A. Tinjauan Teori
1. Definisi
Perilaku kekerasan adalah salah satu respons marah yang
diespresikan dengan melakukan ancaman, mencederai orang lain, dan
merusak lingkungan. Respons ini dapat menimbulkan kerugian baik bagi
diri sendiri, orang lain, dan lingkungan (Keliat,dkk, 2011).
Perilaku kekerasan merupakan suatu rentang emosi dan ungkapan
kemarahan yang dimanisfestasikan dalam bentuk fisik. Kemarahan
merupakan suatu komunikasi atau proses penyampaian pesan individu.
Orang yang mengalami kemarahan sebenarnya ingin menyampaian pesan
bahwa ia “tidak setuju, merasa tersinggung, merasa tidak dianggap, merasa
tidak dituntut atau diremehkan” (Yosep, 2011).
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik pada dirinya sendiri
maupun orang lain, disertai dengan amuk dan gaduh gelisah yang tidak
terkontrol (Kusumawati, 2010).
2. Rentang Respon
Perilaku atau respon kemarahan dapat berflutuatif dalam rentang
adaptif sampai maladaptif. Rentang respon marah menurut (Fitria, 2010).
Dimana amuk dan agresif pada rentang maladaptif, seperti gambar berikut:
Rentang Respon
Adaptif Maladaptif
Asertif Frustasi Pasif Agresif
Keterangan :
Asertif : Kemarahan yang diungkapkan tanpa menyakiti orang lain.
Frustasi :Kegagalan mencapaiu tujuan karena tidak
realistis /terhambat
Pasif : Respon lanjutan dimanaklien tidak mampu
mengungkapkan perasaannya.
Agresif : Perilaku destruktif tapi masih terkontrol.
Amuk : Perilaku destruktif dan tidak terkontrol
3. Etiologi
a. Faktor Predisposisi
Faktor pengalaman yang dialami tiap orang yang merupakan faktor
predisposisi, artinya mungkin terjadi atau mungkin tidak terjadi perilaku
kekerasan jika faktor berikut dialami oleh individu:
1. Psikologis : kegagalan yang dialami dapat menimbulkan frutasi yang
kemudian dapat timbul agresif atau amuk. Masa kanak-kanak yang tidak
menyenangkan yaitu perasaan ditilak, dihina, dianiaya.
2. Perilaku, reinforcement yang diterima pada saat melakukan kekerasan,
sering mengobservasi kekerasan dirumah atau diluar rumah, semua aspek
ini menstimulasi individu mengadopsi perilaku kekerasan.
3. Sosial budaya, budaya tertutup dan membalas secara diam (pasif agresif)
dan kontrol sosial yang tidak pasti terhadap pelaku kekerasan akan
menciptakan seolah- olah perilaku kekerasan yang diterima (permissive).
Bioneurologis banyak bahwa kerusakan sistem limbik, lobus frontal,
lobus temporal dan ketidakseimbangan
4. neurotransmitter turut berperan dalam terjadinya perilaku kekerasan
(Prabowo, 2014).
b. Faktor Prespitasi
Faktor presipitasi dapat bersumber dari pasien, lingkungan atau
interaksi dengan orang lain. Kondisi pasien seperti ini kelemahan fisik
(penyakit fisik), keputusasaan, ketidak berdayaan, percaya diri yang
kurang dapat menjadi penyebab perilaku kekerasan. Demikian pula
dengan situasi lingkungan yang ribut, padat, kritikan yang mengarah
pada penghinaan, kehilangan orang yang dicintainya atau pekerjaan dan
kekerasan merupakan faktor penyebab yang lain interaksi yang
profokatif dan konflik dapat pula memicu perilaku kekerasan (Prabowo,
2014). Beberapa faktor perilaku kekerasan sebagai berikut :
1. Klien : kelemahan fisik, keputusasaan, ketidak berdayaan,
kehidupan yang penuh agresif, dan masa lalu yang tidak
menyenangkan.
2. Interaksi : penghinaan, kekerasan, kehilangan orang yang berarti,
merasa terancam baik internal maupun eksternal.
3. Lingkungan : panas, padat, dan bising.
4. Tanda dan gejala
Perawat dapat mengidentifikasi dan mengobservasi tanda dan gejala
perilaku kekerasan: (Yosep, 2011)
1. Fisik : muka merah dan tegang, mata melotot atau pandangan tajam,
tangan mengepal, postur tubuh kaku, jalan mondar mandir.
2. Verbal : bicara kasar, suara tinggi, membentak atau berteriak,
mengancam secara fisik, mengumpat dengan kata-kata kotor.
3. Perilaku : melempar atau memukul benda pada orang lain, menyerang
orang lain atau melukai diri sendiri, merusak lingkungan, amuk atau
agresif
4. Emosi : tidak ade kuat, dendam dan jengkel, tidak berdaya,
bermusuhan, mengamuk, menyalahkan dan menuntut.
