diperkirakan sulit atau berbahaya. Dari beberapa bahan kateter
yang tersedia, polyurethrane dianggap sebagai bahan yang paling baik,
meskipun sejumlah laporan menyebutkan adanya keretakan akibat
stress lingkungan dan kalsifikasipada pemakaian dalam waktu lama.
Namun selain bahankateter yang ideal, yang lebih penting adalah
melakukan kanulasi dengan teknik yang benar dan perawatan yang
cermat.
Teknik Insersi
Tempat kanulasi vena sentral yang paling sering adalah pada vena
subklavia. Ada 2 metode utama dalam mengakses vena ini yaitu
melalui:
A. Infraklavikula
Vena subklavia melengkung di belakang klavikula diatas segmen
anterior iga pertama. Pada titik inilah tempat yang paling aman untuk
mengakses vena subklavia. Landmark tempat insersi vena subklavia
adalah pada daerah insersi muskulus skalenus anterior pada tuberositas
iga pertama, yang terletak di posterior klavikula.
B. Supraklavikula
Landmark pada kanulasi venasubklavia jalur supraklavikula serupa
dengan jalur infraklavikula, kecuali tempat insersinya pada sudut antara
sisi lateral muskulus sterkleidomastoideus dengan klavikula.
2. Peripeherally Inserted Central Catheter (PICC)
PICC adalah kanulasi vena sentral melalui vena perifer, biasanya di daerah
fosa kubiti yakni pada vena sefalika atau vena basilika,menggunakan
kateter diameter kecil, namun fleksibel dan cukup panjang (hingga 90 cm).
Untuk mencegah komplikasi perlu diperhatikan visibilitas dan ukuran
vena-vena di lengan, keadaan klinis, mobilitas dan kenyamanan pasien,
pemakaian jangka lama tidak ideal untuk metode ini. PICC tidak cocok
bagi pasien yang harus duduk di kursi roda atau memakai tongkat sebab
dapat menimbulkan gesekan antara kateter dengan tunika intima sehingga
timbul phlebitis.

