Anda di halaman 1dari 5

MATERI PENYULUHAN TENTANG PERAN KELUARGA DALAM

MERAWAT PASIEN PERILAKU KEKERASAN


1. Definisi
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang
lain maupun lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan perasaan
kesal atau marah yang tidak konstruktif. (Stuart dan Sundeen, 1995).
Perilaku kekerasan adalah perilaku individu yang dapat membahayakan orang,
diri sendiri baik secar fisik, emosional, dan atau seksualitas (Nanda, 2005).
Perilaku kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang
bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis (Berkowitz,
1993 dalam Depkes, 2000).
2. Penyebab
Menurut Stearen, kemarahan adalah kombinasi dari segala sesuatu yang
tidak enak, cemas, tegang, dendam, sakit hati, dan frustasi. Beberapa faktor yang
mempengaruhi terjadinya kemarahan terbagi atas faktor predisposisi dan faktor
presipitasi.
a. Faktor Predisposisi
Berbagai pengalaman yang dialami tiap orang yang merupakan
faktor predisposisi, artinya mungkin terjadi/mungkin tidak terjadi perilaku
kekerasan jika faktor berikut dialami oleh individu :
1) Psikologis
Kegagalan yang dialami dapat menimbulkan frustasi yang kemudian
dapat timbul agresif atau amuk. Masa kanak-kanak yang tidak menyenangkan
yaitu perasaan ditolak, dihina, dianiayaan atau saksi penganiayaan juga
berpengaruh. Sesorang yang mengalami hambatan dalam mencapai
tujuan/keinginan yang diharapkannya menyebabkan ia menjadi frustasi.
Ia merasa terancam dan cemas. Jika ia tidak mampu menghadapi rasa
frustasi itu dengan cara lain tanpa mengendalikan orang lain dan keadaan
sekitarnya maka dia menghadapinyadengan kekerasan.
2) Perilaku
Reinforcement yang diterima pada saat melakukan kekerasan,
sering mengobservasi kekerasan dirumah atau di luar rumah, semua
aspek ini menstimulasi individu mengadopsi perilaku kekerasan.
Manusia pada umumnya mempunyai keinginan untuk mengaktualisasikan
dirinya, ingin dihargai dan diakui statusnya. Sehingga Kebutuhan akan status
dan prestise juga mempengaruhi perilaku seseorang untuk melakukan
kekerasan.
3) Sosial budaya
Budaya tertutup dan membalas secara diam (pasif agresif) dan kontrol
sosial yang tidak pasti terhadap perilaku kekerasan akan menciptakan seolah-
olah perilaku kekerasan diterima (permisive).
4) Bioneurologis
Banyak pendapat bahwa kerusakan sistem limbik, lobus frontal, lobus
temporal dan ketidakseimbangan neurotransmiter turut berperan dalam
terjadinya perilaku kekerasan.
b. Faktor presipitasi
Faktor presipitasi dapat bersumber dari klien, lingkungan atau interaksi
dengan orang lain. Kondisi klien seperti kelemahan fisik (penyakit fisik),
keputusasaan, ketidakberdayaan, percaya diri yang kurang dapat menjadi
penyebab perilaku kekerasan. Demikian pula dengan situasi lingkungan yang
ribut, padat, kritikan yang mengarah pada penghinaan, kehilangan orang yang
dicintai/pekerjaan dan kekerasan merupakan faktor penyebab yang lain. Interaksi
sosial yang provokatif dan konflik dapat pula memicu perilaku kekerasan.
Hilangnya harga diri juga berpengaruh pada dasarnya manusia itu
mempunyai kebutuhan yang sama untuk dihargai. Jika kebutuhan ini tidak
terpenuhi akibatnya individu tersebut mungkin akan merasa rendah diri, tidak
berani bertindak, lekas tersinggung, lekas marah, dan sebagainya. Harga diri
adalah penilaian individu tentang pencapaian diri dengan menganalisa seberapa
jauh perilaku sesuai dengan ideal diri. Dimana gangguan harga diri dapat
digambarkan sebagai perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilang kepercayaan
diri, merasa gagal mencapai keinginan.
3. Rentang respons marah
Stress, cemas, marah merupakan bagian kehidupan sehari-hari yang harus
dihadapi oleh setiap individu. Stress dapat menyebabkan kecemasan yang
menimbulkan perasaan tidak menyenangkan dan terancam. Kecemasan
dapat menimbulkan kemarahan. Respon terhadap marah dapat diungkapkan
melalui 3 cara yaitu :
Mengungkapkan secara verbal, menekan, dan menantang. Dari ketiga cara ini cara
yang pertama adalah konstruktif sedang dua cara yang lain adalah destruktif.
Dengan melarikan diri atau menantang akan menimbulkan rasa bermusuhan, dan
bila cara ini dipakai terus menerus, maka kemarahan dapat diekspresikan pada diri
sendiri da lingkungan dan akan tampak sebagai depresi dan psikomatik
atau agresif dan ngamuk.
Respons kemarahan dapat berfluktuasi dalam rentang adaptif – mal adaptif.
Rentang respon kemarahan dapat digambarkan sebagai berikut : (Keliat, 1997, hal
6).
a. Assertif
Mengungkapkan marah tanpa menyakiti, melukai perasaan orang lain, atau
tanpa merendahkan harga diri orang lain.
b. Frustasi
Respon yang timbul akibat gagal mencapai tujuan atau keinginan yang tidak
realistis. Frustasi dapat dialami sebagai suatu ancaman dan kecemasan. Akibat
dari ancaman tersebut dapat menimbulkan kemarahan.
c. Pasif
Respon dimana individu tidak mampu mengungkapkan perasaan yang
dialami.
d. Agresif
Perilaku yang menyertai marah namun masih dapat dikontrol oleh individu.
Orang agresif biasanya tidak mau mengetahui hak orang lain. Dia
berpendapat bahwa setiap orang harus bertarung untuk mendapatkan
kepentingan sendiri dan mengharapkan perlakuan yang sama dari orang lain.
Tindakan destruktif terhadap lingkungan yang masih terkontrol.
e. Mengamuk
Rasa marah dan bermusuhan yang kuat disertai kehilangan kontrol diri. Pada
keadaan ini individu dapat merusak dirinya sendiri maupun terhadap orang
lain. Tindakan destruktif dan bermusuhan yang kuat dan tidak terkontrol.

4. Tanda dan Gejala Perilaku Kekerasan


Yosep (2009) mengemukakan bahwa tanda dan gejala perilaku kekerasan
adalah sebagai berikut:
a. Fisik
1) Muka merah dan tegang
2) Mata melotot/ pandangan tajam
3) Tangan mengepal
4) Rahang mengatup
5) Postur tubuh kaku
6) Jalan mondar-mandir
b. Verbal
1) Bicara kasar
2) Suara tinggi, membentak atau berteriak
3) Mengancam secara verbal atau fisik
4) Mengumpat dengan kata-kata kotor
5) Suara keras
6) Ketus
c. Perilaku
1) Melempar atau memukul benda/orang lain
2) Menyerang orang lain
3) Melukai diri sendiri/orang lain
4) Merusak lingkungan
5) Amuk/agresif
d. Emosi
Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, rasa terganggu, dendam dan jengkel,
tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi, menyalahkan
dan menuntut.
e. Intelektual
Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, sarkasme.
f. Spiritual
Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, mengkritik pendapat orang
lain, menyinggung perasaan orang lain, tidak perduli dan kasar.
g. Sosial
Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, sindiran.
h. Perhatian
Bolos, mencuri, melarikan diri, penyimpangan seksual.
5. Akibat Dari Perilaku Kekerasan
Klien dengan perilaku kekerasan dapat melakukan tindakan-tindakan
berbahaya bagi dirinya, orang lain maupun lingkungannya, seperti menyerang
orang lain, memecahkan perabot, membakar rumah dll.

6. Hal - hal yang dapat dilakukan keluarga yang mempunyai keluarga yang
mempunyai perilaku kekerasan
a. Mengadakan kegiatan bermanfaat yang dapat menampung potensi dan
minat bakat anggota keluarga yang mengalami risiko perilaku
kekerasan sehingga diharapkan dapat meminimalisir kejadian perilaku
kekerasan.
b. Bekerja sama dengan pihak yang berhubungan dekat dengan pihak-pihak
terkait contohnya badan konseling, RT, atau RW dalam membantu
menyelesaiakan konflik sebelum terjadi tindakan kekerasan.
c. Mengadakan kontrol khusus dengan perawat / dokter yang dapat membahas dan
melaporkan perkembangan anggota keluarga yang mengalami risiko
pelaku kekerasan terutama dari segi kejiwaan antara pengajar dengan pihak
keluarga terutama orangtua.
7. Peran keluarga Dalam Penanganan Perilaku Kekerasan
a. Mencegah terjadinya perilaku amuk :
1) Menjalin komunikasi yang harmonis dan efektif antar anggota keluarga
2) Saling memberi dukungan secara moril apabila ada anggota keluarga yang
berada dalam kesulitan
3) Saling menghargai pendapat dan pola pikir
4) Menjalin keterbukaan
5) Saling memaafkan apabila melakukan kesalahan
6) Menyadari setiap kekurangan diri dan orang lain dan berusaha memperbaiki
kekurangan tersebut
7) Apabila terjadi konflik sebaiknya keluarga memberi kesempatan pada
anggota keluarga untuk mengugkapkan perasaannya untuk membantu kien
dalam menyelesaikan masalah yang konstruktif.
8) Keluarga dapat mengevaluasi sejauh mana keteraturan minum obat anggota
dengan risiko pelaku kekerasan dan mendiskusikan tentang pentingnya
minum obat dalam mempercepat penyembuhan.
9) Keluarga dapat mengevaluasi jadwal kegiatan harian atas kegiatan yang
telah dilatih di rumah sakit.
10) Keluarga memberi pujian atas keberhasilan klien untu mengendalikan
marah.
11) Keluarga memberikan dukungan selama masa pengobatan anggota
keluarga risiko pelaku kekerasan.
12) keluarga menyiapkan lingkungan di rumah agar meminimalisir kesempatan
melakukan perilaku kekerasan
b. Mengontrol Perilaku Kekerasaan dengan mengajarkan klien :
1) Menarik nafas dalam
2) Memukul-mukul bantal
3) Bila ada sesuatu yang tidak disukai anjurkan klien mengucapkan apa yang
tidak disukai klien
4) Melakukan kegiatan keagamaan seperti berwudhu’ dan shalat
5) Mendampingi klien dalam minum obat secara teratur.
c. Bila Klien dalam PK
Meminta bantuan petugas terkait dan terdekat untuk membantu membawa
klien ke rumah sakit jiwa terdekat. Sebelum dibawa usahan utamakan
keselamatan diri klien dan penolong.
Daftar pustaka
Dadang Hawari, 2001, Pendekatan Holistik Pada Gangguan Jiwa Schizofrenia,
FKUI; Jakarta.
WF Maramis, 1998, Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, penerbit : Buku Kedokteran
EGC ; Jakarta.
Stuart GW, Sundeen, Principles and Practice of Psykiatric Nursing (5 th ed.).
St.Louis Mosby Year Book, 1995
Keliat Budi Ana, Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, Edisi I, Jakarta : EGC,
1999
Keliat Budi Ana, Gangguan Konsep Diri, Edisi I, Jakarta : EGC, 1999
Aziz R, dkk, Pedoman Asuhan Keperawatan Jiwa Semarang : RSJD Dr. Amino
Gonohutomo, 2003

Anda mungkin juga menyukai