Oleh :
Solihatul Hasanah
NIM: 19.30.046
2019/2020
LEMBAR PENGESAHAN
NIM : 1930046
Sebagai salah satu syarat dalam pemenuhan tugas praktik Profesi Ners Departemen
Keperawatan Maternitas, yang dilaksanakan pada tanggal 06 Januari 2020 – 18
Januari 2020, yang telah disetujui dan disahkan pada :
Hari :
Tanggal :
Mengetahui,
(.............................................) (.............................................)
LAPORAN PENDAHULUAN
b) Etiologi
Manuaba (2002) indikasi ibu dilakukan sectio caesarea adalah ruptur
uteri iminen, perdarahan antepartum, ketuban pecah dini. Sedangkan
indikasi dari janin adalah fetal distres dan janin besar melebihi 4.000
gram. Dari beberapa faktor sectio caesarea diatas dapat diuraikan
beberapa penyebab sectio caesarea sebagai berikut:
1) CPD ( Chepalo Pelvik Disproportion )
Chepalo Pelvik Disproportion (CPD) adalah ukuran lingkar
panggul ibu tidak sesuai dengan ukuran lingkar kepala janin
yang dapat menyebabkan ibu tidak dapat melahirkan secara
alami. Tulang-tulang panggul merupakan susunan beberapa
tulang yang membentuk rongga panggul yang merupakan jalan
yang harus dilalui oleh janin ketika akan lahir secara alami.
Bentuk panggul yang menunjukkan kelainan atau panggul
patologis juga dapat menyebabkan kesulitan dalam proses
persalinan alami sehingga harus dilakukan tindakan operasi.
Keadaan patologis tersebut menyebabkan bentuk rongga
panggul menjadi asimetris dan ukuran-ukuran bidang panggul
menjadi abnormal.
2) PEB (Pre-Eklamsi Berat)
Pre-eklamsi dan eklamsi merupakan kesatuan penyakit yang
langsung disebabkan oleh kehamilan, sebab terjadinya masih
belum jelas. Setelah perdarahan dan infeksi, pre-eklamsi dan
eklamsi merupakan penyebab kematian maternal dan perinatal
paling penting dalam ilmu kebidanan. Karena itu diagnosa dini
amatlah penting, yaitu mampu mengenali dan mengobati agar
tidak berlanjut menjadi eklamsi.
3) KPD (Ketuban Pecah Dini)
Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum terdapat
tanda persalinan dan ditunggu satu jam belum terjadi inpartu.
Sebagian besar ketuban pecah dini adalah hamil aterm di atas 37
minggu, sedangkan di bawah 36 minggu
4) Bayi Kembar
Tidak selamanya bayi kembar dilahirkan secara caesar. Hal ini
karena kelahiran kembar memiliki resiko terjadi komplikasi
yang lebih tinggi daripada kelahiran satu bayi. Selain itu, bayi
kembar pun dapat mengalami sungsang atau salah letak lintang
sehingga sulit untuk dilahirkan secara normal.
5) Faktor Hambatan Jalan Lahir
Adanya gangguan pada jalan lahir, misalnya jalan lahir yang
tidak memungkinkan adanya pembukaan, adanya tumor dan
kelainan bawaan pada jalan lahir, tali pusat pendek dan ibu sulit
bernafas.
6) Kelainan Letak Janin
a. Kelainan pada letak kepala
i. Letak kepala tengadah
Bagian terbawah adalah puncak kepala, pada
pemeriksaan dalam teraba UUB yang paling rendah.