3. PERIPHERAL PARENTERAL NUTRITION (PPN)

Indikasi PPN
1. suplementasi terhadap nutrisi enteral yang
2. tidak adekuat
3. pemenuhan kebutuhan basal pada penderita
4. nin-deplesi dan dapat mentolernsi 3 liter
5. cairan perhari
6. penderita dengan akses vena sentral
7. dikontraindikasikan
Kontraindikasi PPN
1) Penderita hiperkatabolisme seperti luka bakar dan trauma berat
2) penderita dengan kebutuhan cairan substansial tertentu, misalnya pada
pasien fistula enterokutaneus dengan output tinggi
3) penderita yang telah memakai akses vena sentral untuk tujuan lain
dimana nutrisi parenteral dapat menggunakan kateter yang telah ada
akses vena perifer tidak dapat dilakukan
4) pasien yang membutuhkan nutrisi parenteral jangka lama (>1 bulan).
Keuntungan PPN
- Terhindar dari komplikasi kanulasi vena sentral
- Perawatan kateter yang lebih mudah
- Mengurangi biaya
- Mencegah penundaan nutrisi parenteral oleh keterbatasan kemampun
pemakaian akses vena sentral. Keterbatasan pemakaian jalur ini dapat
diatasi dengan penjelasan berikut: Mayoritas pasien yang memerlukan
nutrisi parenteral hanya membutuhkan kurang dari 0,25 gram
Nitrogen/kgBB/hari atau 30 Kcal/kgBB/hari yang dapat dicukupi dalam 3
liter cairan/hari dapat menggunakan jalur perifer. 75% penderita yang
membutuhkan nutrisi parenteral hanya memerlukan nutrisi ini selama
kurang dari 14 hari dan bahkan 50% penderita hanya perlu TPN selama
kurang dari 10 hari. Dengan kurun waktu demikian maka kebanyakan
pemakaian PPN bukan merupakan halangan karena PPN aman dipakai
hingga 3 minggu. Keterbatasan PPN yang sering adalah akses vena perifer
yang inadekuat, khususnya penderita yang sakit serius dan kasus darurat
bedah. Namun suatu penelitian dijumpai 56% pasien yang diberikan PPN
dapat menyelesaikan TPN hingga sembuh. Hal ini membuktikan bahwa
PPN harus dipertimbangkan pada pasien yang membutuhkan nutrisi
parenteral. Lagipula akses vena perifer dapat dilakukan melalui venous cut
down. Faktor yang paling sering membatasi pemakaian PPN adalah
komplikasi thrombophlebitis vena perifer (PVT). Namun dengan
pemahaman etiologi PVT serta teknik meminimilasi angka kejadian
komlikasi ini telah merubah persepsi terhadap keterbatasan penggunaan
PPN.
4. Peripheral Vein Thrombophlebitis (PVT)
Tanda PVT berupa radang ; eritema, oedema, pengerasan vena dan nyeri.
Akhir dari PVT adalah terjadinya penyumbatan vena atau ekstravasasi
cairan infus. Secara umum semua faktor uang dapat menyebabkan
kerusakan endotel vena dapat menimbulkan PVT. Sebalikanya semua hal
yang
dapat mengurangi kerusakan tersebut juga akan mengurangi kejadian PVT.
Metode Pemberian PPN
Ada 2 cara pemberian PPN yaitu: 2,6
1. Memakai kateter halus (diameter (0,6 mm), panjang mencapai 20 cm
(PICC) sehingga ujung kateter berada pada vena sentral.
2. Menggunakan kateter halus dan pendek (diameter 1 mm), lama
pemberian 12 jam untuk kebutuhan satu hari dan kateter dipindahkan setiap
hari ke lengan kontralateral. Dengan metode ini angka phlebitis dapat
ditekan hingga 18% dengan lama pemakaian 5 hari. Pilihan pemakaian
metoda PPN didasarkan atas pengalaman operator, fasilitas, biaya,
kenyamanan pasien dan komplikasi yang
diperkirakan bakal terjadi.

2.8 Monitoring Dan Evaluasi Pemberian Nutrisi Pada Pasien Kritis

Monitoring pada pemberian makanan enteral sangat penting untuk


mendeteksi komplikasi potensial dan untuk menilai terapi diet yang
diberikan. Hasil monitoring dievaluasi untuk menilai ada tidaknya
masalah atau komplikasi dalam pemberian makanan enteral sehingga
dapat dilakukan tindakan dalam upaya mengoptimalkan pemberian
makanan enteral (Asosiasi Dietisien Indonesia Cabang Bandung, 2005).
Pemantauan keberhasilan atau kegagalan absorpsi oleh usus khususnya
bagi pemberian nutrisi enteral yang berupa tetesan kontinyu/bolus dapat
dilakukan dari gejala kembung/distensi, yang dirasakan pasien atau
teraba oleh pemeriksa. Disamping komplikasi metabolik, beberapa
komplikasi mekanis seperti aspirasi, nekrosis mukosa hidung, False-
route, dan lainnya serta komplikasi gastrointestinal seperti sembelit,
diare, kram perut, nausea, vomitus, kembung dan lainnya dapat terjadi
sehingga diperlukan pemantauan yang ketat terhadap kemungkinan
komplikasi ini dalam pemberian nutrisi enteral (Brunner and Suddarth,
2002).

