Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN GERONTIK

DENGAN RHEUMATOID ARTHRITIS

Oleh :

Sagung Istri Intan Lestari, S.Kep

NIM. C1222009

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

STIKES BINA USADA BALI

2023
KONSEP DASAR PENYAKIT

1. Perubahan Yang Terjadi Pada Sistem Muskuloskeletal


Menua merupakan suatu hal yang wajar dialami oleh setiap manusia. Menjadi tua atau
menua akan mengakibatkan turunnya fungsi tubuh atau terjadinya perubahan fisiologis.
Pada lansia perubahan fisiologis terjadi secara menyeluruh, baik fisik, sosial, mental, dan
moral spiritual, yang keseluruhannya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu
dengan yang lainnya. Perubahan fisiologis yang umum terjadi pada lansia yakni
perubahan pada system kardiovaskuler, system gastrointestinal, system respiratori, system
endokrin, system integument, system neurologi, system genetourinari, system sensori, dan
perubahan system musculoskeletal (Padila, 2019).
Perubahan system musculoskeletal pada usia lanjut antara lain penurunan kekuatan
otot yang disebabkan oleh penurunan masa otot, ukuran otot mengecil, sel otot yang mati
digantikan oleh jaringan ikat dan lemak, kekuatan atau jumlah daya yang dihasilkan oleh
otot menurun dengan bertambahnya usia, serta kekuatan otot ekstrimitas bawah
berkurang sebesar 40% antara usia 30 sampai 80 tahun (Padila, 2019).
Lanjut usia juga akan mengalami penurunan cairan tulang yang mengakibatkan tulang
menjadi mudah rapuh, bungkuk, persendian membesar dan menjadi kaku, kram, tremor,
tendon mengkerut dan mengalami sklerosis (Artinawati, 2019). Penurunan pada massa
tulang merupakan hal yang umum dialami oleh lansia. Penurunan itu sendiri dapat
diakibatkan oleh ketidakaktifan fisik, perubahan hormonal dan resorpsi tulang. Efek dari
penurunan ini adalah tulang menjadi lemah, kekuatan otot menurun, cairan sinovial
mengental dan terjadi klasifikasi kartilago (Artinawati, 2018). Penyakit tulang yang
umum dijumpai pada lanjut usia adalah rheumatoid arthritis.

2. Definisi
Rheumatoid Arthritis (RA) merupakan penyakit inflamasi non bakterial yang bersifat
sistemik, progresif, cenderung kronik dan mengenai sendi serta jaringan ikat sendi secara
simetris. Persendian yang paling sering terkena adalah sendi tangan, pergelangan kaki,
sendi bahu serta sendi panggul dan biasanya bersifat simetris atau bilateral, tetapi kadang
juga bisa terjadi pada satu sendi saja yang disebut dengan Arthritis Rheumatoid mono-
artikular (Huda & Kusuma, 2015).
Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit peradangan kronis pada sendi yang tidak
diketahui penyebabnya dengan manifestasi seperti kelelahan, malaise, dan kekakuan pada
pagi hari. Rheumatoid Arthritis (RA) dapat menyebabkan kerusakan pada sendi dan
sering menyebabkan morbiditas bahkan dapat menyebabkan kematian yang cukup besar
(Zairin, 2016).
Rematik atau Arthritis Rheumatoid adalah peradangan sendi kronis yang disebabkan
oleh gangguan autoimun. Gangguan autoimun terjadi ketika sistem kekebalan tubuh yang
berfungsi sebagai pertahanan terhadap penyusup seperti, bakteri , virus dan jamur, keliru
menyerang sel dan jaringan tubuh sendiri. Pada penyakit Rematik, sistem imun gagal
membedakan jaringan sendiri dengan benda asing, sehingga menyerang jaringan tubuh
sendiri, khususnya jaringan sinovium yaitu selaput tipis yang melapisi sendi. Hasilnya
dapat mengakibatkan sendi bengkak, rusak, nyeri, meradang, kehilangan fungsi bahkan
cacat (Haryono, 2019)
Dari definisi di atas dapat di simpulkan bahw pengertian dari artritis reumatoid adalah
merupakan penyakit inflamasi non-bakterial yang bersifat sistemik, progresif, cenderung
kronik dan mengenai sendi serta jaringan ikat sendi secara simetris. Persendian yang
paling sering terkena adalah sendi tangan, pergelangan kaki, sendi bahu serta sendi
panggul dan biasanya bersifat simetris atau bilateral,dan tidak diketahui penyebabnya
dengan manifestasi seperti kelelahan, malaise, dan kekakuan pada pagi hari. Hasilnya
dapat mengakibatkan sendi bengkak, rusak, nyeri, meradang, kehilangan fungsi bahkan
cacat.