Etiologinya kelainan panggul, kepala bentuknya bundar,
anaknya kecil atau mati, kerusakan dasar panggul.
ii. Presentasi muka
Letak kepala tengadah (defleksi), sehingga bagian
kepala yang terletak paling rendah ialah muka. Hal ini
jarang terjadi, kira-kira 0,27-0,5 %.
iii. Presentasi dahi
Posisi kepala antara fleksi dan defleksi, dahi berada pada
posisi terendah dan tetap paling depan. Pada penempatan
dagu, biasanya dengan sendirinya akan berubah menjadi
letak muka atau letak belakang kepala.
b. Letak Sungsang
Letak sungsang merupakan keadaan dimana janin terletak
memanjang dengan kepala difundus uteri dan bokong
berada di bagian bawah kavum uteri. Dikenal beberapa
jenis letak sungsang, yakni presentasi bokong, presentasi
bokong kaki, sempurna, presentasi bokong kaki tidak
sempurna dan presentasi kaki (Saifuddin, 2002).
c) Patofisiologi
SC merupakan tindakan untuk melahirkan bayi dengan berat di atas
500 gr dengan sayatan pada dinding uterus yang masih utuh. Indikasi
dilakukan tindakan ini yaitu distorsi kepala panggul, disfungsi uterus,
distorsia jaringan lunak, placenta previa dll, untuk ibu. Sedangkan
untuk janin adalah gawat janin. Janin besar dan letak lintang setelah
dilakukan SC ibu akan mengalami adaptasi post partum baik dari aspek
kognitif berupa kurang pengetahuan. Akibat kurang informasi dan dari
aspek fisiologis yaitu produk oxsitosin yang tidak adekuat akan
mengakibatkan ASI yang keluar hanya sedikit, luka dari insisi akan
menjadi post de entris bagi kuman. Oleh karena itu perlu diberikan
antibiotik dan perawatan luka dengan prinsip steril. Nyeri adalah salah
utama karena insisi yang mengakibatkan gangguan rasa nyaman.
Sebelum dilakukan operasi pasien perlu dilakukan anestesi bisa
bersifat regional dan umum. Namun anestesi umum lebih banyak
pengaruhnya terhadap janin maupun ibu anestesi janin sehingga
kadang-kadang bayi lahir dalam keadaan upnoe yang tidak dapat
diatasi dengan mudah. Akibatnya janin bisa mati, sedangkan
pengaruhnya anestesi bagi ibu sendiri yaitu terhadap tonus uteri berupa
atonia uteri sehingga darah banyak yang keluar. Untuk pengaruh
terhadap nafas yaitu jalan nafas yang tidak efektif akibat sekret yan
berlebihan karena kerja otot nafas silia yang menutup. Anestesi ini juga
mempengaruhi saluran pencernaan dengan menurunkan mobilitas
usus.
Seperti yang telah diketahui setelah makanan masuk lambung akan
terjadi proses penghancuran dengan bantuan peristaltik usus.
Kemudian diserap untuk metabolisme sehingga tubuh memperoleh
energi. Akibat dari mortilitas yang menurun maka peristaltik juga
menurun. Makanan yang ada di lambung akan menumpuk dan karena
reflek untuk batuk juga menurun. Maka pasien sangat beresiko
terhadap aspirasi sehingga perlu dipasang pipa endotracheal. Selain itu
motilitas yang menurun juga berakibat pada perubahan pola eliminasi
yaitu konstipasi.
(Saifuddin, Mansjoer & Prawirohardjo, 2002)
d) Pathway
Insisi dinding
Luka post op. SC Tindakan anastesi
abdomen
Terputusnya
Risiko Infeksi Imobilisasi
inkonuitas jaringan,
pembuluh darah, dan
saraf - saraf di sekitar Intoleransi
daerah insisi Aktivitas
Merangsang Defisit
pengeluaran histamin Perawatan
dan prostaglandin Diri
Nyeri Akut
e) Jenis-jenis Operasi Sectio Caesaria (SC)
1) Abdomen (SC Abdominalis)
1. Sectio Caesarea Transperitonealis
i) Sectio caesarea klasik atau corporal : dengan insisi
memanjang pada corpus uteri.
ii) Sectio caesarea profunda : dengan insisi pada segmen
bawah uterus.
2. Sectio caesarea ekstraperitonealis
Merupakan sectio caesarea tanpa membuka peritoneum
parietalis dan dengan demikian tidak membuka kavum
abdominalis.