Cara mengevaluasi pemberian nutrisi enteral:


1. Mengecek bising usus
2. Cek ada tidaknya aspirasi
3. Cek ada tidaknya mual/muntah
4. Cek ada tidaknya kembung
5. Cek ada tidaknya kram perut

Kebutuhan nutrisi pada pasien sakit kritis tergantung dari tingkat


keparahan cedera atau penyakitnya, dan status nutrisi sebelumnya. Pasien sakit
kritis memperlihatkan respon metabolik yang khas terhadap kondisi sakitnya.
Oleh karena itu butuh pemberian nutrisi melalui metode yang tepat.
Berdasarkan penelitian terbaru penggunaan nutrisi enteral pada pasien tidak
lagi menunggu bising usus pasien efektif ataupun terjadinya flatus/kentut pada
pasien post operasi. Pemberian support nutrisi enteral secara awal terbukti
efektif dalam meningkatkan system imun dan mengurangi risiko infeksi.
Pemberian nutrisi melalui EN dan PN memiliki kelebihan dan kekurangan
masing-masing. Secara umum, nutrisi enteral memiliki komplikasi yang lebih
rendah dibandingkan dengan nutrisi parenteral. Namun, penggunaan EN
secara sendirian terkadang tidak mampu memenuhi target kalori yang
dibutuhkan pasien. Oleh karena itu kombinasi penggunaan EN dan PN
merupakan strategi untuk mencegah kekurangan nutrisi (malnutrisi) Sehingga,
perawat perlu memahami metode pemberian nutrisi yang tepat untuk pasien
dengan sakit kritis yang dialaminya
BAB III
CASE STUDY

3.1 Case Client


Seorang wanita Afrika-Amerika berusia 53 tahun dengan penyakit
paru obstruktif kronik yang parah (COPD) dipresentasikan kepada
Departemen Darurat dengan gejala progresif berupa sesak pendek napas
dan pembengkakan pada ekstremitas bawah. Dia punya diketahui riwayat
medis masa lalu dari oksigen parah COPD tergantung. Dalam 12 bulan
terakhir, dia punya beberapa rawat inap untuk eksaserbasi PPOK. Setelah
presentasi, dia sedang afebril peningkatan jumlah sel darah putih. Rontgen
dada menunjukkan atelektasis bilateral saat EKG-nya mengungkapkan sinus
takikardia tanpa iskemik akut perubahan. Dia kemudian dirawat dengan
inisial diagnosis gagal napas akut dan kemudian dipindahkan ke intensif
medis unit perawatan (MICU) untuk dukungan ventilator. Dalam MICU, dia
diintubasi, dibius dan menerima cairan
resusitasi. Selama 24 jam berikutnya, dia melakukannya periode output urin
rendah dan selanjutnyamengalami cedera ginjal akut non-oligurik (AKI)
dengan asidosis metabolik yang memburuk. Nyata peningkatan tekanan
kandung kemih dan perut Distensi mengungkapkan diagnosis perut sindrom
kompartemen. Sementara itu, hiperkapnea progresif dan auto-PEEP telah
menyebabkan keputusan untuk secara kimia melumpuhkannya dengan agen
penghambat neuromuskuler (NMBA), cisatracurium. Dia kemudian dirawat
di sebuah infus kontinu cisatracurium. Segera setelah kelumpuhan, tekanan
kandung kemih menurun dan dia memiliki urin lebih dari 300 ml. Selama
beberapa hari berikutnya, tingkat kreatininnya kembali ke
normal. Dia terus menerima non-bedah lainnya terapi untuk mengendalikan
IAP dengan dekompresi lambung dan enema sabun. Pasien tidak dijaga
mulut (NPO), setelah sedasi dan intubasi dalam ICU. Penempatan pemberian
naso-jejunal di samping tempat tidur tabung dilakukan dalam 72 jam setelah
masuk menggunakan perangkat penempatan yang dipandu secara
elektromagnetik World.Nutr.J (EMPD) dan ahli diet dikonsultasikan pada
Hari 3 untuk inisiasi nutrisi enteral.