3. Klasifikasi
Ditinjau dari lokasi patologis maka jenis rematik tersebut dapat dibedakan dalam dua
kelompok besar yaitu: rematik artikular dan rematik non artikular. Rematik Artikular atau
Arthritis (radang sendi) merupakan gangguan rematik yang berlokasi pada persendian,
diantaranya meliputi Arthritis Rheumatoid, Osteoarthritis, Olimiagia Reumatik, Artritis
gout. Rematik non artikular arau ekstra artikular yaitu gangguan rematik yang disebabkan
oleh proses diluar persendian diantaranya Bursitis, Fibrositis, Sciatica (Hembing, 2018).
Rematik dapat dikelompokkan dalam beberapa golongan yaitu:
a. Osteoatritis
Penyakit ini merupakan kerusakan tulang rawan sendi yang berkembang
lambat dan berhubungan dengan usia lanjut. Secara klinis ditandai dengan nyeri,
deformitas, pembesaran sendi,dan hambatan gerak pada sendi-sendi tangan dan sendi
besar menananggung beban.
b. Artritis Rematoid
Arthritis rematoid adalah suatu penyakit inflamasi sistemik kronik dengan
manifestasi utama Poliartritis progresif dan melibatkan seluruh organ tubuh.
Terlibatnya sendi pada pasien Atritis Rematoid terjadi setelah penyakit ini
berkembang lebih lanjut sesuai dengan sifat progresifitasnya. Pasien dapat juga
menunjukkan gejala berupa kelemahan umum cepat lelah.
c. Olimi algia Reumatik
Penyakit ini merupakan suatu sindrom yang terdiri dari rasa nyeri dan
kekakuan yang terutama mengenai otot ekstremitas proksimal, leher, bahu, dan
panggul. Terutama mengenai usia pertengahan atau usia lanjut sekitar 50 tahun ke
atas.
d. Artritis gout
adalah suatu sindrom klinik yang mempunyai gambaran khusus, yaitu artritis
akut. Artritis gout lebih banyak terdapat pada pria dari pada wanita. Pada pria sering
mengenai usia pertengahan, sedangkan pada wanita biasanya mendekati masa
menopause.

4. Epidemiologi
Data epidemiologi rheumatoid arthritis menunjukkan bahwa penyakit ini
mempengaruhi sekitar 0,5 sampai 1% dari populasi di seluruh dunia. Wanita telah
dilaporkan 2 hingga 3 kali lebih mungkin daripada pria untuk mengalami rheumatoid
arthritis. Rheumatoid arthritis mempengaruhi sekitar 0,5 sampai 1% dari populasi di
seluruh dunia, dengan wanita 2 sampai 3 kali lebih berisiko. Rheumatoid arthritis paling
umum ditemukan di Eropa Utara dan Amerika Utara. Studi di negara-negara industri
menunjukkan kisaran insidensi tahunan 5 hingga 50 per 100.000 orang.  Data di Finlandia
memperkirakan insiden tahunan rheumatoid arthritis sebesar 58,6 per 100.000 orang pada
wanita dan 29,5 per 100.000 orang pada pria. Usia saat onset biasanya antara 30 dan 70
tahun, tetapi rheumatoid arthritis telah dilaporkan pada semua kelompok usia. Angka
kejadian rheumatoid arthritis lebih tinggi pada usia yang lebih tua. Prevalensi rheumatoid
arthritis di Indonesia adalah kurang dari 0,4%.
5. Etiologi
Penyebab rematik hingga saat ini masih belum terungkap, Namun beberapa resiko
untuk timbulnya rematik diantara lain adalah:
a. Umur
Dari semua faktor resiko timbulnya rematik, faktor ketuaan adalah yang
terkuat. Prevalensi dan beratnya rematik semakin meningkat dengan bertambahnya
umur. Rematik terjadi pada usia lanjut.
b. Jenis kelamin
Wanita lebih sering terkena rematik pada lutut dan pria lebih sering terkena
pada paha, pergelangan tangan dan leher.
c. Genetik
Faktor herediter juga berperan timbulnya rematik miaslnya pada seorang ibu
dari seorang wanita dengan rematik pada sendi-sendi inter falang distal terdapat dua
kali lebih sering rematik pada sendi tersebut. Anaknya perempuan cenderung
mempunyai tiga kali lebih sering dari pada ibuknya.
d. Suku
Prevalensi dan pola terkenanya sendi pada rematik nampakya terdapat
perbedaan diantara masing-masing suku bangsa, misalnya rematik paha lebih jarang
diantara orang berkulit hitam dengan orang berkulit putih dan usia dari pada kaukasia.
Rematik lebih sering dijumpai pada orang-orang asli amerika dari pada orang berkulit
putih. Hal ini mungkin berkaitan dengan perbedaan cara hidup maupun perbedaan
pada frekuensi kelainanan kongenital dan pertumbuhan.
e. Kegemukan (Obesitas)
Berat badan berlebihan berkaitan dengan meningkatnya resiko untuk
timbulnya rematik pada pria dan wanita. Karena menahan beban berat badan sehinga
mengangu sendi.
6. Patofisiologi
Sistem imun merupakan bagian pertahanan tubuh yang dapat membedakan komponen
self dan non-self. Pada kasus rheumatoid arthritis system imun tidak mampu lagi
membedakan keduanya dan menyerang jaringan synovial serta jaringan penyokong lain.
Proses fagositosis menghasilkan enzim-enzim tersebut akan memecah kolagen sehingga
terjadi edema, proliferasi membrane synovial dan akhirnya pembentukan pannus. Pannus
akan menghancurkan tulang rawan dan menimbulkan erosi tulang. Akibatnya adalah
menghilangnya permukaan sendi yang akan mengganggu gerak sendi. Otot akan turut
terkena karena serabut otot akan mengalami perubahan degeneratif dengan
menghilangnya elastisitas otot dan kekuatan kontraksi otot (Aspiani, 2014).
Imflamasi mula-mula mengenai sendi-sendi synovial seperti edema, 10 kongesti
vascular, eksudat fibrin, dan infiltrasi selular. Peradangan yang berkelanjutan, synovial
menjadi menebal, terutama pada sendi articular kartilago dari sendi. Pada persendian ini
granulasi membentuk pannus, atau penutup yang menutupi kartilago. Pannus masuk ke
tulang sub chondria. Jaringan granulasi menguat karena radang menimbulkan gangguan
pada nutrisi kartilago artikuler, sehingga kartilago menjadi nekrosis. Tingkat erosi dari
kartilago menentukan ketidakmampuan sendi.Bila kerusakan kartilago sangat luas maka
terjadi adhesi diantara permukaan sendi, karena jaringan fibrosa atau tulang bersatu
(ankilosis). Kerusakan kartilago dan tulang menyebabkan tendon dan ligament menjadi
lemah dan bisa menimbulkan subluksasi atau dislokasi dari persendian. Keadaan seperti
ini akan mengakibatkan terjadinya nekrosis (rusaknya jaringan sendi), nyeri hebat dan
deformitas (Aspiani, 2014).
7. Pathway