2) Vagina (sectio caesarea vaginalis)
Menurut arah sayatan pada rahim, sectio caesaria dapat dilakukan
apabila :
i) Sayatan memanjang (longitudinal)
ii) Sayatan melintang (tranversal)
iii) Sayatan huruf T (T Insisian)
3) Sectio Caesarea Klasik (korporal)
Dilakukan dengan membuat sayatan memanjang pada korpus uteri
kira-kira 10cm.
Kelebihan :
i) Mengeluarkan janin lebih memanjang
ii) Tidak menyebabkan komplikasi kandung kemih tertarik
iii) Sayatan bisa diperpanjang proksimal atau distal
Kekurangan :
i) Infeksi mudah menyebar secara intraabdominal karena tidak
ada reperitonial yang baik.
ii) Untuk persalinan berikutnya lebih sering terjadi rupture
uteri spontan.
Ruptura uteri karena luka bekas SC klasik lebih
sering terjadi dibandingkan dengan luka SC profunda.
Ruptur uteri karena luka bekas SC klasik sudah dapat terjadi
pada akhir kehamilan, sedangkan pada luka bekas SC
profunda biasanya baru terjadi dalam persalinan.
Untuk mengurangi kemungkinan ruptura uteri,
dianjurkan supaya ibu yang telah mengalami SC jangan
terlalu lekas hamil lagi. Sekurang -kurangnya dapat istirahat
selama 2 tahun. Rasionalnya adalah memberikan
kesempatan luka sembuh dengan baik. Untuk tujuan ini
maka dipasang akor sebelum menutup luka rahim.
4) Sectio Caesarea (Ismika Profunda)
Dilakukan dengan membuat sayatan melintang konkaf pada
segmen bawah rahim kira-kira 10cm
Kelebihan :
i) Penjahitan luka lebih mudah
ii) Penutupan luka dengan reperitonialisasi yang baik
iii) Tumpang tindih dari peritoneal flap baik sekali untuk
menahan isi uterus ke rongga perineum
iv) Perdarahan kurang
v) Dibandingkan dengan cara klasik kemungkinan ruptur uteri
spontan lebih kecil
Kekurangan :
i) Luka dapat melebar ke kiri, ke kanan dan bawah sehingga
dapat menyebabkan arteri uteri putus yang akan
menyebabkan perdarahan yang banyak.
ii) Keluhan utama pada kandung kemih post operatif tinggi.
f) Pemeriksaan Penunjang
1. Hemoglobin atau hematokrit (HB/Ht) untuk mengkaji perubahan
dari kadar pra operasi dan mengevaluasi efek kehilangan darah
pada pembedahan.
2. Leukosit (WBC) mengidentifikasi adanya infeksi
3. Tes golongan darah, lama perdarahan, waktu pembekuan darah
4. Urinalisis / kultur urine
5. Pemeriksaan elektrolit
g) Komplikasi
1. Infeksi Puerperalis
Komplikasi ini bersifat ringan, seperti kenaikan suhu selama
beberapa hari dalam masa nifas atau dapat juga bersifat berat,
misalnya peritonitis, sepsis dan lain-lain. Infeksi post operasi
terjadi apabila sebelum pembedahan sudah ada gejala - gejala
infeksi intrapartum atau ada faktor - faktor yang merupakan
predisposisi terhadap kelainan itu (partus lama khususnya setelah
ketuban pecah, tindakan vaginal sebelumnya). Bahaya infeksi
dapat diperkecil dengan pemberian antibiotika, tetapi tidak dapat
dihilangkan sama sekali, terutama SC klasik dalam hal ini lebih
berbahaya daripada SC transperitonealis profunda.