3.2 Proses Perawatan Gizi


Penilaian Gizi.
Pasien obesitas tidak sehat (BMI 40,6 kg / m2) dengan berat masuk 100,8 kg.
Tubuh idamannya berat badan (IBW) untuk tinggi badannya 157,5 cm adalah
50 kg Dia berada di 202% dari IBW dan 110% dari dia berat badan biasa
(UBW) saat presentasi di rumah sakit tanpa dilaporkan penurunan berat
badan sebelumnya penerimaan. Ini didukung olehnya yang terakhir berat
badan terdokumentasi tersedia di elektronik rumah sakit catatan (91 kg)
menunjukkan kenaikan 10% berat badan dalam 10 bulan. Informasi terkait
makanan / gizi sejarah diperoleh terutama dari nutrisi formulir penyaringan
setelah masuk dan medis merekam. Sebelum masuk, pasien tidak dilaporkan
mengikuti diet penurunan berat badan atau lainnya diet terapi untuk kondisi
obesitas yang tidak wajar dan diagnosis klinis terkait gizi lainnya. Itu pasien
tetap diberi NPO setelah sedasi dan intubasi di ICU. Penilaian biokimia
menunjukkan peningkatan kadar nitrogen urea darah (BUN), serum kreatinin
dan fosfor yang terkait dengan AKI dihasilkan dari ACS. Tingkat elektrolit dan
CO2 lainnya adalah dalam batas normal (Tabel 1). Untuk menentukan fungsi
paru-paru pasien, parsial tekanan oksigen / fraksi oksigen inspirasi Rasio
(PO2 / FiO2) dihitung (PO2, 93,6 mmHg; FiO2, 40% dari analisis gas darah
arteri dan pengaturan ventilator masing-masing). Perhitungan Rasio PO2 /
FiO2 (<300 mmHg) mengungkapkan status cedera paru akut (ALI).
Kebutuhan energi pada awalnya diperkirakan berdasarkan Penn formula
2003b16 pada 1681 kkal per hari menggunakan berat masuk. Kebutuhan
protein dihitung pada 110 g per hari (2,0 g / kg IBW / hari) berdasarkan
ASPEN rekomendasi untuk orang dewasa yang sakit kritis dengan BMI
antara 30–40 kg / m2.17 Kebutuhan cairan tidak ditentukan dan berdasarkan
pesanan dokter karena World.Nutr.J kondisi kritis pasien yang membutuhkan
cairan resusitasi.
3.3 DiagnosisGizi
Pasien mengalami peningkatan kebutuhan energi dan protein dari penyakit
kritisnya. Namun, nutrisi enteral dukungan tidak dimulai dalam 24-48 jam
karena ketidakstabilan hemodinamik. Pasien berisiko kekurangan gizi dalam
keadaan akut dengan penundaan inisiasi makan. Diagnosis gizi selama awal
penilaian adalah “Protein dan energi yang tidak memadai asupan yang
berkaitan dengan kondisi medis, intubasi dan mengubah fungsi pencernaan
seperti dibuktikan oleh Penderita ventilator, perkiraan kebutuhan nutrisi tidak
bertemu, status NPO saat ini dan tidak dapat memulai makan untuk
menyingkirkan ileus ”.

3.4 Intervensi dan Resep Gizi


Pemberian Nasojejunal dari Oxepa terkonsentrasi formulasi enteral dengan
lipid antiinflamasi profil dan antioksidan direkomendasikan dimulai pada 20
mL / jam terus menerus selama 24 jam dengan kemajuan laju pemberian
makan lambat sebagaimana ditoleransi oleh pasien dengan tingkat sasaran 40
mL / jam. Sehat , suplemen protein tinggi cair juga direkomendasikan untuk
diberikan dua kali sehari melalui pemberian makan tabung untuk memenuhi
protein tinggi pasien membutuhkan penyediaan total 1640 kkal dan 108 g
protein per hari. Penggunaan modular tambahan suplemen protein untuk
memastikan pengiriman yang memadai protein adalah praktik umum. Selain
itu, adalah satu-satunya protein modular cair suplemen tersedia di fasilitas
untuk masuk penggunaan makanan, oleh karena itu, dipilih untuk diberikan
sabar untuk memenuhi kebutuhan proteinnya yang tinggi.