Kekakuan Sendi Hambatan Mobilitas


Reaksi faktor R dengan antibody, Fisik
faktor metabolik, infeksi dengan
kecendrugan virus Reaksi Peradangan Nyeri Akut

Synovial menebal Pannus Kurangnya informasi


tentang proses
penyakit

Nodul Infiltrasi dalam Defisiensi Pengetahuan


os.subcondria

Deformitas Sendi Hambatan nutrisi


pada kartilago

Gangguan Citra
Tubuh Kerusakan kartilago
dan tulang

Tendon dan legamen


melemah

Hilangnya kekuatan
Resiko Cedera
otot
8. Gejala Klinis
Menurut (Aspiani, 2014) ada beberapa gejala klinis yang umum ditemukan pada
pasien rheumatoid arthritis. Gejala klinis ini tidak harus timbul secara bersamaan.
a. Gejala-gejala konstitusional, misalnya lelah, anoreksia, berat badan menurun dan
demam. Terkadang kelelahan dapat terjadi demikian hebatnya.
b. Poliartritis simetris, terutama pada sendi perifer, termasuk sendisendi ditangan, namun
biasanya tidak melibatkan sendi-sendi interfalangs distal. Hampir semua sendi
diartrodial dapat terserang.
c. Pentingnya untuk membedakan nyeri yang disebabkan perubahan mekanis dengan
nyeri yang disebabkan inflamasi. Nyeri yang timbul setelah aktivitas dan hilang
setelah istirahat serta tidak timbul pada pagi hari merupakan tanda penyakit mekanis.
Sebaliknya nyeri inflamasi akan bertambah berat pada pagi hari saat bangun tidur
disertai kaku sendi atau nyeri yang hebat pada awal gerak dan berkurang setelah
melakukan aktivitas.
d. Kekakuan di pagi hari selama lebih dari satu jam, dapat bersifat generalisata tetapi
terutama menyerang sendi-sendi. Kekakuan ini berbeda dengan kekakuan sendi pada
osteoartritis, yang biasanya hanya berlangsung selama beberapa menit dan selalu
kurang dari satu jam.
e. Artitis erosif, merupakan ciri khas arthritis reumatoid pada gambaran radiologik.
Peradangan sendi yang kronik mengakibatkan erosi di tepi tulang dan dapat dilihat
pada radiogram.
f. Deformitas: kerusakan dari struktur-struktur penunjang sendi dengan perjalanan
penyakit. Pergeseran ulnar atau deviasi jari, sublukasi sendi metakarpofalangeal, leher
angsa adalah beberapa deformitas tangan yang sering dijumpai pada penderita. Pada
kaki terdapat protusi (tonjolan) kaput metatarsal yang timbul sekunder dari sublukasi
metatarsal. Sendi-sendi yang besar juga dapat terangsang dan mengalami
pengurangan kemampuan bergerak terutama dalam melakukan gerak ekstensi.
g. Nodula-nodula reumatoid adalah masa subkutan yang ditemukan pada sekitar
sepertiga orang dewasa penderita Arthritis Reumatoid. Adapun nodula-nodula ini
biasanya merupakan petunjuk suatu penyakit yang aktif dan lebih berat.
h. Manifestasi ekstra artikular : artritis reumatoid juga dapat menyerang organ-organ lain
diluar sendi. Jantung (perikarditis), paru-paru (pleuritis), mata dam pembuluh darah
dapat rusak.

9. Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis Rheumatoid Arthritis memerlukan sejumlah tes untuk meningkatkan
kepastiandiagnosis, membedakannya dengan bentuk artritis yang lain,memprediksi
perkembangan penyakit pasien, serta melakukanmonitoring untuk mengetahui
perkembangan penyakit yaitu:
a. Laju endap darah (LED) dan C-Reactive Protein (CRP) menunjukkan adanya proses
inflamasi, akan tetapi memiliki spesifisitas yang rendah untuk RA. Tes ini berguna
untuk memonitor aktivitas penyakit dan responnya terhadap pengobatan.
b. Tes RF (Rheumatoid Factor). Tes ini tidak konklusif dan mungkin mengindikasikan
penyakit peradangan kronis yang lain (positif palsu). Pada beberapa kasus RA, tidak
terdeteksi adanya RF (negatif palsu). RhF ini terdeteksi positif pada sekitar 60-70%
pasien RA. Level RF jika dikombinasikan dengan level antibodi anti-CCP dapat
menunjukkan tingkat keparahan penyakit.
c. Tes antibodi anti-CCP (Cyclic Citrullinated Peptide) adalah tes untuk mendiagnosis
rheumatoid arthritis secara dini. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa tes tersebut
memiliki sensitivitas yang mirip dengan tes RF, akan tetapi spesifisitasnya jauh lebih
tinggi dan merupakan prediktor yang kuat terhadap perkembangan penyakit yang
erosive.
d. Analisis cairan sinovial. Peradangan yang mengarah pada rheumatoid arthritis
ditandai dengan cairan sinovial abnormal dalam hal kualitas dan jumlahnya yang
meningkat drastis. Sampel cairan ini biasanya diambil dari sendi (lutut), untuk
kemudian diperiksa dan dianalisis tanda-tanda peradangannya .
e. X-ray tangan dan kaki dapat menjadi kunci untuk mengidentifikasi adanya erosi dan
memprediksi perkembangan penyakit dan untuk membedakan dengan jenis artritis
yang lain, seperti osteoarthritis.
f. Scan tulang. Tes ini dapat digunakan untuk mendeteksi adanya inflamasi pada tulang
(Shiel, 2019).

10. Terapi/Tindakan Penanganan


Tujuan utama dari program penatalakasanaan adalah perawatan sebagai berikut:
- Untuk menghilangkan nyeri dan peradangan.
- Untuk mempertahankan fungsi sendi dan kemampuan maksimal dari penderita.
- Untuk mencegah dan atau memperbaiki deformitas yang terjadi pada sendi.
- Mempertahankan kemandirian sehingga tidak bergantung pada orang lain.
a. Keperawatan
1) Pendidikan yang diberikan meliputi pengertian, patofisiologi, (perjalanan
penyakit), penyebab dan perkiraan perjalanan (prognosis) penyakit ini, semua
komponen program penatalkansanaan termasuk regimen obat yang kompleks,
sumber bantuan untuk mengatasi penyakit ini dan metode efektif tentang
penatalksanaan yang diberikan oleh tim kesehatan. Proses pendidikan ini harus di
lakukan secara terus-menerus.
2) Istirahat , Merupakan hal penting karena rematik biasanya disertai rasa lelah yang
hebat . Walaupun rasa lelah tersebut dapat saja timbul setiap hari , tetapi ada masa
dimana penderita merasa lebih baik atau lebih berat. Penderita harus membagi
waktu seharinya menjadi beberapa kali waktu beraktivitas yang diikuti oleh masa
istirahat.
3) Latihan Fisik dan Fisioterapi, Latihan spesifik dapat bermanfaat dalam
memperthankan fungsi sendi. Latihan ini mencakup gerakan aktif dan pasif pada
semua sendi yang sakit, sedikitnya dua kali sehat. Obat untuk menghilangkan
nyeri diperlukan sebelum memulai latihan. Kompres panas pada sendi yang sakit
dan bengkak mungkin dapat mengurangi nyeri. Latihan yang berlebihan dapat
merusak struktur penunjang sendi yang memang sudah lemah oleh adanya
penyakit.
b. Medis
1) Penggunaan OAINS
Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) umunya diberikan pada penderita
AR sejak dini penyakit yang dimaksudkan untuk mengatasi nyeri sendi akibat
inflamasi yang sering kali dijumpai, walaupun belum terjadi proliferasi sinovial
yang bermakna. Selain dapat mengatasi inflamasi, OAINS juga memberikan efek
analgetik yang sangat baik.
OAINS terutama bekerja menghambat enzim siklooxygenase sehingga
menekan sintesi progtaglandin masih belum jelas apakah hambatan enzim
siklooxygenase juga berperan dalam hal ini, akan tetapi jelas bahwa OAINS
bekerja dengan cara:
o Memungkinkan stabilitas membran lisosomal.
o Menghambat pembesaran dan aktivitas mediator imflamasi (histamin,
serotoin, enzim lisosomal dan enzim lainnya).
o Menghambat migrasi sel ke tempat peradangan
o Menghambat proliferasi seluler
o Menetralisirkan radikal oksigen
o Menekan rasa nyeri
2) Pengunaan DMARD
Terdapat dua cara pendekatan pemberian DMARD pada pengobatan penderita
AR. Cara pertama adalah pemberian DMARD tunggal yang dimulai dari saat yang
sangat dini, pendekatan ini didasarkan pada pemikiran bahwa destruksi sendi pada
AR terjadi pada masa dini penyakit. Cara pendekatan lain adalah dengan
menggunakan dua atau lebih DMARD secara stimultan atau secara siklik seperti
penggunaan obat-obatan imunosuprensif pada pengobatan penyakit keganasan,
digunakan untuk melindungi rawan sendi dan tulang dari proses estruksi akibat
artiris rheumatoid. Beberapa jenis DMARD yang lazim digunakan untuk
pengobatan AR adalah:
o Klorokuin: Dosis anjurkan klorokuin fosfat 250mg/hari hidrosiklorokuin
400mg/hari. Efek samping bergantung pada dosis harian, berupa penurunan
ketajaman penglihatan, dermatitis, makulopapular, nausea, diare, dan anemia
hemolitik.
o Sulfazalazine: Untuk pengobatan AR sulfazalazine dalam bentuk euteric
coated tabelet digunakan mulai dari dosis 1x500 mg/hari, untuk kemudian
ditingkatkan 500mg setiap minggu sampai mencapai dosis 4x500mg. Setelah
remisi tercapai dengan dosis 2g/hari, dosis diturunkan kembali sehingga
mencapai 1g/hari untuk digunakan dalam jangka panjang sampai remisi
sempurna terjadi.
o Dpeicillamine: Dalam pengobatan AR. DP (Cuprimin 250mg Trolovol
300mg) digunakan dalam dosis 1x250mg sampai 300mg/hari kemudian dosis
ditingkatkan setiap dua sampai 4 minggu sebesar 250 sampai 300 mg/hari
untuk mencapai dosis total 4x250 sampai 300mg/hari.
c. Operasi Jika berbagai cara pengobatan telah dilakukan dan tidak berhasil serta
terdapat alasan yang cukup kuat, dapat dilakukan pengobatan pembedahan. Jenis
pengobatan ini pada pasien AR umumnya bersifat ortopedik, misalnya sinovektoni,
artrodesis, total hip replacement, memperbaiki deviasi ulnar, dan sebagainya.