2. Perdarahan
Perdarahan banyak bisa timbul pada waktu pembedahan jika
cabang arteria uterina ikut terbuka atau karena atonia uteri
3. Komplikasi - komplikasi lain seperti :
1) Luka kandung kemih
2) Embolisme paru – paru
3) Suatu komplikasi yang baru kemudian tampak ialah kurang
kuatnya perut pada dinding uterus, sehingga pada kehamilan
berikutnya bisa terjadi ruptura uteri. Kemungkinan hal ini
lebih banyak ditemukan sesudah sectio caesarea klasik.
h) Penatalakasanaan
1. Pemberian cairan
Karena 6 jam pertama penderita puasa pasca operasi, maka
pemberian cairan perintavena harus cukup banyak dan
mengandung elektrolit agar tidak terjadi hipotermi, dehidrasi, atau
komplikasi pada organ tubuh lainnya. Cairan yang biasa diberikan
biasanya DS 10%, garam fisiologi dan RL secara bergantian dan
jumlah tetesan tergantung kebutuhan. Bila kadar Hb rendah
diberikan transfusi darah sesuai kebutuhan.
2. Diet
Pemberian cairan perinfus biasanya dihentikan setelah penderita
flatus lalu dimulailah pemberian minuman dan makanan peroral.
Pemberian minuman dengan jumlah yang sedikit sudah boleh
dilakukan pada 6 - 8 jam pasca operasi, berupa air putih dan air teh.
3. Mobilisasi
Mobilisasi dilakukan secara bertahap meliputi :
1) Miring kanan dan kiri dapat dimulai sejak 6 - 8 jam setelah
operasi
2) Latihan pernafasan dapat dilakukan penderita sambil tidur
telentang sedini mungkin setelah sadar
3) Hari pertama post operasi, penderita dapat didudukkan selama
5 menit dan diminta untuk bernafas dalam lalu
menghembuskannya.
4) Kemudian posisi tidur telentang dapat diubah menjadi posisi
setengah duduk (semifowler)
5) Selanjutnya selama berturut-turut, hari demi hari, pasien
dianjurkan belajar duduk selama sehari, belajar berjalan, dan
kemudian berjalan sendiri, dan pada hari ke-3 pasca
operasi.pasien bisa dipulangkan
4. Kateterisasi
Kandung kemih yang penuh menimbulkan rasa nyeri dan tidak
enak pada penderita, menghalangi involusi uterus dan
menyebabkan perdarahan. Kateter biasanya terpasang 24 - 48 jam
/ lebih lama lagi tergantung jenis operasi dan keadaan penderita.
5. Pemberian obat-obatan
1) Antibiotik
Cara pemilihan dan pemberian antibiotic sangat berbeda-beda
setiap institusi
2) Analgetik dan obat untuk memperlancar kerja saluran
pencernaan
a) Supositoria = ketopropen sup 2x/24 jam
b) Oral = tramadol tiap 6 jam atau paracetamol
c) Injeksi = penitidine 90-75 mg diberikan setiap 6 jam bila
perlu
3) Obat-obatan lain
Untuk meningkatkan vitalitas dan keadaan umum penderita
dapat diberikan caboransia seperti neurobian I vit. C
6. Perawatan luka
Kondisi balutan luka dilihat pada 1 hari post operasi, bila basah dan
berdarah harus dibuka dan diganti
7. Perawatan rutin
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan adalah suhu,
tekanan darah, nadi,dan pernafasan.
(Manuaba, 1999)
Kehamilan lewat
Post Date bulan/>42 minggu
Pembedahan SC
Nyeri
e) Manifestasi Klinik
1. Keadaan klinis yang dapat ditemukan jarang ialah gerakan janin
yang jarang, yaitu secara subyektif kurang dari 7 kali per 30 menit
atau secara obyektif dengan KTG kurang dari 10 kali per 30 menit.
2. Pada bayi akan ditemukan tanda-tanda lewat waktu yang terbagi
menjadi :
i. Stadium I, kulit kehilangan vernik kaseosa dan terjadi maserasi
sehingga kulit kering, rapuh dan mudah mengelupas.
ii. Stadium II, seperti stadium I disertai pewarnaan mekonium
(kehijauan) di kulit.
iii. Stadium III, seperti stadium I disertai pewarnaan kekuningan
pada kuku, kulit dan tali pusat.
f) Pemeriksaan Penunjang
1. USG untuk menilai usia kehamilan, oligihidraminon, derajat
maturitas plasenta.