3.5 Pemantauan / Evaluasi Gizi dan Hasil


Parameter yang dipantau untuk pasien ini termasuk profil elektrolit, toleransi
nutrisi enteral, asupan nutrisi enteral, profil gastrointestinal, profil glukosa /
endokrin, profil ginjal, protein tingkat profil dan CO2 (Tabel 1). Setelah
ditindaklanjuti, peningkatan kadar CO2 dan glukosa terlihat (Hari 6)
menunjukkan kemungkinan pemberian makan berlebih.
Permisif makan hypocaloric kemudian diperkenalkan, merevisi
kebutuhan energi pada 1109–1411 kkal (11–14 kkal / kg berat badan
aktual per hari) berdasarkan obesitas, pedoman orang dewasa sakit kritis
sementara mempertahankan kebutuhan protein tinggi yang sama. Makan
hipokorisik permisif didefinisikan sebagai pengiriman disengaja nutrisi
non-protein kurang dari apa yang biasanya diperlukan setiap hari. Konsep
pemberian makan hipokorisik permisif didasarkan pada dasar pemikiran
bahwa asupan nutrisi yang lebih tinggi akan merusak dari perspektif
metabolisme dan fungsional. Studi dengan pasien obesitas menunjukkan
hal itu rejimen pemberian makan hypocaloric dapat mempromosikan
kesetimbangan nitrogen dan nitrogen negatif kecil seimbang tanpa
menyebabkan penurunan berat badan. Tingkat sasaran untuk dimodifikasi
menjadi 35 mL / jam dengan pesanan Healthy dua kali sehari tetap seperti
yang ditentukan sebelumnya. Untuk mengoptimalkan
manajemen usus, agen pro-motilitas, Reglan dan eritromisin juga
direkomendasikan. Pada hari 21, pasien dipindahkan ke unit ICU step
down dan dipulangkan pada Hari 32 ke akut jangka panjang fasilitas
perawatan dengan rejimen tabung makan menggunakan Glucerna
1. Khusus diabetes yang padat kalori formula yang direncanakan
untuk asupan karbohidrat yang lebih baik kontrol mengingat pasien
memiliki kronis COPD. Kebutuhan energi untuk rencana pelepasan
adalah dihitung menggunakan Mifflin-St. Formula Jeor (x1.2
faktor) dengan kebutuhan protein 2,0 g / kg IBW per hari (1850
kkal, 100 g protein per hari).
2. Rumusnya adalah umum digunakan dalam praktek klinis dan itu
adalah paling dapat diandalkan, memprediksi Tingkat Metabolisme
Beristirahat (RMR) dalam 10% dari yang diukur dalam non-
obesitas dan individu gemuk daripada persamaan lainnya dan itu
juga memiliki rentang kesalahan tersempit. tingkat sasaran yang
direkomendasikan adalah pemberian 65 mL / jam 1880 kkal,
protein 94 g dan karbohidrat 179 g.
BAB IV
PEMBAHASAN KASUS

