Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN POST OP SECTIO


CAESAREA

DI RUANG SYUKUR (MATERNITAS) RS AL HUDA

Untuk Memenuhi Tugas Praktik Klinik


Departemen Keperawatan Maternitas

Disusun Oleh:

EKA AFRYLIANA , S. Kep


NIM: 202104096

PROGRAM STUDI PROFESI NERS KEPERAWATAN

STIKES BANYUWANGI

2022
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN POST OP SECTIO


CAESAREA

DI RUANG SYUKUR (MATERNITAS) RS AL HUDA


Banyuwangi, 2021

Mahasiswa

( Eka Afryliana ,S.Kep)

Pembimbing Dosen Pembimbing CI

( Rani Diana B. S.Kep) (Widayanti K.S,ST )

KaUr Ruang Syukur

( Denik Suci Amd.Keb )


LAPORAN PENDAHULUAN SECTIO CAESAREA

A. Konsep Dasar Penyakit


1. Definisi
Sectio Caesarea adalah suatu cara melahirkan janin
denganmembuat sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan
perut (Martowirjo, 2018) .
Sectio Caesarea merupakan suatu tindakan pengeluaran janin dan plasenta
melalui tindakan insisi pada dinding perut dan dinding rahim dalam keadaan
utuh (Ratnawati, 2016).
Section caesarea adalah suatu persalinan buatan dimana janin dilahirkan
melalui suatu insisi pada dinding depan perut dan dinding rahim dengan
syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin diata 500 gram (Sagita,
2019).
Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa sectio
caesarea merupakan salah satu cara persalinan, yang mana janin dikeluarkan
dengan dilakukan insisi pada dinding abdomen dan dinding uterus, dengan
syarat berat janin diatas 500 gram dan rahim utuh.
2. Klasifikasi
Menurut Sagita (2019), klasifikasi Sectio Caesareaadalah
sebagai berikut :
a. Sectio caeasarea transperitonealis profunda
Sectio caeasarea transperitonealis profunda dengan insisi di segmen
bawah uterus. Insisi pada bawah rahim, bisa dengan teknik
melintang atau memanjang.
Keunggulan pembedahan ini :
1) Perdarahan luka insisi tidak seberapa banyak
2) Bahaya peritonitis tidak besar
3) Perut uterus umumnya kuat sehingga bahaya ruptur uteri
dikemudian hari tidak besar karena pada nifas segmen bawah
uterus tidak seberapa banyak mengalami kontraksi seperti
korpus uteri sehingga luka dapat sembuh lebih sempurna
b. Sectio Caesarea korporal / klasik
Pada Sectio Caesarea korporal / klasik ini di buat kepada korpus
uteri, pembedahan ini yang agak mudah dilakukan, hanya di
selenggarakan apabila ada halangan untukmelakukan Sectio
Caesarea transperitonealis profunda. Insisi memanjang pada
segmen uterus.
c. Sectio Caesarea ekstra peritoneal
Sectio ceasarea ekstra peritoneal dahulu dilakukan untuk
mengurangi bahaya injeksi peroral akan tetapi dengan kemajuan
pengobatan tehadap injeksi pembedahan ini sekarang tidak banyak
lagi dilakukan. Rongga peritoneum tak dibuka, dilakukan pada
pasien infeksi uteri berat.
d. Sectio Caesarea hysteroctomi
Setelah Sectio Caesarea, dilakukan hysteroktomy dengan indikasi :
1) Atonia uteri
2) Plasenta accrete
3) Myoma uteri
4) Infeksi intra uteri berat
3. Etiologi Sectio Caesarea
Menurut Sagita (2019), indikasi ibu dilakukan Sectio Caesarea
adalah ruptur uteri iminen, perdarahan antepartum, ketuban pecah dini.
Sedangkan indikasi dari janin adalah fetal distres dan janin besar
melebihi 4.000 gram> Dari beberapa faktor Sectio Caesarea diatas
dapat diuraikan beberapa penyebab sectio sebagai berikut :
a. CPD (Chepalo Pelvik Dispropotion) adalah ukuran lingkar panggul
ibu tidak sesuai dengan ukuran kepala janin yang dapat
menyebabkan ibu tidak dapat melahirkan secara normal. Tulang-
tulang panggul merupakan susunan beberapa tulang yang
membentuk rongga panggul yang merupakan jalan yang harus
dilalau oleh janin ketikaakan lahir secara normal. Bentuk panggul
yang menunjukkan kelainan atau panggul patologis juga dapat
menyebabkan kesulitan dalam proses persalinan normal sehingga
harus dilakukan tindakan operasi. Keadaan patologis tersebut
menyebabkan bentuk rongga panggul menjadi asimetris dan ukuran-
ukuran bidang panggul menjadi abnormal.
b. PEB (Pre-Eklamasi Berat) adalah kesatuan penyakit yang langsung
disebabkan oleh kehamilan, sebab terjadinya masih belum jelas. Setelah
perdarahan dan infeksi, preeklamsi dan eklamsi merupakan
penyebab kematian maternatal dan perinatal paling penting dalam
ilmu kebidanan. Karena itu diagnosa dini amatlah penting, yaitu
mampu mengenali dan mengobati agar tidak berlanjut menjadi
eklamsi.
c. KDP (Ketuban Pecah Dini) adalah pecahnya ketuban sebelum
terdapat tanda persalinan dan ditunggu satu jam belum terjadi
inpartus. Sebagian besar ketuban pecah dini adalah hamil aterm di
atas 37 minggu.
d. Bayi kembar, tak selamanya bayi kembar dilahirkan secara Sectio
Caesarea. Hal ini karena kelahiran kembar memiliki resiko terjadi
komplikasi yang lebih tinggi daripada kelahiran satu bayi. Selain
itu, bayi kembar pun dapat mengalami sungsang atau salah letak
lintang sehingga sulit untuk dilahirkan secara normal.
e. Faktor hambatan jalan lahir, adanya gangguan pada jalan lahir,
misalnya jalan lahir yang tidak memungkinkan adanya pembukaan,
adanya tumor dan kelainan bawaan pada jalan lahir, tali pusat
pendek dan ibu sulit bernafas.
f. Kelainan Letak Janin
1) Kelainan pada letak kepala
 Letak kepala tengadah, bagian terbawah adalah puncak
kepala, pada pemerikasaan dalam teraba UUB yang paling
rendah. Etiologinya kelainan panggul, kepala bentuknya
bundar, anaknya kecil atau mati, kerusakan dasar panggul.
 Presentasi muka, letak kepala tengadah (defleksi), sehingga
bagian kepala yang terletak paling rendah ialah muka. Hal
ini jarang terjadi, kira-kira 0,27-0,5 %. Presentasi dahi,
posisi kepala antara fleksi dan defleksi, dahi berada pada
posisi terendah dan tetap paling depan. Pada penempatan
dagu, biasnya dengan sendirinya akan berubah menjadi letak
muka atau letak belakang kepala.
2) Letak sungsang merupakan keadaan dimana janin terletak
memanjang dengan kepala difundus uteri dan bokong berada di
bagian bawah kavum uteri. Dikenal beberapa jenis letak
sungsang, yakni presentasi bokong, presentasi bokong kaki
sempurna, presentasi bokong tidak sempurna dan presentasi kaki.
4. Manifestasi Klinis
Menurut Padila (2015), Manifestasi Klinis Sectio Caesarea,yaitu
sebagai berikut :
a. Fetal distress : Kondisi janin yang tidak kondusif untuk memenuhi
persalinan
b. His lemah/melemah
c. Janin dalam posisi sungsang/melintang
d. Bayi besar (BBL≥4,2 kg)
e. Plasenta previa : plasenta ada di depan jalan lahir
f. Distosia persalinan : kelainan letak , panggul sempit
g. Disproporsi cevalo-pelvik (ketidakseimbangan antar ukuran kepala
dan panggul)
h. Rupture uteri mengancam
i. Hydrocephalus
j. Primi muda atau tua
k. Partus dengan komplikasi
l. Problema plasenta
5. Patofisiologi
Adanya beberapa kelainan/hambatan pada proses persalinan yang
menyebabkan bayi tidak dapat lahir secara normal/spontan, misalnya
karena ketidakseimbangan ukuran kepala bayi dan panggul ibu,
keracunan kehamilan yang parah, pre eklampsia dan eklampsia berat,
kelainan letak bayi seperti sungsang dan lintang, kemudian sebagian
kasus mulut rahim tertutup plasenta yang lebih dikenal dengan plasenta
previa, bayi kembar, kehamilan pada ibu yang berusia lanjut, persalinan
yang berkepanjangan, plasenta keluar dini, ketuban pecah dan bayi
belum keluar dalam 24 jam, kontraksi lemah dan sebagainya. Kondisi
tersebut menyebabkan perlu adanya suatu tindakan pembedahan yaitu
Sectio Caesarea (Ramadanty, 2019).
Sectio Caesarea merupakan tindakan untuk melahirkan bayi
dengan berat di atas 500 gr dengan sayatan pada dinding uterus yang
masih utuh. Indikasi dilakukan tindakan ini yaitu distorsi kepala
panggul, disfungsi uterus, distorsia jaringan lunak, placenta previa dll, untuk
ibu. Sedangkan untuk janin adalah gawat janin. Janin besar dan
letak lintang setelah dilakukan Sectio Caesarea ibu akan mengalami
adaptasi post partum baik dari aspek kognitif berupa kurang
pengetahuan. Akibat kurang informasi dan dari aspek fisiologis yaitu
produk oxsitosin yang tidak adekuat akan mengakibatkan ASI yang
keluar hanya sedikit, luka dari insisi akan menjadi post de entris bagi
kuman. Oleh karena itu perlu diberikan antibiotik dan perawatan luka
dengan prinsip steril. Nyeri adalah salah utama karena insisi yang
mengakibatkan gangguan rasa nyaman (Nanda Nic Noc, 2015).
Setelah proses pembedahan berakhir, daerah insisi akan ditutup
dan menimbulkan luka post Sectio Caesarea, yang bila tidak dirawat
dengan baik akan menimbulkan masalah resiko infeksi.
Setelahkelahiran bayi, terjadi adaptasi post partum yang mengakibatkan
perubahan fisiologis laktasi dimana akan muncul perubahan struktur
dan karakter payudara. Laktasi dipengaruhi oleh hormon estrogen dan
peningkatan prolaktin sehingga terjadi pembentukan ASI, pada
sebagian ibu yang tidak paham bagaimana teknik menyusui dengan
benar dapat menjadi masalah dalam menyusui. Masalah yang sering
muncul dalam kegagalan menyususi adalah payudara bengkak,
memerah, saluran susu tersumbat, mastitits, abses payudara, dan
kelainan pada puting susu (puting tenggelam/datar)sehingga
meningkatkan efektifitas ASI, pengeluaran ASI yang tidak adekuat
menimbulkan hisapan menurun sehingga timbullah masalah keperawatan
ketidakefektifan pemberian ASI (Astutik & Kurlinawati, 2017).
6. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Nanda (2015) pemeriksaan penunjang pada Sectio
Caesarea adalah sebagai berikut :
a. Pemantauan janin terhadap kesehatan janin
b. Pemantauan EKG
c. JDL dengan diferensial
d. Elektrolit
e. Hemoglobin/Hematokrit
f. Golongan Darah
g. Urinalis
h. Amniosentesis terhadap maturitas paru janin sesuai indikasi
i. Pemeriksaan sinar X sesuai indikasi
j. Ultrasound sesuai pesanan
7. Penatalaksanaan
Menurut Ramadanty (2019), penatalaksanan Sectio Caesarea
adalah sebagai berikut :
a. Pemberian Cairan
Karena 24 jam pertama penderita puasa pasca operasi, maka
pemberian cairan per intavena harus cukup banyak dan
mengandung elektrolit agar tidak terjadi hipotermi, dehidrasi, atau
komplikasi pada organ tubuh lainnya. Cairan yang biasa diberikan
biasanya DS 10%, garam fisiologi dan RL secara bergantian dan
jumlah tetesan tergantung kebutuhan. Bila kadar Hb rendah
diberikan transfusi darah sesuai kebutuhan.
b. Diet
Pemberian cairan per infus biasanya dihentikan setelah penderita
flatus lalu dimulailah pemberian minuman dan makanan per oral.
Pemberian minuman dengan jumlah yang sedikit sudah boleh
dilakukan pada 6 sampai 8 jam pasca operasi, berupa air putih dan
air teh.
c. Mobilisasi
Mobilisasi dilakukan secara bertahap meliputi : Miring kanan dan
kiri dapat dimulai sejak 6 sampai 10 jam setelah operasi, Latihan
pernafasan dapat dilakukan penderita sambil tidur telentang sedini
mungkin setelah sadar, Hari kedua post operasi, penderita dapat
didudukkan selama 5 menit dan diminta untuk bernafas dalam lalu
menghembuskannya. Kemudian posisi tidur telentang dapat diubah
menjadi posisi setengah duduk (semifowler), Selanjutnya selama
berturut-turut, hari demi hari, pasien dianjurkan belajar duduk
selama sehari, belajar berjalan, dan kemudian berjalan sendiri pada
hari ke-3 sampai hari ke-5 pasca operasi.
d. Katerisasi
Kandung kemih yang penuh menimbulkan rasa nyeri dan rasa tidak
enak pada penderita, menghalangi involusi uterus dan menyebabkan
perdarahan. Kateter biasanya terpasang 24 - 48 jam /
lebih lama lagi tergantung jenis operasi dan keadaan penderita.
e. Pemberian Obat-Obatan
Antibiotik cara pemilihan dan pemberian antibiotik sangat berbeda-
beda sesuai indikasi.
f. Analgetik dan obat untuk memperlancar kerja saluran pencernaan
Obat yang dapat di berikan melalui supositoria obat yang
diberikan ketopropen sup 2x/24 jam, melalui orang obat yang
dapatdiberikan tramadol atau paracetamol tiap 6 jam, melalui
injeksi ranitidin 90-75 mg diberikan setiap 6 jam bila perlu.
g. Obat-obatan lain
Untuk meningkatkan vitalitas dan keadaan umum penderita dapat
diberikan caboransia seperti neurobian I vit C.
h. Perawatan luka
Kondisi balutan luka dilihat pada 1 hari post operasi, bila basah
dan berdarah harus dibuka dan diganti.
i. Pemeriksaan rutin
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan adalah suhu,
tekanan darah, nadi,dan pernafasan.
j. Perawatan Payudara
Pemberian ASI dapat dimulai pada hari post operasi jika ibu
memutuskan tidak menyusui, pemasangan pembalut payudara yang
mengencangkan payudara tanpa banyak menimbulkan kompesi,
biasanya mengurangi rasa nyeri.
8. Komplikasi
Menurut NANDA NIC-NOC (2015) Sectio Caesarea
komplikasi pada pasien Sectio Caesarea adalah :
a. Komplikasi pada ibu
Infeksi puerperalis, bisa bersifat ringan seperti kenaikan suhu
selama beberapa hari dalam masa nifas, atau bersifat berta seperti
peritonitis, sepsis dan sebagainya. Infeksi postoperatif terjadi
apabila sebelum pembedahan sudah ada gejala-gejala yang
merupakan predisposisi terhadap kelainan itu (partus lama
khususnya setelah ketuban pecah, tindakan vaginal sebelumnya).
Perdarahan, bisa timbul pada waktu pembedahan jika cabang
cabang arteri uterina ikut terbuka atau karena atonia uteri.
Komplikasikomplikasi lain seperti luka kandung kencing dan
embolisme paru. suatu komplikasi yang baru kemudian tampak
ialah kuatnya perut pada dinding uterus, sehingga pada kehamilan
berikutnya bisa ruptur uteri. Kemungkinan hal ini lebih banyak
ditemukan sesudah Sectio Caesarea.
b. Komplikasi-komplikasi lain
Komplikasi-komplikasi lain seperti luka kandung kemih, dan
embolisme paru.
c. Komplikasi baru
Komplikasi yang kemudian tampak ialah kurang kuatnya parut pada
dinding uterus, sehingga pada kehamilan berikutnya bisa terjadi ruptur
uteri. Kemungkinan peristiwa ini lebih banyak ditemukan
sesudah Sectio Caesarea Klasik.
9. Indikasi
Indikasi dilakukannya sectio caesarea menurut Prawirohardjo (2010),
yaitu sebagai berikut:
a. Indikasi Ibu
1. Panggul sempit absolut
2. Tumor-tumor jalan lahir yang menimbulkan obstruksi
3. Stenosis serviks/vagina
4. Plasenta previa
5. Disproporsi sefalopelvik
6. Ruptura uteri membakar
b. Indikasi Janin
a. Kelainan letak
b. Gawat janin
Pada umumnya sectio caesarea tidak dilakukan pada:
a. Janin mati
b. Syok, anemia berat, sebelum diatasi
c. Kelainan kongenital berat (monster)
10. Perawatan Post Sectio Caesarea
Pasien pasca operasi perlu mendapatkan perawatan sebagai berikut
menurut Hartanti (2014):
a. Ruang Pemulihan
Pasien dipantau dengan cermat di ruang pemulihan, meliputi jumlah
perdarahan dari vagina dan dilakukan palpasi fundus uteri untuk
memastikan bahwa uterus berkontraksi dengan kuat. Selain itu, pemberian
cairan intravena juga dibutuhkan. Kebutuhan akan cairan intravena
termasuk darah sangat bervariasi. Wanita dengan berat badan rata-rata
dengan hematokrit kurang dari atau sama dengan 30 dan volume darah
serta cairan ekstraseluler yang normal umumnya dapat mentoleransi
kehilangan darah sampai 2000ml.
b. Ruang Perawatan
Beberapa prosedur yang dilakukan di ruang perawatan adalah:
1) Monitor tanda-tanda vital
Tanda-tanda vital yang perlu di evaluasi adalah tekanan darah,
nadi, jumlah urin, jumlah perdarahan, status fundus uteri, dan suhu
tubuh.
2) Analgesik
Pasien dengan berat badan rata-rata, dapat diberikan paling banyak
setiap 3 jam untuk menghilangkan nyeri, sedangkan pasien yang
menggunakan opioid, harus diberikan pemeriksaan rutin tiap jam
untuk memantau respirasi, sedasi, dan skor nyeri selama pemberian
dan sekurangnya 2 jam setelah penghentian pengobatan.
3) Terapi cairan dan makanan
Pemberian cairan intravena, pada umumnya mendapatkan 3 liter
cairan memadai untuk 24 jam pertama setelah tindakan, namun
apabila pengeluaran urin turun, dibawah 30ml/jam, wanita tersebut
harus segera dinilai kembali.
4) Pengawasan fungsi vesika urinaria dan usus
Kateter vesika urinaria umumnya dapat dilepas dalam waktu 12
jam setelah operasi atau keesokan pagi setelah pembedahan dan
pemberian makanan padat bisa diberikan setelah 8 jam, bila tidak ada
komplikasi.
5) Ambulasi
Mobilisasi pada klien post operasi menurut (Manuaba et al. 2009)
dilakukan secara bertahap meliputi :
a) Miring kanan dan kiri dapat dimulai sejak 6 - 10 jam setelah
operasi.
b) Latihan pernafasan dapat dilakukan penderita sambil tidur
telentang sedini mungkin setelah sadar.
c) Hari kedua post operasi, penderita dapat didudukkan selama 5
menit dan diminta untuk bernafas dalam lalu menghembuskannya.
d) Kemudian posisi tidur telentang dapat diubah menjadi posisi
setengah duduk (semifowler).
e) Selanjutnya selama berturut-turut, hari demi hari, pasien
dianjurkan belajar duduk selama sehari, belajar berjalan, dan
kemudian berjalan sendiri pada hari ke-3 sampai hari ke-5 pasca
operasi.
6) Perawatan luka
Luka insisi diperiksa setiap hari dan jahitan kulit (atau klip) pada
hari keempat setelah pembedahan. Pada hari ketiga pasca persalinan,
mandi dengan pancuran tidak membahayakan luka insisi.
Fase – fase penyembuhan luka post operasi menurut (Kozier et al.
2010) ada 3 (tiga) tahap, diantaranya:
a) Fase I (Fase Peradangan)
Fase peradangan berlangsung selama 3 sampai 4 hari, setelah
pembedahan. Pada fase ini terjadi penumpukan, benang – benang
fibrin dan membentuk gumpalan yang mengisi luka dan
pembuluh darah yang terputus. Leukosit mulai mencerna bakteri
dan jaringan yang rusak.
b) Fase II (Fase Proliferasi)
Fase Proliferasi (tahapan pertumbuhan sel dengan cepat)
berlangsung 3-21 hari setelah pembedahan. Leukosit mulai
berkurang dan luka berisi kolagen. Kolagen terus menumpuk dan
menekan pembuluh darah, sehingga suplai darah ke daerah luka
mulai berkurang. Luka akan tertutup dengan dibantu
pembentukan jaringan – jaringan fibrinous.
c) Fase III (Fase Maturasi)
Biasanya dimulai pada hari ke – 21 dan mucul setengah tahun
setelah perlukaan. Kolagen ditimbun dan luka semakin kecil atau
mengecil, tegang, jaringan elastis berkurang, timbul garis putih.
7) Pemeriksaan laboratorium
Hematokrit diukur setiap pagi hari setelah pembedahan.
Pemeriksaan ini dilakukan lebih dini apabila terdapat kehilangan
darah yang banyak selama operasi atau terjadi oliguria atau tanda-
tanda lain yang mengisyaratkan hipovolemia.
8) Menyusui
Menyusui dapat dimulai pada hari pasca operasi sectio caesarea.
9) Pencegahan infeksi pasca operasi
Morbiditas demam cukup sering dijumpai setelah sectio caesarea.
Infeksi panggul pasca operasi merupakan penyebab tersering dari
demam dan tetap terjadi pada sekitar 20% wanita walaupun telah
diberi antibiotik profilaksis.
B. Konsep Asuhan Keperawatan
Asuhan keperawatan merupakan serangkaian kegiatan pada praktik
keperawatan yang diberikan secara langsung kepada pasien/klien di berbagai
tatanan pelayanan kesehatan. Proses keperawatan adalah metode
pengorganisasian yang sistematis dalam melakukan asuhan keperawatan pada
individu, kelompok, dan masyarakat yang berfokus pada identifikasi dan
pemecahan masalah dari respons pasien terhadap penyakitnya (Tarwoto &
Wartonah, 2010).
1. Pengkajian
Pengkajian adalah proses dinamis yang terorganisasi yang meliputi tiga
aktvitas dasar, yaitu mengumpulkan data secara sistematis, memilah dan
mengatur data yang dikumpulkan, mendokumentasikan data dalam format
yang dapat dibuka kembali (Tarwoto & Wartonah, 2010)
Pengkajian pada klien post operasi sectio caesarea menurut Chairani
(2017) yaitu sebagai berikut:
a. Identitas klien dan penanggung jawab
Meliputi nama, umur, pendidikan, suku bangsa, pekerjaan, agama,
alamat, status perkawinan, ruang rawat, nomor medical record,
diagnosa medik, yang mengirim, cara masuk, alasan masuk, keadaan
umum tanda vital.
b. Keluhan utama: nyeri pada area post operasi
c. Riwayat kesehatan sekarang
Meliputi keluhan atau yang berhubungan dengan gangguan atau
penyakit yang dirasakan saat ini dan keluhan yang dirasakan setelah
pasien operasi.
d. Riwayat kesehatan dahulu
Meliputi penyakit lain yang dapat mempengaruhi penyakit
sekarang, maksudnya apakah pasien pernah mengalami penyakit yang
sama (plasenta previa)
e. Riwayat kesehatan keluarga
Meliputi penyakit yang diderita pasien dan apakah keluarga pasien
ada juga mempunyai riwayat persalinan yang sama (plasenta previa).
f. Keadaan klien meliputi:
1) Sirkulasi
Hipertensi dan pendarahan vagina yang mungkin terjadi.
Kemungkinan kehilangan darah selama prosedur pembedahan kira-
kira 600-800 mL.
2) Integritas ego
Dapat menunjukkan prosedur yang diantisipasi sebagai tanda
kegagalan dan atau refleksi negatif pada kemampuan sebagai
wanita.Menunjukkan labilitas emosional dari kegembiraan,
ketakutan, menarik diri, atau kecemasan.
3) Makanan dan cairan: abdomen lunak dengan tidak ada distensi
(diet ditentukan)
4) Neurosensori: kerusakan gerakan dan sensasi di bawah tingkat
anestesi spinal epidural.
5) Nyeri/ketidaknyamanan
Mungkin mengeluh nyeri dari berbagai sumber karena trauma
bedah, distensi kandung kemih, efek-efek anesthesia, nyeri tekan
uterus mungkin ada.
6) Pernapasan: bunyi paru-paru vesikuler dan terdengar jelas.
7) Keamanan: balutan badomen dapat tampak sedikit noda/kering dan
utuh.
8) Seksualitas: fundus kontraksi kuat dan terletak di umbilikus. Aliran
lokhea sedang.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang jelas mengenai status
kesehatan atau masalah aktual atau resiko dalam rangka mengidentifikasikan
menentukan intervensi keperawatan untuk mengurangi, menghilangkan, atau
mencegah masalah kesehatan klien yang ada pada tanggung jawabnya
(Tarwoto & Wartonah, 2010)
Masalah-masalah atau diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada
klien post operasi sectio caesarea menurut SDKI 2016, diantaranya sebagai
berikut:
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis (mis.
Inflamasi, iskemia, neoplasma) (D.0077)
b. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri (D.0054)

c. Resiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasi (D.0142)

3. Perencanaan Keperawatan
Perencanaan merupakan langkah perawat dalam menetapkan tujuan dan
kriteria/hasil yang diharapkan bagi klien dan merencanakan intervensi
keperawatan. Dari pernyataan tersebut diketahui bahwa dalam membuat
perencanaan perlu mempertimbangkan tujuan, kriteria yang diperkirakan/
diharapkan, dan intervensi keperawatan (Andarmoyo, 2013). Intervensi
keperawatan merupakan segala treatment yang dikerjakan oleh perawat yang
didasarkan pada pengetahuan dan penilaian klinis untuk mencapai luaran
(outcome) yang di harapkan (Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018).
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis (mis.
Inflamasi, iskemia, neoplasma) (D.0077)
Tujuan/Kriteria Hasil (SLKI) : Setelah dilakukan asuhan keperawatan
selama 3 kali 24 jam, maka diharapkan
tingkat nyeri menurun dan kontrol nyeri
meningkat dengan kriteria hasil : Tidak
mengeluh nyeri, tidak meringis, tidak
bersikap protektif, tidak gelisah, tidak
mengalami kesulitan tidur, frekuensi nadi
membaik, tekanan darah membaik,
melaporkan nyeri terkontrol, kemampuan
mengenali onset nyeri meningkat,
kemampuan mengenali penyebab nyeri
meningkat, kemampuan menggunakan
teknik non-farmakologis.
Intervensi (SIKI) : MANAJEMEN NYERI (I. 08238)
Observasi
1. lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
intensitas nyeri
2. Identifikasi skala nyeri
3. Identifikasi respon nyeri non verbal
4. Identifikasi faktor yang memperberat dan
memperingan nyeri
5. Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang
nyeri
6. Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon
nyeri
7. Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
8. Monitor keberhasilan terapi komplementer yang
sudah diberikan
9. Monitor efek samping penggunaan analgetic
Terapeutik
1. Berikan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri (mis. TENS, hypnosis,
akupresur, terapi musik, biofeedback, terapi pijat,
aroma terapi, teknik imajinasi terbimbing,
kompres hangat/dingin, terapi bermain)
2. Control lingkungan yang memperberat rasa nyeri
(mis. Suhu ruangan, pencahayaan, kebisingan)
3. Fasilitasi istirahat dan tidur
4. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam
pemilihan strategi meredakan nyeri
Edukasi
1. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
2. Jelaskan strategi meredakan nyeri

3. Anjurkan memonitor nyri secara mandiri

4. Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat

5. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk


mengurangi rasa nyeri

Kolaborasi
Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
PEMBERIAN ANALGETIK (I.08243)
Observasi
1. Identifikasi karakteristik nyeri (mis. Pencetus,
pereda, kualitas, lokasi, intensitas, frekuensi,
durasi)
2. Identifikasi riwayat alergi obat
3. Identifikasi kesesuaian jenis analgesik (mis.
Narkotika, non-narkotika, atau NSAID) dengan
tingkat keparahan nyeri
4. Monitor tanda-tanda vital sebelum dan sesudah
pemberian analgesic
5. Monitor efektifitas analgesik
Terapeutik
1. Diskusikan jenis analgesik yang disukai untuk
mencapai analgesia optimal, jika perlu
2. Pertimbangkan penggunaan infus kontinu, atau
bolus opioid untuk mempertahankan kadar dalam
serum
3. Tetapkan target efektifitas analgesic untuk
mengoptimalkan respon pasien
4. Dokumentasikan respon terhadap efek analgesic
dan efek yang tidak diinginkan
Edukasi
Jelaskan efek terapi dan efek samping obat
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian dosis dan jenis analgesik,
sesuai indikasi
b. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri (D.0054)
Tujuan/Kriteria Hasil (SLKI) : Setelah dilakukan asuhan keperawatan
selama 3 kali 24 jam, maka diharapkan
nyeri menurun, kecemasan menurun,
gerakan terbatas menurun, kelemahan fisik
menurun

Intervensi (SIKI) : DUKUNGAN AMBULASI (1.06171)


Observasi
1. Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
2. Identifikasi toleransi fisik melakukan ambulasi

3. Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah


sebelum memulai ambulasi

4. Monitor kondisi umum selama melakukan


ambulasi

Terapeutik
1. Fasilitasi aktivitas ambulasi dengan alat bantu (mis.
tongkat, kruk)
2. Fasilitasi melakukan mobilisasi fisik, jika perlu

3. Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam


meningkatkan ambulasi

Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan prosedur ambulasi
2. Anjurkan melakukan ambulasi dini
3. Ajarkan ambulasi sederhana yang harus dilakukan
(mis. berjalan dari tempat tidur ke kursi roda,
berjalan dari tempat tidur ke kamar mandi, berjalan
sesuai toleransi)
c. Resiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasi (D.0142)
Tujuan/Kriteria Hasil (SLKI) : Setelah dilakukan asuhan keperawatan
selama 3 kali 24 jam, maka diharapkan
resiko infeksi dapat berkurang. Dengan
kriteria hasil mengenali tanda dan gejala
yang mengindikasikan risiko dalam
penyebaran infeksi, mengetahui cara
mengurangi penularan infeksi,
mengetahui aktivitas yang dapat
meningkatkan infeksi

Intervensi (SIKI) : PENCEGAHAN INFEKSI (I.14539)


1. Pemantauan tanda vital
2. Kaji tanda-tanda infeksi ; suhu tubuh, nyeri
dan perdarahan
3. Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik
dan local
4. Mencuci tangan sebelum dan sesudah setiap
melakukan kegiatan perawatan pasien
5. Mengajarkan pasien dan keluarga tentang
tanda dan gejala infeksi
6. Mengajarkan pasien dan keluarga
bagaimana menghindari infeksi
7. Rawat luka (inspeksi kondisi luka)
8. Mengajarkan pasien merawat luka.
4. Implementasi
Pelaksanaan adalah rencana tindakan yang dilakukan untuk mencapai
tujuan dari kriteria hasil yang dibuat. Tahap pelaksanaan dilakukan setelah
rencana tindakan di susun dan di tunjukkan kepada nursing order untuk
membantu klien mencapai tujuan dan kriteria hasil yang dibuat sesuai dengan
masalah yang klien hadapi. Tahap pelaksaanaan terdiri atas tindakan mandiri
dan kolaborasi yang mencangkup peningkatan kesehatan, pencegahan
penyakit, pemulihan kesehatan, dan memfasilitasi koping. Agar kondisi klien
cepat membaik diharapkan bekerja sama dengan keluarga klien dalam
melakukan pelaksanaan agar tercapainya tujuan dan kriteria hasil yang sudah
di buat dalam intervensi (Nursalam, 2009).

5. Evaluasi
Evaluasi keperawatan berdasarkan (Kozier & Erb, 2010) adalah fase kelima
dan terakhir dalam suatu proses keperawatan. Evaluasi dapat berupa evaluasi
struktur, proses dan sebuah hasil evaluasi yang terdiri dari evaluasi formatif,
yaitu dapat menghasilkan umpan balik selama program berlangsung. Evaluasi
sumatif dapat dilakukan setelah program selesai dan mendapatkan suatu
informasi efektifitas dan pengambilan keputusan. Proses evaluasi dalam
asuhan keperawatan di dokumentasikan dalam SOAP (subjektif, objektif,
assement, planning) (Achar, 2010). Suatu evaluasi yang telah diharapkan
sesuai dengan masalah yang dihadapi oleh pasien dan telah dibuat pada
perencanaan tujuan dan kriteria hasil evaluasi yang telah diarapkan dapat
tercapai
DAFTAR PUSTAKA
Chairani, Nopi. 2015. Asuhan Keperawatan pada Ny. S dengan Prioritas Masalah
Kebutuhan Dasar Gangguan Rasa Nyaman:Nyeri pada Post Operasi Sectio
Caesarea di R.S Fajar Kelurahan Sari Rejo Medan Polonia. Diakses tanggal 1
Juni 2018.
<http://repositori.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/2624/142500028.pdf?
sequence=1&isAllowed=y>
Gloria M. Bulechek, et al. 2013. Nursing Interventions Classifications (NIC), Edisi
Keenam. Missouri: Mosby Elsevier.
Prawirohardjo, Sarwono. 2010. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT. Bina Pustaka.
Tarwoto dan Wartonah. 2010. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan.
Jakarta: Salemba Medika.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2016), Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
(SDKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2018), Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI),
Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
(SIKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Astuti dan Kurniawati. (2017). Pengaruh Pijat Oksitosin dan Memerah ASI terhadap
Produksi ASI pada Ibu Postpartum dengan Seksio Sesarea, Jurnal Pendidikan
dan Pelayanan Kebidanan Indonesia, Vol 2 No 1 hal 1-7, diakses pada tanggal
15 Januari 2018.
Sagita, F. Erin. (2019). Asuhan Keperawatan Ibu Post Partum Dengan Post Operasi
Sectio Caesarea Di Ruangan Rawat Inap Kebidanan Dr. Achmad Mochtar
Bukittinggi Tahun 2019. Tulis Ilimiah, Prodi D-III Keperawatan. Padang :
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Perintis Padang.
NANDA NIC-NOC. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis & NANDA. Yogyakarta: Mediaction.
LEMBAR KONSULTASI

DEPARTEMEN MATERNITAS

No Tgl Revisi Pembimbing mahasiswa

1.

2.

Anda mungkin juga menyukai