2. KTG untuk menilai ada atau tidaknya gawat janin
3. Penilaian warna air ketuban dengan amnioskopi atau amniotomi
(tes tanpa tekanantes tanpa tekanandinilai apakah reaktif atau tidak
dengan tes tekanan oksitosin
4. Pemeriksaan sitologi vagina dengan indeks kariopiknotik > 20 %
g) Penatalaksanaan
1. Setelah usia kehamilan lebih dari 40-42 minggu yang penting
adalah monitoring janin sebaik-baiknya.
2. Apabila tidak ada tanda-tanda insufisiensi plasenta, persalinan
spontan dapat ditunggu dengan pengawasan ketat
3. Kehamilan lewat waktu memerlukan pertolongan, induksi
persalinan atau persalinan anjuran. Persalinan induksi tidak banyak
menimbulkan penyulit bayi, asalkan dilakukan di rumah sakit
dengan fasilitas yang cukup.
Dalam pertolongan persalinan lewat waktu, pengawasan saat
persalinan induksi sangat penting karena setiap saat dapat terancam
gawat janin, yang memerlukan pertolongan segera.
Persalinan anjuran/induksi persalinan dapat dilakukan
dengan metode :
a. Persalinan anjuran dengan infuse pituitrin (sintosinon) 5
unit dalam 500 cc glukosa 5 %, banyak dipergunakan
i. Teknik induksi dengan infuse glukosa lebih sederhana, dan
mulai dengan 8 tts/mnt, dengan maksimal 40 tts/mnt.
Kenaikan tetesan setiap 15 menit sebanyak 4-8 tts sampai
kontraksi optimal tercapai.
ii. Bila dengan 30 tts kontraksi maksimal telah tercapai, maka
tetesan tersebut dipertahankan sampai terjadi persalinan.
Apabila terjadi kegagalan, ulangi persalinan anjuran
dengan selang waktu 24-48 jam.
b. Amniotomi
i. Memecah ketuban merupakan salah satu metode untuk
mempercepat persalinan. Setelah ketuban pecah, ditunggu
sekitar 4-6 jam dengan harapan kontraksi otot rahim akan
berlangsung.
ii. Apabila belum berlangsung kontraksi otot rahim dapat
diikuti induksi persalinan dengan infuse glukosa yang
mengandung 5 IU oksitosin.
c. Persalinan anjuran dengan menggunakan prostaglandin
i. Telah diketahui bahwa kontraksi otot rahim terutama
dirnagsang oleh prostaglandin sebagai induksi
persalinan dapat dalam bentuk infuse intravena
(Nalator) dan pervaginam (prostaglandin vagina
suppositoria)
ii. Prostaglandin sangat efektif untuk pematangan serviks
selama induksi persalinan.
iii. Pantau denyut nadi, tekanan darah, kontraksi ibu hamil,
dan periksa DJJ.
iv. Kaji ulang indikasi
v. Prostaglandin E2 (PGE2) bentuk pesarium 3 mg/gel 2-3
mg ditempatkan pada forniks posterior vagina dan dapat
diulangi 6 jam kemudian (jika his tidak timbul)
vi. Hentikan pemberian prostaglandin dan mualilah infuse
oksitosin, jika :
Ketuban pecah, pematangan serviks telah tercapai,
proses persalinan telah berlangsung, pemakaian
prostaglandin telah 24 jam.
d. Pemberian misoprostol
i. Penggunaan misoprostol untuk pematangan serviks
hanya pad kasus-kasus tertentu misalnya,
a) Pre-eklamsi berat/eklamsi dan serviks belum matang
sedangkan seksio sesarea belum dapat segera
dilakukan atau bayi terlalu premature untuk bisa
hidup.
b) Kematian janin dalam rahim lebih dari 4 minggu
belum inpartu dan terdapat tanda-tanda gangguan
pembekuan darah.