4.1 Pembahasan Kasus


ACS umumnya terjadi pada pasien yang sakit kritis. Di antara efek
gastrointestinal lainnya dari ini sindroma, hipo-perfusi yang dapat
menyebabkan iskemia usus bersamaan dengan penurunan lambung motilitas
sebagai bagian dari patofisiologi IAH dan dampak dari sedasi opiat menjadi
perhatian utama dalam memberikan makan enteral yang sukses. Di dalam
melaporkan, ada tiga masalah gizi utama. Pertama, pada pasien dengan IAH,
enteral makan sendiri dapat memperburuk iskemia usus atau memperburuk
IAH karena untuk fermentasi dan distensi usus dan gejala gastrointestinal.
Kedua, kemungkinan intoleransi makan sekunder menurun motilitas lambung
dari sedasi opiat. Ketiga, peningkatan risiko pengembangan metabolisme
serius komplikasi jika makan berlebihan terjadi. Secara keseluruhan, pasien
kami dapat mentoleransi hypocaloric, rejimen makan enteral protein tinggi
meskipun beberapa gangguan makan karena medis kondisi dan prosedur.
Kesimpulannya, pemberian nutrisi enteral dukungan untuk pasien ACS
membutuhkan perhatian yang cermat dan langkah-langkah agresif seperti
mengadopsi postpyloric makan untuk memaksimalkan pengiriman enteral
makanan. Sebelumnya dilaporkan rendah persentase kemungkinan untuk
masuk eksklusif dukungan nutrisi melalui nasogastrik di antaranya pasien,
oleh karena itu, makan pasca-pilorus harus dipertimbangkan. Juga bermanfaat
untuk menggunakan pro-kinetik agen untuk mengoptimalkan manajemen
usus dalam mengelola Kasus ACS. Selanjutnya secara mekanis pasien
berventilasi, perhitungan rasio PO2 / FiO2 adalah
berguna untuk kemungkinan resep formula yang cocok untuk gangguan paru-
paru.
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Kebutuhan nutrisi pada pasien sakit kritis tergantung dari tingkat kep
arahan cedera atau penyakitnya, dan status nutrisi sebelumnya. Pasien sakit
kritis memperlihatkan respon metabolik yang khas terhadap kondisi sakitny
a. Pada sakit kritis terjadi pelepasan mediator inflamasi (misalnya IL-1, IL-6
, dan TNF) dan peningkatan produksi •counter regulatory hormone (misaln
ya katekolamin, kortisol, glukagon, GH), yang dapat menyebabkan serangka
ian proses yang mempengaruhi seluruh sistem tubuh dan menimbulkan efek
yang jelas pada status metabolik dan nutrisi pasien. Penilaian secara objektif
status nutrisi pasien di ICU adalah sulit, karena proses dari penyakit mengac
aukan metode penilaian yang kita gunakan. Status nutrisi adalah fenomena
multi dimensional yang memerlukan beberapa metode dalam penilaian, term
asuk indikator-indikator nutrisi, intake nutrisi, dan pemakaian / pengeluaran
energi.
5.2 Saran
Sebagai tenaga kesehatan khususnya perawat lebih memfokuskan
keadaan pasien yang darurat dan lebih mengutamakan kecepatan serta
ketepatan dalam menangani pasien kritis yang kekurangan nutrisi, Perawat
juga harus bisa mengidentifikasi dan mencermati kondisi pasien kritis
yang diberikan jalur pemberian nutrisi antara enteral dan parenteral.
DAFTAR PUSTAKA

Hasir, J. et al., 2014. PENGARUH PEMBERIAN NUTRISI ENTERAL


INTERMITTEN TERHADAP. JST Kesehatan , 4(1), pp. 78-86.

Kresnoadi, E., 2017. Pemberian Nutrisi Enteral Secara Dini pada. Jurnal
Kedokteran Unram 2017,, pp. 32-35.

Munawaroh, S. W., H. & Astutiningrum, D., 2012. EFEKTIFITAS PEMBERIAN


NUTRISI ENTERAL METODE. Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan, 8(3),
pp. 141-152.

Purnomo, R., Setyowati, S. & Effendy, C., 2007. GAMBARAN PEMBERIAN


MAKANAN ENTERAL PADA PASIEN DEWASA. Jurnal Keperawatan
Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing),, 2(3), pp. 141-153.

S. & Anna, A., 2014. PERBANDINGAN ENTERAL DAN PARENTERAL


NUTRISI PADA PASIEN, Bandung: universitas padjajaran bandung.

Wiryana, M., 2007. Nutrisi Pada Penderita Pasien Kritis. Jurnal Kesehatan, pp.
176-184.

Yuniar, I., 2014. Pemberian Nutrisi Pada Pasien Dengan Penyakit Kritis di Ruang
Perawatan Intensif Anak RS. Cipto Mangunkusumo. Sari Pediatri, p. 4.

Anda mungkin juga menyukai