11. Komplikasi
Rheumatoid arthritis adalah penyakit sistemik yang dapat mempengaruhi bagian lain
dari tubuh selain sendi. Menurut (Aspiani, 2019) rheumatoid arthritis dapat menimbulkan
komplikasi pada bagian lain dari tubuh:
a. Sistem respiratori
Peradangan pada sendi krikoaritenoid tidak jarang dijumpai pada rheumatoid
arthritis. Gejala keterlibatan saluran nafas atas ini dapat berupa nyeri tenggorokan,
nyeri menelan, atau disfonia yang umumnya terasa lebih berat pada pagi hari. Pada
rheumatoid arthritis yang lanjut dapat pula dijumpai efusi pleura dan fibrosis paru
yang luas (Aspiani, 2019).
b. Sistem kardiovaskuler
Seperti halnya pada sistem respiratorik, pada rheumatoid arthritis jarang
dijumpai gejala perikarditis berupa nyeri dada atau gangguan faal jantung. Akan tetapi
pada beberapa pasien dapat juga dijumpai gejala perikarditis yang berat. Lesi
inflamatif yang menyerupai nodul rheumatoid dapat dijumpai miokardium dan katup
jantung. Lesi ini dapat menyebabkan disfungsi katup, fenomena embolisasi, gangguan
konduksi, aortitis dan kardiomiopati (Aspiani, 2019).
c. Sistem gastrointestinal
Kelainan sistem pencernaan yang sering dijumpai adalah gastritis dan ulkus
peptic yang merupakan komplikasi utama penggunaan obat anti inflamasi nonsteroid
(OAINS) atau obat pengubah perjalanan penyakit (disease modifying antirheumatoid
drugs, DMARD) yang menjadi faktor penyebab morbiditas dan mortalitas utama pada
rheumatoid arthritis (Aspiani, 2019).
d. Sistem persarafan
Komplikasi neurologis yang sering dijumpai rheumatoid arthritis umumnya
tidak memberikan gambaran yang jelas sehingga sukar untuk membedakan
komplikasi neurologis akibat lesi artikular dari lesi neuropatik. Pathogenesis
komplikasi neurologis pada umumnya berhubungan dengan mielopati akibat
instabilitas vertebre, servikal, neuropai jepitan atau neuropati iskemik akibat vasculitis
(Aspiani, 2019).
e. Sistem perkemihan
Ginjal Berbeda dengan lupus eritematosus sistemik pada rheumatoid arthritis
jarang sekali dijumpai kelainan glomelural. Jika pada pasien rheumatoid arthritis
dijumpai proteinuria, umumnya hal tersebut lebih sering disebabkan karena efek
samping pengobatan seperi garam emas dan D-penisilamin atau terjadi sekunder
akibat amiloidosis. Walaupun kelainan ginjal interstisial dapat dijumpai pada
syndrome sjogren, umumnya kelainan tersebut lebih banyak berhubungan dengan
penggunaan OAINS. Penggunaan OAINS yang tidak terkontrol dapat sampai
menimbulkan nekrosis papilar ginjal (Aspiani, 2019).
f. Sistem hematologis
Anemia akibat penyakit kronik yang ditandai dengan gambaran eritrosit
normosistik-normokromik (hipokromik ringan) yang disertai dengan kadar besi serum
yang rendah serta kapasitas pengikatan besi yang normal atau rendah merupakan
gambaran umum yang sering dijumpai pada rheumatoid arthritis. Anemia akibat
penyakit kronik ini harus dibedakan dari anemia defisiensi besi yang juga dapat
dijumpai pada rheumatoid arthritis akibat penggunaan OAINS atau DMARD yang
menyebabkan erosi mukosa lambung (Aspiani, 2014).
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian
a. Identitas klien
Meliputi: nama, alamat, jenis kelamin (nyeri sendi lebih banyak menyerang
wanita daripada pria), umur (RA dapat terjadi pada usia berapapun, namun lebih
sering terjadi pada usia 40 sampai 60 tahun), agama, riwayat Pendidikan, pekerjaan
dan penanggung jawab.
b. Keluhan utama
Pada RA klien mengeluh nyeri pada persendian yang terkena yaitu, sendi
pergelangan tangan, lutut, kaki (sendi diartrosis), sendi siku, bahu, sterno klavikula,
panggul dan pergelangan kaki. Keluhan sering berupa kaku sendi di pagi hari,
pembengkakan dan nyeri sendi.
c. Riwayat kesehatan sekarang
Riwayat kesehatan sekarang berupa uraian mengenai penyakit yang diderita
oleh klien dari mulai timbulnya keluhan yang dirasakan sampai klien dibawa ke
rumah sakit, dan apakah pernah memeriksakan diri ke tempat lain selain rumah sakit
umum serta pengobatan apa yang pernah diberikan dan bagaimana perubahanya dari
data yang didapatkan saat pengkajian
d. Riwayat penyakit dahulu
Seperti riwayat penyakit musculoskeletal sebelumnya, riwayat penggunaan
obat-obatan, riwayat mengkonsumsi alcohol dan merokok
e. Pola fungsi kesehatan
1) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Menggambarkan persepsi, pemeliharaan dan penanganan kesehatan
2) Pola nutrisi
Pada penyakit RA biasanya dianjurkan untuk melakukan pola diet
Mediterranean adalah pola makan yang terutama mengandung ikan, sayur, dan
minyak olive dibandingkan unsur makanan yang lain. Pada klien RA gangguan
gastrointestinal yang sering adalah mual, nyeri lambung, yang menyebabkan klien
tidak nafsu makan dan terjadi penurunan berat badan, terutama klien yang
menggunakan obat reumatik dan NSAID dan peristaltic yang menurun
menyebabkan klien jarang defekasi
3) Pola eliminasi
Produksi urine biasanya dalam batas normal dan tidak ada keluhan pada
sistem perkemihan dan umumnya klien RA tidak mengalami gangguan eliminasi.
Meski demikian perlu dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feses dan
urine
4) Pola tidur dan istirahat
Menggambarkan pola tidur, istirahat dan persepsi terhadap energi jumlah jam
tidur siang dan malam, masalah tidur. Biasanya pada penderita RA rasa nyeri
dapat menganggu pola tidur dan istirahatnya
5) Pola aktivitas dan Latihan
Menggambarkan pola Latihan, aktivitas, fungsi pernafasan dan sirkulasi pada
penderita RA
6) Pola hubungan dan peran
Menggambarkan dan mengetahui hubungan dan peran klien terhadap anggota
keluarga dan masyarakat tempat tinggal, perkerjaan tidak punya rumah dan
masalah keuangan
7) Pola sensori dan kognitif
Menjelaskan persepsi sensori dan kognitif. Pola persepsi sensori meliputi
pengkajian penglihatan, pendengaran, perasaan dan pembau.
8) Persepsi dan konsep diri
Menggambarkan sikap tentang diri sendiri dan persepsi terhadap kemampuan
konsep diri. Konsep diri menggambarkan gambaran diri, harga diri, peran dan
identitas diri
9) Pola seksual dan reproduksi
Menggambarkan kepuasaan atau masalah terhadap seksual pada penderita RA
10) Pola mekanisme atau penanggulangan koping
Menggambarkan kemampuan untuk menangani stress pada penderita RA
11) Pola nilai dan kepercayaan
Menggambarkan dan menjelaskan pola, nilai keyakinan termasuk spiritual
f. Riwayat Psikososial
Pasien dengan RA mungkin merasakan adanya kecemasan yang cukup tinggi,
apalagi pada pasien yang mengalami deformitas pada sendi-sendi karena ia merasakan
adanya kelemahan-kelemahan pada dirinya dan merasakan kegiatan sehari-hari
menjadi berubah

g. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum
o Kesadaran biasanya compos mentis
o GCS yang meliputi: eye, verbal, motoric
o TTV: tekanan darah, nadi mungkin meningkat, respirasi dan suhu
2) Insepsi dan palpasi persendian untuk masing-masing sisi (bilateral), amati warna
kulit, ukuran, lembut tidaknya kulit dan pembengkakan
3) Lakukan pengukuran passive range of motion pada sendi-sendi synovial
o Catat bila ada deviasi (keterbatasan gerak sendi)
o Catat bila ada krepitasi (suara berderak atau mendedas)
o Catat bila terjadi nyeri saat sendi digerakkan
4) Lakukan inspeksi dan palpasi otot-otot skelet secara bilateral
o Catat bila ada atrofi, tonus yang berkurang
o Ukur kekuatan otot
5) Kaji tingkat nyeri, derajat dan mulainya
6) Kaji aktivitas dan kegiatan sehari-hari
7) Neurosensory
Akan timbul gejala kesemutan pada tangan dan kaki, hilangnya sensasi pada
jaringan, pembengkakan sendiri simetris

2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik.
b. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot.
c. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan pada tonjolan tulang
3. Intervensi Keperawatan
Diagnosa
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Keperawatan

Nyeri akut b/d agen Setelah diberikan asuhan NIC Label: Manajemen Nyeri.
cedera fisik. keperawatan selama 3 x 24 jam 1. Lakukan pengkajian nyeri secara
diharapkan nyeri dapat teratasi, komprehensif (lokasi, durasi, frekuensi,
dengan kriteria hasil: kualitas, faktor pencetus).
NOC Label: Kontrol Nyeri. 2. Observasi adanya petunjuk nonverval
1. Mengenali kapan nyeri terjadi mengenai ketidaknyamanan terutama
yang dipertahankan pada skala pada mereka yang tidak dapat
4 dan ditingkatkan pada skala 5. berkomunikasi secara efektif.
2. Menggunakan tindakan 3. Ajarkan penggunaan teknik
pengurangan [nyeri] tanpa nonfarmakologi (relaksasi, distraksi).
analgesik yang dipertahankan 4. Berikan individu penurunan nyeri yang
pada skala 4 dan ditingkatkan optimal dengan penerapan analgetik.
pada skala 5. 5. Kendalikan faktor lingkungan yang
3. Melaporkan nyeri yang dapat mempengaruhi respon pasien
terkontrol yang dipertahankan terhadap ketidaknyamanan (suhu,
pada skala 4 dan ditingkatkan pencahayaan, suara bising).
pada skala 5 NIC Label: Pemberian Analgesik.
NOC Label: Tingkat Nyeri. 1. Tentukan lokasi, karakteristik, dan
1. Nyeri yang dilaporkan keparahan nyeri mengobati pasien.
dipertahankan pada skala 4 dan 2. Cek adanya riwayat alergi obat.
ditingkatkan pada skala 5. 3. Monitor tanda vital sebelum dan setelah
2. Ekspresi nyeri wajah yang memberikan analgesik.
dipertahankan pada skala 4 dan 4. Berikan kebutuhan kenyamanan dan
ditingkatkan pada skala 5. aktivitas lain yang dapat membantu
3. Tekanan darah yang relaksasi untuk memfasilitasi penurunan
dipertahankan pada skala 4 dan nyeri.
ditingkatkan pada skala 5. 5. Berikan analgesik sesuai waktu
paruhnya, terutama pada nyeri berat.
Hambatan mobilitas Setelah diberikan asuhan NIC Label: Terapi Latihan: Ambulasi.
fisik b/d penurunan keperawatan selama 3 x 24 jam 1. Beri pasien pakaian yang tidak
kekuatan otot. diharapkan hambatan mobilitas fisik mengekang.
dapat teratasi, dengan kriteria hasil: 2. Dorong untuk duduk di tempat tidur, di
NOC Label: Koordinasi samping tempat tidur, atau di kursi,
Pergerakan. sebagaimana yang dapat ditoleransi
1. Kontraksi kekuatan otot yang pasien.
dipertahankan pada skala 4 dan 3. Instruksikan ketersediaan perangkat
ditingkatkan pada skala 5. pendukung, jika perlu.
2. Kecepatan gerakan yang 4. Instruksikan pasien untuk memposisikan
dipertahankan pada skala 4 dan diri sepanjang proses pemindahan.
ditingkatkan pada skala 5. 5. Bantu pasien untuk berpindah, sesuai
3. Keseimbangan gerakan yang kebutuhan.
dipertahankan pada skala 4 dan NIC Label: Manajemen Lingkungan.
ditingkatkan pada skala 5 1. Ciptakan lingkungan yang aman bagi
NOC Label: Kemampuan pasien.
berpindah. 2. Singkirkan bahaya lingkungan
1. Berpindah dari tempat tidur ke (misalnya, karpet yang longgar dan
kursi yang dipertahankan pada kecil, furnitur yang dapat dipindahkan).
skala 4 dan ditingkatkan pada 3. Lindungi pasien dengan pegangan pada
skala 5. sisi/bantalan di sisi ruangan yang sesuai.
2. Berpindah dari kursi ke tempat 4. Sediakan tempat tidur dengan
tidur yang dipertahankan pada ketinggian yang rendah, yang sesuai.
skala 4 dan ditingkatkan pada 5. Sediakan tempat tidur dan lingkungan
skala 5. yang bersih dan nyaman.
3. Berpindah dari kursi ke kursi
yang dipertahankan pada skala
4 dan ditingkatkan pada skala 5.
Kerusakan integritas Setelah diberikan asuhan NIC Label: Pengecekan Kulit.
kulit b/d tekanan keperawatan selama 3 x 24 jam 1. Periksa kulit dan selaput lendir terkait
pada tonjolan tulang. diharapkan kerusakan integritas kulit dengan adanya kemerahan, kehangatan
dapat teratasi, dengan kriteria hasil: ekstrim, edema, atau drainase.
2. Amati warna, kehangatan, bengkak,
NOC Label: Integritas Jaringan: pulsasi, tekstur, edema, dan ulserasi
Kulit & Membran Mukosa. pada ekstremitas.
1. Suhu kulit yang dipertahankan 3. Periksa kondisi luka operasi, dengan
pada skala 4 dan ditingkatkan tepat.
pada skala 5. 4. Monitor warna dan suhu kulit.
2. Sensasi yang dipertahankan 5. Monitor kulit untuk adanya ruam dan
pada skala 4 dan ditingkatkan lecet.
pada skala 5. 6. Monitor kulit untuk adanya kekeringan
3. Elastisitas yang dipertahankan yang berlebihan dan kelembaban.
pada skala 4 dan ditingkatkan 7. Monitor infeksi, terutama dari daerah
pada skala 5. edema.
4. Integritas kulit yang 8. Lakukan langkah-langkah untuk
dipertahankan pada skala 4 dan mencegah kerusakan lebih lanjut
ditingkatkan pada skala 5. (misalnya, melapisi kasur,
5. Pigmentasi abnormal yang menjadwalkan reposisi).
dipertahankan pada skala 4 dan NIC Label: Perawatan Luka.
ditingkatkan pada skala 5. 1. Monitor karakteristik luka, termasuk
6. Nekrosis yang dipertahankan drainase, warna, ukuran, dan bau.
pada skala 4 dan ditingkatkan 2. Bersihkan dengan normal saline atau
pada skala 5. pembersih yang tidak beracun, dengan
tepat.
3. Berikan rawatan insisi pada luka, yang
diperlukan.
4. Pertahankan teknik balutan steril ketika
melakukan perawatan luka, dengan
tepat.
5. Ganti balutan sesuai dengan jumlah
eksudat dan drainase.

4. Implementasi
Implementasi keperawatan adalah tahap ketika perawat mengaplikasikan rencana
asuhan keperawatan dalam bentuk intervensi keperawatan guna membantu pasien
mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Asmadi, 2008). Implementasi keperawatan terdiri
dari beberapa komponen:
1. Tanggal dan waktu dilakukan implementasi keperawatan
2. Diagnosis keperawatan
3. Tindakan keperawatan berdasarkan intervensi keperawatan
4. Tanda tangan perawat pelaksana

5. Evaluasi
1. Evaluasi Formatif
Evaluasi ini disebut juga evaluasi berjalan dimana evaluasi dilakukan sampai
dengan tujuan tercapai. Selama melakukan asuhan keperawatan 3x24 jam pasien
diharapkan:
a. Agar pasien bisa memenuhi kebutuhan secara mandiri
b. Bebas dari cedera atau infeksi yang dibuktikan dengan suhu tubuh dan jumlah sel
darah putih
c. Dapat aktif dalam keterbatasan kemampuan
d. Bisa mengontrol pola sesuai dengan diet yang diberikan

2. Evaluasi somatif
Evaluasi ini merupakan akhir dimana dalam metode evaluasi ini menggunakan
SOAP.
S: data yang didapatkan melalui keluhan pasien
O: data yang diamati atau di observasi oleh perawat
A: tujuan yang ingin dicapai dalam melakukan tindakan
P: rencana yang akan dilanjutkan bila tujuan tersebut tidak tercapai
DAFTAR PUSTAKA

Padila (2019). Tingkat pengetahuan lansia tentang penyakit rheumatoid arthritis di


panti sosial tresna werdha (PSTW), Jakarta:Cendekia academia.edu.
Artinawati. (2018). Asuhan keperawatan gerontik, bogor, IN MEDIA.
Haryono. (2019). Hubungan antara nyeri reumatoid arthritis dengan kemandirian
dalam aktivitas kehidupan sehari-hari pada lansia di posbindu karang mekar wilayah kerja
puskesmas pisangan tangerang selatan, Tanggerang: cendekia 15-19.
Aspiani. (2018). buku saku patofisiologi, Jakarta: Egc 347.
Debora, oda. (2012). Proses keperawatan dan pemeriksaan fisik, Jakarta: salemba
medika.
Nanda internasional. (2015). diagnosis keperawatan definisi & klasifikasi 2015-2017
edisi 10. jogjakarta: EGC.
Hembing (2018). asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan sistem
muskuloskeletal. Jakarta: salemba medika 216-223.

Anda mungkin juga menyukai