ii. Tempatkan tablet misoprostol 25 mcg di forniks
posterior vagina dan jika his tidak timbul dapat diulangi
setelah 6 jam.
iii. Jika tidak ada reaksi setelah 2 kali pemberiaan 25 mcg,
naikkan dosis sampai 50 mcg tiap 6 jam
iv. Jangan lebih dari 50 mcg setiap kali pakai dan jangan
lebih dari 4 dosis/200 mcg.
v. Misoprostol mempunyai resiko meningkatkan kejadian
rupture uteri. Oleh karena itu, hanya dikerjakan di
pelayanan kesehatan yang lengkap (ada fasilitas operasi)
vi. Jangan berikan oksitosin dalam 8 jam sesudah
pemberian misoprostol.
e. Kateter Foley
i. Kateter foley merupakan alternative lain disamping
pemberian prostaglandin untuk mematangkan serviks
dan induksi persalinan
ii. Jangan lakukan kateter foley jika ada riwayat
perdarhan, ketuban pecah, pertumbuhan janin
terlambat, atau infeksi vaginal.
iii. Kaji ulang indikasi
iv. Pasang speculum DTT di vagina
v. Masukkan kateter Foley pelan-pelan melalui serviks
dengan menggunakan forseps DTT. Pastikan ujung
kateter telah melewati ostium uteri internum
vi. Gembungkan balon kateter dan letakkan di vagina
vii. Diamkan kateter dalam vagina sampai timbul kontraksi
uterus atau sampai 12 jam.
viii. Kempiskan balon kateter sebelum mengeluarkan
kateter, kemudian lanjutkan dengan infuse oksitosin.
ix. Lakukan pemeriksaan dalam untuk memeriksa
kematangan servik, kalau sudah matang boleh
dilakukan induksi persalinan dengan atau tanpa
amniotomi
x. Bila riwayat kehamilan yang lalu ada kematian janin
dalam rahim, terjadi hipertensi, preeklamsi, kehamilan
ini adalah anak pertama karena infertilitas atau pada
kehamilan lebih dari 40-42 minggu, maka ibu dirawat
di rumah sakit.
xi. Tindakan operasi seksio sesarea dapat
dipertimbangkan pada insufisiensi plasenta dengan
keadaan serviks belum matang, pembukaan belum
lengkap, persalinan lama dan terjadi tanda gawat janin,
atau pada primigravida tua, kematian janin dalam
kandungan, pereklamsi, hipertensi menahun, anak
berharga (infertilitas dan kesalahan letak janin.
Pada persalinan pervaginam harus diperhatikan bahwa
partus lama akan sangat merugikan bayi, janin
postmatur kadang-kadang besar, dan kemungkinan
disproporsi sefalo-pelvik dan distosia janin perlu
dipertimbangkan. Selain itu janin postmatur lebih peka
terhadap sedative dan narkosa, jadi pakailah anestesi
konduksi. Jangan lupa, perawatan neonatus
postmaturitas perlu dibawah pengawasan dokter anak
h) Komplikasi
1. Terhadap ibu
Persalinan postmatur dapat menyebabkan distosia karena
aksi uterus tidak terkoordinir, janin besar dan moulding (moulage)
kepala kurang.
Maka akan sering dijumpai : partus lama, kesalahan letak,
inersia uteri, distosia bahu, dan perdarahan postpartum. Hal ini akan
menaikkan angka morbiditas dan mortalitas.
2. Terhadap janin
Jumlah kematian janin/bayi pada kehamilan 43 minggu 3
kali lebih besar dari kehamilan 40 minggu, karena postmaturitas
akan menambah bahaya pada janin. Pengaruh post maturitas pad
janin bervariasi: berat badan janin dapat bertambah besar, tetap, dan
yang berkurang, sesudah kehamilan 42 minggu . ada pula yang bisa
terjadi kematian janin dalam kandungan.
b. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut b.d. Agen cedera fisik (trauma jalan lahir, episiotomi).