5. Intelaktual : cerewet, kasar, berdebat, meremehkan.
6. Spiritual : merasa berkuasa, merasa benar sendiri, mengkritik
pendapat orang lain, menyinggung perasan orang lain, tidak peduli
dan kasar.
7. Sosial : menarik diri, penolakan, ejekan, sindiran.
5. Patofisiologi
Stress, cemas, harga diri rendah, dan bermasalah dapat menimbulkan
marah. Respon terhadap marah dapat di ekspresikan secara eksternal
maupun internal. Secara eksternal ekspresi marah dapat berupa perilaku
konstruktif maupun destruktif. Mengekspresikan rasa marah dengan kata-
kata yang dapat di mengerti dan diterima tanpa menyakiti hati orang lain.
Selain memberikan rasa lega, ketegangan akan menurun dan akhirnya
perasaan marah dapat teratasi. Rasa marah diekspresikan secara
destrukrtif, misalnya dengan perilaku agresif, menantang biasanya cara
tersebut justru menjadikan masalah berkepanjangan dan dapat
menimbulkan amuk yang ditunjukan pada diri sendiri, orang lain, dan
lingkungan (Yosep, 2011).
Perilaku yang submisif seperti menekan perasaan marah karena
merasa tidak kuat, individu akan berpura-pura tidak marah atau melarikan
diri dari rasa marahnya, sehingga rasa marah tidak terungkap. Kemarahan
demikian akan menimbulkan rasa bermusuhan yang lama, pada suatu saat
dapat menimbulkan rasa bermusuhan yang lama, dan pada suatu saat dapat
menimbulkan kemarahan yang destruktif yang ditujukan pada diri sendiri,
orang lain, dan lingkungan (Dermawan & Rusdi, 2013).
SP 4 Klien:
1. Evaluasi : tanda
dan gejala resiko
perilaku
- Mampu kekerasan klien.
menyebutkan 2. Validasi : - Mengontrol RPK
kegiatan yang kemampuan pasien dengan cara
sudah melakukan tarik spiritual dengan
dilakukan. nafas dalam,pukul cara berdoa,
- Mampu kasur dan bantal, berdzikir, wudhu,
memperagaka n minum obat shalat dapat
cara dengan 6 benar dan menurunkan
mengontrol resiko patuh, bicara yang ketegangan fisik
perilaku kekerasan baik. dan psikologis.
dengan spiritual 3. Tanyakan manfaat - Membantu
dan kegiatan latihan tarik nafas menetapkan kegitan
yang lain dalam ,pukul yang
kasur bantal, memungkinkan
minum obat, terselesaikan dengan
bicara yang baik. baik dan dapat
Beri pujian dilakukan secara
4. Latih mengontrol teratur
marah dengan
spritual (2
kegiatan).
5. Melakukan
penerapan terapi
musik.
6. Masukkan pada
jadwal kegiatan
untuk latihan fisik,
minum obat,
2 Halusinasi - Mengenali SP 1 SP 1 Klien
halusinasi yang Setelah…..kali 1. Identifikasi tanda - Dengan
dialami. pertemuan klien dan gejala waham memberikan
- Klien dapat : 2. Bantu orientasi pemahaman tentang
menyebutkan cara - Klien dapat realita : panggila, halusinasi pasien
mengontrol membina orientasi waktu, mampu memahami:
halusinasi. hubungan saling orang dan tempat. Masalah yang
- Mengikuti percaya. 3. Diskusikan dialaminya
program - Klien dapat kebutuhan pasien Kapan masalah
pengobatan. mengenal yang tidak timbul,
halusinasinya. terpenuhi. menghindarka n
- Klien dapat 4. Bantu pasien waktu dan
mengontrol memenuhi situasi saat
halusinasinya kebutuhannya masalah
dengan secara realistis. muncul.
menghardik. 5. Masukkan pada Pentingnya
jadwal kegiatan masalah
pemenuhan halusinasi untuk
kebutuhan diatasi karena
perasaan
tidak nyaman saat
munculnya
halusinasi dapat
menimbulkan
perilaku maladaptif
yang sulit untuk
dikontrol.
- Dengan menghardik
halusinasi memberi
kesempatan pasien
mengatasi masalah
dengan reaksi
penolakan terhadap
sensasi palsu.
- Dengan peragaan
langsung dan
pasien
memperagakan
ulang
memungkinkan cara
menghardik
dilakukan dengan
benar.
- Dengan penguatan
positif mendorong
pengulangan
perilaku yang
SP 2 SP 2 Klien diharapkan.
Setelah beberapa 1. Evaluasi kegiatan
kali pertemuan pemenuhan
klien : kebutuhan pasien - Menilai kemajuan
- Klien dapat dan beri pujian dan perkembangan
menjelaskan klien.
tentang cara 2. Diskusikan - Memberikan
minum obat dengan kemampuan yang pemahaman tentang
prinsip 6 benar. dimiliki. pentingnya
- Klien dapat penggunaan obat
mempraktekka n 3. Latih kemampuan pada gangguan
cara minum obat yang jiwa, akibat jika
dengan prinsip 6 penggunaan obat
benar. dipilih, berikan tidak sesui dengan
pujian. program, akibat
bila putus obat,
4. Masukkan pada cara mendapatkan
jadwal pemenuhan obat, cara
kebutuhan dan meggunakan obat
kegiatan yang telah dengan prinsip 6
dilatih benar.
- Memungkinkan
terapi obat
terlaksana lebih
epektif guna
mendukung
proses perawatan
SP 3 SP 3 Klien dan penyembuhan
setelah 1. Evaluasi kegiatan klien.
…….kali pemenuah
pertemuan kebutuhan pasien, - Menilai kemajuan
klien: kegiatan yang dan perkembangan
- Klien dapat dilakukan pasien, klien.
menjelaskan dan beri pujian. - Dengan bercakap-
cara mengatasi cakap mengalihkan
halusinasi 2. Jelaskan tentang pokus perhatian
dengan obat yang dan menghindarkan
bercakap- cakap diminum ( 6 benar saat klien
dengan orang : jenis, guna, dosis, merasakan sensasi
lain. frekuensi, cara, palsu.
- Klien dapat kontinuitas minum - Memungkinkan
mempraktekka n obat dan tanyakan klien melakukan
cara manfaat yang kegiatan dengann
mengatasi dirasakan pasien). teratur.
halusinasi 3. Masukkan pada
dengan jadwal pemenuhan
bercakap- cakap kebutuhan, kegiatan
yang telah
dilatih dan
obat benar dosis.
4. Latih dan ajarkan
klien minum obat
secara teratur dan
masukkan dalam
jadwal harian klien.
SP 4 - Menilai
SP 4 - Evaluasi perkembangan dan
setelah…..kali kemampuan kemampuan pasien.
pertemuan klien berinteraksi. - Memberikan
: - Latih cara bicara motivasi klien
Mampu saat melakukan untuk berintekrasi
menyebutkan kegiatan sosial. dan mendapatkan
kegiatan yang - Melatih berkenalan respon yang
sudah dengan >5 orang. positif.
dilakukan. - Menganjurkan - Memberikan
- Mampu pasien memasukkan motivasi dan rasa
berintekrasi kedalam jadwal tanggung jawab
dengan orang kegiatan harian. pada pasien untuk
lain : melaksanakan
berkenalan dengan kegiatan berkenalan
> 5 orang dan dengan teratur.
bersosialisasi.
4. Implementasi
Menurut Keliat (2017) implementasi keperawatan disesuaikan dengan
rencana tindakan keperawatan dengan memperhatikan dan mengutamakan
masalah utama yang aktual dan mengancam integritas klien beserta
lingkungannya. Sebelum melaksanakan tindakan keperawatan yang sudah
direncanakan, perawat perlu menvalidasi apakah rencana tindakan
keperawatan masih dibutuhkan dan sesuai dengan kondisi klien pada saat
ini. Hubungan saling percaya antara perawat dengan klien merupakan dasar
utama dalam pelaksanaan tindakan keperawatan.
Dermawan (2018) menjelaskan bahwa tindakan keperawatan dengan pendekatan
strategi pelaksanaan (SP) perilaku kekerasan terdiri dari : SP 1 (pasien) : membina
hubungan saling percaya, membantu klien mengenal penyebab perilaku
kekerasan, membantu klien dalam mengenal tanda dan gejala dari perilaku
kekerasan. SP 2 (pasien) : maembantu klien mengontrol perilaku kekerasan
dengan memukul bantal atau kasur. SP 3 (pasien) : membantu klien mengontrol
perilaku kekerasan seacara verbal seperti menolak dengan baik atau meminta
dengan baik. SP 4 (pasien) : membantu klien mengontrol perilaku kekerasan
secara spiritual dengan cara sholat atau berdoa. SP 5 (pasien) : membantu klien
dalam meminum obat seacara teratur Tindakan keperawatan pada keluarga
dengan perilaku kekerasan secara umum adalah sebagai berikut :
SP1 : Memberikan pendidikan kesehatan kepada keluarga 27 tentang cara
merawat pasien perilaku kekerasan di rumah.
5. Evaluasi
Evaluasi merupakan proses berkelanjutan untuk menilai afek dari tindakan
keperawatan pada klien. evaluasi dilakukan terus-menerus pada respon keluarga
terhadap tindalkan keperawatan yang telah dilaksanakan. evaluasi proses pormatif
dilakukan setiap selesai melakukan tindakan evaluasi dapat dilakukan dengan
menggunakan SOAP sebagai pola pikirnya. ( Keliat 2016).
DAFTAR PUSTAKA