Anda di halaman 1dari 16

PROPOSAL TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK

STIMULASI PERSEPSI RISIKO PERILAKU KEKERASAN

DISUSUN OLEH :

1. Metha Mariskha (PO7120121083)


2. Khairun Nisa Febrianti (PO7120121084)
3. Luthfiyah Nur Aisyah (PO7120121085)
4. Wayan Dyego Satyawan (PO7120121086)
5. Vivin Dwi Marliza (PO7120121087)
6. Yosa Sri Lestari (PO7120121088)
7. Diah Ayu Sekaryanti (PO7120121089)

PEMBIMBING LAHAN :
Ns. Rita Apriani, S.Kep

POLITEKNIK KESEHATAN PALEMBANG KEMENKES PALEMBANG


PROGRAM STUDI KEPERAWATAN PALEMBANG
TAHUN AKADEMIK 2023/2024
PROPOSAL TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK (TAK) PADA PASIEN DENGAN
RISIKO PERILAKU KEKERASAN

A. LATAR BELAKANG
Manusia adalah makhluk sosial, yang terus menerus membutuhkan adanya orang
lain di sekitarnya. Salah satu kebutuhan manusia untuk melakukan interaksi dengan
sesama manusia. Interaksi ini dilakukan tidak selamanya memberikan hasil yang sesuai
dengan apa yang diharapkan oleh individu, sehingga mungkin terjadi suatu gangguan
terhadap kemampuan individu untuk interaksi dengan orang lain.
Kelompok adalah kumpulan individu yang memilih hubungan satu dengan yang
lain. Anggota kelompok mungkin datang dari berbagai latar belakang yang harus
ditangani sesuai dengan keadaannya, seperti agresif, takut, kebencian, kompetitif,
kesamaan ketidaksamaan, kesukaan dan menarik diri.
Terapi kelompok adalah suatu psikoterapi yang dilakukan oleh sekelompok
penderita bersama-sama dengan jalan diskusi satu sama lain yang dipimpin, diarahkan
oleh terapis/petugas kesehatan yang telah dilatih. Terapi aktivitas kelompok itu sendiri
mempermudah psikoterapi dengan sejumlah pasien dalam waktu yang sama. Manfaat
terapi aktivitas kelompok yaitu agar pasien dapat belajar kembali bagaimana cara
bersosialisasi dengan orang lain, sesuai dengankebutuhannya memperkenalkan dirinya.
Menanyakan hal-hal yang sederhana dan memberikan respon terhadap pertanyaan yang
lain sehingga pasien dapat berinteraksi dengan orang lain dan dapat merasakan arti
berhubungan dengan orang lain.
Terapi aktivitas kelompok sering dipakai sebagai terapi tambahan. Wilson dan
Kneisl menyatakan bahwa terapi aktivitas kelompok adalah manual, rekreasi, dan teknik
kreatif untuk memfasilitasi pengalaman seseorang serta meningkatkan repon social dan
harga diri.
Pada pasien dengan perilaku kekerasan selalu cenderung untuk melakukan
kerusakan atau mencederai diri, orang lain, atau lingkungan. Perilaku kekerasan tidak
jauh dari kemarahan. Kemarahan adalah perasaan jengkel yang timbul sebagai respon
terhadap kecemasan yang dirasakan sebagai ancaman. Ekspresi marah yang segera karena
suatu sebab adalah wajar dan hal ini kadang menyulitkan karena secara kultural ekspresi
marah yang tidak diperbolehkan. Oleh karena itu, marah sering diekspresikan secara tidak
langsung.
Kemarahan yang ditekan atau pura-pura tidak marah akan mempersulit diri sendiri
dan mengganggu hubungan interpersonal. Pengungkapan kemarahan dengan langsung
dan tidak konstruktif pada waktu terjadi akan melegakan individu dan membantu
mengetahui tentang respon kemarahan seseorang dan fungsi positif marah.
Atas dasar tersebut, maka dengan terapi aktivitas kelompok (TAK) pasien dengan
perilaku kekerasan dapat tertolong dalam hal sosialisasi dengan lingkungan sekitarnya.
Tentu saja pasien yang mengikuti terapi ini adalah pasien yang mampu mengontrol
dirinya dari perilaku kekerasan sehingga saat TAK pasien dapat bekerjasama dan tidak
mengganggu anggota kelompok lain.

B.TUJUAN
1. Tujuan Umum
Pasien dapat mencegah perilaku kekerasan

2. Tujuan Khusus
a. Pasien dapat mengenal perilaku kekerasan yang biasa dilakukan
b. Pasien dapat mencegah perilaku kekerasan melalui kegiatan fisik yang
pertama (tarik nafas dalam)

C. TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Risiko perilaku kekerasan merupakan perilaku seseorang yang menunjukkan
bahwa ia dapat membahayakan diri sendiri atau orang lain atau lingkungan, baik
secara fisik, emosional, seksual, dan verbal (NANDA, 2016). Risiko perilaku
kekerasan terbagi menjadi dua, yaitu risiko perilaku kekerasan terhadap diri sendiri
(risk for self-directed violence) dan risiko perilaku kekerasan terhadap orang lain (risk
for other-directed violence).

2. Penyebab perilaku kekerasan


Menurut (Keliat, 2011) penyebab Risiko Perilaku Kekerasan ada dua faktor
antara lain:
a. Faktor Predisposisi
1) Psikologis
Kegagalan yang dialami dapat menimbulkan frustasi yang kemudian
dapat timbul agresif, masa kanak-kanak yang tidak menyenangkan yaitu
perasaan ditolak, dihina, dan dianiaya. Seseorang yang mengalami hambatan
dalam mencapai tujuan/keinginan yang diharapkannya menyebabkan ia
menjadi frustasi. Ia merasa terancam dan cemas. Jika tidak mampu
mengendalikan frustasi tersebut maka, dia meluapkannya dengan cara
kekerasan.
2) Perilaku
Reinforcement yang diterima pada saat melakukan kekerasan, sering
melihat kekerasan di rumah atau di luar rumah, semua aspek ini memancing
individu mengadopsi perilaku kekerasan.
3) Sosial budaya
Budaya tertutup dan membalas secara diam (pasifagresif) dan kontrol
social yang tidak pasti terhadap perilaku kekerasan akan menciptakan seolah-
olah perilaku kekerasan diterima (permisive).
4) Bioneurologis
Banyak pendapat bahwa kerusakan sistem limbik, lobusfrontal,
Lobustemporal dan ketidakseimbangan neurotransmitter turut berperan dalam
terjadinya perilaku kekerasan.

b. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi dapat bersumber dari pasien, lingkungan atau
interaksi dengan orang lain. Kondisi pasien seperti kelemahan fisik (penyakit
fisik), keputusasaan, ketidakberdayaan, percaya diri yang kurang dapat
menjadi penyebab perilaku kekerasan. Demikian pula dengan situasi
lingkungan yang ribut, padat, kritikan yang mengarah pada penghinaan,
kehilangan orang yang dicintai/pekerjaan dan kekerasan merupakan faktor
penyebab yang lain. Interaksi sosial yang provokatif dan konflik dapat pula
memicu perilaku kekerasan.
Hilangnya harga diri juga berpengaruh pada dasarnya manusia itu
mempunyai kebutuhan yang sama untuk dihargai. Jika kebutuhan ini tidak
terpenuhi akibatnya individu tersebut mungkin akan merasa rendah diri, tidak
berani bertindak, lekas tersinggung, lekas marah, dan sebagainya. Harga diri
adalah penilaian individu tentang pencapaian diri dengan menganalisa
seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri. Dimana gangguan harga diri
dapat digambarkan sebagai perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilang
kepercayaan diri, merasa gagal mencapai keinginan.

3. Rentang respon marah


Respon kemarahan dapat di fluktuasi dalam rentang adaptif-maladaptif.
Rentang respon kemarahan dapat digambarkan sebagai berikut:

Keterangan:
1. Asertif: individu dapat mengungkapkan marah tanpa menyalahkan orang
lain dan memberikan ketenangan.
2. Frustasi: individu gagal mencapai tujuan kepuasan saat marah dan tidak
dapat menemukan alternatif
3. Pasif: individu tidak dapat mengungkapkan perasaannya
4. Agresif: perilaku yang menyertai marah
5. Kekerasan: perasaan marah dan bermusuhan yang kuat serta hilangnya
kontrol

4. Gejala marah
Kemarahan dinyatakan dalam berbagai bentuk, ada yang menimbulkan
pengrusakan, tetapi ada juga yang hanya diam seribu bahasa. Gejala-gejala atau
perubahan-perubahan yang timbul pada pasien dalam keadaan marah diantaranya
sebagai berikut:
a. Fisik
Mata melotot,/pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup, wajah
memerah dan tegang, serta postur tubuh kaku.
b. Verbal
Mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor, berbicara dengan nada
keras, kasar dan ketus.
c. Emosi
Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggu, dendam,
jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi, menyalahkan
dan menuntut.
d. Intelektual
Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan dan tidak jarang
mengeluarkan kata-kata bernada sarkasme.
e. Spiritual
Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, keragu-raguan, tidak bermoral,
dan kreativitas terhambat.
f. Sosial
Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, dan sindiran.
g. Perhatian
Bolos, melarikan diri, dan melakukan penyimpangan seksual

5. Perilaku marah
Perilaku yang berkaitan dengan perilaku kekerasan antara lain:
a. Menyerang atau menghindar (fight of flight)
Pada keadaan ini respon fisiologis timbul karena system syaraf
otonom bereaksi terhadap sekresi

b. Menyatakan secara asertif (assertiveness)


Perilaku yang sering ditampilkan individu dalam mengekspresikan
kemarahannya yaitu dengan perilaku pasif, agresif, dan asesif. Perilaku
asertif adalah cara yang terbaik untuk mengekspresikan marah karena
individu dapat mengekspresikan rasa marahnya tanpa menyakiti orang lain
secara fisik maupun psikologis. Di samping itu perilaku ini dapat juga
untuk mengembangkan diri pasien.

c. Memberontak (acting out)


Perilaku yang muncul basanya disertai akibat konflik perilaku
“acting out” untuk menarik perhatian orang lain.

d. Perilaku kekerasan
Tindakan kekerasan atau amuk yang ditujukan kepada diri sendiri, orang lain,
maupun lingkungan

6. Mekanisme koping
Mekanisme koping adalah tiap upaya yang diarahkan pada
penatalaksanaan stres, termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan
mekanisme pertahanan yang digunakan untuk melindungi diri. Kemarahan
merupakan ekspresi dari rasa cemas yang timbul karena adanya ancaman.
Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada pasien marah untuk
melindungi diri antara lain:
a. Sublimasi: menerima suatu pengganti yang mulia artinya dimata
masyarakat untuk suatu dorongan yang mengalami hambatan penyaluran
secara normal. Misalnya seseorang yang sedang marah melampiaskan
kemarahannya pada obyek lain seperti meremas adonan kue, meninju
tembok, dan sebagainya, tujuannya adalah untuk mengurangi ketagangan
akibat rasa marah.

b. Proyeksi: menyalahkan orang lain mengenai kesukarannya atau


keinginannya yang tidak baik. Misalnya seseorang wanita muda yang
menyangkal bahwa ia mempunyai perasaan seksual terhadap rekan
sekerjanya, berbalik menuduh bahwa temannya tersebut mencoba merayu,
mencumbunya.

c. Resepsi: mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan masuk


kealam sadar. Misalnya: seseorang anak yang sangat benci pada orang
tuanya yang tidak disukainya. Akan tetapi menurut ajaran atau didikan
yang diterimanya sejak kecil bahwa membenci orang tua merupakan hal
yang tidak baik dan dikutuk oleh Tuhan, sehingga perasaan benci itu
ditekannya dan akhirnya ia dapat melupakannya.

d. Reaksi formasi: mencegah keinginan yang berbahaya bila diekspresikan,


dengan melebih-lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan
menggunakannya sebagai rintangan. Misalnya seseorang yang tertarik
pada teman suaminya, akan memperlakukan orang tersebut dengan kasar.

e. Displacement: melepaskan perasaan yang tertekan bisaanya bermusuhan,


pada obyek yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya
membangkitkan emosi itu. Misalnya Timmy berusia 4 tahun marah karena
ia baru saja mendapat hukuman dari ibunya karena menggambar di
dinding kamarnya. Dia mulai bermain perang-perangan dengan temannya.

D. SESI YANG DIGUNAKAN


Dalam terapi aktivitas kelompok dibagi menjadi 4 sesi, yaitu:
a. SESI I: Mengenal Perilaku Kekerasan yang Biasa Dilakukan
b. SESI II: Mencegah Perilaku Kekerasan melalui kegiatan fisik
c. SESI III: Mencegah perilaku kekerasan dengan kegiatan social
d. SESI IV: Mencegah perilaku kekerasan dengan kegiatan spiritual
e. SESI V: Mencegah perilaku kekerasan dengan patuh meminum obat

E. KRITERIA ANGGOTA KELOMPOK (KLIEN)


1. Karakteristik Pasien
1) Pasien yang bisa kooperatif dan tidak mengganggu
berlangsungnya Terapi Aktifitas Kelompok
2) Kondisi fisik dalam keadaan baik
3) Mau mengikuti kegiatan terapi aktifitas

2. Proses Seleksi
1) Mengobservasi pasien yang masuk kriteria.
2) Mengidentifikasi pasien yang masuk kriteria.
3) Mengumpulkan pasien yang masuk kriteria.
4) Membuat kontrak dengan pasien yang setuju ikut TAK, meliputi:
menjelaskan tujuan TAK pada pasien, rencana kegiatan kelompok dan aturan
main dalam kelompok.
3. Antisipasi
1. Penanganan terhadap pasien yang tidak aktif dalam aktivitas
a. Memanggil pasien
b. Memberi kesempatan pada pasien untuk menjawab sapaan perawat
atau pasien lain
2. Bila pasien meninggalkan kegiatan tanpa izin
a. Panggil nama pasien
b. Tanyakan alasan pasien meninggalkan kegiatan
3. Bila pasien lain ingin ikut
a. Berikan penjelasan bahwa kegiatan ini ditujukan kepada pasien yang
telah dipilih
b. Katakan pada pasien bahwa ada kegiatan lain yang mungkin didikuti
oleh pasien tersebut.

F. PENGORGANISASIAAN
1. Pelaksanaan
Hari/ Tanggal : Kamis, 14 November 2023

Waktu : 13.00 WIB-Selesai


Alokasi waktu : Perkenalan dan Pengarahan (3 menit) Terapi kelompok (10
menit) Penutup ( 2 menit)
Tempat : Ruang Bangau
Jumlah klien : 6 Orang
Klien yang ikut :
1. Tn. S
2. Tn. D
3. Tn. I
4. Tn. M
5. Tn. F
6. Tn. H

2. Tim Terapi
a. Leader : Metha Mariskha

Uraian Tugas :
1. Memimpin jalannya terapi aktivitas kelompok
2. Merencanakan, mengatur, mengontrol, dan mengembangkan jalannya terapi
aktivitas kelompok
3. Membuka acara terapi aktivitas kelompok
4. Memimpin diskusi kelompok
5. Memberikan informasi
6. Menutup acara

b. Co-Leader : Khairun Nisa Febrianti


Uraian Tugas :
1. Mendampingi leader
2. Mengambil posisi leader jika pasif
3. Mengarahkan kembali posisi peminpin kepada leader
4. Menjadi motivator

c. Observer : Diah Ayu Sekaryanti


Uraian Tugas :
1. Mengobservasi terapi yang dijalankan
2. Menyimpulkan kegiatan terapis

d. Fasilitator : 1. Wayan Dyego Satyawan


2. Vivin Dwi Marliza
3. Luthfiyah Nur Aisyah
4. Yosa Sri Lestari
Uraian Tugas :
1. Membantu dan menjelaskan tutgas yang harus dilakukan klien sebagai
anggota kelompok
2. Membantu mempersiapkan klien dan sarana yang menunjang ketika
kegiatan kelompok berlangsung
3. Memberikan motivasi kepada klien untuk tetap aktif dalam melaksanakan
terapi aktivitas kelompok
3. Metode dan Media
a. Metode
Metode yang digunakan yaitiu terapi aktivitas kelompok dengan
dinamika kelompok dan diskusi tanya jawab

B
G. PROSES PELAKSANAAN
Sesi 1 : Mengenal Perilaku Kekerasan yang Biasa Dilakukan
a. Tujuan :
1. Klien dapat menyebutkan stimulasi penyebab kemarahannya.
2. Klien dapat menyebutkan respons yang dirasakan saat marah (tanda dan gejala
marah).
3. Klien dapat menyebutkan reaksi yang dilakukan saat marah (prilaku kekerasan).
4. Klien dapat menyebutkan akibat perilaku kekerasan.

b. Setting :
1. Terapis dan klien duduk bersama dalam lingkaran.
2. Ruangan nyaman dan tenang.

c. Alat :
1. Kertas HVS
2. Buku catatan dan pulpen
3. Sound music
4. Nametag

d. Metode :
1. Dinamika kelompok
2. Diskusi dan tanya jawab

e. Langkah Kegiatan :
1. Persiapan
a. Memilih klien perilaku kekerasan yang sudah kooperatif
b. Membuat kontrak dengan klien
c. Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan

2. Orientasi
1) Salamteraupetik
a. Salam dari terapis kepada klien.
b. Perkenalkan nama panggilan terapis kepeda klien (pakai papan nama).
c. Menanyakan nama panggilan semua klien (beri papan nama).
2) Evaluasi /validasi
a. Menanyakan perasaan klien saat ini
b. Menanyakan masalah yang dirasakan
c. Kontrak
1. Menjelaskan tujuan kegiatan yaitu mengenal perilaku kekerasan yang biasa
dilakukan
2. Menjelaskan aturan main berikut :
▪ Jika ada klien yang ingin meninggalkan kelompok, harus minta izin kepada
terapis.
▪ Lama kegiatan 45 menit.
▪ Setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai.

3. Tahap Kerja
a. Mendiskusikan penyebab marah
1) Tanyakan pengalaman tiap klien marah
2) Tulis di papan tulis/flipchart/whiteboard
b. Mendiskusikan tanda dan gejala yang dirasakan klien saat terpapar oleh penyebab
marah sebelum perilaku kekerasan terjadi.
1) Tanyakan perasaan tiap klien saat terpapar oleh penyebab (tanda dan gejala)
2) Tulis di papan tulis tulis/flipchart/whiteboard
c. Mendiskusikan perilaku kekerasan yang pernah dilakukan klien (verbal, merusak
lingkungan, menciderai/memukul orang lain, dan memukul diri sendiri)
1) Tanyakan perilaku yang dilakukan saat marah
2) Tulis di papan tulis tulis/flipchart/whiteboard
d. Mendiskusikan dampak/akibat perilaku kekerasan
1) Tanyakan akibat perilaku kekerasan
2) Tuliskan di papan tulis /flipchart/whiteboard
e. Memberikan reinforcement pada peran serta klien
f. Dalam menjalankan a sampai h, upayakan semua klien terlibat
g. Beri kesimpulan penyebab, tanda dan gejala, perilaku kekerasan, dan akibat
perilaku kekerasan
h. Menanyakan kesediaan klien untuk mempelajari cara baru yang sehat menghadapi
Kemarahan
i. Mengajarkan klien cara mengontrol perilaku kekerasan dengan Latihan fisik yang
pertama yaitu Tarik nafas dalam.
1) Contohkan terlebih dahulu
2) Minta klien mempraktikkan kembali

4. Tahap Terminasi
1) Evaluasi
a. Terapis menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK.
b. Memberikan reinforcement positif terhadap perilaku klien yang positif.
c. Minta klien mempraktikkan Latihan fisik yang pertama sendiri nantinya

2) Tindak lanjut
a. Menganjurkan klien memulai dan mengevaluasi jika terjadi penyebab marah, yaitu
tanda dan gejala, perilaku kekerasan yang terjadi, serta akibat perilaku kekerasan.
b. Menganjurkan klien mengingat penyebab, tanda dan gejala perilaku kekerasan dan
akibatnya yang belum diceritakan.
c. Meminta klien memasukkan Latihan fisik yang pertama ke daftar Latihan harian.
3) Kontrak yang akan datang
a. Menyepakati belajar cara baru yang sehat untuk mencegah perilaku kekerasan.
b. Menyepakati waktu dan tempat TAK berikutnya.

Evaluasi
Evaluasi dilakukan saat proses TAK berlangsung, khususnya pada tahap kerja.
Aspek yang dievaluasi adalah kemampuan klien sesuai dengan tujuan TAK. Untuk
TAK stimulasi persepsi perilaku kekerasan sesi 1, kemampuan yang diharapkan
adalah mengetahui penyebab perilaku, mengenal tanda dan gejala, perilaku kekerasan
yang dilakukan dan akibat perilaku kekerasan. Formulir evaluasi sebagai berikut :
Petunjuk :
1. Tulis nama panggilan klien yang ikut TAK pada kolom nama klien.
2. Untuk tiap klien, beri penilaian tentang kemampuan mengetahui penyebab
perilaku kekerasan, tanda dan gejala yang dirasakan, perilaku kekerasan yang
dilakukan dan akibat perilaku kekerasan, serta mempraktekkan cara
mengontrol perilaku kekerasan dengan nafas dalam. Beri tanda (+) jika
mampu dan beri tanda (-) jika tidak mampu.

➢ Dokumentasi
Dokumentasikan kemampuan yang dimiliki klien saat TAK pada
catatan proses keperawatan tiap klien.Contoh : Klien mengikuti Sesi 1, TAK
stimulus persepsi perilaku kekerasan. Klien mampu menyebutkan penyebab
perilaku kekerasannya (disalahkan dan tidak diberi uang), mengenal tanda dan
gejala yang dirasakan (”gregeten” dan ”deg-degan”), perilaku kekerasan yang
dilakukan (memukul meja), akibat yang dirasakan (tangan sakit dan dibawa ke
rumah sakit jiwa), dan cara mengontrol perilaku kekerasan dengan latihan
tarik nafas dalam.
DAFTAR PUSTAKA
Ius Yosep. 2009. Keperawatan Jiwa.Bandung:Refika Aditama.
Keliat, Budi Anna. Keperawatan Jiwa: Terapi Aktivitas Kelompok. Jakarta: EGC.
2005.
Stuart, W. Gail. (2016). Keperawatan Kesehatan Jiwa. Singapore: Elsevier.
Videbeck, Sheila. L. 2008. Buku ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta. EGC.
Yudi Hartono & Farida Kusumawati.2010.Buku ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta:
Salemba Medika.
Yusuf, Ah, Rizky Fitryasari PK dan Hanik Endang Nihayati. (2015). Buku Ajar
Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai