Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN

SECTIO CAESAREA

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Maternitas

Disusun Oleh :
Nama : SUSILAWATI
NIM : R220416055

PROGRAM STUDI PROFESI NERS NON-REGULER


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN INDRAMAYU
TAHUN 2022
TINJAUAN TEORITIS

Tinjauan Teoritis Medis

Defenisi

Sectio Caesarea adalah melahirkan janin dengan cara

pembedahan pada dinding perut dan dinding uterus, dimana setelah

enam minggu keadaan uterus akan kembali pada keadaan sebelum

hamil (Hartati dan Maryunani 2015). Sesarea adalah operasi yang

ditujukan untuk indikasi medis tertentu, seperti indikasi bayi maupun

indikasi ibu, tindakan ini berupa operasi dengan membuka dinding

rahim dengan sayat pada dinding perut (Indiarti, 2015).

Sectio Caesarea adalah suatu cara melahirkan janin

denganmembuat sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan

perut (Martowirjo, 2018). Sectio Caesarea adalah suatu persalinan

buatan dimana janin dilahirkan melalui suatu insisi pada dinding depan

perut dan dinding rahim dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta

berat janin di atas 500 gram (Sagita, 2019).

Klasifikasi

Menurut Sagita (2019), klasifikasi Sectio Caesareaadalah

sebagai berikut :

1) Sectio caeasarea transperitonealis profunda

10
Sectio caeasarea transperitonealis profunda dengan insisi di segmen

bawah uterus. Insisi pada bawah rahim, bisa dengan teknik

melintang atau memanjang.

Keunggulan pembedahan ini :

(a) Perdarahan luka insisi tidak seberapa banyak

(b) Bahaya peritonitis tidak besar

(c) Perut uterus umumnya kuat sehingga bahaya ruptur uteri

dikemudian hari tidak besar karena pada nifas segmen bawah

uterus tidak seberapa banyak mengalami kontraksi seperti

korpus uteri sehingga luka dapat sembuh lebih sempurna.

2) Sectio Caesarea korporal / klasik

Pada Sectio Caesarea korporal / klasik ini di buat kepada korpus

uteri, pembedahan ini yang agak mudah dilakukan, hanya di

selenggarakan apabila ada halangan untukmelakukan Sectio

Caesarea transperitonealis profunda. Insisi memanjang pada

segmen uterus.

3) Sectio Caesarea ekstra peritoneal

Sectio ceasarea ekstra peritoneal dahulu dilakukan untuk

mengurangi bahaya injeksi peroral akan tetapi dengan kemajuan

pengobatan tehadap injeksi pembedahan ini sekarang tidak banyak

lagi dilakukan. Rongga peritoneum tak dibuka, dilakukan pada

pasien infeksi uteri berat.

4) Sectio Caesarea hysteroctomi

Setelah Sectio Caesarea, dilakukan hysteroktomy dengan indikasi :


(a) Atonia uteri

(b) Plasenta accrete

(c) Myoma uteri

(d) Infeksi intra uteri berat

Etiologi Sectio Caesarea

Menurut Sagita (2019), indikasi ibu dilakukan Sectio Caesarea

adalah ruptur uteri iminen, perdarahan antepartum, ketuban pecah dini.

Sedangkan indikasi dari janin adalah fetal distres dan janin besar

melebihi 4.000 gram> Dari beberapa faktor Sectio Caesarea diatas

dapat diuraikan beberapa penyebab sectio sebagai berikut :

1) CPD (Chepalo Pelvik Dispropotion) adalah ukuran lingkar panggul

ibu tidak sesuai dengan ukuran kepala janin yang dapat

menyebabkan ibu tidak dapat melahirkan secara normal. Tulang-

tulang panggul merupakan susunan beberapa tulang yang

membentuk rongga panggul yang merupakan jalan yang harus

dilalau oleh janin ketikaakan lahir secara normal. Bentuk panggul

yang menunjukkan kelainan atau panggul patologis juga dapat

menyebabkan kesulitan dalam proses persalinan normal sehingga

harus dilakukan tindakan operasi. Keadaan patologis tersebut

menyebabkan bentuk rongga panggul menjadi asimetris dan ukuran-

ukuran bidang panggul menjadi abnormal.

2) PEB (Pre-Eklamasi Berat) adalah kesatuan penyakit yang langsung

disebabkan oleh kehamilan, sebab terjadinya masih belum jelas.


Setelah perdarahan dan infeksi, preeklamsi dan eklamsi merupakan

penyebab kematian maternatal dan perinatal paling penting dalam

ilmu kebidanan. Karena itu diagnosa dini amatlah penting, yaitu

mampu mengenali dan mengobati agar tidak berlanjut menjadi

eklamsi.

3) KDP (Ketuban Pecah Dini) adalah pecahnya ketuban sebelum

terdapat tanda persalinan dan ditunggu satu jam belum terjadi

inpartus. Sebagian besar ketuban pecah dini adalah hamil aterm di

atas 37 minggu.

4) Bayi kembar, tak selamanya bayi kembar dilahirkan secara Sectio

Caesarea. Hal ini karena kelahiran kembar memiliki resiko terjadi

komplikasi yang lebih tinggi daripada kelahiran satu bayi. Selain

itu, bayi kembar pun dapat mengalami sungsang atau salah letak

lintang sehingga sulit untuk dilahirkan secara normal.

5) Faktor hambatan jalan lahir, adanya gangguan pada jalan lahir,

misalnya jalan lahir yang tidak memungkinkan adanya pembukaan,

adanya tumor dan kelainan bawaan pada jalan lahir, tali pusat

pendek dan ibu sulit bernafas.

6) Kelainan Letak Janin

(a) Kelainan pada letak kepala

(1) Letak kepala tengadah, bagian terbawah adalah puncak

kepala, pada pemerikasaan dalam teraba UUB yang paling

rendah. Etiologinya kelainan panggul, kepala bentuknya

bundar, anaknya kecil atau mati, kerusakan dasar panggul.


(2) Presentasi muka, letak kepala tengadah (defleksi), sehingga

bagian kepala yang terletak paling rendah ialah muka. Hal

ini jarang terjadi, kira-kira 0,27-0,5 %. Presentasi dahi,

posisi kepala antara fleksi dan defleksi, dahi berada pada

posisi terendah dan tetap paling depan. Pada penempatan

dagu, biasnya dengan sendirinya akan berubah menjadi letak

muka atau letak belakang kepala.

b) Letak sungsang merupakan keadaan dimana janin terletak

memanjang dengan kepala difundus uteri dan bokong berada di

bagian bawah kavum uteri. Dikenal beberapa jenis letak

sungsang, yakni presentasi bokong, presentasi bokong kaki

sempurna, presentasi bokong tidak sempurna dan presentasi kaki

Manifestasi Klinis

Menurut Padila (2015), Manifestasi Klinis Sectio Caesarea,yaitu

sebagai berikut :

1) Fetal distress : Kondisi janin yang tidak kondusif untuk memenuhi

persalinan

2) His lemah/melemah

3) Janin dalam posisi sungsang/melintang

4) Bayi besar (BBL≥4,2 kg)

5) Plasenta previa : plasenta ada di depan jalan lahir

6) Distosia persalinan : kelainan letak , panggul sempit


7) Disproporsi cevalo-pelvik (ketidakseimbangan antar ukuran kepala

dan panggul)

8) Rupture uteri mengancam

9) Hydrocephalus

10) Primi muda atau tua

11) Partus dengan komplikasi

12) Problema plasenta

Patofisiologi

Adanya beberapa kelainan/hambatan pada proses persalinan yang

menyebabkan bayi tidak dapat lahir secara normal/spontan, misalnya

karena ketidakseimbangan ukuran kepala bayi dan panggul ibu,

keracunan kehamilan yang parah, pre eklampsia dan eklampsia berat,

kelainan letak bayi seperti sungsang dan lintang, kemudian sebagian

kasus mulut rahim tertutup plasenta yang lebih dikenal dengan plasenta

previa, bayi kembar, kehamilan pada ibu yang berusia lanjut, persalinan

yang berkepanjangan, plasenta keluar dini, ketuban pecah dan bayi

belum keluar dalam 24 jam, kontraksi lemah dan sebagainya. Kondisi

tersebut menyebabkan perlu adanya suatu tindakan pembedahan yaitu

Sectio Caesarea (Ramadanty, 2019).

Sectio Caesareamerupakan tindakan untuk melahirkan bayi

dengan berat di atas 500 gr dengan sayatan pada dinding uterus yang

masih utuh. Indikasi dilakukan tindakan ini yaitu distorsi kepala

panggul, disfungsi uterus, distorsia jaringan lunak, placenta previa dll,


untuk ibu. Sedangkan untuk janin adalah gawat janin. Janin besar dan

letak lintang setelah dilakukan Sectio Caesareaibu akan mengalami

adaptasi post partum baik dari aspek kognitif berupa kurang

pengetahuan. Akibat kurang informasi dan dari aspek fisiologis yaitu

produk oxsitosin yang tidak adekuat akan mengakibatkan ASI yang

keluar hanya sedikit, luka dari insisi akan menjadi post de entris bagi

kuman. Oleh karena itu perlu diberikan antibiotik dan perawatan luka

dengan prinsip steril. Nyeri adalah salah utama karena insisi yang

mengakibatkan gangguan rasa nyaman (Nanda Nic Noc, 2015)

Setelah proses pembedahan berakhir, daerah insisi akan ditutup

dan menimbulkan luka post Sectio Caesarea, yang bila tidak dirawat

dengan baik akan menimbulkan masalah resiko infeksi.

Setelahkelahiran bayi, terjadi adaptasi post partum yang mengakibatkan

perubahan fisiologis laktasi dimana akan muncul perubahan struktur

dan karakter payudara. Laktasi dipengaruhi oleh hormon estrogen dan

peningkatan prolaktin sehingga terjadi pembentukan ASI, pada

sebagian ibu yang tidak paham bagaimana teknik menyusui dengan

benar dapat menjadi masalah dalam menyusui. Masalah yang sering

muncul dalam kegagalan menyususi adalah payudara bengkak,

memerah, saluran susu tersumbat, mastitits, abses payudara, dan

kelainan pada puting susu (puting tenggelam/datar)sehingga

meningkatkan efektifitas ASI, pengeluaran ASI yang tidak adekuat

menimbulkan hisapan menurun sehingga timbullah


masalahkeperawatan ketidakefektifan pemberian ASI(Astutik &

Kurlinawati, 2017).

Pemeriksaan Penunjang

Menurut Nanda (2015) pemeriksaan penunjang pada Sectio

Caesarea adalah sebagai berikut :

1) Pemantauan janin terhadap kesehatan janin

2) Pemantauan EKG

3) JDL dengan diferensial

4) Elektrolit

5) Hemoglobin/Hematokrit

6) Golongan Darah

7) Urinalis

8) Amniosentesis terhadap maturitas paru janin sesuai indikasi

9) Pemeriksaan sinar X sesuai indikasi

10) Ultrasound sesuai pesanan

Penatalaksanaan

Menurut Ramadanty (2019), penatalaksanan Sectio Caesarea

adalah sebagai berikut :

1) Pemberian Cairan

Karena 24 jam pertama penderita puasa pasca operasi, maka

pemberian cairan per intavena harus cukup banyak dan

mengandung elektrolit agar tidak terjadi hipotermi, dehidrasi, atau


komplikasi pada organ tubuh lainnya. Cairan yang biasa diberikan

biasanya DS 10%, garam fisiologi dan RL secara bergantian dan

jumlah tetesan tergantung kebutuhan. Bila kadar Hb rendah

diberikan transfusi darah sesuai kebutuhan.

2) Diet

Pemberian cairan per infus biasanya dihentikan setelah penderita

flatus lalu dimulailah pemberian minuman dan makanan per oral.

Pemberian minuman dengan jumlah yang sedikit sudah boleh

dilakukan pada 6 sampai 8 jam pasca operasi, berupa air putih dan

air teh.

3) Mobilisasi

Mobilisasi dilakukan secara bertahap meliputi : Miring kanan dan

kiri dapat dimulai sejak 6 sampai 10 jam setelah operasi, Latihan

pernafasan dapat dilakukan penderita sambil tidur telentang sedini

mungkin setelah sadar, Hari kedua post operasi, penderita dapat

didudukkan selama 5 menit dan diminta untuk bernafas dalam lalu

menghembuskannya. Kemudian posisi tidur telentang dapat diubah

menjadi posisi setengah duduk (semifowler), Selanjutnya selama

berturut-turut, hari demi hari, pasien dianjurkan belajar duduk

selama sehari, belajar berjalan, dan kemudian berjalan sendiri pada

hari ke-3 sampai hari ke-5 pasca operasi.

4) Katerisasi

Kandung kemih yang penuh menimbulkan rasa nyeri dan rasa tidak

enak pada penderita, menghalangi involusi uterus dan


menyebabkan perdarahan. Kateter biasanya terpasang 24 - 48 jam /

lebih lama lagi tergantung jenis operasi dan keadaan penderita.

5) Pemberian Obat-Obatan

Antibiotik cara pemilihan dan pemberian antibiotik sangat berbeda-

beda sesuai indikasi.

6) Analgetik dan obat untuk memperlancar kerja saluran pencernaan

Obat yang dapat di berikan melalui supositoria obat yang

diberikan ketopropen sup 2x/24 jam, melalui orang obat yang

dapatdiberikan tramadol atau paracetamol tiap 6 jam, melalui

injeksi ranitidin 90-75 mg diberikan setiap 6 jam bila perlu.

7) Obat-obatan lain

Untuk meningkatkan vitalitas dan keadaan umum penderita dapat

diberikan caboransia seperti neurobian I vit C.

8) Perawatan luka

Kondisi balutan luka dilihat pada 1 hari post operasi, bila basah

dan berdarah harus dibuka dan diganti.

9) Pemeriksaan rutin

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan adalah suhu,

tekanan darah, nadi,dan pernafasan.

10) Perawatan Payudara

Pemberian ASI dapat dimulai pada hari post operasi jika ibu

memutuskan tidak menyusui, pemasangan pembalut payudara yang

mengencangkan payudara tanpa banyak menimbulkan kompesi,

biasanya mengurangi rasa nyeri.


Komplikasi

Menurut NANDA NIC-NOC (2015) Sectio Caesarea

komplikasi pada pasien Sectio Caesarea adalah :

1) Komplikasi pada ibu

Infeksi puerperalis, bisa bersifat ringan seperti kenaikan suhu

selama beberapa hari dalam masa nifas, atau bersifat berta seperti

peritonitis, sepsis dan sebagainya. Infeksi postoperatif terjadi

apabila sebelum pembedahan sudah ada gejala-gejala yang

merupakan predisposisi terhadap kelainan itu (partus lama

khususnya setelah ketuban pecah, tindakan vaginal sebelumnya).

Perdarahan, bisa timbul pada waktu pembedahan jika cabang

cabang arteri uterina ikut terbuka atau karena atonia uteri.

Komplikasikomplikasi lain seperti luka kandung kencing dan

embolisme paru. suatu komplikasi yang baru kemudian tampak

ialah kuatnya perut pada dinding uterus, sehingga pada kehamilan

berikutnya bisa ruptur uteri. Kemungkinan hal ini lebih banyak

ditemukan sesudah Sectio Caesarea.

2) Komplikasi-komplikasi lain

Komplikasi-komplikasi lain seperti luka kandung kemih, dan

embolisme paru.

3) Komplikasi baru

Komplikasi yang kemudian tampak ialah kurang kuatnya parut pada

dinding uterus, sehingga pada kehamilan berikutnya bisa terjadi


ruptur uteri. Kemungkinan peristiwa ini lebih banyak ditemukan

sesudah Sectio Caesarea Klasik.

Tinjauan Tioritis Keperawatan

Pengkajian keperawatan

Pengkajian yaitu tahapan awal dari proses keperawatan, data

dikumpulkan secara sistematis yang digunakan untuk menentukan

status kesehatan pasien saat ini. Pengkajian harus dilaksanakan secara

komprehensif terkait dengan aspek biologis, psikologis, sosial, dan

spiritual. Pengkajian keperawatan pada ibu post operasi Sectio

Caesarea menurut Sagita (2019) adalah sebagai berikut :

1) Identitas Pada pengkajian identitas pasien berisi tentang: Nama,

Umur, Pendidikan, Suku, Agama, Alamat, No. Rekam Medis,

Nama Suami, Umur, Pendidikan, Pekerjaan, Suku, Agama,

Alamat, Tanggal Pengkajian.

2) Riwayat Kesehatan Pasien

a. Keluhan utama Untuk mengetahui masalah yang dihadapi

yang berkaitan dengan masa nifas, seperti pasien tidak bisa

menyusui bayinya, pasien merasa mules, sakit pada jalan

lahir karena adanya jahitan perineum.

b. Riwayat kesehatan masa lalu Untuk mengetahui tentang

pengalaman perawatan kesehatan pasien mencakup riwayat

penyakit yang pernah dialami pasien, riwayat rawat inap


atau rawat jalan, riwayat alergi obat, kebiasaan, dan gaya

pola hidup.

c. Riwayat kesehatan keluarga Data ini diperlukan untuk

mengetahui kemungkinan adanya riwayat penyakit akut atau

kronis, seperti: penyakit jantung, DM, Hipertensi, dan Asma

yang dapat mempengaruhi masa nifas.

d. Riwayat perkawinan Pada riwayat perkawinan yang perlu

dikaji adalah berapa kali menikah, status menikah syah atau

tidak karena bila melahirkan tanpa status akan berkaitan

dengan psikologis ibu sehingga dapat mempengaruhi proses

nifas.

e. Riwayat menstruasi : umur menarche, siklus menstruasi,

lamanya, banyak ataupun karakteristik darah yang keluar,

keluhan yang dirasakan saat menstruasi, dan mengetahui

Hari Pertama Haid Terakhir (HPHT).

f. Riwayat kelahiran, persalinan, dan nifas yang lalu :

riwayatkehamilan sebelumnya (umur kehamilan dan faktor

penyulit), riwayat persalinan sebelumnya (jenis, penolong,

dan penyulit), komplikasi nifas (laserasi, infeksi, dan

perdarahan), serta jumlah anak yang dimiliki.

g. Riwayat keluarga berencana : jenis akseptor KB dan

lamanya menggunakan KB.


3) Pola kebutuhan dasar (Bio-Psiko-Sosial-Kultural-Spiritual)

a) Pola manajemen kesehatan dan persepsi : persepsi sehat dan

sakit bagi pasien, pengetahuan status kesehatan pasien saat

ini, perlindungan terhadap kesehatan (kunjungan ke pusat

pelayanan kesehatan, manajemen stres), pemeriksaan diri

sendiri (riwayat medis keluarga, pengobatan yang sudah

dilakukan), perilaku untuk mengatasi masalah kesehatan.

b) Pola nutrisi-metabolik : menggambarkan tentang pola makan

dan minum, frekuensi, banyaknya, jenis makanan, serta

makanan pantangan. Pola nutrisi- 22 metabolik juga dapat

berpengaruh pada produksi ASI, jika nutrisi Ibu kurang

maka akan berpengaruh pada banyak sedikitnya ASI yang

akan keluar.

c) Pola eliminasi : menggambarkan pola fungsi sekresi yaitu

kebiasaan buang air besar, meliputi frekuensi, konsistensi,

dan bau, serta kebiasaan buang air kecil meliputi, frekuensi,

warna, dan jumlah.

d) Pola aktivitas-latihan : menggambarkan pola aktivitas pasien

sehari-hari. Pada pola ini yang perlu dikaji pengaruh

aktivitas terhadap kesehatannya. Mobilisasi sedini mungkin

dapat mempercepat proses pengembalian alat-alat

reproduksi. Apakah ibu melakukan ambulasi seperti

misalnya, seberapa sering, apakah ada kesulitan, dengan

bantuan atau sendiri.


e) Pola istirahat-tidur : menggambarkan pola istirahat dan tidur

pasien, berapa jam pasien tidur, kebiasaan tidur siang, serta

penggunaan waktu luang seperti pada saat menidurkan bayi,

ibu juga harus ikut tidur sehingga istirahat-tidur terpenuhi.

Istirahat yang cukup dapat memperlancar pengeluaran ASI.

f) Pola persepsi-kognitif : menggambarkan tentang

pengindraan (pengelihatan, pendengaran, penciuman, perasa,

dan peraba). Biasanya ibu yang tidak mampu untuk

menyusui bayi akan menghadapi kecemasan tingkat sedang-

panik dan akan mengalami penyempitan persepsi yang dapat

mengurangi fungsi kerja dari indra. Begitupun sebaliknya,

jika ibu cemas tingkat sedang-panik juga dapat

mempengaruhi proses menyusui bayinya.

g) Pola konsep diri-persepsi diri : menggambarkan tentang

keadaan sosial (pekerjaan, situasi keluarga, kelompok

sosial), identitas personal (kelebihan dan kelemahan diri),

keadaan fisik (bagian tubuh yang disukai dan tidak), harga

diri (perasaan mengenai diri sendiri), riwayat yang

berhubungan dengan masalah fisik atau psikologis pasien.

h) Pola hubungan-peran : menggambarkan peran pasien

terhadap keluarga, kepuasan atau ketidakpuasan

menjalankan peran, struktur dan dukungan keluarga, proses

pengambilan keputusan, hubungan dengan orang lain.


i) Pola seksual-reproduksi : masalah pada seksual-reproduksi,

menstruasi, jumlah anak, pengetahuan yang berhubungan

dengan kebersihan reproduksi.

j) Pola toleransi stress-koping : menggambarkan tentang

penyebab, tingkat, respon stress, strategi koping yang biasa

dilakukan untuk mengatasi stress

k) Pola keyakinan-nilai : menggambarjan tentang latar

belakang budaya, tujuan hidupp pasien, keyakinan yang

dianut, serta adat budaya yang berkaitan dengan kesehatan.

4) Pemeriksaan fisik

a) Keadaan umum : tingkat kesadaran, jumlah GCS, tanda-

tanda vital (tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi

pernafasan, suhu tubuh), berat badan, tinggi badan, dan

lingkar lengan atas (LILA).

b) Pemeriksaan Head to Toe a)

(1) Kepala : amati wajah pasien (pucat atau tidak), adanya

kloasma.

(2) Mata : Sectio Caesarealera (putih atau kuning),

konjungtiva (anemis atau tidak anemis)

(3) Leher : adanya pembesaran kelenjar tiroid atau tidak,

adanya pembengkakan kelenjar limpha atau tidak.

(4) Dada : payudara (warna areola (menggelap atau tidak)),

putting (menonjol atau tidak), pengeluaran ASI (lancar

atau tidak), pergerakan dada (simetris atau 24


asimetris), ada atau tidaknya penggunaan otot bantu

pernafasan, auskultasi bunyi pernafasan (vesikuler atau

adanya bunyi nafas abnormal)

(5) Abdomen : adanya linea atau striae, keadaan uterus

(normal atau abnormal), kandung kemih (bisa buang air

kecil atau tidak).

(6) Genetalia : kaji kebersihan genetalia, lochea (normal

atau abnormal), adanya hemoroid atau tidak.

(7) Ekstremitas : adanya oedema, varises, CRT, dan refleks

patella.

5) Data penunjang

Darah : pemeriksaan hemoglobin dan hematokrit 12-24 jam post

partum (jika Hb<10g% dibutuhkan suplemen FE) eritrosit,

leukosit, trombosit.

Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan merupakan suatu penilaian klinis

mengenai respon pasien terhadap masalah kesehatan yang dialami

ataupun proses kehidupan yang dialami baik bersifat aktual ataupun

risiko, yang bertujuan untuk mengidentifikasi respon individu,

keluarga, dan komunitas terhadap situasi yang berkaitan dengan

kesehatan (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017).

1) Ketidakefektifan pola pemberian ASI berhubungan dengan


ketidakadekuatan pengeluaran suplai ASI ditandai dengan produksi
ASI sedikit, anomali payudara ibu, ketidakadekuatan refleks

oksitosin, ketidakadekuatan refleks menghisap bayi, payudara

bengkak, riwayat operasi.

2) Nyeri berhubungan dengan terputusnya jaringan pada luka insisi

ditandai dengan adanya skala nyeri diatas normal, posisi untuk

mengurangi nyeri, gangguan tidur, tingkah laku ekspresif (gelisah,

meringis, dan lemah).

3) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan imobilitas dibuktikan

dengan merasa lemah

4) Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan fisik

dibuktikan dengan tidak mampu mandi/berpakaian secara mandiri

5) Kekurangan volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan

perdarahan ditandai dengan adanya penurunan tekanan darah,

peningkatan pernapasan, peningkatan denyut nadi, adanya keringat

dingin berlebihan, ekstremitas dan wajah teraba dingin, serta

adanya oliguria/anuria

6) Ansietas berhubungan dengan kurangnya informasi tentang

prosedur pembedahan, penyembuhan, dan perawatan post operasi

7) Risiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif, paparan

lingkungan patogen

Intervensi Keperawatan

Intervensi merupakan suatu perawatan yang dilakukan perawat

berdasarkan pada penilaian klinis dan pengetahuan perawat untuk


meningkatkan outcome pasien atau klien (Tim Pokja SDKI DPP

PPNI, 2017).

Tabel 2.1 Intervensi Keperawatan


Diagnosa Tujuan dan Kriteria
No. Intervensi
Keperawatan Hasil
1. Ketidakefektifan Tujuan : Setelah a) Pantau
pola pemberian dilakukan tindakan keterampilan ibu
ASI berhubungan keperawatan dalam 3 dalam
dengan x 24 jam selama 3 menempelkan
ketidakadekuatan hari diharapkan bayi pada
pengeluaran masalah putting.
suplai ASI ketidakefektifan pola b) Pantau integrasi
ditandai dengan pemberian ASI kulit putting.
produksi ASI teratasi. c) Demonstrasikan
sedikit, anomali Kriteria hasil : perawatan
payudara ibu, (1) Ibu dan bayi payudara sesuai
ketidakadekuatan mengalami dengan
refleks oksitosin, pemberian ASI kebutuhan.
ketidakadekuatan yang efektif yang d) Instruksikan
refleks menghisap ditujukan dengan kepada ibu
bayi, payudara pengetahuan tentang teknik
bengkak, riwayat tentang menyusui terapi pijat
operasi. dan oksitoksin
mempertahankan e) Ajarkan teknik
posisi menyusui. menyusui yang
(2) Bayi meningkatkan
menunjukkan keterampilan
kemantapan dalam menyusui
menyususi bayinya.
ditandai dengan
sikap dan
penempelan
sesuai, menghisap
dan menempatkan
lidah dengan
benar, memegang
aerola dengan
tepat, menelan
dapat didengar
dan menyusui
minimal 8 kali
sehari.
(3) Mengenali isyarat
lapar dari bayi
dengan segera.
(4) Mengindikasikan
kepuasan terhadap
menyusui.
(5) Tidak mengalami
nyeri tekan pada
payudara.

Implementasi keperawatan

Implementasi keperawatan merupakan rencana tindakan yang

dilakukan untuk mencapai tujuan dari criteria yang dibuat, berdasarkan

terminology NIC (Nursing Intervention Clasification), pada tahap

implementasi perawat mendokumentasikan tindakan yang merupakan

tindakan keperawatan khusus yang diperlukan untuk melaksanakan

intervensi. Perawat melaksanakan atau mendelegasikan tindakan

keperawatan untuk intervensi yang disusun dalam tahap perencanaan

dan kemudian mengakhiri tahap implementasi dengan mencatat

tindakan keperawatan dan respons klien terhadap tindakan tersebut

(Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017).

Implementasi yang dapat dilakukan pada kasus gambaran

asuhan keperawatan pada ibu postpartum normal dengan menyusui

tidak efektif adalah mengidentifikasi kesiapan dan kemampuan

menerima informasi, mengidentifikasi tujuan atau keinginan menyusui,

mendukung ibu meningkatkan kepercayaan diri dalam menyusui,

melibatkan sistem pendukung : suami, keluarga, tenaga kesehatan, dan

masyarakat, menjelaskan manfaat menyusui bagi ibu, mengajarkan

posisi menyusui dan perlekatan dengan benar, mengidentifikasi

kebiasaan makanan dan perilaku makan yang akan diubah,

menggunakan standar nutrisi sesuai program diet dalam mengevaluasi


kecukupan asupan makanan, dan berkolaborasi pada ahli gizi, jika perlu

(Musiati, 2017).

Evaluasi Keperawatan

Evaluasi keperawatan merupakan tahapan terakhir dari

proses keperawatan, evaluasi dapat berupa evaluasi struktur,

proses, dan hasil evaluasi terdiri dari evaluasi formatif dan sumatif.

Evaluasi formatif menghasilkan umpan balik selama program

berlangsung, sedangkan evaluasi sumatif dilakukan setelah

program selesai dan mendapatkan informasi efektifitas

pengambilan keputusan. Evaluasi yang dilakukan pada asuhan

keperawatan didokumentasikan dalam bentuk Subjektif, Objektif,

Assessment, Planning (SOAP).

Menurut Nursalam (2016), evaluasi keperawatan terdiri dari

dua jenis yaitu :

1) Evaluasi Formatif

Evaluasi formatif disebut juga sebagai evaluasi berjalan dimana

evaluasi dilakukan sampai dengan tujuan tercapai.Pada evaluasi

formatif ini penulis menilai klien mengenai perubahan

keefektifan pemberian ASI yang terjadi sebelum dan sesudah

dilakukan tindakan pijat oksitoksin.

2) Evaluasi Sumatif

Evaluasi sumatif disebut juga evaluasi akhir dimana dalam

metode evaluasi ini menggunakan SOAP (Subjektif, Osbjektif,


Assesment, Perencanaan). Pada evaluasi somatif ini penulis

menilai tujuan akhir dari penerapan terapi pijat oksitoksin yang

penulis lakukan yaitu ada atau tidaknya perubahan keefektifan

pemberian ASI setelah dilakukan tindakan pijat oksitoksin

tersebut.

Pada tahap ini penulis melakukan penilaian secara

subjektif melalui ungkapan klien dan secara objektif. Evaluasi

yang dilakukan sesuai dengan kriteria hasil menurut Doengoes

(2015) yaitu sebagai berikut :

1) Ibu dan bayi mengalami pemberian ASI yang efektif yang

ditujukan dengan pengetahuan tentang menyusui dan

mempertahankan posisi menyusui.

2) Bayi menunjukkan kemantapan menyususi ditandai dengan

sikap dan penempelan sesuai, menghisap dan menempatkan

lidah dengan benar, memegang aerola dengan tepat,

menelan dapat didengar dan menyusui minimal 8 kali

sehari.

3) Mengenali isyarat lapar dari bayi dengan segera.

4) Mengindikasikan kepuasan terhadap menyusui.

5) Tidak mengalami nyeri tekan pada payudara.

Anda mungkin juga menyukai