2. Risiko infeksi dengan faktor risiko pertahanan tubuh primer tidak
adekuat (integritas kulit di perinium tidak utuh)
3. Intoleransi aktivitas b.d proses pembedahan
4. Ansietas b.d ancaman pada status kesehatan
5. Kurang pengetahuan: Perawatan post partum b.d. kurang terpapar
informasi
c. Intervensi Keperawatan
Rencana keperawatan
Diagnosa Keperawatan/ Masalah Kolaborasi
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Nyeri akut berhubungan dengan: NOC : NIC :
Agen injuri (biologi, kimia, fisik, psikologis), Pain Level, Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk
kerusakan jaringan pain control, lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor
comfort level presipitasi
DS: Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
- Laporan secara verbal Setelah dilakukan tinfakan keperawatan Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan
DO: selama …. Pasien tidak mengalami nyeri, dukungan
- Posisi untuk menahan nyeri dengan kriteria hasil: Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti
- Tingkah laku berhati-hati Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan
- Gangguan tidur (mata sayu, tampak capek, sulit nyeri, mampu menggunakan tehnik Kurangi faktor presipitasi nyeri
atau gerakan kacau, menyeringai) nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
- Terfokus pada diri sendiri mencari bantuan) Ajarkan tentang teknik non farmakologi: napas dala,
- Fokus menyempit (penurunan persepsi waktu, Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan relaksasi, distraksi, kompres hangat/ dingin
kerusakan proses berpikir, penurunan interaksi menggunakan manajemen nyeri Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri: ……...
dengan orang dan lingkungan) Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, Tingkatkan istirahat
- Tingkah laku distraksi, contoh : jalan-jalan, frekuensi dan tanda nyeri) Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri,
menemui orang lain dan/atau aktivitas, aktivitas Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berapa lama nyeri akan berkurang dan antisipasi
berulang-ulang) berkurang ketidaknyamanan dari prosedur
- Respon autonom (seperti diaphoresis, perubahan Tanda vital dalam rentang normal Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik
tekanan darah, perubahan nafas, nadi dan dilatasi Tidak mengalami gangguan tidur pertama kali
pupil)
- Perubahan autonomic dalam tonus otot (mungkin
dalam rentang dari lemah ke kaku)
- Tingkah laku ekspresif (contoh : gelisah, merintih,
menangis, waspada, iritabel, nafas
panjang/berkeluh kesah)
- Perubahan dalam nafsu makan dan minum
Rencana keperawatan
Diagnosa Keperawatan/ Masalah Kolaborasi
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Risiko infeksi NOC : NIC :
Immune Status Pertahankan teknik aseptif
Faktor-faktor risiko : Knowledge : Infection control Batasi pengunjung bila perlu
- Prosedur Infasif Risk control
Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan
- Kerusakan jaringan dan peningkatan paparan
keperawatan
lingkungan Setelah dilakukan tindakan keperawatan
Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat pelindung
- Malnutrisi selama…… pasien tidak mengalami infeksi
Ganti letak IV perifer dan dressing sesuai dengan petunjuk
- Peningkatan paparan lingkungan patogen dengan kriteria hasil:
umum
- Imonusupresi Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi
Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan infeksi
- Tidak adekuat pertahanan sekunder (penurunan Menunjukkan kemampuan untuk
kandung kencing
Hb, Leukopenia, penekanan respon inflamasi) mencegah timbulnya infeksi
- Penyakit kronik Jumlah leukosit dalam batas normal
Tingkatkan intake nutrisi
- Pertahan primer tidak adekuat (kerusakan kulit, genitourinaria dalam batas normal Pertahankan teknik isolasi k/p
trauma jaringan, gangguan peristaltik) Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan,
panas, drainase
Monitor adanya luka
Dorong masukan cairan
Dorong istirahat
Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksi
Kaji suhu badan pada pasien neutropenia setiap 4 jam
Rencana keperawatan
Diagnosa Keperawatan/ Masalah Kolaborasi Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi