Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN DENGAN RISIKO PERILAKU KEKERASAN


DI RUMAH BERDAYA DENPASAR

Oleh:
NI PUTU EVA SAPITRI, S.KEP
C1222006

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
STIKES BINA USADA BALI
2022
KONSEP DASAR PENYAKIT

A. Definisi
Perilaku kekerasan adalah salah satu respons marah yang diespresikan dengan
melakukan ancaman, mencederai orang lain, dan merusak lingkungan. Respons ini
dapat menimbulkan kerugian baik bagi diri sendiri, orang lain, dan lingkungan
(Keliat,dkk, 2016).
Perilaku kekerasan merupakan suatu rentang emosi dan ungkapan kemarahan
yang dimanisfestasikan dalam bentuk fisik. Kemarahan merupakan suatu komunikasi
atau proses penyampaian pesan individu. Orang yang mengalami kemarahan
sebenarnya ingin menyampaian pesan bahwa ia “tidak setuju, merasa tersinggung,
merasa tidak dianggap, merasa tidak dituntut atau diremehkan” (Yosep, 2015).
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang
dapat membahayakan secara fisik, baik pada dirinya sendiri maupun orang lain, disertai
dengan amuk dan gaduh gelisah yang tidak terkontrol (Kusumawati, 2016).

B. Etiologi
Faktor penyebab terjadinya kekerasan sebagai berikut (Direja, 2016):
1. Faktor Preedisposisi
a. Faktor psikologi
- Terjadi asumsi, seseorang untuk mencapai suatu tujuan mengalami hambatan
akan timbul dorongan agresif yang memotivasi perilaku kekerasan.
- Berdasarkan pengunaan mekanisme koping individu dan masa kecil yang
tidak menyenangkan dan frustasi.
- Adanya kekerasan rumah tangga, keluarga, dan lingkungan.
b. Faktor Biologis
Berdasarkan teori biologi, ada beberapa yang mempengaruhi perilaku
kekerasan:
- Beragam komponen sistem neurologis mempunyai implikasi dalam
menfasilitasi dan menghambat impuls agresif.
- Peningkatan hormon adrogen dan norefineprin serta penurunan serotin pada
cairan serebro spinal merupakan faktor predisposisi penting menyebabkan
timbulnya perilaku agresif seseorang.
- Pengaruh genetik, menurut penelitian perilaku agresif sangat erat kaitannya
dengan genetic termasuk genetik tipe kariotipe XYY, yang umumnya
dimiliki oleh penghuni penjara atau tindak criminal.
- Gangguan otak, sindrom otak genetik berhubungan dengan berbagai
gangguan serebral, tumor otak (khususnya pada limbic dan lobus temporal),
kerusakan organ otak, retardasi terbukti berpengaruh terhadap perilaku
agresif dan perilaku kekerasan.
c. Faktor Sosial Budaya
Norma merupakan kontrol masyarakat pada kekerasan. Hal ini
mendefinisikan ekspresi perilaku kekerasan yang diterima atau tidak diterima
akan menimbulkan sanksi. Budaya dimasyarakat dapat mempengaruhi perilaku
kekerasan.
2. Faktor Presipitasi
Secara umum seseorang akan marah jika dirinya merasa terancam, baik
berupa injuri secara fisik, psikis atau ancaman konsep diri. Beberapa faktor perilaku
kekerasan sebagai berikut:
a. Klien : kelemahan fisik, keputusasaan, ketidak berdayaan, kehidupan yang penuh
agresif, dan masa lalu yang tidak menyenangkan.
b. Interaksi : penghinaan, kekerasan, kehilangan orang yang berarti, merasa
terancam baik internal maupun eksternal.
c. Lingkungan : panas, padat, dan bising.
C. Proses Terjadinya Masalah (Rentang Respon)
Perilaku atau respon kemarahan dapat berflutuatif dalam rentang adaptif sampai
maladaptif. Rentang respon marah menurut (Fitria, 2010). Dimana amuk dan agresif pada
rentang maladaptif, seperti gambar berikut:

Respon adaptif Respon maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif PK

Keterangan:
- Asertif : klien mampu mengungkapkan rasa marah tanpa menyalahkan orang lain dan
memberikan kelegaan.
- Frustasi : klien gagal mencapai tujuan kepuasan saat marah dan tidak menemukan
alternatifnya.
- Pasif : klien merasa tidak dapat mengungkapkan perasaannya, tidak berdaya dan
menyerah.
- Agresif : klien mengekspresikan secara fisik, tapi masih terkontrol, mendorong orang
lain dengan ancaman.
- Prilaku Kekerasan : perasaan marah dan bermusuhan yang kuat dan hilang control
disertai amuk, merusak lingkungan.

a. Respon Adaptif
Respon adaptif adalah respon yang dapat diterima norma-norma sosial
budaya yang berlaku. Dengan kata lain, individu tersebut dalam batas normal jika
menghadapi suatu masalah akan dapat memecahkan masalah tersebut, respon
adaptif (Mukripah Damaiyanti, 2016)
1. Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan
2. Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan
3. Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu perasaan yang timbul dari pengalaman
4. Perilaku sosial adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam batas
kewajaran
5. Hubungan sosial adalah proses suatu interaksi dengan orang lain dan lingkungan
b. Respon Maladaptif
1. Kelainan pikiran adalah keyakinan yang secara kokoh dipertahankan walaupun
tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan kenyataan sosial
2. Perilaku kekerasan merupakan status rentang emosi dan ungkapan kemarahan
yang dimanifestasiakn dalam bentuk fisik
3. Kerusakan proses emosi adalah perubahan status yang timbul dari hati 4. Perilaku
tidak terorganisir merupakan suatu perilaku yang tidak teratur (Mukripah
Damaiyanti, 2016).

D. Manifestasi Klinis
Perawat dapat mengidentifikasi dan mengobservasi tanda dan gejala perilaku
kekerasan: (Mukripah Damaiyanti, 2016) a. Muka merah dan tegang
b. Mata melotot atau pandangan tajam
c. Tangan mengepal
d. Rahang mengatup
e. Postur tubuh kaku
f. Pandangan tajam
g. Jalan mondar mandir
Klien dengan perilaku kekerasan seringmenunjukan adanya (Kartika Sari, 2015: 138) :
a. Klien mengeluh perasaan terancam, marah dan dendam
b. Klien menguungkapkan perasaan tidak berguna
c. Klien mengungkapkan perasaan jengkel
d. Klien mengungkapkan adanya keluhan fisik seperti dada berdebar- debar, rasa
tercekik dan bingung
e. Klien mengatakan mendengar suara-suara yang menyuruh melukai diri sendiri,
orang lain dan lingkungan
f. Klien mengatakan semua orang ingin menyerangnya

E. Patofisiologi
Stress, cemas, harga diri rendah, dan bermasalah dapat menimbulkan marah.
Respon terhadap marah dapat di ekspresikan secara eksternal maupun internal. Secara
eksternal ekspresi marah dapat berupa perilaku konstruktif maupun destruktif.
Mengekspresikan rasa marah dengan kata-kata yang dapat di mengerti dan diterima
tanpa menyakiti hati orang lain. Selain memberikan rasa lega, ketegangan akan
menurun dan akhirnya perasaan marah dapat teratasi. Rasa marah diekspresikan secara
destrukrtif, misalnya dengan perilaku agresif, menantang biasanya cara tersebut justru
menjadikan masalah berkepanjangan dan dapat menimbulkan amuk yang di tunjukan
pada diri sendiri, orang lain, dan lingkungan (Yosep, 201).
Perilaku yang submisif seperti menekan perasaan marah karena merasa tidak
kuat, individu akan berpura-pura tidak marah atau melarikan diri dari rasa marahnya,
sehingga rasa marah tidak terungkap. Kemarahan demikian akan menimbulkan rasa
bermusuhan yang lama, pada suatu saat dapat menimbulkan rasa bermusuhan yang
lama, dan pada suatu saat dapat menimbulkan kemarahan yang destruktif yang
ditujukan pada diri sendiri, orang lain, dan lingkungan (Dermawan & Rusdi, 2016).

F. Pohon Masalah
Perilaku kekerasan Effect

Resiko mencederai diri sendiri dan


Cor Problem
orang lain

Halusinasi Couse

Harga Diri Rendah

Koping Individu Tidak Efektif

Faktor Predisposisi dan Prespitasi

G. Penatalaksanaan
1. Farmakoterapi
Pasien dengan ekspresi marah perlu perlu perawatan dan pengobatan
mempunyai dosis efektif tinggi contohnya: clorpromazine HCL yang berguna untuk
mengendalikan psikomotornya. Bila tidak ada dapat bergunakan dosis efektif rendah.
Contohnya trifluoperasineestelasine, bila tidak ada juga maka dapat digunakan
transquilizer bukan obat anti psikotik seperti neuroleptika, tetapi meskipun demikian
keduanya mempunyai efek anti tegang,anti cemas,dan anti agitasi (Eko Prabowo,
2017)
2. Terapi okupasi
Terapi ini sering diterjemahkan dengan terapi kerja terapi ini buka pemberian
pekerjaan atau kegiatan itu sebagai media untuk melakukan kegiatan dan
mengembalikan kemampuan berkomunikasi, karena itu dalam terapi ini tidak harus
diberikan pekerjaan tetapi segala bentuk kegiatan seperti membaca koran, main catur
dapat pula dijadikan media yang penting setelah mereka melakukan kegiatan itu
diajak berdialog atau berdiskusi tentang pengalaman dan arti kegiatan uityu bagi
dirinya. Terapi ni merupakan langkah awal yang harus dilakukan oleh petugas
terhadap rehabilitasi setelah dilakukannya seleksi dan ditentukan program
kegiatannya (Eko Prabowo, 2017).
3. Peran serta keluarga
Keluarga merupakan sistem pendukung utama yang memberikan perawatan
langsung pada setiap keadaan (sehat-sakit) pasien. Perawat membantu keluarga agar
dapat melakukan lima tugas kesehatan, yaitu mengenal masalah kesehatan, membuat
keputusan tindakan kesehatan, memberi perawatan pada anggota keluarga,
menciptakan lingkungan keluarga yang sehat, dan menggunakan sumber yang ada
pada masyarakat. Keluarga yang mempunyai kemampuan mengtasi masalah akan
dapat mencegah perilaku maladaptif (pencegahan primer), menanggulangi perilaku
maladaptif (pencegahan skunder) dan memulihkan perilaku maladaptif ke
perilakuadaptif (pencegahan tersier) sehinnga derajat kesehatan pasien dan keluarga
dapat ditingkatkan secara optimal (Eko Prabowo, 2017).

4. Terapi somatik
Menurut depkes RI 2000 hal 230 menerangkan bahwa terapi somatic terapi
yang diberikan kepada pasien dengan gangguan jiwa dengan tujuan mengubah
perilaku yang mal adaftif menjadi perilaku adaftif dengan melakukan tindakan yang
ditunjukkan pada kondisi fisik pasien,terapi adalah perilaku pasien (Eko Prabowo,
2017).
5. Terapi kejang listrik
Terapi kejang listrik atau electronic convulsive therapy (ECT) adalah bentuk terapi
kepada pasien dengan menimbulkan kejang grand mall dengan mengalirkan arus
listrik melalui elektroda yang menangani skizofrenia membutuhkan 20-30 kali terapi
biasanya dilaksanakan adalah setiap 2-3 hari sekali (seminggu 2 kali) (Eko Prabowo,
2017).

KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN JIWA


A. Pengkajian
1. Fisik : Muka merah, berkeringat, pandangan tajam, sakit fisik, nafas pendek,
tekanan darah meningkat, penyalahgunaan obat.
2. Emosi : Tidak adekuat, rasa terganggu, tidak aman, marah / jengkel dan dendam.
3. Sosial : Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan humor.
4. Spiritual : Kemahakuasaan, keragu-raguan, tidak bermoral, kebejatan, kebajikan /
kebenaran diri dan kreatifitas terhambat karena tidak dapat dipilih secara rasional.
5. Intelektual : Mendominasi, bawel, sarkasme, berdebat, dan meremehkan (Keliat B.A,
1996).

B. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko perilaku kekerasan terhadap diri sendiri dan orang lain.
2. Harga diri rendah kronik

C. Rencana Tindakan Keperawatan ( Strategi Pelaksanaan)


Pasien Keluarga
Diagnosa
Keperawatan
Resiko SP I SP I
Perilaku a. Mengidentifikasi penyebab a. Mendiskusikan masalah yang
Kekerasan perilaku kekerasan dirasakan keluarga dalam
b. Mengidentifikasi tanda dan merawat pasien
gejala perilaku kekerasan b. Menjelaskan pengertian perilaku
c. Mengidentifikasi perilaku kekerasan kekerasan, tanda dan gejala, serta
yang dilakukan proses terjadinya perilaku
d. Mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan
kekerasan c. Menjelaskan cara merawat pasien
e. Mengajarkan cara mengontrol perilaku dengan Perilaku Kekerasan
kekerasan
f. Melatih klien cara mengontrol perilaku SP II
kekerasan fisik I (nafas dalam) a. Melatih keluarga mempraktikkan
g. Membimbing pasien memasukan dalam cara merawat pasien dengan
jadwal kegiatan harian perilaku kekerasan membuat
rumahcara
b. Melatih keluarga melakukan
SP II discharge
merawat langsung kepada pasien
a. Memvalidasi masalah dan Perilaku Kekerasan pasien
latihan sebelumnya.
b. Melatih pasien cara mengontrol perilaku SP III
kekerasan fisik II (memukul bantal / a. Membantu
kasur / konversi energi) keluarga jadwal di
c. Membimbing pasien memasukan dalam aktivitas
jadwal kegiatan harian. termasuk minum obat (
planning)
follow Up
SP III b. Menjelaskan
a. Memvalidasi masalah dan setelah pulang
latihan sebelumnya.
b. Melatih pasien cara mengontrol Perilaku
Kekerasan secara verbal
(meminta, menolak dan
mengungkapkan marah secara baik)
c. Membimbing pasien memasukan dalam
jadwal kegiatan harian.

SP IV
a. Memvalidasi masalah dan
latihan sebelumnya
b. Melatih pasien cara mengontrol Perilaku
Kekerasan secara spiritual
(berdoa, berwudhu, sholat)
c. Membimbing pasien memasukan dalam
jadwal kegiatan harian

SP V
a. Memvalidasi masalah dan latihan
sebelumnya
b. Menjelaskan cara mengontrol perilaku
kekerasan dengan meminum obat
(prinsip 5 benar minum obat)
c. Membimbing pasien memasukan dalam
jadwal kegiatan harian
Harga SP I SP I
Diri a. Mengidentifikasi kemampuan dan a. Mendiskusikan masalahyang
Rendah aspek positif yang dimiliki klien dirasakan keluarga merawatdalam
b. Membantu klien menilai kemampuan klien
klien yang amsih dapat digunakan b. Menjelaskan pengertian,
c. Membantu klien memilih kegiatan yang tanda dan gejala harga diri
akan dilatih sesuai dengan kemampuan proses
rendah yang dialami klien
beserta

klien terjadinya
d. Membimbing klien memasukan dalam c. Menjelaskan cara – cara merawat
jadwal kegiatan harian. pasien harga diri rendah

SP II SP II
a. Memvalidasi masalah dan a. Melatih keluarga mempraktikkan
latihan sebelumnya cara merawat klien dengan harga diri
b. Melatih kegiatan kedua (atau selanjutnya) rendah
yang dipilih sesuai kemampuan b. Melatih keluarga melakukan cara
c. Membimbing klien memasukan dalam merawat langsung kepada klien
jadwal kegiatan harian harga diri rendah

SP III
a. Membantu keluarga membuat jadwal
aktifitas di rumah termasuk minum
obat (discharge planning)
b. Menjelaskan follow up
klien
setelah pulang

c. Evaluasi
1. Evaluasi Formatif
Evaluasi ini disebut juga evaluasi berjalan dimana evaluasi dilakukan sampai
dengan tujuan tercapai. Selama melakukan asuhan keperawatan 3x24 jam pasien
diharapkan:
a. Agar pasien bisa memenuhi kebutuhan secara mandiri
b. Bebas dari cedera atau infeksi yang dibuktikan dengan suhu tubuh dan jumlah sel
darah putih
c. Dapat aktif dalam keterbatasan kemampuan
d. Bisa mengontrol pola sesuai dengan diet yang diberikan
2. Evaluasi somatif
Evaluasi ini merupakan akhir dimana dalam metode evaluasi ini menggunakan
SOAP.
S: data yang didapatkan melalui keluhan pasien
O: data yang diamati atau di observasi oleh perawat
A: tujuan yang ingin dicapai dalam melakukan tindakan
P: rencana yang akan dilanjutkan bila tujuan tersebut tidak tercapai
DAFTAR PUSTAKA

Eko Prabowo. (2017). Konsep & Aplikasi ASUHAN KEPERAWATAN JIWA.


Yogyakarta: Nuha Medika.

Mukhripah Damaiyanti. (2016). Asuhan Keperawatan Jiwa. Samarinda:


Refka Aditama.

Nuraenah. (2016). Hubungan Dukungan Keluarga dan Beban Keluarg dalam


Merawat Anggota dengan Riwayat Perilaku Kekerasan di RS. Jiwa Islam
Klender Jakarta Timur, 29-37.

Kandar, K., & Iswanti, D. I. (2019). Faktor Predisposisi dan Prestipitasi


Pasien Resiko Perilaku Kekerasan. Jurnal Ilmu Keperawatan Jiwa, 2(3),
149. https://doi.org/10.32584/jikj.v2i3.226

Sasmaida Saragih., Jumaini., G. I. (2016). Gambaran Tingkat Pengetahuan


dan Sikap Keluarga tentang Perawatan Pasien Halusinasi di Rumah. Jurnal
Keperawatan, (1).

K, R. R., & Imelda, S. F. (2018). Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan


Jiwa Dengan Masalah Resiko Perilaku Kekerasan.

Pardede, J. A. (2019). Standar Asuhan Keperawatan Jiwa Dengan Risiko


Perilaku Kekerasan. 3–7. https://doi.org/10.31219/osf.io/we7zm

Anda mungkin juga menyukai